• Tidak ada hasil yang ditemukan

Milad ke 8 Ikatan Ahli Ekonomi Islam IAE

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Milad ke 8 Ikatan Ahli Ekonomi Islam IAE"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

Perkembangan dan Prospek Perbankan Syariah Indonesia:

Tantangan Dalam Menyongsong MEA 2015

1

Dr. Halim Alamsyah Deputi Gubernur Bank Indonesia

Pendahuluan

Sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar2, sudah selayaknya Indonesia menjadi pelopor dan kiblat pengembangan keuangan syariah di dunia. Hal ini uka erupaka i pia

ya g ustahil karena potensi Indonesia untuk menjadi global player keuangan syariah sangat besar, diantaranya: (i) jumlah penduduk muslim yang besar menjadi potensi nasabah industri keuangan syariah; (ii) prospek ekonomi yang cerah, tercermin dari pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi (kisaran 6,0%-6,5%) yang ditopang oleh fundamental ekonomi yang solid; (iii) peningkatan sovereign credit rating Indonesia menjadi investment grade yang akan meningkatkan minat investor untuk berinvestasi di sektor keuangan domestik, termasuk industri keuangan syariah; dan (iv) memiliki sumber daya alam yang melimpah yang dapat dijadikan sebagai

underlying transaksi industri keuangan syariah.

Dalam penilaian Global Islamic Financial Report (GIFR) tahun 2011, Indonesia menduduki urutan keempat negara yang memiliki potensi dan kondusif dalam pengembangan industri keuangan syariah setelah Iran, Malaysia dan Saudi Arabia (Grafik 1). Dengan melihat beberapa aspek dalam penghitungan indeks, seperti jumlah bank syariah, jumlah lembaga keuangan non-bank syariah, maupun ukuran aset keuangan syariah yang memiliki bobot terbesar, maka Indonesia diproyeksikan akan menduduki peringkat pertama dalam beberapa tahun ke depan. Optimisme ini sejalan dengan laju ekspansi kelembagaan dan akselerasi pertumbuhan aset perbankan syariah yang sangat tinggi, ditambah dengan volume penerbitan sukuk yang terus meningkat.

Pengembangan keuangan syariah di Indonesia yang lebih bersifat market driven dan dorongan bottom up dalam

memenuhi kebutuhan masyarakat

sehingga lebih bertumpu pada sektor riil juga menjadi keunggulan tersendiri. Berbeda dengan perkembangan keuangan syariah di Iran, Malaysia, dan Arab Saudi,

dimana perkembangan keuangan

syariahnya lebih bertumpu pada sektor keuangan, bukan sektor riil, dan peranan pemerintah sangat dominan. Selain dalam

1

Disampaikan dalam Ceramah Ilmiah Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI), Milad ke-8 IAEI, 13 April 2012 2

Jumlah penduduk Indonesia berdasarkan sensus penduduk tahun 2010 mencapai 237,6 juta jiwa.

(2)

bentuk dukungan regulasi, penempatan dana pemerintah dan perusahaan milik negara pada lembaga keuangan syariah membuat total asetnya meningkat signifikan, terlebih ketika negara-negara tersebut menikmati windfall profit dari kenaikan harga minyak dan komoditas.

Keunggulan struktur pengembangan keuangan syariah di Indonesia lainnya adalah

regulatory regime yang dinilai lebih baik dibanding dengan negara lain. Di Indonesia kewenangan

mengeluarkan fatwa keuangan syariah bersifat terpusat oleh Dewan Syariah Nasional (DSN) – Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang merupakan institusi yang independen. Sementara di negara lain, fatwa dapat dikeluarkan oleh perorangan ulama sehingga peluang terjadinya perbedaan sangat besar. Di Malaysia, struktur organisasi lembaga fatwa ini berada di bawah Bank Negara Malaysia (BNM), tidak berdiri sendiri secara independen.

