• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. gerakan pendidikan dan dakwah (Muhammad Hakiki, 2011). masih sangat tradisional, sehingga kegiatan-kegiatan filantropi kurang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. gerakan pendidikan dan dakwah (Muhammad Hakiki, 2011). masih sangat tradisional, sehingga kegiatan-kegiatan filantropi kurang"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I

PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG MASALAH

Praktik filantropi Islam di Indonesia sudah dimulai sejak kehadiran agama Islam di Nusantara pada abad ke 8-9 M, namun mulai tampak pada abad ke 12 M saat berjayanya kerajaan-kerajaan Islam dan berlanjut pada masa kolonial yang lebih banyak terfokus pada pembangunan masjid dan pesantren. Sejak saat itu, dua institusi yang menyemai tindakan filantropi bagi masyarakat muslim adalah masjid dan pesantren. Kedua lembaga ini telah mulai dibangun sejak abad ke-15 M, ketika masyarakat muslim khususnya di Jawa mulai menjadikan kedua tempat tersebut sebagai pusat gerakan pendidikan dan dakwah (Muhammad Hakiki, 2011).

Masjid disebut juga sebagi bait al-maal untuk menyimpan zakat dari masyarakat. Di Indonesia kegiatan bait al-maal disahkan oleh Belanda pada abad ke 19 dengan menyebut Moskeeskas.

Menilik sejarahnya, kegiatan filantropi di masa dahulu di Indonesia, masih sangat tradisional, sehingga kegiatan-kegiatan filantropi kurang berkembang. Penyebab kondisi tersebut karena beberapa faktor, salah satu diantaranya adalah manajemen penggalangan dan penyaluran dana yang kurang tepat sehingga kepercayaan publik lambat laun menjadi hilang.

(2)

2 Ada sebuah kasus filantropi Islam yang terjadi di tahun 2008 silam, seorang dermawan di Pasuruan Jawa Timur bermaksud membagikan zakatnya secara langsung kepada kaum miskin di sekitar daerahnya tersebut. Jumlah dana sekitar Rp. 10.000,- hingga Rp. 40.000,- dalam masing-masing amplop. Pembagian zakat digelar secara besar-besaran di rumah muzaki (orang yang mengeluarkan zakat) ini. Awalnya memang acara ini berjalan dengan tertib, namun kerumunan lebih dari lima ribu orang tersebut makin berdesak-desakan dan berebut untuk segera mendapat derma. Dalam peristiwa ini banyak ibu-ibu dan lansia yang menjadi korban. Tidak hanya cedera karena terinjak-injak kerumunan, bahkan dikabarkan lebih dari 20 jiwa meninggal dunia. Ini menunjukkan bahwa manajemen yang ada dalam masyarakat dalam pelaksanaan filantropi Islam belum berkembang dengan baik (Hilman Latief, 2013).

Belajar dari pengalaman tersebut, maka kini banyak bermunculan lembaga atau yayasan yang mengelola dana filantropi Islam dengan menggunakan manajeman modern yang lebih baik.

Di Indonesia, pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, dikeluarkan anjuran untuk menghimpun zakat secara sistematis dan terorganisasi. Pernyataan tersebut ditindak lanjuti dengan terbentuknya Badan Amil Zakat (BAZ). Awal kemunculannya hanya ada di DKI Jakarta, namun akhirnya menjamur di propinsi-propinsi lainnya. Kegiatan pengelolaan zakat di BAZ didukung dengan adanya UU RI No. 38 Tahun 1999 sebagai landasan konstitusionalnya. Dalam undang-undang tersebut menyatakan

(3)

3 bahwa pemerintahlah yang lebih berhak dan berkewajiban mengelola zakat, namun sementara pemerintah belum siap mengelola zakat secara efektif, maka zakat dapat dikelola melalui lembaga atas dasar kemaslahatan umat. Hal ini menjadi penyebab kemunculan Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang merupakan lembaga non-pemerintah dalam membantu pengelolaan zakat dengan manajemen yang lebih modern (Nurkholis, 2006).

Saat ini UU tentang zakat tersebut telah diperkuat kembali dalam UU RI No. 23 Tahun 2011, dalam pasal 17 disebutkan bahwa “untuk membantu BAZNAS dalam pelaksanaan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat, masyarakat dapat membentuk LAZ” dengan ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan organisasi, mekanisme perizinan, pembentukan perwakilan, pelaporan, dan pertanggungjawaban LAZ diatur dalam Peraturan Pemerintah.

.Pengelolaan ZIS pada pemerintahan Soeharto lebih banyak menggunakan paradigma bahwa negara sebagai agen pembangunan. Tampak sekali dalam strategi dan pendekatan pembangunan bersifat sentralistis dan top-down. Kebijakan yang diimplementasikanpun bersifat seragam, padahal kebutuhan masyarakat berbeda-beda. Pembagian peran yang dominan pada negara menyebabkan institusi lokal menjadi lemah. Masyarakat hanya berperan menjadi pe-respon kebijakan yang sudah jadi.

Saat ini peran 3 stakeholder dalam pembangunan telah berada dalam posisi yang seimbang. Begitu juga dalam kegiatan filantropi Islamnya. Sebab kegiatan filantropi Islam semakin berkembang dan tidak hanya berbentuk

(4)

4 charity, namun juga dikelola lebih mendalam untuk mengentaskan masyarakat dari kemiskinan dan ketergantungan melalui pemberdayaan masyarakat.

Filantropi Islam dalam hal ini bisa diartikan sebagai kegiatan, baik dilakukan oleh sebuah lembaga maupun komunitas, yang tujuannya untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat melalui pengelolaan dana filantropi Islam (zakat, infak dan sedekah) dalam kegiatan pemberdayaan masyarakat, sehingga kegiatan yang dilaksanakan memiliki sifat yang berkelanjutan.

