• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Budaya Organisasi dengan Penerapan Manajemen Pengetahuan pada PT X

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan Budaya Organisasi dengan Penerapan Manajemen Pengetahuan pada PT X"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Uraian Teoritis 2.1.1 Budaya Organisasi

2.1.1.1 Pengertian Budaya Organisasi

Menurut kamus Bahasa Indonesia, kata budaya berasal dari bahasa Sansekerta yaitu Bodhya yang berarti akal budi. Sedangkan secara terminologis organisasi dapat diartikan sebagai kesatuan (entity) sosial yang dikoordinasikan secara sadar dengan sebuah batasan yang relatif dapat diidentifikasikan, yang bekerja atas dasar yang relatif terus menerus untuk mencapai suatu tujuan bersama atau sekelompok tujuan.

Pendekatan budaya dimunculkan dalam teori organisasi ketika kompleksitas perubahan lingkungan dan tingkat persaingan yang dihadapi organisasi dewasa ini sangat tinggi. Budaya organisasi mengacu pada sebuah sistem makna bersama yang dianut oleh para anggota yang membedakan organisasi tersebut dengan organisasi lainnya (Robbins dan Judge, 2007:256). Budaya organisasi dapat dibayangkan sebagai lem yang merekat organisasi menjadi satu kesatuan melalui suatu kebersamaan dalam hal pola-pola makna. Budaya terfokus pada nilai-nilai, keyakinan-keyakinan, harapan-harapan yang dimiliki bersama para anggota (Siehl dan Martin dalam Kusdi, 2011:50).

(2)

“The culture of a group can now be defined as a pattern of shared basic assumptions that has learned by a group as it solved its problems of external adaptation and internal integration, that has worked well enough tobe considered valid and, therefore, to be taught to new members as the correct way to perceive, think, and feel in relation to those problems.“

“Budaya suatu kelompok/organisasi didefinisikan sebagai (1) suatu pola dari asumsi-asumsi dasar bersama (2) yang ditemukan, diciptakan atau dikembangkan oleh kelompok/organisasi (3) untuk memecahkan masalah-masalah yang terkait dengan adaptasi eksternal dan integrasi internal, (4) yang telah bekerja dengan baik sehingga dapat dianggap valid, (5) yang oleh karena itu dapat diajarkan kepada anggota baru (6) sebagai cara yang benar untuk memahami, berfikir, dan merasa menghadapi masalah tersebut.” Sedangkan budaya organisasi menurut Marteen (dalam Kusdi, 2011:50) mengacu pada:

“Pengetahuan yang oleh anggota suatu kelompok dibayangkan sedikit-banyak dimiliki bersama, pengetahuan yang dikatakan menginformasikan, melekat, membentuk, dan diperhitungkan dalam aktivitas-aktivitas rutin dan tidak terlalu rutin dari para anggota kultur tersebut. Budaya diekspresikan (atau terdiri atas) hanya melalui tindakan-tindakan dan kata-kata para anggota dan harus ditafsirkan, bukan diberikan kepada seorang peneliti lapangan (field worker). Budaya tidak dapat terlihat dengan sendirinya, tetapi hanya dapat terlihat melalui representasinya. Dari beberapa definisi yang dikemukakan para ahli tersebut maka dapat disimpulkan bahwa budaya organisasi merupakan nilai-nilai, keyakinan-keyakinan yang dianut oleh para anggota organisasi dalam memecahkan masalah dan mencapai harapan-harapan bersama sebagai perekat dalam organisasi sekaligus pembeda dengan organisasi lain.

2.1.1.2 Karakteristik Budaya Organisasi

Menurut Robbins dan Judge (2008:256) terdapat tujuh karakteristik utama yang secara keseluruhan merupakan hakikat budaya sebuah organisasi, yaitu: 1. Inovasi dan keberanian mengambil risiko. Sejauh mana karyawan didorong

(3)

2. Perhatian pada hal-hal rinci. Sejauh mana karyawan diharapkan menjalankan presisi, analisis, dan perhatian pada hal-hal detail.

