KONSUMSI
(Prinsip dan Batasan dalam
Perspektif Islam)
Melis, S.E.I., M.E.Sy
Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit
Ketentuan Pidana
Kutipan Pasal 72 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta
1. Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) atau pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 5.000.000,00 (lima juta rupiah).
2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau hak terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
KONSUMSI (Prinsip dan Batasan dalam
Perspektif Islam)
Penulis : Melis, S.E.I., M.E.Sy Layout : Haryono
Desain Cover : Haryono
Hak Penerbit pada NoerFikri, Palembang
Perpustakaan Nasional Katalog dalam Terbitan (KDT) Anggota IKAPI (No. 012/SMS/13)
Dicetak oleh:
NoerFikri Offset
Jl. KH. Mayor Mahidin No. 142 Telp/Fax : 366 625
Palembang – Indonesia 30126 E-mail : [email protected]
Cetakan I : Januari 2017
Hak Cipta dilindungi undang-undang pada penulis All right reserved
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan nikmat, rahmat, taufik, serta hidayah-Nya. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, keluarga, sahabat beserta pengikutnya hingga akhir zaman nanti.
Alhamdulillah wa syukurillah. Allah Maha Besar dengan segala nikmat yang selalu tercurah kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan buku yang berjudul:
“Konsumsi (Teori, Prinsip dan Batasan dalam Perspektif Islam)”.
Penulis ingin mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada Ayahanda ku Azwar dan Ibunda ku Ernawati tercinta yang tak henti-hentinya memberikan do’a yang tulus dan kasih sayang selalu untuk keberhasilan ananda serta selalu bersedia memberikan bantuan moril dan materil. Kakak ku Prengki dan Ayunda ipar ku Dewi tersayang yang selalu memberikan semangat untuk kesuksesan penulis juga selalu mendukung dalam setiap kegiatan penulis. Suami Ku tercinta Apriadi, S.Pd.I yang selalu membantu moril dan materiil, memotivasi penulis dan selalu setia menemani penulis dalam suka dan duka serta tak henti-hentinya selalu siaga dalam situasi dan kondisi penulis. Dan yang tersayang ananda ku Sayyid Tsabit Ad-Dailamy yang selalu menjadi motivasi dan semangat bagi penulis untuk bekerja dan berkarya.
Akhirnya harapan penulis, semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi semua orang terutama untuk mahasiswa/mahasiswi ku.
Palembang, 17 Januari 2017
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL... i
KATA PENGANTAR ... iii
DAFTAR ISI ... v
BAB I : PENDAHULUAN ... 1
Selayang Pandang Konsumsi ... 1
BAB II : KONSUMSI: KONVENSIONAL VS ISLAM A.Definisi Konsumsi ... 13
B.Konsumsi Intertemporal Konvensional ... 16
C.Konsumsi Konsumen Muslim ... 18
D.Tujuan Konsumsi ... 20
E. Etika Konsumsi Islami ... 21
F. Pengaruh Riba dan Zakat ... 25
G.Definisi Perilaku Konsumen ... 26
H. Landasan Al-Qur'an tentang Konsumsi... 36
BAB III : PRINSIP KONSUMSI DALAM ISLAM ... 51
BAB IV : MASHLAHAH DALAM KONSUMSI ... 61
A.Kebutuhan dan Keinginan ... 85
B.Preferensi Konsumsi ... 92
C.Budget Line ... 94
D. Indifferent Curve ... 99
E. Kurva Konsumsi Islami ... 103
BAB V : BATASAN KONSUMSI DALAM ISLAM ... 107 A. Batasan Konsumsi Makanan dalam Islam .. 107 B. Batasan Konsumsi Pakaian dalam Islam ... 147 C. Batasan Konsumsi Tempat Tinggal dalam Islam 157
BAB VI : ANALISIS TERHADAP PERILAKU KONSUMEN KONTEMPORER DALAM
PERSPEKTIF ISLAM ... 163 A. Perilaku Konsumen Kontemporer ... 163 B. Perilaku Konsumen Kontemporer dalam
Perspektif Islam ... 166
DAFTAR PUSTAKA ... 174
BAB I
PENDAHULUAN:
SELAYANG PANDANG KONSUMSI
Allah SWT telah melimpahkan untuk manusia karunia kenikmatan yang melimpah di bumi. Bersama itu pula amanah juga dibebankan kepada manusia untuk mengelolanya. Karunia dan amanah atas sumber daya tersebut pada intinya memunculkan tiga masalah utama dalam kehidupan sosioekonomi masyarakat, yaitu apa
dan berapa banya barang/jasa yang diperlukan (what),
bagaimana cara menghasilkannya (how) dan bagaimana
cara mendistribusikan kepada masyarakat secara adil (for
whom), sehingga tercipta suatu keadilan dan
kesejahteraan yang luas. Keinginan manusia agar terpenuhi kebutuhannya telah melahirkan konsep teori konsumsi. Perilaku konsumsi manusia biasa bersumber
pada dualitas yaitu economic rasionalism dan utilitarianism
yang menekankan keduanya lebih kepada kepentingan
individu (self interest) dengan mengorbankan
kepentingan pihak lain. Konsep self interest rationality
menurut Edgeworth yang dikutip oleh Arif Pujiono (2006), meskipun secara ekonomi terkesan baik, tetap mengandung konsekuensi terhadap perilaku konsumsi yang lebih longgar karena ukuran rasional adalah
memenuhi self interest tersebut. Sedangkan utilitarisme
diperoleh meski harus mengorbankan kepentingan/hak orang lain.
Kebahagiaan merupakan tujuan utama kehidupan manusia. Manusia akan memperoleh kebahagiaan ketika seluruh kebutuhan dan keinginannya terpenuhi, baik dalam aspek material maupun spiritual, dalam jangka pendek maupun panjang. Terpenuhinya kebutuhan yang bersifat material, seperti sandang, rumah, dan kekayaan lainnya, dewasa ini lebih banyak mendapatkan perhatian dalam ekonomi Islam. Terpenuhinya kebutuhan material inilah yang disebut dengan sejahtera. Sejahtera atau kesejahteraan dalam perspektif Islam dimaknai dengan
istilah “falaḥ” yang berarti kesejahteraan holistik dan
seimbang antara dimensi material-spiritual, individual-sosial, dan kesejahteraan duniawi dan akhirat. Sejahtera dunia diartikan sebagai segala yang memberikan kenikmatan hidup indrawi, baik fisik, intelektual, biologis ataupun material. Sedangkan kesejahteraan akhirat diartikan sebagai kenikmatan yang akan diperoleh setelah kematian manusia. Perilaku manusia di dunia diyakini akan berpengaruh terhadap kesejahteraan di akhirat yang abadi. Informasi mengenai kesejahteraan ini hanya dapat diperoleh dari Tuhan, yaitu melalui ajaran yang diwahyukan dalam Alquran dan Sunnah. (Munrokhim Misanam dkk, 2008: 1-2)
Dalam upaya mencapai falaḥ, manusia menghadapi
dan kelemahan yang ada pada manusia serta kemungkinan adanya interpendensi berbagai aspek kehidupan sering kali menjadi permasalahan besar dalam upaya mewujudkan
falaḥ. Permasalahan lain adalah kurangnya sumber daya
(resources) yang tersedia dibandingkan dengan kebutuhan
atau keinginan manusia dalam rangka mencapai falaḥ.
