• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Teori Kepribadian Big Five 1. Sejarah - Differential Item Functioning (DIF) Etnis pada Big Five Inventory (BFI) versi Adaptasi Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Teori Kepribadian Big Five 1. Sejarah - Differential Item Functioning (DIF) Etnis pada Big Five Inventory (BFI) versi Adaptasi Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Teori Kepribadian Big Five 1. Sejarah

Trait adalah unit fundamental dari kepribadian, yang mewakili watak secara luas untuk merespon suatu kondisi dengan cara tertentu. Penelitian mengenai trait kepribadian membutuhkan model persetujuan yang general mengenai penelitian yang dilakukan oleh peneliti, sama halnya dengan ilmu pengetahuan yang lain. Selama 40 tahun terakhir, sejumlah konsep kepribadian, dan sejumlah skala pertanyaan didesain untuk mengukur trait kepribadian tersebut, dan hal ini semakin meluas tanpa ada akhir yang jelas. Dalam bahasa inggris sendiri, terdapat lebih dari 5000 kata yang menjelaskan trait kepribadian (Pervin, dkk, 2005).

Selama bertahun-tahun, para peneliti trait termasuk Eysenck, Cattell, dan yang lainnya telah melakukan perdebatan mengenai jumlah dan asal dimensi dasar trait kepribadian. Namun hal ini tidak terselesaikan, hingga tahun 1980an terdapat perkembangan secara bertahap dalam kualitas dan pengalaman metode, yang berujung pada banyaknya peneliti yang setuju bahwa perbedaan individu dapat dikategorikan ke dalam lima faktor bipolar yang dikenal sebagai “Big Five” (John & Srivastava; McCrae & Costa dalam Pervin, dkk, 2005).

(2)

atau yang sering disingkat dengan sebutan OCEAN. Masing-masing faktor dalam BFI tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut (Pervin, dkk, 2005):

1. Neuroticism (N). Mengidentifikasi kecenderungan individu akan mengalami kondisi psikologis yang kurang baik, memiliki ide-ide yang tidak realistis, kebutuhan/keinginan yang berlebihan, dan tidak dapat menyesuaikan respon dengan kondisi yang ada. Dimensi bipolar dari faktor ini adalah Emotional Stability

2. Extraversion (E). Mengukur kuantitas dan intensitas interaksi intrapersonal, aktivitas yang dilakukan, kebutuhan akan stimulasi, melakukan hal yang disenangi. Dimensi bipolar dari faktor ini adalah Introversion

3. Openness (O). Mengukur keinginan untuk mencari dan menghargai

pengalaman baru bagi dirinya sendiri, senang mengetahui sesuatu yang tidak terkenal atau tidak familiar. Dimensi bipolar dari faktor ini adalah Closedness 4. Agreeableness (A). Mengukur kualitas orientasi interpersonal seseorang,

mulai dari perasaan kasihan sampai pada sikap permusuhan dalam hal pikiran, perasaaan, dan tindakan. Dimensi bipolar dari faktor ini adalah Antagonism. 5. Conscientiousness (C). Mengukur tingkat keteraturan seseorang, ketahanan

(3)

Keterangan lebih lengkap mengenai dimensi bipolar dari kelima faktor kerpribadian Big Five dapat dilihat pada tabel 1 berikut:

Tabel 1. Karakteristik Sifat-Sifat Big Five Model Dengan Skor Tinggi dan rendah

Skor tinggi Sifat Skor rendah

Kuatir, cemas, emosional, merasa tidak nyaman, kurang penyesuaian, kesedihan yang tak beralasan.