3. Orientasi hasil. Sejauh mana manajemen berfokus lebih pada hasil ketimbang pada teknik dan proses yang digunakan untuk mencapai hasil tersebut.

4. Orientasi orang. Sejauh mana keputusan-keputusan manajemen mempertimbangkan efek dari hasil tersebut atas orang yang ada dalam organisasi.

5. Orientasi tim. Sejauh mana kegiatan-kegiatan kerja diorganisasi pada tim ketimbang pada individu-individu.

6. Keagresifan. Sejauh mana orang bersikap agresif dan kompetitif ketimbang santai.

7. Stabilitas. Sejauh mana kegiatan-kegiatan organisasi menekankan dipertahankannya statusquo dalam perbandingannya dengan pertumbuhan.

2.1.1.3 Fungsi Budaya Organisasi

(4)

2.1.1.4 Tingkatan (level) Budaya Organisasi

Struktur dan proses-proses organisasional

yang tampak (tetapi sulit ditafsirkan)

Strategi, tujuan, filosofi

Keyakinan, persepsi, pemikiran, dan perasaan yang sifatnya tidak disadari, atau taken for granted.

Sumber : Schein dalam Kusdi (2011:52)

Gambar 2.1 Tingkatan Budaya

Schein (dalam Kusdi, 2011:52) menyederhanakan budaya organisasi menjadi tiga lapisan berdasarkan tingkat “kedalamannya”, yaitu:

1. Artifak, meliputi elemen-elemen yang paling kasat mata dan berada pada lapis terluar. Artifak merupakan aspek penting yang sering kali mendapat penekanan khusus dalam penelitian budaya, terutama penelitian yang menggunakan pendekatan simbolik-interpretif. Schein membagi artifak dalam kelompok artifak fisik dan verbal, yang kemudian membaginya kedalam enam kelompok berikut:

1. Desain dan struktur organisasi 2. Sistem-sistem dan prosedur kerja 3. Ritus-ritus dan ritual

4. Desain fisik dari ruangan, tampak luar gedung (facades), dan bangunan 5. Cerita-cerita, legenda, mitos tentang orang-orang dan peristiwa-peristiwa

yang terjadi dalam organisasi

6. Pernyataan formal tentang filosofi, nilai-nilai, dan kredo organisasi. Artifak

Nilai-nilai

(5)

2. Nilai-nilai, sifatnya lebih abstrak, tetapi masih berada dalam ruang lingkup kesadaran pelaku. Nilai-nilai adalah dasar bagi suatu kelompok untuk melakukan penilaian (judgement) terhadap sesuatu, apakah sesuatu itu dipandang baik atau buruk, benar atau salah, berguna atau tidak berguna. Jika diterapkan pada organisasi, maka nilai-nilai adalah sesuatu yang paling diperhatikan dan didahulukan oleh organisasi tersebut dalam setiap aktivitasnya, baik itu berupa kebebasan, demokrasi, tradisi, kesejahteraan, maupun loyalitas.

3. Asumsi-asumsi kultural atau basic assumption yang bersifat kelaziman atau taken for granted dan sering kali berada di luar kesadaran pelaku. Dengan

menggunakan pendekatan fungsional, Schein mengatakan bahwa setiap organisasi di mana pun dan kapan pun akan berhadapan dengan tujuh masalah dasar yang harus dipecahkan, yaitu:

1. hubungan organisasi dan lingkungan 2. hakikat aktivitas manusia

3. hakikat realitas dan kebenaran 4. hakikat waktu

5. hakikat manusia 6. sifat manusia

7. homogenitas versus keragaman

2.1.1.5 Tipe Budaya Organisasi

(6)

1. Budaya Adhokrasi

Adhokrasi adalah suatu budaya yang sangat dinamis, dijiwai semangat kewiraswastaan (entrepreneurship) dan kreativitas. Nilai yang diutamakan adalah inovasi dan keberanian mengambil risiko. Ikatan yang menyatukan organisasi adalah komitmen terhadap eksperimen dan inovasi. Tujuan jangka panjang organisasi adalah pertumbuhan dan meraih sumber daya baru. Sukses diukur dari penemuan produk atau jasa baru yang inovatif.

