• Tidak ada hasil yang ditemukan

NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL"

Copied!
91
0
0

Teks penuh

(1)

NASKAH AKADEMIK

RANCANGAN UNDANG-UNDANG

TENTANG

PERJANJIAN INTERNASIONAL

BADAN LEGISLASI

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA 2012

(2)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Di era globalisasi dimana ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang dengan pesat, interaksi dan interdependensi antar negara semakin meningkat. Seiring dengan meningkatnya interaksi tersebut, meningkat pula kerjasama internasional di berbagai bidang yang dituangkan dalam beragam bentuk perjanjian internasional yang mengikat para pihak. Ini berarti semua pihak dengan itikad baik harus bersungguh-sungguh melaksanakan kewajiban yang timbul dari perjanjian internasional yang telah disepakati bersama. Tidak dilaksanakannya perjanjian internasional oleh suatu pihak dapat berakibat timbulnya gugatan oleh pihak lain.

Sebagai bagian dari masyarakat internasional, Indonesia juga melaksanakan hubungan internasional dan membuat perjanjian internasional dengan negara lain, organisasi internasional, dan subyek hukum internasional lainnya. Agar perjanjian internasional sejalan dengan kepentingan nasional, memberikan hasil yang maksimal dan bermanfaat bagi rakyat, maka perlu diatur dalam suatu undang-undang (UU). Sampai saat ini UU yang mengatur mengenai perjanjian internasional adalah UU No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional yang mulai berlaku pada tanggal 23 Oktober 2000.

Pada saat dibentuknya UU No. 24 Tahun 2000, UUD Tahun 1945 baru mengalami dua kali perubahan. Dalam UUD Tahun 1945 Perubahan Pertama (1999) dan Kedua (2000), Pasal 11 yang menjadi landasan yuridis pembentukan UU No. 24 Tahun 2000 tidak mengalami perubahan. Rumusan Pasal 11 tetap seperti semula, yang berbunyi ”Presiden dengan

persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain”. Sedangkan dalam UUD

Tahun 1945 Perubahan Ketiga (2001) dan Keempat (2002), Pasal 11 mengalami perubahan yaitu terdiri dari 3 ayat, yang rumusan lengkapnya adalah sebagai berikut:

(3)

(1) ”Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain.

(2) Presiden dalam membuat perjanjian ineternasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.

(3) Ketentuan lebih lanjut tentang perjanjian internasional diatur dengan undang-undang.”

Sebagaimana dikemukakan oleh I Wayan Partiana, ada beberapa catatan yang dapat dikemukakan dari Pasal 11 UUD Tahun 1945 Perubahan Ketiga dan Keempat tersebut, diantaranya adanya kriteria perjanjian internasional yang harus membutuhkan persetujuan DPR.1 Pasal 11 UUD Tahun 1945 Perubahan Ketiga dan Keempat seharusnya juga menjadi landasan yuridis dalam pembentukan UU yang mengatur mengenai perjanjian internasional.

Permasalahan lain dari perjanjian internasional adalah tidak semua perjanjian internasional memberikan manfaat bagi kesejahteraan rakyat. Ada beberapa perjanjian internasional yang dianggap oleh sebagian kalangan masyarakat dapat menyengsarakan rakyat. Misal, berbagai perjanjian perdagangan bebas yang dibuat oleh Pemerintah baik secara bilateral maupun multilateral seperti ASEAN-China Free Trade Area

(ACFTA), ASEAN Free Trade Area (AFTA), ASEAN-Australia-New Zealand Free Trade Area, ASEAN-Korea Selatan Free Trade Area, dan Indonesia-Japan Partnership.2

1 Baca: I Wayan Partiana, Kajian Akademis (Teoritis dan Praktis) atas Undang-Undang

Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional Berdasarkan Hukum Perjanjian

Internasional, Jurnal Hukum Internasional,

isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/5308460487.pdf –, hal. 473.

2 Baca: Edy Burmansyah (Peneliti Institute for Global Justice), FTA dan UU Perjanjian

(4)

Keikutsertaan Indonesia dalam berbagai perjanjian perdagangan bebas tersebut menyebabkan rakyat dihadapkan kepada perdagangan bebas dan dipaksa untuk bersaing dengan para pelaku ekonomi dari luar negeri di pasar domestik tanpa adanya perlindungan dari pemerintah. Hal ini tentu akan sangat berpengaruh dan memberikan dampak yang sangat berat bagi masyarakat. Dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000, perjanjian internasional di bidang ekonomi dan perdagangan tidak termasuk di dalam kategori yang harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI). Akibatnya, perjanjian perdagangan yang dilakukan Indonesia dengan negara lain dianggap berada di dalam ranah eksekutif yang pengesahannya cukup melalui Keputusan Presiden (Kepres).

Dalam praktiknya, selama ini juga telah terjadi penyimpangan dalam pelaksanaan UU No. 24 Tahun 2000. Pagu pinjaman luar negeri yang disetujui oleh DPR bersamaan dengan disahkannya UU Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dianggap secara otomatis adanya persetujuan DPR terhadap perjanjian pinjaman luar negeri. Hal ini tidak sesuai dengan maksud UU No. 24 Tahun 2000. Persetujuan DPR terhadap UU APBN tidak identik dengan pengesahan/ratifikasi perjanjian internasional oleh DPR. UU APBN bukanlah UU mengesahkan/ratifikasi suatu perjanjian internasional, melainkan UU untuk menyetujui rencana pemerintah untuk melakukan pinjaman. Sedangkan pengesahan/ratifikasi adalah lembaga hukum ketatanegaraan tentang pengesahan oleh legislatif atas perbuatan hukum pemerintah sesuai dengan hukum perjanjian internasional.3

Beberapa permasalahan tersebut menandakan adanya kelemahan atau kekurangan yang ada dalam UU No. 24 Tahun 2000 dalam mengatur mekanisme pembuatan atau pun pengesahan perjanjian internasional. Hal ini dikhawatirkan pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional kurang memberikan manfaat yang maksimal untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.

3 Damos Dumoli Agusman, Beberapa Perkembangan Teori dan Praktik di Indonesia tentang

(5)

B. Identifikasi Masalah

Penggantian terhadap UU No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional telah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Rancangan Undang-Undang (RUU) Prioritas Tahun 2011. Dalam Lampiran Keputusan DPR RI No. 02B/DPR/II/2010-2011 tanggal 14 Desember 2010 penggantian Undang-Undang ini terdapat di urutan nomor 37, yang Naskah Akademik dan draft awal RUU penggantiannya disiapkan oleh DPR RI. Untuk itu, berdasarkan Surat Ketua Badan Legislasi Nomor 63/BALEG/DPR RI/V/2010 perihal dukungan teknis administratif dan keahlian pada Badan Legislasi tanggal 24 Mei 2010 dan sesuai Rapat Koordinasi Deputi Perundang-Undangan tanggal 22 Desember 2010 dengan agenda membicarakan tugas pendampingan perancangan undang-undang dalam daftar Prolegnas RUU Prioritas Tahun 2011, dibentuk Tim Penyusun Naskah Akademik dan draft awal RUU tentang Penggantian Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional.

Dalam Pasal 43 ayat (3) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangan-undangan disebutkan bahwa Rancangan Undang-Undang yang berasal dari DPR, Presiden, atau DPD harus disertai Naskah Akademik. Naskah Akademik adalah naskah hasil penelitian atau pengkajian hukum dan hasil penelitian lainnya terhadap suatu masalah tertentu yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai pengaturan masalah tersebut dalam suatu Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Daerah Provinsi, Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota, sebagai solusi terhadap permasalahan dan kebutuhan hukum masyarakat.4 Oleh karena itu, beberapa permasalahan yang akan dimuat dalam NA RUU Penggantian UU No. 24 Tahun 2000 ini adalah:

1. Bagaimana definisi atau pengertian perjanjian internasional yang tepat agar tidak ada multitafsir antara perjanjian internasional yang bersifat publik dan yang bersifat privat?

4 Lampiran I angka 1 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan

(6)

2. Apa yang menjadi landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis penggantian UU No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional?

3. Materi-materi perjanjian internasional apa saja yang pengesahannya harus memerlukan persetujuan DPR?

4. Bagaimana mekanisme pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional agar perjanjian internasional sejalan dengan kepentingan nasional dan tidak merugikan daerah yang terkena dampak perjanjian internasional?

5. Bagaimanakah materi muatan RUU tentang Penggantian atas UU No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional?

A. Tujuan dan Kegunaan

Sesuai dengan permasalahan yang dikemukakan di atas, maka tujuan penyusunan Naskah Akademik (NA) ini adalah sebagai berikut:

1. menguraikan mengenai pengertian perjanjian internasional.

2. menguraikan landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis pembentukan RUU tentang Penggantian atas UU No. 24 Tahun 2000.

