• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perbandingan Kadar Vitamin E Plasma pada Berbagai Derajat Keparahan Akne Vulgaris

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Perbandingan Kadar Vitamin E Plasma pada Berbagai Derajat Keparahan Akne Vulgaris"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Akne Vulgaris

Akne vulgaris merupakan gangguan dari unit pilosebasea yang umum dijumpai, dapat sembuh sendiri, dan terutama ditemukan pada remaja. Akne vulgaris ditandai dengan adanya papul folikular non inflamasi (komedo) dan pada bentuk yang berat dijumpai adanya papul inflamasi, pustul dan nodul. Akne vulgaris mengenai daerah kulit dengan populasi kelenjar sebasea yang paling padat, yaitu pada daerah wajah, dada bagian atas, dan punggung.

2.1.1 Epidemiologi

1

(2)

tahun sampai 93,3% pada usia 16-18 tahun. Ini jarang pada anak laki-laki antara usia 10 sampai 12 tahun, tetapi pada usia 16 sampai 18 tahun anak laki-laki lebih mungkin untuk menderita akne vulgaris dibanding perempuan. Akne vulgaris derajat sedang sampai berat dijumpai pada 17% dari pelajar (24% laki-laki dan 11% perempuan). Komedo, papul dan pustul adalah gambaran klinis yang paling umum dan 1:4 kasus dijumpai parut. Sebuah penelitian lanjut di Portugal mengidentifikasi tingkat prevalensi tertinggi yaitu 82,4% pada usia 10-12 tahun dan yang teridentifikasi hanya 44% dari kasus yang mencari pengobatan.

Di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) H. Adam Malik Medan, berdasarkan data yang diperoleh dari rekam medis selama periode Januari – Desember 2008, dari total 5.573 pasien yang berobat ke Poliklinik Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin, 107 pasien (1,91%) diantaranya merupakan pasien dengan diagnosis akne vulgaris. Dari jumlah tersebut, 8,41% berusia 0-12 tahun, 90,6% berusia 13-35 tahun dan hanya 0,93% yang berusia 36-65 tahun.

15

4

2.1.2 Etiologi dan patogenesis

Sedangkan pada periode Januari – Desember 2011, dari total 5.644 pasien yang berobat ke Poliklinik Departemen/SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin, 88 pasien (1,55%) diantaranya merupakan pasien dengan diagnosis akne vulgaris. Dari jumlah tersebut 1,13% berusia 0-12 tahun, 87,5% berusia 13-35 tahun dan 11,36 % yang berusia 36-65 tahun. Hal ini menggambarkan bahwa penderita akne vulgaris yang terbanyak adalah usia remaja dan dewasa muda.

(3)

deskuamasi abnormal, menyebabkan lesi prekusor dari semua lesi akne vulgaris lainnya, yaitu mikrokomedo. (2) Peningkatan produksi sebum. (3) Proliferasi dari P.acne. (4) Inflamasi menyebabkan terbentuknya sitokin pro inflamasi yang diproduksi oleh P.acne dan mungkin dari asam lemak bebas yang dihasilkan melalui hidrolisis sebum trigliserida oleh lipase yang disekresi oleh P.acne. Ruptur folikular dapat menyebabkan inflamasi yang lebih berat dan kronis.

