• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perlindungan Hukum Terhadap Debitur (Pelaksana Pekerjaan) Dalam Pelaksanaan Perjanjian Upah Borong (Partisipatif) Dalam Proyek Swakelola Di Lingkungan Pekerjaan Umum Kabupaten Deli Serdang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Perlindungan Hukum Terhadap Debitur (Pelaksana Pekerjaan) Dalam Pelaksanaan Perjanjian Upah Borong (Partisipatif) Dalam Proyek Swakelola Di Lingkungan Pekerjaan Umum Kabupaten Deli Serdang"

Copied!
85
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

ASPEK HUKUM PERJANJIAN BORONGAN DAN PROYEK SWAKELOLA

A. Perjanjian Borongan dalam Hukum Positif di Indonesia 1 Pengertian dan Unsur-unsur Perjanjian Borongan

a. Pengertian Perjanjian Borongan

Hukum kontrak merupakan bagian hukum privat. Hukum ini

memusatkan perhatian pada kewajiban untuk melaksanakan sendiri (self

imposed obligation). Dipandang sebagai hukum privat karena

pelanggaran terhadap kewajiban-kewajiban yang ditentukan dalam

kontrak, murni menjadi urusan pihak-pihak yang berkontrak.66

Kontrak dalam bentuk yang paling klasik dipandang sebagai ekspresi

kebebasan manusia untuk memilih dan mengadakan perjanjian.

Paradigma baru hukum kontrak timbul dari dua dalil dibawah ini :

1) Setiap perjanjian kontraktual yang diadakan adalah sah

(geoorloofd);dan

2) Setiap perjanjian kontraktual yang diadakan secara bebas adalah

adil dan memerlukan sanksi undang-undang.67

66

Adrian Sutedi, Aspek Hukum Pengadaan Barang dan Jasa dan Berbagai Permasalahannya, (Jakarta : Sinar Grafika, 2008), hlm 21.

67

(2)

Kontrak dalam bahasa Indonesia sering disebut sebagai “perjanjian”.

Meskipun demikian, apa yang dalam bahasa Indonesia disebut perjanjian,

dalam bahasa Inggris tidak selalu sepadan dengan contract68. Istilah

contract digunakan dalam kerangka hukum Internasional publik, yang

kita sebut “perjanjian”, dalam bahasa Inggris sering kali disebut treaty

atau kadang-kadang juga covenant. Sejauh yang dapat kita ketahui, tidak

pernah ada dua pihak swasta atau lebih memuat treaty atau covenant,

sebaliknya tidak pernah terekam dua negara yang diwakili oleh

pemerintah masing-masing membuat suatu contract.69

Kontrak adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh dua pihak atau

lebih dimana masing-masing pihak yang ada didalamnya dituntut untuk

melakukan satu atau lebih prestasi.70 Menurut Subekti, suatu perjanjian merupakan “suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lain,

atau dimana dua orang saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal”.71

68

Anggiat Simamora, “Legal Drafting : Draft Kontrak”, makalah disampaikan dalam bimbingan profesi sarjana hukum pertamina, (Jakarta : 2001), hlm 2, sebagaimana dikutip dalam Adrian Sutedi, Op.Cit. hlm 23.

R. Setiawan, menyebutkan bahwa perjanjian ialah “perbuatan hukum

69

Ibid

70

Hikmahanto Juwana, Teknik Pembuatan dan Penelaahan Kontrak Bisnis, (Jakarta : Pascasarjana FH-UI, 2003), hlm 1.

71

(3)

dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling

mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”.72

Menurut Tan Kamello, Perjanjian adalah “suatu hubungan hukum

antara dua orang atau lebih yang didasarkan pada kata sepakat dengan

tujuan untuk menimbulkan akibat hukum”. Pengertian perjanjian atau

kontrak diatur dalam Pasal 1313 KUHPerdata yang menyebutkan :

“Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu pihak atau lebih

mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”.

Definisi perjanjian dalam Pasal 1313 KUHPerdata adalah

a) Tidak jelas, karena setiap perbuatan dapat disebut perjanjian.

b) Tidak tampak asas konsensualisme, dan

c) Bersifat dualisme.

Tidak jelasnya definisi ini disebabkan dalam rumusan tersebut hanya

disebutkan perbuatan saja. Maka yang bukan perbuatan hukum pun

disebut dengan perjanjian. Untuk memperjelas pengertian itu maka harus

dicari dalam doktrin. Jadi menurut doktrin (teori lama) yang disebut

perjanjian adalah “Perbuatan hukum berdasarkan kata sepakat untuk

menimbulkan akibat hukum”73

72

R. Setiawan, Hukum Perikatan-perikatan pada umumnya, (Bandung : Bina Cipta, 1987), hlm 49.

73

(4)

Definisi ini, telah tampak adanya asas konsesualisme dan timbulnya

akibat hukum (tumbuh/lenyapnya hak dan kewajiban). Unsur-unsur

perjanjian, menurut teori lama adalah sebagai berikut :

(1) Adanya perbuatan hukum.

(2) Persesuaian pernyataan kehendak dari beberapa orang. (3) Persesuaian kehendak harus dipublikasikan/dinyatakan.

(4) Perbuatan hukum terjadi karena kerja sama antara dua orang atau lebih.

(5) Pernyataan kehendak (wilsverklaring) yang sesuai harus saling bergantung satu sama lain.

(6) Kehendak ditujukan untuk menimbulkan akibat hukum.

(7) Akibat hukum itu untuk kepentingan yang satu atas beban yang lain atau timbal balik, dan

(8) Persesuaian kehendak harus dengan mengingat peraturan perundang-undangan.74

Menurut teori baru yang dikemukan oleh Van Dunne, yang diartikan

dengan perjanjian adalah “suatu hubungan hukum antara dua pihak atau

lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum”. Teori

baru tersebut tidak hanya melihat perjanjian semata-mata, tetapi juga

harus dilihat perbuatan sebelumnya atau yang mendahuluinya. Ada tiga

tahap dalam membuat perjanjian, menurut teori baru yaitu :

(a) Tahap Pracontractual, yaitu adanya penawaran dan penerimaan.

(b) Tahap Contractual, yaitu adanya persesuaian pernyataan kehendak

antara para pihak.

(c) Tahap Post Contractual, yaitu pelaksanaan perjanjian.

74

(5)

Charles L. Knapp dan Nathan M. Crystal mengatakan Contract is “ An

agreement between two or more persons not merely a shared belief, but common understanding as to something that is to be done in the future by one or both of them”.75

Pendapat ini tidak hanya mengkaji definisi kontrak, tetapi ia juga

menentukan unsur-unsur yang harus dipenuhi supaya suatu transaksi

dapat disebut kontrak. Ada tiga unsur kontrak, yaitu :

Artinya, kontrak adalah suatu persetujuan antara

dua orang atau lebih tidak hanya memberikan kepercayaan, tetapi secara

bersama saling pengertian untuk melakukan sesuatu pada masa

mendatang oleh seseorang atau keduanya dari mereka.

1} The agreement fact between the parties (adanya kesepakatan

tentang fakta antara kedua belah pihak).

2} The agreement as writen (persetujuan dibuat secara tertulis)

3} The set of rights and duties created by (1) and (2) (adanya orang

yang berhak dan berkewajiban untuk membuat : (1) kesepakatan dan (2) persetujuan tertulis).

Satu hal yang kurang dalam berbagai definisi kontrak yang dipaparkan

diatas, yaitu bahwa para pihak dalam kontrak hanya semata-mata orang

perorangan. Tetapi dalam praktiknya, bukan hanya orang perorang yang

membuat kontrak, termasuk juga badan hukum yang merupakan subjek

hukum. Dengan demikian, definisi itu perlu dilengkapi dan

disempurnakan.

75

(6)

Menurut Salim H.S. bahwa kontrak atau perjanjian merupakan :

“Hubungan hukum antara subjek hukum yang satu dengan subjek hukum yang lain dalam bidang harta kekayaan, dimana subjek hukum yang satu berhak atas prestasi dan begitu juga subjek hukum yang lain berkewajiban untuk melaksanakan prestasinya sesuai dengan yang telah disepakatinya”.76

Unsur-unsur yang tercantum definisi yang terakhir ini adalah sebagai

berikut :77

a} Adanya hubungan hukum

Hubungan hukum merupakan hubungan yang menimbulkan akibat hukum. Akibat hukum adalah timbulnya hak dan kewajiban.

b} Adanya subjek hukum

Subjek hukum, yaitu pendukung hak dan kewajiban c} Adanya prestasi

Prestasi terdiri atas melakukan sesuatu, berbuat sesuatu, dan tidak berbuat sesuatu.

d} Dibidang harta kekayaan.

b Bentuk-bentuk Perjanjian

Menurut Subekti, Undang-undang membagi perjanjian untuk

melakukan pekerjaan dalam tiga macam yaitu :78 1) Perjanjian untuk melakukan jasa-jasa tertentu.

2) Perjanjian kerja/perburuhan

3) Perjanjian pemborongan pekerjaan.

Perjanjian untuk melakukan jasa-jasa tertentu adalah “suatu pihak

menghendaki dari pihak lawannya dilakukan suatu pekerjaan untuk

mencapai sesuatu tujuan, untuk mana ia bersedia membayar upah,

76

Ibid., hlm 27

77

Ibid.