3. menganalisis materi-materi perjanjian internasional yang pengesahannya harus dengan persetujuan DPR.

4. menganalisis mekanisme pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional yang baik agar sejalan dengan kepentingan nasional dan tidak merugikan daerah yang terkena dampak perjanjian internasional. 5. merumuskan materi muatan RUU tentang Penggantian atas UU No. 24

Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional.

Adapun kegunaan dari penyusunan NA ini adalah sebagai acuan atau referensi dalam menyusun dan membahas RUU tentang Penggantian atas UU No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional yang tercantum dalam daftar Prolegnas 2011 – 2014 RUU Prioritas Tahun 2011. Penggantian UU tentang Perjanjian Internasional ini akan menjadi landasan hukum yang kuat dan menjadi pedoman dalam pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional sehingga perjanjian internasional benar-benar bermanfaat bagi kesejahteraan rakyat.

(7)

C. Metode Penelitian

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penyusunan Naskah Akademik ini adalah penelitian yuridis normatif. Penelitian yuridis normatif merupakan suatu penelitian kepustakaan yang dilakukan dengan meneliti data sekunder.5 Penelitian dilakukan dengan meneliti ketentuan-ketentuan mengenai perjanjian internasional yang ada di dalam peraturan perundang-undangan, konvensi/perjanjian internasional, dan literatur terkait. Sedangkan sifat penelitian yuridis normatif ini adalah penelitian deskriptif, yaitu penelitian untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya6.

2. Teknik Pengumpulan Data dan Sumber Data

Penelitian yuridis normatif ini menggunakan data sekunder dan data primer. Data sekunder yang dimaksud terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, maupun bahan hukum tersier. Bahan hukum primer adalah bahan yang isinya mengikat karena dikeluarkan oleh lembaga/pihak yang berwenang, meliputi antara lain, peraturan perundang-undangan, perjanjian, dan konvensi. Bahan hukum sekunder adalah bahan yang isinya membahas bahan hukum primer, seperti: buku-buku, artikel, makalah, laporan penelitian, dan berbagai karya tulis ilmiah lainnya.7 Data sekunder tersebut diperoleh dari perpustakaan, internet, surat kabar, seminar, dan sebagainya. Bahan hukum tersier adalah bahan-bahan yang bersifat menunjang bahan hukum primer dan sekunder, seperti: kamus, buku pegangan, almanak dan sebagainya, yang semuanya dapat disebut bahan referensi atau bahan acuan atau rujukan8.

5 Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983),

hal. 24.

6 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta UI Press, 1984, hal. 10. 7 Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, Jakarta:Rineka Cipta,1998, hal.103-104. 8

(8)

Untuk mendukung data sekunder diperlukan data primer yang diperoleh melalui wawancara secara mendalam dengan berpedoman pada daftar pertanyaan yang telah dipersiapkan terlebih dahulu. Adapun para pihak yang diwawancara adalah para pejabat/pegawai Pemda Provinsi Kalimantan Barat dan Provinsi Aceh, anggota DPRD Kalimantan Barat dan Aceh, dan para akademisi. Disamping itu, data juga diperoleh dengan mengadakan diskusi internal dengan pejabat/pegawai Kementerian Luar Negeri, akademisi, dan praktisi. 3. Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan mulai bulan Juli 2011, sedangkan penelitian ke daerah dilakukan pada tanggal 9 sampai dengan 12 Agustus 2011. Adapun daerah yang menjadi lokasi penelitian adalah Provinsi Kalimantan Barat dan Provinsi Aceh. Pertimbangan pemilihan Provinsi Kalimantan Barat didasarkan antara lain pada karakteristik wilayah Provinsi ini sebagai daerah yang berbatasan langsung dengan negara tetangga Malaysia, yang memiliki kesepakatan Sosek Malindo atau Sosial Ekonomi Malaysia Indonesia, dan didasarkan pula pada adanya kesepakatan kerjasama Memorandum of Understanding (MoU)

Sister City antara pemerintah Kota Singkawang dengan Pemerintah

Yang Mei Taiwan

Sedangkan pertimbangan pemilihan Provinsi Aceh sebagai lokasi penelitian adalah adanya MoU antara Pemerintah RI dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) atau perjanjian perdamaian yang ditandatangani di Helsinki. Selain itu, terjadinya bencana tsunami yang menarik perhatian berbagai donor internasional.

(9)

4. Teknik Penyajian dan Analisis Data

Hasil penelitian dijabarkan secara deskriptif analitis dan preskriptif. Analitis deskriptif, yaitu mendeskripsikan fakta-fakta yang ada, kemudian dilakukan analisis berdasarkan hukum positif maupun teori-teori yang ada. Analisis deskriptif tertuju pada pemecahan masalah yang ada. Pelaksanaan metode deskriptif ini tidak terbatas hanya sampai pada tahap pengumpulan dan penyusunan data, tetapi meliputi analisis dan interpretasi tentang arti data itu sendiri.9 Sedangkan sifat preskriptif, bahwa penelitian mengemukakan rumusan regulasi yang diharapkan untuk menjadi alternatif penyempurnaan norma-norma serta sistem pengaturan mengenai perjanjian internasional di masa yang akan datang.

9

Soejono dan Abdurrahman, Metode Penelitian Hukum, cetakan kedua (Jakarta: Rineka Cipta, 2003), hal. 22.

(10)

BAB II

KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTIK EMPIRIS A. TEORI PERJANJIAN INTERNASIONAL

Dari awal berkembangnya hukum internasional, hukum perjanjian internasional pada mulanya tumbuh dan berkembang dalam bentuk hukum kebiasaan internasional (international customary law) yang kemudian oleh masyarakat internasional diformulasikan dalam bentuk hukum tertulis yang berupa konvensi-konvensi atau perjanjian internasional. Hukum kebiasaan internasional pada dasarnya terbentuk oleh praktik yang sama yang dilakukan secara terus menerus tanpa adanya subyek hukum internasional yang menentang, dan diikuti oleh banyak negara. Dengan cara demikian maka hukum kebiasaan internasional tersebut terbentuk semakin kuat dan berlaku secara universal karena diikuti oleh banyak negara di dunia.

Konvensi atau perjanjian internasional merupakan salah satu sumber penting dalam hukum internasional. Pasal 38 Ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional menentukan bahwa dalam mengadili suatu perkara Mahkamah sebaiknya menggunakan sumber hukum internasional10:

1. Perjanjian Internasional (International Conventions); 2. Kebiasaan Internasional (International Customs);

3. Prinsip-Prinsip Umum Hukum Internasional (general principles of

international law); dan

4. Keputusan Pengadilan dan pendapat para ahli yang telah diakui kepakarannya (Judicial teachings of the most high qualified publicist).

Konvensi-konvensi tersebut dapat berbentuk bilateral bila yang menjadi pihak hanya dua negara, dan berbentuk multilateral bila yang menjadi pihak lebih dari dua negara. Dalam praktiknya terdapat juga

10 Lihat, Mochtar Kusumaatmadja & Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional,

Alumni, Bandung, Edisi Kedua, 2003 hlm 113-116 ; Urutan penyebutan dalam Pasal 38 tersebut tidak menggambarkan urutan pentingnya mana yang paling utama atau terpenting karena tidak ditegaskan di dalam ketentuan Pasal 38 tersebut. Pada praktiknya antara sumber hukum yang satu dengan yang lain saling mengisi. Yang dapat diklasifikasikan adalah bahwa sumber hukum yang pertama sampai dengan ketiga adalah sumber hukum utama, sedangkan sumber hukum yang keempat merupakan sumber hukum tambahan (subsidiary means).

(11)

konvensi atau perjanjian internasional yang disebut regional bila yang menjadi pihak hanya negara-negara dari suatu kawasan misalnya ASEAN. Konvensi multilateral dapat bersifat universal bila menyangkut seluruh negara di dunia. Melalui perjanjian internasional tersebut, tiap subyek hukum internasional menggariskan dasar kerjasama mereka dan mengatur berbagai kegiatan yang akan disepakati. Dengan demikian perjanjian internasional merupakan instrumen yuridis bagi masyarakat internasional untuk menampung kehendak dan persetujuan untuk mencapai tujuan bersama. Pembuatan perjanjian internasional merupakan perbuatan hukum dari subyek hukum internasional dan mengikat para pihak dalam perjanjian tersebut.

Berdasarkan praktik-praktik dari hukum kebiasaan internasional, masyarakat internasional berhasil mengkodifikasikan kaidah-kaidah perjanjian internasional ke dalam dua konvensi yaitu :

 Konvensi Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian Internasional yang Mengatur Perjanjian-Perjanjian Internasional Antar Negara dan Negara.

 Konvensi Wina 1986 tentang Hukum Perjanjian Internasional Antara Organisasi Internasional dengan Organisasi Internasional yang Mengatur Tentang Perjanjian Internasional, Antara Organisasi Internasional dan Negara, Ataupun Perjanjian Internasional Antara Sesama Organisasi Internasional.

