• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. putra dan timur asing, yang mempunyai upaya memaksa lagi pula tidak di

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. putra dan timur asing, yang mempunyai upaya memaksa lagi pula tidak di"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Hukum adat adalah keseluruhan aturan tingkah laku yang berlaku bagi bumi putra dan timur asing, yang mempunyai upaya memaksa lagi pula tidak di kodifikasikan.1 Jadi sistem hukum adat adalah sistem yang tidak tertulis, yang tumbuh dan berkembang serta terpelihara karena sesuai dengan kesadaran hukum masyarakatnya. Karena hukum adat sifatnya tidak tertulis, maka hukum adat senantiasa dapat menyesuaikan diri dengan perubahan dan perkembangan yang terjadi dalam masyarakat. Yang berperan melaksanakan hukum adat ini adalah pemuka adat itu sendiri sebagai pemimpin yang disegani dan berpengaruh dalam lingkungan masyarakatnya.2

Pentingnya masalah hukum kewarisan ini dapat dibuktikan melalui pesan Nabi kepada umatnya untuk mempelajarinya. Seperti sabda beliau yang diriwayatkan Ahmad Ibnu Hambal :

“Pelajarilah Al-Qur’an dan ajarkanlah kepada orang banyak, karena aku adalah manusia yang suatu ketika mati dan ilmu pun akan hilang hampir-hampir dua orang bersengketa dalam faraid dan masalahnya, maka tidak menjumpai orang yang memberitahukan bagaimana penyelesaiannya “

1

Abdul Manan, Hukum Islam Dalam Berbagai wacana, Pustaka Bangsa, Jakarta, 2003 2

(2)

Hukum waris adat Minangkabau merupakan masalah yang sangat menarik disebabkan sistem kekerabatannya yang mempengaruhi pola kewarisan adat Minangkabau. Tetapi akhir-akhir ini banyak faktor-faktor yang mempengaruhi pola kewarisan adat Minangkabau, antara lain perubahan dalam lapangan pertanian, stuktur pola menetap, sistem ekonomi dan pengaruh agama islam yang dianut oleh sebagian besar masyarakat Minangkabau. Perlu dicatat bahwa perubahan penting terhadap bidang lain. Hal ini perlu dikaji dan dipertanyakan bagaimana dampak dan pengaruhnya terhadap system kepemilikan harta pewarisan dan bagaimana pula pola dari system pewarisan dari harta pencaharian tersebut.

Masyarakat adat Minangkabau menganut sistem matrilineal, mereka hidup dalam suatu ketertiban masyarakat yang didalamnya kekerabatan dihitung menurut garis ibu semata-mata dan pusaka serta waris diturunkan menurut garis ibu pula, ini berarti bahwa anak laki-laki dan perempuan termasuk keluarga, klan dan perkauman ibunya, justru itu seorang anak tidak menerima warisan dari ayahnya melainkan dari ibu, mamak dan bibinya.

Ada enam ciri sistem matrilineal dalam masyarakat adat Minangkabau yaitu : 1) Keturunan dihitung menurut garis ibu.

2) Suku terbentuk menurut garis ibu.

3) Tiap orang diharuskan kawin dengan orang diluar sukunya (eksogami). 4) Kekuasaan dalam suku ditangan ibu dan mamak.

(3)

6) Hak-hak dan pusaka di wariskan oleh mamak kepada keponakannya yaitu dari saudara laki-laki ibu kepada anak dari saudara perempuan.3

Dari enam ciri sistem matrilineal yang dikemukakan di atas terlihat bahwa system pewarisan harta pusaka berkaitan erat dalam sistem matrilineal yang diatur dalam masyarakat adat Minangkabau. Sistem matrilineal yang diatur dalam masyarakat adat Minangkabau. Sistem matrilineal ini telah lama sekali menjadi sistem sosial yang disebut dengan adat yaitu kebiasaan umum yang lama kelamaan menjadi suatu keharusan yang dirasakan sebagai norma oleh masyarakat. Di dalam sistem matrilineal dikenal dua macam harta pusaka. Pertama harta pusaka tinggi yaitu harta bersama dalam kaum yang diterima secara turun-temurun dari nenek moyang, kedua harta pencaharian yang disebut juga sebagai harta pusaka rendah (hasil pencaharian suami istri).

Dalam masyarakat adat Minagkabau, tanah pusaka tinggi tidak boleh di perjualbelikan, hanya boleh digadaikan. Untuk digadaikan pun harus memenuhi keempat atau salah satu syarat berikut :

1) Mayat tabujua di tangah rumah artinya tanah pusaka tinggi dapat digadaikan apabila untuk biaya pemakaman.

2) Rumah Gadang katirisan artinya apabila rumah kaum perlu diperbaiki

3) Gadih gadang alun balaki artinya untuk mengawinkan perempuan yang telah cukup dewasa, yang kalau tidak dikawinkan dapat memalukan

3

Muhamad Radjab, System Kekerabatan di Minangkabau, Center for Minangkabau Studies, 1969, hal.17

(4)

4) Mambangkik batang tarandam artinya untuk menegakkan penghulu karena penghulu sebelumnya telah meninggal. Dan yang menjadi syarat mutlak untuk terlaksananya adalah kata sepakat dengan ahli waris yang bersangkutan dengan pusaka tersebut.4

Harta bersama diwariskan kepada generasi berikutnya secara utuh tanpa membagi-baginya sebagai suatu warisan, dengan kata lain sistem pewarisan bersifat kolektif bahwa setiap anggota kaum adalah ahli waris. Pembedaannya hanya dilakukan menurut prioritas jauh dekatnya ahli waris dari pewaris. Sistem pewarisan diatas terbentuk karena dalam kaum itu terdapat kelompok-kelompok matrilineal yang dikepalai oleh masing-masing mamak. Oleh sebab itu waris seorang ibu adalah anaknya sedangkan waris seorang mamak adalah kemenakannya. Anak dari seorang ibu adalah kemenakan dari seorang laki-laki dari kaum itu yang merupakan generasi penerus yang akan melanjutkan sistem matrilineal dalam masyarakat adat Minangkabau.