78

(7)

sedangkan apa yang akan dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut sama

sekali terserah kepada pihak lawan itu”79

Perjanjian kerja/perburuhan adalah “suatu perjanjian antara seorang

“buruh” dengan seorang “majikan” dimana perjanjian ditandai oleh

ciri-ciri : adanya suatu upah atau gaji tertentu yang diperjanjikan dan adanya

suatu “hubungan diperatas” (bahasa Belanda “dienstverhouding”) yaitu

hubungan berdasarkan mana pihak yang satu (majikan) berhak

memberikan perintah-perintah yang harus ditaati oleh orang lain. .

80

Perjanjian pemborongan pekerjaan adalah “suatu perjanjian antara

seorang (pihak yang memborongkan pekerjaan) dengan seorang lain

(pihak yang memborong pekerjaan), dimana pihak pertama menghendaki

sesuatu hasil pekerjaan yang disanggupi oleh pihak lawan atas

pembayaran suatu jumlah uang sebagai harga pemborongan.81

Ketiga perjanjian tersebut memiliki persamaan yaitu “bahwa pihak

yang satu melakukan pekerjaan bagi pihak yang lain dengan menerima

upah”, sedangkan perbedaan antara perjanjian kerja dengan perjanjian

pemborongan dan perjanjian menuaikan jasa yaitu “bahwa dalam

79

Ibid.

80

Ibid., hlm 58.

81

(8)

perjanjian kerja terdapat unsur subordinasi”. Sedang pada perjanjian

pemborongan dan perjanjian menunaikan jasa ada koordinasi.82

Mengenai perbedaan antara perjanjian pemborongan dengan perjanjian

menunaikan jasa yaitu “bahwa dalam perjanjian pemborongan berupa

mewujudkan suatu karya tertentu sedangkan dalam perjanjian

menunaikan jasa berupa melaksanakan tugas tertentu yang ditentukan

sebelumnya”.83

Dilihat dari obyeknya, perjanjian pemborongan bangunan mirip

dengan perjanjian lain yaitu “perjanjian kerja dan perjanjian melakukan

jasa dengan sama-sama menyebutkan bahwa pihak yang satu menyetujui

untuk melaksanakan pekerjaan bagi pihak yang lain dengan pembayaran

tertentu”.84

Perbedaannya satu dengan yang lain ialah “bahwa pada perjanjian

kerja terdapat hubungan kedinasan/kekuasaan antara buruh dan majikan”.

Pada pemborongan pekerjaan dan perjanjian melakukan jasa tidak ada

hubungan semacam itu, melainkan melaksanakan pekerjaan yang

tugasnya secara mandiri, sedangkan perbedaannya dengan perjanjian

melakukan jasa ialah “bahwa pada perjanjian untuk melakukan jasa

pembayaran dilakukan dengan imbalan pembayaran upah yang tidak

82

F.X. Djumialdi, Hukum Bangunan : Dasar-dasar hukum dalam proyek dan sumber daya manusia, Cet-I, (Jakarta : PT. Rineka Cipta, 1996), hlm 5. (untuk selanjutnya disebut F.X. Djumialdi 2)

83

Ibid.,hlm 6

84

(9)

dipersetujukan lebih dahulu antara para pihak, melainkan ditentukan

berdasarkan tarif yang layak, sedang pada perjanjian kerja dan perjanjian

pemborongan pembayaran dipersetujukan sebelumnya antara para

pihak.85

Sebagai bentuk perjanjian tertentu maka perjanjian pemborongan tidak

terlepas dari ketentuan-ketentuan umum perjanjian yang diatur dalam title

I sampai dengan title IV buku III KUHPerdata. Didalam buku ke III

KUHPerdata diatur mengenai ketentuan-ketentuan umum dari perjanjian

yang berlaku terhadap semua perjanjian, yaitu perjanjian-perjanjian yang

diatur dalam KUHPerdata maupun jenis perjanjian baru yang belum ada

aturannya dalam Undang-Undang. Sebagai dasar perjanjian pemborongan

bangunan diatur dalam Pasal 1601 b KUHPerdata dengan definisi yaitu

Pemborongan pekerjaan adalah “perjanjian, dengan mana pihak yang

satu, si pemborong, mengikatkan diri untuk menyelenggarakan suatu

pekerjaan bagi pihak yang lain, pihak memborongkan, dengan menerima

suatu harga yang ditentukan”.

Menurut R. Subekti, pemborongan pekerjaan (aanneming van werk)

ialah “suatu perjanjian, dimana satu pihak menyanggupi untuk keperluan

pihak lainnya melakukan suatu pekerjaan tertentu dengan pembayaran

upah yang ditentukan pula”.86

85

Ibid., hlm 53.

Pemborongan pekerjaan merupakan

86

(10)

persetujuan antara kedua belah pihak yang menghendaki hasil dari suatu

pekerjaan yang disanggupi oleh pihak lainnya, atas pembayaran sejumlah

uang sebagai harga hasil pekerjaan.

Definisi perjanjian pemborongan disini kurang tepat menganggap

bahwa perjanjian pemborongan adalah “perjanjian sepihak sebab si

pemborong hanya mempunyai kewajiban saja sedangkan yang

memborongkan hak saja”. Sebenarnya perjanjian pemborongan adalah

perjanjian timbal balik hak dan kewajiban.87

Dengan demikian definisi perjanjian pemborongan yang benar sebagai

berikut : pemborongan pekerjaan adalah “suatu persetujuan dengan mana

pihak yang satu, sipemborong, mengikatkan diri untuk menyelenggarakan

suatu pekerjaan, sedang pihak yang lain yang memborong, mengikatkan

diri untuk membayar suatu harga ditentukan.88 Dari definisi diatas dapat dikatakan :89

a) Bahwa yang membuat perjanjian pemborongan atau dengan kata lain yang terkait dalam perjanjian pemborongan adalah dua pihak saja yaitu : Pihak kesatu disebut yang memborongkan/prinsip/

bouwheer/aanbesteder/pemberi tugas dan sebagainya. Pihak kedua

disebut pemborong/kontraktor/rekanan/annemer/pelaksana dan sebagainya

b) Bahwa objek dari perjanjian pemborongan adalah perbuatan suatu karya (het maken van werk)

87

F.X. Djumialdi (2), Op.Cit, hlm 4

88

Ibid.

89

(11)

Didalam KUHPerdata, ketentuan-ketentuan perjanjian pemborongan

berlaku baik bagi perjanjian pemborongan pada proyek-proyek swasta

maupun pada proyek-proyek pemerintah. Perjanjian pemborongan dalam

KUHPerdata bersifat pelengkap. Artinya ketentuan-ketentuan perjanjian

pemborongan dalam KUHPerdata dapat digunakan oleh para pihak dalam

perjanjian pemborongan atau para pihak dalam perjanjian pemborongan

dapat membuat sendiri ketentuan-ketentuan perjanjian pemborongan asal

tidak dilarang oleh Undang-undang, tidak bertentangan dengan ketertiban

umum dan kesusilaan. Apabila para pihak perjanjian pemborongan

membuat sendiri ketentuan-ketentuan dalam perjanjian pemborongan

maka ketentuan-ketentuan dalam KUHPerdata dapat melengkapi apabila

ada kekurangannya.90

Dalam dunia proyek, istilah kontrak konstruksi sering juga disebut

dengan perjanjian pemborongan. Dimana istilah pemborongan dan

konstruksi mempunyai keterikatan satu sama lain. Istilah pemborong

memiliki cakupan yang lebih luas dari istilah konstruksi. Hal ini

disebabkan karena istilah pemborongan dapat saja berarti bahwa yang

dibangun tersebut bukan hanya konstruksinya, melainkan dapat juga

berupa pengadaan barang saja, tetapi dalam teori dan praktek hukum

kedua istilah tersebut dianggap sama terutama jika terkait dengan istilah

hukum/kontrak konstruksi atau hukum/kontrak pemborongan.

90

(12)

Menurut Pasal Pasal 1 angka 6 Undang-undang Nomor 18 Tahun 1999

tentang Jasa Konstruksi, Kontrak kerja konstruksi adalah “keseluruhan

dokumen yang mengatur hubungan hukum antara pengguna jasa dan

penyedia jasa dalam penyelenggaraan pekerjaan konstruksi”. Sehingga

dalam penyelenggaraan pengadaan di bidang konstruksi di Indonesia

telah diatur secara khusus dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 1999

tentang Jasa Konstruksi. Dari segi substansinya, kecuali mengenai

segi-segi hukum kontrak, undang-undang ini cukup lengkap mengatur

pengadaan jasa konstruksi.91

Dalam kontrak konstruksi, sebagaimana kontrak pada umumnya akan

menimbulkan hubungan hukum maupun akibat hukum antara para pihak

yang membuat perjanjian. Hubungan hukum merupakan hubungan antara

pengguna jasa dan penyedia jasa yang menimbulkan akibat hukum dalam

bidang konstruksi. Akibat hukum yaitu timbulnya hak dan kewajiban

diantara para pihak. Momentum timbulnya akibat itu adalah sejak

ditandatanganinya kontrak konstruksi oleh pengguna jasa dan penyedia

jasa. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur yang harus

ada dalam kontrak konstruksi adalah :92

(1) Adanya subjek, yaitu pengguna jasa dan penyedia jasa.

(2) Adanya objek, yaitu konstruksi.

91

Yohanes Sogar Simamora, Op. Cit, hlm 213 92

(13)

(3) Adanya dokumen yang mengatur hubungan antara pengguna jasa

dan penyedia jasa.