2. Budaya Market

Budaya pasar beroperasi dengan mekanisme ekonomi pasar, dengan melakukan transaksi-transaksi yang ditujukan untuk menciptakan keunggulan kompetitif. Budaya ini berorientasi pada hasil atau (result oriented), dimana nilai-nilai yang dianggap penting adalah daya saing (competitiveness) dan produktifitas tujuan jangka panjang organisasi adalah melakukan aktifitas-aktifitas kompetitif dan mencapai sasaran target-target yang terukur. Sukses diukur dari pangsa pasar dan penguasaan pasar.

3. Budaya Hierarki

(7)

4. Budaya Klan

Merupakan suatu budaya yang sangat menekankan keakraban dan ikatan emosi untuk saling berbagi, sehingga organisasi lebih seperti sebuah keluarga besar ketimbang entitas ekonomi. Budaya klan memiliki nilai yang diutamakan yaitu kerja tim atau (teamwork) partisipasi dan konsensus. Pemimpin organisasi diposisikan sebagai pembimbing (mentor) atau bahkan figur orangtua. Organisasi diikat oleh kekuatan loyalitas atau tradisi. Sukses di definisikan berdasarkan kepekaan terhadap konsumen dan perhatian terhadap aspek manusia.

2.1.1.6 Budaya Kuat versus Budaya Lemah

Tika (2006:109) mendefinisikan budaya organisasi kuat sebagai budaya, yang nilai-nilainya baik formal maupun informal dianut secara bersama dan berpengaruh positif terhadap perilaku dan kinerja pimpinan dan anggota organisasi sehingga kuat dalam menghadapi tantangan eksternal dan internal organisasi. Menurut Robbins (2007:259), dalam budaya yang kuat (strong culture) terdapat nilai-nilai inti organisasi yang dipegang teguh dan dijinjing

bersama. Semakin banyak anggota organisasi yang menerima nilai-nilai inti dan semakin besarnya komitmen mereka terhadap nilai-nilai tersebut, maka akan semakin kuat budaya tersebut dalam mempengaruhi perilaku anggota-anggota organisasi karena kadar kebersamaan dan intensitas yang tinggi menciptakan suasana internal berupa kendali perilaku yang sangat tinggi.

(8)

mencetuskan nilai-nilai yang dianut perusahaannya. Secara spesifik, budaya yang kuat dapat dilihat melalui rendahnya tingkat turn over karyawan.

2.1.1.7 Dimensi Budaya Organisasi Efektif

Dalam penelitian ini, dimensi budaya organisasi yang digunakan adalah dimensi yang diajukan oleh Denison (dalam Satyagraha, 2010:46) yang berdasarkan pada empat karakter budaya organisasi efektif. Digunakan dalam penelitian mengenai manajemen pengetahuan disebabkan dimensi ini menekankan pada dua hal utama yang diperlukan dalam penerapan manajemen pengetahuan yaitu integrasi internal dan adaptasi eksternal menghadapi tantangan zaman yang terus berubah.

Dimensi budaya organisasi efektif tersebut adalah sebagai berikut: 1. Keterlibatan (Involvement)

Organisasi efektif memberdayakan anggotanya, membangun tim, dan mengembangkan kemampuan sumber daya manusia di berbagai tingkatan. Eksekutif, manajer, dan karyawan berkomitmen terhadap pekerjaan mereka dan merasa menjadi bagian dari organisasi. setiap orang merasa memiliki kontribusi terhadap organisasi.