Peningkatan peranan industri keuangan

syariah Indonesia menuju global player juga terlihat meningkatnya ranking total aset keuangan syariah dari urutan ke-17 pada tahun 2009 menjadi urutan ke-13 pada tahun 2010 dengan nilai aset sebesar US$7,2 miliar (Tabel 1). Dengan melihat perkembangan pesat keuangan syariah, terutama perbankan syariah dan penerbitan sukuk, total aset keuangan syariah Indonesia pada tahun 2011 diyakini telah melebihi US$20 miliar sehingga rankingnya akan meningkat signifikan3.

Perkembangan Perbankan Syariah

Selaku regulator, Bank Indonesia memberikan perhatian yang serius dan bersungguh-sungguh dalam mendorong perkembangan perbankan syariah. Semangat ini dilandasi oleh keyakinan bahwa perbankan syariah akan membawa aslahat bagi peningkatan ekonomi dan pemerataan kesejahteraan masyarakat. Pertama, bank syariah lebih dekat dengan sektor riil karena produk yang ditawarkan, khususnya dalam pembiayaan, senantiasa menggunakan

underlying transaksi di sektor riil sehingga dampaknya lebih nyata dalam mendorong

pertumbuhan ekonomi. Kedua, tidak terdapat produk-produk yang bersifat spekulatif (gharar)

sehingga mempunyai daya tahan yang kuat dan teruji ketangguhannya dari direct hit krisis keuangan global. Secara makro, perbankan syariah dapat memberikan daya dukung terhadap terciptanya stabilitas sistem keuangan dan perekonomian nasional. Ketiga, sistem bagi hasil

(profit-loss sharing) yang menjadi ruh perbankan syariah akan membawa manfaat yang lebih adil

bagi semua pihak, baik bagi pemilik dana selaku deposan, pengusaha selaku debitur maupun pihak bank selaku pengelola dana.

3

Dengan menggunakan asumsi nilai kurs sebesar Rp9.100/US$, maka nilai aset perbankan syariah pada akhir tahun 2011 mencapai US$16,37 miliar, outstanding sukuk (negara dan korporasi) sebesar US$4,41 miliar, asuransi syariah sebesar US$0,97 miliar, reksadana syariah sebesar US$0,61 miliar.

Tabel 1. Urutan Negara Berdasarkan Aset Syariah

(3)

Sampai dengan bulan Februari 2012, industri perbankan syariah telah mempunyai jaringan sebanyak 11 Bank Umum Syariah (BUS), 24 Unit Usaha Syariah (UUS), dan 155 BPRS, dengan total jaringan kantor mencapai 2.380 kantor yang tersebar di hampir seluruh penjuru nusantara (Tabel 2). Total aset perbankan syariah mencapai Rp149,3 triliun (BUS & UUS Rp145,6 triliun dan BPRS Rp3,7 triliun) atau tumbuh sebesar 51,1% (yoy) dari posisi tahun sebelumnya. Industri perbankan syariah mampu menunjukkan akselerasi pertumbuhan yang tinggi dengan rata-rata sebesar 40,2% pertahun dalam lima tahun terakhir (2007-2011), sementara rata-rata pertumbuhan perbankan nasional hanya sebesar 16,7% pertahun. Oleh karena itu, industri perbankan syariah dijuluki sebagai the fastest g o i g i dust .

Akselerasi pertumbuhan perbankan syariah yang jauh lebih tinggi dari pertumbuhan perbankan nasional berhasil meningkatkan porsi perbankan syariah dalam perbankan nasional menjadi 4,0%. Jika tren pertumbuhan yang tinggi industri perbankan syariah tersebut dapat dipertahankan, maka porsi perbankan syariah diperkirakan dapat mencapai 15%-20% dalam kurun waktu 10 tahun ke depan.