Harta pusaka rendah/harta suarang adalah harta hasil karya atau pencaharian suami istri dalam suatu perkawinan. Seorang laki-laki yang berusaha bersama istrinya dan mendapatkan harta selama bersuami istri maka harta yang didapat tersebut mempunyai kedudukan tersendiri dalam masyarakat adat Minangkabau yang disebut dengan harta pencaharian. Apabila pada suatu waktu perkawinan tersebut terhenti baik karena perceraian atau karena meninggalanya salah satu pihak, maka menurut

4

H. Idrus Hamkimy DT. Rajo Penghulu, Pokok-pokok Pengetahuan Adat Alam

(5)

norma adat harta peninggalan itu dibagi dua, baik ada atau tidak adanya anak dalam perkawinan itu. Separohnya menjadi hak dari suami atau kemenakan dalam kaumnya dan separuh lagi untuk istri ataupun anaknya. Bagian dari suami istri adalah merupakan harta pencaharian baginya adapun sistem pewarisan dari harta pencaharian ini dalam kehidupan masyarakat tetap tunduk pada sistem matrilineal sebagai konsep dasar adat Minangkabau. Jika suami sebagai pemegang hak harta pencaharian itu meninggal maka akan diwariskan kepada kemenakannya sedangkan bila istri meninggal maka akan diwariskan pada ibunya si istri, saudaranya atau anak-anaknya. Dengan demikian harta pewarisan yang pada awalnya adalah merupakan pusaka rendah akan menjadi pusaka tinggi bila telah diwariskan berdasarkan sistem matrilineal yang dianut dalam masyarakat adat Minangkabau.5

Disinilah letaknya bahwa sistem pewarisan harta pencaharian dalam kehidupan masyarakat adat Minangkabau mempunyai peranan penting yaitu dalam kaitannya dengan penambahan harta pusaka tinggi berfungsi sebagai pengikat diantara sesama kaum. Biasanya harta pusaka tersebut berbentuk rumah gadang dan yang terbesar adalah tanah pusaka. Tanah ini merupakan suatu pengikat untuk berdirinya suatu organisasi dan penggunaan tanah itu dilakukan secara komunal sehingga akan menjamin kelangsungan organisasi klan tersebut.6

5

Iskandar Kamal, Beberapa aspek dari hukum kewarisan Matrilineal ke Bilateral di

Minangkabau, dalam Mukhtar Naim, (center for Minangkabau studies : Padang, 1968), hal.12

6

(6)

Namun kenyataannya pada saat ini sistem pewarisan harta peninggalan dalam masyarakat adat Minangkabau telah mengalami pergeseran seiring dengan perubahan struktur sosial yang terjadi dalam masyarakat itu.

Menurut adat Minangkabau dalam sebuah rumah gadang, mamak mempunyai tanggung jawab sebagai pemelihara harta dan pemberi kesejahteraan kepada warga rumah gadang itu. Segala yang berhubungan dengan rumah gadang umumnya berada di bawah kontrol mamak, kedudukan suami dalam adat Minagkabau hanyalah sebagai semendo dalam keluarga istrinya, dia hanyalah seorang pendatang dan tidak mempunyai hak dalam arti luas untuk menentukan corak rumah tangga istrinya.

Kemudian ternyata ajaran adat itu secara evolutif telah mengalami berbagai perubahan. Hubungan mamak dan kemenakan semakin melonggar sedangkan hubungan ayah dan anak semakin kuat. Perubahan ini diikuti pula dengan semakin berkurangnya peranan keluarga luas (extended family) dalam rumah tangga Minangkabau, lalu kecendrungan untuk hidup dalam bentuk keluarga inti (nuclear

family) semakin meningkat.

Proses perubahan sosial di Minangkabau sudah lama berlangsung diantaranya juga terlihat perubahan dalam struktur kekerabatan matrilineal itu sendiri. Terjadi perubahan dalam Minangkabau pada umumnya akibat penemuan-penemuan ilmu pengetahuaan di bidang teknologi serta perubahan pola hidup yang dulunya bersifat murni agraris kearah perdagangan membawa pengaruh besar terhadap kehidupan keluarga dan masyarakat pada umumnya.

(7)

Pertambahan penduduk akan menyebabkan daya dukung tanah sebagai sumber ekonomi tidak lagi mencukupi perubahan di lapangan pertanian merubah pola hubungan manusianya, disamping itu makin berkurangnya rumah gadang dan mendiami rumah sendiri.

Ikatan keluarga luas semakin melemah sebaliknya peranan bapak dalam keluarga semakin menguat. Kekuasaan dari tangan mamak kearah kekuasaan bapak semakin terasa terhadap istri dan anaknya.

Jika dulu fungsinya tidak lebih dari urang semendo jemputan untuk tujuan memperkembangkan keturunan yang sekarang mempunyai kewajiban lebih sebagai kepala keluarga yang bertanggung jawab memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga.

Seiring dengan perkembangan di atas, pola menetappun mengalami perubahan menjadi pola menetap dimana suami istri mempunyai alamat tersendiri, dari pola menetap dimana pasangan suami istri akut tinggal dirumah lingkunagan si istri. Juga ada kecendrungan pola menetap dimana pasangan suami istri mendirikan rumah tangga di luar lingkungan keluarga luasnya.

Agama Islam yang dianut sebagian besar masyarakat adat Minangkabau turut memberi warna, bahwa dalam ajarannya seorang bapak merupakan pemimpin bagi keluarganya dan ajaran kewarisan Islam menempatkan anak-anak, istri, ibu-bapak sebagai ahli waris utama.

Dari uraian di atas telah terlihat beberapa perubahan yang pada dasarnya merupakan pergeseran yang terjadi dalam sistem matrilineal itu sendiri seperti berkurang dan melemahnya peranan keluarga luas matrilineal, hal ini berarti bahwa

(8)

keluarga inti sebagai kesatuan semakin penting. Tanah pusaka yang berfungsi sebagai pengikat orang sekelompok dan sebagai sumber ekonomi tidak lagi bisa diandalkan atau mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup anggota kaumnya yang makin lama makin bertambah, maka tentunya harta pencaharian milik pribadi (harta

suarang) menjadi semakin penting dalam kedudukannya dalam memenuhi kebutuhan

ekonomi keluarga.

Pergeseran sistem sosial dalam masyarakat minangkabau tersebut menyebabkan pula terjadinya pergeseran dalam sistem pewarisan, pergeseran sistem pewarisan ini ditandai dengan hasil keputusan rapat yaitu :

1. Rapat yang dilakukan oleh ninik mamak, alim ulama, di Bukit Tinggi pada tahun 1952.

2. Dikuatkan lagi dalam seminar hukum adat minangkabau yang di adakan di padang pada tahun 1968, yang kesimpulannya adalah :

a. Terhadap harta pencaharian berlaku hukum faraidh. Dan terhadap harta pusaka berlaku hukum adat.

b. Meyerukan kepada seluruh hakim di Sumatera Barat dan Riau supaya memperhatikan ketetapan seminar ini.

c. Harta pusaka di Minangkabau merupakan harta badan hukum yang diurus dan diwakili oleh mamak kepala waris diluar dan di dalam pengadilan

d. Anak kemenakan dan mamak kepala waris yang termasuk kedalam badan hukum itu, masing-masingnya bukanlah pemilik dari harta badan hukum itu. e. Harta pencaharian diwarisi oleh ahli waris mernurut hukum faraidh.

