• Tidak ada hasil yang ditemukan

Implementasi Program Jaminan Persalinan (Jampersal) di Puskesmas Ngrayun (Studi Deskriptif Tentang Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Implementasi Program Jampersal di Puskesmas Ngrayun Kabupaten Ponorogo)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Implementasi Program Jaminan Persalinan (Jampersal) di Puskesmas Ngrayun (Studi Deskriptif Tentang Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Implementasi Program Jampersal di Puskesmas Ngrayun Kabupaten Ponorogo)"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

Implementasi Program Jaminan Persalinan (Jampersal) di Puskesmas Ngrayun

(Studi Deskriptif Tentang Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Implementasi Program

Jampersal di Puskesmas Ngrayun Kabupaten Ponorogo)

Isna Noer Fitrieana

(Mahasiswa Program Studi Ilmu Administrasi Negara Universitas Airlangga Tahun Angkatan 2008)

ABSTRACT

Jampersal program is a program of health service coverage from the government that issued in 2011. It aims to improve public access to pregnancy and childbirth health care through medical personnel and adequate health facilities. Discussion in this study emphasizes on capability of jampersal program to be implemented to the society and focus on the factors that influence implementation of Jampersal program in Ngrayun clinics. In general, the implementation of Jampersal program in Ngrayun clinics have been conducted in the appropriate guidelines and specified instructions. The supporting factors in the implementation of Jampersal program are the existence of a clear coordination between the implementing organization structures, there is a fairly high disposition from the executive staff, and there are positive supports from the community to jampersal program.While the inhibits factors are the socialization process to the community are not maximum yet and the funding system of medical cost additional must be burdened by the jampersal participants own.

Keywords: implementation, program, jampersal

1. Pendahuluan

1.1 Latar Belakang Masalah

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 pasal 27 ayat (2) menyebutkan

bahwa “setiap warga negara berhak mendapat pekerjaan dan penghidupan yang layak”. Berdasarkan

undang-undang tersebut, pemerintah bertanggung jawab untuk menciptakan masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera. Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah guna mewujudkan tujuan tersebut adalah dengan melakukan pembangunan nasional. Pembangunan di Indonesia mencakup pembangunan di segala bidang dan salah salah satu yang paling penting adalah pembangunan di bidang kesehatan. Pembangunan kesehatan adalah bagian integral dari pembangunan nasional yang bertujuan agar semua lapisan masyarakat memperoleh pelayanan kesehatan secara mudah, leluasa dan murah. Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28 H ayat (1) menyebutkan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Peraturan perundangan tersebut mengisyaratkan bahwa pelayanan kesehatan yang bersifat menyeluruh, terpadu, merata, dapat diterima serta terjangkau oleh seluruh lapisan perlu diupayakan guna mewujudkan derajat kesehatan masyarakat setinggi-tingginya bagi seluruh masyarakat termasuk masyarakat miskin dan tidak mampu. Namun, faktanya hingga saat ini upaya pemerataan pembangunan di bidang kesehatan di negara-negara berkembang termasuk di Indonesia masih menemui berbagai kendala. Rendahnya derajat kesehatan masyarakat Indonesia, salah satunya dapat dilihat dari tingginya kematian ibu dan bayi yang terjadi. Berikut ini data yang diperoleh dari Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2010 yang menunjukkan perkembangan angka kematian ibu dan bayi di Indonesia:

Tabel 1.1

Data Perkembangan Angka Kematian Ibu dan Bayi di Indonesia

Tahun AKI per 100.000 kelahiran hidup

AKB per 1000 kelahiran hidup

1991 390 68

1994 390 57

1997 334 46

2002 307 45

2007 228 35

2010 214 33

Sumber data: Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) Data di atas menunjukkan bahwa angka kematian ibu dan bayi di Indonesia terus menunjukkan perkembangan yang positif yakni angka kematian ibu dan bayi selalu mengalami penurunan dari tahun 1991 hingga tahun 2010. Namun, angka kematian ibu dan bayi di Indonesia tersebut masih menjadi salah satu yang tertinggi di wilayah Asia. Selain itu, AKI dan AKB tersebut masih belum dapat mencapai target

Millenium Develoment Goals (MDG’s) 2000.

Berdasarkan kesepakatan global (Millenium

Develoment Goals/MDG’s 2000), target angka

kematian ibu (AKI) di Indonesia menurun dari angka 214 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2010 menjadi 102 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2015. Sedangkan angka kematian bayi (AKB) di Indonesia menurun dari angka 33 per 1000 kelahiran hidup pada tahun 2010 menjadi 23 per 1000 kelahiran hidup pada tahun 2015.

(2)

di fasilitas kesehatan pada saat keadaan darurat dan terlambat memperoleh pelayanan yang memadai oleh tenaga kesehatan (www.depkes.go.id diakses pada tanggal 26 Mei 2012).

Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah resiko kematian ibu dan bayi adalah dengan melakukan persalinan yang ditolong oleh tenaga kesehatan terdidik di fasilitas kesehatan yang memadai. Menurut hasil Riset Kesehatan Dasar (riskesdas) tahun 2010, persalinan oleh tenaga kesehatan pada kelompok sasaran miskin baru mencapai sekitar 69,3%. Sedangkan persalinan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan di fasilitas kesehatan baru mencapai 55,4% (www.depkes.go.id diakses pada tanggal 26 Mei 2012). Berdasarkan data tersebut dapat dilihat bahwa salah satu faktor yang menyebabkan tingginya angka kematian ibu dan bayi di Indonesia adalah rendahnya cakupan pertolongan persalinan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan di fasilitas kesehatan yang memadai.

Untuk itu, pemerintah berupaya menjamin dan meningkatkan akses masyarakat dalam memperoleh pelayanan kesehatan yang berkaitan dengan kehamilan dan persalinan melalui tenaga medis dan fasilitas kesehatan yang memadai dengan menyelenggarakan program Jaminan Persalinan (Jampersal) pada tahun 2011. Program Jampersal diselenggarakan oleh Departemen Kesehatan Republik Indonesia

berdasarkan peraturan Nomor

631/Menkes/Per/III/2011. Program Jampersal

ditujukan bagi seluruh ibu hamil, bersalin dan nifas serta bayi baru lahir yang belum memiliki jaminan kesehatan sendiri. Pelayanan kesehatan yang dapat diperoleh peserta Jampersal meliputi: pemeriksaan kehamilan, pertolongan persalinan, pelayanan nifas termasuk KB pasca persalinan, dan pelayanan bayi baru lahir.