Neuroticism Tenang , santai, tidak

emosional, tabah, nyaman,

Extraversion Tidak ramah, tenang, tidak periang, menyendiri,

Openness Mengikuti apa yang sudah

ada, kembali ke alam, tertarik hanya pada satu hal, tidak memiliki jiwa seni,

Agreeableness Sinis, kasar, rasa curiga, tidak mau bekerjasama,

(4)

2. Keuniversalan Dimensi Big Five

Jika ada pertanyaan umum yang fokus pada perbedaan individu dan interaksi manusia, maka untuk menjawab hal ini perlu dilakukan pembuktian terhadap keuniversalan struktur faktor Big Five. Untuk membuktikan keuniversalan faktor Big Five, sejumlah penelitian lintas budaya mengenai trait kepribadian semakin meningkat secara dramatis pada dekade sebelumnya, terutama penelitian yang dilakukan secara internasional oleh tim yang berasal dari negara yang berbeda-beda. Hal ini mungkin dapat menjadi awal untuk menjawab pertanyaan tersebut mengenai keuniversalan Big Five (Pervin, dkk, 2005).

(5)

Jerman, kata “aggressive” memiliki arti “hostile (bersifat mengancam)” dibanding “forceful-assertive (ketegasan yang berlebihan) (Pervin, dkk, 2005).

(6)

3. Big Five Inventory (BFI)

(7)

baru’ dan kata sifat untuk faktor ‘Conscientiousness’ disajikan sebagai dasar untuk aitem dengan tambahan ‘bertahan hingga tugas diselesaikan’. Aitem-aitem yang ada dalam BFI memberikan keuntungan dengan kata sifat (ringkas dan sederhana) yaitu dapat mencegah ambiguitas atau arti ganda (multiple meaning). Ketika dilakukan pengujian pada sampel yang berasal dari negara Kanada dan Amerika Serikat, diperoleh reliabilitas alpha skala BFI berkisar antara 0.75 sampai 0.90 dan rata-rata reliabilitas tiap faktor diatas 0.80; reliabilitas tes retesnya dalam rentang waktu tiga bulan berada antara 0.80 sampai 0.85 dimana memiliki mean sebesar 0.80 (John & Srivastava, 1999). Sedangkan penelitian yang dilakukan di Indonesia oleh Mariyanti (2012) diperoleh reliabilitas alpha skala sebesar 0.70, yang berarti bahwa BFI yang telah diadaptasi ke dalam bahasa Indonesia memiliki reliabilitas yang baik.

BFI yang digunakan dalam penelitian ini adalah BFI yang telah diadaptasi kedalam versi bahasa Indonesia yang dilakukan oleh Mariyanti (2012). Berdasarkan teori tersebut ditemukan bahwa terjadi perbedaan indikator dari kelima faktor yang menyusun alat ukur BFI versi adaptasi Bahasa Indonesia, yaitu (Mariyanti, 2012):

(8)

2. Neuroticism (N) adalah faktor yang mengidentifikasi individu yang rentan terhadap distress psikologis, yaitu mudah mengalami rasa sedih, takut dan cemas berlebihan, memiliki dorongan berlebihan, tidak bisa menyesuaikan respon dengan kondisi yang ada. Selain itu juga terlihat dalam bentuk perilaku mudah tersinggung (irritability) dan pemarah (hostile). Seseorang dikatakan neurotis ketika individu tersebut mudah merasa tertekan dan sedih, tidak mampu menghadapi situasi stress dengan baik, pencemas, suasana hati mudah berubah, labil, pemalu dan perhatiannya mudah terganggu.

3. Conscientiousness (C) adalah faktor yang melihat kesadaran diri, motivasi dan kemampuan mengorganisasikan sesuatu dalam mencapai suatu tujuan. Seseorang dikategorikan dalam faktor Conscientiousness ketika individu tersebut memiliki karakteristik seperti teliti, terorganisir, tidak pemalas, menyukai suatu pekerjaan yang rutin serta mampu bertahan dan mengerjakan suatu tugas hingga selesai.

4. Extraversion (E) adalah faktor yang melihat aktivitas yang dilakukan sehari-hari dan kemampuan melakukan hubungan interpersonal individu. Seseorang dikatakan extrovert apabila individu tersebut suka mengobrol, tidak pendiam, santai, mudah bergaul dan senang bekerjasama dengan orang lain.