Karitas atau yang biasa disebut sebagai filantropi tradisional memang diarahkan pada pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dasar yang mendesak, sedangkan filantropi modern bertujuan mempromosikan prakarsa-prakarsa keadilan sosial yang berjangka panjang (Aileen Shaw dalam Irfan Abubakar, 2006). Adanya program kegiatan yang berkelanjutan, bukan berarti karitas tidak dibutuhkan lagi, sebab pemenuhan kebutuhan dasar mendesak juga penting. Sehingga dua bentuk filantropi ini harus dipandang saling melengkapi, bukan saling meniadakan.

Beberapa permasalahan yang ada tersebut tak pelak juga terjadi di Maguwo Banguntapan Bantul. Adanya ketimpangan yang terjadi di masyarakat kampung Maguwo menjadi penyebab dibentuknya sebuah lembaga pengelola ZIS yakni Baitul Maal Al-Muthi’in. LAZIS yang berdiri dibawah payung hukum Yayasan Al-Muthi‟in sejak tahun 2007 ini memiliki tujuan untuk memperbaiki manajemen pengelolaan zakat, infak dan sedekah

(5)

5 (ZIS), serta mengoptimalkan daya gunanya untuk masyarakat Maguwo pada khususnya.

Kampung Maguwo dengan mayoritas penduduk muslim pastinya memiliki potensi yang besar dalam kegiatan filantropi Islam. Namun, persoalan baru muncul mengenai strategi dan cara yang tepat untuk menggalang dana ZIS tersebut. Sebab sebelumnya, dana ZIS yang merupakan dana filantropi Islam dari para muzakki (orang yang berzakat) di Maguwo hanya dibayarkan beberapa hari pada momen bulan Ramadhan dan itu pun panitia zakat („amil) hanya pasif menerima, belum aktif mengambil atau memungut ZIS tersebut, sehingga Baitul Maal Al-Muthi‟in mulai berinovasi dalam penggalangan dana ZIS. Oleh karenanya, penting untuk diketahui mengenai strategi dan cara Baitul Maal Al-Muthi‟in dalam memaksimalkan penggalangan dana ZIS. Selain itu, dana tersebut memiliki potensi yang sangat besar jika dimanfaatkan dengan baik untuk kesejahteraan warga. Program-program yang dilaksanakan oleh Baitul Maal Al-Muthi‟in pun bermacam-macam. Ada dua jenis filantropi, yakni filantropi tradisional dan juga filantropi untuk keadilan sosial. Menarik untuk diketahui mengenai program-program yang dilakukan Baitul Maal untuk menyejahterakan masyarakat Kampung Maguwo. Termasuk, bentuk filrantropi yang menjadi orientasi dari Baitul Maal Al-Muthi‟in, sehingga nantinya akan diketahui secara keseluruhan mengenai peran dari Baitul Maal Al-Muthi‟in di Kampung Maguwo.

(6)

6 1.2. RUMUSAN MASALAH

Dari latar belakang masalah yang telah dijabarkan sebelumnya, maka rumusan masalah yang ada adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana strategi Baitul Maal Al-Muthi‟in dalam mengoptimalkan penggalangan dana ZIS?

2. Bagaimana Baitul Maal Al-Muthi‟in mendayagunakan ZIS untuk masyarakat di Kampung Maguwo, Desa Banguntapan, Kecamatan Banguntapan, Kabupaten Bantul?

3. Bagaimanakah bentuk filantropi yang saat ini menjadi orientasi dari Baitul Maal Al-Muthi‟in di Kampung Maguwo, Desa Banguntapan, Kecamatan Banguntapan, Kabupaten Bantul?

1.3. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Mengetahui strategi yang dilakukan Baitul Maal Al-Muthi‟in dalam penggalangan dana melalui inovasi-inovasi program.

2. Mengetahui pelaksanaan pendayagunaan ZIS Baitul Maal Al-Muthi‟in di Kampung Maguwo, Desa Banguntapan, Kecamatan Banguntapan, Kabupaten Bantul.

3. Mengetahui jenis filantropi yang saat ini menjadi orientasi dari Baitul Maal Al-Muthi‟in di Kampung Maguwo, Desa Banguntapan, Kecamatan Banguntapan, Kabupaten Bantul.

(7)

7 1.4. MANFAAT PENELITIAN

1. Penelitian ini bagi peneliti bermanfaat untuk memperluas pengetahuan dan wawasan tentang strategi penggalangan ZIS melalui inovasi program Baitul Maal Al-Muthi‟in serta mengetahui pendayagunaan ZISnya. Selain itu juga untuk mengetahui jenis filantropi yang dijalankan oleh Baitul Maal Al-Muthi‟in.

2. Bagi almamater Universitas Gadjah Mada untuk menambah koleksi hasil penelitian, khususnya dalam filantropi Islam dan pemberdayaan masyarakat.

1.5. TINJAUAN PUSTAKA

Pengelolaan zakat sebagai usaha untuk mensejahterakan masyarakat telah banyak dilakukan oleh badan maupun lembaga pengelola zakat, baik dari Badan Amil Zakat (BAZ) milik pemerintah maupun Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang dikelola oleh masyarakat non-pemerintah.