Hiperproliferasi epidermal folikular adalah kejadian yang pertama sekali dikenal dalam perkembangan akne vulgaris. Penyebab pasti yang mendasari hiperproliferasi ini tidak diketahui. Saat ini, ada 3 buah hipotesis yang telah diajukan untuk menjelaskan mengapa epitelium folikular bersifat hiperproliferatif pada individu dengan akne vulgaris. Pertama, hormon androgen, yang telah dikenal sebagai pencetus awal. Komedo, lesi klinis yang menyebabkan pembentukan sumbatan pada muara folikular, mulai timbul disekitar usia pubertas pada orang-orang dengan akne vulgaris. Derajat akne vulgaris komedonal pada usia prapubertas berhubungan dengan kadar hormon androgen adrenal yaitu dehydroepiandrosterone sulphate (DHEA-S). Apalagi, reseptor hormon androgen ditemukan pada folikel-folikel dimana komedo berasal. Selain itu individu dengan malfungsi reseptor androgen ternyata tidak akan mengalami akne vulgaris. Kedua, perubahan komposisi lipid, yang telah diketahui berperan dalam perkembangan akne vulgaris. Para penderita akne vulgaris biasanya mempunyai produksi sebum yang berlebihan dan kulit yang berminyak. Produksi sebum yang berlebihan ini dapat melarutkan lipid epidermal normal dan menyebabkan suatu perubahan dalam konsentrasi relatif dari berbagai lipid. Berkurangnya konsentrasi asam linoleat ditemukan pada individu dengan lesi akne vulgaris, dan menariknya,

(4)

keadaan ini akan normal kembali setelah pengobatan yang berhasil dengan menggunakan isotretinoin. Penurunan relatif asam linoleat dapat mengaktifkan pembentukan komedo. Inflamasi adalah faktor hipotesis ketiga yang terlibat dalam pembentukan komedo. Interleukin-1α (IL-1α) adalah suatu sitokin proinflamasi yang telah digunakan pada suatu model jaringan untuk menginduksi hiperproliferasi epidermal folikular dan pembentukan akne vulgaris. Walaupun inflamasi tidak terlihat baik secara klinis maupun mikroskopis pada lesi awal akne vulgaris, ia tetap memainkan peran yang sangat penting dalam perkembangan akne vulgaris dan komedo.

Peningkatan produksi sebum adalah faktor kunci yang berperan dalam pembentukan akne vulgaris. Produksi dan ekskresi sebum diatur oleh sejumlah hormon dan mediator yang berbeda. Hormon androgen khususnya, meningkatkan pembentukan dan pelepasan sebum. Kebanyakan pria dan wanita dengan akne vulgaris memiliki kadar hormon androgen yang bersirkulasi dalam jumlah yang normal. Sejumlah agen lain seperti growth hormone (GH) dan insulin-like growth

factor (IGF), juga mengatur kelenjar sebasea dan dapat berperan dalam

perkembangan akne vulgaris. 3

Propionibacterium acnes merupakan suatu organisme mikroaerofilik yang ditemukan pada banyak lesi akne vulgaris. Walaupun tidak ditemukan pada lesi yang paling awal dari akne vulgaris, P. acnes ini hampir pasti dapat ditemukan pada lesi-lesi yang lanjut. Adanya P. acnes akan meningkatan proses inflamasi melalui sejumlah mekanisme. Propionibacterium acnes menstimulasi inflamasi melalui produksi mediator-mediator proinflamasi yang berdifusi melalui dinding folikel. Penelitian terkini menunjukkan bahwa P. acnes mengaktifkan toll-like

(5)

receptor-2 (TLR-2) pada monosit dan neutrofil. Aktivasi TLR-2 ini kemudian akan memicu produksi sitokin proinflamasi yang multipel, seperti IL-12, IL-8, dan tumor necrosis factor (TNF). Hipersensitivitas terhadap P. acnes dapat juga menjelaskan mengapa beberapa individu mengalami akne vulgaris inflamasi sedangkan yang lain tidak.

Inflamasi mungkin merupakan suatu fenomena primer atau sekunder. Kebanyakan bukti sampai saat ini menyatakan bahwa akne vulgaris merupakan suatu respons inflamasi sekunder terhadap P. acnes. Meskipun demikian, ekspresi IL-1α telah diidentifikasi dalam mikrokomedo dan dapat berperan dalam pembentukan akne vulgaris.

3

Faktor-faktor eksternal jarang ditemukan pada akne vulgaris. Beberapa bahan kosmetik dan minyak rambut dapat memperburuk akne vulgaris. Sejumlah obat-obatan seperti steroid, litium, anti epilepsi dan iodium dapat mencetuskan akne vulgaris. Hiperplasia adrenal kongenital, polycystic ovarian syndrome (PCOS), dan kelainan-kelainan endokrin yang lain dengan peningkatan produksi dan pelepasan androgen dapat memicu perkembangan akne vulgaris.