Tabel 2. Perkembangan Kelembagaan dan Kinerja Perbankan Syariah Indonesia

Faktor Pendukung Perkembangan Perbankan Syariah

Terdapat beberapa faktor yang secara signifikan menjadi pendorong peningkatan kinerja industri perbankan syariah, baik dalam kegiatan penghimpunan dana maupun penyaluran pembiayaan. Pertama, ekspansi jaringan kantor perbankan syariah mengingat kedekatan kantor dan kemudahan akses menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi pilihan nasabah dalam membuka rekening di bank syariah. Kedua, gencarnya program edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat mengenai produk dan layanan perbankan syariah semakin meningkatkan kesadaran dan minat masyarakat. Ketiga, upaya peningkatan kualitas layanan (service excellent) perbankan syariah agar dapat disejajarkan dengan layanan perbankan konvensional. Salah satunya adalah pemanfaatan akses teknologi informasi, seperti layanan Anjungan Tunai Mandiri (ATM), mobile banking maupun internet banking. Untuk mendukung hal ini, secara khusus Bank Indonesia mendorong bank konvensional yang menjadi induk bank syariah agar mendorong pengembangan jaringan teknologi informasi bagi BUS dan UUS yang menjadi anak usahanya.

Faktor keempat adalah pengesahan beberapa produk perundangan yang memberikan

kepastian hukum dan meningkatkan aktivitas pasar keuangan syariah, seperti: (i) UU No.21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah; (ii) UU No.19 tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara (sukuk); dan (iii) UU No.42 tahun 2009 tentang Amandemen Ketiga UU No.8 tahun 1983 tentang PPN Barang dan Jasa. Lahirnya UU Perbankan Syariah mendorong peningkatan jumlah BUS dari sebanyak 5 BUS menjadi 11 BUS dalam kurun waktu kurang dari dua tahun (2009-2010).

Indikator 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012*

BUS 2 2 2 2 3 3 3 3 5 6 11 11 11

UUS 3 3 6 8 15 19 20 26 27 25 23 24 24

BPRS 79 81 83 84 88 92 105 114 131 138 150 155 155

(4)

Sementara penerbitan sukuk oleh pemerintah sebagai implementasi dari UU Sukuk menambah

outlet penempatan dana perbankan syariah dalam rangka pengelolaan likuiditas. Sedangkan

pemberlakukan UU No.42 tahun 2009 merupakan ta eut alit 4 atas transaksi murabahah yang dilakukan oleh perbankan syariah dimana sebelumnya dikenakan pajak dua kali (double tax). Perlakuan pajak tersebut sangat merugikan perbankan syariah karena membuat pembiayaan dengan akad murabahah menjadi lebih mahal, sementara pembiayaan murabahah mempunyai porsi yang dominan dengan rata-rata 56,8% dalam lima tahun terakhir.

Tantangan Pengembangan Perbankan Syariah

Di tengah perkembangan industri perbankan syariah yang pesat tersebut, perlu disadari masih adanya beberapa tantangan yang harus diselesaikan agar perbankan syariah dapat

meningkatkan kualitas pertumbuhannya dan mempertahankan akselerasinya secara

berkesinambungan. Tantangan yang harus diselesaikan dalam jangka pendek (immediate) antara lain:

1. Pemenuhan gap sumber daya insani (SDI), baik secara kuantitas maupun kualitas. Ekspansi perbankan syariah yang tinggi ternyata tidak diikuti oleh penyediaan SDI secara memadai sehingga secara akumulasi diperkirakan menimbulkan gap mencapai 20.000 orang. Hal ini dikarenakan masih sedikitnya lembaga pendidikan (khususnya perguruan tinggi) yang membuka program studi keuangan syariah. Selain itu, kurikulum pendidikan maupun materi pelatihan di bidang keuangan syariah juga belum terstandarisasi dengan baik untuk mempertahankan kualitas lulusannya. Untuk itu perlu dukungan kalangan akademis termasuk Kementrian Pendidikan untuk mendorong pembukaan program studi keuangan syariah. Industri perbankan syariah secara bersama-sama juga dapat melakukan penelitian untuk mengidentifikasi jenis keahlian yang dibutuhkan sehingga dapat dilakukan li k a d

at h dengan dunia pendidikan.

