• Tidak ada hasil yang ditemukan

Evaluasi Efek Fraksi N-Heksan, Etil Asetat dan Etanol Daun Puguntano (Picria felterrae Lour.) Terhadap Sistem Kardiovaskuler Tikus

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Evaluasi Efek Fraksi N-Heksan, Etil Asetat dan Etanol Daun Puguntano (Picria felterrae Lour.) Terhadap Sistem Kardiovaskuler Tikus"

Copied!
36
0
0

Teks penuh

(1)

Sistem kardiovaskular merupakan sistem peredaran darah yang melibatkan jantung dan pembuluh darah. Jantung memompakan darah keseluruh tubuh

melalui pembuluh darah arteri dengan membawa senyawa yang diperlukan dalam

proses metabolisme sel seperti oksigen dan nutrisi sedangkan pembuluh darah

vena membawa kembali sisa metabolisme sel menuju jantung (Dipiro et.al, 2008).

Penyakit sistem kadiovaskular merupakan semua penyakit yang menyerang

jantung dan pembuluh darah meliputi hipertensi, stroke, angina pektoris, gangguan jantung, dan gangguan pada pembuluh darah arteri perifer. Penyakit ini

menyebabkan meningkatnya morbiditas dan mortalitas di negara maju dan

berkembang. Penyakit kardiovaskular bertanggung jawab terhadap 10% dari

seluruh kematian pada tahun 1900 namun prevalensi ini meningkat mendekati

40% kematian di negara maju dan sekitar 28% di negara miskin dan berkembang

(WHO, 2011).

Di Indonesia, penyakit kardiovaskular menduduki peringkat pertama penyebab

kematian pada tahun 2000 dan 26,3% pada tahun 2001. Proporsi kematian

meningkat dengan bertambahnya umur terutama pada usia 35 tahun keatas.

Tingkat kematian akibat penyakit kardiovaskular lebih tinggi di daerah perkotaan (31%) dibandingkan pedesaan (23,7%) namun tidak berbeda berdasarkan jenis

kelamin (Delima, dkk, 2009). Tekanan darah tinggi merupakan faktor resiko

terbesar penyebab penyakit kardiovaskular dengan prevalensi 300000 kematian

(2)

Penatalaksanaan penyakit kardiovaskular bertujuan untuk menurunkan tingkat

morbiditas dan mortalitas di masyarakat. Hal ini dapat dilakukan melalui terapi

farmakologi dan non farmakologi. Terapi non farmakologi dilakukan antara lain

dengan cara olahraga dan diet sedangkan terapi farmakologi dapat dilaksanakan

dengan pemberian obat modern atau obat tradisional sebagai terapi alternatif.

Masyarakat menggunakan obat tradisional secara empiris. Namun dengan

perkembangan ilmu pengetahuan, hal ini telah dimanfaatkan oleh para peneliti

agar menjadi fitoterapi.

Bahan alam yang telah diuji efek farmakologinya terhadap sistem kardiovaskular antara lain efek vasorelaksasi, antihipertensi dan inotropik dari

Saururus chinensis (Ryu et al., 2008), peningkatan aktivitas nitrookside,

penurunan tekanan darah dan diuretik dari Cocoa (Corti et al., 2009), inotropik

dan kronotropik efek dari Achillea millefolium pada isolat jantung katak

(Niazdman dan Saberi, 2010), efek inotropik positif dari pericarf Punica

granatum (Babu et.al., 2012), peningkatan kontraksi jantung katak oleh

Terminalis arjuna (Verma et al., 2013), efek antihipertensi Caralluma tuberculata

(Alamgerr et al., 2015) dan efek vasodilatasi dan peningkatan cardiac output dari

Anamirta cocculus (Jijith et al., 2016).

Hipertensi adalah penyakit kardiovaskular yang paling sering terjadi.

Prevalensi penyakit hipertensi meningkat dengan bertambahnya usia. Peningkatan

tekanan arteri menyebabkan perubahan patologis pada jaringan vaskular dan

(3)

jantung, insufiensi ginjal serta faktor resiko penyakit jantung koroner dan

komplikasinya (Alamgeer et.al., 2015).

Hipertensi merupakan penyakit yang ditandai dengan peningkatan tekanan

darah arteri. Tekanan darah adalah kekuatan yang dihasilkan aliran darah terhadap

setiap satuan luas dari dinding pembuluh darah. Tekanan darah dinyatakan dalam

milimeter air raksa (mmHg). Secara umum tekanan darah dipengaruhi oleh curah

jantung dan tahanan perifer total. Tekanan darah tidak hanya diatur oleh satu

sistem pengatur tekanan darah melainkan oleh beberapa sistem yang saling

berkaitan satu sama lain. Tekanan darah dipengaruhi oleh beberapa faktor antara

lain tekanan darah sistol, diastol, rerata tekanan arteri, curah jantung, volume sekuncup, tahanan perifer total, denyut jantung, elastisitas pembuluh darah dan

viskositas darah.

Ada dua mekanisme pengaturan tekanan darah yaitu :

a. Pengaturan tekanan darah jangka pendek, bekerja melalui saraf dengan

pengaturan baroreseptor dan kemoreseptor pembuluh darah arteri. Hal ini

melibatkan refleks neuronal susunan saraf pusat dan regulasi curah

jantung. Sistem refleks neuronal mengatur tekanan darah melalui

baroreseptor, yaitu reseptor yang mampu mendeteksi peregangan dinding

pembuluh darah oleh peningkatan tekanan darah, sedangkan kemoreseptor

adalah sensor yang mendeteksi perubahan PO2, PCO2 dan pH darah. (Dipiro, 2008).

b. Pengaturan tekanan darah jangka panjang diperantarai oleh sistem renin

angiotensin aldosteron (RAAS) yaitu sistem endogen kompleks yang

(4)

keseimbangan elektrolit baik secara intraselular maupun ekstraselular,

seperti ion Na+, K+ dan Cl< melalui pengaktifan atau penghambatan

hormon (! " ).

! " Sistem renin angiotensin aldosteron (Scanlon, 2007)

Pada sistem RAAS, renin dilepaskan ke pembuluh darah sebagai respon

terhadap sirkulasi tekanan darah sistemik. Enzim ini berfungsi mengkatalisis

pelepasan hidrolitik dekapeptida angiotensin I dari ujung amino terminal

angiotensinogen. Angiotensinogen akan memicu pelepasan angiotensin I ke

pembuluh darah. Angiotensin I merupakan vasokonstriktor ringan tetapi tidak cukup kuat untuk menyebabkan perubahan fungsional yang bermakna dalam

fungsi sirkulasi. Selama beberapa waktu, angiotensin I akan berubah menjadi

angiotensin II melalui bantuan enzim pengubah angiotensin (ACE = Angiotensin

Converting Enzyme) di endotelium pembuluh paru<paru dan epitel pembuluh

darah (Scanlon, 2007). Angiotensin II merupakan vasokonstriktor kuat terhadap

sistem sirkulasi. Angiotensin II berada dalam darah hanya selama 1 atau 2 menit,

karena angiotensin II secara cepat akan diinaktivasi oleh berbagai enzim darah

(5)

menyebabkan vasokontriksi pembuluh darah melalui peningkatan efek saraf

simpatis dan merangsang korteks adrenal untuk melepaskan aldosteron. AT(2)

juga mempunyai peranan penting dalam pertumbuhan pembuluh darah dan

kontrol aliran darah. Aldosteron bekerja mempertahankan ion natrium dan klorida

dan mengekskresikan kalium di ginjal. Jika natrium direabsorpsi maka akan

diikuti masuknya air ke dalam pembuluh darah, yang menyebabkan volume darah

meningkat sehingga tekanan darah meningkat (Dipiro, 2008).