3

2.1.3 Gambaran klinis

3

(6)

Komedo adalah gejala patognomonik pada akne vulgaris berupa papul milier yang ditengahnya mengandung sebum. Komedo dapat terbagi dua yaitu komedo terbuka (black head, open comedo) berwarna hitam karena mengandung unsur melanin yang teroksidasi dan komedo tertutup ( white head, close comedo) yang letaknya lebih dalam dan tidak mengandung unsur melanin.

2.1.4 Gradasi akne vulgaris

17

Metode untuk pengukuran derajat keparahan akne vulgaris meliputi gradasi sederhana berdasarkan pada pemeriksaan klinis, penghitungan lesi, dan yang memerlukan instrumen seperti fotografi, fotografi fluorosen, fotografi cahaya polarisasi, video mikroskopi, dan pengukuran produksi sebum. Ada dua pengukuran yang sering digunakan yaitu gradasi dan penghitungan lesi.

Gradasi akne vulgaris adalah suatu metode subyektif yang digunakan untuk menetapkan keparahan akne vulgaris berdasarkan observasi lesi yang dominan, evaluasi keberadaan/ ketidakberadaan lesi inflamasi dan luasnya area kulit yang terlibat. Penghitungan lesi meliputi pencatatan jumlah tiap tipe lesi akne dan menetapkan derajat keparahan secara keseluruhan.

18,19

Ada berbagai pola pembagian gradasi penyakit akne vulgaris yaitu: 18

A. James dan Tisserand (1958) membuat gradasi sebagai berikut18

Derajat 1 : Akne non inflamasi sederhana dengan komedo dan sedikit papul. :

Derajat 2 : Komedo, papul dan sedikit pustul.

Derajat 3 : Papul inflamasi yang besar, pustul dan beberapa kista yang melibatkan wajah, leher dan batang tubuh bagian atas.

(7)

B. Pillsbury (1963) membuat gradasi sebagai berikut17 Derajat 1 : Komedo dimuka.

:

Derajat 2 : Komedo, papul, pustul dan peradangan lebih dalam di muka.

Derajat 3: Komedo,papul, pustul dan peradangan lebih dalam di muka, dada, punggung.

Derajat 4 : Akne konglobata.

C. Frank (1970) membuat gradasi sebagai berikut17 Derajat 1 : Akne komedonal non-inflamasi.

:

Derajat 2 : Akne komedonal inflamasi. Derajat 3 : Akne papular.

Derajat 4 : Akne papulo pustular. Derajat 5 : Akne agak berat. Derajat 6 : Akne berat.

Derajat 7 : Akne nodulo kistik/konglobata.

D. Sjarif M. Wasitaatmadja (1982) Bagian Ilmu penyakit Kulit dan Kelamin FK UI/RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo membuat gradasi akne vulgaris yang akurat, sederhana dan mudah diterapkan. Kriterianya adalah sebagai berikut17

1. Ringan, bila : - Beberapa lesi tak beradang pada 1 predileksi.

:

- Sedikit lesi tak beradang pada beberapa tempat predileksi. - Sedikit lesi beradang pada 1 predileksi.

2. Sedang, bila : - Banyak lesi tak beradang pada 1 predileksi.

- Beberapa lesi tak beradang pada lebih dari 1 predileksi. - Beberapa lesi beradang pada 1 predileksi.

(8)

3.Berat, bila : - Banyak lesi tak beradang pada lebih dari satu predileksi. - Banyak lesi beradang pada 1 atau lebih predileksi.

