Yunanto Eka Prabowo 121411431044
Review
Penanaman Negara di Jawa dan Negara Kolonial
A. M. Djuliati Suroyo
Judul Buku : Fondasi Historis Ekonomi Indonesia
Editor : J. Thomas Linblad
Penertbit : Pustaka Pelajar
Sistem tanam paksa yang dijalankan oleh pemerintah kolonial merupakan sistem ekonomi monopolisti yang bertujuan untuk memaksimalkan potensi alam negara koloni demi keuntungan pemerintah kolonial. Dengan melakukan tanam paksa, pemerintah kolonial berhasil menancapkan sistem kekuasaan ekonomi yang dominan. Sistem yang diberlakukan pada 1830 tersebut agaknya memiliki akar yang mirip-mirip dengan apa yang dilakukan VOC di Jawa sebelum dibubarkan tahun 1799.
VOC menyesuaikan diri pada keadaan setempat, dan berfungsi dengan cara yang berbeda-beda di berbagai tempat yang dikuasainya. Namun segala tindakan yang diambilnya di semua tempat itu memiliki tujuan yang sama yaitu mengurangi kebebasan raja-raja setempat serta mengubah perdagangan menjadi semacam pembayaran upeti kepada VOC. Perusahaan dagang ini nyatanya juga ikut menyumbangkan dampak positif bagi pemerintah kolonial karena pada saat menguasai nusantara, VOC memperkenalkan beberapa jenis tanaman baru terutama kopi, lada, rempah-rempah, serta tebu.1
Pada tahun 1830, dimulailah masa penjajahan yang sebenarnya dalam sejarah Jawa. Sistem tanam paksa yang dimulai pada tahun itu merupakan gagasan Van den Bosch karena beliau melihat potensi yang sangat menggiurkan bagi ekonomi pemerintah kolonial. Rencana Bosch adalah bahwa setiap desa harus menyisihkan sebagian tanahnya guna ditanami komiditi ekspor (khususnya
kopi, tebu, dan nila) untuk dijual kepada pemerintah kolonial dengan harga yang
Untuk menjalankan tanam paksa, bupati memerintah para petani mereka dibawah pengawas dari Belanda. Para petani tersebut harus bertanggung jawab kepada seluruh proses tanam paksa mulai dari penanaman, pemanenan, dan pengangkutan hingga ke gudang-gudang.
Sesudah VOC diambil alih oleh pemerintahan kolonial, pemerintah sebenarnya memiliki opsi untuk mengubah sistem tanam paksa menjadi sistem semi-liberal untuk meningkatkan hasil dan pemasaran dari panen petani. Namun pemerintah ragu-ragu dalam opsi tersebut karena merubah sistem politik tradisional menjadi sistem birokrasi rasional memerlukan pengeluaran yang banyak dalam hal administrasi, khususnya untuk membayar kompensasi dalam urusan tanah apanase. Oleh karena itu, sistem tanam paksa tetap dijalankan di Priangan oleh Daendels dengan mempromosikan elit pribumi sebagai pejabat birokrasi pemerintah yang telah ditentukan tugas dan tanggungjawabnya secara tegas. Furnivall menjelaskan bahwa Belanda harus menjadikan Indonesia produsen komoditas-komoditas ekspor untuk memperbaiki perekonomian Belanda yang terkuras oleh perang Napoleon, serta mengisi kas negara. Pembayaran pajak yang didasarkan oleh hasil panen komoditi ekspor dinilai akan sangat menguntungkan daripana sistem pembayaran pajak menggunakan uang.
Namun anggapan seperti diatas tidak sepenuhnya benar, karena secara umum masyarakat Jawa terdiri atas 2 lingkungan. Lingkungan pertama adalah elit-elit desa yang memiliki kekuasaan memerintah atas kaum petani dan dapat terus memeras tenaga mereka. Mereka pun juga diuntungkan dengan
hubungan-2 M. C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2011), hlm. 183
3 Sartono Kartodirdjo, Sejarah Perkebunan Di Indonesia: Kajian Sosial Ekonomi
hubungan baik dengan orang Tionghoa maupun Eropa, sehingga dapat menjual komoditas-komoditas ekspor ke mereka. Lingkungan kedua adalah petani yang dibebani pembayaran pajak berupa hasil panen komoditi ekspor. Namun setelah pajak tersebut mereka penuhi, mereka dapat menjual produk-produk komoditi ekspor mereka sendiri. Petani tembakau dapat menjual tembakau ke orang Tionghoa maupun orang Eropa, begitupun petani kopi dapat menjual kopinya ke oranglain bahkan luar negeri.
Sistem tanam paksa kemudian diperkenalkan pada tahun 1930. Pemerintah membuat aturan umum yang penerapannya dilaksanakan oleh pejabat lokal. Dengan kebijakan tersebut, sistem tanam paksa berjalan hampir di setiap karesidenan. Penerapan hampir keseluruh karesidenan ini berjalan tergantung oleh karakteristik tiap daerah. Perkembangan sistem tanam paksa secara umum dipengaruhi oleh jenis tanaman, kondisi iklim, kondisi sosial ekonomi kaum tani, periode tanam paksa, dan kebijakan para residen. Dari sekian banyak karesidenan yang menerapkan sistem tanam paksa, tanaman tebu, kopi, dan indigo adalah tanaman mayoritas yang ditanam di Jawa untuk dikeruk keuntungannya oleh pemerintah.