2. Inovasi pengembangan produk dan layanan perbankan syariah yang kompetitif dan berbasis kekhususan kebutuhan masyarakat. Kompetisi di industri perbankan sudah sangat ketat sehingga bank syariah tidak dapat lagi sekedar mengandalkan produk-produk standar untuk menarik nasabah. Pengembangan produk dan layanan perbankan syariah tidak boleh hanya

sekedar e gi itasi produk perbankan konvensional. Bank syariah harus berinovasi untuk

menciptakan produk dan layanan yang mengedepankan uniqueness dari prinsip syariah dan kebutuhan nyata dari masyarakat. Namun disadari bahwa lifecycle dari suatu inovasi produk dan layanan perbankan syariah sangat pendek karena dengan mudah dan segera dapat ditiru oleh bank-bank lainnya sehingga mengurangi minat bank untuk berinovasi. Untuk itu, perlu dibentuk semacam working group yang beranggotakan praktisi perbankan syariah untuk memikirkan secara bersama-sama inovasi produk yang dapat dikembangkan. Mekanisme lain yang dapat diambil untuk mendorong inovasi produk dan layanan adalah memberikan patent selama beberapa tahun agar tidak ditiru oleh bank yang lain.

4

(5)

3. Kelangsungan program sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat. Kegiatan untuk menggugah ketertarikan dan minat masyarakat untuk memanfaatkan produk dan layanan perbankan syariah harus terus dilakukan. Namun disadari bahwa kegiatan ini merupakan

cost center bagi bank syariah. Selama ini kegiatan sosialisasi dan edukasi perbankan syariah

didukung oleh Bank Indonesia melalui program iB Ca paig baik melalui media masa (iklan layanan masyarakat), syariah expo, penyelenggaraan workshop/seminar, dsb. Peran Bank Indonesia dalam hal ini akan berkurang seiring dengan pengalihan kewenangan pengaturan dan pengawasan sektor perbankan (termasuk perbankan syariah) kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Untuk itu, industri perbankan syariah perlu meningkatkan

ke a diria , aik dala hal for ulasi progra aupu pe iayaa ya sehi gga

program iB Ca paig dapat terus berlangsung secara berkelanjutan.

Sementara tantangan yang harus diselesaikan dalam jangka panjang antara lain:

1. Perlunya kerangka hukum yang mampu menyelesaikan permasalahan keuangan syariah secara komprehensif. Sistem keuangan syariah secara karakteristik berbeda dengan sistem keuangan konvensional, terdapat beberapa kekhususan yang tidak dapat dipersamakan sehingga penggunaan kerangka hukum konvensional menjadi kurang memadai. Penyelesaian perselisihan transaksi syariah juga dapat menggunakan jalur pengadilan agama, namun tatanan peradilan agama untuk dapat menyelesaikan transaksi keuangan juga dinilai belum memadai. Penyelesaian perselisihan transaksi keuangan syariah dengan menggunakan huku fi h masih dapat menimbulkan perbedaan interpretasi karena perbedaan mazhab (lack of convergence of sharia interpretation).

Untuk itu, perlu semacam kompilasi hukum ekonomi/keuangan islam yang disepakati bersama untuk dijadikan rujukan dan disahkan oleh negara. Upaya penyempurnaan kerangka hukum ini juga perlu dilakukan dalam skala global untuk menyelesaikan perselisihan yang mungkin terjadi dalam transaksi keuangan syariah antar negara. Penyempurnaan kerangka hukum akan memberikan suasana yang kondusif bagi pengembangan keuangan syariah, baik secara nasional maupun global.

2. Perlunya kodifikasi produk dan standar regulasi yang bersifat nasional dan global untuk menjembatani perbedaan dalam fi h ua alah . Jika kita perhatikan secara jeli dalam pengembangan keuangan syariah di beberapa negara, kita dapat melihat adanya perbedaan yang nyata dalam pemahaman fi h ua alah . Di satu sisi terdapat negara yang terlalu berhati-hati (konservatif), namun di sisi lain terdapat negara yang terlalu longgar (liberal) dalam aplikasi fi h ua alah tersebut sehingga peluang akan terjadinya perbedaan dan perselisihan sangat terbuka. Walaupun perbedaan pendapat diperbolehkan dan dianggap sebagai rahmat dalam pandangan Islam, namun perbedaan tersebut jika terkait dengan transaksi keuangan akan menimbulkan risiko.

