• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pancasila dan Transformasi Religiositas Sipil di Indonesia D 762008003 BAB II

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pancasila dan Transformasi Religiositas Sipil di Indonesia D 762008003 BAB II"

Copied!
58
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

AGAMA SIPIL DAN RELIGIOSITAS SIPIL: KAJIAN TEORITIK

Formulasi Awal Agama Sipil: Rousseau dan Durkheim A. Agama Sipil dalam Pandangan Rousseau

Jean-Jacques Rousseau merupakan pemikir pertama yang mengenalkan gagasan agama sipil. Konsep agama sipil dalam pemikiran Rousseau memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan sejarah kontrak politik dalam sebuah masyarakat. Atas dasar ini, maka konstruksi agama sipil berhubungan dengan upaya membangun kesepakatan bersama dalam masyarakat yang kerap dikaitkan dengan teori kontrak sosial. Dalam kajian filsafat politik, ada tiga pemikir yang mengelaborasi teori kontrak sosial ini, yakni Thomas Hobbes, John Locke dan JJ. Rousseau.

Ketiganya merupakan pemikir yang hidup pada abad XVIII tetapi pemikirannya pada sisi tertentu merupakan antitesis dari pemikiran yang berkembang pada abad itu. Dan hal tersebut ditengarai sebagai pembangkangan intelektual pada zamannya. Menurut sejarah, abad inilah yang menjadi pabrik penghasil ilmuwan besar seperti Rene Descartes, David Hume, Voltaire, Galileo Galilei dan lain-lain.

(2)

Dalam situasi seperti ini, Rousseau hadir dengan memberikan kerangka filosofis ihwal kebebasan manusia yang kemudian dikaitkan dengan proses-proses politik. Pemikiran Rousseau, seperti yang disitir Henry J. Schmandt, sangat mengagungkan satu proses demokrasi langsung, dimana semua orang, bukan kelas istimewa atau beberapa orang yang terpilih, ikut serta.1

Periode kehidupan Rousseau adalah momen dimana fondasi revolusi industri diletakan, mesin uap diciptakan, dan orang-orang Eropa melakukan penjelajahan hingga Asia, Amerika Utara dan Pasifik. 2 Rousseau berkontribusi

tidak hanya pada satu bidang saja. Semasa hidupnya, ia terkenal sebagai seorang novelis, komposer dan juga seorang pemikir politik. Situasi pencerahan serta pencapaian tekhnologi yang sangat maju berjasa untuk mempertanyakan kemapanan politik dan agama.3 Penanaman dan penyebaran ajaran moral oleh

gereja mulai dikritik oleh para pemikir yang meski tidak banyak tapi cukup berpengaruh. Mereka yang tidak merasa takut dengan hukuman dunia atau akhirat.

Rousseau memaparkan filsafat politiknya dalam karya yang kerapkali menjadi bahan rujukan dalam bidang politik, On Social Contract. Menurut Rousseau, keluarga adalah masyarakat politik pertama.4 Penguasanya adalah

sang ayah dan anak-anak adalah rakyatnya.5 Mereka semua dilahirkan sama

dalam kebebasan dan kesetaraan.

Dari kehidupan yang awalnya sama itu, Rousseau menekankan pentingnya menghancurkan pemberhalaan terhadap akal tersebut. Manusia yang dikondisikan demikian itulah yang dikritik oleh Rousseau. Bagi Rousseau,

1 Henry J. Schmandt, A History of Political Philosophy, terj. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), 409-410.

2 Christopher D. Wraight, Rousseau’s The Social Contract: A Readers Guide, (New York and London: Continuum International Publishing Group, 2008), 1.

3 Ibid., 2

4 Jean-Jacques Rousseau, On Social Contract, terj. G.D.H.Cole (New York: Dover Publications, 2003), 2.

(3)

perkembangan teknologi itu menyebabkan manusia menjadi makhluk yang rakus dan melakukan eksploitasi secara besar-besaran. Pengagungan terhadap rasio hidup dalam memori kolektif pemikir abad pencerahan. Wajar jika kemudian Rousseau mengajak pentingnya untuk memahami keadaan alamiah (state of nature). Manusia sebagai makhluk yang mementingkan emosi, perasaan dan tidak mendewakan rasio serta tidak menganggap manusia sekadar jasad tanpa ruh.