Dalam kaitannya dengan pengadaan jasa konstruksi, Peraturan

Presiden Nomor 54 Tahun 2010 telah menggunakan istilah “pekerjaan

konstruksi”, penggunaan istilah ini berbeda dengan yang digunakan

dalam Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003. Dari sisi terminologi,

istilah jasa pemborongan tidak tepat, sebab sejak berlakunya

Undang-undang Nomor 18 tahun 1999 istilah ini tidak digunakan lagi.93 Jenis kontrak dengan objek pekerjaan jasa konstruksi adalah kontrak kerja

konstruksi dan bukan kontrak pemborongan bangunan sebagaimana lazim

digunakan sebelum lahirnya undang-undang ini.94

Kontrak kerja konstruksi meliputi tiga bidang pekerjaan, yaitu

perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan.95 Pada prinsipnya, pelaksanaan masing-masing jenis pekerjaan ini harus dilakukan oleh

penyedia jasa secara terpisah dalam suatu pekerjaan konstruksi.

Tujuannya adalah untuk menghindari konflik kepentingan. Dengan

demikian tidak dibenarkan ada perangkapan fungsi, misalnya pelaksana

konstruksi merangkap konsultan pengawas atau konsultan perencana

merangkap pengawas.96

93

Yohanes Sogar Simamora, Op. Cit, hlm 214

Perkecualian terhadap prinsip ini dimungkinkan

94

Pasal 22 Undang-undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi

95

Pasal 16 Ayat (1) Undang-undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi 96

(14)

untuk pekerjaan yang bersifat kompleks, memerlukan teknologi canggih

serta mengandung resiko besar, seperti pembangunan kilang minyak,

pembangkit tenaga listrik dan reaktor nuklir.97

Cakupan atau layanan pekerjaan konstruksi sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 1 angka 15 Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 adalah

seluruh pekerjaan yang berhubungan dengan pelaksanaan konstruksi.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pekerjaan konstruksi menurut

Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 meliputi 3 (tiga) bidang

pekerjaan yakni : perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan konstruksi.

Penggunaan istilah ini lebih sesuai dan menunjukkan konsistensi dengan

Undang-undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi sebagai

produk hukum yang lebih tinggi menyangkut bidang konstruksi.

c Unsur-unsur Perjanjian Pemborongan

Dalam perjanjian pemborongan selain dikenal pihak-pihak yang terkait

dalam perjanjian pemborongan atau pihak-pihak dalam perjanjian

pemborongan yaitu pihak yang memborongkan dengan pihak pemborong,

dikenal juga pihak-pihak yang terkait dalam perjanjian pemborongan.

Adapun pihak-pihak yang terkait dalam perjanjian pemborongan

dibedakan antara pihak-pihak yang langsung terkait dalam perjanjian

pemborongan dan pihak-pihak yang tidak langsung terkait dalam

97

(15)

perjanjian pemborongan seperti buruh/tenaga kerja, leveransir dan

sebagainya.98

Mengenai pihak-pihak yang langsung terkait dalam perjanjian

pemborongan disebut peserta dalam perjanjian pemborongan yang terdiri

dari unsur-unsur :99

1) Yang memborongkan/prinsipil/bouwheer/aanbesteder/pemberi tugas dan sebagainya.

2) Pemborong/kontraktor/rekanan/aannemer/pelaksana dan sebagainya. 3) Perencana/Arsitek

4) Direksi/Pengawas

Berikut penjelasan dari unsur-unsur perjanjian pemborongan :

a) Yang Memborongkan

Yang memborongkan dapat berupa perorangan maupun badan hukum baik pemerintah maupun swasta. Bagi proyek-proyek pemerintah sebagai pihak yang memborongkan adalah Departemen atau lembaga pemegang mata anggaran. Yang memborongkan yang mempunyai rencana/prakarsa memborongkan proyek sesuai dengan Surat Perjanjian Pembrongan/Kontrak dan apa yang tercantum dalam bestek dan syarat-syarat. Yang memborongkan dalam pelaksanaan perjanjian pemborongan akan menunjuk seorang wakil yang memiliki kemampuan untuk menjadi pemimpin proyek/pemimpin bagian proyek/Kepala kantor/Kepala satuan kerja.100

b) Pemborong

Pemborong/Kontraktor Bangunan adalah perusahaan-perusahaan yang bersifat perorangan yang berbadan hukum atau badan hukum yang bergerak dalam bidang pelaksanaan pemborongan (Dewan Teknis Pembangunan Indonesia). Pemborong bisa perorangan maupun badan

98

F.X. Djumialdi (2), Op.Cit, hlm 23

99

Ibid.

100

(16)

hukum, baik pemerintah maupun swasta. Bagi proyek-proyek pemerintah, pemborong harus berbadan hukum.101

Hubungan hukum antara yang memborongkan dengan pemborong

diatur sebagai berikut :102

(1) Apabila yang memborongkan maupun pemborong keduanya pemerintah, maka hubungan hukumnya disebut hubungan kedinasan.

(2) Apabila yang memborongkan pihak pemerintah sedangkan pemborongnya pihak swasta, maka hubungan hukumnya disebut perjanjian pemborongan yang dapat berupa akta dibawah tangan, surat perintah kerja, surat perjanjian kerja/kontrak.

(3) Apabila yang memborongkan maupun pemborong keduanya pihak swasta, maka hubungan hukumnya disebut perjanjian pemborongan yang dapat berupa akta dibawah tangan, surat perintah kerja, surat perjanjian pemborongan/kontrak.

c) Perencana/Arsitek

Perencana dapat dari pihak pemerintah ataupun swasta (konsultan perencana). Perencana merupakan peserta namun bukan merupakan pihak dalam perjanjian. Perencana hanya mempunyai hubungan hukum dengan si pemberi kerja yang ditentukan atas dasar perjanjian tersendiri diluar perjanjian pemborongan. Hubungan kerja antara perencana dengan pemberi kerja pada pokoknya adalah bahwa perencana bertindak sebagai penasehat dan sebagai wakil boowheer dan melakukan pengawasan mengenai pelaksanaan pekerjaan.103 d) Direksi/Pengawas

Direksi bertugas untuk mengawasi pelaksanaan pekerjaan pemborong. Disini pengawas memberi petunjuk-petunjuk memborongkan pekerjaan, memeriksa bahan-bahan, waktu pembangunan berlangsung dan akhirnya membuat penilaian opname dari pekerjaan. Selain itu, pada waktu pelelangan pekerjaan, direksi bertugas sebagai panitia pelelangan yaitu : mengadakan pengumuman pelelangan yang akan dilaksanakan, memberikan penjelasan mengenai RKS (Rencana

(17)

Kerja dan Syarat-syarat) untuk pemborongan-pemborongan/pembelian dan membuat berita acara penjelasan, melaksanakan pembukuan surat penawaran dan membuat surat berita acara pembukuan surat penawaran, mengadakan penilaian dan menetapkan calon pemenang serta membuat berita acara hasil pelelangan dan sebagainya. Hubungan direksi dengan pemberi tugas dituangkan dengan perjanjian pemberian kuasa (Pasal 1792-1819 KUHPerdata).104

Hubungan hukum antara direksi/pengawas dengan yang

memborongkan diatur sebagai berikut :105

(1) Apabila direksi dan yang memborongkan keduanya adalah pihak pemerintah, maka hubungan hukumnya disebut hubungan kedinasan.

(2) Apabila direksi pihak swasta sedangkan yang memborongkan pihak pemerintah, maka hubungan hukumnya disebut perjanjian pemberian kuasa, dimana yang memberi kuasa pihak yang memborongkan (pemerintah) sedangkan yang diberi kuasa adalah pihak direksi (swasta)

(3) Apabila direksi dan yang memborongkan keduanya adalah pihak swasta maka hubungan hukumnya disebut perjanjian pemberian kuasa.

Keempat unsur tersebut diatas sesuai dengan perkembangan dan

kemajuan teknologi sebaiknya terpisah satu sama lain sehingga hasil

pekerjaan lebih dapat dipertanggungjawabkan. Jika keempat unsur

tersebut ada didalam satu tangan disebut swakelola/eigenbeheer.

Proyek-proyek pemerintah yang dilakukan secara swakelola seperti :106

(a) Proyek yang tidak bisa ditunda-tunda karena adanya bencana alam.

104

F.X. Djumialdji (1), Op.Cit, hlm 12

105

F.X. Djumialdji (2), Op. Cit, hlm 34

106

(18)

(b) Proyek-proyek yang sifatnya menyangkut segi keamanan seperti

gudang penyimpanan senjata, percetakan uang negara dan

sebagainya.

(c) Tidak adanya pemborong yang mau mengerjakan proyek tersebut

2. Syarat sah Perjanjian Borongan

Salah satu persoalan penting di dalam hukum perjanjian atau kontrak

adalah penentuan keabsahan suatu perjanjian. Tolok ukur keabsahan

perjanjian tersebut di dalam sistem hukum perjanjian Indonesia

ditemukan dalam Pasal 1320 KUHPerdata.107

Pasal 1320 KUHPerdata menentukan adanya 4 (empat) syarat sahnya

suatu perjanjian yaitu :

108

a. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya (de toesteming van

degenen die zich verbinden).

b. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian (de bekwaamheid om

eene verbintenis aan te gaan).

c. Suatu hal tertentu (een bepaald onderwerp) ; dan d. Suatu sebab yang halal (eene geoorloofde oorzaak).

Keempat syarat tersebut selanjutnya, dalam doktrin ilmu hukum yang

berkembang, digolongkan ke dalam :109

107

Ridwan Khairandy, Hukum Kontrak Indonesia ; Dalam Perspektif Perbandingan (Bagian Pertama), Cet II, (Yogyakarta : FH UII Press, 2014), hlm 167

108

Ibid., hlm 168

109

(19)

1) Dua syarat pokok yang menyangkut subyek (pihak) yang

mengadakan perjanjian (syarat subyektif), dan

2) Dua syarat pokok lainnya yang berhubungan langsung dengan

obyek perjanjian (syarat obyektif).

