• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan Buku. Sebuah Varian dari P.R.A.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Tinjauan Buku. Sebuah Varian dari P.R.A."

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

Tinjauan Buku

Sebuah Varian dari P.R.A.

1 Dari segi perkembangan, metode ini seringkali ditanggapi sebagai metode perbaikan dari R.R.A. (Rapid Rural Appraisal atau Rapid Rural Assessment) (cf. Soehendera 1994).

2 Menurut The World Bank Group (2000:1), the purpose of P.R.A. is to enable development practitioners, government officials, and local people to work together to plan context appropriate programs.

P.R.A.–Participatory Research Appraisal dalam Pelaksanaan

Pengabdian kepada Masyarakat,

Modul Latihan

Oleh: Kusnaka Adimihardja dan Harry Hikmat Bandung: Humaniora Utama Press

2001, vii + 117 halaman

Ditinjau oleh: Djaka Soehendera

(Universitas Pancasila)

Buku ini terdiri dari enam bagian, yakni Pendekatan Partisipatif dan Pemberdayaan Masyarakat, Mitra Kerja Sama, Pemetaan Masalah, Potensi dan Sumber-Sumber Sosial, Perencanaan Partisipatif, serta Monitoring Evaluasi. Selebihnya berupa lima lampiran yang membahas—secara praktis maupun agak teoretis—tentang P.R.A. Selain itu, hampir dalam setiap bagiannya disertakan ‘latihan’ dan ‘diskusi’. Buku ini memang ditujukan untuk modul latihan (lapangan). Lampiran yang ada di antaranya berisi contoh-contoh penerapan P.R.A. di beberapa tempat sehingga dapat melengkapi latihan dan diskusi tersebut.

Sebagai metode yang relatif baru (mulai awal 1980-an), P.R.A. menjadi cepat populer dan dibicarakan berbagai pihak, serta diterapkan oleh pelbagai lembaga dan kelompok masyarakat.1

Bahkan kecenderungan belakangan ini, P.R.A. bukan hanya diterapkan pada negara-negara sedang berkembang, melainkan juga di negara-negara Utara (Chambers 1999:132). Metode ini tidak saja digunakan oleh kalangan ornop dan masyarakat, tetapi juga oleh pihak pemerintah.2

Penerapannya pun semakin meluas, dari daerah pedesaan bergeser ke daerah urban. Menurut Mikkelsen (1999:74), P.R.A. tidak harus diterapkan di pedesaan; juga tidak perlu harus berupa penilaian, sekalipun huruf A menunjuk pada kata assessment (atau appraisal) yang artinya penilaian atau kegiatan serta tidak harus selalu berlangsung cepat (rapid).

(2)

Buku ini tidak menjabarkan pengertian P.R.A. sebagai Participatory Rural Appraisal atau

Participatory Rapid Appraisal ataupun Participatory Rapid (atau Rural) Assessment, melainkan

sebagai Participatory Research Appraisal. Ada Penekanan pada kata ‘penelitian’ di sana. Sementara munculnya P.R.A. antara lain dilatarbelakangi oleh kritik para aktivis pengembangan dan pemberdayaan masyarakat terhadap penelitian ‘klasik’ yang lebih banyak memposisikan masyarakat sekedar sebagai obyek penelitian. Penelitian dalam P.R.A. tidak hanya entitas yang berdiri sendiri, melainkan ditanggapi sebagai bagian yang integral dalam proses keseluruhannya. Cakupan P.R.A. bukan hanya terdiri dari riset, melainkan juga perencanaan (partisipatif), moni-toring, dan evaluasi. Bahkan, pada beberapa tulisan hasil aktivis ornop dimasukkan pula bagian penting lainnya, yakni O dan M (operation and maintenance) dari proyek yang juga partisipatif. Dalam P.R.A. memang terdapat kegiatan penelitian, yakni dengan cara: (a) mengumpulkan data dan informasi, (b) menganalisis informasi, (c) mengumpulkan dan menganalisis data, misalnya dengan menggunakan diagram, dan (d) komunikasi (Mikkelsen 1999:78). Bila demikian, pentinglah menelusuri pemaparan dan analisis buku ini berkenaan dengan penggunaan kata ‘research’ tersebut.