Kekurangan sumber daya inilah yang sering disebut oleh
ekonomi pada umumnya dengan istilah ‘kelangkaan’.
Peran ilmu ekonomi sesungguhnya adalah
mengatasi masalah ‘kelangkaan’ ini sehingga dapat
mencapai falaḥ, yang diukur dengan maṣlaḥah. Kelangkaan
bukanlah terjadi dengan sendirinya namun bisa juga disebabkan oleh perilaku manusia. Oleh karena itu, ilmu ekonomi Islam mencakup tiga aspek dasar yaitu, produksi, distribusi, dan konsumsi. Konsumsi yaitu komoditas apa
yang dibutuhkan dalam mewujudkan maṣlaḥah.
Masyarakat harus memutuskan komoditas apa yang diperlukan, dalam jumlah berapa dan kapan diperlukan
sehingga maṣlaḥah dapat terwujud. Pada dasarnya sumber
daya dapat digunakan untuk memenuhi berbagai keinginan dan kebutuhan manusia, jadi terdapat pilihan-pilihan alternatif pemanfaatan sumber daya untuk berbagai komoditas yang benar-benar dibutuhkan untuk mencapai
falaḥ. (Arief Hoetoro, 2007: 304)
Hambatan berupa sumber daya alam menjadi
alasan manusia untuk dapat terus meningkatkan skill,
produk kebutuhan manusia dari satu daerah ke daerah lain, untuk melengkapi segala macam kebutuhan, menjadi tidak terelakkan. Pola ketergantungan antara satu wilayah dan wilayah lain terhadap macam-macam kebutuhan manusia saat ini dijumpai di hampir semua wilayah, karena masalah ketersediaan jenis kebutuhan dan tingkat kebutuhan yang tidak selalu terpenuhi di satu wilayah.
Pola hubungan dan ketergantungan seperti di atas serta keterbukaan dari berbagai aspek kehidupan lainnya inilah yang lazim disebut serbagai globalisasi. Hal ini menjadi tidak terhindarkan karena bertambahnya variasi kebutuhan maupun karena bertambahnya populasi manusia itu sendiri. Dengan segala bentuk keuntungan maupun kerugiannya, globalisasi semakin memberikan banyak macam pilihan yang dapat ditemukan konsumen untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Banyaknya macam dan ragam pilihan pemenuhan
kebutuhan hidup akan sangat menguntungkan
konsumen. Konsumen lebih leluasa memilih sesuai
dengan kebutuhansesuai dengan keinginan. Barang dari
luar negeri banyak ditemukan dengan berbagai macam variasi. Model baru yang sebelumnya belum diproduksi di dalam negeripun akan dengan mudah ditemukan. Konsumen juga memperoleh lebih banyak pilihan harga dengan segala macam produk yang ada. Bisa memilih dari harga yang paling murah sampai harga yang paling
Dengan lahirnya berbagai segmen tersebut, produsen hanya akan mampu memasarkan hasil dengan optimal kepada konsumen apabila telah memahami dan menguasai berbagai segmen pasar. Di sini penulis menyatakan bahwa distribusi dan produksi akan menjadi lancar apabila telah mengetahui pola perilaku konsumen di
suatu wilayah. Dengan begitu kegiatan dalam
menyalurkan produk barang ataupun jasa dari produsen ke konsumen dengan berbagai teknik dan cara yang efisien dan efektif.
Untuk mengenali perilaku konsumen tidaklah mudah, konsumen tidak selalu terus terang menyatakan kebutuhan dan keinginannya, namun sering pula mereka bertindak sebaliknya. Konsumen bahkan sering bereaksi untuk mengubah pikiran, dan konsumen baru pada menit-menit terakhir akhirnya memutuskan untuk melakukan pembelian. Untuk itulah para pemasar perlu mempelajari keinginan, persepsi, prefensi, dan perilakunya dalam berbelanja.
Setiap hari manusia membuat sejumlah keputusan mengenai bagaimana mengalokasikan sumber daya untuk memenuhi berbagai kebutuhan. Misalnya, kita harus memilih penggunaan waktu untuk bangun tidur terlambat atau makan pagi, untuk baca koran atau menonton televisi. Kita juga harus memilih pengunaan uang kita untuk membeli barang atau jasa yang kita butuhkan. Dalam menentukan pilihan, kita harus
menyeimbangkan antara kebutuhan, preferensi dan
memilih alokasi sumber daya inilah yang melahirkan fungsi permintaan. Dalam ekonomi konvensional,
konsumen diasumsikan selalu bertujuan untuk
memperoleh kepuasan (utility) dalam kegiatan
konsumsinya. Utility secara bahasa berarti berguna
(usefulness), membantu (helpfulness) atau menguntungkan (advantage). Dalam konteks ekonomi, utilitas dimaknai sebagai kegunaan barang yang dirasakan oleh seorang konsumen ketika mengonsumsi sebuah barang. Kegunaan
ini bisa juga dirasakan sebagai rasa ‘tertolong’ dari suatu
kesulitan karena mengonsumsi barang tersebut. Karena adanya rasa inilah, maka sering kali utilitas dimaknai juga sebagai rasa puas atau kepuasan yang dirasakan oleh seseorang konsumen dalam mengonsumsi sebuah barang. Jadi, kepuasan dan utilitas dianggap sama, meskipun sebenarnya kepuasan adalah akibat yang ditimbulkan oleh utilitas. (Misanam dkk, 2008: 145)
Dalam percakapan sehari hari, istilah konsumsi selalu dihubungkan dengan kegiatan makan dan minum. Sebenarnya konsumsi bukanlah sekedar makan atau minum, tetapi merupakan setiap penggunaan atau pemakaian barang-barang dan jasa-jasa yang secara langsung dapat memuaskan kebutuhan seseorang. Dengan demikian konsumsi berarti kegiatan memuaskan kebutuhan. Dalam mata rantai kegiatan ekonomi, yaitu
produksi-konsumsi-distribusi, seringkali muncul
mata rantai yang terkait satu dengan lainnya. Kegiatan produksi ada karena ada yang mengkonsumsi, kegiatan konsumsi ada karena ada yang memproduksi, dan
kegiatan disribusi muncul karena ada gap atau jarak
antara konsumsi dan produksi.
