• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI. Harahap dan Siahaan (1987) juga menjelaskan bahwa hubungan antara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI. Harahap dan Siahaan (1987) juga menjelaskan bahwa hubungan antara"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

LANDASAN TEORI

II.A. SUKU BANGSA BATAK TOBA II.A.1. Sistem Sosial Batak Toba

Harahap dan Siahaan (1987) juga menjelaskan bahwa hubungan antara manusia dalam kehidupan suku bangsa Batak Toba diatur dalam sistem kekerabatan Dalihan Na Tolu. Dalihan Na Tolu menjadi ciri khas kebudayaan Batak. Hubungan berdasarkan sistem kekerabatan ini telah disosialisasikan kepada anak sejak dia mulai mengenal lingkungannya yang paling dekat, yaitu tokoh-tokoh yang paling dekat dalam kehidupannya terutama ibu, ayah, dan saudara-saudaranya. Orang lain di luar dirinya secara evolusionistis diperkenalkan sesuai dengan sistem kekerabatan Dalihan Na Tolu. Bersamaan dengan perkenalan orang-orang lain itu diperkenalkan kepadanya marga dan nilai yang terkandung di dalamnya, lengkap dengan aturan Dalihan Na Tolu yaitu somba marhula-hula (hormat pada hula-hula), elek marboru (membujuk pihak boru), dan manat mardongan tubu (baik kepada suhut). Diperkenalkan pula kepadanya silsilah keluarga batih, hula-hula, boru dan marga Batak pada umumnya. Proses sosialisasi awal ialah perkenalan tutur, panggilan kekerabatan lengkap dengan kata-kata kunci yang terdapat dalam perbendaharaan hubungan kekerabatan berdasar Dalihan Na Tolu.

Sosialisasi Dalihan Na Tolu yang mencakup marga, silsilah, dan tutur merupakan pendidikan dasar primordial suku yang kuat. Suku bangsa Batak Toba

(2)

sangat mahir dalam pemaparan hubungan kekerabatan yang dikaitkan dengan silsilah marga-marga. Hal ini terlihat ketika suku bangsa Batak Toba yang baru berkenalan bertemu, pertanyaan pertama yang selalu diajukan masing-masing adalah “Aha margam?” (Apa marga-mu?). Solidaritas marga yang kuat sekali pada suku bangsa Batak Toba sudah dikenal secara luas. Solidaritas marga atau antar marga yang di dalam maupun di luar kampung halaman tetap kuat terlihat dengan adanya punguan, perkumpulan marga dohot boruna, dan perkumpulan huta yang anggotanya terdiri dari berbagai marga (Harahap dan Siahaan, 1987).

Simanjuntak (2000) menyatakan bahwa sistem sosial Batak Toba mendukung terciptanya persatuan, solidaritas, dan persamaan dalam kehidupan suku bangsa Batak Toba. Hal ini kemudian menciptakan komunikasi yang harmonis. Ketiga status sosial dalam Dalihan Na Tolu lebih menekankan pada hasangapon (rasa hormat) dari pada superioritas.

Dalihan Na Tolu sebagai jaringan kekerabatan mengajarkan hak dan kewajiban yang setara di antara ketiga unsurnya: Dongan Sabutuha/Kahanggi, Hula-hula/Mora, dan Boru/Anak Boru. Hubungan kekerabatan berdasar Dalihan Na Tolu mengajarkan solidaritas dan penghargaan kepada orang lain. Setiap orang Batak Toba mempunyai kedudukan sebagai Hula-hula, Boru, dan Suhut (Dongan Tubu). Hubungan kekerabatan seperti ini mendidik suku bangsa Batak Toba menjadi orang yang demokratis dan terbuka.

(3)

II.A.2. Nilai Budaya Batak Toba

Harahap dan Siahaan (1987) mengungkapkan sembilan nilai budaya yang utama pada suku bangsa Batak Toba yaitu:

1. Kekerabatan

Mencakup hubungan premordial suku, kasih sayang atas dasar hubungan darah, kerukunan unsur-unsur Dalihan Na Tolu (Hula-hula, Dongan Tubu, dan Boru), Pisang Raut (Anak Boru dari Anak Boru), Hatobangon (Cendikiawan) serta segala yang ada kaitannya dengan hubungan kekerabatan karena pernikahan, solidaritas marga dan lain-lain.