Pada halaman 15–16 dipaparkan berbagai jenis nama yang terkait dengan teknik pemberdayaan yang dikatakan memiliki misi sama, yakni: Participatory Rural Appraisal,

Par-ticipatory Research and Development, ParPar-ticipatory Rapid Appraisal, ParPar-ticipatory Assess-ment and Planning, Participatory Technology DevelopAssess-ment, Participatory Learning Meth-ods, Participatory Action Research,3 dan Participatory Learning and Action.4 Sayangnya,

kedua penulis belum sempat memaparkan perbedaan dan persamaan dari masing-masing pengertian. Kita juga tidak dapat menemui batasan (rinci) dari P.R.A. yang mereka paparkan. Bahkan, uraian mengenai penekanan ataupun nuansa (nuance) metode yang satu ini— dibandingkan dengan metode sejenisnya—juga tidak terpaparkan. Pembaca dapat beranggapan bahwa pengertian P.R.A. dalam buku ini sama dengan pengertian P.R.A. yang lazim digunakan oleh beberapa penulis (lihat Driya Media 1996; Chambers 1996), hanya saja kata ‘rural/rapid’ digantikan oleh ‘research’. Padahal, kata ‘research’ dapat berkonotasi lain.

Mengapa kata ‘research’ patut disikapi dengan seksama? Alasannya karena riset ‘klasik’ yang selama ini diterapkan terlalu bertekanan pada ‘obyektivitas’ dan perbedaan antara peneliti dan obyeknya. Pendekatan atas situasi sosial semacam ini telah mengutamakan pengembangan model riset yang berusaha mempertahankan pemisahan antara peneliti dan orang-orang yang berada dalam sistem yang dipelajari. P.R.A. justru menolak hal tersebut (Walter dan Tandon 1993:5–8). Menurut Effendi (1996:9), dalam penelitian survey (‘klasik’) masyarakat cenderung dijadikan obyek saja dan kurang terlibat dalam merumuskan masalah dan penyusunan kebijakan. Kelak, dalam penerapan kebijakan hasil penelitian tersebut masyarakat hanya bertindak sebagai orang yang menerima, bukan sebagai pelaku dan pelaksana.

3 Menurut IISD (2000:1), PAR is more activist approach, working to empower the local community, or its representatives, to manipulate the higher level power structures.

4 Selain itu, Bank Dunia juga mengembangkan P.P.A.–Participatory Poverty Assessment– disebutkannya: ’…Un-like household surveys, which collect statistical data on the extent of poverty through standardized methods and rules, PPAs focus on processes and explanations of poverty as defined by individuals and communities within an evolving, flexible, and open framework’ (Robb 1999: 4).

(3)

Pendekatan P.R.A., setidaknya untuk sebagian, memang lebih mengarah kepada penelitian antropologis, dibanding dengan penelitian survei.5 Meskipun demikian, P.R.A. tidak berhenti

sampai di situ. Ada beberapa unsur dalam metode antropologi yang juga ditanggapi secara kritis oleh P.R.A. Sekedar contoh, proses ‘going native’ (menjadi bagian dari ‘obyek’ yang diteliti pada penelitian sosial klasik) adalah hal terlarang dalam penelitian antropologi. Going native bahkan tak jarang dianggap sebagai kegagalan peneliti secara ilmiah. Padahal, langkah ‘going

native’ justru menjadi prasyarat penting dalam pelaksanaan P.R.A. Sikap empati pada masyarakat,

misalnya, adalah hal penting dalam P.R.A. Selain itu, sejak awal dalam P.R.A. digariskan adanya partisipasi masyarakat secara ‘berdiri sama tinggi, duduk sama rendah’ dengan pihak luar (peneliti misalnya). Mereka bukan sekedar sebagai obyek penelitian dengan adanya jarak yang terus-menerus dipelihara antara peneliti dengan masyarakat yang diteliti. P.R.A. seringkali dianggap sebagai langkah (dan proses) pembalikan pemahaman, karena pihak luar belajar dari masyarakat desa secara langsung. Pihak luar (termasuk peneliti), lebih bersikap dan berperan sebagai fasilitator (Chambers 1999:2–5). Dalam penelitian sosial klasik, termasuk penelitian kualitatif, peneliti tetap disosokkan sebagai pemeran utama dalam proses penelitian. Sementara itu, penelitian etnografi juga cukup lama menjadi hal yang dikritisi dalam P.R.A. Waktu menjadi semakin berharga karena dalam P.R.A. bukan proses penelitian—yang berlama-lama—yang dipentingkan. Salah satu prinsip P.R.A. adalah ‘belajar secara cepat dan progresif’ (Mikkelsen 1999:76).