Syarat subyektif mencakup adanya syarat kesepakatan secara bebas

dari para pihak yang berjanji, dan kecakapan dari pihak-pihak yang

melaksanakan perjanjian. Sedangkan syarat obyektif merupakan obyek

yang diperjanjikan, dan causa dari obyek berupa prestasi yang disepakati

untuk dilaksanakan.110

Tidak terpenuhinya salah satu syarat dari ke empat syarat tersebut

menyebabkan cacat dalam perjanjian, dan perjanjian diancam dengan

kebatalan, baik dalam bentuk dibatalkan (jika terdapat pelanggaran

terhadap syarat subyektif), maupun batal demi hukum (dalam hal tidak

terpenuhinya syarat obyektif).111

Berikut penjelasan dari 4 (empat) syarat perjanjian :

(a) Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya

Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya mengandung makna

bahwa para pihak yang membuat perjanjian telah sepakat atau ada

persesuaian kemauan atau saling menyetujui kehendak masing-masing,

yang dilahirkan oleh para pihak dengan tidak ada paksaan,kekeliruan

110

Ibid., hlm 94

111

(20)

dan penipuan.112 Persetujuan mana dapat dinyatakan secara tegas maupun secara diam-diam.113

Menurut Mariam Darus Badrulzam, bahwa :

“Dengan diperlukannya kata sepakat mengadakan perjanjian, maka berarti bahwa kedua belah pihak haruslah mempunyai kebebasan kehendak. Para pihak tidak mendapat suatu tekanan yang mengakibatkan adanya “cacat” bagi perwujudan kehendak tersebut. Pengertian sepakat dilukiskan sebagai pernyataan kehendak yang disetujui (overenstemende wisverklaring) antara para pihak. Pernyataan pihak yang menawarkan dinamakan tawaran (offerte). Pernyataan pihak yang menerima tawaran dinamakan akseptasi (acceptatie)114

Yang dimaksud dengan dengan kesepakatan dalam hal ini adalah

kesepakatan para pihak yang melakukan perjanjian diantaranya yang

memborongkan (bouwheer) dengan pemborong/kontraktor.

Kesepakatan dalam hal perjanjian upah borong dilakukan antara bapak

FL selaku Kepala Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Deli Serdang

dengan pihak swasta selaku pemborong yang dilakukan oleh WP.

Kesepakatan terjadi ketika adanya proses negoisasi yang dilakukan

para pihak. Negoisasi merupakan komunikasi yang dilakukan oleh

pihak-pihak yang akan berkontrak dengan maksud untuk

mempertemukan perbedaan-perbedaan maksud dan tujuan dari

masing-masing pihak berkontrak untuk masuk pada suatu bentuk yang

112

Paksaan (dwang), kekeliruan (dwaling) dan penipuan (bedrog) merupakan 3 hal yang mengakibatkan kesepakatan tidak sempurna (Pasal 1321 sd 1328 KUHPerdata)

113

Riduan Syahrani, Seluk Beluk dan Asas-asas Hukum Perdata, (Bandung : PT. Alumni, 2006), hlm 205-206

114

(21)

dapat disepakati oleh masing-masing pihak berkontrak tersebut sebagai

suatu kewajiban yang harus dipenuhinya. Pada sisi lain akan

memberikan konsekuensi hak kepadanya.

(b) Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian

Cakap (bekwaam) merupakan syarat umum untuk dapat melakukan

perbuatan hukum secara sah yaitu harus sudah dewasa, sehat akal

pikiran dan tidak dilarang oleh suatu peraturan perundang-undangan

untuk melakukan sesuatu perbuatan tertentu.115

Menurut Pasal 1330 KUHPerdata, mereka yang tidak cakap

membuat suatu perjanjian adalah :

1} Orang yang belum dewasa.

2} Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan.

3} Orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu.

Akibat hukum dari ketidakcakapan adalah bahwa perjanjian yang

telah dibuat dan dapat di mintakan pembatalannya kepada hakim.

Yang dimaksud dengan kecapakan dalam hal ini adalah keabsahan

untuk bertindak sebagai para pihak dalam perjanjian pemborongan.

Dalam perjanjian pemborongan ini dilakukan berdasarkan orang yang

cakap dan berwenang untuk melakukan perbuatan hukum adalah orang

yang sudah dewasa. Untuk menentukan ukuran kedewasaan seseorang

115

(22)

ditentukan dengan orang tersebut sudah berumur 21 tahun dan atau

orang tersebut sudah pernah kawin.

(c) Suatu hal tertentu

Suatu hal tertentu dalam perjanjian adalah barang/jasa yang menjadi

obyek suatu perjanjian. Menurut Pasal 1332 KUHPerdata ditentukan

bahwa “barang-barang yang bisa dijadikan obyek perjanjian hanyalah

barang-barang yang dapat diperdagangkan”. Lazimnya barang-barang

yang diperdagangkan untuk kepentingan umum, dianggap sebagai

barang-barang diluar perdagangan sehingga tidak dapat dijadikan

obyek perjanjian. Sedangkan menurut Pasal 1333 KUHPerdata ayat (1)

menyebutkan bahwa “suatu perjanjian harus mempunyai sebagai

pokok suatu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya”.

Mengenai jumlahnya tidak menjadi masalah asalkan di kemudian hari

ditentukan atau dihitung.116

(d) Suatu sebab yang halal

Yang dimaksud dengan suatu halal

tertentu dalam hal ini adalah perjanjian untuk melakukan program

rehabilitasi/pemeliharaan jalan dan jembatan.

Suatu sebab yang halal merupakan syarat yang keempat untuk

sahnya perjanjian. Melihat ketentuan dalam Pasal 1335 KUHPerdata

menyatakan bahwa “suatu perjanjian tanpa sebab, atau yang telah

116

(23)

dibuat karena sesuatu yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai

kekuatan”.

Perjanjian tanpa sebab apabila perjanjian itu dibuat dengan tujuan

yang tidak pasti atau kabur. Perjanjian yang dibuat karena sebab yang

palsu, tujuannya untuk menutupi apa yang sebenarnya hendak dicapai

dalam perjanjian tersebut. Akhirnya, Pasal 1337 KUHPerdata

menentukan bahwa “sesuatu sebab dalam perjanjian tidak boleh

bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban

umum”.117

3. Hak dan Kewajiban Para Pihak dalam Perjanjian Borongan

Semua perjanjian yang tidak memenuhi sebab yang halal

akibatnya perjanjian menjadi batal demi hukum. Untuk menyatakan

demikian, diperlukan formalitas tertentu, yaitu dengan putusan

pengadilan. Yang dimaksud dalam suatu sebab halal dalam hal ini

adalah untuk melakukan rehabilitasi/pemeliharaan jalan dan jembatan.

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata sangat menekankan sekali pada

pentingnya penentuan kewajiban yang harus dipenuhi oleh pihak yang

berkewajiban. Kewajiban untuk memberikan sesuatu, melakukan sesuatu

117

(24)

dan atau untuk tidak melakukan sesuatu disebut dengan prestasi.118

Pada umumnya dalam setiap perikatan, pemenuhan prestasi yang

berhubungan dengan kedua hal tersebut (schuld dan haftung) terletak di

pundak salah satu pihak dalam perikatan, yang pada umumnya disebut

“debitur”.

Prestasi untuk melaksanakan kewajiban diatas memiliki dua unsur

penting. Pertama berhubungan dengan persoalan tanggung jawab atas

pelaksanaan prestasi oleh pihak yang berkewajiban (schuld). Kedua

berkaitan dengan pertanggungjawaban pemenuhan kewajiban dari harta

kekayaan pihak yang berkewajiban tanpa memperhatikan siapa pihak

yang berkewajiban untuk memenuhi kewajiban (haftung).

119

Walau demikian, tidak tertutup kemungkinan bahwa terdapat

hubungan hukum, dimana pemenuhan prestasinya tidak dapat dituntu oleh

pihak terhadap siapa kewajiban harus dipenuhi (kreditur) oleh karena

tidak ada harta kekayaannya yang dijaminkan untuk memenuhi perikatan

tersebut. Jadi dalam hal ini tidak dimungkinkan terjadinya perikatan yang

prestasinya ada tetapi tidak dapat dituntut pelaksanaannya (natuurlijke Jadi setiap pihak yang berkewajiban untuk memenuhi

perikatan, juga dapat dimintakan pertanggungjawabannya untuk

memenuhi kewajiban yang dibebankan padanya berdasarkan pada

perikatan yang lahir dari hubungan hukum diantara para pihak.

118

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan pada umumnya, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2003), hlm 20.

119

(25)

verbintenis) atau dengan kata lain dimungkinkan terbentuknya perikatan

yang menimbulkan schuld tetapi tanpa haftung.120

Menurut Pasal 1234 KUHPerdata, prestasi yang dijanjikan adalah :

a. Untuk memberikan sesuatu (to geven)

b. Untuk berbuat sesuatu (to doen)

c. Untuk tidak berbuat sesuatu (of nien to doen)

Prestasi ini menimbulkan adanya hak dan kewajiban para pihak.

Misalnya prestasi memberikan sesuatu (to geven) maka pihak yang satu

berkewajiban untuk menyerahkan atau melever (levering) sesuatu/benda

dan pihak lain berhak menerima benda tersebut. Hal ini diatur di dalam

Pasal 1235 KUHPerdata. Dengan demikian, pemenuhan prestasi

merupakan kewajiban. Prestasi tidak hanya memberikan hak kepada satu

pihak lalu berkewajiban kepada pihak lain, tetapi prestasi memberikan

hak sekaligus kewajiban pada masing-masing pihak.