2. Religi

Mencakup kehidupan keagamaan, baik agama tradisional maupun agama yang datang kemudian yang mengatur hubungannya dengan Maha Pencipta serta hubungannya dengan manusia dan lingkungan hidupnya.

3. Hagabeon

Mencakup banyak keturunan dan panjang umur. Dalam upacara pernikahan Batak dikenal ungkapan tradisional yang mengharapkan agar kelak pengantin baru dikaruniakan 17 putra dan 16 putri. Hal ini menunjukkan bahwa sumber daya manusia bagi orang Batak sangat penting. Kekuatan yang tangguh hanya dapat dibangun dalam jumlah manusia yang banyak. Ini erat hubungannya dengan sejarah suku bangsa Batak yang ditakdirkan memiliki budaya bersaing yang sangat tinggi.

Mengenai umur panjang dalam konsep hagabeon disebut Saur Matua Bulung (seperti daun yang gugur setelah tua). Dapat dibayangkan betapa besar

(4)

pertambahan jumlah tenaga manusia yang diharapkan oleh orang Batak, karena selain setiap keluarga diharapkan melahirkan putra-putri sebanyak 33 orang, juga semuanya diharapkan berusia lanjut.

4. Hasangapon

Mencakup kemuliaan, kewibawaan, dan kharisma yang merupakan suatu nilai utama yang memberi dorongan kuat untuk meraih kejayaan. Nilai ini memberi dorongan yang sangat kuat pada suku bangsa Batak Toba untuk meraih jabatan dan pangkat yang memberikan kemuliaan, kewibawaan, kharisma, dan kekuasaan itu.

5. Hamoraon

Kaya raya merupakan salah satu nilai budaya yang mendasari dan mendorong orang Batak, khususnya orang Toba, untuk mencari harta benda yang banyak.Hagabeon pada dasarnya adalah upaya mencapai hamoraon.

6. Hamajuon

Mencakup kemajuan yang diraih melalui merantau dan menuntut ilmu. Nilai budaya hamajuon ini sangat mendorong orang Batak bermigrasi keseluruh pelosok tanah air. Pada abad yang lalu Sumatra Timur dipandang sebagai daerah rantau, tetapi sejalan dengan dinamika orang Batak, tujuan migrasinya telah semakin meluas ke seluruh pelosok tanah air untuk memelihara atau meningkatkan daya saingnya.

7. Hukum

Mencakup patik dohot uhum (aturan dan hukum). Nilai patik dohot uhum merupakan nilai yang kuat disosialisasikan oleh orang Batak. Budaya

(5)

menegakkan kebenaran dan berkecimpung dalam dunia hukum merupakan dunia orang Batak. Nilai ini mungkin lahir dari tingginya frekuensi pelanggaran hak asasi dalam perjalanan hidup orang Batak sejak jaman purba, sehingga mereka mahir dalam berbicara dan berjuang memperjuangkan hak-hak asasi. Hal ini tampil dalam kehidupan hukum di Indonesia yang mencatat nama orang-orang Batak dalam daftar penegak hukum, baik sebagai jaksa, pembela, maupun hakim. Contohnya, Hotman Paris Hutapea, SH.; Hotman Sitompul, SH.; Ruhut Sitompul, SH.; dan Juan Felix Tampubolon, SH.

8. Pengayoman

Kehidupan sosio-kultural orang Batak kurang kuat dibandingkan dengan nilai-nilai yang disebutkan terdahulu. Hal ini mungkin disebabkan kemandirian yang berkadar tinggi. Kehadiran pengayom, pelindung, pemberi kesejahteraan, hanya diperlukan dalam keadaan yang sangat mendesak.

9. Konflik

Dalam kehidupan orang Batak Toba kadarnya lebih tinggi dibandingkan dengan yang ada pada Batak Angkola-Mandailing. Ini dapat dipahami dari perbedaan mentalitas kedua sub suku Batak ini. Sumber konflik pada orang Batak Toba tidak hanya kehidupan kekerabatan melainkan lebih luas lagi karena menyangkut perjuangan meraih hasil nilai budaya lainnya, antara lain hamoraon yang mau tidak mau merupakan sumber konflik yang abadi bagi orang Toba.