Upaya penerapan pelayanan Jampersal sebagian besar didapatkan masyarakat dari puskesmas yang merupakan pusat pengembangan dan pelayanan kesehatan terdepan. Puskesmas Ngrayun dan jaringannya mempunyai wewenang dan tanggung jawab untuk memberikan pelayanan kesehatan yang berkaitan dengan pelaksanaan program Jampersal kepada masyarakat di wilayah kecamatan Ngrayun. Sebelum diselenggarakan program Jampersal, masih terdapat sebagian masyarakat di kecamatan Ngrayun yang kurang memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang pentingnya melakukan pemeriksaan kehamilan dan persalinan di fasilitas kesehatan yang memadai guna menjamin kesehatan dan keselamatan ibu dan bayi. Mereka lebih memilih menggunakan jasa-jasa pengobatan tradisional daripada pergi ke puskesmas atau bidan. Hal tersebut disebabkan oleh berbagai faktor seperti, faktor kesulitan ekonomi, pendidikan dan pengetahuan masyarakat yang masih rendah, serta faktor topografi wilayah yang sulit. Untuk itu, adanya pelaksanaan program Jampersal diharapkan dapat berperan untuk meningkatkan akses masyarakat dalam mendapatkan pelayanan kesehatan kehamilan hingga pertolongan persalinan yang memadai dan berkualitas di puskesmas Ngrayun dan jaringannya.

Berdasarkan fenomena yang telah dipaparkan di atas, fokus dan lokus yang diambil dalam penelitian ini adalah implementasi program jaminan persalinan (Jampersal) di puskesmas Ngrayun kabupaten Ponorogo. Maka, penelitian ini akan dapat memberikan penjelasan mengenai masalah yang berkaitan dengan pelaksanaan program Jampersal serta faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi program Jampersal di puskesmas Ngrayun dan jaringannya. Analisa mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi program Jampersal dilakukan dengan menggunakan model-model implementasi sebagai dasar analisis, sehingga akan dapat diketahui mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi program jampersal di puskesmas Ngrayun dan jaringannya.

Kajian tentang implementasi dalam studi Administrasi Negara merupakan suatu kajian yang termasuk dalam kajian analisa kebijakan. Dengan mempelajari tentang implemetasi kebijakan berarti berusaha untuk memahami apa yang terjadi sesudah suatu program diberlakukan atau dirumuskan, yakni peristiwa-peristiwa dan kegiatan-kegiaran yang terjadi setelah proses pengesahan atau legislasi kebijakan publik, baik itu usaha-usaha untuk mengadministrasikannya maupun usaha-usaha untuk memberikan dampak tertentu pada masyarakat ataupun peristiwa-peristiwa.

Penelitian ini dimaksudkan untuk melihat implementasi program Jampersal di puskesmas Ngrayun dan jaringannya serta faktor-faktor yang mempengaruhinya yang relevan secara teoritis. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai pelaksanaan program Jampersal di puskesmas Ngrayun dan jaringannya sehingga dapat menjadi sumbangan informasi kepada masyarakat serta pihak-pihak yang terkait dalam hal ini khususnya kepada pelaksana Jampersal di puskesmas Ngrayun dan jaringannya agar dapat dijadikan sebagai masukan dalam pelaksanaan jampersal sehingga dapat mencapai tujuan dan tepat sasaran.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah implementasi program Jampersal di puskesmas Ngrayun Ponorogo? 2. Apakah faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi program Jampersal di puskesmas Ngrayun Ponorogo?

1.3 Tinjauan Teori 1.3.1 Kebijakan Publik

(3)

Kebijakan publik dalam penelitian ini dapat diratikan sebagai segala sesuatu yang dinyatakan oleh pemerintah secara formal ditetapkan dalam peraturan-peraturan perundang-undangan dan diikuti dengan adanya tindakan nyata berupa program-program dari pemerintah untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu dalam kepentingan publik.

1.3.2 Implementasi Kebijakan

Implementasi kebijakan pada prinsipnya adalah cara agar sebuah kebijakan dapat mencapai tujuannya. Untuk mengimplementasikan kebijakan publik ada dua pilihan langkah yang ada yaitu langsung mengimplementasikan dalam bentuk program atau melalui formulasi kebijakan derivat atau turunan dari kebijakan publik tersebut (Nugroho, 2003:158).

Pengertian lain dari implementasi kebijakan adalah rangkaian tindakan tindak lanjut (setelah sebuah program atau kebijaksanaan ditetapkan) yang terdiri atas pengambilan keputusan, langkah-langkah yang strategis maupun yang operasional yang ditempuh guna mewujudkan suatu program atau kebijakan menjadi kenyataan, untuk mencapai sasaran dari program yang telah ditetapkan sejak semula (Syukur, 1988:11).

Dari definisi di atas, dapat dilihat bahwa implementasi kebijakan menyangkut tiga hal, yaitu (Agustino, 2006:136):

1. adanya tujuan atau sasaran kebijakan 2. adanya aktivitas pencapaian tujuan 3. adanya hasil kegiatan

Selain itu terdapat hal pokok dalam implementasi, yaitu (Agustino, 2006:136):

a. adanya kebijakan yang dilaksanakan

b. adanya target group/ kelompok sasaran yang merupakan kelompok masyarakat yang diharapkan menerima manfaat dari kebijakan.

c. adanya unsur pelaksana (implementor) baik organisasi atau perorangan yang bertanggungjawab dalam pengelolaan, pelaksanaan, dan pengawasan dari proses implementasi

Maka, implementasi kebijakan dalam penelitian ini dapat diartikan sebagai tindakan nyata atau pelaksanaan dari program pemerintah yang dilakukan oleh pihak-pihak atau badan-badan yang berwenang dari pemerintah terhadap masyarakat yang menjadi kelompok sasaran sesuai dengan ketentuan yang ada guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan dalam program tersebut.