2. Misi (Mission Culture)

(9)

3. Adaptasi (Adaptability)

Organisasi yang efektif dalam menyediakan nilai untuk pelanggannya adalah yang dapat beradaptasi dengan pelanggan, mengambil resiko-resiko, belajar dari kesalahan, dan memiliki kemampuan dan pengalaman untuk melakukan perubahan. Mereka secara terus menerus mengubah sistem yang ada sehingga dapat meningkatkan kemampuan kolektif organisasi untuk menyediakan nilai bagi pelanggannya.

4. Konsistensi (Consistency)

Organisasi cenderung akan efektif karena memiliki budaya yang konsisten, terkoordinasi, terintegrasi dengan baik.

2.1.2 Manajemen Pengetahuan 2.1.2.1 Pengertian Pengetahuan

Davenport dan Prusak (dalam Nawawi, 2012:21) mengemukakan pengetahuan bukanlah data dan bukan pula informasi, namun sulit untuk dipisahkan. Perbedaan antara data, informasi, dan pengetahuan sering kali hanya pada masalah derajat kedalamannya di mana pengetahuan di pandang sebagai sesuatu yang lebih mendalam, dibandingkan informasi dan pengetahuan. Data merupakan kumpulan transaksi-transaksi (Tiwana dalam Tobing, 2007:15). Sedangkan Davidson dan Voss (dalam Sangkala, 2007:75) mengemukakan informasi sebagai data yang disaring (distilled) dan dimaknai.

(10)

terjadi ketika informasi tersebut menjadi dasar untuk bertindak, atau ketika informasi tersebut memampukan seseorang atau institusi untuk mengambil tindakan yang lebih efektif dari tindakan sebelumnya”. Sehingga ada juga pendapat yang mengartikan pengetahuan sebagai actionable information atau informasi yang dapat ditindak lanjuti atau informasi yang dapat digunakan sebagai dasar untuk bertindak, untuk mengambil keputusan dan untuk menempuh arah atau strategi tertentu.

Adapun proses transformasi menjadi pengetahuan menurut Davenport dan Prusak (dalam Tobing, 2007:15) melalui empat tahapan yang dimulai dengan huruf C, yaitu:

1. Comparison: membandingkan informasi pada situasi tertentu dengan situasi-situasi yang lain yang telah diketahui.

2. Consequences: menemukan implikasi-implikasi dari informasi yang bermanfaat untuk pengambilan keputusan dan tindakan.

3. Connections: menemukan hubungan-hubungan bagian-bagian kecil dari informasi dengan hal-hal lainnya.

4. Conversations: membicarakan pandangan, pendapat serta tindakan orang lain terkait informasi tersebut.

Von Krough, Ichiyo Nonaka, dan Chu Wei Coo (dalam Nawawi, 2007:21), menyampaikan suatu ringkasan gagasan yang mendasari pengetahuan, sebagai berikut:

(11)

2. Pengetahuan merupakan sesuatu yang eksplisit sekaligus terpikirkan (tacit). 3. Penciptaan inovasi secara efektif bergantung pada konteks yang

memungkinkan terjadinya penciptaan tersebut.

4. Penciptaan inovasi yang melibatkan lima langkah utama, yaitu: (1) berbagai pengetahuan terpikirkan, (2) menciptakan konsep, (3) membenarkan prototype, dan (4) melakukan penyebaran pengetahuan tersebut.

Pengetahuan berawal dan berada pada pemikiran individu. Dalam organisasi, pengetahuan diperoleh dari individu atau sekelompok orang yang memiliki pengetahuan atau terkadang melalui rutinitas organisasi. Pengetahuan bukan hanya dapat diperoleh melalui media terstruktur seperti buku, dokumen maupun sistem penyimpanan data, melainkan juga pada hubungan orang ke orang yang berkisar dari pembicaraan ringan sampai ilmiah dalam praktek, proses, kebiasaan, dan norma.