Persentase pemaknaan pesan budaya ke dalam sembilan nilai budaya utama suku bangsa Batak Toba secara berurut sebagai berikut:

(6)

1. Kekerabatan 34,33 % 2. Ketuhanan (Religi) 17,25 % 3. Hagabeon 12,32 % 4. Hukum 12,25 % 5. Hamajuon 6,87 % 6. Konflik 5,28 % 7. Hamoraon 4,58 % 8. Hasangapon 3,70 % 9. Pengayoman 3,52 %

Berdasarkan uraian di atas terlihat bahwa pada suku bangsa Batak Toba kedudukan nilai kekerabatan dan ketuhanan sangat tinggi yaitu di atas nilai-nilai yang lain, dan kedua nilai tersebut menjadi ciri khas suku ini. Tiga dari sembilan nilai utama itu yaitu: Hagabeon (banyak keturunan dan panjang umur), Hamoraon (kaya raya), dan Hasangapon (kehormatan dan kemuliaan) dipandang sebagai misi budaya orang Batak, yang juga dikenal sebagai misi budaya 3H. Perjuangan meraih misi budaya 3H melatih suku bangsa Batak Toba untuk mandiri dan dinamik. Orang yang bukan suku Batak dapat saja memandang perilaku suku bangsa Batak Toba dalam hal-hal tertentu sebagai pelanggaran tatakrama, tetapi bila orang luar tersebut memahami misi budaya 3H maka ukuran pelanggaran itu mungkin akan berbeda (Harahap dan Siahaan, 1987).

Pada suku bangsa Batak Toba misi budaya 3H berada pada urutan ketiga, ketujuh, dan kedelapan. Terdapat tiga nilai yang menyekat urutan itu yaitu: hukum, kemajuan, dan konflik. Hal ini memberi indikasi bahwa pergulatan

(7)

mencapai hasil misi budaya 3H didahului oleh pergulatan menegakkan hukum, perjuangan meraih kemajuan dan kehidupan berkonflik yang hampir tidak berkesudahan. Oleh sebab itu pula nilai kesembilannya adalah pengayoman. Selebihnya perjuangan hidupnya dijalani dalam suasana hubungan primordial yang kuat, kehidupan keagamaan dan jaringan ikatan kekerabatan dalam lingkungan keluarga besar. Keluarga besar dapat berskala lingkungan Dalihan Na Tolu, tetapi pada tingkat yang lebih luas, dapat pula berarti ikatan primordial Batak yang di dalamnya tercakup seluruh puak-puak Batak. Kekerabatan, religi, dan hagabeon itulah yang menjadi modal dasar spiritual suku bangsa Batak Toba dalam perjalanan hidupnya. Dalam keadaan sedih maupun gembira, mereka senantiasa berada dalam suasana ikatan ketiga nilai budaya utama ini.

Konsep hagabeon sesungguhnya berakar dari budaya bersaing pada jaman purba, bahkan tercatat dalam sejarah perkembangan, terwujud dalam perang huta. Dalam perang tradisional ini kekuatan tertumpu pada jumlah personil yang besar. Hagabeon adalah dasar mencapai hamoraon dan hasangapon. Banyak anak berarti banyak tenaga untuk bekerja sehingga lebih produktif dan mencapai hamoraon. Hagabeon dan hamoraon adalah akses untuk mencapai hasangapon. Hasangapon merupakan tujuan utama dan paling penting dalam kehidupan suku bangsa Batak Toba. Kepercayaan suku bangsa Batak Toba bahwa mereka adalah keturunan raja berhubungan erat dengan hasangapon sehingga mereka tidak perlu memiliki jabatan agar dihormati. Pelaksanaan adat seperti memotong kerbo untuk pesta adat Batak dapat memberikan arti hasangapon pada pemilik pesta. Hasangapon ini

(8)

bila dikaitkan dengan teori Maslow dapat diidentikkan dengan aktualisasi diri (Simanjuntak, 2000; Harahap dan Siahaan, 1987).