(9)

f. Yang dimaksud dengan harta pencaharian (bagi wanita yang bersuami) ialah seperdua dari harta yang diperdapat oleh seorang selama dalam perkawinannya. Ditambah dengan harta bawaan/tepatannya sendiri.

g. Seorang dibenarkan berwasiat baik kepada kemenakannya maupun kepada yang lainnya hanya sebanyak-banyaknya sampai sepertiga dari harta pencahariannya.7.

Atas dasar latar belakang inilah yang menyebabkan penulis tertarik menelitinya, yaitu apakah harta pencaharian masih diperuntukan atau diwariskan kepada kemenakan atau kepada anak? Apakah pewarisan harta tersebut berpedoman kepada norma adat atau norma agama Islam? Apakah harta pencaharian yang diperoleh keluarga inti menjadi milik istri, anak atau bapak ?

Oleh karenanya penulis akan menuangkan dalam bentuk sebuah tesis yang berjudul “TINJAUAN YURIDIS MENGENAI PERGESERAN HUKUM PEWARISAN HARTA PENCAHARIAN DALAM MASYARAKAT ADAT MINANGKABAU”

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka yang menjadi pokok permasalahan adalah :

1. Bagaimana hukum yang hidup mengenai pembagian harta pusaka rendah dalam masyarakat minangkabau di kota padang?

7.

Amir M.S. Tanya Jawab Adat Minangkabau, Hubungan Mamak Rumah Dengan Sumando, Cetakan ke-2, PT. Mutiara Sumber Widya.2003, hal 30

(10)

2. Faktor-faktor apakah yang menyebabkan terjadinya pergeseran dalam pelaksanaan pewarisan harta pusaka rendah pada masyarakat Minangkabau di kota Padang?

3. Bagaimana cara penyelesaian sengketa yang terjadi dalam pembagian harta pusaka rendah pada masyarakat Minangkabau di kota Padang?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui bagaimana pengaruhnya terhadap hukum kewarisan dan pola kekerabatan pada masyarakat adat Minagkabau.

2. Untuk mengetahui bagaimana hal tersebut menggeser hukum kewarisan harta pencaharian masyarakat adat Minagkabau.

3. Untuk mengetahui cara penyelesaian sengketa harta pencaharian yang terjadi pada masyarakat adat Minangkabau .

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat baik secara teoritis maupun praktis.

a. Secara Teoritis.

Penelitian ini diharapkan dapat memberukan kontribusi dalam bidang ilmu pengetahuan Hukum Waris, khususnya hukum waris adat terutama yang berhubungan dengan pembagian warisan pada masyarakat Minagkabau

(11)

b. Secara Praktis.

Diharapkan penelitian ini kelak dapat dipergunakan manfaatnya untuk dapat di terapkan dalam pengambilan kebijaksanaan dan pelaksanaan kewarisan, khususnya pada masyarakat adat Minangkabau.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan informasi yang ada dan penelusuran kepustakaan khususnya Universitas Sumatera Utara, yang melakukan penelitian yang berhubungan dengan adat Minangkabau memang telah ada, tetapi yang melakukan penelitian mengenai pergeseran harta pusaka rendah belum pernah ditemukan judul atau penelitian tentang pergeseran harta pusaka rendah tersebut, oleh sebab itulah saya melaukan Penelitian dengan judul “TINJAUAN YURIDIS MENGENAI PERGESERAN HUKUM PEWARISAN HARTA PENCAHARIAN DALAM MASYARAKAT ADAT MINANGKABAU”. Dengan demikian bahwa penelitian ini adalah asli, untuk itu penulis dapat mempertanggung jawabkan kebenarannya secara ilmiah.

F. Kerangka Teori Dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Teori merupakan keseluruhan pernyataan yang saling berkaitan, yang dikemukakan untuk menjelaskan tentang adanya sesuatu, maka teori hukum dapat ditentukan dengan lebih jauh sebagai suatu keseluruhan pernyataan-pernyataan yang saling berkaitan dan berkenaan dengan hukum. Dengan itu harus cukup menguraikan tentang apa yang diartikan dengan unsur teori dan harus mengarahkan diri kepada

(12)

unsur hukum. Teori juga merupakan sebuah desain langkah-langkah penelitian yang berhubungan dengan kepustakaan, isu kebijakan maupun narasumber penting lainnya. Sebuah teori harus diuji dengan menghadapkannya kepada fakta-fakta yang kemudian harus dapat menunjukan kebenarannya.

Fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk menstrukturisasikan penemuan-penemuan selama penelitian, membuat beberapa pemikiran, ramalan atau prediksi atas dasar penemuan dan menyajikannya dalam bentuk penjelasan-penjelasan dan pertanyaan-pertanyaan. Hal ini berarti teori merupakan suatu penjelasan yang bersifat rasional serta harus berkesesuaian dengan objek yang dipermasalahkan dan harus didukung dengan adanya fakta yang bersifat emoiris agar dapat diuji kebenarannya.

a. Pengertian Hukum Kewarisan

Sebagai salah satu seorang anggota masyarakat, maka kalau kita berbicara tentang seseorang yang meninggal dunia, arah dan jalan pikiran kita tentu akan menuju kepada masalah warisan. Pada umumnya masyarakat selalu menghendakai adanya suatu peraturan yang menyangkut tentang warisan dan harta peninggalan dari orang yang telah meninggal dunia, yakni hukum yang mengatur mengenai masalah-masalah apakah dan bagaimanakah bermacam-macam hak dan kewajiban-kewajiban yang menyangkut harta kekayaan seseorang pada saat yang bersangkutan meninggal dunia akan berpindah kepada orang lain yang masih hidup.

Seperti kita ketahui bahwa sesungguhnya dalam kehidupan masyarakat di Indonesia ini memiliki kondisi kekeluargaan yang berbeda-beda, selain perbedaan suku bangsa juga adanya perbedaan agama dari inilah keadaan warisan dari

(13)

masyarakat itu tergantung dari masyarakat tertentu yang ada kaitannya dengan kondisi kekeluargaan serta membawa dampak pada kekayaan dalam masyarakat tersebut.

R. Subekti beranggapan seperti halnya dengan hukum perkawinan, begitu pula hukum waris Indonesia beraneka ragam. Disamping hukum waris menurut hukum Adat, berlaku hukum waris menurut agama Islam dan hukum waris menurut Kitab undang-Undang Hukum Perdata ( Burgelijk Wetboek )8.

b. Hukum Kewarisan Adat Minangkabau

Adat Minangkabau adalah aturan hidup bermasyarakat di Minangkabau yang diciptakan oleh leluhurnya, yaitu Datuak Perpatieh Nan Sabatang dan Datuak Katumanggung. Ajaran-ajarannya membedakan secara tajam antara manusia dengan hewan di dalam tingkah laku dan perbuatan, yang didasarkan kepada ajaran-ajaran berbudi baik dan bermoral mulia sesama manusia dan alam lingkungannya.9

Dalam sistem kekerabatan matrilineal terdapat tiga unsur yang paling dominan, yaitu10. :

1. Garis keturunan menurut garis ibu

2. Perkawinan harus dengan kelompok lain, di luar kelompok sendiri yang sekarang dikenal dengan istilah eksogami matrilineal.