1.3.3 Kebijakan Nasional Jaminan Persalinan (Jampersal)

Program menurut Bintoro Tjokroamidjojo adalah suatu aktivitas sosial yang terorganisasi dengan tujuan tertentu yang spesifik dalam ruang dan waktu yang terbatas yang terdiri dari berbagai proyek yang saling berhubungan dan biasanya terbatas pada satu atau lebih organisasi atau aktivitas) (Tjokroamidjojo, 1990:195).

Dalam penelitian ini, program dapat diartikan sebagai bentuk operasional dari suatu kebijakan yang telah dibuat oleh pemerintah yang tersusun secara jelas guna melaksanakan dan mencapai tujuan yang telah ditetapkan di dalam kebijakan agar dapat tercapai secara nyata. Merujuk pada pengertian tersebut, maka

program Jaminan Persalinan (Jampersal) dapat diartikan sebagai bentuk kebijakan pemerintah dalam bidang pelayanan kesehatan yang dikeluarkan kementerian kesehatan Republik Indonesia pada tahun 2011 melalui peraturan Nomor 631/Menkes/Per/III/. Jampersal bertujuan untuk meningkatkan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan kehamilan dan persalinan yang dilakukan oleh dokter atau bidan dalam rangka menurunkan AKI dan AKB melalui jaminan pembiayaan untuk pelayanan persalinan. Pelayanan Jampersal meliputi pemeriksaan kehamilan, pertolongan persalinan, pelayanan nifas termasuk pelayanan KB pasca persalinan dan pelayanan bayi baru lahir.

1.3.4 Implementasi Program Jampersal

Dalam pedoman pelaksanaan program jampersal telah dijelaskan bahwa masyarakat yang tercatat sebagai peserta jampersal akan mendapatkan pelayanan persalinan di unit-unit penyedia pelayanan kesehatan milik pemerintah seperti di puskesmas dan jaringannya untuk pelayanan persalinan tingkat pertama dan rumah sakit yang telah ditunjuk sebagai rumah sakit rujukan pasien jampersal untuk pelayanan tingkat lanjutan.

Sebagai salah satu puskesmas yang telah ditunjuk sebagai pelaksana program jampersal, puskesmas Ngrayun dan jaringannya memiliki tugas untuk memberikan tindakan-tindakan medis yang berkenaan dengan pelayanan jaminan persalinan kepada peserta jampersal disertai dengan sarana dan fasilitas yang mendukung akses dan mutu pelayanan yang diberikan kepada pasien jampersal. Sehingga, dalam penelitian ini implementasi program jampersal dapat didefinisikan sebagai serangkaian kegiatan pelayanan jampersal yang dilakukan oleh staf pelaksana puskesmas Ngrayun dan jaringannya kepada peserta jampersal dengan menggunakan sarana-sarana yang dapat mendukung peningkatan akses dan mutu layanan kepada peserta jampersal.

1.3.5 Model Implementasi Kebijakan

Implementasi kebijakan berkaitan erat dengan faktor-faktor lingkungan dimana kebijakan tersebut diimplementasikan, misalnya, faktor manusia, faktor sosial budaya, faktor politik, dan lain-lain. Guna lebih memudahkan proses analisis dalam kebijakan pemerintah, maka yang perlu dilakukan adalah mengidentifikasi faktor-faktor apa saja yang secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi proses implementasi tersebut.

Dalam studi implementasi kebijakan, terdapat tiga pendekatan model implementasi yaitu: kebijakan

yang berpola “dari atas ke bawah” (top-down), “dari

bawah ke atas” (bottom-up), dan pendekatan kombinasi

top-down dan bottom-up. Model “top-down” berupa

pola yang dikerjakan oleh pemerintah untuk rakyat, dimana partisipasi lebih berbentuk mobilisasi.

Sebaliknya, “bottom-up” bermakna meski kebijakan dibuat oleh pemerintah, namun pelaksanaannya oleh rakyat (Nugroho, 2003:167).

(4)

top-down. Hal ini dikarenakan program Jampersal merupakan program yang berada di bawah kewenangan pemerintah yakni kebijakan yang dilaksanakan pemerintah untuk masyarakat.

Dalam penelitian ini, model implementasi yang digunakan adalah model implementasi George C. Edwards III dan model implementasi Donald P.Warwick. Model implementasi Edwards III (dalam Subarsono, 2005:91) menjelaskan bahwa implementasi kebijakan dipengaruhi oleh empat variabel, yakni: 1. Komunikasi

Komunikasi adalah upaya untuk membentuk kesamaan persepsi antar pelaksana dan pihak yang terkait dengan kebijakan mengenai ide, gagasan dan pandangan. Keberhasilan implementasi kebijakan mensyaratkan agar implementor mengetahui apa yang harus dilakukan.

2. Sumber Daya

Sumber daya dalam implementasi kebijakan dapat berwujud manusia, yakni kompetensi implementor, dan sumber daya finansial. Sumber daya adalah faktor penting untuk implementasi kebijakan agar efektif. Tanpa sumber daya kebijakan akan tidak terlaksana dan hanya menjadi dokumen saja. 3. Disposisi

Disposisi adalah watak dan karakteristik yang dimiliki oleh implementor, seperti komitmen, kejujuran, sifat demokratis. Apabila implementor memiliki disposisi yang baik, maka dia akan dapat menjalankan kebijakan dengan baik. Namun ketika implementor memiliki sikap atau perspektif yang berbeda dengan pembuat kebijakan, maka proses implementasi kebijakan juga menjadi tidak efektif. 4. Struktur Birokrasi

Salah satu dari aspek struktur yang penting dari setiap organisasi adalah adanya prosedur operasi yang standar (standart operating procedures atau SOP). SOP menjadi pedoman bagi setiap implementor dalam bertindak.

Sedangkan menurut Donald P.Warwick, dalam tahap implementasi program terdapat dua kategori faktor yang bekerja mempengaruhi keberhasilan pelaksanaan proyek, yaitu: faktor pendorong

(facilitating condition) dan faktor penghambat

(impeding condition) (Wahab, 1997: 67).