Akhirnya kesemua nilai itu menampilkan sosok suku bangsa Batak Toba yang dinamik, keras (horas), dan ulet dalam kemandirian namun menyatu dalam kebersamaan dan berkonflik dalam kesolidaritasan secara serentak. Inilah yang unik dari kepribadian suku bangsa Batak Toba, yang bagi orang non-Batak sukar difahami. Di tengah-tengah suasana persaingan yang tinggi, solidaritas tetap terpelihara untuk mencapai tujuan bersama yaitu kaya raya. Hal ini merupakan mentalitas yang unik, menjaga solidaritas dalam suasana persaingan.

II.A.3. Suku Bangsa Batak Toba di Pematangsiantar

Suku bangsa Batak Toba banyak tersebar di Pematangsiantar dan menjadi suku bangsa mayoritas di Pematangsiantar. Hal ini terbukti dari sensus penduduk yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) kota Pematangsiantar tahun 2006, yaitu sebanyak 117.652 (47,47%). Plasthon Simanjuntak juga menjelaskan bahwa adat Batak Toba di kota Pematangsiantar masih cukup kuat/kental, terlihat pada pola hidup dan pesta-pesta seperti pesta pernikahan yang diselenggarakan sesempurna mungkin sesuai aturan adat Batak Toba, tanpa ada penyederhanaan adatnya. Suku bangsa Batak Toba yang ada di Pematangsiantar pada dasarnya berasal dari tanah asal suku bangsa Batak Toba yaitu Tapanuli Utara, dan umumnya bukan berasal dari kaum intelektual.

(9)

II.B. BIG FIVE PERSONALITY II.B.1. Batasan Big Five Personality

Kata personality (kepribadian) berasal dari kata persona (bahasa Latin) yang merujuk pada kedok atau topeng yang dipakai oleh pemain-pemain panggung dalam drama untuk mengembangkan peran atau penampilan yang berbeda. Definisi ini tidak dapat diterima karena kepribadian tidak hanya dilihat sebagai peran yang dimainkan seseorang (Feist dan Feist, 2002).

Personality is the sum-total of actual or potential behavior-patterns of organism as determined by heredity and environment (Eysenck dalam Suryabrata, 2002, h. 288).

Eysenck menjelaskan bahwa kepribadian merupakan kumpulan pola perilaku yang tampak maupun berupa kecenderungan perilaku yang ditentukan oleh bawaan dan lingkungan.

McAdams (dalam Cavanaugh, 2006) menggambarkan tiga tingkatan paralel struktur dan fungsi kepribadian yang masing-masing tingkatan meliputi berbagai konstrak kepribadian. Ia mengarahkan tingkatan tersebut dengan nama yang cukup umum: dispositional traits, personal concerns, dan life narrative. Dispositional Traits mencakup aspek kepribadian yang konsisten untuk semua konteks yang berbeda dan dapat dibandingkan antarkelompok dengan tingkatan pengelompokkan tinggi-rendah. Dispositional Traits adalah tingkatan kepribadian yang pertama sekali dipikirkan oleh kebanyakan orang, dan disimpulkan secara umum melalui skrip seperti pemalu, suka bicara, otoriter, dan ramah. Personal Concerns mencakup hal-hal penting, tujuan, dan pusat perhatian dalam hidupnya. Personal Concerns selalu menggambarkan motivasi, perkembangan, atau bentuk

(10)

strategi; ditunjukkan oleh taraf hidupnya saat itu. Life Narrative mencakup aspek kepribadian yang mencakup keseluruhannya. Aspek-aspek integratif ini menunjukkan jati dirinya sendiri atau sense of self. Bentuk kepribadian dari dimensi Big Five adalah hasil dari tingkat dispositional traits.

Costa dan McCrae (dalam Cavanaugh, 2006) membuat tiga asumsi tentang trait. Pertama, trait didasarkan pada perbandingan individual, karena tidak ada standart kuantitatif absolut untuk konsep seperti friendliness (bersahabat). Kedua, kualitas atau perilaku dari trait harus cukup jelas untuk menghindari kebingungan. Ketiga, trait diberikan kepada orang tertentu yang diasumsikan sebagai karakteristik yang stabil. Ketiga asumsi ini tercakup dalam definisi trait sebagai berikut.

a trait is any distinguishable, relatively enduring way in which one individual differs from others (Guilford dalam Cavanaugh, 2006, p. 344).