Oleh karena P.R.A. lebih sebagai proses yang berkelanjutan dan terus-menerus dikembangkan, maka pendekatan ini juga banyak menyerap—secara kritis—gagasan dan pendekatan dari

ap-plied anthropology (antropologi terapan). Gagasan itu antara lain: (a) belajar di lapangan

merupakan suatu seni yang luwes, dan bukan ilmu pengetahuan yang kaku; (b) pentingnya nilai dan hidup menetap di desa; (c) adanya pengamatan pelaku yang tidak tergesa-gesa dan dilaksanakannya percakapan yang berkelanjutan; (d) pentingnya sikap, tingkah laku dan hubungan (sosial); (e) perbedaan antara cara pandang etik dan emik; serta (f) kesahihan pengetahuan lokal.

Bila diperhatikan, kesamaan penjabaran dari P.R.A. dengan metode penelitian antropologi rupanya ‘hanya’ pada kata participatory (lihat Driya Media 1996; Chambers 1996; 1999). Dalam filosofi metode P.R.A., kata partisipasi menjadi hal terdepan dalam proses multi pendekatan yang diterapkannya. Partisipasi juga berarti upaya prosesual untuk pemberdayaan masyarakat secara mandiri.6 P.R.A., menurut Chambers (dikutip dari Mikkelsen 1999:75), memungkinkan

orang-orang desa mengungkapkan dan menganalisis situasi mereka sendiri, lalu secara optimal merencanakan dan melaksanakan tekad itu di desanya sendiri.

Metode yang mulanya diterapkan untuk masyarakat pedesaan (rural society) ini kemudian dikembangkan pula ke kelompok-kelompok masyarakat lainnya, termasuk masyarakat di perkotaan (urban area). Satu hal yang harus diingat, mereka harus termasuk kesatuan sosial yang terkategori sebagai grass-root (‘akar rumput’). Dalam kaitan ini, Duangsa (1996:5) menegaskan bahwa P.R.A. adalah suatu proses partisipatori, proses pemberdayaan untuk semua pihak yang terlibat,

6 Sehubungan dengan itu, The World Bank Group (2000:1) menyatakan bahwa P.R.A is a label given to a growing family of participatory approaches and methods that emphasize local knowledge and enable local people to make their own appraisal, analysis, and plans.

(4)

khususnya bagi yang dirugikan—oleh proses pembangunan—seperti penduduk/masyarakat. Bagaimanaupun juga buku kecil7 ini berguna untuk memperkaya metode P.R.A., metode

yang disebut oleh Chambers (1999:1–2) lebih bersifat open sources, terbuka untuk siapa pun, terutama aktivis pemberdayaan masyarakat.8 Faktanya memang tidak ada pihak mana pun yang

menyatakan bahwa merekalah penemu unsur-unsur tertentu dalam P.R.A. atau malah penggagas metode yang penting ini.

Walaupun P.R.A. ditanggapi sebagai metode alternatif, bukan berarti tanpa kelemahan. Beberapa catatan yang terkumpul mengenai kelemahan P.R.A. adalah: P.R.A. dapat didiskriditkan karena penyalahgunaan, adopsi yang terlalu cepat, dan masuknya label tanpa substansi. Kata

rapid juga seringkali diidentikkan dengan ketergesa-gesaan. Hal lain adalah, adanya kesan

formalisme, yaitu dorongan yang kuat untuk membakukan dan menyusun buku petunjuk dan manual atas nama kualitas. Para pelaksana pun terkadang terjebak pada kebiasaan dan rutinitas. Akhirnya, para pioneer (pendahulu) dan ‘penemu’ dapat saja merasakan kebanggaan yang berlebihan.

Salah seorang penggagas awal P.R.A., yakni Chambers (1999: 6) bahkan telah memberikan catatan kritis pada metode yang satu ini. Dituliskannya antara lain bahwa ada perubahan dari kata appraisal (penilaian) menjadi proses, dari rural ke urban, dari penerapan lapangan menjadi penerapan dalam organisasi-organisasi, dari NGO (ornop) ke departemen-departemen pemerintah dan universitas, dari ‘selatan’ ke ‘utara’, dari action ke arah upaya mempengaruhi kebijakan, dari praktik ke teori (sesuatu yang sering dianggap sebagai ‘titik lemah’ P.R.A. pada sebagian kalangan akademisi).