Pada dasarnya kedua konvensi tersebut mengatur tentang proses atau tahap-tahap dalam pembuatan sampai dengan pengakhiran perjanjian internasional yang secara garis besarnya dimulai dari tahap perundingan (negotiation) untuk merumuskan naskah perjanjian, penerimaan naskah perjanjian (adoption of the text), pengotentikan naskah perjanian (authentication of the text), persetujuan untuk terikat atau pengikatan diri pada perjanjian (consent to be bound by treaty) yang dapat disertai dengan pengajuan pensyaratan (reservation), mulai berlakunya perjanjian (entry into

force of a treaty), dan lain-lain. Indonesia sampai saat ini belum menjadi

negara pihak pada kedua Konvensi Wina tersebut, tetapi ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalamnya selalu dijadikan dasar dan pedoman dalam membuat perjanjian internasional dengan negara lain.

(12)

1. Teori Monisme dan Dualisme

Perjanjian kerjasama internasional yang dibuat antara negara dengan negara lainnya atau dengan organisasi internasional merupakan perjanjian internasional dalam pengertian hukum internasional publik11.

Bagaimana perjanjian internasional sebagai norma hukum internasional diterapkan dalam hukum nasional persoalannya terletak pada permasalahan bagaimana hubungan hukum internasional dengan hukum nasional. Dalam hukum internasional, ada dua macam teori yang mencoba untuk menerangkan hubungan hukum internasional dengan hukum nasional, yaitu teori dualisme dan teori monisme12. Menurut aliran

monisme, hukum internasional dan hukum nasional merupakan dua bagian dari satu kesatuan yang lebih besar yaitu hukum yang mengatur kehidupan manusia. Akibat pandangan monisme ini ialah bahwa antara dua perangkat ketentuan hukum ini mungkin ada hubungan hirarki. Karena adanya hubungan hirarki ini, maka timbul aliran monisme dengan primat hukum internasional dan monisme dengan primat hukum nasional.

Menurut monisme dengan primat hukum nasional, berlakunya hukum internasional karena negara atau hukum negara itu menyetujui berlakunya hukum internasional, dan karena hukum internasional itu tidak lain merupakan kelanjutan hukum nasional. Di lain pihak, menurut monisme dengan primat hukum internasional, hukum nasional mengatur sesuatu karena diperbolehkan oleh hukum internasional. Menurut aliran ini hukum nasional membuat peraturan pelaksanaan, dan pada hakekatnya tidak terjadi penciptaan hukum tersendiri oleh hukum nasional. Pembuatan hukum nasional dianggap sebagai penerusan dan penciptaan hukum internasional.

Sebaliknya, menurut aliran dualisme, hukum internasional dan hukum nasional itu sama sekali terlepas satu sama lainnya karena

11 Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, Buku-I Bagian Umum,

Bandung: Binacipta, 1977, hal. 42-43.

12 Sri Setianingsi Suwardi, Masalah-masalah Hukum Perjanjian Pinjaman Internasional,

Makalah pada Fakultas Pasca Sarjana Bidang Hukum Internasional UNPAJ, 1990, hal. 5.

(13)

masingnya mempunyai sifat yang berlainan. Menurut aliran dualisme ini, daya pengikat hukum internasional bersumber pada kemauan negara, maka hukum internasional dan hukum nasional merupakan dua sistem atau perangkat hukum yang terpisah satu dari yang lainnya. Dengan perkataan lain, dalam teori dualisme tidak ada tempat bagi persoalan hirarki antara hukum nasional dan hukum internasional karena pada hakekatnya kedua perangkat hukum ini tidak saja berlainan dan tidak tergantung satu sama lainnya tapi juga lepas satu dari yang lainnya. Dengan demikian, hukum internasional hanya berlaku setelah ditransformasikan dan menjadi hukum nasional13.

Dalam hal perjanjian internasional yang dilakukan antara subyek hukum internasional publik yakni antara pemerintah Republik Indonesia dengan negara lainnya, maka hukum yang dipakai adalah hukum internasional publik, maka asas-asas hukum perjanjian internasional publik berlaku pada perjanjian ini. Ini berarti bahwa asas-asas hukum perjanjian internasional baik yang tertuang dalam Konvensi Wina tahun 1986 berlaku untuk perjanjian internasional tersebut.

2. Teori Delegasi

Menurut teori delegasi, aturan-aturan konstitusional Hukum Internasional mendelegasikan kepada masing-masing konstitusi Negara, hak untuk menentukan: kapan ketentuan Perjanjian Internasional berlaku dalam Hukum Nasional dan cara bagaimana ketentuan Perjanjian Internasional dijadikan Hukum Nasional. Indonesia cenderung menggunakan teori delegasi. Pengesahan yang dilakukan menurut Hukum Nasional Indonesia, merupakan bagian prosedur ratifikasi dalam ranah Hukum Nasional untuk memperoleh instrumen ratifikasi, yang diperlukan prosedur ratifikasi dalam ranah Hukum Internasional. Ratifikasi merupakan bagian prosedur pembentukan Hukum Internasional yang dituangkan dalam perjanjian yang bersangkutan. Keterikatan Indonesia pada Perjanjian Internasional yang bersangkutan, dilandaskan pada

13 Hans Kelsen, General Theory Of Law and State, Translated by Anders Wedberg, New

(14)

penyampaian instrumen ratifikasi dalam ranah Hukum Internasional. Apabila Indonesia sudah menjadi Negara pihak, Indonesia wajib melaksanakannya dengan itikad baik dan melakukan penyesuaian perundang-undangannya dengan Perjanjian Internasional yang sudah berlaku secara definitif.14

3. Konsep one door policy

Dalam pelaksanaan perjanjian kerjasama internasional Negara merupkan entitas abstrak. Negara terbagi dalam berbagai kekuasaan yang memiliki tugas dan tanggung jawab yang kesemuanya diatur dalam konstitusi. Tidak bisa semua institusi negara melakukan hubungan dengan subyek hukum internasional lainnya. Dalam kebiasaan yang diakui oleh masyarakat internasional, negara yang memiliki Dalam suatu negara ditentukan dalam konstitusi lembaga mana yang dapat melakukan hubungan luar negeri atas nama negara tersebut. Ini penting agar hanya ada satu pintu (one door policy) dan kebijakan bila pihak lain ingin berhubungan dengan negara tersebut. Berdasarkan konsep yang dikenal dalam hukum internasional, pemerintah pusat merupakan pemegang kedaulatan suatu negara. Subyek hukum internasional lainnya akan berhubungan dengan pemerintah pusat bila hendak melakukan hubungan luar negeri. Hukum internasional tidak mengatur lembaga mana yang dianggap sebagai pemerintah pusat. Ini diserahkan kepada masing-masing konstitusi dan peraturan perundang-undangan suatu negara.15

Dalam konstitusi Indonesia yakni Pasl 11 ayat (1) UUD 1945 menyatakan: “Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan Negara lain”. Hal tersebut ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional pada Pasal 4 ayat (1) menyebutkan:

14 Mochtar Kusumaatmadja, “Pengantar Hukum Internasional: Buku I- Bagian Umum”, Bina

Cipta, Bandung, 1990, hlm. 65

15 Hikmahanto Juwana, UU Hbungan Luar Negeri,:Konteks, Konsep pemikiran dan

pelaksanaannya selama ini, artikel Hukum pada Institut for legal and zonstitutional

(15)

”Pemerintah Republik Indonesia membuat perjanjian internasional dengan satu negara atau lebih, organisasi internasional, atau subjek hukum internasional lain berdasarkan kesepakatan; dan para pihak berkewajiban untuk melaksanakan perjanjian tersebut dengan iktikad baik”. Lebih lanjut terkait dengan peran pemerintah daerah, pada Pasal 5 ayat (1) UU tentang Perjanjian Internasional menyebutkan: ”Lembaga negara dan lembaga pemerintah, baik departemen maupun nondepartemen, di tingkat pusat dan daerah, yang mempunyai rencana untuk membuat perjanjian internasional, terlebih dahulu melakukan konsultasi dan koordinasi mengenai rencana tersebut dengan Menteri”16.