Selama tiga dekade para trainer dan konsultan pada umumnya mengikuti asumsi Myers-Briggs Type Indicator (MBTI) namun sekarang model kepribadian yang lebih diterima dan digunakan adalah Big Five (Howard dan Howard, 2004). Model ini sangat didasarkan dari penelitian-penelitian cross-sectional, longitudinal, dan penelitian selanjutnya (Costa dan McCrae dalam Cavanaugh, 2006).

II.B.2. Definisi Big Five Personality

Big Five adalah lima trait atau dimensi dasar yang sekarang ini menjadi gagasan penting utama dalam menggambarkan kepribadian (Morris dan Maisto,

(11)

2005). Howard dan Howard (2004) menjelaskan bahwa masing-masing dimensi Big Five Personality seperti sebuah paket yang mencakup seperangkat trait kemudian cenderung terjadi bersamaan. Definisi kelima faktor tersebut menunjukkan usaha untuk menggambarkan elemen umum dari sejumlah trait atau sub-faktor, di dalam masing-masing “paket”. Paket trait yang paling umum diterima adalah yang dikembangkan oleh Costa dan McCrae tahun 1992. Tatanamanya dibentuk untuk populasi akademik dan klinis. Trait adalah pola perilaku tertentu (pikiran, tindakan, dan perasaan) yang relatif menetap pada berbagai situasi (Lahey, 2005).

II.B.3. Dimensi Big Five Personality

McCrae dan Costa (dalam Cavanaugh, 2006) menyebutkan dimensi Big Five Personality yaitu terdiri dari neuroticism, extraversion, openness to experience, agreeableness, dan conscientiousness. Masing-masing dimensi ini memiliki enam facets. Facets adalah trait yang lebih spesifik atau komponen yang menggambarkan masing-masing cakupan faktor Big Five itu. Tiga dimensi pertama (neuroticism, extraversion, dan openness to experience) merupakan dimensi yang paling sering diteliti. Skala yang menggunakan ketiga dimensi ini itu disebut NEO-PI. Dua dimensi yang kemudian ditambahkan setelah tahun 1980-an bertujuan memberi data tambahan dan mendekatkan teori ini dengan teori trait lainnya. Kemudian skala direvisi menjadi NEO-PI-R yang juga dikenal dengan Big Five Inventory (BFI).

(12)

 Neuroticism. Enam facets neuroticism yaitu anxiety, self–consciousness, deppresion, vulnerability, impulsiveness, dan hostility. Anxiety dan hostility merupakan trait penting untuk dua emosi dasar: fear (rasa takut) dan angry (perasaan marah). Meskipun individu mengalami emosi ini pada beberapa waktu, frekuensi dan intensitasnya berbeda-beda pada setiap orang. Orang yang tinggi trait anxiety bersifat nervous, high-strung, tense, worried, dan pessimistic. Selain cenderung anger, orang yang hostile mudah marah dan cenderung sulit bersama orang lain untuk waktu yang lama. Trait self–consciousness dan depresi berhubungan dengan emosi duka cita (sorrow) dan perasaan malu (shame). Individu yang memiliki self–consciousness tinggi cenderung sensitif akan suatu perasaan dan merasa tidak berarti. Trait depresi menyangkut perasaan sedih, putus asa, kesepian, bersalah, dan rendah diri. Dua facets terakhir dari neuroticism-impulsiveness dan vulnerability-paling sering dimanifestasikan sebagai perilaku daripada emosi. Impulsiveness adalah kecenderungan menyerah pada godaan dan hasrat karena rendahnya tekad dan kontrol diri. Hasilnya, orang yang impulsif sering melakukan sesuatu berlebihan, sperti overeating dan overspending. Mereka juga lebih senang merokok, berjudi, dan menggunakan obat-obatan. Vulnerability mencakup kurangnya kemampuan mengatasi stress. Vulnerable people cenderung sangat tergantung pada bantuan orang lain. Secara umum orang yang tinggi pada dimensi ini cenderung memiliki skor yang tinggi pada masing-masing trait yang terlibat. Orang yang memiliki skor tinggi pada neuroticism secara

(13)

tipikal memunculkan kekerasan dan emosi negatif untuk mencampuri orang lain dalam menyelesaikan masalah atau untuk bersama orang lain.