Catatan : sedikit <5, beberapa 5-10, banyak > 10 lesi tak beradang : komedo, papul

beradang : pustul, nodus dan kista

Pengukuran derajat keparahan akne vulgaris terus menjadi tantangan bagi dermatologis. Tidak ada sistem gradasi yang telah diterima secara umum. Sistem gradasi yang ideal bila18

1. Akurat dan reproduktif. :

2. Memiliki kapasitas dokumentasi untuk verifikasi di masa depan. 3. Sederhana digunakan untuk beberapa kali pemantauan.

4. Tidak memakan waktu. 5. Mudah digunakan.

6. Merefleksikan kriteria subjektif seperti faktor psikologis.

2.1.5Diagnosis

Diagnosis akne vulgaris ditegakkan atas dasar klinis dan pemeriksaan ekskohleasi sebum, yaitu pengeluaran sumbatan sebum dengan komedo ekstraktor (sendok Unna). Sebum yang menyumbat folikel tampak sebagai massa padat seperti lilin atau massa lebih lunak bagai nasi yang ujungnya kadang berwarna hitam.

Pada pemeriksaan histopatologi, mikrokomedo ditandai dengan dilatasi folikel dengan sumbatan keratin padat. Sehubungan dengan perkembangan penyakit, folikel terbuka dan menjadi dilatasi, dan terbentuk komedo terbuka. Dinding

(9)

folikular menipis, dan dapat pecah. Inflamasi dan bakteri mungkin jelas, dengan atau tanpa pecahnya folikular. Folikular pecah disertai dengan inflamasi yang menyusup ke dermis. Kemudian dapat dijumpai fibrosis dan jaringan parut.

Secara umum pemeriksaan laboratorium tidak diindikasikan untuk pasien akne vulgaris kecuali yang diduga pasien dengan hiperandrogenisme. Dehydroepiandrosterone sulphate dapat bekerja sebagai prekusor testosteron dan dehidrotestoteron (DHT). Meningkatnya kadar serum androgen telah dijumpai pada kasus akne kistik dan pada kasus akne vulgaris yang berhubungan dengan kondisi endokrin yang bervariasi yaitu hiperplasia adrenal kongenital ; defisiensi 11-β dan 21-β hidroksilase, tumor adrenal atau tumor ovari, dan penyakit polikista ovari. Pada kebanyakan pasien akne vulgaris, walau bagaimanapun, serum androgen masih dalam batas normal.

3

2.1.6 Diagnosis banding akne vulgaris

1

Walaupun satu tipe lesi dapat lebih dominan, akne vulgaris didiagosis dengan adanya berbagai lesi akne vulgaris (komedo, pustul, papul, dan nodul) di wajah, punggung atau dada. Diagnosis biasanya mudah tetapi akne vulgaris dapat dikaburkan dengan folikulitis, rosasea, atau dermatitis perioral. Folikulitis, rosasea dan dermatitis perioral tidak memiliki komedo.

Folikulitis adalah peradangan pada folikel rambut yang dapat disebabkan Staphylococcus aureus atau Pytirosporum ovale . Lesi berupa papul atau pustul yang eritrematosa dan ditengahnya terdapat rambut, biasanya multipel. Tempat predileksi biasanya ditungkai bawah. Sedangkan lesi Pityrosporum folliculitis berupa papul-papul dan kadang-kadang pustul superfisial dengan dasar kulit eritematosa yang tidak berbatas tegas disertai rasa gatal ringan, dan umumnya

(10)

berlokasi pada badan bagian atas. Kultur dari lesi di kulit untuk menyingkirkan folikulitis gram negatif harus dilakukan jika tidak terdapat respons terhadap pengobatan atau jika tidak ada perbaikan.

Rosasea merupakan penyakit peradangan kronik di daerah muka dengan gejala eritema, pustul, telangiektasi dan kadang-kadang disertai hipertrofi kelenjar sebasea. Tidak terdapat komedo kecuali bila kombinasi dengan akne vulgaris.

20

Dermatitis perioral yang terjadi terutama pada wanita dan anak-anak dengan gejala klinis berupa papul eritema , vesikel, dan pustul yang diskret dan berkelompok di sekitar mulut. Lesi terasa gatal, kulit kering dan tidak ada komedo.