Warwick (dalam Wahab, 1997: 67) menjelaskan faktor pendorong dalam implementasi program (facilitating condition) tersebut terdiri dari:

1. Komitmen pimpinan politik (commitment of political leaders), yakni adanya komitmen dari pimpinan pemerintahan dalam pelaksanaan suatu proyek menjadi hal yang utama, karena pimpinan politik adalah yang memiliki kekuasaan di daerah. 2. Kemampuan organisasi (organizational capacity). 3. Komitmen para pelaksana (the commitment of

implementors): if the generals are ready to move to captain and toops will follow.

4. Dukungan kelompok kepentingan (interest group

support): pelaksanaan kebijkan lebih sering

mendapat dukungan dari kelompok kepentingan dalam masyarakat, khususnya yang berkaitan langsung dengan kebijakan.

Sedangkan beberapa faktor yang secara teoritik dapat menimbulkan hambatan terhadap pelaksanaan program (impeding condition) menurut Warwick (dalam Wahab, 1997: 67) ialah:

1. Banyaknya aktor yang terlibat: semakin banyak pihak yang terlibat dan turut mempengaruhi pelaksanaan, maka semakin rumit komunikasi dalam pengambilan keputusan dan semakin besar kemungkinan terjadi hambatan dalam implementasi proyek tersebut.

2. Terdapat komitmen atau loyalitas ganda: hal ini disebabkan adanya tugas ganda yang dirangkai dan dijabat oleh suatu organisasi sehingga perhatian pelaksana menjadi terpecah.

3. Kerumitan yang melekat pada proyek-proyek itu sendiri (intrinsic complexity): hambatan yang biasanya melekat adalah disebabkan oleh faktor-faktor teknis, faktor-faktor ekonomi, pengadaan pangan dan faktor perilaku pelaksana atau masyarakat. 4. Jenjang pengambilan keputusan yang terlalu

banyak: semakin banyak jenjang pengambilan keputusan atau memiliki prosedur yang harus disetujui oleh pihak yang berwenang, maka akan memerlukan waktu lama dalam pelaksanaannya. 5. Faktor lain, yaitu waktu dan perubahan

kepemimpinan: perubahan kepemimpinan baik pada tingkat pimpinan pelaksana maupun dalam organisasi di daerah sedikit banyak mempunyai pengaruh terhadap proyek atau program.

Dalam penelitian ini peneliti akan mengelaborasi model implementasi George c. Edwards III dan model Donald P. Warwick sebagai landasan untuk mengetahui faktor-faktor yang yang berpengaruh terhadap implementasi program jampersal di puskesmas Ngrayun dan jaringannya, dimana penelitian ini akan menitikberatkan pada masalah pelaksanaan program jampersal. Model George c. Edwards III dan Donald P. Warwick dipilih sebagai landasan karena dikaitkan dengan kesesuaian pada permasalahan dan fenomena yang ada dalam pelaksanaan program Jampersal. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi program jampersal tersebut, dilakukan identifikasi melalui faktor-faktor yang ada dalam model implementasi George c. Edwards III dan Donald P. Warwick, yakni: faktor sumber daya, struktur birokrasi, komunikasi, disposisi dan dukungan kelompok sasaran.

1.4 Metode Penelitian

(5)

Analisis data dilakukan melalui reduksi data, penyajian data, penarikan kesimpulan dan verifikasi.

2. Penyajian Data, Analisis Data dan Interpretasi Teoritik

2.1 Implementasi Program Jampersal di Puskesmas Ngrayun dan Jaringannya

Menurut ahli ilmu politik Harold-Lasswell dan filosof Abraham Kaplan (dalam Thoha, 2003: 60), kebijakan dapat dirumuskan sebagai suatu program yang diproyeksikan dari tujuan-tujuan, nilai-nilai, dan praktika-praktika. Selanjutnya, George C.Edwards III dan Ira Sharkansky (dalam Soesilowati, 2010: 12) juga berpendapat bahwa kebijakan publik adalah apa yang dinyatakan dan dilakukan atau tidak dilakukan pemerintah yang dapat ditetapkan dalam peraturan-peraturan perundang-undangan atau dalam policy statement yang berbentuk pidato-pidato dan wacana yang diungkapkan pejabat politik dan pejabat pemerintah yang segera ditindaklanjuti dengan program-program dan tindakan pemerintah. Perspektif tersebut relevan dengan kebijakan program Jampersal yang merupakan kebijakan pemerintah dalam bidang pelayanan kesehatan yang diselenggarakan melalui peraturan Nomor 631/Menkes/Per/III/2011 bertujuan untuk meningkatkan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan khususnya yang berkaitan dengan kesehatan kehamilan dan pertolongan persalinan melalui tenaga medis dan fasilitas kesehatan yang memadai.

Dalam implementasi program Jampersal, puskesmas Ngrayun dan jaringannya sebagai penyedia pelayanan kesehatan milik pemerintah bertugas untuk memberikan tindakan-tindakan medis yang berkaitan dengan pelayanan kesehatan Jampersal kepada peserta Jampersal yang membutuhkan sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan. Secara umum, implementasi program Jampersal di puskesmas Ngrayun dan jaringannya dilaksanakan sesuai dengan pedoman dan petunjuk teknis pelaksanaan yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Hal tersebut dapat dilihat dalam fenomena dimana masyarakat yang bermaksud untuk menggunakan pelayanan Jampersal harus memenuhi persyaratan dan prosedur yang telah ditetapkan yakni melampirkan fotocopy kartu tanda penduduk atau kartu keluarga serta buku kesehatan ibu dan anak sebagai proses administrasi. Persyaratan tersebut cukup mudah sehingga masyarakat tidak mengalami kesulitan mengakses pelayanan Jampersal.