Disinilah letak keseimbangan dari suatu perjanjian karena sudah

menjadi kebiasaan manusia untuk saling tergantung. Tidak ada manusia

yang rela hidup hanya melaksanakan kewajiban tetapi tidak pernah

menerima hak. Perjanjian yang dibuat oleh kedua belah pihak secara sah

menjadi tolak ukur hubungan mereka dalam pelaksanaan hak dan

kewajiban dimana mereka sepakati bersama dan berlaku sebagai

undang-undang baginya. Dengan demikian, Pasal 1339 KUHPerdata

120

(26)

memungkinkan munculnya hak dan kewajiban bagi para pihak diluar

yang disetujui tetapi dianggap sebagai hak maupun kewajiban

berdasarkan kepatutan, kebiasaan dan undang-undang yang ada.

Mengenai hak-hak dan kewajiban dari para pihak dalam perjanjian

pemborongan bangunan hanya sedikit sekali diatur dalam KUHPerdata.

Sebagian besar hak-hak dan kewajiban diatur dalam peraturan standar

pemborongan bangunan AV 1941 (Algemene Voorwarden voor de

uitvoering bij aaneming van openbare werken in Indonesia) artinya

syarat-syarat umum untuk pelaksanaan pemborongan pekerjaan umum di

Indonesia, kemudian diatur secara terperinci dalam perjanjian

pemborongan, juga dalam bestek dan syarat (rencana kerja dan syarat).121 AV 1941 ditetapkan dengan surat Keputusan Pemerintah Hindia

Belanda tanggal 28 Mei 1941 No.9. AV 1941 terdiri atas 3 (tiga) bagian

yaitu : 122

1) Bagian kesatu tentang syarat-syarat administratif.

2) Bagian kedua tentang syarat-syarat bahan

3) Bagian ketiga tentang syarat-syarat teknis.

Diluar negeri mengenai hak-hak dan kewajiban antara pemberi tugas

dan pemborong diatur dalam peraturan standarnya, baik peraturan standar

pemborongan yang ditetapkan bersama oleh penguasa dan organisasi

121

Sri Soedewi Masjchun Sofwan, Op.Cit, hlm 78 122

(27)

perusahaan yang bersangkutan, maupun peraturan standar yang

ditetapkan sendiri oleh organisasi perusahaan sendiri tanpa campur tangan

penguasa.123 Misalnya di Inggris peraturan standar diatur dalam General

Conditions of contract yang bertalian dengan pekerjaan teknik sipil yang

ditetapkan oleh organisasi perusahaan, yaitu the Institution of Civil

Engineers, the Association of Consulting Engineers,dan Federationn of Civil Engineering Contractors.124

Di Indonesia hak-hak dan kewajiban dari para pihak yaitu pemberi

tugas dan pemborong, dalam peraturan perundangan yang baru tentang

pemborongan bangunan nanti hendaknya sebanyak mungkin dapat diatur

dalam undang-undang secara khusus, sehingga ketentuan undang-undang

tersebut dapat diterapkan langsung pada perjanjian pemborong bangunan,

manakala dalam perjanjian tersebut tidak mengatur sendiri secara

khusus.125

Hak dari pemberi tugas adalah berhak atas hasil akhir yang dicapai

oleh pihak pemborong sesuai dengan apa yang diperjanjikan termasuk

jaminan mutu dan kualitas pekerjaan. Sedangkan kewajiban pemberi

tugas adalah membayar jumlah harga borongan sebagaimana yang

123

Sri Soedewi Masjchun Sofwan, Loc. Cit.

124

Harding Boulton, The Making of business contract, Sweet & Maxwell, Londen, 1972, p. 106, sebagaimana dikutip Sri Soedewi Masjchun Sofwan, Ibid., hlm 79

125

(28)

tercantum dalam kontrak apabila pekerjaan telah diselesaikan sesuai

dengan perjanjian dan pembayaran dilakukan secara bertahap.126

Hak dari pemborong adalah berhak atas pembayaran sesuai dengan

perjanjian apabila pemborong telah menyelesaikan pekerjaannya,

sedangkan kewajiban melaksanakan pekerjaan pemborongan sesuai

dengan kontrak, rencana kerja dan syarat-syarat yang telah ditetapkan

(bestek). Bestek adalah uraian tentang rencana pekerjaan dan syarat-syarat

yang ditetapkan disertai dengan gambar.127

Dalam Lampiran II, III, IV-B,V Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun

2010 disebutkan bahwa hak dan kewajiban pihak pengguna barang/jasa

dan pihak penyedia barang/jasa dapat disimpulkan sebagai berikut :

a) Hak dan Kewajiban pihak pengguna/PPK barang/jasa :

(1) Mengawasi dan memeriksa pekerjaan yang dilaksanakan oleh penyedia.

(2) Meminta laporan-laporan secara periodik mengenai pelaksanaan pekerjaan yang dilakukan oleh penyedia.

(3) Membayar pekerjaan sesuai dengan harga yang tercantum dalam kontrak yang telah ditetapkan kepada penyedia, dan (4) Memberikan fasilitas berupa sarana dan prasarana yang

dibutuhkan oleh penyedia untuk kelancaran pelaksanaan pekerjaan sesuai ketentuan kontrak.

(5) Mengatur mengenai peralatan dan bahan yang disediakan oleh pengguna/PPK untuk kebutuhan pelaksanaan pekerjaan oleh penyedia. Pada saat berakhirnya kontrak, penyedia harus menyerahkan peralatan dan bahan sisa sesusai dengan instruksi pengguna/PPK.

b) Hak dan Kewajiban penyedia :

126

Ibid., hlm 80

127

(29)

(1) Berhak menerima pembayaran untuk pelaksanaan pekerjaan sesuai dengan harga yang telah ditentukan dalam kontrak. (2) Berhak meminta fasilitas-fasilitas dalam bentuk sarana dan

prasarana dari pihak pengguna/PPK barang/jasa untuk kelancaran pelaksanaan pekerjaan sesuai ketentuan kontrak. (3) Wajib melaporkan pelaksanaan pekerjaan secara periodik

kepada pengguna/PPK.

(4) Wajib melaksanakan dan menyelesaikan pekerjaan sesuai dengan jadwal pelaksanaan pekerjaan yang telah ditetapkan dalam kontrak.

(5) Wajib memberikan keterangan-keterangan yang diperlukan untuk pemeriksaan pelaksanaan yang dilakukan pengguna/PPK. (6) Wajib menyerahkan hasil pekerjaan sesuai dengan jadwal

penyerahan pekerjaan yang telah ditetapkan dalam kontrak, dan (7) Penyedia harus mengambil langkah-langkah yang memadai

untuk melindungi lingkungan tempat kerja dan membatasi perusakan dan gangguan kepada masyarakat maupun miliknya akibat kegiatan penyedia.

(8) Penyedia melaksanakan perjanjian dan kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepadanya dengan penuh bertanggungjawab, ketekunan, efisien dan ekonomis serta memenuhi kriteria teknik profesional dan melindungi secara efektif peralatan, mesin, material yang berkaitan dengan pekerjaan dalam kontrak.

(9) Penyedia dalam melaksanakan jasa konsultasi sesuai dengan hukum yang berlaku di Indonesia. Pengguna/PPK secara tertulis akan memberitahukan kepada penyedia mengenai kebiasaan-kebiasaan setempat.

(10) Penyedia tidak akan menerima keuntungan untuk mereka sendiri dari komisi usaha (trade commision), rabat (discount) atau pembayaran-pembayaran lain yang berhubungan dengan kegiatan pelaksanaan jasa konsultasi.

(11) Penyedia setuju bahwa selama pelaksanaan kontrak, penyedia dinyatakan tidak berwenang untuk melaksanakan jasa konsultasi maupun mengadakan barang yang tidak sesuai dengan kontrak.

(12) Penyedia dilarang baik secara langsung atau tidak langsung melakukan kegiatan yang akan menimbulkan pertentangan kepentingan (conflict of interest) dengan kegiatan yang merupakan tugas penyedia.

(30)

(14) Pemeriksaan keuangan merupakan ketentuan mengenai kewajiban penyedia untuk merinci setiap biaya-biaya yang berhubungan dengan pelaksanaan perjanjian, sehingga dapat dilakukan pemeriksaan keuangan. Selain itu, dengan sepengetahuan penyedia atau kuasanya, pengguna/PPK dapat memeriksa dan menggandakan dokumen pengeluaran yang telah diaudit sampai 1 (satu) tahun setelah berakhirnya kontrak. (15) Ketentuan mengenai dokumen-dokumen yang disiapkan oleh

penyedia dan menjadi hak milik pengguna/PPK : mengatur bahwa semua rancangan, gambar-gambar, spesifikasi, disain, laporan dan dokumen-dokumen lain serta software yang disiapkan oleh penyedia jasa menjadi hak milik pengguna/PPK. Penyedia, segera setelah pekerjaan selesai atau berakhirnya kontrak harus menyerahkan seluruh dokumen dan data pendukung lainnya kepada pengguna/PPK. Penyedia dapat menyimpan salinan dari dokumen-dokumen tersebut.

- FIDIC Dalam Perjanjian Jasa Konstruksi

FIDIC singkatan dari Federation Internationale des

Ingenieurs-Conseils (International Federation of Consulting Engineers) didirikan

pada tahun 1913 oleh sekelompok Insinyur dari Perancis dan Swiss.