 Extraversion. Keenam facets dari extraversion dapat dikelompokkan dalam tiga interpersonal trait (warmth, gregariousness, dan assertiveness) dan tiga temperamental trait (activity level, excitement seeking, dan positive emotions). Warmth, atau kelekatan, adalah bersahabat, memiliki hasrat untuk bersama orang lain, dan ingin menghibur orang lain/terharu. Warmth dan gregariousness (hasrat untuk bersama orang lain) menjadikannya orang yang kadang disebut suka bergaul. Orang yang gregarious hidup dalam kerumunan; terdapat banyak interaksi sosial. Orang yang assertif menjadi pemimpin secara alami, mudah mengambil tanggung jawab, memberikan pandangan sendiri, serta tanpa ragu-ragu mengemukakan pikiran dan perasaannya. Mereka senang dengan kesibukan, berbicara cepat, dan selalu berusaha mencari situasi yang menantang. Temperamental, orang extravert senang untuk selalu sibuk; mereka terlihat mempunyai energi yang tidak terbatas, berbicara cepat, dan ingin terburu-buru. Mereka lebih menyukai lingkungan yang mengasikkan, penuh semangat, dan selalu berusaha mencari situasi yang menantang. Aktif di sini, gaya hidup penuh semangat yang jelas merupakan emosi positif orang extravert. Mereka contoh dari nafsu, kegembiraan hati, dan kesenangan. Aspek yang menarik dari extraversion adalah bahwa dimensi ini sangat berhubungan dengan ketertarikan akan pekerjaan dan nilai. Orang yang tinggi pada dimensi ini cenderung

(14)

people-oriented job, seperti pekerja sosial, administrasi bisnis, dan sales. Mereka menghargai tujuan kemanusiaan dan menggunakan kekuatan person-oriented. Orang yang rendah extravertion cenderung task-oriented job, seperti arsitektur dan akuntan.

 Openness to experience. Keenam facets dari openness to experience menggambarkan enam area yang berbeda. Dalam area fantasi, openness artinya memiliki imajinasi yang hidup dan active dream life. Dalam hal seni, openness terlihat dalam mengapresiasikan seni dan kecantikan, sensitif pada pengalaman yang ia alami sendiri. Keterbukaan pada tindakan yang memerlukan keinginan untuk mencoba sesuatu yang baru, baik itu berbagai masakan baru, film baru, atapun tempat wisata baru. Orang yang terbuka pada ide dan nilai yang untuk diketahui. Orang yang terbuka cenderung open-minded pada nilai-nilainya, selalu mengakui bahwa hal-hal yang benar untuk seseorang mungkin tidak benar bagi orang lain. Pandangan ini hasil langsung dari keinginan individu terbuka mempertimbangkan kemungkinan yang berbeda dan kecenderungan mereka untuk berempati pada orang-orang dengan situasi berbeda. Orang yang terbuka juga merasakan perasaan yang dalam dan memandang mereka sebagai sumber utama makna hidup. Maka tidak mengherankan openness to experience juga berhubungan dengan pilihan pekerjaan. Orang yang open senang pada pekerjaan yang memerlukan pikiran teoritis atau filosofis dan kurang memandang nilai ekonomis. Secara tipikal mereka cerdas dan cenderung membiarkan dirinya berada pada situasi penuh

(15)

tekanan. Pekerjaan seperti psikolog atau pengajar patut dipertimbangkan untuk orang open.

 Agreeableness. Cara mudah untuk mengerti dimensi ini adalah dengan mengingat trait yang berkarakter antagonis. Orang antagonis cenderung bermusuhan; skeptis, tidakpercayaan, tidak berperasaan, keras kepala, tidak simpatik, dan kasar; dan mereka kurang memiliki rasa akan kelekatan. Antagonis dapat ditunjukkan lebih dari sekedar overt hostility. Sebagai contoh, orang antagonis ahli memanipulasi atau agresif (cekatan dan giat) dengan kurang kesabaran. Skor tinggi pada agreeableness, berkebalikan dengan antagonis, tidak selalu dapat beradaptasi dengan segala keadaan. Orang ini cenderung terlalu tergantung dan self-effacing, trait yang selalu mengganggu orang lain.