B. PRAKTIK EMPIRIS

1. Tinjauan Terhadap Defenisi Perjanjian Internasional

Mengenai terminologi atau istilah Perjanjian Internasional yang dipakai oleh masyarakat internasional sampai saat ini dapat berupa berbagai macam diantaranya traktat (treaties), konvensi (convention), persetujuan (agreement), piagam (charter), protokol (protocol), nota kesepahaman (memorandum of understanding/MoU), dan sebagainya. Terminologi-terminologi tesebut umumnya tidak mengurangi hak dan kewajiban yang terkandung di dalamnya. Suatu terminologi perjanjian internasional digunakan berdasarkan permasalahan yang diatur dan dengan memperhatikan keinginan para pihak dalam perjanjian tersebut. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Boer Mauna sebagai berikut:

“Penggunaan judul tertentu pada suatu perjanjian internasional juga dilakukan untuk menunjukkan bahwa materi perjanjian tersebut memiliki bobot kerjasama yang berbeda tingkatannya dengan perjanjian internasional lainnya, atau untuk menunjukkan hubungan antara perjanjian internasional tersebut

16 Lihat Pasal 4 dan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian

(16)

dengan dengan perjanjian-perjanjian internasional lainnya yang telah dibuat sebelumnya.”17

Defenisi perjanjian internasional publik harus dibedakan dengan perjanjian internasional yang bersifat privat atau dengan kontrak/perjanjian biasa. Pemahaman publik tentang apa itu perjanjian internasional juga sangat minim dan acapkali melihatnya dari segi popular yaitu perjanjian yang bersifat lintas batas negara/transnasional. Sebagai contoh, MOU Helsinki antara Pemerintah RI-GAM 2005 akan dimengerti sebagai Perjanjian Internasional, MOU Vietnam untuk jual beli beras dan MOU RI-Microsoft 2007 juga dipahami sebagai suatu perjanjian internasional. Distorsi publik ini pulalah yang mendorong lahirnya klaim bahwa Production Sharing Contracts (PSC) di bidang minyak dan gas oleh Pemerintah RI adalah ”perjanjian internasional” sehingga memicu adanya judicial review terhadap Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi ke Mahkamah Konstitusi pada tahun 2007. Kasus judicial review ini merupakan kasus yang pertama dalam jurisprudensi Indonesia yang mengangkat permasalahan teoritis tentang hukum perjanjian internasional.

Keputusan Mahkamah Konstitusi terhadap judicial review undang-undang Nomor 22 tahun 2001 tentang minyak dan gas bumi memberikan penegasan dan batasan dan perbedaan yang jelas dalam pembedaan tersebut. Dalam kasus ini yang menjadi permasalahan adalah Pasal 11 ayat (2) yang berketentuan : “setiap kontrak kerjasama yang sudah ditandatangani harus segera diberitahukan secara tertulis kepada DPR RI” dianggap bertentangan dengan Pasal 11 ayat (2) UUD 1945 yang menentukan “Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan Negara dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang harus dengan persetujuan DPR”.

17 DR. Boer Mauna, Hukum Internasional Pengertian Peranan dan Fungsi Dalam Era

(17)

Di dalam putusannya Mahkamah Konstitusi menyatakan :

“Meskipun bunyi pasal 11 ayat (2) UUD 1945 menyebut, „perjanjian internasional lainnya perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akbiat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan Negara dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang harus dengan persetujuan DPR”. Kami dapat menyetujui pendapat pemerintah dan ahli yang diajukan bahwa perjanjian internasionaln yang dimaksud adalah perjanjian internasional sebagaimana diartikan dalam pasal 1 dan 2 Konvensi WIna tahun 1969 tentang Hukum perjanjian (Law of treaties) dan Pasal 2 ayat (1) huruf a Konvensi WIna tahun 1986 tentang perjanjian Internasional. Oleh karenanya Kontrak Kerjasama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) undang-undang migas tidak termasuk perjanjian internasional yang merupakan ruang lingkup pasal 11 UUD 1945…”.

Masalah definisi perjanjian internasional memang salah satu issue kontroversi dalam literatur hukum perjanjian internasional. Perdebatan sengit bahkan berlangsung pula dalam perumusan definisi ini pada Konvensi Wina 1969 tentang Perjanjian Internasional. Menurut Konvensi ini, perjanjian internasional adalah:

“An International Agreement concluded between States and International Organizations in written form and governed by International Law, whether embodied in a single instrument or in two or more related instruments and whatever its particular designation”

Selanjutnya, definisi ini diadopsi oleh Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional yang merumuskan sebagai setiap perjanjian di bidang hukum publik, yang diatur oleh hukum internasional, dan dibuat oleh Pemerintah dengan Negara, organisasi internasional, atau subjek hukum internasional lain Dari pengertian hukum ini, maka terdapat beberapa kriteria dasar yang

(18)

harus dipenuhi oleh suatu dokumen untuk dapat ditetapkan sebagai suatu perjanjian internasional menurut Konvensi Wina 1969 dan Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, yaitu:

 an International Agreement;

 by Subject of International Law;

 in Written Form;

 “Governed by International Law” (diatur dalam hukum internasional serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik);

 Whatever Form.

Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional sendiri telah menekankan bahwa perjanjian internasional yang menjadi lingkup Undang-Undang ini adalah hanya perjanjian internasional yang dibuat oleh Pemerintah Indonesia yang diatur dalam hukum internasional serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik dan bukan di bidang hukum perdata. Namun praktik Indonesia tentang pembuatan perjanjian internasional baik sebelum dan sesudah lahirnya Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tidak luput dari kerancuan ini. Sebelum lahirnya Undang-Undang ini, semua dokumen sepanjang bersifat lintas negara, sepanjang yang menjadi pihak adalah Pemerintah RI, diperlakukan sebagai perjanjian internasional dan disimpan dalam ”Treaty Room” Departemen Luar Negeri. Perjanjian yang dibuat Pemerintah RI dengan NGO juga dianggap sebagai perjanjian internasional. Agreement yang dibuat oleh Pertamina and PT Caltex, PT Stanvac and PT Shell juga pernah dianggap sebagai perjanjian internasional dan bahkan diratifikasi melalui Undang-Undang No. 1 Tahun 1963.

Setelah lahirnya Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, praktik di Indonesia telah menunjukkan konsistensi tentang perjanjian namun masih terdapat kesulitan tentang pembedaan yang berkaitan dengan “Governed by

(19)

International Law”, sehingga semua dokumen sepanjang dibuat oleh Pemerintah RI dengan Subjek Hukum Internasional masih dianggap sebagai perjanjian internasional sekalipun perjanjian itu tunduk pada hukum nasional seperti “loan agreements”.

Dilihat dari kewenangannya, negara sebagai institusi publik, dapat menjalankan kewenangannya sebagai institusi perdata dengan melakukan suatu perdagangan internasional dengan negara lain. Perjanjian suatu negara dengan subyek hukum lain dikategorikan sebagai hukum perdata internasional apabila perjanjian tersebut tunduk pada hukum nasional salah satu pihak dalam perjanjian. Sebagai contoh, perjanjian pembelian tanah atau pembangunan gedung atau transaksi lainnya yang dibuat mengacu pada hukum setempat walaupun dilakukan oleh negara-negara dan organisasi-organisasi internasional bukan merupakan Perjanjian Internasional.18

Pembedaan secara tegas ini sangat penting dan diperlukan apabila perjanjian yang bersifat ekonomi dan perdagangan dimasukkan ke dalam kategori perjanjian internasional yang memerlukan pengesahan/ratifikasi Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.

Meskipun dapat dikatakan bahwa perjanjian internasional yang berkaitan dengan ekonomi dan perdagangan masuk ke dalam kategori hukum perdata internasional, namun tidak dapat dipungkiri bahwa akibat yang dapat ditimbulkan dari suatu perjanjian internasional di bidang ekonomi dan perdagangan juga dapat berpengaruh strategis bagi masyarakat atau kepentingan bangsa, sehingga pada dasarnya juga perlu dilakukan pengesahan dengan undang-undang. Contoh, dengan keikutsertaan Indonesia di dalam ASEAN Free Trade Area (AFTA) maka rakyat dihadapkan kepada perdagangan bebas dan dipaksa untuk bersaing dengan para pelaku ekonomi dari luar negeri di pasar domestik tanpa adanya perlindungan dari pemerintah. Hal ini tentu akan sangat berpengaruh dan memberikan dampak yang sangat berat bagi masyarakat. Sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000

(20)

tentang Perjanjian Internasional, perjanjian internasional di bidang ekonomi dan perdagangan tidak termasuk di dalam kategori yang harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Hal ini berakibat perjanjian perdagangan yang dilakukan Indonesia dengan negara lain dianggap berada di dalam ranah eksekutif yang pengesahannya cukup melalui Keputusan Presiden.

Oleh karena itu, diperlukan adanya perubahan terhadap definisi Perjanjian Internasional dalam revisi Undang-Undang No.24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. Terkait dengan definisi Perjanjian Internasional tersebut, dari hasil pengumpulan data yang dilakukan di Provinsi Aceh dan Provinsi Kalimantan Barat menegaskan, Pengertian PI hendaknya mengacu ke Konvensi Wina, baik Konvensi Wina yang mengatur PI antar negara maupun Konvensi Wina yang mengatur PI dengan organisasi internasional. Berpijak pada Konvensi Wina tersebut maka perjanjian antara RI dengan Aceh tidak dapat disebut PI. Begitupula perjanjian dengan korporasi internasional (international corporation) juga bukan dalam lingkup hukum internasional (bukan PI).