Oleh karena itu, dalam langkah berikutnya para pemerhati dan atau pengguna metode ini nampaknya perlu menuliskan langkah-langkah, cakupan, dan latar belakang metodologinya secara lebih scientific sambil menelusuri perbandingannya dengan metode-metode riset ilmiah yang lain. Proses ini bukan saja berguna untuk memperkaya wacana (ilmiah) riset keilmuan, melainkan juga berfaedah untuk memperkuat landasan filosofis serta—kelak berimbas pada—langkah-langkah teknis P.R.A.

8 Untuk pelengkap contoh, di Thailand misalnya P.R.A diterapkan untuk menelusuri ‘Impact of the Economic Crisis’ (1998), dan di Zambia, P.R.A. digunakan untuk menelusuri ‘Causes and Impact of Early Initiation of Sex Among Girls’ (1996) (lihat Robb 1999:10).

7 Mengapa disebut buku kecil, karena walaupun jumlah halamannya 117, ternyata tulisan kedua penulis selesai hingga halaman 48 saja. Dari halaman 49–117 isinya merupakan lampiran yang berupa makalah, tulisan pendek, maupun langkah panduan P.R.A. dari berbagai lembaga. Meskipun demikian, bukan berarti bahwa halaman 49–117 tidak berguna. Sebaliknya, halaman-halaman tersebut kebanyakan memaparkan langkah-langkah praktis pelaksanaan P.R.A. maupun evaluasi hasil P.R.A. di beberapa masyarakat dan proyek pembangunan. Bahkan, beberapa tulisan menyertakan catatan kritis tentang P.R.A.

(5)

Kepustakaan

Chambers, R.

1996 P.R.A.—Participatory Rural Appraisal, Memahami Desa Secara Partisipatif. Yogyakarta:

Kanisius, Oxfam dan Yayasan Mitra Tani.

1999 ‘Relaxed and Participatory Appraisal: Notes on Practical Approaches and Methods’, Notes for Participant dalam P.R.A. Familiarization Workshop. Brighton: Institute of Development Studies. University of Sussex. Hlm. 1–23.

Driya Media

1996 Berbuat Bersama Berperan Serta. Acuan Penerapan Participatory Rural Appraisal. Bandung:

Driya Media untuk Konsorsium Pengembangan Dataran Tinggi Nusa Tenggara. Duangsa, D.

1996 ‘Part II: Principles for a Proposed Participatory Rural Appraisal Model and Implications for Practice’, Report on the Participatory Rural Appraisal Workshop a NGO Commune. A Luoi, Hue, Vietnam. Hlm. 1–24.

Effendi, T.N.

1996 ‘Kata Pengantar’, dalam R. Chambers, P.R.A.—Participatory Rural Appraisal, Memahami

Desa Secara Partisipatif. Yogyakarta: Kanisius, Oxfam, dan Yayasan Mitra Tani. Hlm. 9–11.

IISD,

2000 ‘Participatory Action Research (PAR), A Guide for Field Projects on Adaptive Strategies’, from IISDnet (http://iisd1.iisd.ca/cast/CASLGuide/PAR.htm). December 2000. Hlm. 1–2. Mikkelsen, B.

1999 Metode Penelitian Partisipatoris dan Upaya-Upaya Pemberdayaan, Sebuah Buku Pegangan bagi Para Praktisi Lapangan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Robb, C.

1999 Can the Poor Influence Policy? Participatory Poverty Assessments in the Developing World. Direction in Development . Washington D.C.: The World Bank.

Soehendera, D.

1994 ‘Pengantar Metode Partisipatory Rural Appraisal’, Kursus Perencanaan Proyek-Proyek Pertanian dan Agro-Industri di LPEM-FEUI. Jakarta. Hlm. 1–25.

The World Bank Group.

2000 ‘Participatory Rural Appraisal, Collaborative Decision Making: Community–Based Method’, dalam The World Bank Participation Sourcebook . Jakarta. Hlm. 1–4. Walter, F. dan R.Tandon

1993 Riset Partisipatoris, Riset Pembebasan. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama dan Yayasan

(6)

Alif Lam Mim

Kearifan Masyarakat Sasak

John Ryan Bartholomew Penerjemah: Imron Rosyidi Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya

2001, xii + 332 halaman

Ditinjau oleh: Rusli Cahyadi

(Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia)

Alif Lam Mim: Kearifan Masyarakat Sasak, demikian judul yang digunakan dalam versi bahasa Indonesia. Buku ini merupakan terjemahan dari tesis John Ryan Bartholomew yang diajukan sebagai bagian dari persyaratan untuk mendapatkan gelar Doctor of Philosophy pada Department of Anthropology, Harvard University. Judul asli buku ini adalah Alif Lam Mim:

Reconciling Islam, Modernity and Tradition in an Indonesian Kampung.