Dalam hal perilaku konsumsi, seorang konsumen hendaknya mempertimbangkan manfaat dan berkah yang dihasilkan dari kegiatan konsumsinya. Konsumen merasakan adanya manfaat suatu kegiatan konsumsi ketika ia mendapatkan pemenuhan kebutuhan fisik atau psikis atau material. Di sisi lain, berkah akan diperolehnya ketika ia mengonsumsi barang/jasa yang dihalalkan oleh syariat Islam atau sesuai dengan prinsip konsumsi dalam Islam. Mengonsumsi yang halal saja merupakan kepatuhan kepada Allah, karenanya memperoleh pahala. Pahala inilah yang kemudian dirasakan sebagai berkah dari barang/jasa yang telah dikonsumsi. Sebaliknya, konsumen tidak akan mengonsumsi barang/jasa yang haram karena tidak mendatangkan berkah. Mengonsumsi yang haram akan menimbulkan dosa yang pada akhirnya akan berujung pada siksa Allah. Jadi mengonsumsi yang haram justru memberikan berkah negatif. (Hakim, 2011: 2)
Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin menjamin agar
sumber daya dapat terdistribusi secara adil. Salah satu upaya untuk menjamin keadilan disribusi sumberdaya adalah mengatur bagaimana perilaku konsumsi sesuai
dengan syari’ah Islamiyah yang telah ditetapkan oleh
kekayaan yang diperoleh dan dimiliki oleh seseorang. Kesuksesan seorang muslim diukur berdasarkan seberapa besar ketakwaan seseorang akan membawa konsekuensi terhadap berapapun besar dan banyaknya harta yang dapat diperoleh dan bagaimana menggunakannya. Manusia akan selalu bersyukur meskipun harta yang dimilikinya secara kuantitas sedikit. Apalagi jika yang diperoleh lebih banyak, akan semakin memperbesar rasa syukur dan semakin besar bagian yang akan diberikan kepada yang tidak mampu. Demikian pula saat kekurangan harta, manusia akan tetap bersabar atas ujian yang telah menimpanya dan tidak mengambil jalan pintas untuk mendapatkannya apalagi sampai melanggar
ketentuan syari’at Islam. (Pujiono, 2006: 2)
Islam tidak melarang manusia untuk memenuhi kebutuhan ataupun keinginannya, selama dengan pemenuhan tersebut, martabat manusia akan meningkat. Semua yang ada di bumi ini diciptakan untuk kepentingan
manusia, namun manusia diperintahkan untuk
mengonsumsi barang/jasa yang halal dan baik saja secara wajar, tidak berlebihan. Pemenuhan kebutuhan ataupun keinginan tetap diperbolehkan selama hal itu mampu
menambah maṣlaḥah atau tidak mendatangkan muḍarat.
Sebagaimana firman Allah SWT yang berbunyi:
Artinya: “Makanlah di antara rezki yang baik yang Telah kami berikan kepadamu, dan janganlah melampaui batas padanya, yang menyebabkan kemurkaan-Ku menimpamu. dan barangsiapa ditimpa oleh kemurkaan-Ku, Maka Sesungguhnya binasalah
ia.”(QS.Thāha: 81)
Ayat di atas menerangkan bahwa Allah telah menganuhgerahkan rizki yang baik kepada manusia untuk dinikmati dan disyukuri dan kita dilarang untuk melampaui batas dengan mengingkari nikmat-Nya, karena bila manusia melampaui batas maka pasti Allah akan menimpakan kemurkaan dan bagi manusia yang ditimpa kemurkaan maka pasti manusia akan terjatuh ke dalam api neraka (Jalaluddin bin Muhammadi Al-Mahalli, 2011: 459-460).
Sebagai misal, seorang konsumen yang
memperhatikan prinsip kecukupan (suffiency) dalam
memenuhi kebutuhannya sendiri, tanpa memperdulikan kebutuhan orang lain. Di sini terlihat bahwa manfaat dan berkah hanya akan diperoleh ketika prinsip dan nilai-nilai konsumsi Islami bersama-sama diterapkan dalam perilaku konsumsi. Sebaliknya, jika hanya prinsip saja yang dilaksanakan, misalnya pemenuhan kebutuhan maka akan menghasilkan manfaat duniawi semata. Keberkahan akan muncul ketika dalam kegiatan ekonomi, konsumsi misalnya disertai dengan niat dan perbuatan yang baik.
Besarnya berkah yang diperoleh berkaitan langsung dengan frekuensi kegiatan konsumsi yang dilakukan. Semakin tinggi frekuensi kegiatan yang ber-maṣlahah maka semakin besar pula berkah yang akan diterima oleh pelaku konsumsi atau konsumen. Dalam Al-Quran, Allah menjelaskan bahwa setiap amal perbuuatan (kebaikan maupun keburukan) akan dibalas dengan imbalan (pahala maupun siksa) yang setimpal meskipun amal perbuatan itu sangatlah kecil bahkan sebesar biji sawi. Dengan demikian, dapat ditafsirkan
bahwa maṣlahah yang diterima akan merupakan
perkalian antara pahala dan frekuensi kegiatan tersebut. Demikian pula dalam hal konsumsi, besarnya berkah yang diterima oleh konsumen tergantung frekuensi konsumsinya. Semakin banyak barang/jasa halal dan thoyyib yang dikonsumsi, maka akan semakin besar pula
berkah yang akan diterima. (Misanam dkk, 2008: 135)
prinsip mengonsumsi. Hal ini dapat kita lihat dari kasat mata dari media televisi atau juga dari kalangan masyarakat. Tidak hanya dari golongan menengah ke atas saja tetapi juga banyak dari golongan menengah ke bawah yang tidak menjalankan prinsip konsumsi Islami
padahal mereka notabene nya adalah seorang muslim.
BAB II
KONSUMSI:
KONVENSIONAL VS ISLAM
A. Definisi Konsumsi
Secara etimologi, konsumsi berasal dari bahasa
Inggris yaitu consumption yang berarti menghabiskan atau
mengurangi atau kegiatan yang ditujukan untuk menghabiskan atau mengurangi nilai guna suatu barang atau jasa yang dilakukan sekaligus atau bertahap untuk memenuhi kebutuhan. (Pujiono, 2006: 2). Hal serupa juga dikatakan Wikipedia (dalam Pujiono) tentang konsumsi bahwa kata konsumsi berasal dari bahasa Belanda consumptie, ialah suatu kegiatan yang bertujuan mengurangi atau menghabiskan daya guna suatu benda, baik berupa barang maupun jasa, untuk memenuhi kebutuhan dan kepuasan secara langsung.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) konsumsi adalah pemakaian barang produksi (bahan makanan, pakaian, dan sebagainya); barang-barang yang
langsung memenuhi keperluan hidup manusia.