2. Surat Kuasa (Full Powers).

Full Power adalah kuasa penuh atau on behalf merupakan salah satu kaidah hukum internasional yang menganggap tidak semua warga negara dapat mewakili suatu Negara dalam pembuatan hingga pengesahan perjanjian, karena hanya terdapat beberapa orang dengan jabatan (amtenar) kenegaraanya yang mendapatkan kuasa yang utuh untuk mewakili negaranya. Full power sebagaimana UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL Surat Kuasa (Full Powers) adalah surat yang dikeluarkan oleh Presiden atau Menteri yang memberikan kuasa kepada satu atau beberapa orang yang mewakili Pemerintah Republik Indonesia untuk menandatangani atau menerima naskah perjanjian, menyatakan persetujuan negara untuk

(21)

mengikatkan diri pada perjanjian, dan/atau menyelesaikan hal-hal lain yang diperlukan dalam pembuatan perjanjian internasional.

Kusa Penuh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 Konferensi

Wina 1969:

Seseorang dianggap mewakili sesuatu Negara dengan maksud untuk mengesahkan atau mengotentifikasi naskah dari suatu perjanjian atau dengan maksud untuk menyatakan kesepakatan dari suatu Negara untuk mengikatkan diri pada suatu perjanjian jika: Ia memberikan surat kuasa penuh.

Selanjutnya Pasal 8 Konfrensi Wina 1969, pada intinya menyatakan mereka yang mendapatkan kuasa penuh untuk mewakili Negara adalah :

1) Kepala-kepala Negara, Kepala-kepala pemerintahan dan para mentri luar negeri, dengan maksud untuk melaksanakan semua tindakan yang berhubungan dengan pembuatan perjanjian Internasional yakni :

2) Kepala-kepala perwakilan diplomatic dengan maksud untuk mengesahkan naskah suatu perjanjian antara Negara yang memberikan akreditasi dan Negara dimana mereka diakreditasikan;

3) Wakil-wakil yang diakreditasikan oleh Negara-negara pada suatu konferensi internasional atau organisasi internasional, atau salah satu badannya, dengan maksud untuk mengesahkan naskah dari suatu perjanjian di konfrensi, organisasi atau badan tersebut.

Terkait dengan pemberian surat kuasa tersebut, dalam Konvensi Wina tidak diatur teknis mengenai jangka waktu Surat Kuasa, namun dari hasil pengumpulan data yang dilakukan yakni hasil wawancara dengan Dosen Universitas Udayana dan Universitas Syech Kuala menyatakan, tidak ada salahnya Indonesia mengatur dalam RUU. Persoalan jangka waktu sebuah surat kuasa atau surat kepercayaan, adalah hal teknis. Jangka waktu menyangkut dua hal, yaitu (1) dalam hubungannya dengan pemerintah daerah yang akan melakukan kerjasama dengan pemerintah daerah dengan negara

(22)

lain, harus ada ketentuan yang mengikat menteri luar negeri untuk mengeluarkan suarat kuasa bagi seorang kepala daerah setelah kepala daerah yang bersangkutan mengajukan permohonan. (berapa lama surat kuasa itu dapat digunakan, apakah dapat digunakan berulang-ulang. Kedua hal ini harus diatur dalam RUU yang baru. Sebagai catatan bahwa kuasa jabatan sebagaimana dipangku oleh seorang menteri keuangan misalnya, sangat berbeda pengertiannya dengan kewenangan yang diterima oleh menteri keuangan melalui sebuah surat kuasa untuk melakukan suatu perjanjian karena sifat berlakunya dengan surat kuasa ada tenggang waktunya, yakni selesainya sebuah perjanjian.

3. Peran Pemerintah Daerah

Terkait dengan peran daerah dalam pelaksanaan perjanjian internasional khususnya dalam pembuatan perjanjian Internasional, dalam Bab II Pasal 5 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang

Perjanjian Internasional menyebutkan : ”Lembaga negara dan lembaga pemerintah, baik departemen

maupun nondepartemen, di tingkat pusat dan daerah, yang mempunyai rencana untuk membuat perjanjian internasional, ter1ebih dahulu melakukan konsultasi dan koordinasi mengenai rencana tersebut dengan Menteri“.

Dengan demikian dari ketentuan yang terdapat dalam Pasal 5 ayat (1) tersebut, menyimpulkan bahwa daerah yang mempunyai rencana untuk membuat perjanjian internasional, terlebih dahulu melakukan konsultasi dan koordinasi mengenai rencana tersebut dengan menteri. Dalam pembuatan perjanjian internasional yang dilakukan oleh pemerintah, kewenangan atau yang menjadi pihak dalam perundingan rancangan suatu perjanjian tersebut sesuai dengan bunyi Pasal 5 ayat (4) adalah Menteri atau pejabat lain sesuai dengan materi perjanjian dan lingkup kewenangan masing-masing.

Selain itu, daei aspek hukum internaional, Subyek Hukum Internasional adalah Negara, dalam ha1 ini perjanjian internasional,

(23)

Pemerintah Daerah meskipun dapat melaksanakan perjanjian atau kerjasama internasional, tetapi kedudukannya tidak bisa dipandang sebagaimana layaknya subjek hukum internasional. Tetapi lebih merupakan perpanjangan tangan kekuasaan pemerintah pusat. Dalam konteks hukum internasional, beban pertanggungjawaban perjanjian internasional tetap berada di Pemerintah Pusat.

Terkait dengan keinginan daerah untuk dilibatkan dalam pembuatan PI, dari hasil pengumpulan data yang dilakukan di Universitas .... Provinsi Kalimantan Barat dan Universitas Syech Kuala Provinsi Aceh, menyatakan, perlu ada kehati-hatian jika hendak mengakomodir keinginan daerah tersebut dalam UU PI karena daerah bukan subyek hukum yang memiliki kewenangan untuk membuat PI (treaty making power). Daerah tidak bisa dilibatkan secara langsung dalam pembuatan PI. Namun peran daerah perlu diatur secara jelas agar tidak terjadi lagi pengalaman kasus yang telah lalu, misal: rencana Kalbar untuk mendatangkan mobil bekas yang dituangkan dalam Perda dimentahkan oleh SK Menteri Perdagangan yang mengakibatkan Perda tidak berlaku. Kasus yang terbaru adalah mengenai tata gula. Meskipun hal tersebut tidak dapat dibenarkan dimana produk legislasi (Perda) dibatalkan oleh eksekutif (SK Menteri Perdagangan), hal tersebut dapat dimaklumi karena merupakan mekanisme kontrol dari pusat kepada daerah.

Dalam pembuatan PI, dunia internasional (negara pihak) akan melihat konstitusi. Berdasarkan konvensi Montivideo yang mengatur hak dan kewajiban negara, jika negara berbentuk negara kesatuan maka yang memiliki kewenangan/kemampuan untuk melakukan hubungan keluar adalah pemerintah pusat. Oleh karena itu, jika daerah hendak membuat PI maka harus melibatkan pemerintah pusat. Berbeda halnya dengan negara yang berbentuk federal, dimana negara bagian ada yang diberi wewenang untuk membuat PI. Untuk itu, ke depan agar tidak ada permasalahan lagi maka dalam kerangka NKRI, perlu ada dialog dengan daerah dalam pembuatan PI agar

(24)

kebutuhan/keinginan daerah dapat terakomodasi. Sehubungan dengan hal tersebut, untuk mengantispasi masalah maka perlu ada ”benang merah” antara UU PI dengan UU terkait, diantaranya UU Hubungan Luar Negeri, UU Perubahan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dan sebagainya. Jika tidak ada benang merah maka apa pun yang dibuat dalam PI maka akan timbul masalah di kemudian hari.

4. Pengesahan Perjanjian Internasional a. Pasal 11 UUD 1945

Dalam UUD 1945 sebelum dilakukan amandemen dapat dijumpai suatu ketentuan pokok yang berhubungan dengan pembuatan perjanjian internasionkekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan

guna menegakkan hukum dan keadilanal. Ketentuan yang

dimaksud dituangkan dalam pasal 11 UUD 1945 yang berbunyi : “Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain”.

Selanjutnya pada tanggal 22 Agustus 1960 telah dikeluarkan Surat Presiden kepada Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Nomor 2826/HK/60 yang isinya berbunyi sebagai berikut :17)

1. “ ………

2. Menurut pendapat Pemerintah perkataan “perjanjian” di dalam pasal 11 ini tidak mengandung arti segala perjanjian dengan Negara asing, tetapi hanya perjanjian-perjanjian terpenting saja, yaitu yang mengandung soal-soal politik dan yang lazimnya dikehendaki berbentuk traktat (treaty). Jika tidak diartikan demikian, maka Pemerintah tidak akan mempunyai cukup keleluasaan bergerak untuk menjalankan hubungan internasional

17)

Syahmin AK, Hukum Perjanjian Internasional (Menurut Konvensi Wina 1969), Penerbit CV. Armico, Bandung, Edisi ke-2, Agustus 1988, Lampiran II, Hal.269-271.