Entah apa yang mendasari penerjemah ataupun penerbit untuk mengganti anak judul buku ini, tidak ada penjelasan dari keduanya. Menurut hemat saya, anak judul yang asli jauh lebih menggambarkan isi dari buku ini secara keseluruhan dibandingkan dengan judul versi Indonesianya. Sesuai dengan tema utama yang dibahas oleh penulisnya, buku ini lebih banyak mengupas permasalahan dan hubungan yang kompleks antara tiga konsep utama, yaitu Islam, modernitas, dan tradisi. Akan tetapi, dengan judul yang digunakan dalam terjemahan Indonesianya kita lebih sulit menebak apa kira-kira yang menjadi pokok bahasan buku secara selintas. Anak judul ‘Kearifan masyarakat Sasak’ seakan-akan membawa kita pada kondisi masyarakat Sasak yang arif dan ‘harmonis’. Padahal yang digambarkan dalam buku ini adalah hubungan yang saling bertentangan antara tema Islam, modernitas, dan tradisi yang dibingkai dengan kebijakan politik pemerintah Orde Baru.

Dalam judul aslinya digunakan istilah kampung untuk mewakili masyarakat Kampung Demen (Barat dan Timur) secara spesifik, dan masyarakat Sasak secara keseluruhan. Titik tolak analisis penulis buku ini adalah kejadian-kejadian yang terjadi dalam masyarakat kampung Demen. Penulis kemudian menarik generalisasi dari kejadian-kejadian itu ke masyarakat Lombok secara keseluruhan.

Demen adalah sebuah kampung urban yang berada di Ampenan, sebuah kota pelabuhan yang terletak di bagian Barat pulau Lombok. Pada bab 2 yang berjudul Setting Etnografi Demen, Bartholomew menggambarkan etnografi wilayah Demen secara menarik dan komprehensif. Penggambaran dimulai dari bentuk fisik perkampungan yang sudah mulai dihiasi oleh papan-papan iklan (lambang modernitas?) hingga toko-toko penjual barang-barang kerajinan dan antik

(7)

yang mulai menjamur di Lombok seiring dengan berkembangnya pariwisata. Penggambaran yang dilakukan tidak hanya pada kondisi kekinian, tetapi juga dari perspektif sejarah perkembangan Demen, Ampenan, Mataram, dan Lombok secara keseluruhan. Penggambaran tentang kehidupan kampung Demen menjadi kian lengkap dengan penggambaran kehidupan kampung dari pagi hingga pagi lagi. Tak ketinggalan juga dalam bagian ini digambarkan kondisi secara administratif kampung Demen, Lombok, dan Indonesia secara keseluruhan.

Kampung Demen dipecah menjadi Demen Barat dan Demen Timur pada awal tahun 1970-an. Dua kampung inilah yang menjadi latar belakang pembahasan mengenai hubungan yang sangat kompleks di antara tiga tema penting, yaitu Islam, modernitas, dan tradisi yang dibahas dalam buku ini. Pada pembahasan mengenai tiga tema tersebut Demen Timur diwakili oleh Mesjid Al Aziz, dan Demen Barat diwakili oleh mesjid Al Jibril. Mesjid-mesjid tersebut secara berurutan mewakili dua organisasi Islam yang ada di Lombok, yaitu Muhammadiyah (Mh), dan Nahdlatul Wathan (NW). Organisasi pertama dianggap sebagai organisasi Islam pembaharu dan mewakili kaum modernis dalam Islam, sedang NW dianggap sebagai organisasi Islam ‘tradisional’ yang lebih dahulu berkembang di Indonesia dan Lombok. NW juga dianggap lebih toleran terhadap praktik-praktik keagamaan yang bercampur dengan tradisi-tradisi lokal.