Selanjutnya, George C. Edwards III (dalam Subarsono, 2005: 91) juga menggambarkan sebuah model yang menjelaskan bahwa terdapat empat faktor yang dapat mempengaruhi implementasi sebuah kebijakan, terdiri dari faktor sumber daya, komunikasi, struktrur birokrasi serta disposisi. Sesuai dengan pendapat tersebut, Donald P. Warwick (dalam Wahab, 1997:67) juga menyatakan bahwa dalam tahap implementasi program terdapat dua kategori faktor yang bekerja mempengaruhi keberhasilan pelaksanaan proyek, yaitu: faktor pendorong (facilitating condition) dan faktor penghambat (impeding condition). Faktor pendorong terdiri dari: komitmen pimpinan politik, kemampuan organisasi, komitmen pelaksana, seta

dukungan kelompok kepentingan. Sedangkan yang dapat menjadi faktor penghambat adalah: banyaknya aktor yang terlibat, terdapat loyalitas ganda, kerumitan yang melekat dalam proyek/ program tersebut, jenjang pengambilan keputusan yang terlalu banyak, serta waktu dan perubahan kepemimpinan. Dalam penelitian ini, peneliti mengelaborasi model implementasi George c. Edwards III dan model Donald P. Warwick sebagai landasan untuk mengetahui faktor-faktor yang yang berpengaruh terhadap implementasi program jampersal di puskesmas Ngrayun kabupaten Ponorogo, diantaranya adalah: faktor sumber daya, struktur birokrasi, komunikasi, disposisi dan dukungan kelompok sasaran.

2.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Implementasi Program Jampersal di Puskesmas Ngrayun dan Jaringannya

2.2.1 Faktor Sumber Daya dalam Implementasi Program Jampersal

George Edward III mengemukakan bahwa faktor sumber daya benar-benar signifikan terhadap proses implementasi kebijakan. Menurutnya, faktor sumber daya meliputi sumber daya fisik (fasilitas), sumberdaya staf (jumlah dan kompetensinya), sumberdaya informasi dan sumberdaya kewenangan

(Authority). Menurut Van Meter dan Van Horn, sumber

daya lain yang tidak kalah pentingnya lagi adalah sumberdaya finansial (dana) dalam jumlah yang mencukupi dan ketepatan dalam mengalokasikannya serta sumber daya waktu.

Dikaitkan dengan penelitian ini, peneliti akan mengambil beberapa pendapat dari Edward III dan Van Meter dan Van Horn kemudian menggabungkannya. Dalam implementasi program Jampersal di puskesmas Ngrayun dan jaringannya, faktor sumber daya yang dapat digunakan yakni, sumber daya staf baik dilihat dari jumlah maupun kompetensinya; sumber daya fisik (fasilitas); sumberdaya finansial (dana). Berikut ini merupakan tabel data yang akan menjelaskan mengenai faktor sumber dalam implementasi program Jampersal di puskesmas Ngrayun dan jaringannya:

Tabel 2.2.1.1

Rekapitulasi Hasil Pengumpulan Data Mengenai Sumber Daya dalam Implementasi Program Jampersal di Puskesmas Ngrayun dan Jaringannya

Indikator Implementasi Jampersal

Dampak

Sumber Daya Staf

Sudah mencukupi secara kuantitas dan kualitas

Mampu memberikan pelayanan Jampersal yang berkualitas dan maksimal

Sumber Pendanaan

Sudah mencukupi (berasal dari APBN)

Mampu untuk memenuhi kebutuhan pendanaan pelayanan jampersal di

puskesmas Ngrayun dan jaringannya Sumber

Daya Fasilitas

Sudah memadai secara kuantitas dan kualitas

(6)

Berdasarkan data di atas, dapat diketahui bahwa terdapat tiga aspek sumber daya yang berperan dalam implementasi program Jampersal di puskesmas Ngrayun dan jaringannya yang terdiri dari sumber daya staf, sumber daya pendanaan dan sumber daya fasilitas. Untuk sumber daya staf, jika dilihat dari segi kuantitas atau jumlah maupun kualitas dari staf pelaksana jampersal di puskesmas Ngrayun sudah cukup memenuhi. Meskipun di wilayah puskesmas Ngrayun memiliki angka peserta Jampersal yang cukup tinggi namun hal tersebut dapat ditangani dengan baik oleh pihak puskesmas Ngrayun dan jaringannya sebagai penyedia pelayanan kesehatan. Keberadaan jaringan puskesmas seperti puskesmas pembantu dan bidan-bidan praktek swasta sangat efektif membantu peserta Jampersal, terutama ketika dalam keadaan darurat untuk mendapatkan pelayanan Jampersal dengan lokasi yang lebih dekat, sehingga mereka bisa segera mendapatkan pelayanan yang cepat dan tepat. Jumlah staf pelaksana yang mencukupi tersebut juga didukung oleh kompetensi dan kemampuan yang cukup memadai. Para staf memiliki tingkat pendidikan yang sesuai dengan bidang pekerjaannya masing-masing, memiliki keahlian dan kemampuan guna mendukung dan menunjang tugasnya dalam pelaksanaan program Jampersal tersebut.

Untuk sumberdaya pendanaan pelaksanaan program Jampersal di puskesmas Ngrayun dan jaringannya berasal dari pemerintah yang dimasukkan ke dalam APBN. Peserta Jampersal dapat memperoleh semua fasilitas pelayanan Jampersal, mulai dari pelayanan pemeriksaan kehamilan, pertolongan persalinan, pelayanan pasca persalinan termasuk pelayanan KB secara gratis. Dalam hal ini, pemerintah telah menetapkan besaran tarif tertentu terhadap setiap jenis pelayanan kesehatan yang diberikan kepada peserta Jampersal.

Selanjutnya, puskesmas Ngrayun juga telah memiliki dan menggunakan peralatan serta fasilitas yang cukup memadai untuk mendukung kegiatan pelayanan Jampersal kepada pasien. Puskesmas Ngrayun dan jaringannya sudah memiliki sarana fisik yang terdiri dari fasilitas medis dan fasilitas non medis sebagai penunjang pelayanan dasar Jampersal bagi masyarakat. Keberadaan sumber daya fisik tersebut berperan untuk mendukung pelaksanaan Jampersal di puskesmas Ngrayun dapat berjalan dengan baik, lancar dan maksimal.