(DEPDIKNAS, 2001). Sedangkan dalam Kamus Lengkap Bahasa Indonesia (Yasyin, 1997: 298), konsumsi adalah pemakaian barang produksi (bahan makanan, pakaian, dan sebagainya); barang-barang yang langsung memenuhi keperluan hidup manusia.
langsung untuk menghabiskan serta mengurangi
kegunaan (utility) pada pemuasan terakhir dari
kebutuhannya. (Sigit dan Sujana, 2007: 115)
Sedangkan secara terminologi, konsumsi diartikan oleh beberapa pendapat sebagai berikut:
a. Konsumsi adalah suatu kegiatan manusia yang secara
langsung menggunakan barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhannya dengan tujuan untuk memperoleh kepuasan yang berakibat mengurangi ataupun menghabiskan nilai guna suatu barang/jasa. (Nurul Huda, 2006)
b. Konsumsi adalah penggunaan barang dan jasa untuk
memenuhi kebutuhan manusia. Namun menurutnya, konsumsi akan dilakukan oleh manusia jika manusia yang bersangkutan memiliki uang (harta). Dan dalam Islam harta merupakan bagian fitrah untuk mencintainya. (Arif Pujiono, 2006)
c. Menurut Chaney (dalam Rivai Veithzal, 2009) konsumsi
adalah seluruh tipe aktifitas sosial yang orang lakukan sehingga dapat dipakai untuk mencirikan dan mengenal mereka, selain (sebagai tambahan) apa yang mungkin mereka lakukan untuk hidup. Sedangkan Menurut Samuelson (dalam Sulistiawati, 2005), konsumsi adalah kegiatan menghabiskan utility (nilai guna) barang dan jasa. Barang meliputi barang tahan lama dan barang tidak tahan lama.
d. Don Slater (dalam Sri Wigati, 2011) mengatakan
dengan sesuatu (material, simbolik, jasa atau pengalaman) yang dapat memuaskan manusia.
e. Menurut Featherstone (2001) dari Raymond Williams
yang dikutip Heri Sudarsono (2007), konsumsi adalah
merusak (to destroy), memakai (to use up), membuang
(to waste), dan menghabiskan (to exhaust).
f. Max weber dalam Economy And Society menyatakan
bahwa tindakan konsumsi dapat dikatakan sebagai tindakan sosial sejauh tindakan tersebut memperhatikan tingkah laku dari individu lain dan oleh karena itu
diarahkan pada tujuan tertentu. (Damsar et al, 2013)
g. Konsumsi menurut IDKF Bogor adalah suatu kegiatan
manusia yang secara langsung menggunakan barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhannya dengan tujuan untuk memperoleh kepuasan yang berakibat mengurangi ataupun menghabiskan nilai guna suatu barang/jasa.
h. Menurut Oxlay dalam artikelnya “Konsumen dan
Pengertian Konsumsi”, konsumsi merupakan kegiatan seseorang atau kelompok dalam menggunakan, memakai atau menghabiskan barang dan jasa dengan maksud memenuhi kebutuhan hidupnya. (Oxlay, 2011)
berarti segala tindakan menghabiskan atau mengurangi nilai guna barang dan jasa.
B. Konsumsi Intertemporal Konvensional
Teori perilaku konsumen yang dikembangkan di konvensional sering dikenal dengan raionalisme ekonomi dan utilitarisme. Rasionalisme ekonomi menggambarkan manusia sebagai sosok yang sangat perhitungan dalam setiap aktivitas ekonominya, di mana kategori kesuksesan dihitung dari besaran materi yang berhasil dikumpulkan. Sehingga berdasarkan teori ini, maksimalisasi kepuasan adalah tujuan utama dari seorang konsumen. Manusia
dianggap sebagai sosok homo economicus yaitu sosok
manusia yang distimulus dalam aktivitasnya dengan materi. (M. Nur Rianto Al-Arif dan Euis Amalia, 2010: 133)
Kemudian apakah yang dimaksud dengan konsumsi intertemporal? Konsumsi intertemporal adalah konsumsi yang dilakukan dalam dua waktu yaitu masa sekarang (periode pertama) dan akan datang (kedua). Dalam ekonomi konvensional, pendapatan adalah suatu penjumlahan konsumsi dan tabungan yang secara matematis dinotasikan:
Y = C + S
Di mana: Y = pendapatan; C = konsumsi; S = tabungan. Misalkan pendapatan, konsumsi dan tabungan pada
periode pertama adalah Y1, C1, S1 dan pendapatan,
Pendapatan pada periode pertama adalah: Y1 = C1 + S1
Pendapatan pada periode kedua adalah: Y2 = C2 + S2
Apabila konsumsi di periode pertama lebih kecil daripada pendapatan, maka tabungan dan konsumsi di periode kedua akan lebih besar.
Y1 = C1 + S1, dan C1 < Y1 Y2 = C2 + S2
= (C2 + S1) + S2
Dari persamaan di atas dapat dijelaskan bahwa tingkat konsumsi yang akan dilakukan di masa datang sangat tergantung dari tingkat konsumsi yang dilakukan saat ini. Apabila pada saat ini konsumsi yang dilakukan lebih kecil daripada pendapatan, maka akan ada tabungan di masa datang akan lebih besar dikarenakan masih adanya sisa pendapatan yang tidak dibelanjakan pada periode sebelumnya.
Dalam keadaan terjadinya selisih antara pendapatan dan jumlah uang yang dibelanjakan untuk konsumsi, perilaku konsumen dapat dibagi menjadi tiga, yaitu:
1. Lender, ketika jumlah konsumsi lebih kecil daripada pendapatan.
2. Borrower, ketika jumlah konsumsi lebih besar daripada pendapatan.
Dalam sistem perbankan yang menerapkan sistem bunga, tabungan yang disimpan pada periode pertama akan memberikan nilai lebih sebesar bunga, sehingga persamaan konsumsi pada periode kedua menjadi:
C2 = Y2 + S1 + r (S1)
= Y2 + (Y1-C1) + r (Y1-C1) = Y2 + (1 + r) (Y1-C1)
C. Konsumsi Konsumen Muslim
Sebelum membahas lebih lanjut tentang konsumsi konsumen muslim, maka perlu disusun suatu asumsi dasar yang mendasarinya.
1. Sistem perekonomian yang ada telah mengaplikasikan
aturan syariat Islam, dan sebagian besar masyarakatnya meyakini dan menjadikan syariat Islam sebagai bagian integral dalam setiap aktivitas kehidupannya.
2. Institusi zakat telah menjadi bagian dalam suatu
sistem perekonomian dan hukumnya wajib untuk dilaksanakan bagi setiap individu yang mampu.
3. Pelarangan riba dalam setiap aktivitas ekonomi.
4. Prinsip mudharabah dan kerja sama diaplikasikan
dalam perekonomian.
5. Tersedianya instrumen moneter Islam dalam
perekonomian.
6. Konsumen mempunyai perilaku untuk memaksimalkan
kepuasannya.
hanya dibelanjakan untuk hal-hal yang sifatnya konsumtif namun ada pendapatan yang dibelanjakan untuk perjuangan di jalan Allah atau yang lebih dikenal dengan infak.
Sehingga persamaannya dapat ditulis sebagai berikut:
Y = (C + infak) + S
Namun untuk mempermudah dalam melakukan analisis grafis maka persamaan di atas disederhanakan menjadi:
Y = (C + Infak) + S Y = FS + S
Di mana FS (Final Spending) adalah konsumsi yang
dibelanjakan untuk keperluan konsumtif ditambah dengan
pembelanjaan untuk infak. Sehingga Final Spending adalah
pembelanjaan akhir seorang konsumen muslim.