Sebagai ilustrasi untuk menggambarkan perkembangan Islam di Lombok hingga bentuknya pada masa kini, penulis juga memasukkan bab tentang sejarah Islam di Lombok (bab 4). Pada bagian ini tidak hanya dijelaskan perkembangan Islam di Lombok, tetapi juga di Nusantara. Islam yang masuk terlebih dahulu adalah Islam yang dibawa oleh para sufi sesuai dengan karakteristik masyarakat Hindu-Budha Majapahit saat itu, dan melahirkan Islam yang lebih toleran terhadap praktik-praktik adat/tradisional. Pada kasus Sasak Islam model ini diwakili oleh NW. Pada perkembangan selanjutnya masuk Islam yang lebih ortodoks, yang menghendaki pemurnian ajaran Islam dari percampurannya dengan hal-hal yang berbau adat/tradisonal. Islam model ini diwakili oleh Mh.

Orang Sasak memahami modernitas sebagai globalisasi dan westernisasi dalam pengertian yang positif maupun negatif. Modernisasi juga dianggap sebagai kebudayaan material yang baik. Perkembangan ilmu pengetahuan juga dianggap sebagai modernisasi yang positif, sedangkan segi negatif modernisasi diasosiasikan dengan moralitas seperti etika seksual, pesta-pesta, dan individualitas (hlm. 18–19).

Apa yang dianggap sebagai tradisi Sasak ternyata bermasalah karena ada variasi budaya yang cukup besar di antara Orang Sasak sendiri. Di lingkungan masyarakat Demen sendiri, apa yang dianggap sebagai tradisi menjadi bermasalah karena orang-orang yang saat ini tinggal di sana berasal dari kampung-kampung yang berbeda di Lombok, sehingga membawa anggapan-anggapan yang berbeda tentang apa yang dianggap sebagai tradisi. Tidak adanya majelis adat juga menambah runyam permasalahan, sehingga tidak ada lembaga yang bisa menetapkan mana yang termasuk kategori adat atau bukan (hlm. 19–20, penjelasan lebih lanjut tentang hal ini diuraikan kembali di hlm. 72–82).

Dalam masyarakat Lombok, Islam merupakan rujukan utama dan lensa ideologis dalam memahami dan mengevaluasi perubahan. Islam mempunyai peranan yang sangat penting dalam menghadapi perubahan serta kekuatan-kekuatan eksternal yang dirasakan sebagai ancaman terhadap kehidupan sosial mereka. Akhirnya, menurut Bartholomew, berbeda dengan modernitas

(8)

maupun tradisi, Islam menawarkan teodesi yang menjadi daya tarik sangat kuat (hlm. 25). Buku ini diawali dengan deskripsi tentang merariqnya Windi dengan sang pacar yang telah menimbulkan kekalutan luar biasa dalam keluarganya. Persoalan yang hendak dibahas dalam buku ini secara langsung tergambarkan oleh kejadian tersebut. Windi yang berasal dari keluarga yang sangat terdidik (menurut ukuran orang Sasak) dan dianggap telah menghargai pandangan-pandangan modern telah memilih melakukan perkawinan dengan cara yang dianggap tradisional. Pertentangan antaride modernitas dan tradisional mulai digambarkan di sini, pada tingkatan perilaku individu. Penulis kemudian mengevaluasi merarig berdasarkan kacamata Islam, yakni kacamata dua organisasi besar Islam di Lombok.

Merariq—yang di beberapa bagian dalam buku ini sering sekali dianggap sebagai inti dari

kebudayaan Sasak—dapat diperdebatkan sebagai sebuah tindakan yang modern, atau tidak modern (tradisional). Permasalahan selanjutnya ialah apakah tindakan tersebut sesuai atau tidak sesuai dengan Islam? Bartholomew menyatakan bahwa tindakan merariq dapat dianggap sebagai tindakan yang modern atau tidak tergantung dari sudut pandang. Dikatakan modern apabila kita melihatnya sebagai ekspresi individu yang menentang orang tua dan para pemimpin agama, atau dengan kata lain, meningkatnya otonomi individu. Akan tetapi sangat tidak modern apabila

merariq itu di pandang sebagai kegiatan yang lazim dilakukan oleh orang-orang Sasak tradisional. Merariq juga di pandang sebagai penghalang untuk kemajuan. Ini berkaitan dengan usia