2.2.2 Faktor Struktur Birokrasi dalam Implementasi Program Jampersal

Strutur organisasi merupakan bagian yang bertugas untuk mengimplementasikan kebijakan. Salah satu dari aspek struktur yang penting dari setiap organisasi adalah adanya prosedur operasi yang standar (SOP). Dengan menggunakan SOP, para pelaksana dapat mengoptimalkan waktu yang tersedia dan dapat berfungsi untuk menyeragamkan tindakan-tindakan pejabat dalam organisasi yang kompleks dan tersebar luas, sehingga dapat menimbulkan fleksibilitas yang besar dan kesamaan yang besar dalam penerapan peraturan (Thoha, 2003: 66).

Dikaitkan dengan implementasi program Jampersal di puskesmas Ngrayun dan jaringannya, para pelaksana dalam memberikan pelayanan kepada peserta Jampersal harus sesuai dengan SOP yang ada yakni pedoman dan petunjuk teknis Jampersal yang telah ditetapkan kementerian kesehatan. Selanjutnya, penjelasan mengenai struktur birokrasi dalam implementasi program Jampersal di puskesmas Ngrayun dan jaringannya akan dijelaskan melalui tabel berikut ini:

Tabel 2.2.2.1

Rekapitulasi Hasil Pengumpulan Data Mengenai Struktur Birokrasi dalam Implementasi Program Jampersal di Puskesmas Ngrayun dan Jaringannya

Indikator Implementasi Jampersal

Dampak

Bentuk Struktur Organisasi

Terdapat struktur pelaksanaan program Jampersal yang jelas

Adanya pembagian fungsi dan tugas pelaksanaan secara jelas diantara masing-masing bagian pelaksana program SOP dan

mekanisme

Mengacu pada pedoman dan petunjuk teknis pelaksanaan program Jampersal

Pelaksanaan program Jampersal berjalan baik dan lancar sesuai dengan petunjuk serta pedoman yang telah ditentukan

Sumber: hasil pengolahan data

Struktur birokrasi dalam implementasi program Jampersal di puskesmas Ngrayun dan jaringannya melibatkan beberapa elemen atau bagian organisasi pelaksana program. Setiap bagian dari pelaksana tersebut memiliki fungsi dan tugas yang berbeda sesuai dengan pedoman dan petunjuk pelaksanaan program Jampersal yang telah ditetapkan. Perbedaan fungsi dan tugas di antara berbagai elemen pelaksana tersebut diintegrasikan ke dalam suatu koordinasi yang dilakukan secara jelas, efektif dan efisien. Koordinasi tersebut diperlukan untuk menciptakan kondisi kerja sama yang baik dan selaras antara berbagai pihak pelaksana program Jampersal sehingga pelaksanaan program Jampersal dapat berjalan mengarah kepada tujuan yang ingin dicapai.

2.2.3 Faktor Komunikasi dalam Implementasi Program Jampersal

(7)

dilakukan dalam implementasi program Jampersal di puskesmas Ngrayun dan jaringannya:

Tabel 2.2.3.1

Rekapitulasi Hasil Pengumpulan Data Mengenai Proses Komunikasi dalam Implementasi Program Jampersal di Puskesmas Ngrayun dan Jaringannya

Indikator Implementasi jelas dan teratur. Bagi peserta Sumber: hasil pengolahan data

Dalam implementasi program Jampersal di puskesmas Ngrayun dan jaringannya, komunikasi yang dilakukan antar staf pelaksana Jampersal sudah cukup jelas dan kosisten dengan menggunakan beberapa transmisi atau media komunikasi seperti, melalui surat-surat edaran atau pemberitahuan resmi, rapat, pertemuan atau minilokakarya yang diikuti seluruh staf puskesmas yang diselenggarakan secara rutin dalam kurun waktu tertentu di puskesmas Ngrayun. Kegiatan yang dilakukan dalam pertemuan atau rapat tersebut meliputi pembahasan mengenai sosialisasi, pemberian arahan, penjelasan mengenai pelaksanaan program, serta pelaporan hasil pelaksanaan program Jampersal di wilayah kerja masing-masing unit pelayanan Jampersal di wilayah puskesmas Ngrayun dan jaringannya. Dengan adanya komunikasi tersebut, aparat pelaksana dapat memahami tentang pedoman dan petunjuk pelaksanaan program jampersal serta melaksanakan tugas dan fungsi yang harus dilakukan oleh masing-masing pihak.

Selanjutnya, komunikasi yang dilakukan antara aparat pelaksana dengan masyarakat sebagai target sasaran program Jampersal lebih cenderung berupa komunikasi atau pemberitahuan secara langsung tanpa dilakukan sosialisasi ataupun penyuluhan secara khusus. Proses yang dilakukan biasanya hanya berupa pemberitahuan program secara langsung kepada kepada pasien yang mendatangi puskesmas dan jaringannya pada saat melakukan pemeriksaan

kehamilan atau persalinan. Komunikasi yang dilakukan pihak puskesmas ini tentunya kurang maksimal, karena pengenalan program Jampersal kepada masyarakat dilakukan melalui sosialisasi atau penyuluhan yang diadakan secara menyeluruh untuk memberikan pengetahuan dan pemahaman secara jelas dan mengenai pelaksanaan program Jampersal. Sehingga, diperlukan sebuah komunikasi atau sosialisasi secara menyeluruh terhadap masyarakat di wilayah puskesmas Ngrayun dan jaringannya guna memperluas pengetahuan dan pemahaman masyarakat mengenai pelaksanaan program Jampersal.

2.2.4 Faktor Disposisi dalam Implementasi Program Jampersal

Disposisi atau komitmen merupakan faktor yang berasal dari dalam diri pribadi setiap staf pelaksana program yang berupa kesediaan atau kemauan staf pelaksana untuk melaksanakan tugas dan kewajiban dalam pelaksanaan program dengan sebaik-baiknya sesuai dengan pedoman dan petunjuk yang telah ditetapkan. Apabila implementor memiliki disposisi yang baik, maka dia akan dapat menjalankan kebijakan dengan baik seperti apa yang diinginkan oleh pembuat kebijakan. Namun ketika implementor memiliki sikap atau perspektif yang berbeda dengan pembuat kebijakan, maka proses implementasi kebijakan juga menjadi tidak efektif (Subarsono, 2005:91).