Tekanan darah normal terjadi jika tekanan darah sistol (TDS) kurang dari 120

mmHg dan tekanan darah diastol (TDD) kurang dari 80 mmHg. Peningkatan

tekanan darah di atas batas normal yaitu 140 mmHg untuk TDS dan 90 mmHg untuk TDD secara persisten dinyatakan sebagai hipertensi. Klasifikasi tekanan

darah menurut JNC (Joint National Commitee) VII 2003 dapat dilihat pada "

.

" Klasifikasi tekanan darah berdasarkan JNC VII (Dipiro, 2008).

Klasifikasi Tekanan Sistolik (mmHg) Tekanan Diastolik (mmHg)

Normal <120 <80

Pre Hipertensi 120<139 80<89

Stadium I 140<159 90<99

Stadium II ≥160 ≥100

Klasifikasi tekanan darah menurut JNC VIII tahun 2013 masih merujuk

klasifikasi tekanan darah JNC VII. Tetapi, manajemen terapi hipertensi dalam

JNC VIII lebih berdasarkan Evidence Based Medicine (EBM), komplikasi

penyakit, ras dan riwayat penderita. Target tekanan darah pada managemen terapi

(6)

Hipertensi berdasarkan etiologinya dapat diklasifikasikan menjadi :

a. hipertensi primer (esensial), yaitu yang tidak diketahui penyebabnya.

Lebih dari 90% pasien dengan hipertensi merupakan hipertensi essensial

Hipertensi sering turun temurun dalam suatu keluarga, hal ini

menunjukkan bahwa faktor genetik memegang peranan penting pada

patogenesis hipertensi primer. Menurut data, bila ditemukan gambaran

bentuk disregulasi tekanan darah yang monogenik dan poligenik

mempunyai kecenderungan timbulnya hipertensi essensial.

b. hipertensi sekunder (non esensial) yaitu hipertensi yang diketahui

penyebabnya. Kurang dari 10% penderita hipertensi merupakan sekunder akibat penyakit komorbid atau obat<obat tertentu yang dapat meningkatkan

tekanan darah. Pada kebanyakan kasus, disfungsi renal akibat penyakit

ginjal kronis atau penyakit renovaskular adalah penyebab sekunder yang

paling sering. Obat<obat tertentu, baik secara langsung ataupun tidak,

dapat menyebabkan hipertensi atau memperberat hipertensi dengan

menaikkan tekanan darah. Apabila penyebab sekunder dapat diidentifikasi,

maka dengan menghentikan obat yang bersangkutan atau mengobat

kondisi komorbid yang menyertainya sudah merupakan tahap pertama

dalam penanganan hipertensi sekunder (Wells, et.al. 2009).

Hipertensi terjadi melalui beberapa mekanisme seperti meningkatnya aktivititas sistem saraf simpatis yang berhubungan dengan pertambahan umur dan

kondisi stres, asupan garam tinggi, gangguan pada sistem renin<angiotensin

sehingga meningkatkan produksi aldosteron, menurunnya kadar nitrit oksida

(7)

! " Patogenesis hipertensi (Dipiro, et al., 2008)

#

Tujuan utama pengobatan hipertensi adalah menurunkan mortalitas dan

morbiditas yang berhubungan dengan kerusakan organ target seperti gagal

jantung, penyakit jantung koroner atau penyakit ginjal kronik. Target nilai tekanan

darah yang di rekomendasikan dalam JNC VII adalah <140/90 mmHg untuk pasien dengan tanpa komplikasi, <130/80 mmHg untuk pasien dengan diabetes

dan penyakit ginjal kronis (Dipiro, et al., 2008). Menurut JNC VIII (2013), target

penurunan tekanan darah berbeda<beda pada pasien hipertensi berdasarkan

komplikasi penyakit dan ras penderita hipertensi (! " ).

(8)

Terapi non farmakologi merupakan bagian penting pengobatan semua pasien

hipertensi. Pasien prehipertensi, tekanan darah dapat dikontrol dengan cara

penurunan berat badan, membatasi asupan garam, memperbanyak olahraga dan

mengurang konsumsi alkohol. Manajemen terapi pasien hipertensi stadium satu

dan dua dilakukan dengan cara terapi non farmakologi dan obat antihipertensi.

Kebanyakan pasien dengan hipertensi memerlukan dua atau lebih obat

antihipertensi untuk mencapai target tekanan darah yang diinginkan. Penambahan

obat kedua dari kelas yang berbeda dimulai apabila pengunaan obat tunggal

dengan dosis lazim gagal mencapai target tekanan darah. Apabila tekanan darah

melebihi 20/10 mm Hg diatas target, dapat dipertimbangkan untuk memulai terapi dengan dua obat. Yang harus diperhatikan adalah risiko untuk hipotensi ortostatik,

terutama pada pasien<pasien dengan diabetes, disfungsi autonomik, dan lansia

(Wells,et.al. 2009) Komplikasi penyakit<penyakit lain yang disebabkan oleh

hipertensi seperti gagal jantung, penyakit jantung koroner, infark miokard dan

stroke memiliki algoritma terapi yang berbeda. Pemilihan antihipertensi pada

komplikasi hipertensi berdasarkan JNC VIII tahun 2013 dapat dilihat pada "

.

" Terapi hipertensi berdasarkan komplikasi penyakit

Komplikasi Pemilihan obat

Gagal jantung ACEi/ARB + BB + diuretik + Spironolakton

(9)

$ %" &

Golongan obat antihipertensi adalah:

a. Diuretik, adalah obat antihipertensi yang bekerja dengan meningkatkan

pengeluaran urin (diuresis) melalui kerja langsung terhadap ginjal.

Diuresis mempunyai dua pengertian, yaitu penambahan volume urine yang

diproduksi dan jumlah pengeluaran (kehilangan) zat<zat terlarut dan air.

Fungsi utama diuretik adalah untuk memobilisasi cairan edema sehingga

mengubah keseimbangan cairan yang mengakibatkan volume cairan

ekstrasel kembali normal (Tthambi, 2013). Hal ini menguntungkan dalam

terapi gagal jantung, sirosis, nefrosi, hipertensi dan glaoukoma.

Plasma darah yang masuk ke ginjal disaring dari kapiler glomerulus ke

dalam kapsul Bowman. Filtrat mengandung glukosa, natrium bikarbonat,

asam amino, dan zat organik lain, beserta elektrolit, seperti Na+, K+, dan

Cl< (urin primer). Ginjal mengatur komposisi ion dan volume urine dengan

reabsorpsi atau sekresi ion dan/atau air pada lima daerah fungsional

sepanjang nefron, yaitu pada tubulus proksimal, ansa Henle, tubulus distal,

dan duktus renalis rektus hingga diperoleh urin sesungguhnya melalui

mekanisme berikut :

i.Tubulus Renalis Kontortus Proksimal berada dalam korteks ginjal,

hampir semua glukosa, bikarbonat, asam amino, dan metabolit lain

diabsorpsi. Sekitar dua pertiga jumlah Na+, klorida dan air

direabsorpsi untuk mempertahankan keseimbangan elektrolit dan

(10)

ii.Ansa Henle Pars Desendens merupakan tempat sisa filtrat yang

isotonis menuju ke dalam medula ginjal. Osmolaritas meningkat

sepanjang bagian desendens dari ansa Henle karena mekanisme arus

balik. Hal ini menyebabkan peningkatan konsentrasi garam tiga kali

lipat dalam cairan tubulus.

iii.Ansa Henle Pars Asendens bersifat impermeable untuk air. Reabsopsi

aktif ion<ion Na+, K+, dan Cl< dibantu oleh suatu kotransporter

Na+/K+/2Cl<. Mg2+, dan Ca2+ memasuki cairan interstisial melalui

saluran paraselular. Kira<kira 25<30% NaCl di tubulus kembali ke

cairan interstisial untuk mempertahankan osmolaritas tinggi dari cairan.

iv.