Manusia harus kembali ke alam, jika ia ingin menjadi dirinya dan terhindar dari kehancuran total. Dalam keadaan alamiah, ia pada dasarnya manusia yang baik. Ia tidak menghendaki perang dan konflik. Sebab manusia bukanlah manusia yang suka berperang. Karenanya, perang bukanlah fenomena alamiah (natural phenomenon) melainkan fenomena sosial (social phenomenon). Perang terjadi jika ada pergeseran dari yang alamiah ke yang sosial.

Dalam keadaan alamiah, manusia memiliki kebebasan mutlak. Kebebasan merupakan determinan yang membuat manusia menjadi manusia alamiah. Rousseau mengidealisasikan manusia yang liar tetapi baik, yang selalu mementingkan keutamaan seperti orang-orang di zaman Romawi Kuno. Ia tidak baik dan buruk, tetapi juga tidak egois dan altruis, hidup polos dan mencintai diri secara spontan.

Manusia yang alamiah adalah manusia dalam keadaan bebas sejak dilahirkan. Tetapi, kebebasan itu kemudian menyebabkan ketidakbebasan karena ia bersentuhan dengan waktu, tempat, adat serta pembatasan yang melibatkan lembaga ekonomi dan politik. Rousseau mengatakan, man, is born

free and everywhere he is in chains .6

Kebebasan menurut Rousseau adalah keadaan tidak terdapatnya keinginan manusia untuk menaklukkan sesamanya. Manusia merasa bebas dari rasa ketakutan akan kemungkinan terjadinya penaklukan atas dirinya secara

(4)

persuasif maupun kekerasan. Kebebasan juga diartikan sebagai hak untuk melakukan sesuatu yang orang lain tidak diperkenankan melakukannya. Di sisi lain istilah yang sama bisa dipahami sebagai keadaan dimana keadilan sepenuhnya ditegakkan. Jika diterapkan dalam kehidupan sosial, kebebasan dalam pengertian itu dapat membuat manusia merdeka, tidak terbelenggu.

Terkait dengan makna kebebasan ini, Rousseau dalam Bab Civil State, memetakan tentang dua kebebasan, alamiah dan sipil. Apa yang hilang dari manusia karena kontrak sosial adalah kebebasan alamiahnya dan hak yang tidak terbatas untuk melakukan sesuatu. Yang ia dapatkan kemudian adalah kebebasan sipil. Kebebasan alami diikat oleh kekuatan individu. Sementara kebebasan sipil dibatasi oleh general will dan kepemilikan. Kata Rousseau, kebebasan sipil yang demikian hanya bisa ditemukan dalam apa yang ia sebut sebagai a positive title.7

Menurut Rousseau, negara merupakan produk perjanjian sosial. Individu dalam masyarakat membatasi apa yang dimilikinya dan dileburkan pada satu kekuasaan bersama. Kekuasaaan bersama ini kemudian dinamakan negara, kedaulatan rakyat, kekuasaan negara atau istilah lain yang memiliki kemiripan makna dengannya. Dengan menyerahkan hak itu, individu itu tidak kehilangan kebebasan atau kekuasaannya.

Negara menjadi berdaulat karena mendapatkan mandat dari rakyat. Negara diberi mandat oleh rakyat untuk mengatur, mengayomi dan menjaga keamanan maupun harta benda mereka. Kedaulatan negara akan tetap absah selama negara menjalankan fungsi-fungsinya sesuai dengan kehendak rakyat. Negara harus selalu berusaha mewujudkan kehendak umum.