17,21

Komedo tertutup sering dibingungkan dengan milia. Milia merupakan kista keratin epidermal distribusinya terutama di infraorbital. Kista bisa berasal dari folikel sebasea. Milia primer muncul pada bantalan folikel rambut velus pada wajah sedangkan sekunder merupakan hasil kerusakan pada unit pilosebasea.

16,17,22

Terkadang, dermatitis herpetiformis dapat muncul sebagai erupsi pustular pada wajah, tetapi ini biasanya sangat gatal tidak seperti akne vulgaris. Penyakit linear IgA dapat juga muncul tetapi sangat jarang sebagai lesi papular pada wajah tanpa komedo. Biopsi, termasuk pemeriksaan imunofluorosensi, penting untuk konfirmasi diagnosis.

16,23

Erupsi akneformis yang disebabkan oleh induksi obat, misalnya kortikosteroid, isoniazid (INH), barbiturat, bromida, yodida, difenil hidantoin, trimetadion, adrenocorticotropic hormone (ACTH), dan lainnya. Klinis berupa erupsi papulo pustul mendadak tanpa adanya komedo di hampir seluruh bagian

(11)

tubuh. Dapat disertai demam dan dapat terjadi pada semua usia. Dan biasanya membaik dengan penghentian obat.

2.2 Vitamin E

17,24

Vitamin E ditemukan di Universitas California, Berkeley, pada tahun 1922 oleh Herbert Evans dan Katherine Bishop yang mengamati bahwa defisiensinya menyebabkan resorpsi janin dalam tikus. Zat aktif diisolasi dari minyak tepung gandum pada tahun 1936, juga di Berkeley, dan bernama “tokoferol” dari kata Yunani tokos (melahirkan) dan pherein (untuk membawa) ditambah akhiran –ol menunjukkan suatu fenol atau alkohol.

Vitamin E adalah sekelompok zat, tokoferol dan tokotrienol, dijumpai terutama pada minyak sayuran. Masing-masing memiliki kelompok kepala kromanol dan rantai samping phytyl. Rantai samping tokoferol jenuh, sedangkan tokotrienol memiliki 3 ikatan ganda. Jumlah yang berbeda dan penempatan dari kelompok metil pada cincin aromatis menghasilkan bentuk α,β,γ, dan δ dari tokoferol dan tokotrienol. Setiap bentuk terjadi secara alamiah sebagai stereoisomer single. Vitamin E sintetis mengandung hingga delapan isomer, masing-masing dengan aktivitas biologisnya sendiri.

8,25

(12)
(13)

D-α tokoferol adalah jenis vitamin E yang paling umum diserap dari diet manusia, kecuali tokotrienol mendominasi di daerah dunia dimana minyak tanaman tropis yang digunakan untuk memasak dan sebagai sumber makanan. D-α tokoferol sekitar 36% lebih aktif dibanding sintetis campuran isomer.20

Vitamin E banyak dijumpai pada sayur-sayuran, terutama bayam, alpokat, jagung, minyak sayuran, biji bunga matahari, kedele, gandum, kacang dan margarin. Juga dapat dijumpai pada beberapa daging dan produk susu. Pada manusia, vitamin E secara alami terjadi pada membran sel dan organela. Ini memproteksi membran sel dari peroksidase dan menangkap radikal bebas. Vitamin E merupakan bagian penting dari diet, tetapi ada resiko bila mengkonsumsi terlalu banyak. Dianjurkan untuk mengkonsumsi 400 IU vitamin E per hari dalam bentuk kapsul gel. Vitamin E dapat meningkatkan kemungkinan timbulnya memar bila diminum dalam dosis besar. Tentu saja, dosis lebih besar dari 3000 mg perhari ketika dikonsumsi dalam jangka panjang dapat menimbulkan efek samping.

Vitamin E diakui benar efektivitasnya sebagai penghambat oksidasi lipid pada makanan dan sistem biologi, dan mekanismenya sebagai antioksidan juga baik dipahami. Aktivitas antioksidan dari tokoferol dan tokotrienol dapat diterima secara luas terutama karena kemampuan mereka untuk menyumbangkan hidrogen fenoliknya pada lipid radikal bebas. Dampak yang lebih rendah tercapai melalui pemuasan singlet oksigen.