Di BAZ Kabupaten Bantul, zakat dikelola dengan cara pengumpulan, pendistribusian dan pendayagunaan zakat. Pengumpulan zakat berasal dari infak dan sedekah jajaran pegawai di berbagai instansi daerah Bantul, baik negeri maupun swasta dengan besaran seikhlasnya yang dikirim ke nomor rekening BAZ di bank yang bekerjasama dengan BAZ Kabupaten Bantul. Dalam pendistribusian zakat, BAZ Kabupaten Bantul memberikan kepada empat kelompok asnaf, yakni fakir miskin sebesar 50%, kelompok mualaf 10%, sabilillah 30%, garim dan tempat ibadah 10%. Proporsi tersebut

(8)

8 merupakan patokan dasar, tetapi tidak menutup kemungkinan apabila sewaktu-waktu berubah sesuai kebutuhan mustahik. Pendayagunaan zakat bersifat konsumtif dan produktif. Usaha BAZ Kabupaten Bantul dalam mengelola zakat dianggap belum efektif karena kecilnya sumber yang terkumpul yang mengakibatkan penyaluran dana untuk berbagai kegiatan menjadi terbatas. Penggunaan zakat secara produktif juga masih dalam lingkup yang kecil, „amil pun belum bekerja secara full-time, selain itu job description yang telah ditetapkan belum berjalan sebagaimna mestinya (Hermin Sukawati, 2005).

Pengelolaan ZIS di LAZ Baitul Maal Muamalat (BMM) yang merupakan lembaga nirlaba, dilaksanakan kegiatan perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pengawasan pada penghimpunan, pendistribusian dan pendayagunaan ZIS. Program pengentasan kemiskinan diwadahi dalam program pemberdayaan masyarakat dengan pengembangan ekonomi mikro. BMM memiliki empat poin utama dalam Bina Ekonomi Terpadu, Bina Sosial, Bina Pendidikan, Bina Kesehatan. Dari empat poin tersebut, Bina Ekonomi Terpadu menjadi kegiatan utama dengan anggaran dana 50% dari total zakat yang terkumpul. ZIS dikelola secara produktif. Sejauh ini program berjalan dengan baik sesuai hukum syari‟ah maupun peraturan pemerintah. Terbukti dengan adanya usaha dari peserta program yang terbilang cukup sukses. Namun perlu digaris bawahi bahwa pengelolaan ZIS harus lebih transparan serta masyarakat yang mengajukan bantuan harus

(9)

9 jujur dan amanah serta memiliki visi dan misi yang sama dengan BMM agar kegiatan berjalan dengan baik (Nurkholis, 2006).

Berbeda dengan BAZ Kabupaten Bantul maupun LAZ BMM, program pertanian dari Baitul Maal Desa (BMD) merupakan praktik pengelolaan dan penyaluran dana zakat dengan skema investasi zakat di bidang pertanian. Investor dalam BMD ini adalah ZIS Dompet Dhuafa dan bantuan dari muzaki yang berdomisili di sekitar BMD. Investasi zakat yang ada, digunakan untuk menyewa lahan, menyewa saprodi, bantuan pupuk, bibit, dan investasi barang modal. Hasil panen yang didapat akan di bagi hasil (50:50) antara peserta dan BMD. Dana hasil panen tersebut, BMD menggunakannya untuk mengembangkan program-program. Adanya bantuan investasi zakat pertanian ini mampu menaikkan pendapatan yang diperoleh oleh buruh tani hingga 77,12% dari pendapatan sebelum mengikuti program ini. Kesimpulannya, investasi zakat telah berhasil meningkatkan kesejahteraan petani (Royyan Djayusman, 2010).

Dari beberapa studi yang pernah dilaksanakan tersebut, terdapat beberapa persamaan dan perbedaan dengan penelitian ini. Persamaan dalam penelitian ini terletak pada tema tentang pengelolaan zakat, infak dan sedekah serta jenis lembaga sebagai agen pengelola ZISnya. Perbedaannya terletak pada strategi penggalangan dana ZISnya. Baitul Maal Al-Muthi‟in melakukan inovasi agar masyarakat Maguwo gemar berzakat, infak dan sedekah. Selain itu juga Baitul Maal Al-Muthi‟in memberikan ZIS pada masyarakat Maguwo tidak hanya dalam bentuk karitas, namun juga dalam bentuk modal usaha agar

(10)

10 bersifat berkesinambungan dengan program-program pemberdayaan ekonomi masyarakatnya. Studi-studi sebelumnya lebih banyak membahas ZIS dari kacamata syari‟ah dan ekonomi, sedangkan dalam penelitian ini akan lebih banyak membahas dari segi filantropi Islam dan pemberdayaan ekonomi masyarakat.

1.6. KERANGKA BERFIKIR 1.6.1. LAZIS

Dalam UU no 23 tahun 2011 pasal 1, Lembaga Amil Zakat yang selanjutnya disingkat LAZ adalah lembaga yang dibentuk masyarakat yang memiliki tugas membantu pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat. Pada masa sekarang, LAZ semakin berkembang dengan dana yang dikelolanya yang mencakup dana infak dan sedekah dan biasa disebut dengan LAZIS (Lembaga Amil Zakat, Infak dan Sedekah).

Pendistribusian dan pendayagunaan infak, sedekah, dan dana sosial keagamaan lainnya dilakukan sesuai dengan syariat Islam dan dilakukan sesuai dengan peruntukan yang diikrarkan oleh pemberi dan harus dilakukan pencatatan dalam pembukuan tersendiri.

LAZ di Indonesia biasa disebut dengan Baitul Maal. Baitul Maal berasal dari bahasa Arab bait yang berarti rumah, dan al-maal yang berarti harta. Baitul Maal merupakan lembaga keuangan negara yang

(11)

11 bertugas menerima, menyimpan, dan mendistribusikan uang negara sesuai ketentuan syariat. Ringkasnya, Baitul Maal dapat disamakan dengan kas negara yang ada dewasa ini (Dahlan dalam Aziz, 2010).

Baitul Maal merupakan Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang membantu pemerintah untuk menggalang, mengelola dan mendistribusikan ZIS dari muzaki kepada mustahik. LAZ merupakan lembaga non-pemerintah yang bersifat non-profit.