(6)

Auditing Organization for Islamic Financial Institutions (AAOIFI), yang menghadirkan regulasi

yang dapat diadopsi secara global perlu terus didukung dan dikembangkan agar tercipta

glo al egulatio o e ge .

3. Perlunya referensi nilai imbal hasil (rate of return) bagi keuangan syariah. Nilai imbal hasil yang dibagikan (sharing) dalam sistem keuangan syariah, termasuk perbankan syariah, hendaknya merupakan hasil yang nyata dari aktivitas bisnis. Sayangnya, referensi nilai imbal hasil tersebut belum tersedia sehingga institusi keuangan syariah seringkali melakukan penyetaraan dengan suku bunga dalam sistem konvensional. Selain bersifat kurang adil, perilaku ini dapat menimbulkan risiko reputasi bagi sistem keuangan syariah karena tidak ada perbedaan yang hakiki dengan sistem konvensional. Bank Indonesia telah mulai melakukan kajian mengenai referensi nilai imbal hasil untuk sektor pertanian dan pertambangan, dan masih terus disempurnakan validitasnya. Untuk itu, perlu dukungan dan peran serta dari kalangan akademisi dan asosiasi para pakar seperti IAEI untuk melakukan kajian lebih lanjut dan komprehensif mengenai hal ini.

Perbankan Syariah Menghadapi MEA 2015

Sebagian pihak menkhawatirkan hadirnya kesepakatan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) 2015 sebagai sebuah ancaman karena pasar potensial domestik akan diambil oleh pesaing dari negara lain. Kekhawatiran tersebut tidak beralasan jika memang kita mampu menunjukkan daya saing (competitiveness) yang tinggi. Apakah industri perbankan syariah Indonesia siap menghadapi MEA 2015?

Bank syariah terbesar di Indonesia saat ini baru mampu membukukan aset sekitar US$5,4 miliar sehingga belum ada yang masuk ke dalam jajaran 25 bank syariah dengan aset terbesar di dunia (Tabel 3). Sementara tiga bank syariah Malaysia mampu masuk ke dalam daftar tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa skala ekonomi bank

syariah Indonesia masih kalah dengan bank syariah Malaysia yang akan menjadi kompetitor utama. Belum tercapainya skala ekonomi tersebut membuat operasional bank syariah di Indonesia kalah efisien, terlebih sebagian besar bank syariah di Indonesia masih dalam tahap ekspansi yang membutuhkan biaya investasi infrastruktur yang cukup signifikan.

Dengan menggunakan indikator rasio

biaya operasional terhadap pendapatan

operasional (BOPO) pada tiga bank sampel untuk masing-masing kategori terlihat bahwa bank syariah masih kalah efisien dibanding dengan bank konvensional (Tabel 4). Namun dari sisi net

operational margin (NOM), beberapa bank syariah

Tabel 3. Urutan 25 Bank Syariah dengan Aset Terbesar, Tahun 2009-2010

(7)

lebih unggul. Dari sisi profitabilitas, return on asset (ROA) bank syariah lebih kecil dari bank konvensional, namun dari sisi return on equity (ROE) lebih besar. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi permodalan bank syariah relatif lebih kecil dibanding bank konvensional.

Tabel 4. Perbandingan Indikator Bank Syariah dan Konvensional di Indonesia

Kemudian apabila tiga sampel bank syariah tersebut dibandingkan dengan bank syariah di Malaysia dan Kawasan Timur Tengah, terlihat bahwa indikator BOPO bank syariah di Indonesia juga lebih tinggi atau masih kalah efisien. Hal ini juga terlihat dari indikator net operational

margin (NOM) bank syariah di Indonesia yang masih sangat bervariasi dan secara rata-rata lebih tinggi dari bank syariah di Malaysia dan Kawasan Timur Tengah. Namun demikian, bank syariah di Indonesia lebih profitable dibanding dengan bank syariah di Malaysia maupun Kawasan Timur Tengah, terlihat dari tingginya indikator ROA maupun ROE (Tabel 5). Tak heran jika banyak investor asing yang tertarik untuk mendirikan atau membeli bank syariah di Indonesia. Profitabilitas yang tinggi ini tentunya akan mempercepat akselerasi pertumbuhan aset bank syariah di Indonesia sehingga dapat mencapai skala ekonomi yang efisien.