8.

R, Subekti, Kaitan Undang-undang Perkawinan Dengan Penyusunan Hukum Waris, dikutip dari Surini ahlan, Sjarif dan Nurul Elmiyah, Hukum Kewarisan Perdata Barat Pewarisan

Menurut Undang-Undang, Kencana, Jakarta, 2005, Hal 2

9

H. Idrus Hakimy DT Rajo Penghulu, Op cit, hal 13 10.

Amir MS, Adat Minangkabau Pola dan Tujuan Hidup Orang Minang (buku I), Mutiara Sumber Widya, Jakarta, 2003, hal 23

(14)

3. Ibu memegang peran sentral dalam pendidikan, pengaman kekayaan, dan kesejahteraan keluarga.

Namun bila diperhatikan dari sejarah Minangkabau, terlihat bahwa yang memegang kekuasaan, baik dalam lingkungan bawah, tengah maupun atas adalah tetap laki-laki. Setiap rumah gadang dikepalai oleh tungganai. Dalam lingkungan

suku yang berkuasa adalah penghulu. Dalam lingkungan nagari kekuasaan berada di

tangan penghulu puncuk. Dalam lingkungan Minagkabau yang berkuasa adalah Rajo

nan tigo silo. Keseluruhan adalah laki-laki. Dalam Dewan Mentri yang dikenal

dengan Basa Ampek Balai, semuanya juga laki-laki. Demikian pula semua pimpinan nagari yang disebut orang empat jenis juga laki-laki. Dapat dikatakan bahwa seluruh bentuk kekuasaan di luar rumah tangga, baik yang menyangkut bidang politik atau mewakili keluarga dalam forum umum adalah laki-laki.11

Ada beberapa bentuk kekuasaan terpegang di tangan perempuan seperti kekuasaan ke dalam di rumah gadang 12, dalam mengurus harta pusaka dan dalam setiap upacara perkawinan. Namun bila diperhatikan kekuasaan yang dipegang oleh perempuan tersebut, ternyata bahwa pada umumnya kekuasaan itu mempunyai hubungan yang rapat dengan peranannya dalam kelangsungan keturunan dan tidak akan menempatkannya pada pusat kekuasaan. Jadi sesungguhnya kedudukan wanita yang dominant di dalam rumah tangga sama sekali tidak memojokkan kaum lelaki.

11

Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dalam Lingkungan Adat

Minangkabau, Jakarta Gunung Agung, 1984, hal 183

12

Rumah gadang adalah rumah bersama, disebut juga “Rumah Adat” dari keluarga besar menurut garis keturunan ibu. Rumah itu terdiri dari beberapa ruang dan tiap-tiap ruang didiami oleh seorang ibu yang membpunyai beberapa orang anak, sehingga rumah gadang adakalanya mempunyao anggota sampai 80 orang.

(15)

Tujuan utama sistem matrilineal adalah untuk menunjang tinggi martabat manusia dengan memberikan emansipasi seimbang (persamaan hak) kepada lelaki dan perempuan. Seorang perempuan berhak melarang atau menolak kesepakatan-kesepakatan yang diambil di luar sepengetahuannya. Ia juga berhak mengajukan usul-usul dan saran-saran dalam rapat keluarga, kaum dan nagari. Bahkan dewasa ini kedudukannya telah bertambah kokoh di tengah-tengah masyarakat, mereka juga mendapat tempat dalam organisasi KAN (Kerapatan Adat Nagari)13

Rumah gadang atau rumah besar adalah ciri dari suatu keluarga besar (extended family). Kekerabatan matrilineal Minangkabau adalah dalam bentuk keluarga besar. Oleh karena itu salah satu ciri dari sistem kekerabatan matrilineal Minagkabau ialah adanya rumah gadang.

Pengertian keluarga di Minangkabau adalah kerabat terdiri dari nenek perempuan dan saudara-saudaranya, anak laki-laki dan perempuan dari nenek perempuan terdiri dari ibu dan saudara laki-laki dan perempuan dan seluruh anak ibu dan anak saudara-saudaranya yang perempuan. Keluarga adalah kesatuan terkecil dalam unit kekerabatan menurut garis keibuan14

Nenek moyang dahulu menginginkan supaya keluarga besar itu berada dalam satu tempat tertentu. Karena itulah tempat tinggal dibuat sedemikian rupa supaya dapat menampung seluruh keluarga besar. Dari rumah itulah diatur segala sesuatu

13

B. Nurdin Yakub, Hukum Kekerabatan Minangkabau, pustaka Indonesia, Bukittinggi, 1995, hal 51

14

Sayfnir Abu Nain, Rosnida, Ishaq Thaher, Kedudukuan dan Peranan WanitaDalam

(16)

yang menyangkut dengan kehidupan keluarga. Dalam hal ini rumah gadang bukan hanya dipandang sebagai fisik dalam bentuk tempat tinggal, tetapi juga dari segi pusat administrasi pemerintahan kerabat matrilineal.

Dalam perkembangannya dan kenyataanya rumah gadang mengalami dilemma. Dalam hal ini semakin berkembangnya anggota keluarga, keadaan rumah gadang tidak lagi dapat menampungnya. Untuk maksud menampung penambahan anggota ini perlu dibangun rumah baru. Supaya kontrol terhadap anggota yang merupakan salah satu fungsi rumah gadang itu tercapai, rumah baru tersebut harus disekitar rumah gadang, yaitu tanah pusaka. Hal ini berarti mengurangi areal tanah pertanian yang dapat dijadikan tulang punggung rumah gadang.15

Hal ini menyebabkan banyaknya masyarakat Minagkabau yang merantau dengan cara berdagang dan karena semakin menyusutnya tanah pusaka, berarti pula melemahkan fungsi rumah gadang itu sendiri.

Pengaruh dari luar daerah mempercepat hilangnya fungsi rumah gadang. Pengaruh yang dari dalam ialah dari hukum Islam yang menuntut tanggung jawab seorang laki-laki terhadap anak dan istrinya. Pada waktu ini ternyata bahwa kewajiban utama seseorang laki-laki adalah untuk kehidupan anak dan istrinya. disamping itu urang sumando sudah mempunyai kedudukan yang kuat di rumah istrinya. Sumando yang sudah menetap yang telah mempunyai kekuasaan di rumah gadang untuk hidup dengan keluarga inti.