Penyederhanaan ini memungkinkan untuk
menggunakan alat analisis grafis yang biasa digunakan dalam teori konsumsi, yaitu memaksimalkan fungsi
utilitas (kepuasan) dengan garis anggaran (budget line)
tertentu atau memaksimalkan garis anggaran dengan fungsi utilitas tertentu. Sebab bila hal tersebut tidak disederhanakan, maka analisis harus dilakukan secara tiga dimensi, yang akan mempersulit dalam pemahaman mengenai teori ini.
tabungan pada periode pertama yang secara matematis dinotasikan Yt, Ct, dan St. Karena konsumsi dalam konsumsi Islam yang dikenal adalah (C + infak), maka simbol yang digunakan adalah FSt. Sumbu Y menunjukkan jumlah tabungan periode kedua (Ct+1), atau dengan kata lain St = Ct+1. Dalam konsep Islam, simbol yang digunakan adalah FSt+1, atau persamaannya menjadi St = FSt+1.
D. Tujuan Konsumsi Islami
Secara umum, tujuan manusia mengkonsumsi sesuatu yaitu:
1) Untuk memenuhi kebutuhan hidup
2) Mempertahankan status sosial
3) Mempertahankan status keturunan
4) Mendapatkan keseimbangan hidup
5) memberikan bantuan kepada orang lain (tujuan sosial)
6) Menjaga keamanan dan kesehatan
7) Keindahan dan seni
8) Memuaskan batin
9) Demonstration effect (keinginan untuk meniru)
Tujuan konsumsi dalam Islam adalah untuk
mewujudkan maslahah duniawi dan ukhrawi. Maslahah
duniawi ialah terpenuhinya kebutuhan dasar manusia,
seperti makanan, minuman, pakaian, perumahan,
meningkatkan stamina dalam ketaatan pengabdian kepada Allah akan menjadikan konsumsi itu bernilai ibadah yang dengannya manusia mendapatkan pahala. (Sitta: 2014)
Konsumsi dalam perspektif ekonomi konvensional dinilai sebagai tujuan terbesar dalam kehidupan dan segala bentuk kegiatan ekonomi. Bahkan ukuran kebahagiaan seseorang diukur dengan tingkat kemampuannya dalam mengkonsumsi. Dimana Al-Qur 'an telah mengungkapkan hakekat tersebut dalam firman-Nya :
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
للل
ل
Artinya: “Sesungguhnya Allah memasukkan orang-orang
mukmin dan beramal saleh ke dalam jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. dan orang-orang kafir bersenang-senang (di dunia) dan mereka Makan seperti makannya binatang- binatang dan Jahannam adalah tempat tinggal mereka” (QS: Muhammad : 12)
E. Etika Konsumsi Islami
1. Barang dan jasa yang dikonsumsi harus halal
baik, dan bermanfaat, juga melarang orang muslim untuk makan dan berpakaian kecuali hanya yang baik.
Pada dasarnya Al-Qur’an tidak menyebutkan
satu-persatu barang yang boleh dikonsumsi, tetapi hanya diberi batasan bahwa yang dikonsumsi haruslah barang-barang yang halal, hal tersebut bertujuan untuk memberikan keleluasaan dalam melakukan konsumsi.
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
للل
Artinya: “(Yaitu) orang-orang yang mengikut rasul, Nabi yang
membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang
yang beriman kepadanya. memuliakannya,
menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al Quran), mereka Itulah orang-orang yang beruntung” (QS. Al-A’raf: 157)
2. Tidak melanggar batas-batas kewajaran dalam proses konsumsi
Batas-batas kewajaran dan kepantasan dalam Islam merujuk kebiasaan, budaya dan adat istiadat setempat.
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
للل
Artinya: “Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah
menurut kemampuannya. dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan” (QS. Ath Thalaq:7)
disini adalah pemakaian yang melanggar batas-batas
kewajaran dan kepantasan dalam hal-hal yang
diperbolehkan dan dan juga pemborosan dalam hal-hal yang tidak ada manfaat.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
ل
ل
إ
ِ
ل
لهل
ل
ل ه
ض هي
ل
ل كهل
ل
لثهاهث
ل
هخ هيه
ل
ل كهل
ل
لثهاهث
:ل
ل ه
ض هَهف
ل
ل كهل
ل
ل أ
ل
ل ب عهت
ل
لهل ه
ل
إ وك ْت
ل
لهب
ل
، ي هش
ل
ل أه
ل
إ و صهت عهت
ل
ل بهِ
ل
لل
ل
ع ي هَ
ل
لهل ه
ل
،إ وق ه هت
ل
ل أه
ل
إ و هَ هنهت
ل
ل هم
ل
ل ل ه
ل
لل
ل
، ُه مأ
ل-ل
هخ هيه
ل
ل كهل
ل
لثهاهث
ل-ل
له يق
ل
،ه هقه
ل
لهه ْهكه
ل
، إهؤ ُ لإ
ل
لههع هض
ِ
إه
ل
ل ه لإ
Artinya: "Sesungguhnya Allah ridha untuk kalian tiga
3. Tidak bermewah-mewahan dalam mengkonsumsi Bermewah-mewahan yang dimaksud disini adalah pemakaian sutu barang atau jasa diluar kebutuhan dan keperluan. Ekonomi Islam menilai bermewah-mewahan sebagai suatau cara yang tercela dalam konsumsi. Bermewah-mewahan akan menjadi sebab turunnya azab kemunduran, dan kehancuran suatu umat.
Artinya: “Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri,
Maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya mentaati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, Maka sudah sepantasnya Berlaku terhadapnya Perkataan (ketentuan kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya” (QS. Al-Isra : 16)
F. Pengaruh Riba dan Zakat
Menurut M. Nur Rianto Al-Arif dan Euis Amalia
dalam bukunya “Teori Mikro Ekonomi”, zakat
mempengaruhi orang yang akan melaksanakan maupun bagi penerimanya. Adapun pengaruh zakat bagi yang melaksanakan adalah:
sehingga ia akan meningkatkan rasio tabungannya untuk mencegah penurunan nilai kekayaan yang dimiliki. Pengaruh zakat terhadap tingkat tabungan positif karena mampu meningkatkan rasio tabungan pendapatan, pengaruh ini dikenal sebagai pengaruh tabungan.