Tabel 5. Perbandingan Indikator Perbankan Syariah Antar Negara

Kelemahan lainnya dalam menghadapi MEA 2015 adalah diferensiasi produk keuangan syariah di Indonesia yang dinilai masih kurang. Hal ini disebabkan oleh faktor bisnis model industri keuangan syariah di Indonesia, khususnya perbankan syariah, yang lebih fokus pada pemenuhan kebutuhan di sektor riil dan sangat menjaga a asid s a iah. Hal ini berbeda dengan negara lain yang peranan produk-produk di sektor keuangan (pasar uang dan pasar modal) lebih dominan. Secara esensi, struktur pengembangan keuangan syariah di Indonesia akan lebih kuat dibanding dengan negara lain.

Kekurangan instrumen di pasar keuangan syariah tersebut berdampak pada pengelolaan likuiditas perbankan syariah. Pengelolaan likuiditas perbankan syariah masih mengandalkan mekanisme Pasar Uang Antar Bank Syariah (PUAS) dengan menggunakan instrumen Sertifikat Investasi Mudharabah (SIMA), dan melakukan penempatan di instrumen yang diterbitkan oleh Bank Indonesia, yakni FASBI Syariah dan SBI Syariah. Masih sedikit sekali portofolio penempatan pada instrumen sukuk. Tingginya porsi pengelolaan likuiditas perbankan syariah pada instrumen

Syariah Konv Syariah Konv Syariah Konv Syariah Konv

Sampel ke-1 1.91 3.38 66.64 23.81 76.54 67.22 2.14 5.51 Sampel ke-2 1.52 3.43 20.79 26.53 85.52 60.87 5.01 6.26 Sampel ke-3 0.40 2.40 3.18 18.04 98.56 79.06 7.59 5.85

Rata-rata 1.28 3.07 30.20 22.79 86.87 69.05 4.91 5.87

Keterangan: Sampel bank untuk kategori syariah dan konvensional berbeda

Bank ROA ROE BOPO NOM/NIM

IND MAL MEC IND MAL MEC IND MAL MEC IND MAL MEC

Sampel ke-1 1.91 0.95 3.64 66.64 27.31 23.37 76.54 29.59 27.83 2.14 2.78 5.15

Sampel ke-2 1.52 1.14 1.54 20.79 17.23 13.85 85.52 39.50 42.31 5.01 2.93 4.41 Sampel ke-3 0.40 0.76 1.12 3.18 9.97 10.94 98.56 64.30 41.04 7.59 4.07 3.60

Rata-rata 1.28 0.95 2.10 30.20 18.17 16.05 86.87 44.46 37.06 4.91 3.26 4.39

Keterangan: Sampel bank untuk masing-masing negara berbeda (IND: Indonesia; MAL: Malaysia; dan MEC: Middle East Countries)

ROA ROE BOPO NOM

(8)

bank sentral menyebabkan pengembangan pasar keuangan syariah menjadi terkendala dan mekanisme self adjustment menjadi kurang optimal.

Penerbitan Surat Perbendaharaan Negara Syariah (SPNS) dan mekanisme transaksi komoditi murabahah dapat menjadi suatu terobosan instrumen yang dapat digunakan oleh perbankan syariah dalam melakukan pengelolaan likuiditasnya. Ketersediaan instrumen pengelolaan likuiditas menjadi sangat penting dalam mencegah terjadinya krisis yang berkelanjutan pada industri keuangan syariah. Para pakar yang tergabung dalam IAEI dapat membantu industri dalam melakukan inovasi produk keuangan syariah, khususnya untuk perbankan syariah. Agar jangan sampai kekurangan instrumen keuangan syariah tersebut diisi oleh instrumen dari negara lain yang belum tentu sesuai dengan kondisi pasar keuangan dan perbankan syariah domestik.