Bila menyimpang dari kehendak atau kemauan rakyat, keabsahan kedaulatan negara akan mengalami krisis. Dari segi ini, teori negara berdasarkan kontrak sosial merupakan antitesis terhadap hak ketuhanan raja. Dengan teori

(5)

sosialnya, Rousseau membalikan sumber kekuasaan dari legitimasi Tuhan ke manusia.

Selain itu, pemikirannya yang menonjol adalah bahwa komunitas orang-orang kecil dalam negara kota yang kecil, mempunyai tanggung jawab bersama bukan hanya untuk kepentingan individu tetapi juga untuk kebaikan kolektif.8

Konsepsi semacam ini hanya bisa diwujudkan dalam sebuah model demokrasi modern.

Konstruksi dasar pemikiran Rousseau semacam inilah yang mengilhami gagasannya tentang agama sipil. Dalam Buku IV, Rousseau membagi pembahasan menjadi tiga bagian. Pertama, Rousseau membahas mengenai sejarah agama dan relasinya dengan kekuatan negara dari masa kuno hingga sekarang. Kedua, Rousseau memberikan gambaran mengenai klasifikasi umum tentang agama; agama manusia (the religion of man), agama masyarakat (the religion of the citizen) dan agama para imam (the religion of the priests). Dan

bagian ketiga, Rousseau memberikan solusi, semacam possitive programme seperti yang pernah ia tulis dalam Letter to Voltaire.9

Bentuk awal pemerintahan menurut Rousseau adalah teokrasi.10 Teokrasi

mengarah pada politeisme; dalam setiap kelompok masyarakat ada Tuhan. Keadaan ini dijelaskan oleh Rousseau bahwa politeisme hadir karena kemunculan bangsa. Bangsa atau kelompok masyarakat yang berbeda, tidak mungkin akan tunduk pada satu kekuasaan yang sama. Dalam bahasanya Rousseau, Dua rakyat yang asing satu sama lain, dan hampir selalu bermusuhan, tidak mungkin mengakui majikan yang sama dalam waktu lama:

8 Ibid.

9 Christopher Bertram, Rousseau and The Social Contract, (London and New York: Routledge, 2004), 179.

(6)

dua angkatan bersenjata yang sedang berperang tidak akan dapat mematuhi pemimpin yang sama .11

Dalam masyarakat pagan, setiap bangsa atau negara memiliki kepercayaan terhadap dewa.12 Mestinya, dalam keadaan seperti ini tidak ada perang agama.

Mereka sudah berada dalam keyakinannya masing-masing. Menyembah terhadap Dewa yang diyakini dalam lingkaran masyarakatnya. Namun penting untuk dicermati bahwa setiap kelompok itu tidak membedakan antara kekuasaan politis dan teologis, karena bersifat teokratis. Dalam masyarakat seperti itu, kejahatan terhadap negara juga merupakan kejahatan terhadap agama. Setiap agama terikat pada satu undang-undang negara.

Kekristenan kemudian merubah pola ini. Mereka melakukan pemisahan urusan agama dan negara. Para penganut pagan melihat penganut Kristen ini sebagai pemberontak yang sesungguhnya.13 Mereka mematuhi secara munafik,

dan berusaha untuk memerdekakan diri serta menjadi majikan. Orang Kristen itu kemudian berganti wajah dan berganti bahasa. Dalam sebuah kerajaan duniawi, apa yang kemudian disebut sebagai kerajaan akhirat itu menjadi despotisme yang paling bengis.14 Kekuasaan ganda (agama dan negara) ini

menjadikan konflik yurisdiksi. Sehingga tidak mungkin diciptakan suatu pemerintahan yang baik di negara Kristen. Kata Rousseau, orang tidak pernah berhasil mengetahui, siapa di antara majikan dan pstor yang wajib mereka patuhi. 15

Rousseau memberikan apresiasi kepada Thomas Hobbes yang telah berhasil mencermati kelemahan dari model negara yang memisahkan urusan negara dan agama yang dikenalkan semasa Kekristenan.16 Hobbes mengusulkan