G. Definisi Perilaku Konsumen
Menurut Ismail Nawawi, terdapat beberapa teori yang menjelaskan tentang perilaku, yaitu: 1) teori insting: ini dikemukakan oleh Mc. Dougall sebagai pelopor psikologi sosial. Menurut Mc. Dougall perilaku disebabkan oleh insting. Insting merupakan perilaku
yang innate atau perilaku bawaan dan akan mengalami
perubahan karena pengalaman; 2) teori dorongan (drive
theory). Teori ini yang sering disebut dengan teori “Hull” dalam (Crider, 1983; Hergenhagen, (1976) yang juga
disebut dengan reduction theory bertolak dari pandangan
bahwa organisme itu mempunyai dorongan atau drive
tertentu. Dorongan itu berkaitan dengan kebutuhan yang mendorong organisme untuk berperilaku; 3) teori
intensif ( intensive theory); berpendapat bahwa perilaku
organisme disebabkan karena adanya intensif. Intensif
disebut sebagai reinforcement. Reinforcement terdiri dari
perilaku yang akan membawa manfaat yang besar baginya. Dengan kemampuan memilih ini tersebut berarti faktor berpikir berperan dalam menentukan pilihannya; 6) teori kepribadian. teori ini berdasarkan kombinasi yang komplek dari sifat fisik dan material, nilai, sikap dan kepercayaan, selera, ambisi, minat dan kebiasaan dan ciri-ciri lain yang membentuk suatu sosok yang unik. (Wigati, 2011: 28)
Dari enam teori perilaku itu dapat dipakai untuk memahami perilaku konsumen. Sehingga antar teori yang satu dengan teori yang lain masih dapat dipergunakan sesuai dengan perilaku konsumen yang berbeda antara konsumen satu dengan konsumen yang lain.
Secara etimologi, konsumen berasal dari bahasa
Inggris yakni kata consumer adalah orang atau seseorang
yang membutuhkan, menggunakan dan memanfaatkan barang atau jasa.
Sedangkan secara terminologi, terdapat beberapa definisi mengenai konsumen dan perilaku konsumen sebagai berikut:
a. Dalam Ilmu Ekonomi Mikro Islam (Karim, 2004: 52)
yang dimaksud dengan konsumen adalah seseorang atau kelompok yang melakukan serangkaian kegiatan konsumsi barang atau jasa.
b. Menurut Pasal 1 ayat 2 UU Nomor 8 Tahun 1999
Perlindungan Konsumen (PK), “Konsumen adalah
sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup
lain dan tidak untuk diperdagangkan.” Sedangkan
perilaku konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan
kepada konsumen.”
c. Perilaku konsumen adalah proses dan aktivitas ketika
seseorang berhubungan dengan pencarian, pemilihan, pembelian, penggunaan, serta pengevaluasian produk dan jasa demi memenuhi kebutuhan dan keinginan. Perilaku konsumen merupakan hal-hal yang mendasari konsumen untuk membuat keputusan pembelian.
Untuk barang berharga jual rendah (low-involvement)
proses pengambilan keputusan dilakukan dengan mudah, sedangkan untuk barang berharga jual tinggi (high-involvement) proses pengambilan keputusan dilakukan dengan pertimbangan yang matang. (Pujiono, 2006)
d. Menurut Engel, Blackwell dan Miniard (1990) dalam
Nurul Huda (2006), perilaku konsumen diartikan “….
Those actions directly involved in obtaining, consuming, and disposing of products and services, including the decision processes that precede and follow this action” atau
diartikan sebagai tindakan–tindakan yang terlibat
secara langsung dalam memperoleh, mengkonsumsi, dan membuang suatu produk atau jasa, termasuk proses keputusan yang mendahului dan mengikuti
tindakan – tindakan tersebut.
involved in acquiring, consume, disposing of goods, services, experiences, and idea” yang artinya aktivitas seseorang saat mendapatkan, mengkonsumsi, dan membuang barang atau jasa (dalam Blackwell, Miniard, & Engel, 2001) yang dikutip oleh Nurul Huda (2006).
f. The American Marketing Association (dalam Arif Pujiono, 2006) mendefinisikan perilaku konsumen sebagai interaksi dinamis dari pengaruh dan kesadaran, perilaku, dan lingkungan dimana manusia melakukan pertukaran aspek hidupnya.
g. Dalam kata lain perilaku konsumen mengikutkan
pikiran dan perasaan yang dialami manusia dan aksi yang dilakukan saat proses konsumsi (Peter & Olson dalam Rangkuti, 2002).
h. Perilaku konsumen menitikberatkan pada aktivitas yang
berhubungan dengan konsumsi dari individu. Perilaku konsumen berhubungan dengan alasan dan tekanan
yang mempengaruhi pemilihan, pembelian,
penggunaan, dan pembuangan barang dan jasa yang bertujuan untuk memuaskan kebutuhan dan keinginan pribadi (Hanna & Wozniak, 2001).
i. Katona (dalam Munandar, 2001) memandang perilaku
konsumen sebagai cabang ilmu dari perilaku ekonomika (behavioral economics).
j. Menurut Dieben (dalam Munandar, 2001) perilaku
konsumen adalah “The decision process and physical
dan gagasan. Dalam perilaku konsumen terdapat consumer dan customer.
k. Menurut Engel (dalam Mangkunegara, 2002)
mengemukakan bahwa perilaku konsumen dapat didefinisikan sebagai tindakan-tindakan individu yang secara langsung terlibat dalam usaha memperoleh dan menggunakan barang-barang jasa ekonomis termasuk proses pengambilan keputusan yang mendahului dan menentukan tindakan-tindakan tersebut.
l. Loudon dan Bitta (dalam Mangkunegara, 2002)
mendefinisikan perilaku konsumen yaitu sebagai proses pengambilan keputusan dan aktivitas individu secara fisik yang dilibatkan dalam mengevaluasi, memperoleh, mempergunakan barang-barang dan jasa. Menurut Peter dan Olson (dalam Rangkuti, 2002) menyatakan bahwa perilaku konsumen merupakan interaksi dinamis antara pengaruh dan kognisi, perilaku dan kejadian di sekitar kita dimana manusia melakukan aspek pertukaran dalam hidup mereka.
m. Gerald Zaltman dan Melanie Wallendorf (dalam Nurul
Huda, 2006) menjelaskan bahwa perilaku konsumen adalah tindakan-tindakan proses dan hubungan sosial yang dilakukan oleh individu, kelompok dan organisasi dalam mendapatkan, menggunakan sesuatu produk sebagai suatu akibat dari pengalamannya dengan produk, pelayanan dan sumber-sumber lainnya.
dalam memperoleh dan menggunakan barang ataupun jasa.
Individu atau keluarga tidak hanya menghadapi pilihan pada situasi misalnya seorang kepala keluarga ingin menunaikan ibadah haji bersama istrinya. Biayanya mencapai sekitar Rp. 80 juta. Pada saat yang bersamaan anaknya diterima di Fakultas Kedokteran Gajah Mada dan dia harus membayar Rp. 75 juta untuk kuliah anaknya tersebut. Karena sang bapak tidak memiliki tabungan lain, maka ia menghadapi situasi harus membuat pilihan, antara ibadah haji atau membayar sekolah anaknya di FK. UGM. Atau bisa juga dalam situasi di mana seseorang membeli sesuatu barang yang sesungguhnya belum dia butuhkan tetapi karena tergiur oleh diskon yang ditawarkan akhirnya seseorang tersebut membeli barang itu. Perilaku-perilaku tersebut merupakan segelintir contoh dari perilaku konsumen. Perilaku demikian belum akan menjadi masalah serius bila masih tertutup oleh penghasilan. Namun manakala perilaku ini tidak diperbaiki, bukan tidak mungkin seseorang akan belanja melebihi dari pendapatannya.