(25)

dengan sewajarnya, karena tiap-tiap perjanjian walaupun mengenai soal-soal yang kecil harus diperoleh persetujuan terlebih dahulu dari Dewan Perwakilan Rakyat, sedangkan hubungan internasional dewasa ini demikian intensifnya, sehingga menghendaki tindakan-tindakan yang cepat dari Pemerintah yang membutuhkan prosedur konstitusional yang lancar.

3. Untuk menjamin kelancaran dalam pelaksanaan kerja sama antara Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana tertera dalam pasal 11 Undang-Undang Dasar, Pemerintah akan menyampaikan pada Dewan Perwakilan Rakyat untuk memperoleh persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat, hanya perjanjian-perjanjian yang terpenting saja, (treaties) yang diperincikan dibawah, sedangkan perjanjian yang lain (agreements) akan disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat hanya untuk diketahui.

4. Sesuai dengan pertimbangan-pertimbangan yang tersebut di atas Pemerintah berpendapat bahwa perjanjian-perjanjian yang harus disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendapat persetujuan sebelumnya disahkan oleh Presiden ialah perjanjian-perjanjian yang lazimnya berbentuk treaty yang mengandung materi sebagai berikut :

a. Soal-soal politik atau soal-soal yang dapat mempengaruhi haluan politik luar negeri Negara seperti halnya dengan perjanjian-perjanjian persahabatan, perjanjian-perjanjian persekutuan (alliansi), perjanjian-perjanjian tentang perobahan wilayah atau penetapan tapal batas.

b. Ikatan-ikatan yang sedemikian rupa sifatnya sehingga mempengaruhi haluan politik luar negeri Negara; dapat terjadi bahwa ikatan-ikatan sedemikian dicantumkan di dalam perjanjian kerja sama ekonomi dan teknis atau pinjaman uang. c. Soal-soal yang menurut Undang-Undang Dasar atau menurut

(26)

Undang-undang, seperti soal-soal kewarganegaraan dan soal-soal kehakiman.

Perjanjian-perjanjian yang mengandung materi yang lain yang lazimnya berbentuk agreement akan disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat hanya untuk diketahui setelah disahkan oleh Presiden.

Dari Surat Presiden tersebut, keikutsertaan DPR seperti dimaksudkan Pasal 11 UUD 1945, mencakup :

a. Soal-soal politik atau yang akan mempengaruhi politik luar negeri RI, antara lain :

1) perjanjian persahabatan; 2) perjanjian persekutuan;

3) perjanjian tentang perubahan wilayah; 4) perjanjian kerja sama ekonomi dan teknik; 5) perjanjian pinjaman uang;

b. Soal-soal yang menurut UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan harus diatur oleh Undang-undang.

c. Soal-soal yang menurut Undang-undang diatur dalam bentuk traktat (treaty).18)

Sedangkan perjanjian yang mengandung materi yang lain yang lazimnya berbentuk agreement akan disampaikan kepada Dewan hanya untuk diketahui setelah disahkan oleh Presiden. Didalam praktek pembedaan antara traktat dan persetujuan (agreement) dapat dilihat bahwa traktat memerlukan persetujuan DPR dan bentuk yuridis persetujuan ini dalam bentuk Undang-undang. Sedang dalam hal persetujuan DPR hanya diberitahu dan bentuk yuridis ratifikasi persetujuan dalam bentuk KEPPRES atau kadang-kadang tanpa ratifikasi.19)

18)

Bagir Manan, Kekuasaan Presiden Untuk Membuat, Memasuki dan Mengesahkan Perjanjian/Persetujuan, Majalah Universitas Padjajaran No. 3-4, Jilid XVI, 1998. Hal.14.

19)

Sri Setianingsih Suwardi, Ratifikasi Perjanjian Internasional Dalam Kaitannya Dengan Pasal 11 UUD

1945, Makalah Pada Lokakarya “Perjanjian RI dengan Negara Lain serta Ratifikasi oleh DPR RI”, di DPR, 10

(27)

Ratifikasi sebenarnya adalah suatu metode pengecekan oleh parlemen mengenai apakah utusan negara yang ditugaskan untuk berunding dalam suatu perjanjian internasional tidak keluar dari instruksi. ”Ratifikasi ini dianggap perlu dan penting karena :

 Perjanjian itu umunya menyangkut kepentingan dan mengikat masa depan Negara dalam hal-hal tertentu karena itu harus disahkan oleh kekuasaan Negara tertinggi.

 Untuk menghindari kontroversi antara utusan-utusan yang berunding dengan pemerintah yang mengutus mereka.

 Perlu adanya waktu agar intansi-instansi yang bersangkutan dapat mempelajari naskah yang diterima.

 Pengaruh Parlementer yang mempunyai wewenang untuk mengawasi kegiatan-kegiatan eksekutif.”19

Selain berdasarkan penandatangan dan Ratifikasi, suatu perjanjian internasional juga dapat tunduk dan mengikat bagi suatu negara meskipun bukan sebagai negara peserta dari perjanjian internasional tersebut melalui cara Aksesi. Yang dimaksudkan dengan Aksesi disini adalah pernyataan suatu negara yang bukan peserta dari perjanjian internasional untuk tunduk terhadap ketentuan-ketentuan yang diatur dalam perjanjian internasional tersebut. Umumnya Aksesi ini dilakukan dengan cara mengirimkan piagam Aksesi ke negara penyimpan untuk kemudian memberitahukan kepada negara-negara peserta lainnya.20

Tindakan internasional lain yang lazim dilakukan oleh negara-negara pada saat pembuatan Perjanjian Internasional adalah dengan mengajukan suatu Pensyaratan (Reservation) terhadap klausul dari suatu ketentuan dalam perjanjian internasional. Apabila Pensyaratan tersebut diterima maka negara bersangkutan tidak tunduk terhadap ketentuan dari pasal yang diajukan Pensyaratan tersebut. Umumnya

19 DR. Boer Mauna, Op.Cit, hlm. 118.

20 Mengenai Aksesi Konvensi Wina 1969 mengaturnya di dalam Pasal 15 yang

menyatakan bahwa Aksesi dapat dilakukan apabila : 1.Perjanjian itu sendiri secara jelas menyatakan hal tersebut, 2.Bila terbukti Negara-negara yang ikut berunding menginginkan demikian.

(28)

Pensyaratan ini diajukan pada waktu penandatanganan, Ratifikasi, ataupun pada saat Aksesi. Terhadap Pensyaratan ini pada praktiknya menimbulkan beberapa kesukaran yaitu keseragaman perjanjian menjadi tidak terjaga karena Pensyaratan suatu negara berbeda-beda dengan negara lain. Integritas perjanjian internasional juga menjadi tidak terjamin karena sulit untuk diketahui pasal-pasal mana yang berlaku atau tidak berlaku bagi suatu negara. Namun meskipun demikian, praktik Penysaratan ini masih kerap dilakukan dan diakui oleh masyarakat internasional.21

Mengenai keterikatan atau tunduknya suatu Negara pada perjanjian internasional mengandung dua aspek yaitu aspek eksternal dan internal. Aspek eksternalnya adalah negara itu memikul kewajiban dan menerima hak dari perjanjian internasional tersebut. Sedangkan aspek internalnya adalah perjanjian internasional itu masuk dan berlaku sebagai bagian dari hukum nasionalnya. Yang dimaksud dengan aspek internal disini adalah dampak atau pengaruh dari masuknya perjanjian internasional itu ke dalam hukum nasional terhadap hukum atau peraturan perundang-undangan nasional negara yang bersangkutan yang substansinya ada hubungannya dengan substansi dari perjanjian internasional tersebut. Dalam hal ini dibutuhkan adanya pengharmonisasian atau penyelarasan substansi dari perjanjian internasional tersebut dengan substansi dari hukum atau peraturan perundang-undangan terkait. b. Masalah Ruang Lingkup Pengesahan

Perjanjian tentang Pinjaman/Hibah menurut pasal 10 huruf f Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional harus mendapat pengesahan/diratifikasi dengan Undang-Undang dan menurut penjelasan pasal ini akan diatur secara khusus dalam

21 Mengenai Pensyaratan diatur di dalam Konvensi Wina 1969 di dalam Pasal 19 yaitu :

suatu Negara waktu menandatangani, meratifikasi, menerima, atau aksesi dapat mengajukan Pensyaratan terhadap suatu Perjanjian kecuali; 1.Pensyaratan dilarang oleh perjanjian, 2.Pensyaratan tertentu dimana tidak termasuk Pensyaratan yang dilarang, 3.Pensyaratan tersebut tidak sesuai dengan maksud dan tujuan Perjanjian.