perkawinan yang masih sangat muda, yang mengakibatkan mereka harus berhenti sekolah. Dalam perdebatan apakah tindakan tersebut Islami atau bukan, penulis memperlihatkan perbedaan tersebut dari sudut pandang NW dan Mh. Kedua organisasi ini pada dasarnya memandang bahwa merariq bertentangan dengan ajaran Islam. Menurut penulis, sebenarnya tidak ada perbedaan yang sangat signifikan di antara kedua organisasi tersebut. Keduanya beranggapan bahwa merariq bertentangan dengan ajaran Islam, terutama yang berkaitan dengan penghargaan terhadap orang tua (bapak). Islam menekankan pada pentingnya meminta izin pada orang tua untuk menikahi anaknya. Perbedaan kedua organisasi ini hanya pada usaha-usaha nyata yang dilakukan untuk menekan terjadinya hal tersebut. Mh secara kontinyu dan terus menerus melakukan ‘kampanye’ kepada masyarakat untuk tidak melakukan kegiatan tersebut melalui kegiatan ceramah dan khotbah di mesjid. Dilain pihak, NW tidak melakukan upaya tersebut secara nyata (bahkan cenderung merestui secara diam-diam).

Analisis penulis yang hendak disampaikan dalam buku ini secara ringkas dapat digambarkan sebagai berikut. Tradisi seringkali dianggap bertentangan dengan Islam pada banyak segi. Demikian juga halnya dengan modernitas yang seringkali dianggap bertentangan dengan Islam, terutama pada persoalan moralitas. Dalam buku ini Islam diwakili oleh dua organisasi Islam di Lombok (NW dan Mh). Tradisi diwakili oleh beberapa kegiatan yang berkaitan dengan perkawinan (adat istiadat yang mendahului dan yang dilakukan selama perkawinan). Modernitas diwakili oleh upaya-upaya pembaruan yang dilakukan oleh Mh dalam rangka meluruskan ajaran Islam, agar sesuai dengan al-Qur’an dan sunnah rasul. Seperti telah disebutkan di atas, pada saat yang sama modernitas diartikan oleh masyarakat Sasak sebagai globalisasi dan westernisasi yang membawa serta aspek-aspek positif dan negatif. Selain melihat peran dan posisi kedua organisasi tersebut dalam melihat praktik-praktik adat atau tradisi, penulis juga memperlihatkan posisi keduanya dalam melihat dan menilai kecenderungan-kecenderungan baru dalam masyarakat (meningkatnya

(9)

otonomi individu, munculnya versi baru dari tradisi tertentu dan sebagainya). Di antara tema-tema tersebut, masuklah politik pemerintah Orde Baru. Dalam politik pemerintahan Orde Baru, keragaman agama dan kebudayaan (penerjemah menggunakan istilah kultural) dianggap sangat mungkin meledakkan kekerasan. Oleh karena itu, pemerintah Orba berupaya untuk membentuk

kebudayaan yang lebih bersifat nasional. Skema berikut ini dapat digunakan untuk membantu menjelaskan hal tersebut.

Dalam upayanya menjelaskan bagaimana hubungan yang kompleks di antara tiga tema tersebut, penulis juga menggunakan tahapan-tahapan upacara perkawinan Sasak sebagai alat analisisnya, selain merariq yang telah dijelaskan di bagian awal. Perkawinan adat Sasak tradisional yang paling lengkap terdiri dari tiga tahapan yaitu, pambayunan, nyongkolan, dan sorong

serah hlm. 278). Pertentangan antara NW dan Mh dalam hal ini berkaitan dengan beberapa poin

tertentu yang sebenarnya kurang bermakna dari aspek-aspek perkawinan adat. Misalnya apakah perkawinan sebaiknya dilakukan di rumah atau di mesjid? Pertentangan lain yang muncul berkaitan dengan perkawinan adat sebenarnya berlangsung di antara kelas-kelas sosial yang ada dalam masyarakat, terutama berkaitan dengan acara sorong serah. Sorong serah oleh sebagian besar masyarakat Sasak dianggap hanya boleh dilakukan oleh kaum ningrat (hlm. 245–247 dan 252– 255).

Buku ini ditulis dengan gaya penulisan yang cukup sulit untuk dipahami. Analisis dan kasus tidaklah secara ketat dipisahkan dalam bab-bab tersendiri. Pada hampir setiap bab kita akan

(10)

menemukan analisa dan kasus sekaligus. Satu kasus bisa dibicarakan dalam dua atau tiga bab. Sebagai contoh, kita akan menemukan kasus merariq-nya Windi pada beberapa bab (bab 1, 6 dan 7). Demikian juga halnya dengan pembahasan tentang perkawinan Adil misalnya, yang tersebar di beberapa bab secara bersambung.