(7)

untuk mengembalikannya kepada kesatuan politik karena jika tidak, pemerintah tidak akan mungkin dibentuk dengan baik. Meski tidak mudah untuk merealisasikannya karena kepentingan pastor selalu akan lebih kuat daripada kepentingan negara.17

Rousseau kemudian menjelaskan tentang tiga kategori agama, yakni agama manusia dan agama masyarakat.18 Rousseau juga menyinggung tentang agama

yang ketiga, the religion of priest. Tentang model ketiga itu, Rousseau tidak memaparkannya dengan detail, tapi ia melihat bahwa tiga agama yang ia ulas hampir semuanya tidak bisa dijalankan secara baik dalam sebuah komunitas masyarakat.19

Agama manusia menurut Rousseau adalah agama yang menekankan pada aspek moralitas dan penyembahan kepada Tuhan.20 Rousseau menyebut juga

agama ini sebagai the religion of Gospel. 21 Agama manusia semata-mata

merupakan pemujaan terhadap Tuhan dalam hati masing-masing dan pada kewajiban moral yang abadi. Pengabdian penganut agama ini terhadap Tuhannya tidak memerlukan altar, kuil ataupun ritus. Agama ini murni semata-mata keyakinan privat atau individual.

Sementara, agama masyarakat adalah agama sebuah masyarakat yang dipeluk suatu bangsa.22 Agama ini berlaku di suatu negeri, memberikan

dewanya, pengayom masing-masing atau pelindung. Agama ini terorganisir dan hirarkis serta terikat dengan dogma-dogma formal. Agama ini mengajarkan cinta tanah air, ketaatan pada negara dan nilai-nilai pengorbanan. Selain bangsa yang menganutnya, dianggap kafir, asing dan biadab.

(8)

Di luar agama manusia dan agama masyarakat, ada jenis agama yang ketiga. Agama ini memberikan kepada manusia dua undang-undang, dua pemimpin, dua tanah air, memaksakan dua kewajiban yang bertentangan dan yang menghalangi mereka untuk menjadi orang saleh dan warga negara sekaligus. Ketiga agama ini buruk.

Dalam Letter to Voltaire yang ditulis pada 1756, Rousseau menjabarkan membedakan tiga aspek dalam agama; keyakinan pribadi, doktrin dan perilaku.23 Yang pertama, tidak bisa diintervensi oleh negara. Yang menjadi

fokus dari otoritas politik adalah merubah perilaku seseorang yang berkaitan relasinya dengan masyarakat yang lebih luas. Dalam Letter inilah Rousseau mulai mengenalkan civil profession of faith dimana seseorang harus mengakui kaidah atau kode moral. Sementara fanatisme harus ditolak, bukan karena tak tak beriman tetapi karena memberontak. Semua warga negara bebas untuk memilih agama selama itu memiliki keselarasan dengan kode moral bahan seseorang bisa mengadopsi kode tersebut sebagai agamanya.

Tulisan Rousseau di Social Contract menyinggung kembali soal civil

profession of faith.24 Ini bukanlah dogma agama, tetapi sentimen sosial atau

kebersamaan sosial, dimana pembuat aturannya adalah pemimpin negara. Kata Rousseau, absennya kebersamaan sosial itu sulit untuk menciptakan warga negara yang baik dan setia. Pemerintah boleh mengusir warga negara yang tidak bisa hidup dalam sebuah kesepakatan bersama ini. Rousseau kembali menegaskan apa yang ia tulis di Letter, bahwa itu dilakukan bukan karena warga itu kafir, tetapi karena mereka tidak bisa hidup bermasyarakat atau tidak mampu menjalankan perintah seperti yang tertuang dalam undang-undang.

Dengan agama sipil Rousseau hendak membangun kesatuan masyarakat afektif dimana pluralisme dan toleransi dapat berjalan dan berkesinambungan

23 Jean-Jacques Rousseau, Letter to Voltaire 1756, http://www.indiana.edu/~enltnmt/texts/JJR%20letter.html. Diakses pada 7 Agustus 2014.