Kendala lainnya yang perlu mendapat perhatian serius adalah upaya untuk memenuhi gap

SDI dari tenaga kerja domestik agar tidak diisi oleh tenaga kerja asing. Perlu disaari bahwa salah satu butir kesepakatan dalam MEA 2015 adalah freedom of movement for skilled and talented labours. Hal ini merupakan tantangan yang serius, mengingat pusat-pusat pendidikan dan

pelatihan keuangan dan perbankan syariah berada di luar negeri seperti Bahrain, Uni Emirat Arab,

da Malaysia. Pelaku i dustri per a ka syariah dapat ekerjasa a e dirika pusat

pe didika da pelatiha per a ka syariah u tuk e etak tenaga ahli guna memenuhi gap

terse ut daripada sali g ersai g da elakuka pe ajaka pegawai . IAEI te tu ya dapat

berperan dalam menyediakan tenaga ahli untuk mengajar di pusat pendidikan dan pelatihan tersebut. Agar lebih terarah dan tepat guna, IAEI juga dapat membantu melakukan penelitian untuk mengidentifikasi jenis-jenis keahlian yang dibutuhkan oleh industri perbankan syariah

sehi gga strategi li k a d at h dapat dijalankan.

Penutup

Berbagai peluang dan tantangan di atas menunjukkan bahwa upaya keras dari seluruh

stake holders industri keuangan syariah sangat dibutuhkan. Perlu keterpaduan langkah dari para praktisi, akademisi maupun asosiasi agar pengembangan menjadi lebih efektif dan efisien karena dapat menghindari terjadinya redundancy dan suaranya menjadi lebih di dengar. Untuk itu, peran IAEI dalam mempelopori dan mendorong keterpaduan langkah untuk menjawab berbagai tantangan tersebut sangat diperlukan sehingga industri keuangan syariah nasional semakin berkualitas, berkembang secara berkelanjutan dan mampu bersaing dalam kancah persaingan global, khususnya dalam menyambut MEA 2015.

Gambar

Grafik 1. Islamic Finance Country Index (IFCI, 2011)
Tabel 1. Urutan Negara Berdasarkan Aset Syariah
Tabel 2. Perkembangan Kelembagaan dan Kinerja Perbankan Syariah Indonesia
Tabel 3. Urutan 25 Bank Syariah dengan Aset Terbesar, Tahun 2009-2010
+2

Referensi

Dokumen terkait

Selaku Dosen Pembimbing II yang telah menyediakan waktu untuk memberikan bimbingan, pengarahan, saran serta mencurahkan pikirannya untuk membantu penulis

PENELITIAN TINDAKAN KELAS UPAYA MENINGKATKAN MINAT DAN MOTIVASI BELAJAR PADA MATA PELAJARAN IPS MELALUI METODE CERAMAH BERVARIASI SISWA KELAS V CAWU I DI SDN 2

Khoe juga menjadi pedagang ikan besar sehingga bisa menjual garam kepada nelayan dengan harga lebih murah daripada pedagang lain yang membeli garam darinya.. Khoe tidak

Wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis wawancara semi terstruktur terhadap dua responden utama yaitu satu guru dan satu siswa di SMK Favorit

Dalam penelitian Maria Cleopatra, yang bermaksud mencari pengaruh gaya hidup dan motivasi terhadap prestasi belajar, menemukan bahwa Motivasi belajar berpengaruh

Berdasarkan hasil analisis antara kondisi tenunbu karang (persen tutupan, dominasi, keseragaman dan keanekaragaman) dengan kondisi biologi ikan kerapu macan (kelimpahan,

Kebutuhan dasar tersebut termasuk juga perlindungan yang diberikan kepada kaum perempuan dan pendampingan terhadap perempuan korban kekerasan baik dalam segi lahir, batin, dan

Hasil dan Pembahasan: Hasil penelitian menunjukkan bahwa metode pembelajaran keterampilan medis di masyarakat paling unggul dibandingkan 3 metode lainnya yaitu berlatih dengan