Pada wacana manajemen pengetahuan dalam Sangkala (2007:79), pengetahuan dibagi ke dalam dua jenis, yaitu pengetahuan implisit (tacit knowledge) dan pengetahuan eksplisit (explicit knowledge). Yang dimaksud

dengan tacit knowledge adalah pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang dan sangat sulit untuk diformalisasikan, sulit dikomunikasikan atau dibagi dengan orang lain. Tacit knowledge bersifat subjektif, bersifat sangat pribadi, susah dibentuk, dan tidak dapat diekspresikan dalam kata-kata, kalimat, atau rumus. Tacit knowledge berakar pada tindakan, pengalaman, ideologi, nilai dan emosi

(12)

tacit knowledge. Pertama, dimensi teknis yang mencakup berbagai macam

keahlian atau keterampilan teknis “know-how”. Dimensi kedua, dimensi kognitif yang menunjuk kepada kesan atau gambaran seseorang terhadap realitas dan visinya ke depan. Dimensi ini meliputi keyakinan, ideologi, nilai-nilai, pola pikir, dan sikap mental.

Berbeda dengan tacit knowledge, explicit knowledge bersifat objektif. Explicit knowledge dapat diekspresikan dalam kata-kata, dapat dijumlah, serta

dibagi dalam bentuk data, formula ilmu pengetahuan, spesifikasi produk, manual-manual, dan prinsip-prinsip universal. Pengetahuan ini dapat senantiasa ditransfer kepada orang lain secara formal dan sistematik.

Nonaka dan Konno (Satyagraha, 2010:29) menjelaskan konsep penciptaan pengetahuan sebagai suatu evolusi spiral yang semakin lama semakin berkembang, melalui proses-proses seperti:

1. Socialization

Sosialisasi meliputi kegiatan berbagi tacit knowledge antar individu. Istilah sosialisasi digunakan, karena tacit knowledge disebarkan melalui kegiatan bersama – seperti tinggal bersama, meluangkan waktu bersama – bukan melalui tulisan atau instruksi verbal. Sebagai contoh proses magang menjadikan seorang karyawan baru semakin memahami cara berfikir dan merasa diri orang lain.

2. Externalization

(13)

menjadi satu dengan kelompok tersebut. Dalam prakteknya, eksternalisasi didukung oleh dua faktor kunci. Pertama, artikulasi tacit knowledge – yaitu konversi dari tacit ke eksplisit – seperti dalam dialog. Kedua, menerjemahkan tacit knowledge dari para ahli ke dalam bentuk yang dapat dipahami, misalnya

dokumen, manual, dan sebagainya. 3. Combination

Kombinasi meliputi konversi explicit knowledge ke dalam bentuk himpunan explicit knowledge yang lebih kompleks. Dalam prakteknya, fase kombinasi

tergantung pada tiga proses berikut:

a) Pertama, penangkapan dan integrasi explicit knowledge yang baru – termasuk pengumpulan data eksternal dari dalam atau luar institusi kemudian mengkombinasikan data-data tersebut.

b) Kedua, penyebarluasan explicit knowledge tersebut melalui presentasi atau pertemuan langsung.

c) Ketiga, pengolahan explicit knowledge sehingga lebih mudah dimanfaatkan kembali – misal menjadi dokumen rencana, laporan, data pasar, dan sebagainya.

4. Internalization

Terakhir, internalisasi pengetahuan baru merupakan konversi explicit knowledge ke dalam tacit knowledge organisasi. Individu harus mengidentifikasi

(14)

langsung sebagai contoh melalui program pelatihan. Kedua, penguasaan explicit knowledge melalui simulasi, eksperimen, atau belajar sambil bekerja.

2.1.2.2 Pengertian Manajemen Pengetahuan

Kemampuan organisasi dalam mengelola pengetahuan merupakan tantangan, terutama yang sebagian besar terdapat dalam benak dan perilaku para individu berupa tacit knowledge. Tantangan inilah yang menjadi salah satu pendorong penerapan manajemen pengetahuan dalam organisasi. Implementasi manajemen pengetahuan dilakukan dengan tujuan agar perusahaan dapat menjaga pengetahuan yang dimiliki tetap terpelihara dan senantiasa tersedia untuk dipelajari karyawan yang membutuhkan.