(9)

B. Differential Item Functioning (DIF) 1. Definisi

DIF adalah istilah teknis dalam ilmu pengukuran. DIF merupakan keadaan yang menyatakan bahwa fakta-fakta empiris yang telah dianalisis menggunakan metodologi yang terstandarisasi menunjukkan bahwa sebuah aitem tes bekerja secara berbeda untuk dua kelompok atau lebih. Semua prosedur yang digunakan untuk mengidentifikasi DIF perlu mempertimbangkan variasi kemampuan kelompok (Osterlind & Everson, 2009 dalam Osterlind, 2010). DIF juga menjelaskan performansi aitem secara individual dan tidak dihubungkan dengan tes secara keseluruhan (Osterlind, 2010). Selain definisi diatas, Thiesse, Steinberg & Wainer (dalam Reeve, 2002) menyatakan bahwa DIF merupakan kondisi sebuah aitem yang berfungsi secara berbeda untuk responden dari kelompok yang satu dengan kelompok yang lain. Dengan kata lain, responden dengan kesamaan pada level trait laten, tetapi berasal dari populasi yang berbeda memiliki kemungkinan berbeda dalam merespon sebuah aitem.

(10)

Istilah DIF sering dianggap sama dengan bias aitem. Beberapa penelitian menyatakan bahwa istilah DIF dan bias aitem sering dipertukarkan. Sebaliknya, terdapat juga penelitian yang menyatakan bahwa DIF dan bias aitem merupakan dua konsep yang berbeda.

Penelitian yang dilakukan oleh Ellis & Raju (dalam Acar, 2011) menggunakan istilah DIF yang sering dipertukarkan dengan bias aitem. Pada akhir tahun 1980an, istilah DIF berubah posisi dari istilah ‘bias aitem’. DIF mengungkap perbedaan dalam kesempatan menjawab aitem dengan benar dengan mempertimbangkan tingkat kemampuan tiap kelompok yang telah diukur disesuaikan dengan aitem (Embretson & Reise, 2000; Lord, 1980 dalam Acar, 2011). Dalam studi mengenai DIF, diperlukan perbandingan performansi pada aitem tes suatu kelompok pada tingkat kemampuan yang sama tetapi memiliki karakteristik demografis yang berbeda, seperti pria-wanita atau Asia-Eropa (Greer, 2004 dalam Acar, 2011).

(11)

kabangsaan, daerah demografis, dan lain-lain, setelah kemampuan dasar yang telah disetarakan (Camilli & Shepard, 1994; Clauser & Mazor, 1998 dalam Zumbo, 1999). Dalam penelitian ini menggunakan konsep DIF yang sama dengan bias aitem. Hal ini dikarenakan DIF merupakan bagian dari bias, yaitu dua kelompok berasal dari populasi yang berbeda memiliki kesempatan yang berbeda dalam menyetujui aitem setelah kemampuan dasar yang telah disetarakan. Hal ini disebabkan oleh beberapa karakteristik seperti budaya, demografis, ras, dan lain-lain.

2. Jenis-jenis DIF

(12)

1. Uniform atau Consistent DIF, terjadi ketika satu kelompok relatif diuntungkan untuk keseluruhan aitem skala kemampuan, sedangkan kelompok lain dirugikan. Hal ini dapat dilihat dari Item characteristic curves (ICCs) yang tidak berpotongan atau bersinggungan pada semua aitem skala kemampuan yang disajikan pada figure 1 berikut.