(29)

Undang-Undang tersendiri. Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara menegaskan kembali prinsip perlunya persetujuan DPR ini sehingga dalam pasal 23 ayat (1) menyatakan “Pemerintah Pusat dapat memberikan hibah/pinjaman kepada atau menerima hibah/pinjaman dari pemerintah/lembaga asing dengan persetujuan DPR. Namun perlu ditekankan bahwa persetujuan DPR dalam konteks Undang-Undang APBN tidak identik dengan pengesahan/ratifikasi dengan Undang-Undang (oleh DPR) seperti yang dimaksud oleh Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. Undang APBN bukanlah Undang-Undang untuk mengesahkan/ratifikasi suatu perjanjian internasional melainkan Undang-Undang untuk menyetujui rencana pemerintah untuk melakukan pinjaman. Di lain pihak pengesahan/ratifikasi adalah lembaga hukum ketatanegaraan tentang pengesahan oleh legislatif atas perbuatan hukum pemerintah RI sesuai dengan Hukum Perjanjian Internasional. Dalam hal ini, perbuatan Pemerintah RI yang menandatangani suatu perjanjian disahkan dengan Undang-Undang (dengan demikian melalui persetujuan DPR) sehingga Indonesia secara resmi, berdasarkan Konvensi Wina 1969 tentang Perjanjian Internasional, terikat pada perjanjian itu. Sedangkan pengertian persetujan DPR pada Undang-Undang APBN bukanlah mengesahkan perjanjian yang sudah ditandatangani melainkan menyetujui rencana pemerintah untuk melakukan pinjaman. Persetujuan DPR pada Undang-Undang APBN adalah terhadap perjanjian yang akan dan belum ditandatangani oleh Pemerintah RI sedangkan persetujuan dalam konteks pengesahan/ratifikasi adalah terhadap perjanjian yang sudah ditandatangani. Dengan demikian, secara juridis formal, adanya persetujuan DPR dalam APBN tidak dapat meniadakan persyaratan ratifikasi sebagaimana ditetapkan oleh pasal 10 huruf f Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, kecuali secara tegas dinyatakan dalam UU lainnya.

(30)

Dalam praktiknya telah dikeluarkan Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2006 tentang Tatacara Pengadaan Pinjaman dan/atau Penerimaan Hibah serta Penerusan Pinjaman dan/atau Hibah Luar Negeri yang pada hakekatnya mengatur tentang Naskah Perjanjian Pinjaman atau Hibah Luar Negeri. Menurut pasal 15 Peraturan Pemerintah tersebut, wewenang penandatanganan Perjanjian Pinjaman dan Hibah Luar Negeri berada pada Menteri Keuangan. Pada Peraturan Pemerintah ini tidak terdapat aturan yang mengindikasikan bahwa Naskah Perjanjian Pinjaman atau Hibah harus mendapat persetujuan DPR. Selain itu, Pasal 16 Peraturan Pemerintah tersebut menyatakan bahwa Perjanjian Pinjaman dan Hibah Luar Negeri mulai berlaku sejak ditandatangani, kecuali ditentukan lain dalam naskah/dokumen yang bersangkutan. Pasal ini akan menyulitkan Departemen Luar Negeri jika ternyata perjanjian dimaksud adalah perjanjian internasional publik yang tunduk pada Konvensi Wina 1969 dan 1986 serta Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. Itulah sebabnya, dalam rangka akuntabilitas juridis serta untuk mengamankan kepentingan hukum khususnya kewajiban pengesahan dengan Undang-Undang, maka posisi Departemen Luar Negeri pada setiap perjanjian pinjaman kategori ini selalu mengupayakan klausula tentang dipenuhinya terlebih dahulu prosedur konstitusional/internal sebelum berlakunya perjanjian. Dalam praktik, Departemen Luar Negeri akan menyampaikan notifikasi “telah terpenuhinya prosedur konstitusional/internal” setelah mendapatkan konfirmasi tertulis dari Departemen Keuangan perihal tersebut.

Permasalahan yang dihadapi oleh Pemerintah Indonesia terkait masalah perjanjian pinjaman ini adalah tidak adanya penegasan secara juridis baik dalam Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara maupun Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2006 apakah perjanjian pinjaman ini masuk dalam kategori perjanjian internasional publik atau perjanjian perdata internasional

(31)

biasa. Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional hanya mengatur tentang perjanjian pinjaman per definisi Undang-Undang ini yaitu perjanjian “Governed by International Law”. Untuk perjanjian pinjaman kategori ini, ketentuan Konvensi Wina 1969 dan 1986 serta Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional diberlakukan. Akibat tidak adanya penegasan juridis dari Rancangan Undang-Undang ini, akan terjadi konflik kewenangan antara substansi dan format yaitu Menteri Keuangan yang memiliki kewenangan atas pinjaman luar negeri dengan kewenangan Menteri Luar Negeri yang memiliki wewenang untuk membuat perjanjian internasional itu sendiri. Terlebih lagi, dalam pasal 14 ayat (2) disebutkan bahwa Naskah Perjanjian Pinjaman Luar Negeri ditandatangani oleh Menteri Keuangan sedangkan menurut penjelasan pasal 7 ayat (2) Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, “Dalam hal pinjaman luar negeri, Menteri (dalam hal ini Menteri Luar Negeri) mendelegasikan kepada Menteri Keuangan”.

Terkait dengan pemberian hibah dari hasil pengumpulan data yang dilakukan di Pemda Provinsi Kalimantan Barat dan Provinsi Aceh, menyatakan, sebaiknya dilaksanakan kebijakan one door

policy, yakni dalam penerimaan hibah Pemerintah Daerah harus

melakukan koordinasi dengan pemerintah pusat. Karena implikasi dari pemberian hibah berdampak terhadap politik dan ekonomi suatu daerah. Sebagai contoh pemberian hibah dari suatu Negara terhadap pemerintah Aceh. Dampak dari pemberian hibah tersebut pemerintah Aceh harus melakukan kerjasama (dibidang Sumber Daya Alam misalnya) dengan pihak pemberi hivah tersebut. Oleh karena itu, dalam revisi UU PI masalah hibah tersebut perlu pengaturan tersendiri.

(32)

c. Pengesahan Perjanjian Internasional di Bidang Ekonomi

Indonesia sebagai salah satu Negara yang berkembang dengan cukup pesat di Asia Tenggara, saat ini terlibat dalam sejumlah perjanjian perdagangan bebas, yaitu dengan World Trade Organization (WTO) yang melibatkan 153 negara, ASEAN Free Trade Agreement (AFTA), dan Indonesia-Jepang Economic Partnership Agreement. Sebagai bagian dari ASEAN, Indonesia juga terlibat FTA dengan Korea Selatan, India, China, Australia dan Selandia Baru. Sedangkan dengan Amerika Serikat (AS), diberlakukan sebagai perjanjian perdagangan antar negara, tetapi hanya perjanjian bisnis antara sektor-sektor usaha tertentu di Indonesia dan AS.

Dampak positif FTA telah dipaparkan oleh perwakilan pemerintah. Namun, sejumlah FTA yang melibatkan Indonesia tersebut tidak dapat dikatakan memberikan dampak yang lebih positif bagi Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari sejumlah masalah sosial yang terjadi, diantaranya: masalah pengangguran, masalah kemiskinan, masalah penanganan sektor informal, masalah transformasi sektor pertanian, masalah reforma agraria, atau penanganan terhadap masyarakat adat. Secara statistik, angka pengangguran di Indonesia memang menurun. Tetapi, lapangan kerja lebih banyak disumbangkan oleh sektor informal yang selalu dimarjinalkan. Data BPS menyebutkan pertumbuhan sektor informal terus meningkat sejak 1997 sebagai akibat berkurangnya lapangan pekerjaan di sektor formal. Sektor informal ini ibaratnya spons cuci yang menyerap sisa-sisa kotoran. Ia akan menyerap tenaga kerja yang terlempar dari piring-piring sektor formal.

Sektor informal di kota-kota besar juga menjadi penyerap bagi mereka yang terlempar dari sektor pertanian yang sekarang dibanjiri oleh produk impor. BPS mencatat, selisih ongkos produksi dengan pendapatan petani dari tahun ke tahun selalu menurun. Akibatnya, semakin sedikit penduduk yang mau melestarikan pertanian dan terjadilah urbanisasi yang juga menimbulkan masalah sosial

(33)

lanjutan. BPS menyebutkan bahwa sampai Februari 2011 sektor pertanian mengalami penurunan jumlah pekerja sebesar 0,84% dibandingkan tahun sebelumnya.

Berdasarkan data dan alasan diatas, maka perjanjian internasional di bidang ekonomi, khususnya terkait dengan perdagangan bebas harus diratifikasi dalam pengesahannya.