Tubulus Renalis Kontortus Distal bersifat impermeable untuk air.

Sekitar 10% dari NaCl yang disaring direabsorpsi melalui suatu

transporter Na+/Cl<. Hormon paratiroid mengatur ekskresi Ca2+ pada

bagian tubulus ini. v.

Tubulus dan Duktus Renalis Rektus bertanggung jawab dalam

pertukaran Na+/K+ , sekresi H+ dan reabsorpsi K+. Stimulasi reseptor

aldosteron pada sel<sel utama menyebabkan reabsorpsi Na+ dan

sekresi K+. Reseptor hormon antidiuretik (ADH, vasopresin)

meningkatkan reabsorpsi air dari tubulus dan duktus renalis rektus. Aktivitas ini dibantu oleh cAMP (Dipiro, 2008).

Diuretik dibagi menjadi dua golongan besar yaitu: (1) penghambat

mekanisme transpor elektrolit di dalam tubulus ginjal, seperti diuretik kuat

(11)

karbonik anhidrase; dan (2) diuretik osmotik (Dipiro, 2008) (! "

#).

! " # Tempat Kerja Diuretik (Kadzung, 2009)

Diuretik dibagi menjadi empat golongan obat yaitu:

i. Diuretik lengkungan (loof of henle), disebut juga diuretik kuat karena

bekerja di ansa henle bagian asenden pada nefron ginjal. Golongan

obat ini bekerja menghambat reabsorpsi ion Na+, K+ dan Cl< di ansa

henle dan tubulus distal, mempengaruhi sistem co<transport ion Cl<

yang menyebabkan meningkatnya ekskresi air. Obat<obat yang

termasuk diuretik kuat adalah furosemida, asam etakrinat dan

bumetamida.

ii. Diuretik tiazid, yaitu obat lini pertama untuk mengobati hipertensi

tanpa komplikasi. Diuretik ini bekerja menghambat reabsorpsi ion Na+

dan Cl< di tubulus distal. Efeknya lebih lemah dan lambat tetapi lebih

lama dibanding diuretik kuat. Obat<obat yang termasuk diuretik tiazid

adalah hidroklorotiazid, politiazid, indapamid, klortaridon dan

(12)

iii. Diuretik osmotik, yaitu obat yang bekerja pada tiga tempat di nefron

ginjal, yakni tubuli proksimal, ansa henle dan duktus koligentes.

Golongan obat ini bekerja menghambat reabsorpsi Na dan air melalui

daya osmotiknya. Obat<obat golongan diuretik osmotik adalah

mannitol, sorbitol, gliserin, dan isosorbid.

iv. Diuretik hemat kalium, dibagi dua berdasarkan mekanisme kerjanya

yaitu diuretik penghambat aldosteron dan penghambat saluran ion Na.

Aldosteron menstimulasi reabsorpsi Na dan ekskresi K. Proses ini

dihambat oleh diuretik penghambat aldosteron, yaitu: spironolakton

dan eplerenon. Ketika direabsorpsi, Na akan masuk melalui kanal Na tetapi hal ini dihambat oleh penghambat saluran Na, yaitu: triamteren.

v. Diuretik penghambat enzim karbonik anhidrase, golongan obat ini

bekerja pada tubuli proksimal dengan cara menghambat reabsopsi

bikarbonat melalui penghambatan enzim karbonik anhidrase. Enzim

ini berfungsi meningkatkan ion hidrogen pada tubulus proksimal yang

akan bertukar dengan ion natrium di lumen. Penghambatan enzim ini

akan meningkatkan ekskresi natrium, kalium, bikarbonat dan air.

Obat<obat dari golongan ini adalah asetazolamid dan diklorofenamid.

Efek samping penggunaan diuretik antara lain hipokalemia,

hipomagnesia, hiperkalsemia, hiperurisemia, hiperglisemia,

hiperlipidemia, dan disfungsi seksual (Junior, et.al. 2012).

b. Penghambat enzim pengubah angiotensin (ACEi) menurunkan produksi

angiotensin II, meningkatkan kadar bradikinin, dan menurunkan aktivitas

(13)

pembuluh arteri akibat berkurangnya jumlah angiotensin II di dalam

darah. Obat<obat yang termasuk dalam golongan ini adalah kaptopril,

enalapril, ramipril, lisinoril. Golongan obat ini efektif digunakan sebagai

terapi tunggal maupun terapi kombinasi dengan golongan diuretik,

penghambat reseptor alfa dan antagonis kalsium. Efek samping dari

golongan obat ini adalah gangguan fungsi ginjal, batuk kering, dan dapat

menyebabkan hiperkalemia pada pasien dengan gangguan ginjal kronis

(Khan, 2007).

c. Antagonis kalsium bekerja menurunkan tahanan vaskular dan menurunkan

kalsium intraseluler. Ion kalsium di jantung mempengaruhi kontraktilitas otot jantung. Kelebihan ion ini akan menyebabkan kontraksi otot jantung

meningkat sehingga akan meningkatkan tekanan darah. Antagonis kalsium

bekerja menghambat ion kalsium di ekstrasel sehingga kontraktilitas

jantung kembali normal. Obat<obat yang termasuk dalam golongan ini

adalah verapamil, diltiazem, nifedipin dan amlodipin. Penggunaan tunggal

maupun kombinasi, obat ini efektif menurunkan tekanan darah. Untuk

terapi hipertensi golongan obat ini sering dikombinasikan dengan ACEi,

penyekat beta, dan penyekat alfa (Khan., 2007).

d. Penghambat reseptor angiotensin (ARB) bekerja dengan cara menghambat

ikatan antara angiotensin II dengan reseptornya . Golongan obat ini menghambat secara langsung reseptor angiotensin II tipe 1 (AT1) yang

terdapat di jaringan. AT1 memediasi efek angiotensin II yaitu

vasokontriksi, pelepasan aldosteron, aktivasi simpatetik, pelepasan

(14)

reseptor angiotensin tidak menghambat reseptor angiotensin II tipe 2

(AT2). Jadi, efek yang menguntungkan dari stimulasi AT2 seperti

vasodilatasi, perbaikan jaringan dan penghambatan pertumbuhan sel tetap

utuh selama penggunaan obat ini. ARB mempunyai efek samping paling

rendah dibandingkan dengan ACEi karena tidak mempengaruhi

bradikinin, ARB tidak menyebabkan batuk kering seperti ACEi. Sama

halnya dengan ACEi, ARB dapat menyebabkan insufisiensi ginjal,

hiperkalemi, dan hipotensi ortostatik (Khan, 2007).

e. Penghambat reseptor beta (β blocker) menurunkan tekanan darah melalui

penurunan curah jantung akibat penurunan denyut jantung dan kontraktilitas. Mekanisme utama penghambat β adalah menghambat

reseptor β1 pada otot jantung sehingga secara langsung akan menurunkan

denyut jantung. Penghambat β dibedakan menjadi penghambat β selektif

dan non selektif. Penghambat beta selektif hanya memblok reseptor β1 dan

tidak memblok reseptor β2. Penghambat beta non selektif memblok kedua

reseptor baik β1 maupun β2. Adrenoreseptor β1 dan β2 terdistribusi di

seluruh tubuh, tetapi terkosentrasi pada organ<organ dan jaringan tertentu.