Figure 1. Dua ICC yang tidak bersinggungan

(13)

Figure 2. Dua ICC yang bersinggungan

(14)

Selain validitas, karakterisitk lain yang perlu diperhatikan dalam sebuah alat ukur adalah reliabilitas. Reliabilitas hasil pengukuran memiliki hubungan dengan kesalahan (error), yaitu random error, yaitu kesalahan yang terjadi karena adanya perbedaan antara skor yang sebenarnya (true score) dan skor yang diamati (observed score) pada individu yang dapat berpengaruh kepada hasil kelompok. Hubungan antara reliabilitas dengan DIF adalah bahwa DIF terjadi karena adanya kesalahan (error) dalam pengukuran, yaitu kesalahan sistematis (systematic error), yaitu kesalahan yang melibatkan respon kelompok yang dapat mempengaruhi hasil pengukuran. Oleh karena itu, munculnya kesalahan dalam pengukuran dapat menghasilkan reliabilitas yang rendah (Osterlind, 2010). Jadi, aitem yang mengandung DIF bisa dikatakan sebagai aitem yang memiliki kesalahan (error) karena bersifat tidak adil untuk dua kelompok yang berasal dari populasi yang berbeda dan dapat mengakibatkan pengukuran menjadi tidak reliabel.

3. Dampak DIF

(15)

aitem pada tes dapat melemahkan reliabilitas hasil yang berpengaruh terhadap keputusan yang dibuat (Acar, 2011).

Selanjutnya, Thiesse, Steinberg, & Wainer (dalam Reeve, 2002) menyatakan bahwa aitem yang terdeteksi DIF merupakan sebuah ancaman yang serius terhadap validitas sebuah instrumen yang mengukur level trait kelompok ataupun populasi yang berbeda. Instrumen yang berisi aitem-aitem yang terdeteksi DIF mungkin dapat mengurangi validitas untuk perbandingan antarkelompok, karena skor mereka mungkin menunjukkan atribut lain dibandingkan skala yang mengukur apa yang seharusnya diukur. Kemudian, dalam penelitian yang dilakukan oleh Rahmawati (2010) dijelaskan bahwa bias aitem juga merupakan ancaman terhadap validitas pengukuran. Bila aitem tes berfungsi secara berbeda pada dua kelompok peserta, mungkin aitem tersebut mengukur trait yang berbeda pada kelompok tersebut. Hal ini akan menyebabkan kesimpulan yang salah mengenai kemampuan tes untuk mengukur apa yang seharusnya diukur. DIF merupakan titik awal studi tentang bias aitem.

(16)

digunakan. Lebih lagi, dalam penelitian terkini, telah dilakukan peninjauan terhadap pendekatan-pendekatan yang berdeda-beda untuk meneliti validitas tes. DIF, diantara metode lain untuk meneliti validitas tes dengan deskripsi dan penjelasan serta kelebihan dan kelemahan masing-masing metode dan pendekatan berbeda menyimpulkan bahwa regresi logisitik adalah salah satu diantara metode terbaik saat ini (Salehi & Tayebi, 2012).

4. Analisis DIF

Menurut Gierl, Khalia, & Baughton (dalam Acar, 2011), DIF secara luas digunakan untuk menyelidiki bias dalam pengukuran. Terdapat beberapa metode untuk menentukan DIF. Beberapa contoh metode yang didasarkan pada CTT adalah teknik Mantel Haenzel (M-H) yang sebagian besar sering digunakan, regresi logistik (LR) dan simultaneous bias test (subtest). Dalam penelitian ini, analisis yang digunakan untuk menganalisis DIF adalah menggunakan Regresi logistik (logistic regression), yaitu model regresi logistik ordinal (ordinal logistic regression). Regresi logistik ordinal merupakan salah satu metode terkini yang tersedia untuk menginvestigasi DIF aitem-aitem yang biasanya ditemukan dalam pengukuran kepribadian dan psikologi sosial. Alasan memilih regresi logistik ordinal antara lain (Miller & Spray dalam Zumbo, 1999):

(a) Penggunaan regresi logistik ordinal memiliki keuntungan yaitu dapat digunakan untuk model aitem bineri dan ordinal

(17)

(c) Model regresi logistik ordinal diperluas oleh Zumbo-Thomas, yaitu memiliki uji statistik dan pengukuran yang cocok mengenai effect size, tidak seperti metode yang lainnya.