15 Amir Syarifudin Op.Cit hal 208

(17)

Sewaktu anggota keluarga sudah berkembang, maka hasil dari harta pusaka, kalau tidak akan kurang dari kebutuhan keluarga, setidaknya tidak akan berlebih untuk memperkembang harta pusaka yang ada itu. Dalam keadaan demikian, laki-laki dalam keluarga itu berusaha keluar dari lingkungan harta pusaka, dengan begitu kehidupan ekonomi yang semula berada di sekitar harta pusaka yang sudah ada, bergerak kearah kehidupan yang berada di luar lingkungan harta pusaka, yang sebelumnya dua bentuk harta itu berbaur dalam bentuk harta kaum. Selanjutnya mulailah pemisahan harta pencaharian dari harta pusaka.

Adanya pemisahan harta pencaharian itu dianggap oleh sebagian masyarakat Minangkabau sebagai titik awal dari pemilikan perorangan dalam harta di Minangkabau. Ada beberapa faktor yang menyebabkan timbulnya pemilikan perorangan tersebut. Diantaranya yang dianggap pokok adalah sistem ekonomi modern yang menyebabkan seseorang berusaha diluar harta pusaka.16 Namun dalam hal pemisahan harta pencaharian itu, faktor kesadaran akan tanggung jawab terhadap anak sebagai pengaruh agama islam lebih menentukan.

Adanya pemisahan pemisahan harta pencaharian menyebabkan timbulnya pengakuan akan adanya hak anak pada harta tersebut. Mula-mula adanya hak anak atas harta pencaharian ayahnya melalui lembaga hibah, kemudian berangsur-angsur adanya pengesahan formal dari putusan dan kesepakatan bersama para ninik mamak,dan alim ulama dalam pertemuan yang diadakan di Bukit tinggi 1952. dalam pertemuan itu ditetapkan bahwa harta pusaka diturunkan secara adat dan harta

(18)

pencaharian dibagi menurut hukum waris Islam. Kesepakatan tahun 1952 itu dikuatkan lagi dalam seminar Hukum Adat Minangkabau yang diadakan di Padang pada tahun 1968.

Dengan adanya berbagai perubahan tersebut di atas, maka lambat laun system kewarisan matrilineal akan bergeser dan menjadi sistem kewarisan bilateral. Dimana sistem pewarisan keluarga luas menjadi sistem keluarga inti untuk masalah harta pusaka rendah.

Hukum adat Minangkabau mempunyai asas-asas tertentu dalam kewarisan, asas-asas itu banyak bersandar kepada sistem kekerabatan, karena hukum kewarisan suatu masyarakat ditentukan oleh struktur kemasyarakatan. Sistem kewarisan berdasarkan kepada pengertian keluarga karena kewarisan itu adalah peralihan sesuatu baik berwujud benda atau bukan benda dari suatu generasi dalam keluarga berdasarkan pada perkawinan, karena keluarga tersebut dibentuk melalui perkawinan. Dengan demikian, kekeluargaan dan perkawinan menentukan bentuk sistem kemasyarakatan.17

Adat Minangkabau mempunyai pengertian tersendiri tentang keluarga dan tentang cara-cara perkawinan. Dari kedua hal ini muncul ciri khas struktur kemasyarakatan Minangkabau yang menimbulkan bentuk atau asas tersendiri pula dalam hukum kewarisan. Beberapa asas pokok dari hukum kewarisan Minagkabau yaitu :18

17

Iskandar Kamal.,Op Cit, hal 153 18

(19)

1. Asas unilateral adalah hak kewarisan hanya berlaku dalam satu garis kekerabatan dan satu garis kekerabatan disini ialah garis kekerabatan ibu dan kebawah di teruskan kepada anak cucu melalui anak perempuan.

2. Asas kolektif berarti bahwa yang berhak atas harta pusaka bukanlah ornag perorangan, tetapi suatu kelompok secara bersama-sama. Berdasarkan asas ini maka harta tidak dibagi-bagi dan disampaikan kepada kelompok-kelompok penerimanya dalam bentuk kesatuan yang tidak terbagi.

3. Asas keutamaan berarti bahwa dalam penerimaannya harta pusaka/penerima peranan untuk mengurus harta pusaka terdapat tingkatan-tingkatan hak yang menyebabkan satu pihak lebih berhak itu masih ada, maka yang lain belum akan menerima.

c. Pergeseran Pewarisan Harta Pencaharian Di Lingkungan Adat Minangkabau

1) Pemisahan Harta Pencaharian dari Harta Pusaka.

Harta pusaka sebagai unsur pokok dalam organisasi kekerabatan matrilineal Minangkabau,19 menurut asalnya diperoleh oleh nenek moyang yang mula-mula mendiami suatu tempat. Di tempat itu mereka mengolah hutan tinggi menjadi tanah pertanian dan dan perumahan.

Pengertian keluarga menurut sistem matrilineal terbatas pada ibu dan anak-anaknya baik laki-laki atau perempuan berikutnya kebawah bersama anak-anak dari anak perempuannya. Keseluruhannya berada dalam suatu tempat tinggal dalam

19.

(20)

bentuk rumah gadang. Harta yang diperoleh oleh ibu asal itu dipergunakan untuk kepentingan seluruh keluarga dalam rumah itu dan menjadi milik bersama bagi seluruh anggota tersebut. Harta itulah yang disebut harta pusaka. Harta tersebut melekat pada rumah.

Pada waktu kehidupan masih sederhana, tanah pusaka masih banyak dan anggota keluarga belum berkembang, maka kehidupan di rumah itu dapat dibiayai dengan hasil yang diperoleh dari harta pusaka itu. Setiap laki-laki dewasa di rumah itu berkewajiban untuk memperkembangkan harta pusaka. Usaha pengembangan dapat ditempuh dengan hasil yang diperoleh dari harta pusaka. Hal tersebut mulanya memungkinkan karena hasil harta pusaka melebihi kebutuhan keluarga itu. Di samping itu ditempuh pula dengan jalan menaruko tanah ulayat kaum.

Dengan demikian terlihat bahwa di tangan suatu keluarga terdapat dua bentuk harta. Pertama harta yang sudah ada yang diperolehnya sebagai peninggalan generasi sebelumnya di rumah itu. Harta itu disebut harta pusaka dalam arti sebenarnya. Kedua harta yang didapatnya sendiri melalui hasil usahanya baik secara menaruko (menggarap tanah mati) atau melalui hasil yang diperoleh dari harta pusaka. Harta yang demikian kemudian disebut dengan harta pencaharian. Walaupun pada waktu itu telah kelihatan bentuk harta pencaharian, namun harta pencaharian itu masih terkait secara rapat dengan harta pusaka.