Teori perilaku konsumen (consumer behavior)
mempelajari bagaimana manusia memilih di antara berbagai pilihan yang dihadapinya dengan memanfaatkan
sumber daya (resources) yang dimilikinya. Teori perilaku
konsumen rasional dalam paradigma ekonomi
konvensional didasari pada prinsip-prinsip dasar
secara umum tidak seorang pun dapat mengetahui apa yang baik untuk kepentingan dirinya kecuali orang itu sendiri. Dengan demikian pembatasan terhadap kebebasan individu, baik oleh individu lain maupun oleh penguasa, adalah kejahatan dan harus ada alasan yang kuat untuk melakukannya.
Oleh pengikutnya John Stuart Mill dalam bukunya On Liberty yang terbit pada tahun 1859, paham ini
dipertajam dengan mengungkapkan konsep “freedom of
action”sebagai pernyataan dari kebebasan-kebebasan dasar manusia. Menurut Mill, campur tangan Negara di dalam masyarakat mana pun harus diusahakan seminimum mungkin dan campur tangan yang merintangi kemajuan manusia merupakan campur tangan terhadap kebebasan-kebebasan dasar manusia, dan karena itu harus dihentikan. Lebih jauh Mill (dalam Sri Wigati, 2011) berpendapat bahwa setiap orang di dalam masyarakat harus bebas untuk mengejar kepentigannya dengan cara yang dipilihnya sendiri, namun kebebasan seseorang untuk bertindak itu dibatasi oleh kebebasan orang lain; artinya kebebasan untuk bertindak itu tidak boleh mendatangkan kerugian bagi orang lain.
Dasar filosofis tersebut melatarbelakangi analisis mengenai perilaku konsumen dalam teori ekonomi konvensional. Beberapa prinsip dasar dalam analisis perilaku konsumen adalah: (Nurul Huda, 2006: 3)
1. Kelangkaan dan terbatasnya pendapatan. Adanya
berada di anggaran yang sudah ditentukan, meningkatkan konsumsi atau jasa harus disertai dengan pengurangan konsumsi pada barang atau jasa yang lain.
2. Konsumen mampu membandingkan biaya dengan
manfaat. Jika dua barang memberi manfaat yang sama, konsumen akan memilih yang biayanya lebih kecil. Di sisi lain, bila untuk memperoleh dua jenis barang dibutuhkan biaya yang sama, maka konsumen akan memilih barang yang memberi manfaat lebih besar.
3. Tidak selamanya konsumen dapat memperkirakan
manfaat dengan tepat. Saat membeli suatu barang, bisa jadi manfaat yang diperoleh tidak sesuai dengan harga
yang harus dibayarkan: segelas kopi Starbuck, misalnya,
ternyata terlalu pahit untuk harga Rp. 40.000,- per cangkir. Lebih nikmat kopi tubruk di warung kopi yang Rp. 3.000,- per gelasnya. Pengalaman tersebut akan menjadi informasi bagi konsumen yang akan mempengaruhi keputusan konsumsinya mengenai kopi di masa yang akan datang.
4. Setiap barang dapat disubstitusi dengan barang lain.
Dengan demikian konsumen dapat memperoleh kepuasan dengan berbagai cara.
5. Konsumen tunduk kepada berkurangnya tambahan
kepuasan (The Law of Diminishing Marginal Utility).
yang diperolehnya (MU) sama besar dengan tambahan biaya yang harus dikeluarkan. Maka jumlah konsumsi yang optimal adalah jumlah di mana MU=P.
Fungsi utility dalam ilmu ekonomi konvensional
dijelaskan sebagai berikut:
Dalam ekonomi, utilitas adalah jumlah dari kesenangan
atau kepuasan relatif (gratifikasi) yang dicapai. Dengan jumlah ini, seseorang bisa menentukan meningkat atau menurunnya utilitas, dan kemudian menjelaskan kebiasaan ekonomis dalam koridor dari usaha untuk meningkatkan kepuasan seseorang.
Dalam ilmu ekonomi tingkat kepuasan (utility
function) digambarkan oleh kurva indiferen (indeference curve). Biasanya yang digambarkan adalah utility function antara dua barang (atau jasa) yang keduanya memang disukai konsumen.
Tujuan aktifitas konsumsi adalah memaksimalkan kepuasan (utility) dari mengkonsumsi sekumpulan
barang/jasa yang disebut ’consumption bundle’ dengan
memanfaatkan seluruh anggaran/ pendapatan yang dimiliki.
Namun Perilaku konsumsi dalam Islam
berdasarkan tuntunan Al-Qur’an dan Hadits perlu
didasarkan atas rasionalitas yang disempurnakan yang mengintegrasikan keyakinan kepada kebenaran yang ‘melampaui’ rasionalitas manusia yang sangat terbatas
ini. bekerjanya ‘invisible hand’ yang didasari oleh asumsi
mencapai tujuan ekonomi Islam yakni terpenuhinya kebutuhan dasar setiap orang dalam suatu masyarakat.
Islam memberikan konsep adanya an-nafs
al-muthmainnah (jiwa yang tenang). Jiwa yang tenang ini tentu saja tidak berarti jiwa yang mengabaikan tuntutan aspek material dari kehidupan. Di sinilah perlu diinjeksikan sikap hidup peduli kepada nasib orang lain
yang dalam bahasa Al-Qur’an dikatakan “al-iitsar”.
Berbeda dengan konsumen konvensional. Seorang muslim dalam penggunaan penghasilanya memiliki sisi penting yaitu untuk memenuhi kebutuhan diri dan keluarganya dan sebagiannya lagi untuk dibelanjakan di jalan Allah. Dalam Islam, konsumsi tidak dapat dipisahkan dari peranan keimanan. Peranan keimanan
menjadi tolak ukur penting karena keimanan
memberikan cara pandang dunia yang cenderung mempengaruhi kepribadian manusia. Keimanan sangat mempengaruhi kuantitas dan kualitas konsumsi baik dalam bentuk kepuasan material maupun spiritual.
Oleh karena itu, menurut Muhammad (2005) perbedaan antara ilmu ekonomi modern dan ekonomi Islam dalam hal konsumsi terletak pada cara pendekatannya dalam memenuhi kebutuhan seseorang. Islam tidak mengakui kegemaran materialistis semata-mata dari pola konsumsi modern.
dorongan-dorongan untuk pamer semua faktor ini memainkan peran yang semakin dominan dalam menentukan bentuk lahiriah konkret dari kebutuhan-kebutuhan fisiologik kita. Dalam suatu masyarakat primitif, konsumsi sangat sederhana, karena kebutuhannya sangat sederhana. Tetapi peradaban modern telah menghancurkan kesederhanaan manis akan kebutuhan-kebutuhan ini.