(9)

dengan masyarakat yang bebas.25 Setidaknya ada dua hal pokok mengapa agama

sipil ini merasa perlu untuk diwacanakan. Pertama, agama sipil perlu dimunculkan untuk memberikan sistem kepercayaan pengganti bagi mereka yang kepercayaannya telah dihancurkan oleh kekuatan-kekuatan pencerahan. Kedua, selain itu agama sipil bertujuan untuk menyelaraskan dan mencari

kesinambungan antara agama dan politik.

Agama sipil merupakan otoritas baru sebagai sumber legitimasi untuk menentukan batas-batas yurisdiksi dan memberikan persetujuan-persetujuan transendental. Untuk kedua persoalan tersebut di atas Rousseau menawarkan gagasan agama sipil. Disebut sebagai agama, karena dia menginginkan sumber otoritas yang bebas dari rezim yang berkuasa (negara), dan disebut sipil karena dia menginginkan bebas dari pengaruh gereja.26

Bagi Rousseau, agama sipil tetaplah harus memiliki dogma. Dan dogma yang dikembangkan agama model ini haruslah sederhana. Mempercayai eksistensi Tuhan, kehidupan yang akan datang, pahala bagi yang berbuat baik, hukuman bagi yang berbuat jahat, sanksi dari kontrak sosial dan hukum.27 Hal

tersebut adalah dogma positif dari agama sipil. Sementara dogma negatif, kata Rousseau adalah menolak intoleransi.28

Rousseau menekankan bahwa intoleransi dalam bidang politik dan agama tidak bisa dipisahkan. Tidak mungkin seorang hidup damai dengan orang yang dianggap murtad, menyukai berarti membenci Tuhan yang menghukumnya, sehingga tidak boleh tidak, mereka harus disadarkan , kata Rousseau.29 Sikap

seperti ini tentu memiliki dampak sosial. Rousseau seperti hendak menekankan bahwa ajaran agama yang bersifat eksklusif harus direinterpretasi. Dalam sebuah negara, tidak boleh ada agama nasional yang eksklusif. Sepanjang

25 Christopher Bertram, Rousseau and The Social Contract ... 188. 26 Jean-Jacques Rousseau, On Social Contract..., 93-95.

(10)

dogmanya toleran dan tidak bertentangan dengan kewajiban negara, maka agama apapun harus diterima.

Sebagai kesimpulan dari apa yang disampaikan Rousseau, agama sipil berarti bahwa ia merupakan suatu kesetiaan warga masyarakat yang diikat oleh sebuah kontrak sosial yang merupakan hasil kesepakatan diantara mereka untuk mencapai bersama-sama kehendak umum mereka (general will), yakni keadilan dan kesejahteraan bersama.30 Jika kehendak umum tersebut dipahami

secara seksama dan dianggap memiliki nilai transendental, maka adalah tugas setiap warga negara untuk menjalankan perannya dengan baik di masyarakat sehingga berguna bagi sesamanya. Terhadap pemahaman imaniah seperti inilah pemerintah perlu mengaturnya dalam berbagai aturan, bukan sebagai dogma, tetapi sebagai suatu tuntutan sosial yang tanpanya, seseorang tidak bisa menjadi warga negara yang baik atau rakyat yang setia. Pemahaman imaniah seperti itu tidak sama dengan agama seseorang.31

Sebagai teoritikus agama sipil, Rousseau mengandaikan negara yang menjadi lokus dari otoritas politik harus memperhatikan klaim otoritas yang berasal dari agama.32 Ada dua jalan menafsirkan gagasan agama sipil di sini.

Pertama, ini yang oleh disebut oleh Ronald Beiner sebagai pembacaan konvensional terhadap ide Rousseau. Membiarkan agama dan politik sebagai dua urusan yang terpisah satu dengan lainnnya. Tidak ada dialog karena dua hal itu sesuatu yang terpisah secara ketat. Sementara tafsir yang kedua adalah menjadikan agama serviceable terhadap politik dan kewarganegaraan.33 Poin

yang kedua itu, kata Beiner membangun semacam domestikasi agama, dan ini

30 John A. Titaley, Negara, Agama-agama dan Hak Asasi Manusia: Mengkaji Ulang

Eksklusivisme Agama , Makalah Disampaikan sebagai studi tematik dalam Sidang Raya X)V Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) di Wisma Kinasih Caringin Bogor tanggal 1 Desember 2004, 4.