Ada tiga hal utama mengapa perjanjian internasional di bidang perdagangan bebas harus diratifikasi, atau disyahkan melalui Undang Undang, pertama ; perjanjian perdagangan bebas internasional memiliki dampak penting dan luas. Kedua, penandatanganan perjanjian perdagangan bebas menuntut konsekuensi perubahan berbagai peraturan perundang-undangan lainnya di dalam negeri. Ketiga, perjanjian perdagangan bebas umumnya mengikat (legally binding), yang pelanggarannya dapat dikenakan denda atau sangsi secara internasional.

Selama ini awam mengenal perdagangan bebas sebagai perjanjian perdagangan semata, atau hanya semata-mata urusan jual beli antar Negara. Perdagangan bebas tidaklah demikian. Perdagangan bebas adalah suatu rezim yang mengatur tidak hanya perdagangan barang, akan tetapi investasi dan jasa-jasa. Rezim perdagangan bebas mengatur seluruh aspek dalam ekonomi.

Melalui WTO yang merupakan suatu organisasi internasional tentang perdagangan bebas, kita temukan ruang lingkup perjanjian perdagangan bebas. Perjanjian WTO mencakup perjanjian sektor pertanian, perdagangan barang, jasa dan kekayaan intelektual. Dasar seluruh kebijakan WTO adalah prinsip-prinsip liberalisasi, termasuk komitmen masing-masing negara untuk menurunkan dan menghilangkan tarif bea masuk dan hambatan perdagangan lainnya.

Pemerintah Indonesia telah meratifikasi pendirian WTO melalui UU No 7 tahun 1994. Ratifikasi ini berarti bahwa Indonesia menyetujui dokumen final pendirian WTO dan sekaligus secara resmi menjadi anggota WTO. Keikutsertaan menjadi anggota WTO telah menimbulkan konsekuensi yang luas terhadap perekonomian

(34)

nasional. Dalam hal ini semestinya parlemen dapat memanggil pemerintah/presiden dalam urusan pelaksanaan UU No 7 tahun 1994, menyangkut semakin lemahnya posisi Indonesia dalam perdagangan internasional.

Selain WTO perjanjian perdgaangan bebas lainnya ditandantangani oleh pemerintah melalui Free Trade Agreement (FTA). Meski hanya dilakukan antara Negara, antar Negara dengan suatu kawasan dan antara kawasan yangs atu dengan kawasan lainnya, namun perjanjian FTA memiliki dampak yang sangat luas. Ruang lingkup perjanjian FTA lebi komprehensif dibandingak WTO, karena tidak hanya meliputi pertanian, perdagangan barang, namun juga liberalisasi dibidang keuangan dan jasa-jasa. Komitmen penurunan tariff bea masuk dalam perdagangan dan liberalisasi keuangan serta jasa-jasa dalam FTA lebih tinggi dibandingkan kesepakatan didalam WTO.

Perjanjian FTA berlangsung sangat cepat. Idonoensia saat ini telah menandatangani banyak FTA, misalnya perjanjian perdagangan bebas ASEAN dengan komitmen penuh kea rah ASEAN single market. Melalui ASEAN Indonesia telah menandatangani perjanjian perdagangan bebas dengan China, Korea, Jepang, Australia , India dan rencana perjanjian perdagan bebas dengan AS dan EU yang saat ini dalam proses negosiasi. Dengan ditandantanganinya seluruh perjanjian FTA tersebut maka berarti Indonesia telah melakukan liberalisasi penuh terhadap perekonomian nasionalnya baik dalam bidang investasi, perdagangan dan keuangan.

Berbagai perjanjian perdagangan bebas tersebut telah berdampak penting dan luas. Sebagai contoh perjanjian FTA dengan China telah menyebabkan Indonesia menjadi sasaran ekspansi produk manufactur murah asal China. Perdagngan bebas dengan Australia Newzealand menyebabkan Indonesia menjadi sasaran ekapansi produk pertanian dan peternakan. Demikian pula halnya perdagangan bebas dengan Jepang telah menyebabkan Indonesia menjadi sasaran ekspansi pasar produk Jepang dan sisi lain

(35)

Indonesia menjadi sasaran eksploitasi sumber daya alam oleh actor-aktor ekonomi dari Negara tersebut.

Ringkasnya perjanjian perdagangan bebas memiliki dampak penting dan luas. Penadatanganan perjanjian ini oleh pemerintah menyebabkan Negara terikat di dalam rezim internasional yang seringkali Negara tidak dapat menarik diri keluar dari perundingan karena berbagai konsekusnsi yang dapat diterima secara internasional. Sebagai contoh Indonesia gagal melakukan negosiasi ulang FTA dengan China meski telah jelas merugikan ekonomi nasional.

Sementara pemerintah (eksekutif) begitu mudah menandatangani perjanjian FTA karena menerima insentif seperti utang, bantuan lainnya, tanpa memikirkan bahwa kesepakatan itu akan berlaku pada pemerintahan berikutnya dan sulit menarik dari dari perjanjian yang telah ditandatangani.

Dengan demikian maka satu-satunya cara untuk mengerem tindakan pemerintah yang “terus menerus” menandatangani FTA adalah dengan meratifikasi melalui UU. Karena kesepakatan itu sangat strategis dan harus memperoleh persetujuan dari seluruh rakyat melalui lembaga perwakilan rakyat (DPR). Selain itu yang terpenting adalah UU ratifikasi FTA nantinya tidak boleh bertentangan dengan semangat proklamasi 1945, Pancasila dan UUD 1945 yang merupakan konstitusi dasar Negara Republic Indonesia.

(36)

BAB III

EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT

A. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri

Dalam UU No. 37 Tahun 1999, yang dimaksud dengan hubungan luar negeri adalah setiap kegiatan yang menyangkut aspek regional dan internasional yang dilakukan oleh Pemerintah di tingkat pusat dan daerah, atau lembaga-lembaganya, lembaga negara, badan usaha, organisasi politik, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, atau warga negara Indonesia (Pasal 1 angka 1). Hubungan luar negeri diselenggarakan sesuai dengan Politik Luar Negeri, peraturan perundang-undangan nasional dan hukum serta kebiasaan internasional {Pasal 5 ayat (1)}.

Berdasarkan Pasal 6 ayat (1), kewenangan penyelenggaraan hubungan luar negeri dan pelaksanaan politik luar negeri Pemerintah Republik Indonesia berada di tangan Presiden. Sedangkan dalam hal menyatakan perang, membuat perdamaian, dan perjanjian dengan negara lain diperlukan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Lebih lanjut Pasal 6 ayat (2) mengatur bahwa Presiden dapat melimpahkan kewenangan penyelenggaraan Hubungan Luar Negeri dan pelaksanaan Politik Luar Negeri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) kepada Menteri. Yang dimaksud dengan Menteri adalah menteri yang bertanggung jawab di bidang hubungan luar negeri dan politik luar negeri (Pasal 1 angka 4).

Masih terkait dengan kewenangan, Pasal 7 ayat (1) mengatur Presiden dapat menunjuk pejabat negara selain Menteri Luar Negeri, pejabat pemerintah, atau orang lain untuk menyelenggarakan Hubungan Luar Negeri di bidang tertentu. Namun sesuai dengan prinsip ”one door policy”, Pasal 7 ayat (2) mengatur bahwa dalam melaksanakan tugasnya, pejabat negara selain Menteri Luar Negeri, pejabat pemerintah, atau orang lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan konsultasi dan koordinasi dengan Menteri.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil yang diperoleh konsentrasi asam oksalat tertinggi sebesar 0,1605 N terdapat pada perlakuan tanpa perebusan, jumlah garam 200 gram dan waktu pengeringan 15 hari..

bahwa memperhatikan ketentuan Pasal 40 Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan serta Pasal 239 Undang-Undang Nomor 23 Tahun

Tujuan penelitian ini adalah untuk menemukan karakteristik konsumen distro di kota Pekanbaru dengan objek penelitian adalah konsumen Distro Pestaphoria Neverending

Watts (2003) juga menyatakan hal yang sama bahwa konservatisme merupakan salah satu karakteristik yang sangat penting dalam mengurangi biaya keagenan dan meningkatkan kualitas

Pada penelitian ini, dilakukan pembuatan aplikasi mobile phone berbasis Android dengan menerapkan metode Wiener estimation untuk menduga nilai reflektan berdasarkan

254 Muscicapidae Philentoma sayap-merah Philentoma pyrhoptera 255 Acanthizidae Remetuk laut Gerygone sulphurea 256 Sylviidae Cikrak bamboo Abroscopus superciliaris 257

Parfum Laundry Balikpapan Kota Beli di Toko, Agen, Distributor Surga Pewangi Laundry Terdekat/ Dikirim dari Pabrik BERIKUT INI PANGSA PASAR PRODUK NYA:.. Chemical Untuk

Park and Ride diharapkan dapat menyediakan tempat yang cukup luas dan baik untuk menampung kendaraan pribadi, mengurangi kendaraan yang masuk ke Kota karena