Regresi logistik ordinal ini dapat diinterpretasi seperti regresi linear yang menjadi variabel prediktor terhadap sebuah variabel random yang yang tidak dapat diobservasi secara terus menerus, Y*. persamaan ini dapat ditunjukkan sebagai berikut:

Y* = b0 + b1TOT + b2GENDER + b3TOT * GENDERi +

ε

i …...(1)

ε

iuntuk model regresi logistik didistribusi dengan mean zero dan varian 𝜋

2

3

� . Dari

beberapa kondisi ini, kriteria aitem mengandung DIF adalah jika (a) nilai p ≤ 0.01, dan (b) R2≥ 0.13 (Zumbo, 1999; hal.23 & 27).

C. Etnis 1. Batak Toba

(18)

adalah mempunyai banyak anak, cucu, cicit, dan keturunan-keturunannya, termasuk pemilikan tanaman dan ternak. Kehormatan merupakan pengakuan dan penghormatan orang lain atas wibawa dan martabat seseorang. Hubungan sosial diatur oleh sistem sosial yang didasarkan pada marga. Hubungan sosial antarmarga diatur menurut dasar struktur sosial tungku berkaki tiga (Dalihan Na Tolu) (Simanjuntak, 2009).

a) Nilai Budaya Batak

Menurut Harahap & Siahaan (1987), nilai budaya Batak yang mencakup semua aspek kehidupan orang Batak dikelompokkan dalam sembilan nilai, yang disebut sebagai budaya utama, yaitu antara lain:

1. Kekerabatan, yang mencakup hubungan primordial suku, kasih sayang atas hubungan darah, kerukunan, dan segala yang berkaitan dengan hubungan kekerabatan karena pernikahan, solidaritas marga, dan lain-lain.

2. Religi, mencakup kehidupan keagamaan, baik agama tradisional maupun agama yang datang kemudian yang mengatur hubungannya dengan Maha Pencipta serta hubungannya dengan manusia dan lingkungan hidupnya.

3. Hagabeon, artinya banyak keturunan dan panjang umur. Satu ungkapan tradisional Batak yang terkenal yang disampaikan pada saat upacara pernikahan ialah ungkapan yang mengharapkan agar kelak pengantin baru dikaruniai putra tujuh belas orang dan putri enam belas orang. Sumber daya manusia bagi orang Batak merupakan hal sangat penting.

(19)

dorongan kuat untuk meraih jabatan dan pangkat yang memberikan kemuliaan, kewibawaan, kharisma dan kekuasaan.

5. Hamoraon, artinya kaya raya, salah satu nilai budaya yang mendasari dan mendorong orang Batak untuk mencari harta benda yang banyak.

6. Hamajuon, artinya kemajuan, yang diraih melalui merantau dan menuntut ilmu. Nilai budaya ini sangat kuat mendorong orang Batak untuk bermigrasi ke seluruh pelosok tanah air.

7. Hukum, Patik dohot uhum, artinya aturan dan hukum. Nilai patik dohot uhum merupakan nilai yang kuat disosialisasikan oleh orang Batak. Budaya menegakkan kebenaran, terlibat dalam dunia hukum, merupakan dunia orang Batak.

8. Pengayoman dalam kehidupan sosiokultural orang Batak kurang kuat dibandingkan nilai-nilai yang disebutkan sebelumnya. Hal ini mungkin disebabkan kemandirian yang berkadar tinggi. Kehadiran orang yang mengayomi, pelindung, pemberi kesejahteraan, hanya diperlukan dalam keadaan yang sangat mendesak.