Manajemen pengetahuan digambarkan sebagai pengembangan alat, proses, sistem, struktur, dan kultur yang secara implisit dapat meningkatkan kreasi, penyebaran, dan pemanfaatan pengetahuan yang penting bagi pengambilan keputusan.

Knowledge Transfer International (KTI) (dalam Sangkala, 2007:7)

(15)

Definisi manajemen pengetahuan (knowledge management) menurut Hafez dan Abdelmeguid (dalam Satyagraha, 2010:32) adalah sebagai berikut:

“Knowledge management is any process or practice of creating, aquiring, capturing, sharing, and using knowledge, wherever it resides, to enchance learning and performance in organisations.”

“Manajemen pengetahuan adalah suatu proses atau praktek menciptakan, mendapatkan, menangkap, membagi, dan menggunakan pengetahuan dimanapun pengetahuan itu berada untuk meningkatkan pembelajaran dan kinerja organisasi.”

Sedangkan Horwitch dan Armacost (dalam Sangkala, 2007:6) mendefinisikan “manajemen pengetahuan sebagai pelaksanaan penciptaan, penangkapan, pentransferan, dan pengaksesan pengetahuan dan informasi yang tepat ketika dibutuhkan untuk membuat keputusan yang lebih baik, bertindak dengan tepat, serta memberikan hasil dalam rangka mendukung strategi bisnis”.

Dapat disimpulkan bahwa manajemen pengetahuan adalah suatu proses menciptakan, mendapatkan, menyimpan, membagi, dan menggunakan pengetahuan secara terkendali untuk meningkatkan kinerja organisasi dalam mendukung strategi bisnis.

2.1.2.3 Komponen Manajemen Pengetahuan

Menurut Nawawi (2012:10) diperlukan empat komponen dalam merancang sistem manajemen pengetahuan yang dapat membantu organisasi untuk meningkatkan kinerjanya, yaitu:

(16)

mereka, mengatur file, menghapus pengetahuan yang sudah tidak relevan, dan mengatur sistem reward/punishment.

2. Proses; telah dirancang serangkaian proses yang mengaplikasikan konsep model SECI dalam pelaksanaannya.

3. Teknologi; telah dibuat usulan penambahan infrastruktur yang diperlukan untuk menunjang berjalannya sistem manajemen pengetahuan yang efektif. 4. Isi (content); telah dirancang content dari sistem manajemen pengetahuan,

yaitu berupa database knowledge dan dokumen yang dibutuhkan karyawan untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya.

2.1.2.4 Perspektif Manajemen Pengetahuan

Dalam konsep manajemen pengetahuan terdapat tiga perspektif manajemen pengetahuan menurut Alavi dan Liender (dalam Satyagraha, 2010:33), yaitu perspektif berbasis informasi, perspektif berbasis teknologi, dan perspektif berbasis budaya.

(17)

Dalam perspektif berbasis teknologi, manajer mengasosiasikan manajemen pengetahuan dengan berbagai sistem (seperti gudang data, enterprise wide systems, sistem informasi eksekutif, sistem pakar, dan intranet) dan juga berbagai

perangkat (seperti mesin pencari, multimedia, dan perangkat pengambil keputusan). Secara umum perspektif ini memandang manajemen pengetahuan sebagai infrastruktur teknologi informasi yang mengintegrasikan sistem lintas fungsi. Keefektifannya tergantung pada ukuran organisasi dan infrastruktur teknis yang ada.

Dan yang terakhir, perspektif berbasis budaya. Dalam perspektif ini manajer mengasosiasikan manajemen pengetahuan dengan pembelajaran (utamanya pembelajaran organisasi) komunikasi, dan pengembangan kekayaan intelektual. Alavi dan Liender (dalam Satyagraha, 2010:34) mengemukakan bahwa perspektif ini merupakan yang utama dalam memandang manajemen pengetahuan.