Terkaitnya harta pencaharian dengan harta pusaka pada waktu itu adalah karena seluruh harta pencaharian itu berasal dari harta kaum. Pada bentuknya yang pertama karena modal usaha seluruhnya berasal dari harta pusaka. Pada bentuknya

(21)

yang kedua yaitu hasil teruko, karena diteruko dari tanah ulayat kaum maka berarti modal usahanya juga dari harta pusaka. Itulah sebabnya harta pencaharian yang diperoleh seseorang pada waktu meninggalnya akan digabungkan ke dalan harta pusaka. Anak kemenakan kemudian mendapatkannya sebagai harta pusaka yang tidak terpisah dari harta yang diperoleh dari generasi sebelumnya.

Dari segi penggunaan, tidak ada perbedaan antara harta yang didapat melalui pusaka dengan yang didapat melalui usahanya, sendiri. Keduanya dipergunakan untuk kepentingan keluarga matrilinealnya. Pada bentuknya yang pertama yaitu harta pusaka,memang digunakan untuk kepentingan keluarga matrilinealnya. Dalam bentuknya yang kedua yaitu harta pencaharian, karena modalnya dari harta pusaka, maka wajarlah dipergunakan untuk keluarga matrilinealnya. Oleh karena itu tidak ada yang mendorong seseorang untuk membawa harta itu keluar dari lingkungan harta. kaumnya.2 0

Sewaktu anggota keluarga sudah berkembang, maka hasil dari harta pusaka tidak lagi mencukupi kebutuhan keluarga. Dalam keadaan demikian,laki-laki dalam keluarga itu berusaha keluar lingkungan harta pusaka, terutama bila tanah ulayat kaum yang akan diterukopun sudah tidak ada. Dengan begitu kehidupan ekonomi yang semula berada disekitar harta pusaka yang sudah ada, bergerak kearah kehidupan yang berada diluar lingkungan harta pusaka.

Terpisahnya pengertian Mata pencaharian dari harta pusaka dapat dipastikan berlaku semenjak Islam masuk di Minangkabau. Tetapi karena kuat pengaruh adat

20

(22)

yang berlaku maka tidak begitu saja harta pencaharian dapat diwariskan kepada anak istri. Anak dan istri hanya sebatas dapat menikmati semasa hidup di surga, karena sistem perkawinannya semendo.

Karena terdorong dari tanggungjawab dari suami, sesuai dengan pengaruh agama Islam yang mengajarkan agar seorang ayah bertanggungjawab pada anaknya, maka timbul dorongan untuk mengeluarkan hasil usahanya sendiri dari kelompok harta pusaka. Sebelumnya dua bentuk harta itu berbaur dalam bentuk harta kaum. Selanjutnya mulailah pemisahan harta pencaharian dari harta pusaka.

Pepatah adat yang berbunyi: "anak dipangku kemenakan dibimbing" diperkirakan munculnya sesudah Islam masuk Minangkabau dan mulai timbul kesadaran untuk membiayai kehidupan anak dan istri, disamping tidak melepaskan tanggungjawab kepada kemenakan. Adanya tugas ganda itu memberatkan tanggungjawab seorang laki-laki Minangkabau. Selanjutnya timbul gagasan untuk membagi fungsi harta yang dimiliki seseorang sebagaimana tergambar dalam pepatah adat sebagai berikut:21

Padang bernama Penjaringan Tempat bertemu rang bertiga Merurdingkan adat dan lembaga

Anak dipangku dengan pencaharian Kemenakan dibimbing dengan pusaka Orang kampong ditenggang dengan bicara

21

(23)

Dari pepatah tersebut diatas, nyata bahwa pemisahan harta pencaharian dari harta pusaka tersebut hakekatnya adalah pemisahan dalam fungsi dan kegunaan dari harta. tersebut. Harta pusaka sepenuhnya dipergunakan untuk kepentingan keluarga matrilineal. Dengan pemisahan itu dimaksudkan bahwa dalam harta pencaharian ada kebebasan pribadi yang berusaha, untuk menggunakan bagi kepentingan pribadi tanpa memerlukan persetujuan atau izin dari pihak keluarga matrilineal.

Terpisahnya harta pencaharian seseorang dari harta pusaka berlaku secara berangsur-angsur dan baru sampai pada tahap akhir dengan adanya pengesahan formal dari putusan dan kesepakatan bersama para ninik mamak, alim ulama dan cerdik pandai dalam pertemuan yang diadakan di Bukittinggi pada tahun 1952. Kesepakatan tahun 1952 itu dikuatkan lagi dalam Seminar Hukum Adat Minangkabau yang diadakan di Padang pada tahun 1968.

Dalam hubungannya dengan hak penggunaan harta pencaharian dapat dibagi dua macam. Pertama: Harta pencaharian yang bersumber dari harta pusaka seperti menggarap tanah pusaka dalam bentuk genggam beruntuk atau menaruko tanah ulayat kaum. Dalam hal ini kebebasan seseorang masih dibatasi oleh kepentingan kaum, karena bagaimanapun juga hak kaum masih terdapat di dalamnnya.

Kedua, harta pencaharian yang tidak bersumber dari harta pusaka seperti yang diperoleh dari menjual jasa atau hasil penjualan jasa itu. Dalam hal ini kebebasan yang berusaha tidak dibatasi kaum, karena hal keluarga matrilineal sama sekali tidak terdapat di dalamnya. Kebebasan pribadi berlaku dalam harta pencaharian dalam bentuk terakhir itu.

(24)

Adanya kebebasan pribadi dalam menggunakan harta pencaharian, besar sekali pengaruhnya atas si laki-laki untuk berusaha, karena ia meyakini bahwa apa yang diperolehnya dari usahanya itu adalah untuk kepentingan sendiri bagi, keluarganya. Segi kelemahan dari kebebasan pribadi dalam harta pencaharian ialah tidak terjaminnya kelestarian harta itu, karena bila seseorang bebas dalam memamfaatkan harta yang diperolehnya, juga bebas untuk bertindak mengalihkan harta itu, tanpa ada hak orang lain untuk mengawasinya.

Dalam hal menjaga kelestarian harta, sifat kolektif dari harta pusaka, dengan berlakunya pepatah adat: "jual tidak dimakan beli, gadai tidak dimakan sando", sangat menyulitkan untuk melepaskan harta itu keluar lingkungan keluarga, sehingga harta pusaka dapat bertahan.22

Walaupun dari segi luas arealnya harta pusaka dapat bertahan, namun dari segi kegunaanya tidak lagi dapat mencukupi bagi kepentingan anggota keluarga. Hal ini mendorong anggota keluarga mengembangkan usahanya diluar harta pusaka. Kalau dulunya pengembangan harta diluar lingkungan harta pusaka dalam rangka memperbanyak harta pusaka, maka dengan terpisahnya pengertian harta pencaharian itu, usaha tidak lagi berarti memperluas harta pusaka, tetapi yang jelas lapangan harta pencaharian- semakin berkembang. Dalam perkembangan selanjutnya terlihat bahwa harta pencaharian lebih berperan dan lebih penting artinya dari harta pusaka itu sendiri23

22

Hamka, Adat Minangkabau dan Hukum Pusakanya, Mukhtar Naim (ed), (Center for Minangkabau Studies: Padang, 1968), hal. 30.