9. Konflik dalam kehidupan orang Batak Toba cenderung tinggi, dan hal ini menyagkut perjuangan meraih hasil nilai budaya lainnya, antara lain hamoraon yang mau ataupun tidak merupakan sumber konflik yang abadi. b) Hubungan Kontroversial dan Inkonsistensi kepada Suku Bangsa Lain

(20)

inkonsistensi yang ditunjukkan oleh orang Batak terhadap suku bangsa lain yaitu dapat disusun berdasarkan peringkat. Hubungan kontroversi tersebut ditunjukkan dengan sikap antara yang paling disenangi dengan yang tidak disenangi. Secara logis, seharusnya orang yang menghormati orang lain hendaknya memperlakukan orang tersebut sebagai saudara serta suka memberi pertolongan. Demikian juga kepada orang yang dipercaya seharusnya menganggap dan memperlakukannya sebagai saudara, menolong dan mau saling mengalah. Sedangkan kepada orang lain yang tidak dipercaya memang tidak perlu untuk mengalah. Hal ini dapat ditunjukkan pada tabel berikut (Simanjuntak, 2009).

Tabel 2. Hubungan dengan Suku Bangsa Lain

Rank

(21)

peringkat 1 dan 2. Sementara yang paling tidak disenangi ialah mengalah (peringkat 5) dan selalu menolong serta memperlakukan orang lain sebagai saudara, keduanya berada pada peringkat 4, sedangkan untuk peringkat 3 tidak ada (Simanjuntak, 2009 hal 184-185).

c) Kepribadian Batak Toba

Dalihan Na Tolu adalah sistem nilai dan sekaligus sebagai sistem dari peraturan-peraturan mengenai nilai-nilai tersebut. Sebagai suatu sistem yang bertumpu pada tiga aktor, yaitu hulahula/mora (orang yang dihormati) - Dongan Sabutuha/Kahanggi (satu marga) - Boru/Anak Boru (anak perempuan); sistem ini menanamkan kepribadian yang mandiri, sangat menghargai keterbukaan, sadar diri dan sangat menghargai desentralisasi (Harahap & Siahaan, 1987).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Sianipar (2008), yaitu mengenai gambaran kepribadian suku Batak Toba di Pematangsiantar dengan menggunakan Big Five Inventory (BFI), menunjukkan bahwa dimensi Neuroticism adalah dimensi yang yang paling dominan pada suku Batak Toba, kemudian diikuti oleh dimensi extraversion dan openness, sedangkan dimensi yang kurang dominan adalah agreeableness dan conscientiousness.

2. Jawa

(22)

a. Kebiasaan Ingin Menang Sendiri

Setelah dicermati, ternyata tidak semua budaya orang Jawa itu baik. Ada juga budaya orang Jawa yang kalau dibiarkan akan berbahaya. Artinya akan merugikan orang lain dan orang Jawa itu sendiri. Kebiasaan orang Jawa yang negatif itu ternyata telah mendarah daging dan sulit dilenyapkan begitu saja. Beberapa kebiasaan buruk yang perlu mendapat perhatian oleh pemerhati budaya, terutama yang mendorong untuk hidup menang sendiri, antara lain sebagai berikut (Endraswara, 2010):

1) Jail methaki,. artinya keinginan untuk mencelakakan pihak lain karena ingin menang sendiri. Orang Jawa yang berwatak demikian, segalanya ingin bagian yang lebih banyak. Mereka ingin lebih berwibawa, berkuasa, lebih kaya, dan selalu menang dalam segala hal. Dalam diri orang jail methakil, selalu dibayang-bayangi oleh rasa khawatir jika orang lain mengungguli dirinya.

2) Merkengkong, artinya orang yang merasa terganggu, rewel, dan sulit dipegang hatinya. Tegasnya orang Jawa yang merkengkong, hatinya bagaikan besi tua, sulit diingatkan orang lain meskipun salah. Oleh karena itu, seringkali akan menghalalkan berbagai cara untuk merobohkan dan menaklukkan kebenaran.