27

Vitamin E adalah antioksidan yang dapat menyumbangkan atom hidrogen disebut donor hidrogen. Vitamin E terlokalisasi dalam membran dan lipoprotein dimana ia dapat menghentikan reaksi rantai radikal dari lipid peroksidase. Oleh karena itu vitamin E disebut antioksidan pemecah rantai. Vitamin E (TocH) selalu

(14)

menyumbangkan atom hidrogen ke radikal lipid peroksil yang akan mempropagasi reaksi rantai dari lipid peroksida.

Autooksidasi asam lemak tak jenuh ganda terdiri dari inisiasi, propagasi rantai dan reaksi pemecahan rantai. Reaksi inisiasi bersifat lambat dan terbatas. Inisiasi terjadi oleh karena panas, cahaya atau bahan logam. Reaksinya:

28

I + LH L.

Dimana I adalah inisiator, LH asam lemak dan L + IH (lambat) .

L

adalah alkil radikal yang terbentuk dari asam lemak tak jenuh ganda. Kemudian diikuti propagasi melalui reaksi rantai:

adalah radikal bebas peroksil dan LOOH merupakan hidroperoksida yang stabil dari asam lemak. Tokoferol kemudian memecah dan mengakhiri rantai ini melalui:

.

+ TocH LOOH + Toc Dimana TocH adalah tokoferol dan Toc

. .

Toc

adalah radikal tokoferoksil, yang relatif stabil, kemudian memecah reaksi rantai. Radikal tokoferoksil ini dapat bereaksi dengan radikal peroksil yang lain untuk membentuk senyawa yang tidak berbahaya, termasuk tokoferil quinon. Reaksinya:

.

+ LOO.

Alternatif lain, radikal tokoferoksil ini dapat direduksi kembali ke alfa-tokoferol dengan vitamin C (AH

Toc-OOL

-Toc

) pada permukaan antara air dan lipid. Reaksinya: .

(15)

Namun, apakah interaksi sinergis antara vitamin E dan vitamin C terjadi in vivo masih merupakan kontroversi.

2.3 Vitamin E dan Akne Vulgaris

28,29

Pada akne vulgaris terjadi perubahan komposisi dari sebum, dan produksi ROS oleh neutrofil terlibat dalam iritasi dan destruksi dari dinding folikel, berperan dalam terjadinya inflamasi pada akne vulgaris.

Dimana sudah diketahui bahwa P.acnes memiliki peranan penting dalam proses inflamasi akne vulgaris, menghasilkan faktor kemotaktik untuk neutrofil, menyebabkan pelepasan enzim hidrolitik yang merusak dinding folikel sebagai akibat fagositosis P.acnes oleh neutrofil yang ditarik ke lokasi inflamasi. Penetrasi ke dalam dermis, P.acnes merangsang sistem imun, membentuk suatu reaksi benda asing oleh lemak sebasea, rambut dan sel epitel, yang selanjutnya menyebabkan inflamasi. Telah dilaporkan bahwa radikal bebas oksigen, yang dibentuk oleh neutrofil pada dinding folikel untuk membunuh mikroorganisme, mungkin menyebabkan kerusakan sel pada lokasi inflamasi.

7,30

Neutrofil menghasilkan radikal bebas berupa radikal superoksida anion, hidrogen peroksida dan radikal hidroksil.

31

32

Proteksi antioksidan yang tidak kuat dan/atau peningkatan produksi ROS membuat suatu kondisi yang disebut sebagai stres oksidatif, yang berperan terhadap munculnya penyakit inflamasi kulit. Vitamin E merupakan salah satu antioksidan yang baik.