23

Herman Sihombing, Pembinaan Hukum Waris Dan Hukum Tanah Di Minangkabau, Mukhtar Naim (ed), Center For Minangkabau Studies, Padang, 1968, hal 69.

(25)

2. Kerangka Konsepsi

Agar tidak terjadi kesalah fahaman terhadap istilah-istilah yang digunakan dalam tesis ini, maka perlu diuraikan pengertian-pengertian konsep yang dipakai, yaitu sebagai berikut:

Hukum adalah peraturan yang dibuat oleh suatu kekuasaan atau adat yang dianggap berlaku oleh dan untuk orang banyak : Undang-undang, peraturan dan sebagainya untuk mengatur pergaulan hidup dalam masyarakat, ketentuan, kaedah, patokan keputusan hakim24

Warisan adalah : soal apakah dan bagaimanakah pelbagai hak-hak dan kewajiban-kewajiban tentang kekayaan seorang pada waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada orang lain yang meninggal 25

Hukum kewarisan menurut Kompilasi Hukum Islam dalam Pasal 171 huruf (a) adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing. Hukum kewarisan baru dapat berlaku jika pewaris adalah beragama Islam dan yang menerima juga beragama Islam. Dengan demikian pelaksanaan hukum waris bagi umat islam merupakan Ibadah.

Hukum waris adat adalah waris memuat peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan serta mengoperkan barang-barang harta benda dan barang-barang yang tidak berwujud benda (immaterele goerderen) dari suatu angkatan manusia (generalite) kepada turunannya 26

24

Hoetomo, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Mitra Pelajar, Surabaya, Hal 188 25

Wirjono Prodjodikoro, Hukum Warisan Di Indonesia, Sumur Bandung, hal 3P 26

(26)

Mengenai pengertian Pusaka Rendah ada beberapa pendapat antara lain menurut Amir M.S dalam bukunya yang berjudul “Adat Minangkabau Pola Dan Tujuan Hidup Orang Minang” Harta Pusaka Rendah adalah: segala harta hasil pencaharian dari bapak bersama ibu (orang tua kita) selama ikatan perkawinan, ditambah dengan pemberian mamak dan tungganai kepada kemenakannya dari hasil pencaharian mamak dan tungganai itu sendiri.

Harta pencaharian yang merupakan penghasilan wanita yang menikah merupakan penghasilan kedua suami istri yang terikat dalam perkawinan dan selama perkawinan. Bila terjadi perceraian (hidup atau karena meninggal dunia) maka harta pencaharian wanita tersebut adalah seperdua dari seluruh pengahasilan kedua suami istri itu . rumusan adat Minagkabau mengenai hal ini adalah : “sekutu di balah,

suarang dibagi”27

Sedangkan menurut Salmi Saleh,S.H dalam bukunya “Minangkabau Menjawab Tantangan Jaman” harta pusaka rendah adalah hasil pencarian mamak yang diberikan kepada dunsanak atau kemenakannya yang tidak dimaksudkan sebagai harta susuak. Harta pusaka rendah yang diberikan mamak ini bisa dijual belikan, tetapi tentunya atas persetujuan mamak. Tetapi kalau sudah digabungkan kepada pusaka tinggi, harta pencaharian mamak ini tidak lagi dikatakan sebagai pusaka rendah, karena dia sudah menjadi pusaka tinggi dan menjadi milik kaum yang diatur secara adat.

27

Amir M.S “Tanya Jawab Adat Minagkabau (Hubungan Mamak Rumah Dengan Sumando” Mutiara Sumber Widya,2003,hal 29

(27)

Harta pusaka rendah adalah harta hasil karya atau pencaharian suami istri dalam suatu perkawinan. Seorang laki-laki yang berusaha bersama istrinya dan mendapatkan harta selama bersuami istri maka harta yang di dapat tersebut mempunyai kedudukan tersendiri dalam masyarakat adat minagkabau yang disebut dengan harta pencaharian. Apabila pada suatu waktu perkawinan tersebut terhenti baik karena perceraian atau karena meninggalnya salah satu pihak, maka menurut norma adat harta peninggalan tersebut dibagi dua, separohnya menjadi hak dari suami atau kemenakannya dalam kaumnya, dan separuh lagi untuk istri maupun anaknya.28

Jika dilihat dari Undang-undang perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 yang berkenaan dengan persoalan harta kekayaan suami isteri (akan dapat mempunyai hubungan kewarisn) itu termuat dalam pasal 35, 36, dan 37. pasal-pasal itu berbunyi : Pasal 35 : (1) Harta benda yang diperoleh dalam perkawinan menjadi harta bersama. (2) Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di

bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.

Pasal 36 : (1) Mengenai harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak.

(2) Mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.

28

(28)

Pasal 37 : Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing.

Jika dilihat menurut UU Nomor 1 tahun 1974 yaitu Undang-undang perkawinan dengan harta pusaka rendah pada masyarakat Minangkabau sejalan beriringan. Pada penjelasan diatas dapat kita lihat bahwa harta yang diperoleh pada saat terjadinya perkawinan merupakan harta bersama, dimana pengolahan dan peruntukannya sama seperti yang diterapkan dalam masyarakat Minagkabau. yaitu harta bersama dikelola oleh para pihak secara bersama, sedangkan harta yang diperoleh sebelum terjadinya perkawinan dikuasai oleh masing-masing pihak. Jika terjadinya perceraian baik itu cerai hidup ataupun mati pada masyarakat Minangkabau juga menerapkan harta bersama diwariskan sesuai dengan hukumnya masing-masing.

Masyarakat adalah pergaulan hidup manusia, sehimpunan manusia yang hidup bersama dalam suatu tempat dengan ikatan-ikatan aturan yang tertentu: orang banyak, khalayak ramai. 29

G. Metode Penelitian 1. Sifat Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian yang bersifat deskriptif analisis,30 karena metode yang digunakan untuk menggambarkan, menelaah, dan menjelaskan peraturan perundang-undangan yang berlaku, kemudian akan menghubungkan

29

Hoetomo, Op Cit, hal 188 30

Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta, 1996, Hal 8, menyatakan bahwa penelitian deskriptif adalah penelitian yang bertujuan untuk melukiskan tentang sesuatu hal di daerah tertentu dan pada saat tertentu.

(29)

dengan keadaan atau fenomena dalam praktek yang pelaksanaan hukumnya berhubungan dengan pelaksanaan pembagian warisan pada masyrakat adat Minangkabau.