(23)

bawahan, seringkali muncul watak semacam ini. Watak kikrik selalu diliputi rasa dumeh (merasa dirinya lebih). Implikasi watak kikrik, disamping kata-kata kasar (marah), misuh (menghujat), juga seringkali berupa tindakan keras.

4) Ngrasani. Budaya Ngrasani, tampaknya telah mengarah kedalam pribadi orang Jawa semu. Budaya negatif ini, lahir atas dorongan budaya semu, karena orang Jawa memang tak suka menyatakan sesuatu secara terbuka (blak-blakan). Oleh karena segala sesuatu selalu dibungkus dengan rasa, tibalah pilihan yang “tepat” adalah ngrasani (membicarakan orang lain) secara sembunyi-sembunyi.

b. Kebiasaan Yang Menjatuhkan Harga Diri

1) Trocoh, artinya berhubungan dengan penggunaan kata-kata yang sangat jelek. Kata-kata atau bahasa adalah simbol kepribadian. Jika orang Jawa menggunakan bahasa sesuka hati, yaitu memanfaatkan kata kasar sering dinamakan trocoh. Kata-kata yang tergolong trocoh biasanya tidak cocok diucapkan pada semua tempat.

2) Nyelekuthis, adalah tradisi budaya Jawa yang sangat rendah. Watak yang satu ini akan menurunkan harga diri. Misalkan saja, ada orang yang memakai sepatu semiran, berdasi, memakai jas, tetapi minta rokok dan jajan di pinggir jalan. Orang nyelekuthis tidak dapat menyesuaikan diri, tidak dapat menempatkan diri secara tepat.

(24)

Keistimewaan orang Jawa adalah cita-cita luhur tentang budaya damai. Kedamaian akan menyebabkan suasana tenang dan aman tenteram. Prinsip suka damai, tidak sekedar falsafah sosial Jawa, melainkan merupakan manifestasi batin yang luar biasa. Prinsip yang dianut dalam mencapai kedamaian adalah konsep rukun. Rukun adalah kondisi dimana keseimbangan sosial tercapai. Kerukunan hidup terjadi karena masing-masing individu terjalin saling menghormati, sopan santun terjaga, dan saling menghargai satu sama lain. Jiwa kekeluargaan, gotong-royong, dan konsep tepa selira selalu dikedepankan dalam kehidupannya (Endraswara, 2010).

Prinsip hidup dunia damai yang dipegang orang Jawa, yakni adanya ungkapan rukun agawe santosa. Artinya, kerukunan akan menyebabkan seseorang kuat dan sentosa. Hidup rukun digambarkan kedalam perangkat merial berupa sapu lidi (Endraswara, 2010).

d. Toleransi Orang Jawa

Telah diakui oleh berbagai pihak, orang Jawa yang masih mengenang dan menghayati peradaban lama yang sangat dikagumi oleh orang asing. Anderson (dalam Endraswara, 2010) yang telah menjalani Asia Tenggara, terutama ke Jawa, telah mengakui sikap savior vivre (lapang dada) orang Jawa. Sikap inilah yang disebut sebagai “toleransi” orang Jawa. Toleransi menjadi pokok (induk) sikap mental orang Jawa. Toleransi boleh dikatakan sebagai reputasi dan “rapor hijau” bagi orang Jawa sementara ini.

(25)

telah menciptakan dunia damai di lingkungan masyarakat Jawa. Akibatnya, konflik-konflik sosial yang bersifat horizontal dapat dicegah. Kebatinan merupakan akar teologi Jawa. Kebatinan menjadi sentral kerpibadian Jawa yang tangguh. Atas dasar ini pula, keistimewaan orang Jawa semakin nampak. Melalui kebatinan, toleransi orang Jawa semakin kuat. Karena, mereka tidak lagi mempersoalkan hal-hal yang bersifat material atau lahiriah. Hidup adalah dunia batin yang sangat spiritual (Endraswara, 2010).

e. Kepribadian Jawa

Pribadi orang Jawa memang unik. Umumnya orang Jawa lebih tertutup dalam segala hal. Hal ini ditunjukkan dengan pakaian yang tertutup yang digunakan oleh putri, yaitu nyamping (kain) dan kebaya, sedangkan laki-laki menggunakan surjan dan kain. Pakaian yang serba panjang itu menjadi ciri bahwa orang Jawa memiliki kepribadian yang tertutup. Namun, sikap ini bukan berarti bahwa orang Jawa tidak mau membuka diri. Orang Jawa mau terbuka (tinarbuka) hanya pada waktu dan tempat-tempat tertentu (Endraswara, 2010).