31 Ibid.

32 Ronald Beiner, Civil Religion: A Dialogue in the History of Political Philosophy, (Cambridge University Press, 2011), 413.

(11)

adalah titik tekan dari liberalisme. Ada pemisahan (segregasi) terhadap agama dan politik, bukan subordinasi.

Rousseau mendeskripsikan gagasan agama sipil sebagai respon dari sebuah konteks. Maka dari itu ide Rousseau juga harus dipahami sesuai konteksnya. Jika kita mencermati pemikiran yang berkembang sebelum era Pencerahan, maka identifikasi seseorang selalu dikaitkan dengan identitas primordialnya; gereja, ras dan suku. Tetapi setelah pencerahan, mereka seperti kembali pada dirinya sendiri. Proses individualisasi bergerak cepat. Ikatan primordial tercerabut. Dalam konteks inilah ide social contract serta agama sipil Rousseau dipahami. Ia seperti hendak menyambungkan ikatan primordial yang pudar akibat Pencerahan. Rousseau menyadari pentingnya membangun kohesi sosial tersebut. Karena manusia tidak mungkin bisa memperjuangkan kehidupannya secara eksklusif. Bahkan ketika seseorang harus untuk kepentingan dirinya sendiri pun mereka harus berjejaring. Disini kita bisa memahami ide Rousseau soal penyerahan sebagian dari hak warganya kepada kolektifitas atau negara.

Kemunculan wacana civil religion pada masa Rousseau terjadi ketika negara kehilangan fondasi moral (bisa dikatakan juga basis agama) akibat proses individualisasi akibat pencerahan itu. Makanya ada kuasi agama yang menggantikan semen agama itu. Sebuah basis moral agama yang dihancurkan oleh pencerahan.

Dari komentar Rousseau, ada beberapa catatan yang bisa dipetik tentang diskursus agama sipil ini. Pertama, agama adalah kebutuhan manusia. Kita memerlukan sesuatu untuk dipercayai, yang menginspirasi iman dan devosi. Kedua, agama menyediakan rasa untuk bersatu, memiliki dan persaudaraan.

Ketiga, agama dapat memastikan ketaatan atau kepatuhan terhadap kode

(12)

merupakan seperangkat kepercayaan dimana semua masyarakat merasa memerlukan dan memegangnya tanpa bertentangan dengan keyakinannya. Keenam, pengakuan publik oleh seluruh masyarakat terhadap agama sipil

menciptakan dasar bagi kesatuan masyarakat. Ketujuh, partisipasi bersama oleh semua masyarakat dalam bangunan agama sipil akan menyebabkan masyarakat saling mengakui satu dengan yang lain sebagai warga dari sebuah negara negara, bukan sebagai pengkhianat negara atau orang luar yang kebetulan bertetangga. Kedelapan, agama sipil didasarkan pada ajaran yang sedikit dan dapat diterima dengan alasan.

B.Teori Agama sipil Durkheim

Ivan Varga menulis, bahasan mengenai moralitas menempati posisi sentral dalam pemikiran sosiologi Durkheim.34 Varga menambahkan kalau gagasan

mengenai moralitas itu tercermin dalam apa yang oleh Durkheim disebut sebagai kesadaran kolektif.35 Karenanya, konstruksi agama sipil dalam

pemikiran Durkheim sangat erat kaitannya dengan apa yang oleh Durkheim disebut collective consciousness ini.