Yayasan ini ditemukan dalam upaya untuk menciptakan satu set seragam

dokumentasi untuk perjanjian kontrak yang berlaku untuk digunakan

dalam berbagai jenis proyek konstruksi, dan juga untuk menyederhanakan

proses penawaran untuk menjadi lebih “user friendly”. Perlu diingat

bahwa FIDIC kontrak adalah perjanjian antara majikan dan kontraktor.128 FIDIC ditulis dalam “user friendly” dan bahasa yang sederhana,

dengan struktur yang jelas dan logis. Selain itu, bentuk-bentuk FIDIC

128

(31)

kontrak konsisten dalam bahasa dan struktur satu sama lain sehingga

mudah dan praktis untuk menyiapkan dua, atau kontrak bahkan lebih

untuk pekerjaan yang sama. Misalnya : majikan-kontraktor dan

kontraktor-subkontraktor. Dengan konflik minimal dan penyesuaian

antara kontrak, pada saaat yang sama, masing-masing kontrak selesai dan

dapat berdiri sendiri. 129

Kontrak kerja berdasarkan FIDIC yaitu :130 - Definisi dan Interprestasi

Pada bagian ini berisi mengenai istilah-istilah hukum, pihak-pihak yang terkait dan penjelasannya di dalam kontrak. Pada bab ini dijelaskan secara mendetail untuk menghindari adanya kesalahan interprestasi.

- Pengawas

Memuat ketentuan tentang jumlah, klasifikasi dan kualifikasi pengawas untuk melaksanakan pekerjaan konstruksi. Dalam bab ini dijelaskan bahwa pengawas ditunjuk langsung oleh pemberi kerja untuk mengawasi proyek. Dari mulainya proyek sampai dengan berakhirnya. Pengawas memiliki tugas untuk menjembatani antara kontraktor dan pemberi kerja, serta dituntut untuk bersikap adil dalam menghadapi permasalahn yang timbul.

- Penggunaan Kontrak dan Pemakaian Subkontraktor

Pada bagian ini menjelaskan tentang :

- Bahwa kontrak kerja yang telah disetujui oleh kedua belah pihak antara pemberi kerja dan kontraktor tidak dapat dilaksanakan tanpa persetujuan dari pihak pengawas.

129 Ibid 130

(32)

- Bahwa seluruh pekerjaan yang telah disepakati tidak boleh sepenuhnya diberikan kepada subkontraktor tanpa persetujuan dari pengawas dan kontraktor bertanggung jawab sepenuhnya mengenai hasil pekerjaan subkontraktor. Memuat mengenai cara penugasan sub kontraktor dalam suatu proyek kewajiban sub kontraktor.

- Dokumen Kontrak

Pada bagian ini menjelaskan tentang :

- Bahwa kontrak tunduk sesuai dengan peraturan yang berlaku pada tempat dimana proyek berada.

- Dokumen kontrak yang ada berisikan dokumen-dokumen pendukung lainnya seperti : spesifikasi, syarat umum, syarat khusus

- Bahwa data-data teknis seperti keadaan lapangan, jenis tanah dan sebagainya, dibuat oleh kontraktor serta disetujui oleh pengawas untuk digunakan sebagaimana semestinya.

Prinsip dan norma hukum yang terkait dengan kontrak konstruksi telah

berkembang demikian pesat dan bahkan melahirkan cabang baru yang

merupakan spesialisasi dari hukum kontrak. Perkembangan hukum

kontrak konstruksi ini dalam banyak hal terjadi karena peran dari

organisasi Internasional yang berkecimpung dalam dunia konstruksi

seperti FIDIC (Federation Internasionale Des Ingenieurs Conseils), JCT

(Joint Contract Tribunals), AIA (American Institute of Architects) dan

SIA (Singapore Institute of Architects).131

131

Perbedaannya dengan model hukum PGCS yang diterbitkan oleh UNCITRAL adalah bahwa sekalipun model hukum ini cakupannya lebih luas yakni meliputi seluruh jenis objek pengadaan, tetapi dari segi prosesnya model ini hanya menyangkut pengadaan sementara model yang dihasilkan oleh organisasi Internasional bidang konstruksi, seperti misalnya FIDIC, lebih komprehensif karena tidak hanya memberikan pedoman aspek pengadaan tetapi juga aspek kontraknya.

(33)

conditions of contract dan model penyelesaian sengketa kontrak

konstruksi telah diciptakan oleh organisasi-organisasi ini. Dengan tidak

mengesampingkan lembaga yang lain, perhatian terhadap produk

model-model kontrak yang dirancang dan diterbitkan oleh FIDIC akan sangat

bermanfaat sebagai bahan kajian kontrak pengadaan oleh pemerintah

khususnya yang terkait dengan bidang konstruksi.132

Dalam kaitan ini FIDIC bahkan secara khusus telah menerbitkan buku

di bidang kontrak konstruksi, yakni : Red Book133, Yellow Book134, Orange Book135, Silver Book136, dan Green Book yang masing-masingnya

memuat substansi kontrak konstruksi dalam jenis yang berbeda. Kecuali

green book yang memuat contoh-contoh kontrak konstruksi, keempat

jenis buku yang lain berisi conditions of contracts untuk jenis konstruksi

yang berbeda.137

Dalam Pasal 30 Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010, ada 4

(empat) jenis kontrak yang pembedaannya didasarkan pada cara

pembayaran, pembebanan tahun anggaran, sumber pendanaan dan jenis

132

Dalam praktek penyelenggaraan jasa konstruksi yang dibiayai oleh Bank Dunia, model FIDIC-lah yang pada umumnya digunakan. Model-model itu seperti Build Operate Transfer (BOT), Build Own Operate Transfer (BOOT), dan model yang terakhir yakni Desaign Build Finance Operate (DBFO). Yohanes Sogar Simamora, Op. Cit, hlm 216-217

133

Red Book memuat conditions of contracts untuk pekerjaan konstruksi yang berupa civil engineering.

134

Yellow Book memuat conditions of contracts untuk pekerjaan mekanikal dan elektrikal termasuk pembangunan tiang pancang (erection).

135

Orange Book untuk kontak tipe design-build dan turn key

136

Silver Book memuat jenis kontrak BOT dan standar baru untuk kontrak turn key. 137

(34)

pekerjaan. Kontrak yang didasarkan pada bentuk cara pembayaran

dibedakan menjadi : kontrak lumpsum, kontrak harga satuan, kontrak

gabungan lumpsum dan harga satuan, kontrak persentase dan kontrak

terima jadi (turn key).138

Kontrak yang didasarkan pembebanan tahun anggaran dibedakan

menjadi kontrak tahun tunggal dan kontrak tahun jamak. Untuk kontrak

berdasarkan sumber pendanaan terdapat kontrak pengadaan tunggal,

kontrak pengadaan bersama dan kontrak payung (framework contract).

Sedangkan untuk kontrak yang didasarkan pada jenis pekerjaan

dibedakan menjadi kontrak pengadaan pekerjaan tunggal dan kontrak

pengadaan pekerjaan terintegrasi.139

4. Upah dalam Perjanjian Borongan

Dalam pelaksanaan setiap perjanjian yang melibatkan dua pihak

pastilah mempunyai hak dan kewajiban/prestasi yang harus dilaksanakan

dalam menyelesaikan suatu pekerjaan terlebih dalam menentukan upah

yang mana untuk menentukan upah tersebut ditentukan berdasarkan

kesepakatan yang tertuang dalam isi perjanjian.

Menurut Pasal 1 butir 1 Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015

menyatakan bahwa upah ialah

138 Ibid 139

(35)

“Hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan”.

Menurut Pasal 1601o KUHPerdarta menyatakan bahwa upah ialah

“Untuk menghitung upah seharinya yang ditetapkan dalam uang, maka pemakaian satu hari ditetapkan atas sepuluh jam, satu minggu atas enam hari, satu bulan atas dua puluh lima hari dan satu tahun atas tiga ratus hari. Jika upah seluruhnya atau sebagian ditetapkan secara lain daripada menurut waktu, maka sebagai upah harian yang ditetapkan dalam jumlah uang harus diambil upah rata-rata dari si buruh, dihitung selama tiga puluh hari kerja yang telah lalu ; jika terdapat ukuran seperti itu maka sebagai upah harus diambil upah yang biasa untuk pekerjaan yang paling menyerupai, mengingat sifat, tempat dan waktu”.

Dalam KUHPerdata tidak ada ketentuan mengenai uang muka dan

pembayaran prestasi kerja, maka ketentuan mengenai uang muka dan

pembayaran prestasi kerja diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 70

Tahun 2012 dan Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2015.

Dalam Pasal 88 Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012 disebutkan

mengenai uang muka :

Ayat (1) Uang muka dapat diberikan kepada Penyedia barang/jasa untuk

a. Mobilisasi alat dan tenaga kerja

b. Pembayaran uang tanda jadi kepada pemasok barang/material

c. Persiapan teknis lain yang diperlukan bagi pelaksanaan pengadaan barang/jasa.

Ayat (2) Uang muka dapat diberikan kepada Penyedia barang/jasa dengan ketentuan sebagai berikut :

(36)

b. Untuk usaha kecil, uang muka dapat diberikan paling tinggi 30% (tiga pulu persen) dari nilai Kontrak Pengadaan Barang/Jasa

c. Untuk usaha nonkecil dan Penyedia jasa konsultasi, uang muka dapat diberikan paling tinggi 20% (dua puluh persen) dari nilai Kontrak Pengadaan Barang/Jasa

d. Untuk kontrak tahun jamak, uang muka dapat diberikan ; 1) 20% (dua puluh persen) dari kontrak tahun pertama atau 2) 15% (lima belas persen) dari nilai kontrak.