2.1.2.5 Dimensi Manajemen Pengetahuan

Dimensi penerapan manajemen pengetahuan dalam penelitian ini didasarkan pada pendapat Davidson dan Foss (dalam Satyagraha, 2010:39) yang digambarkan dalam empat fase seperti berikut ini:

1. Fase Identifikasi (Identify)

(18)

2. Fase Refleksi (Reflection)

Membuat simpanan (persediaan) dari pengetahuan yang sudah dimiliki. Kegiatan ini memberikan kesempatan untuk mengubah tacit knowledge karyawan menjadi explicit knowledge dan menyimpulkan pengetahuan yang sudah ada ke dalam bentuk yang mudah dibagikan.

3. Fase Berbagi (Share)

Membuat sistem yang bertujuan membuat pengetahuan yang ada dimanapun dalam organisasi dapat tersedia dan tersalurkan kemanapun pengetahuan itu dibutuhkan.

4. Fase Penggunaan (Apply)

Saat suatu pengetahuan menawarkan perbaikan kinerja organisasi maka organisasi akan menerapkannya dan menciptakan sistem yang menyertakan pengetahuan tersebut dalam prosedur kerja sehari-hari. Hal ini pada akhirnya akan mengubah pengetahuan menjadi modal struktural.

2.2 Penelitian Terdahulu

Penelitian terdahulu merupakan penelitian yang dilakukan oleh peneliti sebelumnya yang akan dipergunakan sebagai referensi dalam penelitian ini.

(19)

penelitian ini menunjukkan bahwa secara parsial variabel budaya organisasi berpengaruh positif dan signifikan terhadap motivasi kerja karyawan, dengan nilai �ℎ����� tertinggi pada variabel budaya organisasi yaitu sebesar 13,531. Penelitian

menghasilkan koefisien determinasi sebesar (�2) sebesar 0,759 yang berarti bahwa 75,9% variabel budaya organisasi mampu menjelaskan variabel motivasi kerja karyawan pada PT Sinar Pandawa, sedangkan sisanya 24,1% dipengaruhi oleh variabel bebas lain yang tidak dijelaskan oleh model penelitian ini.

Wicaksono (2010) melakukan penelitian yang berjudul “Struktur dan Budaya Organisasi, serta Gaya Kepemimpinan Terhadap Efektivitas Organisasi dengan Manajemen Pengetahuan sebagai Variabel Intervening (Studi Empiris di Perusahaan Jasa yang Listing di BEI)”. Tujuan dari penelitian tersebut adalah untuk mencari bukti empirik, yang mendukung dugaan bahwa struktur organisasi, budaya organisasi, gaya kepemimpinan, dan manajemen pengetahuan berpengaruh terhadap efektivitas organisasi perusahaan jasa. Dan juga untuk membuktikan peran manajemen pengetahuan berpengaruh terhadap efektivitas organisasi perusahaan jasa. Metode analisis yang digunakan adalah analisis deskriptif dan analisis statistik. Untuk pengujian terhadap variabel budaya organisasi dan manajemen pengetahuan, hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa variabel budaya organisasi berpengaruh positif signifikan terhadap manajemen pengetahuan, dengan nilai �ℎ����� lebih besar daripada ������ yaitu

(20)

yang dapat dijelaskan oleh variabilitas konstruk budaya organisasi sebesar 89,7% dan sisanya dijelaskan oleh variabel lain diluar dari variabel yang diteliti.

2.3 Kerangka Konseptual

Kerangka konseptual yang baik mengidentifikasi dan menamakan variabel-variabel penelitian dalam situasi yang relevan dengan definisi masalah. Kerangka konseptual penelitian ini menjelaskan budaya organisasi sebagai variabel bebas (X) dan manajemen pengetahuan sebagai variabel terikat (Y).

Budaya Organisasi adalah keyakinan, nilai-nilai, dan asumsi-asumsi dasar yang dianut oleh anggota-anggota organisasi berikut praktek-praktek serta perilaku yang mencontohkan dan menguatkannya (Denison dalam Satyagraha, 2010). Budaya organisasi mewakili persepsi yang sama dari anggota organisasi yang membentuk sikap perilaku karyawan.