Kesediaan dan kemauan para pelaksana ini dipengaruhi oleh tiga unsur sebagai berikut: pertama adalah kognisi (tingkat pengetahuan dan pemahaman) mereka akan kebijakan; kedua, arah respon mereka terhadap kebijakan; ketiga, intensitas respon mereka terhadap kebijakan tersebut. Jika ketiga hal tersebut menunjukkan arah positif makan tingkat kesediaan untuk melaksanakan kebijakan akan tinggi, dan begitu pula sebaliknya (Agustino, 2006: 152).

Dikaitkan dengan implementasi program Jampersal di puskesmas Ngrayun, berikut ini akan dijelaskan hasil rekapitulasi data mengenai disposisi pelaksana program Jampersal di puskemas Ngrayun:

Tabel 2.2.4.1

Rekapitulasi Hasil Pengumpulan Data mengenai Disposisi Pelaksana dalam Implementasi Program Jampersal di Puskesmas Ngrayun dan Jaringannya

Indikator Implementasi Sumber: hasil pengolahan data

(8)

unsur pengetahuan dan pemahaman terhadap program Jampersal serta komitmen yang diberikan terhadap pelaksanaan program Jampersal. Disposisi tersebut terwujud dengan adanya para staf pelaksana yang telah memiliki pengetahuan dan pemahaman yang jelas dan memadai mengenai isi, maksud serta tujuan dari implementasi program Jampersal. Mereka memahami bahwa program Jampersal ini merupakan program bantuan sosial dari pemerintah di bidang kesehatan yang sangat membantu dan meringankan beban masyarakat dalam hal pembiayaan kesehatan kehamilan, persalinan serta pelayanan pasca persalinan. Banyaknya manfaat dari program Jampersal tersebut menimbulkan munculnya penilaian dan dukungan positif dari staf pelaksana terhadap pelaksanaan program Jampersal. Munculnya dukungan tersebut juga dipengaruhi oleh pelaksanaan program Jampersal di puskesmas Ngrayun yang sejauh ini berjalan cukup baik, lancar serta tidak ada kendala bagi para staf pelaksana program. Sikap penilaian positif ini yang kemudian mendorong tumbuhnya kesadaran serta komitmen dari para staf pelaksana tersebut untuk dapat melaksanakan fungsi dan tugas masing-masing, penuh dengan rasa kepatuhan dan tanggung jawab dalam memberikan pelayanan Jampersal kepada masyarakat.

2.2.5 Faktor Sumber Dukungan Kelompok Sasaran dalam Implementasi Program Jampersal

Salah satu tujuan dari suatu kebijakan adalah untuk merubah kondisi suatu kelompok masyarakat yang menjadi sasaran perubahan dari kebijakan tersebut. Kebijakan tersebut harus didukung oleh kelompok sasaran kebijakan agar kebijakan yang telah dirumuskan dapat diterapkan atau dipatuhi oleh kelompok sasaran pada saat kebijakan tersebut diimplementasikan.

Secara umum dukungan kelompok sasaran pada kebijakan publik disebabkan dari dua hal yaitu lingkungan kebijakan dan permasalahan dalam implementasi kebijakan. Lingkungan kebijakan dapat memberikan input yang berupa dukungan dan tututan terhadap sebuah sistem politik. Kemudian para aktor dalam sistem politik akan memproses atau mengonversi input tersebut menjadi output yang berwujud kebijakan. Kebijakan tersebut akan diterima oleh masyarakat, selanjutnya masyarakat akan memberikan umpan balik dalam bentuk dukungan atau bahkan penolakan kebijakan tersebut. Apabila kebijakan tersebut memberikan insentif, maka masyarakat akan mendukung kebijakan tersebut akan tetapi jika kebijakan tersebut tidak memberikan insentif atau bahkan disinsentif maka akan ada penolakan terhadap kebijakan tersebut (Subarsono, 2005: 17).

Dengan demikian maka dukungan kelompok sasaran pada kebijakan publik dapat dilihat dari sebarapa besar manfaat kebijakan untuk kelompok sasaran. Dikaitkan dengan penelitian ini, dukungan kelompok sasaran dapat diartikan persepsi masyarakat mengenai lingkungan dan permasalahan yang terdapat dalam implementasi program Jampersal di puskesmas Ngrayun dan jaringannya yang kemudian menimbulkan sikap penerimaan serta dukungan atau penolakan dari

masyarakat terhadap pelaksanaan program Jampersal. Berikut ini akan dijelaskan mengenai dukungan kelompok sasaran terhadap implementasi program Jampersal di puskesmas Ngrayun dan jaringannya:

Tabel 2.2.5.1

Rekapitulasi Hasil Pengumpulan Data Mengenai Dukungan Kelompok Sasaran dalam Implementasi

Program Jampersal di Puskesmas Ngrayun dan Jaringannya Sumber: hasil pengolahan data

(9)

pelaksanaan program Jampersal. Hal tersebut diharapkan dapat dijadikan sebagai pendorong bagi keberlanjutan implementasi program Jampersal di puskesmas Ngrayun dan jaringannya.

3. Kesimpulan

3.1 Implementasi Program Jaminan Persalinan (Jampersal) di Puskesmas Ngrayun dan Jaringannya

Secara umum, pelaksanaan prosedur kepesertaan, pemberian pelayanan dan pelaporan hasil kegiatan dalam pelaksanaan program Jampersal sudah dilaksanakan sesuai dengan pedoman dan petunjuk yang ditetapkan. Persyaratan yang harus dipenuhi untuk menjadi peserta Jampersal adalah fotocopy KTP atau KK. Namun dalam keadaan darurat, masyarakat bisa mendapatkan pelayanan Jampersal terlebih dahulu dan baru melampirkan persyaratan pendaftarannya di kemudian hari dengan tujuan mengutamakan keselamatan pasien Jampersal. Dalam pelaksanaan Jampersal di puskesmas Ngrayun terdapat fenomena dimana masyarakat yang awalnya belum mengetahui program Jampersal kemudian menjadi peserta Jampersal setelah mendatangi puskesmas Ngrayun dan mendapat pemberitahuan serta pengarahan dari para staf pelaksana mengenai adanya pelaksanaan program Jampersal. Namun, implementasi program Jampersal di puskesmas Ngrayun dan jaringannya belum dilaksanakan secara sempurna, seperti pada proses sosialisasi program Jampersal yang belum dilaksanakan secara maksimal, efektif dan menyeluruh terhadap masyarakat sebagai kelompok sasaran program.