Ayat (3) Uang muka yang telah diberikan kepada Penyedia barang/jasa, harus segera dipergunakan untuk melaksanakan pekerjaan sesuai dengan rencana penggunaan uang muka yang telah mendapat persetujuan PPK

Ayat (4) Nilai jaminan uang muka secara bertahap dapat dikurangi secara proposional sesuai dengan pencapaian prestasi pekerjaan.

Dalam Pasal 89 Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2015

menyebutkan mengenai Pembayaran Prestasi kerja :

Ayat (1) Pembayaran prestasi pekerjaan dapat diberikan dalam bentuk :

a. Pembayaran bulanan

b. Pembayaran berdasarkan tahapan penyelesaian pekerjaan (termin) atau

c. Pembayaran secara sekaligus setelah penyelesaian pekerjaan

Ayat (2) Pembayaran prestasi pekerjaan diberikan kepada penyedia barang jasa senilai prestasi pekerjaan yang diterima setelah dikurangi angsuran pengembalian uang muka dan denda apabila ada, serta pajak.

Ayat (2a) Pembayaran untuk pekerjaan konstruksi, dilakukan senilai pekerjaan yang terpasang.

Ayat (3) Permintaan pembayaran kepada PPK untuk kontrak yang menggunakan subkontrak, harus dilengkapi bukti pembayaran kepada seluruh subkontraktor sesuai dengan perkembangan (progress) pekerjaannya.

Ayat (4) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana diatur pada ayat (2) dan ayat (2a), pembayaran dapat dilakukan sebelum prestasi pekerjaan diterima/dipasang untuk :

(37)

b. Pengadaan barang/jasa yang karena sifatnya dapat dilakukan pembayaran terlebih dahulu, sebelum barang/jasa diterima setelah penyedia barang/jasa menyampaikan jaminan atas pembayaran yang akan dilakukan.

c. Pembayaran peralatan dan/atau bahan yang menjadi bagian dari hasil pekerjaan yang akan diserahterimakan, namun belum terpasang.

Ayat(4a) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembayaran sebagaimana pada ayat (4) huruf b, termasuk bentuk jaminan diatur oleh Menteri Keuangan

Ayat (5) PPK menahan sebagian pembayaran prestasi pekerjaan sebagai uang retensi untuk jaminan pemeliharaan pekerjaan konstruksi dan jasa lainnya yang membutuhkan masa pemeliharaan.

Dalam hal melakukan pembayaran, termasuk pembayaran upah dalam

perjanjian borongan menggunakan mata uang Rupiah yang dimana sudah

diatur dalam Pasal 21 ayat (1) dan (2) Undang-undang Nomor 7 Tahun

2011 tentang Mata Uang. Dengan ketentuan Pasal 21 ayat (1)

menyebutkan bahwa “Rupiah wajib digunakan setiap transaksi yang

mempunyai tujuan pembayaran maka dalam penyelesaian kewajiban

harus dipenuhi dengan uang”. Sehingga dengan adanya ketentuan seperti

itu maka setiap transaksi yang dilakukan di Wilayah Negara Kesatuan

Republik Indonesia menggunakan mata uang Rupiah. Namun Rupiah

tidak bisa digunakan dalam hal penerimaan atau pemberiaan hibah dari

atau ke luar negeri dan transaksi perdagangan Internasional.140

5. Wanprestasi dalam Perjanjian Borongan

140

(38)

Yang dimaksud dengan wanprestasi adalah jika salah satu pihak dalam

perjanjian tidak memenuhi prestasi karena kesalahannya (kesengajaan

atau kelalaian). Adapun bentuk-bentuk wanprestasi adalah :141 a. Tidak memenuhi prestasi sama sekali.

b. Memenuhi prestasi secara tidak baik.

c. Terlambat memenuhi prestasi.

Menurut Pasal 1238 KUHPerdata menyatakan bahwa :

“si berutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatannya sendiri ialah jika ini menetapkan, bahwa si berutang harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan”

Untuk mengatakan bahwa seseorang melakukan wanprestasi dalam

suatu perjanjian, sangat tidak mudah karena sering sekali juga tidak

dijanjikan dengan tepat kapan suatu pihak diwajibkan melakukan prestasi

yang diperjanjikan. Dalam hal bentuk prestasi debitur dalam perjanjian

yang berupa tidak berbuat sesuatu, akan mudah ditentukan sejak kapan

debitur melakukan wanprestasi yaitu sejak pada saat debitur berbuat

sesuatu yang tidak diperbolehkan dalam perjanjian. Sedangkan bentuk

prestasi debitur yang berupa berbuat sesuatu yang memberikan sesuatu

apabila batas waktunya ditentukan dalam perjanjian maka sesuai Pasal

1238 KUHPerdata debitur dianggap melakukan wanprestasi dengan

lewatnya batas waktu tertentu. Dan apabila tidak ditentukan mengenai

141

(39)

batas waktunya maka untuk menyatakan seseorang debitur melakukan

wanprestasi, diperlukan surat peringatan tertulis dari kreditur yang

diberikan kepada debitur. Surat peringatan disebut dengan somasi.142 Akibat adanya wanprestasi maka kreditur (yang berhak menuntut

prestasi) dapat menuntut kepada debitur (yang wajib memenuhi

prestasi):143

1) Pemenuhan prestasi

2) Pemenuhan prestasi dengan ganti rugi

3) Ganti rugi

4) Pembatalan perjanjian

5) Pembatalan perjanjian dengan ganti rugi

Dalam pelaksanaan perjanjian kemungkinan timbul wanprestasi yang

dilakukan oleh para pihak dalam perjanjian. Dalam keadaan demikianlah

berlakulah ketentuan-ketentuan yang wajib dipenuhi yang timbul akibat

wanprestasi, yaitu kemungkinan pemutusan perjanjian, pengganti

kerugian atau pemenuhan.144

Jika pemborong tidak dapat menyelesaikan pekerjaan menurut waktu

yang ditetapkan atau menyerahkan pekerjaan dengan tidak baik, maka

atas gugatan dari si pemberi tugas hakim dapat memutuskan perjanjian

142

Somasi merupakan pemberitahuan atau pernyataan dari kreditur kepada debitur yang berisi ketentuan bahwa kreditur menghendaki pemenuhan prestasi seketika atau dalam jangka waktu seperti yang ditentukan dalam pemberitahuan itu.

143

F.X. Djumialdi (2), Op.Cit, hlm 17

144

(40)

tersebut sebagian atau seluruhnya beserta segala akibatnya. Yang

dimaksud dengan akibat pemutusan perjanjian disini ialah pemutusana

untuk waktu yang akan datang (ontbinding voor de toekomst), dalam arti

bahwa mengenai pekerjaan yang telah diselesaikan/dikerjakan akan tetap

dibayar (nakoming van het verleden), namun mengenai pekerjaan yag

belum dikerjakan itu yang diputuskan.145

Dengan adanya pemutusan perjanjian demikian perikatannya bukan

berhenti sama sekali seperti seolah-olah tidak pernah terjadi perikatan

sama sekali, dan wajib dipulihkan ke keadaan semula, melainkan dalam

keadaan tersebut diatas si pemberi tugas dapat menyuruh orang lain untuk

menyelesaikan pemborongan itu, sesuai anggaran yang telah

ditetapkan.146

Dalam praktek apabila terjadi wanprestasi dalam perjanjian

pemborongan maka yang memborongkan terlebih dahulu memberi

teguran agar pemborong memenuhi kewajibannya sebagaimana yang

telah diperjanjikan dalam jangka waktu yang layak.147

Akibat dari wanprestasi biasanya sebagai berikut :

Jika setelah ada

teguran diperjanjikan tetap mengabaikan peringatan tersebut maka

pemborong dianggap telah melakukan wanprestasi.

148

145

Ibid., hlm 83

146

Ibid.

147

F.X. Djumialdi (2), Loc.Cit.

148

(41)

a) Apabila pemborong terlambat menyerahkan pekerjaannya, maka pemborong dapat dikenai denda 1% atau 2% setiap hari kelambatan dengan jumlah denda setinggi-tingginya 5% dari harga borongan/kontrak.

b) Apabila pemborong menyerahkan pekerjaannya pada pihak lain, atau tidak dapat melaksanakan pekerjaannya atau batas maksimum denda dilampaui, maka perjanjian pemborongan dapat dibatalkan oleh pihak yang memborongkan.

Mengenai kewajiban pembayaran denda yang diwajibkan dalam

perjanjian dalam hal terjadi kelambatan penyerahan pekerjaan, hendaknya

diperhatikan bahwa dalam pengaturan mengenai pembebanan denda

tersebut dengan mengingat ketentuan-ketentuan sebagaimana

dikemukakan oleh Bloembergen sebagai berikut :149

(1) Denda tersebut baru diwajibkan dibayar setelah adanya pernyataan lalai lebih dahulu, jika dalam jangka waktu pernyataan lalai tersebut pemborong tetap tidak dapat memperbaiki kelalaiannya maka pembayaran denda wajib dipenuhi.

(2) Pembayaran baru diwajibkan jika pemborong tidak dapat mengemukakan adanya overmacht atau hambatan penyerahan tersebut.

(3) Denda itu harus diperinci sesuai dengan keadaan/sifat dari wanprestasi tersebut, sehingga ada denda yang diwajibkan untuk dibayar sekali saja, ada yang dibebankan untuk dibayar setiap hari kelambatan, atau dibayar untuk sekian kali dan lain-lain.