Reseptor β1 lebih banyak pada jantung dan ginjal, dan reseptor β2 lebih

banyak ditemukan pada paru<paru, liver, pankreas, dan otot halus arteri.

Perangsangan reseptor β1 menaikkan denyut jantung, kontraktilitas, dan pelepasan renin. Perangsangan reseptor β2 menghasilkan bronkodilatatasi

dan vasodilatasi. Atenolol, betaxolol, bisoprolol, dan metoprolol adalah

(15)

nonselektif seperti propanolol, metoprolol dan asebutolol pada pasien

asma, PPOK, penyakit arteri perifer, dan diabetes (Khan, 2007).

Penggunaan β blocker non selektif akan menyebabkan bronkospasme pada

penderita asma karena pada saluran pernafasan terdapat reseptor β2 yang

berfungsi sebagai vasodilator. Pada penderita diabetes, β blocker akan

meningkatkan kadar glukosa darah melalui penghambatan reseptor β2 di

hati. Penghambatan reseptor ini akan menstimulasi proses glukoneogenesis

(Khan, 2007).

Carvedilol dan nebivolol adalah β blocker generasi ketiga yang memiliki

efek lain. Carvedilol adalah β blocker non selektif yang bekerja dengan cara menghambat reseptor β1, β2 dan α1 serta mempunyai efek antagonis

kalsium sehingga efek antihipertensi yang ditimbulkan lebih kuat

dibandingkan dengan β blocker lain. Nebivolol adalah β blocker selektif

yang bekerja dengan cara menghambat reseptor β1 di jantung dan

menstimulasi pelepasan vasodilator endogen di jantung, yakni nitrit oksida

(Khan, 2007).

f. Penghambat reseptor alfa (α blocker), merupakan obat yang menghambat

reseptor α. Reseptor α terdiri dari α1 dan α2. Reseptor α1 terdapat di

jantung sedangkan reseptor α2 terdapat di otak. Kedua reseptor ini

memiliki peran yang berlawanan. Aktivasi dari reseptor α1 akan meningkatkan pelepasan senyawa katekolamin, yakni epinefrin, nor

epinefrin dan dopamin yang akan menyebabkan vasokontriksi pembuluh

darah. Prazosin, terazosin, dan doxazosin adalah penghambat reseptor α1

(16)

menghambat pelepasan katekolamin pada sel otot jantung, menyebabkan

vasodilatasi dan menurunkan tekanan darah. Efek samping penghambat

reseptor alfa adalah fenomena dosis pertama yang ditandai dengan pusing

sementara atau pingsan dan palpitasi (Dipiro, et.al. 2008).

g. Agonis α2 sentral, Klonidin dan metildopa menurunkan tekanan darah

terutama dengan merangsang reseptor α2 di presinap di otak.

Perangsangan ini menurunkan aliran simpatetik dari pusat vasomotor di

otak. Penurunan aktivitas aimpatetik, bersamaan dengan meningkatnya

aktivitas parasimpatetik, dapat menurunkan denyut jantung, cardiac

output, tahanan perifer total, aktifitas plasma renin, dan refleks

baroreseptor. Klonidin sering digunakan untuk hipertensi yang resisten,

dan metildopa adalah obat lini pertama untuk hipertensi pada kehamilan.

Penghentian agonis α2 sentral secara tiba<tiba dapat menyebabkan

rebound hypertension, yaitu peningkatan tekanan darah secara tiba<tiba.

Efek ini diduga disebabkan oleh meningkatnya pelepasan norepinefrin

sewaktu klonidin diberhentikan tiba<tiba (Khan, 2007).

' % ( %)

Nitrit oksida (NO) merupakan endothelium(derived relaxing factor (EDRF),

berfungsi sebagai vasodilator dan meningkatkan aliran darah (Cerielo, 2008). NO

dibentuk dalam jaringan oleh L<arginine dengan bantuan enzim endothelial nitric

oxide synthase (eNOS) dan kofaktor NADPH, oksigen (O2), serta

tetrahydrobiopterin (BH4) menghasilkan L<citrulline serta nitrat dan nitrit sebagai

metabolit antara NO. Apabila NO diperlukan kembali, nitrit dalam jaringan

(17)

nitrat dan nitrit (NOx), relatif stabil didalam darah, sehingga dipakai sebagai

indikator sintesis NO tubuh (Abdulazeez, et.al. 2015).

Toksisitas NO sebagian berhubungan dengan oksidasi lanjut dari NO menjadi

NO2. Selama terapi NO, sangat penting untuk mempertahankan pembentukan

NO2 dalam kadar yang sangat rendah menggunakan filter dan scavenger yang

tepat dan campuran gas kualitas tinggi. Dosis rendah NO selama penggunaan

kronis menyebabkan inaktivasi surfaktan dan pembentukan peroksinitrit melalui

interaksi dengan superoksida. Kemampuan NO untuk menginhibisi atau

mengubah fungsi dari sejumlah protein yang mengandung besi dan heme menjadi

penting untuk dilakukan investigasi lanjut mengenai potensial toksik dari NO dalam terapi. Pembentukan methemoglobinemia adalah komplikasi signifikan dari

penghirupan NO dalam konsentrasi tinggi dan kematian telah dilaporkan akibat

overdosis NO. Kadar methemoglobinemia dalam darah harus dimonitor selama

penggunaan NO. NO dapat menginhibisi fungsi platelet dan telah menunjukkan

peningkatan waktu perdarahan dalam beberapa studi. Pada pasien dengan

gangguan fungsi ventrikel kiri, NO berpotensi untuk memperparah fungsi

ventrikel kiri dengan mendilatasi sirkulasi pulmonal dan meningkatkan aliran

darah ke ventrikel kiri sehingga meningkatkan tekanan atrium kiri dan

pembentukan edema pulmonal (Brunton, 2008).

* + &

Parameter biokimia darah merupakan parameter pengamatan yang dapat

digunakan sebagai indikator penilaian terhadap keberhasilan terapi atau progresi

dari suatu penyakit. Parameter biokimia yang dapat digunakan pada terapi

(18)

a. Profil lipid merupakan pengukuran kadar lemak (lipid) dalam darah. Profil lipid

terdiri dari:

i. Kolesterol Total, yaitu jumlah total kandungan kolesterol dalam darah.

Kolesterol dibutuhkan tubuh untuk mempertahankan kesehatan sel<sel

tetapi level yang terlalu tinggi akan meningkatkan risiko sakit jantung.

Idealnya total kolesterol harus < 200 mg/dl (< 5,2 mmol/l). Faktor genetik

juga berperan sebagai penentu kadar kolesterol, selain dari makanan yang

dimakan.

ii. Low density lipoprotein (LDL), menyebabkan akumulasi endapan lemak

(plak) dalam arteri (proses aterosklerosis), sehingga aliran darah menyempit. Plak ini kadang<kadang bisa pecah dan menimbulkan masalah

besar untuk jantung dan pembuluh darah. LDL ini adalah target utama dari

berbagai obat penurun kolesterol. Target yang ingin dicapai adalah < 70

mg/dl untuk individu yang sudah memiliki penyakit kardiovaskular atau

pasien yang berisiko sangat tinggi untuk terkena (misalnya: sindrom

metabolik); 100 mg/dl untuk pasien yang beresiko tinggi (misalnya: pasien

dengan beberapa faktor resiko sekaligus) dan < 130 mg/dl untuk individu

yang berisiko rendah terkena PJK

iii. High density lipoprotein (HDL), atau disebut juga kolesterol “baik” karena

membantu membawa kolesterol dari aliran darah menuju ke hati untuk dimetabolisme. Idealnya level HDL harus diatas 40 mg/dl. Umumnya

wanita memiliki level yang lebih tinggi daripada pria. Olahraga dapat

(19)

iv. Trigliserida, biasanya pada pasien yang gemuk atau pasien diabetes.