Kesulitan lain dalam memahami buku ini terletak pada kualitas terjemahan yang tidak bagus. Banyak sekali pilihan kata yang tidak tepat yang digunakan sebagai padanan bahasa Indonesia dari kata-kata bahasa Inggris tertentu. Di samping itu juga ditemui penerjemahan yang keliru yang bukan hanya membuat pembaca bingung, melainkan juga menyesatkan. Berikut ini akan disajikan beberapa kekeliruan tersebut yang mudah-mudahan dapat diperbaiki pada terbitan berikutnya. Pada bagian kata pengantar halaman x tertulis: ‘Meskipun mesjid-mesjid ini kebanyakan menghargai institusi-institusi yang ada di Demen...’ aslinya berbunyi ‘Although the

mosques are the most respected institution in Demen...’. Pada halaman 48 alinea kedua kalimat

ketiga ‘...orang-orang yang masih tetap kesulitan untuk memanjat secara melingkar...’, padahal kalimat aslinya berbunyi ‘...people still make the arduous climb up to the rim and down...’. Pada bagian akhir halaman 297 secara berturut-turut terdapat kalimat-kalimat ‘Menjelang saya tinggal di Lombok...’ dan ‘...karena dia menerimanya.’ Kalimat aslinya secara berturut-turut adalah ‘Shortly

before I left Lombok, ...’, ‘...because he was available.’ Di bagian lain buku ini akan banyak

sekali kita jumpai terjemahan yang keliru yang akan membuat pembaca keliru. Kesalahan lain berkaitan dengan pilihan kata: ‘Menjelang saya meninggalkan pada tahun 1997...’, sebaiknya kata meninggalkan diganti dengan tinggalkan.

Dengan mengenyampingkan berbagai kelemahan di atas, buku ini tetap menarik bagi pembaca yang mendalami permasalahan seputar Islam, tradisi dan modernisasi. Begitu pula halnya bagi mereka yang berminat mempelajari masyarakat Sasak dalam berbagai aspeknya, karena dari buku ini kita bisa menemukan sejarah Islam dan Lombok, adat perkawinan, perubahan yang terjadi dalam masyarakat dan juga oraganisasi Islam terbesar di Lombok. Buku ini juga dapat menjadi kunci untuk mereka yang berniat melakukan studi tentang masyarakat Sasak. Selain menyajikan beragam informasi di atas, buku ini juga memberikan petunjuk-petunjuk tentang karangan atau tulisan yang dapat diacu untuk mendalami topik-topik tertentu, baik yang berkaitan dengan masyarakat Sasak, Islam maupun peran pemerintah Orde Baru. Akhir kata, terjemahan buku ini tentu saja harus disambut dengan gembira mengingat terbatasnya penelitian dan publikasi yang berkaitan dengan masyarakat Sasak.

Referensi

Dokumen terkait

Metode ANFIS juga memiliki hasil yang baik untuk melakukan peramalan pada data time series tipe stasioner (data sunspot) dan musiman (data beban listrik), hal ini dapat dilihat

Lahan gambut di bawah tegakan tanaman karet yang ditumbuhi mucuna hidup memiliki total individu, jumlah famili makrofauna tanah, kepadatan populasi dan kepadatan

According to the indicators of this learning problem, the writer tries to apply PQ4R (Preview, Question, Read, Reflect, Recite and Review) strategy to improve students‟

Tabel 2 menunjukkan bahwa hasil Dari hasil analisis bivariat dengan uji rank spearman hubungan jumlah rokok yang dihisap dengan tekanan darah diastolik

Penelitian ini juga akan mengidentifikasi jenis-jenis campur kode yang muncul dalam percakapan dan juga menganalisis unsur-unsur bahasa yang terdapat dalam campur kode tersebut..

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan kondisi sosial ekonomi petani karet di Desa Simpang Mesuji Kecamatan Simpang Pematang, dengan titik kajian pada umur,

Hasil analisis data dari pretest dan posttest tentang perilaku merokok menggunakan uji beda Wilcoxon, diperoleh z hitung=-2,913 < z tabel=1,645 maka Ha diterima dan Ho

Dengan mundurnya dua orang tersebut, maka pengelola statuter yang tersisa kini tinggal lima orang dari sebelumnya yang berjumlah tujuh orang. Meski demikian, Dumoly yakin tim