El-akawi et al. (2005) melakukan penelitian kadar vitamin E dalam plasma pada 100 orang pasien dengan akne vulgaris dengan derajat berat, sedang dan ringan dan 100 subyek kontrol. Derajat keparahan akne vulgaris ditetapkan berdasarkan GAGS. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar vitamin E secara

(16)

bermakna lebih rendah pada pasien dengan akne vulgaris derajat berat dibandingkan dengan akne vulgaris derajat sedang, ringan dan kontrol.

Abulnaja (2008) melakukan penelitian status oksidan/antioksidan pada wanita dewasa yang gemuk dengan akne vulgaris menunjukkan bahwa kadar vitamin E secara bermakna lebih rendah pada wanita gemuk dan normal dengan akne vulgaris dibandingkan wanita gemuk dan normal tanpa akne vulgaris.

9

Ayres dan Mihan (1981) telah melaporkan keberhasilan pengobatan terhadap lebih dari 100 pasien akne vulgaris yang menerima 100.000 IU vitamin A dengan 800 IU vitamin E setiap hari. Kebanyakan merespon dalam beberapa minggu dan kontrol pemeliharaan diperoleh dengan dosis yang lebih rendah.

10

Michaelson (1984) memberikan 0,2 mg selenium ditambah 10 mg tokoferil suksinat dua kali sehari pada 29 orang pasien akne vulgaris selama 6 sampai 12 minggu, dijumpai hasil yang baik, terutama pada pasien dengan akne pustular dan dengan aktivitas GSH-Px yang rendah. Efek menguntungkannya biasanya pararel dengan peningkatan yang lambat dari GSH-Px. Setelah 6 sampai 8 minggu penghentian pengobatan, kadar GSH-Px kembali seperti semula sebelum pengobatan.

11

Zat antioksidan yang mengandung beberapa zat gizi oral telah menjadi subyek penelitian selama 12 minggu pada 48 pasien akne vulgaris. Antioksidan ini dimakan tiga kali sehari dengan total 45 mg zinc, 180 mg vitamin C, 18 mg campuran karotenoid, 45 IU d-alfa-tokoferol asetat dan 390 mcg kromium. Perbaikan yang bermakna tercatat dalam evaluasi dokter setelah 8 minggu, dan setelah 12 minggu 79% dari pasien ditemukan memiliki peningkatan 80% atau

(17)

lebih. Karena ini merupakan penelitian open-label, kesimpulan yang luas tidak dapat dibuat mengenai hasilnya.14

Diantara lipid permukaan kulit, squalene, sebuah molekul triterpenoid spesifik terhadap sebum manusia, tampaknya berperan sebagai pengikat singlet

oxygen, memproteksi kulit dari lipid peroksidase; terkadang, oksidasinya

(18)

2.4 Kerangka Teori

Gambar 2.2 Diagram kerangka teori penelitian Peningkatan

ROS

Akne vulgaris Stres oksidatif

Inflamasi Kadar vitamin

E plasma rendah

• Peningkatan produksi sebum • Hiperproliferasi

folikular

P.acnes meningkat • Aktifitas fisik

(19)

2.5 Kerangka Konsep

Gambar 2.3 Diagram kerangka konsep penelitian Kadar vitamin E

plasma

Akne vulgaris derajat ringan

Akne vulgaris derajat sedang

Gambar

Gambar 2.1 Struktur dari tokoferol dan tokotrienol
Gambar 2.2  Diagram kerangka teori penelitian
Gambar 2.3 Diagram kerangka konsep penelitian

Referensi

Dokumen terkait

HUBUNGAN ANTARA PERILAKU SEKSUAL DINI DAN MEROKOK TERHADAP KEJADIAN KANKER SEVIKS DI RSUD PROF.Dr.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa personal knowledge, efektivitas job procedure, technology berpengaruh positif dan signifikan secara langsung dan tidak langsung

Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa: tidak ada perbedaan yang signifikan pada pembelajaran Fisika berban- tuan media komputer menggunakan teknik

[r]

bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor

Jurnlah instansi pengguna yang memanfaatkan layanan Iptek di bidang sains atmosfer. Indeks kepuasan masyarakat atas layanan Iptek di bidang

[r]

[r]