Dalam penelitian ini, Baitul Maal Al-Muthi‟in dilihat sebagai sebuah lembaga yang menjadi agen dalam menggalang dana ZIS dengan inovasi-inovasinya, sekaligus sebagai agen pelaksana filantropi Islam. Baitul Maal berbeda dengan Baitul Maal wat Tamwil atau yang biasa disebut sebagai BMT. Baitul Maal lebih banyak bergerak dibidang sosial keagamaan, sedangkan BMT lebih banyak bergerak dalam bidang perbankan syari‟ah.

1.6.2. Penggalangan dan Pendayagunaan ZIS

Pengelolaan zakat dimulai dari kegiatan perencanaan, pelaksanaan, dan pengoordinasian dalam pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat.

Zakat berasal dari tumbukan kata zaka yang berarti suci, baik, berkah, tumbuh, dan berkembang (Mu‟jam Wasith, dalam Abdul Aziz dan Mariyah Ulfah, 2010). Menurut Eri Sudewo, zakat merupakan salah

(12)

12 satu aspek untuk mengentaskan masyarakat dari kemiskinan. Zakat dijadikan sebagai suatu modal untuk menciptakan industri agar tertampung mustahik untuk bekerja. Dalam UU RI No 23 Tahun 2011, Zakat adalah harta yang wajib dikeluarkan oleh seorang muslim atau badan usaha untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya sesuai dengan syariat Islam. Seorang muslim yang berzakat disebut juga dengan muzaki.

Infak berasal dari kata anfaqa yang berarti mengeluarkan sesuatu (harta) untuk kepentingan sesuatu (Abdul Aziz dan Mariyah Ulfa, 2010). Jika zakat ada nisabnya, infak tidak mengenal nisab. Infak dikeluarkan oleh setiap orang yang beriman, baik yang berpenghasilan tinggi maupun rendah, apakah ia di saat lapang maupun sempit. Jika zakat harus diberikan kepada mustahik tertentu (8 asnaf), maka infak boleh diberikan kepada siapapun, seperti orangtua, anak yatim, dan sebagainya.

Sedekah berasal dari kata shadaqa yang berarti benar. Orang yang suka bersedekah adalah orang yang benar pengakuan imannya. Jika infak berkaitan dengan materi, sedekah memiliki arti lebih luas, menyangkut hal yang bersifat non-materiil.

Ada 8 asnaf penerima zakat atau yang biasa disebut degan mustahik, seperti yang telah disebutkan dalam Al-Quran surat At-Taubah ayat 60, seperti yang akan dijelaskan berikut ini,

(13)

13 “Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah bagi orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu‟allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (At-Taubah:60).

Tidak semua asnaf tersebut bisa diberikan zakat. Amil zakat harus jeli melihat mana yang menjadi prioritas dan sasaran utama dari zakat. Berbeda dengan zakat, pemberian infak dan sedekah tidak hanya diberikan kepada 8 asnaf, namun dengan sasaran yang lebih luas.

Baitul Maal memiliki peran dalam penggalangan dana ZIS terlebih dahulu sebelum mendayagunakannyat. ZIS dikumpulkan dengan beberapa cara agar menarik warga untuk mudah mengeluarkan sebagian hartanya dan berbagi dengan sesamanya. Pengumpulan ZIS tersebut dilakukan dengan cara-cara yang menurut lembaga pengelola ZIS dirasa paling efektif. Biasanya lembaga tersebut akan membuat inovasi program untuk lebih menarik masyarakat. Seperti yang dilakukan oleh Baitul Maal Al-Muthi‟in dalam penggalangan dana ZISnya. Setelah ZIS terkumpul, lalu digunakan oleh Baitul Maal Al-Muthi‟in sebagai modal pendukung pelaksanaan kegiatan filantropi Islam dengan berbagai macam programnya. Sumber dana ZIS di Baitul Maal Al-Muthi‟in berasal dari masyarakat Kampung Maguwo dan sekitarnya.

(14)

14 Pendayagunaan ZIS dilakukan dalam berbagai macam program seperti yang dijelaskan dalam Filantropi Islam berikut ini,

1.6.3. Filantropi Islam

Robert Poyton (dalam Irfan Abubakar, 2006) menjelaskan bahwa filantropi sebagai pemberian sumbangan secara sukarela kepada orang lain, diluar keluarga sendiri, untuk tujuan kemaslahatan umum. Hal ini berbeda dengan konsep filantropi dalam Islam, sebab Islam menganjurkan bahwa infak dan sedekah dianjurkan lebih dulu diberikan kepada kerabat seperti keluarga, saudara, maupun tetangga dekat yang membutuhkan.

Filantropi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti cinta kasih (kedermawanan) kepada sesama manusia. Secara etimologi filantropi berarti “cinta kepada kemanusiaan” atau “charity” atau sering diterjemahkan dengan “kedermawanan”, namun filantropi dalam Islam lebih bermotif moral yakni berorientasi pada “kecintaan terhadap manusia”, sementara dalam Islam, basis filosofisnya adalah “kewajiban” dari “Yang di Atas” untuk mewujudkan keadilan sosial di muka bumi. Filantropi Islam berarti wujud dari jalinan hubungan baik dengan Allah dan kepedulian masyarakat Islam terhadap lingkungan sekitarnya (Dian Interfidei 2012). Sehingga filantropi Islam membawa nilai sacral dan nilai profane sekaligus.

Filantropi Islam harus memiliki sasaran ganda, yakni perubahan individual dan perubahan kolektif. Pertama mengubah individu menjadi

(15)

15 manusia peduli, lebih dari sekadar memberi, dan yang kedua, mengubah tatanan sosial atau kolektif untuk membangun kultur tanggung jawab sosial dan kesejahteraan bersama. (Hilman Latief, 2012).