 Conscientiousness. Nilai yang tinggi pada conscientiousness menunjukkan bahwa individu pekerja keras, ambisi, enerjik, teliti, dan tekun. Seseorang yang mempunyai dorongan yang kuat untuk membuat sesuatu dengan tangannya sendiri. Orang yang berkebalikan cenderung lalai, malas, berantakan, terlambat, tidak punya tujuan, dan tidak tukun/gigih.

II.B.4. Pengukuran Big Five Personality

Big Five Personality dibuat menggunakan pendekatan yang sangat sederhana. Peneliti mencoba menemukan unit dasar kepribadian dengan menganalisa kata-kata yang digunakan orang-orang (bukan hanya ahli ilmu jiwa,

(16)

tetapi sehari-hari, orang biasa) untuk menggambarkan kepribadian seseorang (John, Angleitner, dan Ostendorf dalam Pervin, 2005).

Penyebutan faktor “Big Five” menandakan adanya faktor, dan “Big” merujuk pada ditemukannya pada masing-masing faktor sejumlah besar trait yang lebih spesifik; faktor tersebut kebanyakan luas dan abstrak dalam hirarki kepribadian (Pervin, 2005). Untuk memudahkan mengingat kelima dimensi ini digunakan huruf awal dari setiap dimensi, menghasilkan kata OCEAN (Openness, Conscientiousness, Extraversion, Agreeableness, dan Neuroticism) (John dalam Pervin, 2005)

Para peneliti menemukan bahwa beberapa versi dari Big Five Personality sesuai pada orang-orang dari negara yang berbeda, seperti Kanada, Finlandia, Cina, dan Jepang (Paunonen dkk., dalam Cavanaugh, 2006). Para ahli psikologi percaya bahwa letak dan konteks budaya secara luas penting dalam Big Five Personality.

Pada tabel 2 akan dikemukakan ilustrasi skala yang digunakan Costa dan McCrae dalam mengungkap faktor Big Five Personality.

Tabel 2. Ilustrasi Skala dan Faktor-faktor Trait Big Five

Karakteristik Memiliki Skor

Tinggi

Skala Trait Karakteristik Memiliki Skor Rendah Worrying, nervous, insecure, inadequate, hypochodriacal NEUROTICISM (N)

Assesses adjustment vs. emotional instability. Identifies individual prone to psychological distress, unrealistic ideas, excessive cravings or urges, and maladaptive coping responses.

Calm, relaxed, unemotional, hardy, secure, self-satisfied Sociable, active, talkative, person-oriented, EXTRAVERSION (E)

Assesses quantity and intensity of interpersonal interaction; activity level; need for stimulation;

Reserved, sober, unexuberant, aloof,

(17)

task-optimistic, fun-loving,

affectionate

and capacity for joy. oriented,

retiring, quiet Curious, broad interests, creative, original, imaginative, untraditional OPENNESS (O)

Assesses proactive seeking and appreciation of experience for its own sake; toleration for and exploration of the unfamiliar.

Conventional, down-to-earth, narrow interests, unartistic, unanalytical Soft-hearted, good-natured, trusting, helpful, forgiving, gullible, straightforward AGREEABLENESS (A)

Assessesthe quality of one’s interpersonal orientation along a continuum from compassion to antagonism in thoughts, feeling, and actions.

Cynical, rude, suspicious, uncooperative, vengeful, ruthless, irritable, manipulative Organized, reliable, hard-working, self-diciplined, punctual, scrupulous, neat, ambitious, persevering CONSCIENTIOUSNESS (C)

Assesses the individual’s degree of organization, persistence, and motivation in goal-directed behavior. Contrasts dependable, fastidious people with those who are lackadaisical and sloppy. Aimless, unreliable, lazy, careless, lax, negligent, weak-willed, hedonistic

Sumber: Costa dan McCrae dalam Pervin, 2005, h. 255.

Setiap trait pada Big Five Personality memiliki trait bentuk kebalikannya, yaitu neuroticism versus emotional stability, extraversion versus introversion, openness versus closedness, agreeableness versus antagonism, dan conscientiousness versus lack of direction. Orang yang memiliki skor rendah pada trait neuroticism akan menunjukkan stabilitas emosi yang tinggi.