Makanan tinggi karbohidrat (gula sederhana) atau alkohol dapat

menaikkan trigliserida secara bermakna. Idealnya level trigliserida harus <

150 mg/dl (1,7 mmol/L). American Heart Association (AHA)

merekomendasikan bahwa level trigliserida untuk kesehatan jantung

“optimal” adalah 100 mg/dl (1,1 mmol/l) (Anonim, 2012).

Indikator terjadinya aterogenik ditentukan berdasarkan parameter rasio resiko

kardiak, koefisien aterogenik dan indeks aterogenik dalam plasma. Rasio resiko

kardiak merupakan perbandingan antara total kolesterol dengan HDL. Koefisien

aterogenik merupakan perbandingan selisah total kolesterol dan HDL dengan HDL sedangkan indeks aterogenik merupakan logaritma perbandingan trigliserida

dengan HDL (Ikewuchi, et.al. 2013; Echegoyen, et.al. 2015)

b. Aspartat transminase dan Alanin transminase

Aspartat transminase (AST) dan Alanin transminase (ALT) merupakan

biomarker kerusakan hati. AST terdapat di hati, otak, otot rangka dan

jantung. ALT lebih banyak dijumpai di hati dan sedikit di otot rangka dan

jantung. Hepatosit yang rusak mengeluarkan komponen dari dalam sel

termasuk ALT dan AST ke luar sel. Enzim yang dilepaskan akhirnya masuk

ke sirkulasi dan meningkatkan kadar AST dan ALT. 80% aktivitas AST di

hati manusia berasal dari isoenzim di mitokondria, sedangkan sirkulasi AST pada manusia normal berasal dari isoenzim di sitoplasma. Peningkatan AST

yang tinggi terjadi ketika nekrosis di jaringan hati sudah meluas, sehingga

lebih dikaitkan dengan infark miokard. AST terdapat di mitokondria dan

(20)

kenaikan AST dan ALT dikelompokkan menjadi tinggi, sedang dan ringan.

Peningkatan yang tinggi (>20 kali lipat hingga mencapai >1000 IU/L)

menandakan hepatitis virus berat, nekrosis yang diinduksi obat dan toksin

lain serta syok sirkular. Peningkatan sedang (3<20 kali lipat) biasanya terjadi

pada hepatitis akut, hepatitis neonatus, hepatitis kronik, hepatitis autoimun,

hepatitis yang diinduksi obat dan gangguan saluran empedu akut.

Peningkatan ALT lebih besar dibandingkan AST kecuali pada hepatitis

kronik, bahkan AST bisa mencapai nilai normal pada 75% penderita hepatitis

akut dalam waktu 8 minggu sejak timbulnya penyakit. Peningkatan ringan (1<

3 kali lipat) biasanya dijumpai pada hepatitis neonatus yg disebabkan sepsis, perlemakan hati, sirosis, hepatitis steatotik non alkohol, toksisitas obat,

olahraga berlebihan dan beberapa gangguan hati lain (Thapa dan Walia,

2007).

c. Kreatinin dan Blood Urea Nitrogen (BUN)

Kreatinin merupakan produk penguraian keratin. Kreatin disintesis di hati dan

terdapat di otot rangka dalam bentuk kreatin fosfat. Kreatin fosfat diubah

menjadi kreatin dengan katalisasi enzim kreatin kinase, selanjutnya difiltrasi

oleh glomerulus untuk diekskrasikan melalui urin. Kreatin darah meningkat

jika fungsi ginjal menurun, sehingga kreatinin merupakan biomarker yang

sensitif pada penyakit ginjal dibandingkan BUN. Rasio BUN/kreatinin

normal adalah 12<20. Jika kadar BUN meningkat dan kreatinin serum tetap

normal, kemungkinan terjadi uremia non<renal; dan jika keduanya meningkat,

diduga terjadi kerusakan ginjal. Rasio BUN/kreatinin rendah dengan kreatinin

(21)

cerna, keadaan katabolik. Rasio BUN/kreatinin tinggi dengan kreatinin tinggi

dijumpai pada azotemia prarenal dengan penyakit ginjal, gagal ginjal,

azotemia pascarenal.

, - . &

Pengukuran tekanan darah dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu invasif dan

non invasif. Pengukuran tekanan darah secara invasif merupakan metode

pengukuran tekanan darah langsung pada pembuluh darah arteri. Metode

pengukuran ini memerlukan suatu teknik keahlian untuk memasukkan barometer

pada pembuluh darah arteri. Namun, metode ini menunjukan hasil yang lebih

akurat.

Pengukuran tekanan darah secara noninvasif adalah mengukur tekanan darah

secara tidak langsung yaitu dengan menggunakan instrumen analisis yang dapat

mengukur tekanan darah tikus melalui ekor. Tekanan darah diukur melalui cuff

yang memiliki sensor cahaya. Sensor akan membaca aliran tekanan darah yang

melewati pangkal ekor secara dinamis akibat penekanan terhadap pembuluh darah

oleh pompa yang tersedia pada alat. Nilai tekanan darah akan terbaca melalui

interpretasi grafik (oscillograph) yang berbentuk kerucut. Faktor<faktor yang

harus diperhatikan selama pengukuran tekanan darah secara noninvasif adalah

kondisi lingkungan yang tenang, nyaman dan suhu (Malkoff, 2005).

/ ! . . . 0

Gagal jantung kongestif (GJK) adalah keadaan di mana jantung tidak mampu

memenuhi kebutuhan oksigen tubuh secara adekuat karena fungsi pompa sentral

(22)

serangan jantung atau infeksi (miokarditis) atau akibat gangguan mekanis, yaitu

kegagalan pengisian ventrikel atau memompakan darah ke seluruh tubuh.

Gagal jantung dapat diklasifikasikan sebagai berikut : (1) gagal jantung

ventrikel kiri, (2) gagal jantung ventrikel kanan, dan (3) gagal jantung kongestif

(kombinasi pertama dan kedua). Manifestasi klinis GJK berupa keletihan,

intoleransi eksesais, susah bernafas, orthopnea, edema dan asites (Dipiro, 2008).

Progresivitas gagal jantung dipengaruhi oleh mekanisme neurohomonal yaitu:

a. Aktivasi sistem saraf simpatis, terjadi bersamaan dengan berkurangnya

tonus parasimpatik. Pada keadaan ini, terjadi penurunan inhibisi refleks

baroreseptor arterial atau kardiopulmoner. Reseptor ini berfungsi menurunkan tekanan darah. Di sisi lain terjadi peningkatan eksitasi

kemoreseptor perifer nonbarorefleks dan metaboreseptor otot yang

menyebabkan penurunan denyut jantung dan peningkatan resistensi

vaskuler perifer. Peningkatan tonus simpatis mengakibatkan peningkatan

kadar norepinefrin, yaitu neurotransmiter adrenergik yang poten, di

sirkulasi sedangkan ambilan<kembali norepinefrin dari ujung saraf

berkurang. Meskipun demikian, pada gagal jantung stadium lanjut akan

terjadi penurunan norepinefrin miokard karena mekanisme yang masih

belum diketahui (Wells, et.al., 2009).