Perubahan paradigma filantropi Islam jelas terlihat pada tradisi karitatif menuju tradisi baru yang mencoba menggunakan pendekatan baru dalam menyelesaikan permasalahan sosial, yaitu “menyelesaikan masalah dari akarnya” secara terencana, berjangka panjang, dan terukur. Ini artinya, filantropi tidak lagi dipraktikkan sebatas pemberian makanan, minuman, pakaian, maupun pembangunan masjid, madrasah atau pesantren. Lebih dari itu, filantropi berupaya membangun manusianya dengan pemberdayaan ekonomi, perhatian pada dunia pendidikan, kesehatan, lingkungan, dan sebagainya.

Melihat dari fenomena perkembangan lembaga filantropi di Indonesia, maka, berdasarkan sifatnya dikenal dua bentuk filantropi, yakni filantropi tradisional dan filantropi untuk keadilan sosial yang biasa disebut juga dengan filantropi modern. Berikut ini adalah tabel mengenai bentuk filantropi tersebut,

(16)

16 Tabel 1.1.

Perbedaan Antara Filantropi Tradisional dengan Filantropi Untuk Keadilan Sosial

Sumber : Revitalisasi Filantropi Islam, Studi Kasus Lembaga Zakat dan Wakaf di Indonesia (Andi Agung P dalam Chaider Bamualim dan Irfan Abubakar, 2005).

Filantropi tradisional menurut Andi Agung Prihatna dalam Irfan Abubakar (2005) adalah filantropi yang berbasis karitas (charity). Praktek filantropi tradisional berbentuk pemberian untuk kepentingan pelayanan sosial, misalkan pemberian langsung para dermawan untuk kalangan Filantropi Tradisional (Karitas) Filantropi untuk Keadilan Sosial

Motif Individual Publik, Kolektif

Orientasi Kebutuhan mendesak Kebutuhan jangka panjang

Bentuk Pelayanan sosial langsung Mendukung perubahan sosial

Sifat Tindakan yang berulang-ulang Kegiatan menyelesaikan ketidakadilan struktur

Dampak Mengatasi gejala ketidak adilan sosial

Mengobati akar penyebab ketidakadilan sosial

Contoh Menyediakan tempat tinggal bagi tuna wisma

Advokasi perundang-undangan perubahan kebijakan public

(17)

17 miskin dalam rangka memenuhi kebutuhan sehari-hari seperti memenuhi kebutuhan makanan, tempat tinggal, pakaian dan lain-lain. Dilihat dari orientasinya, filantropi tradisional lebih bersifat individual.

Bentuknya masih tradisional yakni penderma langsung memberikan derma (zakat, infak, sedekah) kepada penerima derma (dalam Al-Qur‟an disebutkan ada 8 Asnaf). Serta belum ada usaha pengelolaan derma secara kelembagaan didalamnya. Filantropi Islam di Indonesia masih berkutat pada hal yang sifatnya ritual vertikal, yakni dana filantropi Islam baru ditujukan untuk pembangunan masjid, madrasah, pengadaan tanah untuk kuburan, dan lain-lain.

Dana filantropi Islam yang diberikan langsung oleh pendermanya dalam bentuk uang tunai hanya akan membuat masyarakat miskin berebut dan rela berdesak-desakkan demi sejumlah uang sedekah yang nominalnya tidak begitu besar. Dengan kata lain, dana hasil filantropi Islam belum secara optimal diarahkan untuk mendukung upaya-upaya pemberdayaan masyarakat di Indonesia.

Melihat dari bentuk penyaluran dana tersebut, bentuk filantropi seperti ini rawan adanya manipulasi dana berbentuk pengayaan individual, egosentrisme di mata publik. Di samping kelemahan-kelemahan lainnya yakni tidak bisa mengembangkan taraf kehidupan masyarakat miskin atau dalam istilah sehari-hari hanya memberi ikan tapi tidak memberi pancing (kail). Hal ini akan membuat masyarakat miskin terus bergantung pada pemberian orang lain tanpa mau berusaha. Filantropi tradisional banyak

(18)

18 dilaksanakan sebelum adanya lembaga atau badan pengelola zakat di Indonesia. Masyarakat memilih melaksanakan kewajiban dengan langsung memberi kepada yang berhak (charity).

Selain filantropi tradisional, ada juga filantropi keadilan sosial (social justice philanthropy). Bentuk filantropi ini merupakan bentuk kedermawanan sosial yang dimaksudkan untuk dapat menjembatani jurang pemisah antara si kaya dan si miskin. Jembatan tersebut diwujudkan dengan upaya memobilisasi sumberdaya untuk mendukung kegiatan yang menggugat ketidakadilan struktur yang menjadi penyebab langgengnya kemiskinan.

Dengan kata lain, filantropi jenis ini adalah mencari akar permasalahan dari kemiskinan tersebut, yakni adanya faktor ketidakadilan dalam alokasi sumberdaya dan akses kekuasaan dalam masyarakat. Namun yang perlu diingat bahwa adanya filantropi untuk keadilan sosial tidak membuat filantropi tradisional tidak dibutuhkan lagi, sebab pemenuhan kebutuhan dasar mendesak juga penting. Sehingga dua bentuk filantropi ini harus dipandang saling melengkapi, bukan saling meniadakan.

Dalam konsep filantropi untuk keadilan sosial ini, terdapat unsur-unsur pemberdayaan masyarakat. Secara etimologis, pemberdayaan berasal dari kata “daya” yang berarti kekuatan atau kemampuan. Maka pemberdayaan dapat dimaknai sebagai suatu proses menuju berdaya, atau proses untuk memperoleh daya / kekuatan / kemampuan, dan atau proses

(19)

19 pemberian daya / kekuatan / kemampuan dari pihak yang memiliki daya kepada pihak yang kurang atau belum berdaya (Ambar Teguh Sulistiyani, 2004).

Pemberdayaan merupakan upaya untuk meningkatkan kapasitas masyarakat sebagai proses yang multi dimensi, mencakup sumber daya alam, sumber daya manusia dan sumber daya sosial (Soetomo, 2009). Dari sudut pandang sosial budaya, sumber daya manusia merupakan pelaku pembangunan dalam kapasitasnya sebagai individu dan anggota masyarakat yang meliputi kapasitas untuk berproduksi, pemerataan, pemberian kekuatan wewenang, kelangsungan untuk berkembang dan kesadaran akan interdependensi (Effendi dalam Soetomo, 2009).

