UNIVERSITAS INDONESIA
Dampak Penerapan Media Baru (Internet) terhadap
Peningkatan Partisipasi Politik dan Kehidupan Demokrasi di
Indonesia.
Jawaban Ujian Tengah Semester
PERSPEKTIF DAN TEORI KOMUNIKASI MASSA
oleh : Maybi Prabowo
1406518755 No. absensi 15 kelas B
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
PROGRAM PASCA SARJANA DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI JAKARTA
Semakin meningkatnya penggunaan internet di tengah masyarakat kita saat ini telah membawa perkembangan bagi pemahaman lama tentang komunikasi massa. Seperti dinyatakan oleh Straubhaar, LaRose, dan Davenport (2010), media sosial seperti Facebook, MySpace, dan Twitter bisa dikatakan sebagai komunikasi massa dengan karakter many-to-many semenjak para anggotanya yang jumlahnya massif sebagai audiens sekaligus adalah sumber isi informasi1. Padahal sebelumnya di
tahun 80-an, Everett M Rogers menggunakan istilah many-to-many sebagai salah satu ciri komunikasi interaktif yang tidak bersifat massif (de-massified)2. Namun
dengan meluasnya pengguna internet di Indonesia yang kini mencapai lebih dari 82 juta orang dan menduduki peringkat ke-8 dunia3, komunikasi melalui internet, atau
secara khusus melalui media sosial, telah membaurkan karakteristik komunikasi interaktif dengan komunikasi massa.
Audiens media sosial dengan karakterisik yang juga merangkap sebagai sumber informasi adalah apa yang dinamakan oleh Mossberger, Tolbert, dan McNeal (2008) sebagai digital citizen (warga digital atau netizen4), yaitu seseorang yang menggunakan internet sehari hari secara efektif.5 Dengan membaurnya karakteristik
komunikasi (media) massa dengan komunikasi interaktif melalui media internet (media sosial), maka media sosial pun mengambil karakteristik dari media massa, yakni menjadi sarana untuk menyuarakan kepentingan publik (politik).
Di Indonesia pengaruh para netizen terhadap partisipasi politik dan kehidupan demokrasi mulai terasa dari sekitar lima tahun lalu. Dari beberapa yang menonjol di antaranya adalah saat pemilihan gubernur-wakil gubernur DKI Jakarta, Jokowi-Ahok melawan Foke-Nara pada 2012 silam dan pemilihan presiden-wakil presiden Prabowo-Hatta melawan Jokowi-Kalla April 2014 lalu. Dari aktivitas di dunia maya, terlihat begitu besar partisipasi para netizen untuk mendukung Jokowi, baik saat menjadi calon gubernur maupun calon presiden.
Pengamatan terhadap fenomena netizen pada pilgub Jakarta 2012 menunjukkan bahwa kecenderungan sikap politik para netizen tidak jauh berbeda dari hasil pilihan publik pemilih pilgub hasil penghitungan KPUD DKI. Hal ini bisa dilihat dari hasil
1 lihat Straubhaar, Joseph, Robert LaRose, dan Lucinda Davenport, 2010, Understanding Media, Culture, and Technology: seventh edition, Boston: Wadsworth Cengage Learning, hal. 21.
penghitungan PoliticaWave6, hasil analisis percakapan di media sosial menunjukkan
bahwa percakapan soal Joko WidodoBasuki Tjahja Purnama sebanyak 54,9 persen, sedangkan Fauzi BowoNachrowi Ramli 45,1 persen rekapitulasi topik. Seperti diketahui, JokowiAhok memenangkan pemilihan gubernur tersebut dengan perbandingan 53,81persen banding 46,19 persen. Sementara itu, pada pilpres 2014 lalu sekelompok relawan netizen menggagas wadah kawalpemilu.org yang mencoba melakukan penghitungan realtime berdasarkan input datadata yang diunggah KPU. Aksi mereka mendapat respon positif jauh lebih banyak di kalangan netizen
dibanding yang menentangnya. Ternyata, hasil penghitungan mereka tidak ada perbedaan signifikan dengan hasil penghitungan KPU.7 politik. Dua contoh kasus ini adalah kasus Prita Mulyasari dan kasus Cicak vs Buaya.8
Media sosial yang pada dasarnya memiliki karakteristik komunikasi interaktif,
mampu mengartikulasikan sikap politik dengan lebih jelas dan lugas. Hal ini membuat media sosial, terbukti di dalam beberapa kasus, lebih cepat untuk memobilisasi masyarakat baik untuk bersikap maupun berperilaku. Media sosial ternyata mampu menggantikan, atau setidaknya, melengkapi media massa dalam menjalankan fungsi kontrol. Contoh bagaimana fungsi kontrol media sosial ini bekerja di antaranya, beberapa kali mantan presiden SBY cepat bereaksi mengumumkan perubahan kebijakan akibat ‘digunjingkan’ secara meluas di media sosial. Bahkan untuk beberapa negara lain, netizen mampu menggerakkan masyarakat untuk melakukan revolusi politik hingga menggulingkan penguasa.9 Tak
pelak lagi, Michael Hauben yang dijuluki bapak netizen dunia pernah meyakini bahwa internet akan semakin memperkuat alam demokrasidi dunia.10
Namun di sisi lain, internet di Indonesia belum secara maksimal digunakan untuk pemberdayaan kehidupan politik yang lebih substansial. Gelombang partisipasi netizen yang besar kebanyakan hanya untuk isu atau peristiwa yang ‘besar’ pula, yang kemanfaatannya secara langsung bagi masyarakat mungkin tidak signifikan. Bahkan Garin Nugroho memandang ‘keriuhrendahan’ partisipasi politik netizen saat ini tak lepas dari karakter masyarakat melodramatis di era tekno kapitalis.11 Para netizen belum mampu memilah dan menyikapi isu
maupun peristiwa secara lebih berkesadaran, sehingga manfaat internet bukan semata alat aspirasi, namun juga bisa memberdayakan dan menyejahterakan masyarakat lebih efektif. Hal ini sesuai dengan anggapan Sasa Djuarsa Sendjaja bahwa kita (masyarakat Indonesia) belum mampu meraih manfaat dari perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang demikian pesat itu. Ini persoalan yang menurutnya, harus dijawab bangsa ini12.
11 Lihat Nugroho, Garin, 20 Oktober 2014, Politik Berlebihan, artikel, Jakarta: harian Kompas, hal. 13.