Dari penjelasan di atas terlihat jelas bahwa kata konsumsi dan konsumen sangatlah berbeda. Konsumsi merupakan objek dari konsumen sedangkan konsumen sendiri merupakan subjek dari kegiatan konsumsi. Dan literatur lain mengenai konsumen adalah perilaku konsumen. Berdasarkan beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa perilaku konsumen adalah tindakan-tindakan yang dilakukan oleh individu, kelompok atau organisasi yang berhubungan dengan proses pengambilan keputusan dalam mendapatkan, menggunakan barang-barang atau jasa ekonomi yang selalu berubah dan bergerak sepanjang waktu. Dalam perilaku konsumen ada banyak faktor yang mempengaruhi seperti, faktor kebudayaan, sosial, pribadi dan psikologi dari pembeli. Dan perilaku konsumen konvensional dengan perilaku konsumen muslim sangatlah berbeda.
H. Landasan Al-Qur’an tentang Konsumsi
Islam memandang bahwa bumi dengan segala
isinya merupakan amanah Allah SWT kepada sang Khalifah
kepada sang Khalifah adalah kegiatan ekonomi (umum) dan lebih sempit lagi kegiatan konsumsi (khusus). Islam
mengajarkan kepada sang Khalifah untuk memakai dasar
yang benar agar mendapatkan keridhaan dari Allah Sang Pencipta.
Adapun dasar atau landasan Al-Qur’an tentang
konsumsi diantaranya sebagai berikut:
1. Konsumen Muslim diperintahkan untuk memakan
makanan yang halal dan baik sebagaimana firman Allah SWT:
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
لل ت لهع
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل....
ل
للArtinya: “Mereka menanyakan kepadamu: "Apakah yang
(waktu melepaskannya) dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Amat cepat hisab-Nya. Pada hari ini Dihalalkan bagimu yang baik-baik. makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi
mereka...”(QS. Al-Maidah: 4-5)
Ayat di atas menjelaskan bahwa manusia diperintahkan untuk memakan makanan yang baik lagi halal dalam memperolehnya dan ketika menyembelihnya menyebut nama Allah SWT. Artinya binatang yang disembelih dalam keadaan menyebut selain nama Allah maka haram untuk di konsumsi.
2. Konsumen Muslim diperintahkan untuk tidak memakan
bangkai, darah, daging babi, dan binatang sebagaimana firman Allah SWT:
Selain ayat di atas terdapat juga ayat tentang konsumsi yaitu surat Al-Baqarah: 173 yang berbunyi:
ل
ل
ل
ل
ل
ل
رْيزْن ْلا
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
لل للإ
ل
ل
للل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
ل
للل لللArtinya: “Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu
Barangsiapa dalam Keadaan terpaksa (memakannya) sedang Dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Al-Baqarah: 173)
Penjelasan ayat di atas menurut Quraish Shihab (2006: 385), yang dimaksud bangkai adalah binatang yang berhembus nyawanya tidak melalui cara yang sah, seperti yang mati tercekik, dipukul, jatuh, ditanduk, dan diterkam binatang buas, namun tidak sempat disembelih dan (yang disembelih untuk berhala). Dikecualikan dari pengertian bangkai adalah binatang air (ikan dan sebagainya) dan belalang.
Binatang yang mati karena faktor ketaatan atau mati karena terjangkit penyakit pada dasarnya mati karena zat beracun, sehingga bila dikonsumsi manusia, sangat mungkin mengakibatkan keracunan. Demikian juga binatang karena tercekik dan dipukul, darahnya mengendap di dalam tubuhnya. Ini mengidap zat beracun yang membahayakan manusia.
Darah, yakni darah yang mengalir bukan yang substansi asalnya membeku seperti limpa dan hati. Daging babi, yakni seluruh tubuh babi, termasuk tulang, lemak dan kulitnya.
nama-Nya, maka binatang halal yang disembelih demikian, masih dapat ditoleransi untuk dimakan.
Keadaan terpaksa adalah keadaan yang diduga
dapat mengakibatkan kematian, sedang tidak
menginginkannya adalah tidak memakannya padahal ada makanan halal yang dapat dia makan, tidak pula memakannya memenuhi keinginan seleranya. Sedang yang dimaksud dengan tidak melampaui batas adalah tidak memakannya dalam kadar yang melebihi kebutuhan menutup rasa lapar dan memelihara jiwanya. Keadaan terpaksa dengan ketentuan demikian ditetapkan Allah, karena sesungguhnya Allah maha pengampun lagi maha penyayang.
3. Konsumen Muslim diperintahkan untuk tidak
berlebih-lebihan dalam mengonsumsi sebagaimana firman Allah SWT:
ل
له نع
نْيف
Artinya: “Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di
Setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.”
(QS. Al-A’rāf: 31)
menutup aurat dan tidak berlebihan di setiap
melaksanakan shalat dan thawaf. Manusia juga tidak
dilarang untuk makan dan minum sesuka hatinya asalkan tidak berlebih-lebihan, karena Allah tidaklah menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan (Al-Mahalli, 2011: 599). Selanjutnya ada juga hadits Nabi yang mengatur tentang konsumsi diantaranya sebagai berikut:
1) Abu Said Al-Chodry r.a berkata :
”Ketika kami dalam bepergian bersama Nabi SAW, mendadak datang seseorang berkendaraan, sambil menoleh ke kanan-ke kiri seolah-olah mengharapkan bantuan makanan, maka bersabda Nabi SAW : “Siapa yang mempunyai kelebihan kendaraan harus dibantukan pada yang tidak memmpunyai kendaraan. Dan siapa yang mempunyai kelebihan bekal harus dibantukan pada orang yang tidak berbekal.” kemudian Rasulullah menyebut berbagai macam jenis kekayaan hingga kita merasa seseorang tidak berhak memiliki sesuatu yang lebih dari kebutuhan hajatnya.”(HR. Muslim).
2) ”Tiada makanan yang lebih baik dari hasil usaha tangan
sendiri.”(HR. Bukhari)
Selain makan makanan yang halal, makanan yang dikonsumsi seorang muslim hendaklah dari hasil jerih payah manusia tersebut sendiri, karena dalam hadist di atas yang diriwayatkan oleh Bukhari dengan jelas Nabi menyatakan bahwa makanan yang manusia makan bukan dari meminta belas kasihan orang lain.
mukmin sebagaimana Dia menyuruh kepada para rasul, seperti firman-Nya dalam surat Al-Mukminun ayat 52:
”Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan-makanan yang baik-baik dan kerjakanlah amal yang shaleh.” Allah juga berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 172: ”Hai orang-orang yang beriman makanlah di antara rezeki yang
baik-baik.” kemudian Rasulullah menyebut orang yang melakukan perjanalan jauh, rambutnya kusut dan wajahnya kotor penuh debu menadahkan tangannya ke langit seraya berseru: ”Ya Rabb ku, ya Rabb ku,” sedangkan makanannya haram, minumnya haram, pakaiannya haram dan dia diberi makan dari yang haram pula. Jika begitu bagaimana Allah akan mengabulkan
do’anya?” (HR. Muslim)
Allah SWT sangat membenci manusia yang makan makanan yang sudah diharamkan oleh Allah. Sehingga orang yang memakan makanan yang haram
kemudian dia berdo’a kepada Allah, maka do’anya tidak
akan pernah dikabulkan.
Konsumsi memiliki peran yang sangat besar dalam setiap perekonomian; karena