Sumber daya manusia berbeda dengan sumber daya alam dimana semakin banyak kuantitas atau jumlahnya maka memiliki potensi yang semakin banyak pula untuk pembangunan, namun pada sumber daya manusia, aspek kualitas jauh lebih penting ketimbang aspek kuantitasnya. Hal ini dikarenakan semakin banyaknya sumber daya manusia, bisa jadi menjadi sebuah beban dan bukan menjadi aset. Selain itu, kualitas mampu mempengaruhi produktivitas. Kualitas sumber daya manusia bisa dilihat dalam beberapa aspek seperti pendidikan, kesehatan, ekonomi, politik, dan lain-lain.

Pelaksanaan pemberdayaan masyarakat paling strategis dilaksanakan oleh media yang keberadaannya tidak hanya sebagai organisasi, melainkan juga sebagai pranata sosial (social institution). Di

(20)

20 antara berbagai institusi lokal dibedakan dalam sektor publik, privat, dan sukarela, dan institusi sukarela lebih tepat digunakan sebagai media pemberdayaan masyarakat. Hal ini karena institusi sukarela tumbuh, berkembang dan berakar dari dinamika kehidupan masyarakat sendiri, sehingga tidak terlalu dikendalikan oleh penetrasi ekstenal termasuk negara.

Dalam penelitian ini, pengurus Baitul Maal Al-Muthi‟in yang merupakan bagian dari masyarakat Kampung Maguwo, maka pemberdayaan yang dilakukan disini merupakan bentuk Community Driven Development karena kegiatan pembangunannya digerakkan oleh masyarakat (Soetomo, 2011). Selain itu, cakupan, sasaran dan pelaku pemberdayaannya pun berada dalam lingkup masyarakat yang sama, yakni Kampung Maguwo. Baitul Maal Al-Muthi‟in melakukan pemberdayaan masyarakat mempertimbangkan nilai-nilai Islam seperti sasaran program pemberdayaannya, dan lain-lain.

Ada berbagai model pemberdayaan masyarakat seperti pemberdayaan dalam bidang pendidikan, bidang kesehatan, usaha mikro dan bisnis kecil, pemberdayaan bagi penganggur tidak terdidik, pemberdayaan dalam sektor peternakan, sektor pertanian, sektor kehutanan, sektor kelautan dan perikanan, pemberdayaan di permukiman transmigrasi, pemberdayaan usaha kerajinan, dan pemberdayaan melalui program tanggungjawab sosial perusahaan (CSR) (Anonim, 2010).

(21)

21 Satu hal yang sangat penting untuk kembali lagi diingat, kegiatan pemberdayaan sebagai usaha yang sustainable bukan berarti meniadakan karitas, justru perpaduan keduanya mampu makin menguatkan masyarakat menuju keberdayaan, seperti dalam memenuhi kebutuhan jangka panjang dan juga jangka pendek. Kegiatan pemberdayaan lebih tepat bagi pemenuhan kebutuhan-kebutuhan jangka panjang, namun keritas akan lebih tepat bagi kebutuhan jangka pendek atau mendesak, misalnya seperti biaya pengobatan.

1.7. METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan metode penelitian kualitatif (qualitative research). Menurut Bogdan dan Taylor dalam Lexy J. Moleong (1990), metode penelitian kualitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.

Tujuan dari penelitian kualitatif ini adalah ingin mendapatkan realita di balik fenomena secara mendalam, rinci dan tuntas. Sehingga penelitian kualitatif sebagian alat buktinya tidak berupa data numerik yang dianalisis dengan uji statistik, namun berupa data (kata-kata), tindakan, dan dokumen.

1.7.1. Lokasi Penelitian

Lokasi pengambilan data untuk penelitian ini pada LAZIS Baitul Maal Al-Muthi‟in yang lokasinya berada di Kampung Maguwo, Jalan

(22)

22 Cendrawasih, Dusun Wonocatur, Kelurahan Banguntapan, Kecamatan Banguntapan, Kabupaten Bantul, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Hal ini karena Baitul Maal Al-Muthi‟in memiliki ciri tersendiri yang berbeda dengan Baitul Maal lain dalam penggalangan dana ZIS serta pelaksanaan kegiatan filantropi Islamnya.

1.7.2. Jenis Penelitian

Tipe penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif. Dengan penelitian deskriptif, diharapkan peneliti dapat menjelaskan fenomena yang berkaitan dengan masalah yang diteliti. Peneliti menggunakan metode penelitian kualitatif dengan tipe deskriptif karena peneliti ingin memperoleh data dan informasi yang mendalam mengenai kegiatan filantropi Islam yang dilakukan oleh Baituk Maal Al-Muthi‟in, seperti penggalangan ZIS hingga program pemberdayaan ekonomi masyarakatnya.

Penelitian kualitatif-deskriptif merupakan penelitian dengan data yang dikumpulkan adalah berupa kata-kata, gambar dan bukan merupakan angka-angka. Maka laporan penelitian akan berisi kutipan-kutipan data untuk memberi dambaran penyajian laporan tersebut. Data bisa saja berasal dari naskah wawancara, catatan lapangan, foto, videotape, dokumen pribadi, catatan atau memo, dan dokumen resmi lainnya (Lexy J. Moleong. 1990).