Peningkatan aktivasi reseptor simpatis β<adrenergik meningkatkan denyut jantung dan kekuatan kontraksi miokard yang berakibat peningkatan curah

jantung. Peningkatan aktivitas ini menyebabkan stimulasi reseptor α<

adrenergik miokard sehingga inotropik positif dan vasokonstriksi arteri

(23)

mempertahankan tekanan darah, hal ini justru menyebabkan kebutuhan

energi miokard akan bertambah sehingga memperburuk iskemik saat

distribusi oksigen terbatas. Peningkatan arus adrenergik dari sistem saraf

pusat akan menyebabkan takikardi ventrikular atau sudden cardiac death

(Wells, et.al., 2009).

Peningkatan tonus simpatis renal juga menyebabkan vasokonstriksi

sehingga aliran darah ginjal berkurang, seiring dengan peningkatan

reabsorpsi Natrium dan air di tubular ginjal. Hal ini akan merangsang

pelepasan arginin vasopressin (AVP) dari hipofisis posterior untuk

mengurangi ekskresi air yang akan memperburuk vasokonstriksi perifer. Angiotensin II menstimulasi pusat haus di otak dan menyebabkan

pelepasan AVP dan aldosteron, yang keduanya menyebabkan disregulasi

homeostasis garam dan air. Pada pasien gagal jantung terjadi peningkatan

PGE dan PGI, serta pelepasan atrial natriuretic peptide (ANP) dan brain

natriuretic peptide (BNP) akibat terjadi regangan miokard dan peningkatan

asupan Natrium. Kedua enzim ini berperan meningkatkan ekskresi air dan

garam serta menghambat pelepasan renin<aldosteron (counter(regulatory).

Efek ANP dan BNP terhadap ginjal makin berkurang pada kondisi

meningkatnya derajat gagal jantung (Wells, et.al., 2009).

b. Aktivasi sistem renin<angiotensin (RAS) pada gagal jantung terjadi akibat hipoperfusi renal, penurunan filtrasi Natrium ketika mencapai makula

densa, dan peningkatan stimulasi simpatik di ginjal sehingga renin

dilepaskan dari apparatus jukstaglomerular. Angiotensin II akan

(24)

banyak berlokasi pada saraf miokard sementara AT pada fibroblas dan

interstitial. Aktivasi reseptor AT menyebabkan vasokonstriksi,

pertumbuhan sel, sekresi aldosteron, dan pelepasan katekolamin;

sementara aktivasi reseptor AT menyebabkan vasodilatasi, inhibisi

pertumbuhan sel, natriuresis dan pelepasan bradikinin.Angiotensin II

berperan mempertahankan homeostasis sirkulasi dalam jangka pendek.

Meskipun demikian, ekspresi berlebihan angiotensin II menyebabkan

fibrosis pada hati, ginjal, dan organ lainnya. Angiotensin II juga dapat

memperburuk aktivasi neurohormonal dengan meningkatkan pelepasan

norepinefrin dari ujung saraf simpatis. Selain itu, terjadi pula stimulasi korteks adrenal untuk memproduksi aldosteron yang juga berperan dalam

mempertahankan homeostasis jangka pendek dengan mempengaruhi

reabsorpsi Natrium pada tubulus distal ginjal. Meskipun demikian,

ekspresi aldosteron berlebihan menyebabkan hipertrofi dan fibrosis

vaskuler serta miokard yang menyebabkan berkurangnya compliance

vaskuler dan meningkatkan kekakuan ventrikel. Aldosteron berlebihan

juga menyebabkan disfungsi sel endotel, disfungsi baroreseptor, serta

inhibisi ambilan norepinefrin, yang semuanya akan memperburuk gagal

jantung (Wells, et.al., 2009).

Gagal jantung kongestif (GJK) dapat disebabkan oleh gangguan kemampuan otot jantung berkontraksi atau meningkatnya beban kerja dari jantung. Penyebab

dasar gagal jantung kongestif antara lain arteriosklerosis, penyakit hipertensi,

penyakit katup jantung, kardiomiopati yang melebar. Tujuan terapi untuk gagal

(25)

menunjukkan efektivitas klinis dalam mengurangi gejala<gejala dan

memperpanjang kehidupan: 1) vasodilator yang mengurangi beban miocard; 2)

obat diuretik yang menurunkan cairan ekstraseluler dan; 3) obat<obat inotropik

yang meningkatkan kekuatan kontraksi otot jantung (Dipiro, 2008).

a. Vasodilator

Pada gagal jantung kongestif, gangguan fungsi kontraksi jantung

diperberat oleh peningkatan kompensasi pada preload dan afterload.

Preload adalah volume darah yang mengisi ventrikel selama diastole.

Peningkatan preload menyebabkan pengisian jantung berlebihan.

Afterload adalah tekanan yang harus diatasi jantung ketika memompa

darah ke sistem atrial. Peningkatan afterload menyebabkan jantung

bekerja lebih kuat memompa darah ke sistem arterial. Vasodilatasi berguna

untuk mengurangi preload dan afterload yang berlebihan. Dilatasi

pembuluh darah vena menyebabkan berkurangnya preload jantung dengan

meningkatkan kapasitas vena; dilator arterial menurunkan resistensi

arteriol sistemik dan menurunkan afterload. Vasodilator akan

memperbaiki keseimbangan kardiovaskular (Wells, et.al.,2009). Inhibitor

ACE merupakan obat pilihan untuk gagal jantung kongestif dan lebih baik

dibandingkan vasodilator lain. Obat ini menghambat enzim pengubah

angiotensin I membentuk vasokonstriksor kuat angiotensin II. Obat<obat ini juga menghilangkan kecepatan inaktivasi bradikinin. Vasodilatasi

terjadi akibat berkurangnya angiotensin II dan peningkatan bradikinin.

Dengan mengurangi kadar angiotensin II dalam sirkulasi, inhibitor ACE

(26)

natrium dan garam. Inhibitor ACE bekerja pada jantung dengan

menurunkan resistensi vaskular, vena dan tekanan darah, dan peningkatan

curah jantung. Obat ini juga menghambat peningkatan epinerfrin akibat

hipertensinogen II dan aldosteron dalam GJK (Khan, 2009). Dilatasi

pembuluh vena menyebabkan penurunan preload jantung dengan

meningkatan kapasitas vena; dilator arterial mengurangi retensi sistem

arteriolar dan menurunkan afterload. Nitrat diberikan untuk pasien GJK.

Jika pasien intoleransi terhadap inhibitor ACE, biasanya digunakan

kombinasi hidralzin dan isosorbit dinitrat. Amlodipin dan felodipin

mempunyai efek inotropik negatif dibanding dengan penyekat kanal kalsium, dan menurunkan aktivitas saraf simpatik (Dipiro, 2008).

b. Diuretik

Diuretik akan mengurangi kongesti pulmonal dan edema perifer. Diuretik

bekerja mengurangi gejala volume berlebihan, termasuk ortopnea dan

dispnea noktural paroksimal. Diuretik menurunkan volume plasma dan

selanjutnya menurunkan venous return ke jantung (preload) sehingga

mengurangi beban kerja jantung dan kebutuhan oksigen. Diuretik juga

menurunkan afterload dengan mengurangi volume plasma sehingga

menurunkan tekanan darah (Khan, et.al.2009). Pada fungsi ginjal yang

normal, golongan tiazid adalah obat pilihan untuk gagal jantung. Obat golongan ini meningkatkan ekskresi Na + dan Cl< melalui urine. Secara

sekunder terjadi pengeluaran K+ akan membahayakan penderita yang juga

mendapat digitalis sebab bisa terjadi hipokalemia, karena jantung akan

(27)

digitalis. Dalam hal ini perlu pemeriksaan elektrolit secara berkala. Pasien

juga harus diberikan sediaan mengandung kalium (KCl) (Dipiro, 2007).

c. Glikosida Jantung

Glikosida jantung bekerja memperbaik isistem sirkulasi, mengurangi

edema yang sering dihubungkan dengan GJK dan membantu sekresi renal.

