Sa t u
Pendahuluan
Latar Belakang
Sebuah model pembangunan yang dicanangkan pada setiap negara berkembang khususnya di Indonesia sejatinya harus dimulai dari pengenalan akan masalah-masalah pedesaan seperti kemiskinan, ketimpangan pendapatan, pengangguran (Seers, 1969 dalam Sosrodihardjo, 1987 : vii), ketidakadilan para tuan tanah, deforestrasi, kesehatan, cultural lag dan sebagainya. M engapa memulainya dari pedesaan? Hal ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa (1) masyarakat perdesaan merupakan mayoritas penduduk di negeri ini dan (2) masyarakat lokal masih merupakan determinan struktural dalam pembangunan nasional yang menentukan keberhasilan atau kegagalan pembangunan nasional (M oeljarto, 1985 dalam Sosrodihardjo, 1987 : vii).
Saat ini, semakin dirasakan perlunya dikedepankan kearifan dan kedewasaan dalam mengemudikan arah pembangunan. Dengan kata lain, pembangunan harus dijalankan sesuai dengan logikanya sebagai sebuah proses perubahan sosial berdasarkan nilai-nilai tertentu (UNRISD, 1972 dalam Sosrodihardjo, 1987 : ix). Hampir sama dengan penjelasan sebelumnya bahwa tata nilai yang dimaksud adalah suatu tata nilai yang menuntun perilaku masyarakat lokal.
Sama halnya dengan fenomena pembangunan yang terjadi di desa M batakapidu dalam beberapa tahun terakhir ini (2010-2014). Ada berbagai pencapaian1 yang telah diraih. Pencapaian tersebut seperti (1)
tahun 2010 meraih juara pertama pada lomba DM PM DS antar desa atau kelurahan di kabupaten Sumba Timur; (2) tahun 2011 meraih
1 David Mc Clelland menyebutnya sebagai “the need for Achievement (n-Ach)” atau
2
juara ketiga pada lomba DM PM DS antar desa atau kelurahan di provinsi NTT; (3) awal tahun 2013 kepala desa M batakapidu diundang ke Daerah Istimewa Yogyakarta oleh Access dan Ire untuk menjadi narasumber pada simposium nasional tentang kemandirian desa; (4) tanggal 18 Oktober 2013 KW T “Tapawalla Baddi” berhasil meraih penghargaan dari program Kick Andy di salah satu stasiun televisi swasta nasional M etro Tv; (5) tanggal 06 November 2013 kepala desa M batakapidu menjadi narasumber di salah satu stasiun televisi swasta nasional M NC Tv (M NC group) dan berhasil masuk sebagai nominator (peringkat sepuluh besar) pada program pahlawan untuk Indonesia dalam kategori lingkungan dan berbagai pencapaian lainnya.
Dari fenomena pembangunan ini, penulis menemukan sebuah masalah apakah memang pembangunan yang telah, sementara dan akan berlangsung di desa M batakapidu dilakukan berdasarkan tata nilai tertentu yang menuntun perilaku masyarakat lokal? Atau dilakukan berdasarkan nilai-nilai tertentu yang diadopsi dari luar? Inilah yang membuat penulis menjadikannya sebagai topik dalam penelitian.
Studi ini merujuk pada sejumlah hasil studi sebelumnya seperti yang dilakukan oleh Kana (1983), Vel (1994), W ellem (1995), Foni (2002), Palekahelu (2010), Sugianto (2011), Bele (2011) pada suku maupun komunitas di daerah propinsi NTT dalam pengejewantahan atas nilai-nilai lokal.
Nico L. Kana, dalam disertasinya yang berjudul Dunia Orang Sawu (1987) yang kemudian dikemas dalam buku seri budi (Budaya Indonesia) (1983) menyebut kehidupan sosial budaya suku bangsa Sawu khususnya di tanah M ahara menunjukkan pandangan tentang hakikat manusia sebagai makhluk sosial dalam hibungannya dengan sesama, alam dan kekuatan gaib. Hal ini tercermin dalam pengetahuan mereka atas kesatuan genealogi dari manusia, binatang dan tumbuh-tumbuhan, perilaku dalam kegiatan pertanian, penggarapan laut, pembangunan dan sebagainya.
Sumba (Eastern-Indonesia) (1994) yang kemudian diterjemahkan ke dalam buku yang berjudul Ekonomi Uma: Penerapan Adat Dalam Dinamika Ekonomi Berbasis Kekerabatan (2010) menyebut ekonomi uma telah berakar di dalam cara berpikir dan perilaku budaya yang masih ada sampai sekarang, meskipun dalam bentuk yang lebih modern namun masih sangat relevan untuk menjelaskan situasi kekinian di Sumba. Ekonomi uma menjelaskan penerapan hukum lokal sebagai percampuran antara hukum adat, hukum agama dan hukum negara, serta merujuk pada jangkauan hukum dan keadilan bagi warga masyarakat yang tercermin di dalam sistem moralitas pertukaran, jejaring sosial, tatanan peringkat pertukaran barang dan jasa dan transaksi berdasarkan resiprositas.
F. D. W ellem, dalam disertasinya yang berjudul Injil dan M arapu (1995) yang kemudian kemudian dikemas dalam sebuah buku dengan judul yang sama pada tahun 2004 menyebut perjumpaan injil dengan masyarakat Sumba yang agama sukunya disebut marapu2 menimbulkan
kesadaran dari para pendeta utusan dan zending bahwa adat-istiadat dan kebudayaan Sumba tidak seluruhnya bersifat kafir karena di dalamnya terdapat unsur-unsur yang netral dari kepercayaan kafir. Para pendeta dan zending mulai memilah adat-istiadat dan kebudayaan Sumba yang negatif, netral dan positif. Unsur yang negatif cenderung dimusnahkan, sedangkan yang netral dan positif dipertahankan.