(23)

23 1.7.3. Teknik Pengumpulan Data

Dalam pelaksanaan penelitian kualitatif, salah satu tahap yang harus dilakukan adalah tahap pengumpulan data. Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan adalah :

a. In-depth Interview

Wawancara adalah percakapan langsung dan tatap muka (face to face) dengan maksud tertentu. Percakapan dilakukan oleh kedua belah pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan, dan yang diwawancarai (interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu. Wawancara mendalam sendiri dilakukan dengan alasan ingin mengetahui informasi secara mendalam, lengkap, dan terperinci dari pengalaman yang dialami oleh interviewee. Kualitas wawancara sangat ditentukan oleh bagaimana kualitas hubungan interaksi yang dibangun oleh kedua belah pihak, semakin dekat si pewawancara dengan yang diwawancarai maka informasi yang didapat akan semakin banyak. Informasi yang dihimpun dari proses wawancara mendalam ini dilakukan secara terus menerus dan tidak dapat hanya dilakukan sekali saja. Kejelian si peneliti diasah dalam proses pencarian data melalui wawancara mendalam ini.

Wawancara adalah proses percakapan dengan maksud untuk mengkonstruksi mengenai orang, kejadian, kegiatan, organisasi, motivasi, perasaan dan sebagainya, yang dilakukan dua pihak yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dengan yang

(24)

24 diwawancarai (interviewee) (Heru Irianto dan Burhan Bungin, 2001). Wawancara sering disebut juga sebagai tanya jawab sebab peneliti biasanya mengajukan beberapa pertanyaan untuk memperoleh informasi dengan maksud pihak yang ditanya akan memberikan jawaban.

Wawancara dilakukan peneliti dengan cara sederhana terutama wawancara yang ditujukan pada pengurus Baitul Maal Al-Muthi‟in dan masyarakat Kampung Maguwo yang menjadi peserta program-program filantropi Islam dari Baitul Maal Al-Muthi‟in dengan pewakilan dari masing-masing program dengan mempertimbangkan masukan dari pengurus Baitul Maal Al-Muthi‟in guna mengetahui secara lebih mendalam informasi mengenai hubungan dan peran-peran Baitul Maal Al-Muthi‟in terhadap inovasi yang dilakukan dalam penggalangan dana ZIS dan pendayagunaannya.

(25)

25 Interviewee dari pihak Baitul Maal dan perangkat dusun dalam penelitian ini adalah :

Tabel 1.2.

Interviewee dari pihak Baitul Maal Al-Muthi’in, Perangkat Dusun dan Desa 1 Nama

Pekerjaan

Bachrun

Kepala Dusun Wonocatur

2 Nama Pekerjaan Budi Waluyo Staf Bagian Kependudukan Desa Banguntapan 3 Nama Pekerjaan Abu Hamid

Pembina Yayasan Al-Muthi‟in

4 Nama Pekerjaan

Muhammad Danuri Pengurus Harian /

Sekretaris Baitul Maal Al-Muthi‟in

Sumber : Struktur pengurus yayasan dan baitul maal Al-Muthi‟in serta perangkat dusun.

(26)

26 Berikut adalah interviewee peserta program Baitul Maal Al-Muthi‟in :

Tabel 1.3.

Interviewee Peserta Program Baitul Maal Al-Muthi’in 1 Nama

Usia Pekerjaan

Slamet 42 tahun

Buruh tidak tetap 2 Nama Usia Pekerjaan Sri Asih 42 tahun Penjahit 3 Nama Usia Pekerjaan Ngatijan 60 tahun

Buruh / tukang bangunan 4 Nama Usia Pekerjaan Rosiana 19 tahun Mahasiswi 5 Nama Usia Pekerjaan Ummi 42 tahun Buruh cuci 6 Nama Usia Pekerjaan Sriyono 32 tahun

Pengepul barang bekas Sumber : Peserta Program Baitul Maal Al-Muthi‟in

(27)

27 b. Observasi

Observasi dapat diartikan sebagai pengamatan dan pencatatan dengan sistematik fenomena-fenomena yang diselidiki (Sutrisno Hadi, 1983). Observasi didalam penelitian akan dilaksanakan sebelum dilakukannya wawancara dan pencarian dokumenter dari pihak-pihak yang terkait. Istilah observasi berasal dari bahasa latin yang berarti “melihat”, dan “memperhatikan”. Istilah observasi diarahkan pada kegiatan memperhatikan secara akurat, mencatat fenomena yang muncul, dan mempertimbangkan hubungan antar aspek dalam fenomena tersebut. Tujuan dari observasi ini adalah sebagai alat re-checking atau pembuktian terhadap informasi dan keterangan yang diperoleh sebelumnya.

Alasan pemanfaatan metode pengamatan adalah sebagai berikut. Pertama teknik pengamatan didasarkan atas pengalaman secara langsung. Kedua, teknik pengamatan memungkinkan melihat dan mengamati sendiri, kemudian mencatat perilaku dan kejadian sebagaimana yang terjadi pada keaadan sebenarnya. Ketiga, pengamatan memungkinkan peneliti mencatat peristiwa dalam situasi yang berkaitan dengan pengetahuan proposisional maupun pengetahuan yang langsung diperoleh dari data. Keempat, sering terjadi keraguan pada peneliti bila kemungkinan data yang diambilnya ada yang bias, karena kurang dapat mengingat peristiwa atau hasil wawancara. Jalan terbaik untuk mengecek kepercayaan data tersebut

(28)

28 ialah dengan cara memanfaatkan pengamatan. Kelima, teknik pengamatan memungkinkan peneliti mampu memahami situasi-situasi yang rumit (Lexy J. Moleong, 1990).

Observasi akan membantu melihat keadaan sekitar dan mengetahui realita gambaran fisik objek serta keadaan sosial masyarakat Kampung Maguwo khususnya kegiatan filantropi Islam mulai dari usaha penggalangan dana hingga pendayagunaan dana ZIS yang dilaksanakan oleh Baitul Maal Al-Muthi‟in.