Struktur glikosida jantung terdiri dari dua bagian. Bagian gula (glikon) dan

bagian non gula (aglikon) (Mehana, 2008). Pada bagian aglikon terdapat

inti steroid berupa siklopenantren dan cincin lakton. Sedangkan pada

bagian glikon terdapat gugus gula seperti D<glucose, D<digitoxose, L<

rhamnose, dan D<cymarose (! " $) ( Mehana, 2008).

H CH3

! " $ Rumus struktur Glikosida jantung (Melero, et al., 2000)

Glikosida jantung digunakan pada terapi gagal jantung karena efek inotropik

positif untuk miokardium yang lemah dan khasiatnya dalam mengendalikan

laju respons ventrikel terhadap fibrilasi atrium. Glikosida jantung juga

memodulasi aktivasi sistem saraf simpatik, suatu mekanisme tambahan yang

mungkin berperan penting terhadap khasiatnya untuk gagal jantung (Mehana,

2008). Obat<obat yang bekerja sebagai glikosida jantung antara lain:

bagian gula (glikon)

bagian non gula (aglikon)

(28)

i. Digoxin

Glikosida jantung mempunyai mekanisme kerja penghambatan Na+/K+

ATPase yang merupakan inhibitor transport aktif Na+ dan K+ yang kuat

dan sangat selektif untuk melintasi membran sel, dengan cara berikatan

pada suatu tempat khusus pada sisi ekstrasitoplasma di sub unit α pada

Na+/K+<ATPase, sejenis enzim “pompa Na” dalam sel. Pengikatan

glikosida jantung dengan Na+/K+<ATPase dan penghambatan pompa

ion dalam sel ini bersifat reversible dan dihantarkan secara entropik.

Obat<obatan ini khususnya berikatan dengan enzim tersebut setelah

fosforilasi pada suatu β<aspartat di sisi sitoplasma pada sub unit α dan

menstabilkan konformasi ini. K+ eksternal menyebabkan defosforilasi

enzim tersebut sebagai tahap awal translokasi aktif kation ini ke dalam

sitosol, sehingga menurunkan afinitas enzim tersebut untuk mengikat

glikosida jantung (Weis, et al., 2005; Melero, et al., 2000).

Inotropik positif (peningkatan daya kontraksi) yang diinduksikan oleh

glikosida jantung adalah karena kemampuannya menghambat secara

langsung ikatan antara membran dan Na+/K+<ATPase. Akibat hambatan

tersebut terjadi peningkatan Ca2+ intrasel dan memperpanjang slow

inward Ca2+ selama berlangsung potensial aksi. Digitalis pada

konsentrasi terapeutik pengaruhnya tidak secara langsung terhadap protein kontraktil jantung. Begitu juga efek inotropik positif digitalis

bukan disebabkan tindakannya terhadap mekanisme intraseluler yang

menyediakan energi kimia untuk proses kontraksi tersebut. Hidrolisis

(29)

Na+ pump, yaitu sistem yang terdapat di dalam sarkolema serat jantung

yang secara aktif mengekstrusi Na+ dan memindahkan K+ ke dalam

serat jantung. Glikosida jantung secara spesifik berikatan dengan

Na+/K+<ATPase untuk menghambat aktivitasnya. Dengan demikian

tranpor aktif kedua kation monovalen tadi akan terganggu. Akibatnya

secara perlahan<lahan terjadi peningkatan Na+ intraseluler dan secara

perlahan pula penurunan K+. Digitalis pada konsentrasi terapeutik,

perubahan keluar masuk kedua kation tersebut sangat kecil.

Peningkatan Na+ inilah yang secara krusial menghasilkan inotropik

positif akibat pemberian digitalis. Hal ini adalah karena Ca2+ yang

terdapat di dalam intraseluler dipertukarkan dengan Na+ intraseluler

oleh sistem transport yang dikendalikan oleh konsentrasi gradient dan

potensial trans membran. Apabila Na+ meningkat akibat inhibisi pump

oleh digitalis, maka pertukaran Na<ekstraseluler untuk Ca2+ intraseluler

diperkecil, dan Ca2+ ditingkatkan (sebelum dan selama kontraksi).

Akibat dari peristiwa itu terjadilah peningkatan simpanan Ca2+ di dalam

retikulum sarkoplasma (RS), pada setiap potensial aksi pembebasan

Ca2+ dalam jumlah besar akan terjadi untuk mengaktifkan alat<alat

kontraktil yang terdapat di dalam serat otot jantung (Dipiro,2008).

ii. Agonis β<adrenergik

Stimuli β<adrenergik memperbaiki kemampuan otot jantung dengan

efek inotropik spesifik dalam fase dilatasi. Dobutamin adalah obat

inotropik yang paling banyak digunakan selain digitalis. Dobutamin

(30)

aktivasi protein kinase. Saluran kalsium lambat merupakan tempat

penting fosforilasi protein kinase. Jika difosforilasi, masuknya ion

kalsium ke dalam sel miokard meningkat, sehingga meningkatkan pula

kontraksi (Wells, et.al. 2009).

Dobutamin meningkatkan kontraksi miokard tanpa meningkatkan

frekuensi denyut jantung pada dosis sedang, sedangkan dosis yang lebih

tinggi meningkatkan tekanan darah dan frekuensi denyut jantung.

Secara kimia dobutamin mirip dengan dopamin, tetapi mempunyai

gugus aromatik sebagai pengganti gugus amino. Katekolamin sintetik

ini terutama bekerja pada β1<adrenoreseptor, sedikit mempengaruhi β2< reseptor dan α serta tidak mempengaruhi reseptor dopamin (Wells, et.al.

2009).

iii Inhibitor fosfodiesterase

Obat yang termasuk dalam golongan ini adalah amiron dan miliron

sebagai inhibitor fosfodiesterase yang memacu peningkatan konsentrasi

siklik<AMP intrasel, dan meningkatkan kontraktilitas otot jantung atau

bersifat inotropik positif. Akhir<akhir ini, hasil uji klinis menunjukkan

bahwa obat<obat ini tidak dapat menurunkan angka kematian mendadak

dan tidak dapat memperpanjang masa hidup penderita gagal jantung

kongestif (Khan, 2007).

1 " &

Uraian tumbuhan meliputi sistematika tumbuhan, nama daerah, nama asing,

(31)

1 " &

Sistematika tumbuhan puguntano adalah sebagai berikut:

Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyta

Subdivisi : Angiospermae

Kelas : Dicotyledoneae

Ordo : Scrophulariales

Famili : Scrophulariaceae

Genus : Picria

Spesies : Picria felterrae

Sinonim : Curanga amara Vahl., Curanga amara Juss., Curania amara

R&S., Gratiola amara Roxb., Curanga fel(terrae Merr., dan

Torenia cardiosepala Benth. (Anonim, 2009).

1 + & .

Puguntano memiliki nama daerah, yaitu Puguntanoh, Puguntana, pagontanoh

(Dairi), tamah raheut (Sunda), daun kukurang (Maluku), papaita (Ternate).

Beberapa negara menyebut tumbuhan ini sebagai hempedu tanah, gelumak susu,

rumput kerak nasi (Malaysia), sagai<uak (Filipina), kong saden (Laos) dan thanh

(Vietnam) (Anonim, 2009).