(26)

selalu tampil dalam wayang. Oleh karena itu, dunia wayang adalah dunia manusia Jawa, dan orang jawa selalu mengidentikkan dirinya dengan wayang (Endraswara, 2010).

Disamping watak baik, terdapat juga watak jelek. Kedua watak ini selalu berlawanan dan tarik-menarik yang sering ditunjukkan dalam wayang. Hal ini merupakan simbol kepribadian orang Jawa yang melukiskan sifat kemunafikan antara bibir dan hati, dan antara kata dan perbuatan. Selain itu, hati teguh adalah keprbadian Jawa yang luhur (Endraswara, 2010).

D. DIF Etnis pada Big Five Inventory

Penelitian mengenai DIF mencakup dua kelompok yang diuji, yaitu Kelompok Referensi (Reference Group) dan Kelompok Fokal (Focal Group). Bagaimanapun, terdapat banyak kelompok Referensi dan Fokal, dan seorang individu mungkin terlibat pada satu atau lebih. Contohnya, wanita kulit putih mungkin termasuk kedalam kelompok referensi untuk satu analisis dan masuk kedalam kelompok fokal untuk hal yang lain (Camilli & Shepard, 1994). Dalam penelitian ini, pengelompokan kedua etnis tersebut menjadi kelompok Referensi atau kelompok Fokal ditentukan berdasarkan masing-masing faktor yang ada dalam Big Five Inventory, antara lain:

Tabel 3. Pengelompokan Etnis ke dalam kelompok Referensi dan Fokal

Faktor/Kelompok Referensi Fokal

Openness Batak Toba Jawa

Extraversion Batak Toba Jawa

Agreeableness Jawa Batak Toba

Conscientiousness Jawa Batak Toba

(27)

Gambar

Tabel 1. Karakteristik Sifat-Sifat Big Five Model Dengan Skor Tinggi dan rendah
Figure 2. Dua ICC yang bersinggungan
Tabel 2. Hubungan dengan Suku Bangsa Lain
Tabel 3. Pengelompokan Etnis ke dalam kelompok Referensi dan Fokal

Referensi

Dokumen terkait

It allows forest management enterprises to provide evidence that the wood they supply has been controlled to avoid wood that is illegally harvested, harvested in

Pada RUPS tersebut juga diputuskan pemberian manfaat lain serta pendelegasian wewenang kepada Dewan Komisaris untuk memutuskan kenaikan manfaat pensiun dan manfaat

Skripsi Perjanjian jual beli antara PT Semen Gresik .... Kharisma Putri

ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga.. Skripsi Penerimaan Khalayak

Penelitian ini menggunakan variabel Kualitas Produk (X1), Harga (X2), dan Minat Beli Ulang (Y). Teknik pengukuran variabel dengan menggunakan skala interval, Tanggapan atau

Dalam perkembangan bisnis yang semakin pesat, telah banyak produk Sirup yang ditawarkan oleh perusahaan, sehingga perusahaan dituntut untuk dapat menghasilkan produk yang terbaik

Talempong creations are traditional Minangkabau music that has been modified both in the tuning system , forms of presentation and musical instruments are used ,

Dengan penelitian ini diharapkan akan memberikan gambaran kebutuhan berprestasi seorang dosen akuntansi dipengaruhi oleh tiga teori kebutuhan profesionalisme yang disampaikan