Manajemen Pengetahuan merupakan suatu pendekatan yang bertumpu pada pemahaman bahwa tugas organisasi, yaitu memahami dengan baik bagaimana dan kapan penciptaan pengetahuan harus didukung, bagaimana menggunakan akumulasi pengetahuan yang sudah tercipta sehingga pengetahuan tersebut dapat meningkatkan produktivitas, memahami apa itu pengetahuan, bagaimana diciptakan dan digunakan, apa nilai dari suatu pengetahuan, bagaimana gaya manajemen yang berbasis pengetahuan, memahami kaitan antara pengetahuan dan tingkat motivasi organisasi (Sangkala, 2007). Peranan manajemen pengetahuan dalam penggunaan pengetahuan dapat melahirkan inovasi.

(21)

bahwa harus dilakukan pendekatan yang berpusat kepada manusia, yaitu dengan menumbuhkan budaya yang kondusif terhadap berjalannya proses-proses manajemen pengetahuan. Berbagi (sharing) menjadi fokus dari proses manajemen pengetahuan, karena tanpa berbagi maka proses pembelajaran yang merupakan proses penambahan pengetahuan akan terhambat. Budaya organisasi membentuk budaya sharing agar pengetahuan tidak hanya dimanfaatkan oleh orang atau unit secara terbatas (Tobing, 2007).

Dalam upaya pengembangan budaya organisasi, manajemen pengetahuan melalui kecerdasan buatan dan/atau teknologi informasi dapat menciptakan dan meningkatkan budaya organisasi dan performance personal maupun organisasi. Penerapan manajemen pengetahuan yang efektif membantu anggota organisasi memahami nilai-nilai yang dianut dalam organisasi.

(22)

Sumber : Tobing (2007), Rahgozar et al (2012), data diolah

Gambar 2.2 Kerangka Konseptual

2.4. Hipotesis

Hipotesis adalah hubungan yang diperkirakan secara logis diantara dua atau lebih variabel yang diungkapkan dalam bentuk pernyataan yang dapat diuji.

Berdasarkan kerangka konseptual yang telah dikemukakan di atas maka hipotesis penelitian ini adalah : “Budaya Organisasi memiliki hubungan dengan penerapan Manajamen Pengetahuan pada PT X.

Manajemen Pengetahuan

(Y) Budaya Organisasi

Gambar

Gambar 2.1 Tingkatan Budaya
Gambar 2.2 Kerangka Konseptual

Referensi

Dokumen terkait

Untuk mampu meningkatkan kompetensi mahasiswa, field study merupakan sarana yang sangat mendukung karena mahasiswa bisa melihat langsung kejadian lapangan serta

Hasil pemetaan tersebut secara gradual akan memberikan deskripsi tentang produktivitas kerja karyawan wanita, deskripsi tentang kesempatan aktualisasi diri karyawan

Teori ini digunakan sebagai dasar acuan mengukur respon konsentrasi mahasiswa terhadap fitur dari software, Pada teori ini terdapat beberapa variabel yang menjadi acuan dalam

Kode Barang Jenis Barang /Nama Barang Nomor Register Merk/ Type Keterangan Ukuran/ CC Bahan Tahun Pem- belian Nomor Jumlah. Barang Kondisi Asal Usul

Diameter daya hambat (DDH) yang terbentuk menunjukkan bahwa ekstrak etanol 70% buah lontar memiliki potensi sebagai antibakteri yang dapat menghambat pertumbuhan

Penerapan metode WP dalam sistem pendukung keputusan perusahaan berprestasi di Kabupaten Sukabumi memiliki tiga tahapan perhitungan pada sistem dimulai dari

Judul : Penerapan Model Pembelajaran Cooperative Learning Pada Pokok Bahasan Puisi Pada Mata Pelajaran Bahasa Indonesia Untuk Meningkatkan Pemahaman Siswa Kelas VII