3.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Implementasi Program Jampersal di Puskesmas Ngrayun dan Jaringannya

1) Sumber daya manusia sebagai pelaksana dan sumber daya fisik yang berupa fasilitas pendukung pelaksanaan program Jampersal sudah cukup memadai, baik dari segi kuantitas maupun kualitas sehingga dapat mendukung secara positif bagi pelaksanaan program Jampersal di puskesmas Ngrayun dan jaringannya. Untuk sumber daya pendanaan Jampersal, jaminan pemerintah hanya terbatas pada pelayanan Jampersal dan tidak menjamin keperluan obat-obatan tambahan yang dibutuhkan oleh pasien Jampersal. Meskipun demikian, peserta Jampersal tidak merasa keberatan untuk biaya perobatan karena mereka menilai bahwa program Jampersal sudah memberikan manfaat yang besar melalui pelayanan Jampersal gratis.

2) Struktur birokrasi terdiri dari beberapa bagian organisasi pelaksana yang saling berkoordinasi dalam implementasi program Jampersal di puskesmas Ngrayun dan jaringannya. Tindakan implementor dalam memberikan pelayanan Jampersal sudah sesuai dengan SOP yang telah ditetapkan. Kepatuhan aparat pelaksana terhadap SOP tersebut sangat penting untuk mendukung mekanisme pelaksanan Jampersal agar dapat berjalan sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan.

3) Proses komunikasi yang dilakukan melalui koordinasi antar bagian struktur organisasi pelaksana dalam implementasi program Jampersal sudah dilakukan dengan cukup jelas, efektif dan efisien melalui berbagai media dan metode komunikasi, seperti rapat atau pertemuan, seminar, surat edaran/ pemberitahuan, instruksi secara langsung, laporan hasil kegiatan, dan lain-lain. Dengan adanya komunikasi tersebut, setiap bagian pelaksana dapat memiliki kesamaan persepsi serta pemahaman mengenai sasaran, tujuan dan prosedur pelaksanaan program Jampersal sehingga mempermudah masing-masing bagian dalam menjalankan fungsi dan tugas pelaksanaan program Jampersal.

4) Staf pelaksana Jampersal di puskesmas Ngrayun dan jaringannya memiliki disposisi yang cukup tinggi. Hal ini dapat dilihat dari adanya para staf pelaksana yang telah memiliki pengetahuan dan pemahaman serta memiliki kepatuhan untuk melaksanakan fungsi dan tugas masing-masing pihak sesuai pedoman dan petunjuk yang telah ditetapkan. Hal tersebut menunjukkan bahwa respon staf pelaksana mengarah pada dukungan yang positif terhadap implementasi program Jampersal di puskesmas Ngrayun dan jaringannya. 5) Masyarakat sebagai kelompok sasaran memberikan

(10)

Daftar Pustaka

Agustino, Leo. 2006. Dasar-dasar Kebijakan Publik. Bandung: Alfabeta.

Islamy, Irfan. 1997. Prinsip-prinsip Perumusan Kebijakan Negara.Jakarta: Bina Aksara.

Nugroho, Riant. 2003. Kebijakan Publik, Formulasi, Implementasi, dan Evaluasi. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.

Soesilowati, Novie. 2010. Implementasi Program Jamkesmas di Puskesmas Plandaan Jombang. Surabaya: Skripsi Universitas Airlangga.

Subarsono, Ag. 2005. Analisis Kebijakan Publik: Konsep, Teori, dan Aplikasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Syukur, Abdullah M. 1988. Perkembangan dan Penerapan Studi Implementasi. Jakarta: Lembaga Administrasi Negara RI.

Thoha, Miftah. 2003.Dimensi-Dimensi Prima Ilmu Administrasi Negara. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Tjokroamidjojo, Bintoro. 1990. Perencanaan Pembangunan. Jakarta: CV Masagung.

Wahab, Solichin Abdul. 1997. Evaluasi Kebijakan Publik. Malang: Penerbit FIA Unibraw dan IKIP.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 pasal 27 ayat (2)

Undang-Undang pasal 28 H ayat (1)

Peraturan Pemerintah Nomor 631/Menkes/Per/III/2011

Gambar

Tabel 1.1 Data Perkembangan Angka Kematian Ibu dan Bayi

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan : Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui hubungan tingkat kepercayaan terhadap mitos tentang makanan dalam kehamilan dengan ukuran lingkar lengan atas ibu hamil

Hambatan usahatani kakao di Kecamatan Narmada adalah harga jual kakao yang ditentukan oleh pedagang sehingga posisi tawar petani lemah,tidak adanya sarana pengolahan

Penelitian ini difokuskan pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada tahun 2011-2015 karena perusahaan manufaktur memiliki kontribusi yang

Sensor-sensor yang dipasang pada robot adalah sensor jarak ultrasonik dan sensor jarak infra merah, untuk mengukur jarak obyek- obyek di sekitar robot, sensor kompas berfungsi

Hal ini yang kemudian akan dijadikan pertimbangan untuk melakukan penelitian lebih lanjut terkait dengan pengalaman pengguna khususnya mahasiswa yang pernah

cara lain bila aktiva tersebut sudah tidak digunakan lagi, dikurangi dengan biaya-biaya yang terjadi saat menjual atau menukar

Tujuan penelitian ini untuk mendeskripsikan : (1) bentuk ungkapan kata seru yang terdapat pada film Kungfu Panda, (2) struktur ungkapan kata seru yang terdapat pada

Dana alokasi umum, selanjutnya disebut DAU adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antardaerah untuk