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis

empiris. Penggunaan pendekatan yuridis empiris sebagai pendekatan masalah dengan

melihat ketentuan-ketentuan yang ada, untuk melihat bagaimana ketentuan yang mengatur tentang pembagian warisan pada masyarakat adat Minangkabau dan bagaimana pelaksanaan dari peraturan tersebut dalam kenyataan yang berkembang dalam masyarakat adat Minagkabau.

2. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian dilakukan di Kota Padang, dengan pertimbangan bahwa masyarakat di kota padang cukup heterogen jika dilihat dari aspek suku bangsa, penduduk,pekerjaan dan agama. Disamping itu akses untuk mendapat keadilan melalui pengadilan lebih mudah dimana faktor-faktor tersebut sangat dominan dalam mempengaruhi sikap dan prilaku masyarakat adat Minangkabau dalam pembagian harta pusaka rendah. Di karenakan kota padang cukup luas dan terdiri dari 11 kecamatan maka dipiilih 3 kecamatan sebagai sampel, yaitu kecamatan Kuranji, kecamatan Naggalo, dan kecamatan Koto tengah.

3. Populasi dan Sampel Penelitian

Yang menjadi sumber dalam penelitian ini adalah masyarakat adat Minangkabau yang pernah melakukan pembagian harta warisan yang berdomisili di

(30)

Kota Padang. Adapun penarikan sampel dilakukan dengan cara wawancara yaitu dengan menentukan jumlah sampel penelitian sebanyak 15 (lima belas) orang masyarakat adat minangkabau dari keseluruhan populasi yang diperkirakan dapat mewakili.

Untuk melengkapi data penelitian, diperlukan tambahan informasi dari nara sumber yaitu orang yang dianggap mengetahui dan berkompeten dengan objek penelitian sebagai informan yang terdiri dari :

1. Ketua Kerapatan Adat Nagari (KAN) 2. Wakil Ketua Kerapatan Adat Nagari 3. Ketua Pengadilan Negeri Padang 4. Hakim Pengadilan Negeri Padang

4. Tekhnik Pengumpulan Data

Untuk mendapatkan data yang diperlukan dalam penulisan tesis ini, maka penulis menggunakan 2 (dua) metode, yakni :

1. Penelitian Kepustakaan. ( Library Research)

Yaitu pengumpulan data skunder baik baik berupa peraturan per Undang-undangan dan dokumen yang berkaitan dengan objek yang diteliti31 yang berkaitan dengan pelaksanaan pembagian warisan pada masyarakat adat Minangkabau.

31

(31)

2. Studi Lapangan ( Field Research)

Yaitu pengumpulan data primer yang di peroleh langsung dari informan dan responden dengan cara menggunakan kuisioner terbuka. Dan untuk melengkapi data-data yang dibutuhkan juga dilakukan wawancara32

5. Alat Pengumpulan Data

Alat yang dipakai dalam pengumpulan data dalam penelitian ini adalah : a. Studi dokumen, yaitu mempelajari serta menganalisa bahan pustaka (data

sekunder).

b. Wawancara, dilakukan secara langsung dengan informan dengan menggunakan pedoman wawancara (interview guide).

6. Analisis Data

Analisa data merupakan hal yang sangat penting dalam suatu penelitian dalam rangka memberikan jawaban terhadap masalah yang di teliti 33 Untuk kebutuhan analisis data dalam penelitian ini semua data primer dan data skunder yang diperoleh dikumpulkan dan selanjutnya kedua jenis data itu dikelompokkan sesuai dengan data yang sejenis. Sedangkan evaluasi data dilakukan secara kualitatif.

32

Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 1990, menyatakan analisi data adalah proses mengorganisasikan dan mengurutkan data kedalam pola, kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat di temukan tema dan dapat di rumuskan hipotesis kerja seperti yang di sarankan oleh data.

33

Heru Irianto dan Burhan Bungin, Pokok-pokok Penting Tentang Wawancara, dalam Burhan Bungin (Ed), Metodologi Penelitian Kualitatif, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001, hal 143, menyatakan wawancara adalah proses percakapan dengan maksud untuk mengontruksi mengenai orang, kejadian, kegiatan, organisasi, motivasi, perasaan, dan sebagainya yang dilakukan dua pihak yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dengan orang yang di wawancarai (interviewee)

(32)

Untuk selanjutnya data yang terkumpul dipilah-pilah dan diolah, kemudian dianalisis dan ditafsirkan secara logis dan sistimatis dengan menggunakan metode

induktif 34 . dengan metode ini diperoleh kesesuaian antara pelaksanaan pembagian

warisan pada masyarakat adat Minangkabau dengan peraturan perundang-undangan dan peraturan adat yang berlaku. Atas dasar pembahasan dan analisis ini maka dapat ditarik kesimpulan yang dapat digunakan dalam menjawab permasalahan dan tujuan penelitian.

34

Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta 1997 hal 10, menggunakan prosedur induktif yaitu proses berawal dari proposisi-proposisi khusus (sebagai hasil pengamatan) dan berakhir pada suatu kesimpulan (pengetahuan baru) berupa asas umum. Dalam prosedur induktif setiap proposisi itu hanya boleh dianggap benar kalau proposisi itu diperoleh dari hasil penarikan kesimpulan dari proposisi-proposisi yang berkebenaran empiris.

Referensi

Dokumen terkait

Sinyal masukan analog diwakili oleh hasil pembacaan sensor suhu LM35 (berupa nilai tegangan) sedangkan sinyal keluaran digital diwakili oleh hasil pemrosesan ADC dari

Kesimpulan dalam penelitian ini adalah beban yang dialami dan dirasakan keluarga dalam merawat penderita dengan skizofrenia memiliki korelasi yang positif terhadap

(7) Bentuk dan isi slip setoran sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tercantum dalam Lampiran XII yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari

4.. Diagnosis Laboratorium dalam menegakkan diagnosa demam tifoid sangat penting dilakukan karena dapat membantu dalam menentukan hasil pemeriksaan. Sampai saat ini masih

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan mengenai pengaruh infuencer marketing dan kualitas produk terhadap keputusan pembelian di Uniqlo, maka

Investasi dalam bentuk saham dimana Perusahaan mempunyai pemilikan saham minimal 20%, tetapi tidak lebih dari 50% dicatat dengan menggunakan metode ekuitas, dimana

Tim penyusun mengadakan pertemuan dengan seluruh civitas akademik dan pihak eksternal untuk mensosialisasikan draf penelitian, pengabdian kepada masyarakat dan

Peserta maju sesuai nomor undian yang diambil pada waktu technical meeting.Peserta yang tidak hadir pada saat pengambilan nomor urut penampilan, maka nomor urut penampilan