II.C. GAMBARAN BIG FIVE PERSONALITY PADA SUKU BANGSA BATAK TOBA DI PEMATANGSIANTAR

Dalam budaya seseorang, self dilihat sebagai kesatuan batasan lahiriah yang tetap dari beberapa atribut internal, termasuk kebutuhan, kemampuan, motivasi, dan hak. Budaya menentukan dan membentuk perilaku, pikiran, dan perasaan

(18)

individu secara tidak langsung melalui konsep dirinya. Budaya yang berbeda menghasilkan konsep diri yang berbeda pada anggota-anggotanya yang kemudian mempengaruhi semua aspek-aspek lain dari perilaku individu (Matsumoto dan Juang, 2004).

Salah satu suku bangsa di Indonesia adalah suku bangsa Batak Toba. Dalam suku bangsa Batak Toba terdapat sistem kekerabatan Dalihan Na Tolu dan sembilan nilai budaya Batak yang mencakup segala aspek kehidupan orang Batak yaitu kekerabatan, religi (haporseaon atau ketaatan kepada Tuhan), hagabeon, hukum, kemajuan, konflik, hamoraon, hasangapon, dan pengayoman. Tiga dari nilai tersebut dipandang sebagai missi budaya orang Batak, yaitu hagabeon (anak), hamoraon (kekayaan), dan hasangapon (kehormatan), Kesemua nilai itu menampilkan sosok suku bangsa Batak Toba yang dinamik, keras, dan ulet dalam kemandirian namun menyatu dalam kebersamaan dan berkonflik secara serentak. Hal inilah yang unik dalam kepribadian suku bangsa Batak Toba, yang bagi orang non-Batak sukar difahami (Harahap dan Siahaan, 1987).

Penjelasan mengenai nilai-nilai suku bangsa Batak Toba yang memunculkan perilaku-perilaku khusus pada orang Batak Toba di atas dapat menggambarkan keribadian suku bangsa Batak Toba. Pervin (2005) menjelaskan bahwa kepribadian mengacu pada beberapa karakteristik seseorang dari sejumlah pola-pola perasaan, pikiran dan perilaku yang konsisten.

Berdasarkan uraian di atas, kepribadian suku bangsa Batak Toba yang dinamik, keras dan ulet mungkin dapat dikatakan cenderung tinggi di dimensi conscientiousness dan tingginya kebersamaan pada suku bangsa Batak Toba

(19)

mungkin berhubungan dengan facet gregariousness di dimensi extroversion yang tinggi pula. Namun di sisi lain, suku bangsa Batak Toba juga memiliki sifat agresif, tidak kenal kompromi dan belas kasihan yang kemungkinan mengindikasikan rendahnya skor di dimensi agreeableness. Di sisi lain cara berkomunikasi orang Batak Toba yang keras, sering penuh emosi dan amarah, serta adanya dendam dan iri mungkin dapat dilihat sebagai trait neuroticism.

Gambar

Tabel 2. Ilustrasi Skala dan Faktor-faktor Trait Big Five  Karakteristik

Referensi

Dokumen terkait

Dari studi yang telah dilakukan dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: (1) pengambilan data detail situasi tidak hanya mengambil batas-batas atap dari setiap

Processed spectra (smoothing +Savitzky-Golay derivation) of coffee blend (Luwak- Arabica) with different content of adulterant (Arabica) in the range of 200-450

The objectives of the study are: (1) to find out the idiomatic phrases in Michelle Obama’s final speech as the first lady.. (2) to find out the patterns of the

prinsip dan karakteristik ekonomi syariah) dengan ditanggapi aktif oleh peserta didik dari kelompok lainnya sehingga diperoleh sebuah pengetahuan baru yang dapat

Pembelajaran dikatakan efektif jika setelah mengalami proses pembelajaran dengan perangkat yang dikembangkan menggunakan model Group Investigation berbasis RME jika (1)

Kajian ini dilakukan untuk menganalisis stabilitas keseimbangan sistem penawaran dan permintaan beras di Indonesia dengan menggunakan model keseimbangan Cobweb dari penawaran

Uji sensitivitas Mycobacterium tuberculosis complex terhadap obat anti TB lini pertama pada penelitian ini menunjukkan bahwa isolat monoresisten terhadap rifampisin sebesar 2,86%

Pada saat mulai pembelajaran interaktif melalui bernyanyi ini klien B seperti sangat tertarik memperhatikan instruksi yang peneliti instruksikan, sama sekali tidak