(4) Gugatan untuk pembayaran denda tersebut dan gugat untuk pembayaran pengganti kerugian pada azasnya tidak boleh bersamaan/berganda. Karena pembayaran denda pada hakikatnya adalah merupakan pembayaran kerugian yang telah ditetapkan. Pihak yang dirugikan seharusnya membuktikan bahwa ia menderita kerugian yang lebih besar, padanya terletak beban pembuktian. Jika ia dapat membuktikan adanya kerugian

149

(42)

yang diderita tersebut maka di samping denda ia dapat menuntut pengganti kerugian.

B. Proyek Swakelola dalam Sistem Pengadaan Barang dan/Jasa Pemerintah 1. Dasar Hukum Pengadaan Barang dan/atau Jasa Pemerintah

Pengadaan barang/jasa pemerintah dilakukan dengan mengacu pada

sejumlah peraturan dan kebijakan. Dasar hukum dan ketentuan/peraturan

pengadaan barang/jasa dapat dikelompokkan menjadi dua bagian,

yaitu:150

a. Dasar Hukum Utama

b. Dasar Hukum Terkait

Berikut penjelasannya :

1) Dasar Hukum Utama

Dasar hukum utama yang digunakan sebagai dasar pelaksanaan

pengadaan barang/jasa pemerintah adalah :151

a) Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

b) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (Lembaga Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4355)

c) Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi (Lembaga Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3956)

d) Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah (Lembaran Negara

150

LKPP (Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah), Modul I ; Pengantar Pengadaan Barang/Jasa di Indonesia, (Jakarta : Deputi Bidang PPSDM, 2014), hlm 15.

151

(43)

Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 92), Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5533.

e) Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 106 tahun 2007 tentang Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah

f) Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah

2) Dasar Hukum Terkait

Dasar Hukum Terkait dengan pelaksanaan pengadaan barang/jasa

pemerintah adalah sebagai berikut :152

a) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli Persaingan Usaha Tidak Sehat.

b) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme

c) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara

d) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2000 tentang Jasa Konstruksi

e) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, kecil dan Menengah

f) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2010 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2000 tentang Usaha dan Peran Masyarakat Jasa Konstruksi g) Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2000 tentang

Pembinaan Jasa Konstruksi

h) Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 53 Tahun 2010 Perubahan Kedua atas Keputusan Presiden Nomor 42 Tahun 2002 tentang Pedoman Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara

2. Metode Pengadaan Barang dan/atau Jasa Pemerintah

152

(44)

Metode atau cara Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah

dapat dilakukan dengan 2 (dua) cara yaitu :153 a. Swakelola ; dan/atau

b. Pemilihan Penyedia Barang/Jasa

Berikut penjelasannya :

1) Swakelola

Swakelola merupakan kegiatan Pengadaan Barang/Jasa dimana

pekerjaannya direncanakan, dikerjakan dan/atau diawasi sendiri oleh

K/L/D/I sebagai penanggung jawab anggaran, instansi pemerintah lain

dan/atau kelompok masyarakat.154

Pekerjaan yang dapat dilakukan dengan Swakelola meliputi :155

a) Pekerjaan yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan dan/atau memanfaatkan kemampuan teknis sumber daya manusia sesuai dengan tugas pokok K/L/D/I.

b) Pekerjaan yang operasi dan pemeliharaannya memerlukan partisipasi langsung masyarakat setempat.

c) Pekerjaan yang dilihat dari segi besaran, sifat, lokasi atau pembiayaannya tidak diminati oleh Penyedia Barang/Jasa

d) Pekerjaan yang secara rinci/detail tidak dapat dihitung/ditentukan terlebih dahulu, sehingga apabila dilaksanakan oleh Penyedia Barang/Jasa akan menimbulkan ketidakpastian dan resiko yang besar.

e) Penyelenggaraan diklat, kursus, penataran, seminar, lokakarya atau penyuluhan.

153

Pasal 3 Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah

154

Pasal 26 ayat (1) Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.

155

(45)

f) Pekerjaan untuk proyek percontohan (pilot project) dan survei yang bersifat khusus untuk pengembangan teknologi/metode kerja yang belum dapat dilaksanakan oleh Penyedia Barang/Jasa.

g) Pekerjaan survei, pemrosesan data, perumusan kebijakan pemerintah, pengujian di laboratorium dan pengembangan sistem tertentu.

h) Pekerjaan yang bersifat rahasia bagi K/L/D/I yang bersangkutan. i) Pekerjaan industri kreatif, inovatif dan budaya dalam negeri. j) Penelitian dan pengembangan dalam negeri dan/atau

k) Pekerjaan pengembangan industri pertahanan, industri alutsista dan industri almatsus dalam negeri.

Pengadaan melalui Swakelola dapat dilakukan oleh :156 (1) K/L/D/I Penanggung Jawab Anggaran.

(2) Instansi Pemerintah lain Pelaksana Swakelola dan/atau

(3) Kelompok Masyarakat Pelaksana Swakelola.

Penetapan jenis pekerjaan serta pihak yang akan melaksanakan

Pengadaan Barang/Jasa secara Swakelola. PA (Pengguna Anggaran)/KPA

(Kuasa Pengguna Anggaran) dilakukan oleh PA/KPA. Selain cara

Swakelola pengadaan barang/jasa dapat dilakukan dengan cara melalui

penyedia barang/jasa. Penyedia barang/jasa adalah badan usaha atau

orang perseorangan yang menyediakan barang/pekerjaan konstruksi/jasa

konsultansi/jasa lainnya.157

2) Dengan melalui penyedia barang/jasa

156

Pasal 26 ayat (4) Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.

157

(46)

Yang dimaksud metode pemilihan barang/jasa pemerintah adalah

bagaimana cara memilih penyedia barang/jasa yang akan ditunjuk sebagai

penyedia barang/jasa bagi suatu instansi pemerintah. Cara pemilihan

penyedia ditentukan melalui jenis barang/jasa yang akan diadakan

meliputi barang/jasa konsultansi/pekerjaan konstruksi/jasa lainnya.158 Cara pemilihan Penyedia Barang dapat dilakukan melalui :159 a) Pelelangan Umum

b) Pelelangan Terbatas c) Pelelangan Sederhana d) Penunjukkan Langsung e) Pengadaan Langsung f) Kontes

Barang adalah setiap benda baik berwujud maupun tidak berwujud,

bergerak maupun tidak bergerak, yang dapat diperdagangkan, dipakai,

dipergunakan atau dimanfaatkan oleh pengguna barang. Cara pemilihan

penyedia barang dibedakan berdasarkan jenis barang dan jumlah

perkiraan biaya pengadaan barang. Jika barang yang akan diadakan

adalah barang umum dan perkiraan harga barang tersebut lebih dari Rp.

5.000.000.000 (lima miliar rupiah) pemilihan penyedianya dilakukan

dengan cara pelelangan umum. Jika barang yang perkiraan harganya di

atas Rp. 5.000.000.000 (lima miliar rupiah merupakan barang khusus

158

Ibid.

159

(47)

yang diyakini penyedianya terbatas, pemilihan dilakukan dengan cara

pelelangan terbatas.

Jika perkiraan biaya pekerjaan konstruksi di atas Rp. 200.000.000 (dua

ratus juta rupiah) dan tidak lebih dari Rp. 5.000.000.000 (lima miliar

rupiah) pemilihan penyedianya dilakukan dengan cara pelelangan

sederhana. Jika perkiraan harga barang yang akan diadakan tidak lebih

dari Rp. 200.000.000 (dua ratus juta rupiah) pemilihan penyedianya

dilakukan dengan cara pengadaan langsung.160

Berikut penjelasan pemilihan penyedia barang dapat dilakukan dengan

cara :161

(1) Pemilihan Penyedia Melalui Pelelangan Umum

Pelelangan umum digunakan untuk memilih penyedia barang yang bernilai di atas Rp. 5.000.000.000 (lima miliar rupiah) sampai dengan Rp. 100.000.000.000 (seratus miliar rupiah) yang bukan barang bersifat kompleks.

(2) Pemilihan Penyedia Melalui Pelelangan Terbatas

Pelelangan terbatas digunakan untuk memilih penyedia barang yang bersifat kompleks dimana jumlah penyedia yang mampu mengerjakannya diyakini terbatas, dan/atau barang dengan nilai paket pengadaan di atas Rp. 100.000.000.000 (seratus miliar rupiah). Pelelangan terbatas dilakukan dengan melalui serangkaian proses lelang yang diumumkan secara terbuka dan mengikutsertakan sebanyak mungkin penyedia yang memenuhi syarat. Pelelangan terbatas dilakukan dengan cara prakualifikasi. Pengumuman prakualifikasi dalam pelelangan terbatas mencantumkan nama calon penyedia barang yang telah dipastikan akan ikut dalam proses pemilihan penyedia barang.

160

Abu Sopian, Op. Cit, hlm 82 161

Referensi

Dokumen terkait

provinsi dan kabupaten/kota serta perguruan tinggi guna mewujudkan sinergitas dan keselarasan program/kegiatan yang dituangkan dalam rencana induk kelitbangan dalam

[r]

[r]

Michael Lim, Eric Wirtanto, Zuhrina Masyithah.2012.Kajian Karakteristik Dan Pengaruh Nisbah Pereaksi, pH Awal Reaksi Dan Suhu Reaksi Terhadap Berat Rendemen

[r]

[r]

bahwa sehubungan dengan jumlah pejabat fungsional Auditor di Iingkungan Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan, Aisip Nasional Republik Indonesia, Badan

DAFTAR URUT PRIORITAS (LONG LIST) CALON PESERTA SERTIFIKASI BAGI GURU RA/MADRASAH DALAM JABATAN UNTUK MATA PELAJARAN KEAGAMAAN (QUR'AN HADIST, AKIDAH AKHLAK, FIQH, SKI), BAHASA