W ilhelmus Foni, dalam tesisnya yang berjudul Budaya Bertani Atoni Pah M eto3: Siklus Bertani Lahan Kering Atoni Pah M eto
Tunbaba Timor (2002) menyebut kegaiban dan keajaiban (agama-agama rakyat) sama sekali tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip modern sebagaimana terdapat pada bangsa Jepang melalui agama
2 L. Onvlee (dalam W ellem, 2004 : 41) menyebut marapu berasal dari dua kata yaitu ma dan rapu.Kata ma berarti “yang”, sedangkan kata rapu berarti “dihormati” dan didewakan. Sementara itu, A. A. Yewangoe (dalam W ellem, 2004 : 41) menyebut
marapu berasal dari dua kata yaitu ma dan rappu. Kata ma berarti “yang”, sedangkan kata rappu berarti “tersembunyi. Dengan demikian, Yewangoe menyebut marapu
sebagai sesuatu yang tersembunyi atau sesuatu yang tidak dapat dilihat. C. Noteboom (dalam W ellem, 2004 : 41) menyebut dalam pengertian yang luas bahwa marapu
adalah kekuatan supranatural, baik yang bersifat oknum maupun tidak, yang tampil dalam berbagai bentuk.
4
tokugawa yang dipelopori oleh kaum samurai. Bangsa Jepang telah mampu menumbuhkan dan mengembangkan etika kerja bagi rakyatnya dengan mendasari nilai-nilai kearifan lokal. Karakteristik pokok di Jepang tidak berbeda jauh dengan apa yang diperlihatkan oleh atoni pah meto seperti ajaran untuk bekerja tekun dan bersungguh-sungguh, sikap pertapa dan hemat, usaha keras mengejar dan mengumpulkan kekayaan, rasional, nasionalisme, kolektivitas sosial, kerja keras, etika mengabdi tanpa batas pada rumah tangga dan negara serta pemujaan terhadap nenek moyang sebagai bentuk menjaga harga diri keluarga.
Ritual yang dilakukan oleh komunitas ini sangat baik, karena dalam praktek yang berlatar belakang kepercayaan seperti dalam membuka lahan, menanam, sampai pada tahap panen harus melalui proses sembahyang kepada arwah para leluhur yang berimplikasi terhadap kehidupan ekonomi, lingkungan dan sistem kekerabatan. Hal ini tentu tidak sejalan dengan tulisan Berger tentang suku M aya yang berjudul piramida kurban manusia (1976), yang menyebut penduduk asli di kota Cholula (M eksiko) yaitu suku Aztec untuk memberi persembahan berupa manusia kepada dewa, karena jika dewa tersebut tidak diberi makan secara teratur maka alam semesta akan dibuat porak poranda. Tentu praktek ini sudah tidak dapat lagi diterima oleh kebudayaan modern.
peneliti asing yang meneliti di Timor pada beberapa waktu yang silam seperti James J. Fox, F. J. Ormeling, H. G. Schulte Nordhold dan Clark Cunningham, sehingga dapat disimpulkan karya Bele ini hampir sama dengan karya Foni yaitu untuk memahami kekayaan budaya lokal.
Helena Anggraeni Tjondro Sugianto, dalam disertasinya yang berjudul M odal Spiritual: Kekuatan Tersembunyi Dibalik Kemampuan M embangun (2011) menyebut modal spiritual sungguh penting dan relevan bagi pembangunan di Indonesia, karena masyarakatnya memiliki penghayatan spiritual. Hal unik yang ditemukan pada sebuah komunitas di kampung M ondo yaitu tidak adanya benturan antara nilai-nilai yang terkandung dalam agama impor seperti katolik dan adat istiadat setempat dan ternyata mampu menciptakan survival strategy bagi penduduknya.
Dharma Palekahelu, dalam disertasinya yang berjudul M arapu Kekuatan Di Balik Kekeringan: Potret M asyarakat W unga (2010) menyebut masyarakat desa W unga tetap bertahan dan tidak bergeming di tengah ketidakpastian dan ketidakamanan pangan rumah tangga. Hal ini terjadi karena kepercayaan kepada marapu mengunci mereka untuk tetap menetap dan tidak keluar dari konteks kehidupan yang begitu sulit, sehingga mengemuka pertanyaan apakah agama ini yang mendomestifikasi atau memberdayakan? Kalau dia membuat orang tetap tinggal di tempat yang sangat tidak mungkin untuk mendapatkan kehidupan yang layak maka hal ini disebut sebagai kekuatan untuk bertahan dalam penderitaan, tetapi kalau dikatakan memberi semangat kepada orang untuk hidup lebih layak mungkin masih dipertanyakan. Kita harus melihat agama dari dua sisi, seperti melihat agama dalam konteks yang positif seperti W eber dengan etika protestan dan ada orang seperti M arx yang melihat agama sebagai candu, yang cenderung membodohi orang.
6
tradisional; (4) semakin mencuatnya kesadaran akan identitas lokal sejak era reformasi dan otonomi daerah dan (5) budaya dan ekonomi lokal yang menjelaskan tentang bagaimana peningkatkan ekonomi lokal dapat dilaksanakan sedemikian rupa, sehingga dapat menjawab cara berpikir lokal tradisional.
Pertanyaan, Tujuan dan M anfaat Penelitian