1.7.4. Sumber Data

Penelitian ini terdiri dari dua jenis sumber data yakni data primer dan data sekunder.

a. Sumber Data Primer

Sumber data primer merupakan objek atau dokumen original-material mentah dari pelaku yang disebut juga “first-hand information”. Data ini dikumpulkan dari situasi aktual ketika peristiwa berlangsung. Data atau sumber primer dalam penelitian ini dihimpun oleh peneliti melalui pengamatan dan wawancara secara langsung dilapangan terhadap pengurus Baitul Maal Al-Muthi‟in dan masyarakat yang menjadi peserta program pendayagunaan ZIS.

(29)

29 b. Sumber Data Sekunder

Sumber data sekunder merupakan data yang dikumpulkam dari tangan kedua atau dari sumber lain yang telah tersedia sebelum penelitian dilakukan. Bahan-bahan dalam sumber data sekunder dapat diperoleh dari artikel-artikel dalam surat kabar dan majalah populer, buku, artikel-artikel yang ditemukan dalam jurnal-jurnal ilmiah, dan internet. Data sekunder berguna untuk memperkuat kevaliditasan dan reliabilitas dari data primer.

1.7.5. Teknik Analisis Data

Analisis data didefinisikan sebagai proses merinci usaha secara formal untuk menemukan tema dan merumuskan hipotesis (ide) seperti disarankan data dan sebagai usaha untuk memberikan bantuan pada tema dan hipotesis baru (Bogdan dan Taylor dalam Lexy J. Moleong, 1990). Analisis data dapat disimpulkan sebagai proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola, kategori, dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan data. Dikarenakan penelitian bersifat kualitatif maka semua data yang ada dianalisis secara terus-menerus dari awal hingga akhir penelitian.

Analisis data kualitatif berfokus pada penunjukan makna, deskripsi, penjernihan, dan penempatan data pada konteksnya masing-masing dan seringkali melukiskannya ke dalam kata-kata daripada ke

(30)

30 dalam angka-angka. Oleh karena itu, catatan harian yang dihasilkan dalam pengumpulan data, seperti hasil wawancara atau hasil observasi perlu direduksi dan dimasukkan ke dalam pola, kategori, fokus atau tema yang hendak dipahami dan dimengerti.

Menurut Miles dan Huberman dalam Silalahi (2010), kegiatan analisis terdiri dari tiga alur kegiatan yang terjadi secara bersamaan, yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan/verivikasi.

a. Reduksi Data

Reduksi data diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstraksian, dan transformasi data kasar yang muncul dari catatan-catatan tertulis di lapangan. Kegiatan melakukan reduksi data berlangsung secara terus menerus, terutama selama proyek yang berorientasi kualitatif berlangsung atau selama pengumpulan data. Selama pengumpulan data berlangsung, terjadi tahapan reduksi (membuat ringkasan, mengkode, menelusuri tema, membuat gugus-gugus, membuat partisi, dan menulis memo).

b. Penyajian Data

Penyajian data merupakan sekumpulan informasi tersusun yang memberikan kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Setelah data di coding dalam alur reduksi data sesuai pertanyannya maka selanjutnya data dapat di kategorisasikan

(31)

31 sesuai dengan kesamaannya dan perbedaannya untuk kemudian disajikan dalam bentuk teks naratif.

c. Penarikan Kesimpulan

Alur yang terakhir adalah menarik kesimpulan. Setelah data disajikan melalui kategorisasi maka akan muncul kecenderungan atau tendensi atas fenomena apa yang sebenarnya terjadi. Dari alur terakhir inilah akan diperoleh hasil analisis data yang pada akhirnya akan di interpretasikan oleh peneliti.

1.7.6. Pengecekan Keabsahan

Untuk menghindari kesalahan data yang akan dianalisis, maka keabsahan data dapat diuji dengan beberapa hal berikut :

a. Pengumpulan data secara countinuous pada subyek penelitian yang sama.

Hal ini dilakukan secara berkesinambungan dengan ketekunan peneliti terhadap faktor-faktor yang menonjol sehingga tampak salah satu atau seluruh faktor yang telah dipahami dengan cara yang biasa. b. Triangulasi dengan data lain yang dapat dipertanggungjawabkan.

Menurut Denzin dalam Lexy J. Moleong (1990) membedakan empat macam triangulasi sebagai teknik pemeriksaan yang memanfaatkan penggunaan sumber, metode, penyidik, dan teori.

Referensi

Dokumen terkait

Konselor sebaya (peer counselor) yang bekerja di bawah supervisi konselor profesional (Shertzer & Stone,1981) hendaknya mampu menjadi sahabat yang baik,

Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh dari kedua variabel prediktor tersebut dicari seberapa besar kontribusinya sehingga diketahui bahwa kontribusi perhatian

dalam dunia kerja setelah mereka tamat, maka pihak sekolah SMK Muhammadiyah 2 Rawabening OKU Timur harus memiliki langkah awal untuk mempersiapkannya. Salah satunya

Matrix keadaan adalah identik dengan sistim fisik sebenarnya yang bisa digambarkan dibawah ini sehingga dari hasil matrik ini bisa didapat informasi-informasi lebih lanjut yang

Big Data & Data Analytic Tidak ada Semester 7 Diumumkan agar semester ganjil 2015/2016 (semester 7) mahasiswa tidak perlu mengambil Big Data di kurikulum baru tetapi

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh dengan cara melakukan penelitian kepustakaan (library research) untuk mendapatkan konsepsi teori

Pengetahuan yang dimiliki oleh masyarakat Kabupaten Situbondo terhadap pemanfaatan hewan sebagai musuh alami dalam upaya pengendalian OPT (hama dan penyakit) dapat dilihat pada

 MENURUT HAMACHER [dalam bukunya “Computer Organization”], KOMPUTER ADALAH MESIN PENGHITUNG ELEKTRONIK YANG CEPAT DAN DAPAT MENERIMA INFORMASI INPUT DIGITAL,