Salah satu tanaman yang paling menguntungkan dalam masa sistem tanam paksa adalah tebu. Penanaman tebu di Jawa terbilang cukup memudahkan pemerintah karena sebelumnya tanaman ini sudah dikenal luas oleh masyarakat pribumi. Dalam sejarahnya sendiri, tebu mulai dikenal pribumi pada abad ke-18 dan ketika itu mereka menjualnya kepada orang pedagang Tionghoa dan Belanda. Setelah diterapkannya sistem tanam paksa, lama kelamaan tingkat pengelolaan kehidupan petani tebu menurun. Hal ini dikarenakan tingkat eksploitasi pemerintah terhadap tanaman ini semakin meningkat. Semakin banyaknya keuntungan yang didapat oleh pemerintah malah menurunkan tingkat pengelolaan lahan lahan pertanian milik pribumi.
pemasok utama tebu yaitu Cirebon dan Besuki. Pada masa ini penanaman tebu masih dikelola oleh orang yang belum berpengalaman.
Pemerintah harus menyesuaikan diri dengan posisi petani yang dirasa lemah demi mendapatkan hasil tertinggi. Distrik-distrik yang masih mempunyai cukup sawah yang dicadangkan untuk rotasi tebu, secara ilmiah memberikan hasil yang tertinggi. Petani pun juga harus melakukan penyesuaian agar beban yang mereka tanggung tidak terlalu berat. Dengan berbagai penyesuaian tersebut, membuat penanaman tebu menyediakan keuntungan yang melimpah pada periode 1840-1860.
Indigo atau nila berbeda nasib dengan tebu. Tanaman ini pada masa tanam paksa berfungsi sebagai pewarna alami pakaian. Indigo ini termasuk sebagai tanaman kedua, yang berarti hanya sebagai pendapatan tambahan bagi para petani. Pada masa tanam paksa, pemerintah mulai mendorong para pribumi untuk menanam indigo sebesar-besarnya. Penanaman indigo pun juga dilakukan secara bergilir dengan penanaman padi. Hal tersebut kemudian mengundang reaksi masyarakat yang menilai bahwa penanaman indigo jauh lebih merugikan petani daripada penanaman tebu. Hal ini dikarenakan untuk menanam dan merawat indigo diperlukan banyak tenaga kerja, serta melibatkan transportasi jarak jauh ke pabrik, dan pengolahannya pun sulit sehingga keuntungan yang diraih petani jauh lebih rendah daripada keuntungan menanam tebu. Sebab kedua kegagalan penanaman indigo adalah karena tanaman ini lebih menanduskan tanah dibanding tanaman lain, sehingga merusak tanaman pangan petani seperti padi.
baru terjadi pada tahun 1870-an dimana pada tahun ini banyak hama yang menyerang kopi dan merusak sebagian besar tanaman.
Perubahan birokrasi yang terjadi setelah masa VOC ditandai dengan konsep Daendels yang mengubah sistem administrsi Jawa manjadi terpusat yang didalamnya terdapat wilayah administratif dibawah kepemimpinan kepala-kepala regional. Bupati yang sebelumnya merupakan elit birokrasi tradisional, dimasukkan kedalam administrasi kolonial sebagai pegawai pemerintah yang dilengkapi kewajiban dan gaji yang tetap. Kegagalan Raffles memperluas pembaharuan administrasi menjadi inspirasi tersendiri bagi Bosch untuk mengembangkan ide-ide yang sudah ada. Sistem tanam paksa merupakan konsep yang dijalankan negara yang mengkombinasikan sistem tradisional dengan modern untuk memperoleh keuntungan maksimal.
Sistem tanam paksa adalah sistem untuk mengekspolitasi kekayaan sumber alam di Indonesia untuk mendapatkan hasil secara maksimal dengan cara yang paling ekonomis dan efektif. Selain itu, tanam paksa juga mempunyai dampak positif maupun negative bagi petani. Petani mendapatkan penghasilan tambahan dari lahan mereka, serta kesempatan kerja yang semakin besar. Namun dampak negative juga dirasakan karena di beberapa residen, para pekerja harus bekerja dengan imbalan atau bahkan tanpa imbalan. Tanam paksa juga memaksa penduduk untuk bekerja dengan berat sehingga banyak menimbulkan kelaparan dan banyak penduduk desa melarikan diri dari tugasnya. Muncul kesenjangan ekonomi yang makin lama makin melebar antara penduduk kaya dan miskin.
Sumber:
Geertz, Clifford. 1983. Involusi Pertanian. Jakarta: Bhatara Karya Aksara.
Kartodirdjo, Sartono. 1991. Sejarah Perkebunan di Indonesia: Kajian Sosial-Ekonomi. Yogyakarta: Aditya Media.