1 - 0 . " &

Puguntano (Picria fel(terrae Lour.) merupakan herba tahunan famili

Scrophulariaceae, memiliki tinggi lebih dari 40 cm. Batang tumbuhan ini

bercabang jarang, tegak (erectus) atau melata (repens), segiempat

(32)

tunggal, berhadapan folia opposita), bundar telur (ovatus), pangkal daun

berbentuk baji (acutus) sampai bundar (obtusus), ujung daun agak melancip

(acutus), tepi daun beringgitan (crenatus), dan berbulu halus. Bunga berbentuk

tandan (racemus) di ujung batang, jumlah bunga 2<16, daun gagang kecil, lanset,

mahkota bunga (corolla) seperti tabung (tubulosus), berbibir rangkap (bilabialis),

gundul bagian luar, bagian dalam ada kelenjar bulu, bibir atas berwarna coklat

kemerah<merahan, bibir bagian bawah berwarna putih. Buah berbentuk kapsul

lonjong (capsula), padat, berkatup dua, dengan beberapa biji. Biji membulat,

dengan diameter sekitar 0.6 mm (Globinmed, 2007) (! " ').

! " ' Tumbuhan Puguntano (Picria fel(terrae Lour.)

1 # & " &

Air rebusan puguntano digunakan oleh masyarakat Maluku dan Filipina

sebagai obat cacing untuk anak<anak, mengobati kolik (mulas mendadak dan

hebat) serta malaria. Tapel daun dimanfaatkan oleh masyarakat di Indonesia untuk

menyembuhkan gatal<gatal dan penyakit kulit lainnya. Rebusan dari daun bersama

daun kaki kuda digunakan untuk mengatasi batuk dan rasa sesak di dada.

Maserasi daun dengan alkohol digunakan sebagai tonik (Anonim, 2009).

(33)

(Dalimunthe, 2010), penghambat asetilkolinesterase (Wen, et.al., 2013), antiasma

(Harahap,2013), antidiabetes (Sitorus, 2014), penghambat siklus sel dan apoptosis

(Furqon, et.al., 2014) aktivitas antelmentik (Patilaya and Husori, 2015),

antiinflamasi (Shi, et.al., 2016).

1 $ . " &

Puguntano mengandung beberapa senyawa utama yaitu triterpen, feniletanoid

glikosida dan flavonoid glukoronida (He et. al., 2016) ( " )

" Senyawa Kimia Picria felterrae Lour

(34)

Picfeltarraenins VI

Zaob,et.al. 2005; Zao,et.al., 2006; Huang, et,al. 2010).

2

Ekstraksi merupakan proses penarikan kandungan kimia dari suatu bahan

tumbuhan dengan pelarut cair (Ditjen POM, 2000). Hasil dari ekstraksi disebut

ekstrak yaitu sediaan yang diperoleh dengan mengekstraksi zat aktif dari simplisia

nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua

atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa

diperlakukan sedemikian sehingga memenuhi baku yang telah ditetapkan (Ditjen

POM, 1995). Ada tiga jenis ekstrak yang dikenal yaitu ekstrak cair (extractum

liquidum), ekstrak kental (extractum spissum) dan ekstrak kering (extractum

siccum). Ekstrak cair bersifat encer dan dapat dituang, ekstrak kental tidak dapat

dituang dan ekstrak kering dapat diserbuk. Farmakope Indonesia menetapkan bahwa cairan penyari adalah air, etanol, dan etanol<air atau eter (Ditjen POM,

1986).

Klasifikasi metode ekstraksi berdasarkan jenis pelarut yang digunakan

menurut Ditjen POM yaitu:

a. Cara dingin

Ekstraksi menggunakan pelarut dengan cara dingin terdiri dari:

(35)

ruangan. Proses perendaman dilakukan selama 5 hari dengan pelarut sesuai

sehingga lebih dari 95% zat terlarut terekstraksi Cairan yang diperoleh

disebut maserat. Maserat diuapkan pelarutnya sampai diperoleh ekstrak.

Metode maserasi dilakukan untuk ekstraksi bahan tumbuhan lunak seperti

daun dan bunga.

ii. Perkolasi, yaitu ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai

sempurna yang umumnya dilakukan pada temperatur ruangan. Proses

terdiri dari tahapan pengembangan bahan, perendaman antara, perkolasi

sebenarnya (penetesan/penampungan perkolat) sampai diperoleh ekstrak.

Metode perkolasi digunakan untuk ekstraksi bahan tumbuhan yang keras seperti biji, korteks, dan kayu.

Metode maserasi dan perkolasi merupakan metode ekstraksi yang paling

dimudah dibandingkan metode lainnya terutama untuk bahan tumbuhan yang

belum pernah diekstraksi. Hal ini disebabkan karena ekstraksi dilakukan pada

suhu ruangan sehingga mencegah terbentuknya senyawa artifak akibat peruraian

oleh panas. Pelarut dalam metode maserasi dan perkolasi menembus dinding sel

dan masuk ke dalam sel melarutkan senyawa<senyawa yang diekstraksi. Zat<zat

terlarut akan dibawa ke luar dari sel berdasarkan perbedaan konsentrasi (gradient

concentration) antara di luar dan dalam sel.

b. Cara panas

Ekstraksi cara panas digunakan jika sudah diketahui bahan/senyawanya tidak

(36)

i. Refluks, adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya,

selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan

dengan adanya pendingin balik.

ii. Sokletasi, adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru yang

umumnya dilakukan dengan alat khusus (soxhlet apparatus) sehingga

terjadi ekstraksi kontinu dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan

adanya pendingin balik.

iii. Digesti, adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinu) pada

temperatur yang lebih tinggi dari temperatur kamar (40<50oC).

iv. Infundasi, adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur penangas

air (bejana infus tercelup dalam penangas air mendidih, temperatur terukur

96<98oC selama waktu tertentu (15<20 menit) sehingga diperoleh infusum.

Dekoktasi, adalah infus pada waktu yang lebih lama (30 menit) dan

temperatur sampai titik didih air. Hasil dekoktasi disebut decoctum (Ditjen

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Judul Skripsi : Analisis Pengaruh PDRB, Upah Minimum Kabupaten/Kota, Inflasi dan Pengeluaran Pemerintah terhadap Penyerapan Tenaga Kerja Tahun 2009-2015 (Studi

Keunikan masyarakat Nias Selatan bukan semata-mata lingkungan alamnya, tetapi lebih dari itu adalah warisan budaya yang dimilikinya dalam bentuk rumah tradisional yang

Kemudian umur responden dalam penelitian ini adalah umur yang telah memenuhi syarat untuk bisa memiliki SIM C. Umur minimal seseorang untuk bisa mendapatkan SIM C

Persediaan adalah bahan atau barang yang disimpan yang akan digunakan untuk digunakan memenuhi tujuan tertentu, misalnya untuk proses produksi atau perakitan,

Hasil penelitian berupa (a) aktivitas yang dilakukan siswa ketika pembelajaran dilakukan, yaitu siswa memperhatikan dan menanggapi penjelasan pembimbing (tahap presentasi kelas

(3) Hasil analisis perilaku pasar bawang merah Kacamatan Wanasaba yaitu: keterpaduan pasar secara vertikal, terdapat hubungan harga yang berarti antara kedua desa

Jika dilihat dari rerata konsumsi pakan ayam broiler yang disajikan pada Tabel 4, menunjukkan bahwa perlakuan yang diberikan baik pakan komersial (P0), pakan