Tidak seperti Rousseau, Durkheim dalam karyanya tidak menyebut langsung tentang apa yang dimaksud dari civil religion atau agama sipil. Robert N. Bellah dalam kata pengantar untuk kumpulan tulisan Durkheim On Morality and Society , yang menyebut Durkheim sebagai teolog agama sipil. Bellah mengatakan, He was a high priest and theologian of civil religion in the Third Republic and a prophet calling not only modern France but modern Western

generally to mend its ways in the face of a great social and moral crisis.36

34)van Varga, Social Morals, the Sacred and State: Regulation in Durkheim s Sociology ,

Social Compass53(4), 2006, 457 35 Ibid.

(13)

Beberapa penulis agama sipil mengaitkan bentuk-bentuk dasar keyakinan keagamaan seperti yang didedah Durkheim dengan format dasar agama sipil.37

Gagasan Durkheim tentang moralitas, kesadaran kolektif dan kohesi sosial yang menjadi basis dari teori agama sipil itu tercermin dalam beberapa karyanya seperti Division of Labour in Society, The Elementary Forms of Religious Life serta On Morality and Society. Jika Rousseau memunculkan istilah mengenai agama

sipil, Durkheim menemukan dasar yang asasi dari agama sipil tersebut.38

Terkait dengan masyarakat, agama, kata Durkheim sebagaimana dikutip oleh Swidler dan Mojzes, telah melahirkan banyak sesuatu yang esensial dalam masyarakat. Kita dapat memantapkan fakta bahwa kategori-kategori fundamental dari pemikiran dan konsekuensi pengetahuan adalah asal-usul agama. Dalam perkembangannya, banyak institusi sosial yang besar, lahir dalam agama.39

Pertama-tama, Durkheim dengan tegas mematahkan argumen dari E.B Tylor dan Frazer yang mengatakan bahwa masyarakat primitif sepenuhnya memahami hal yang tertinggi dari kehidupan keberagamaan sebagai sesuatu yang supernatural.40 Durkheim juga membantah dikotomi bahwa ada

supernatural di satu sisi dan natural di sisi lain. Dikotomi ini hanya ada pada

37 Lihat dalam Marcela Cristi, From Civil to Political Religion: The Intersection of Culture,

Religion and Politics Wilfrid Laurier University Press, , Sergej Flere, The Broken Covenant

of Tito s People: The Problem of Civil Religion in Communist Yugoslavia , East European Politics

and Societies 2007; 21, Seong Hwan C(A, Korean Civil Religion and Modernity , Social Compass

; , John A. Coleman, Civil Religion dalam Sociological Analysis, 31. Summer 1970 dan NJ

Demerath ))), Civil Society and Civil Religion as Mutually Dependent , dalam Michele Dillon ed ,

Handbook of the Sociology of Religion (Cambridge University Press, 2003).

38 Dalam buku ini ditegaskan oleh Durkheim bahwa format dasar dari agama adalah totemisme. Tentang hal tersebut Durkheim mengatakan, what is fundamental to totemism is that the people of the clan, and the various beings whose form the totemic emblem represents, are held to be made of the same essence. Once that belief was accepted, the disparate realms were bridged . Emile Durkheim, The Elementary Forms of Religious Life (New York: Free Press, 1995), 238.

39 Leonard Swidler dan Paul Mojzes, The Study of Religion in an Age of Global Dialogue (Philadelpia: Temple University Press, 2000), 1.

(14)

masyarakat modern dan bukanlah bagian dari sistem kepercayaan masyarakat primitif.

Dalam Elementary Form, karya yang berusaha untuk melihat bentuk-bentuk awal dari kepercayaan ini, Durkheim melihat bahwa setiap masyarakat memiliki keunikannya tersendiri dalam soal keyakinan. Durkheim mendefinisikan agama dari sudut pandang yang sakral. )ni berarti agama adalah kesatuan sistem keyakinan dan praktek-praktek yang berhubungan dengan suatu yang sakral. Sesuatu yang disisihkan dan terlarang, keyakinan-keyakinan dan praktek-praktek yang menyatu dalam suatu komunitas moral yang disebut Gereja, dimana semua orang tunduk kepadanya atau sebagai tempat masyarakat memberikan kesetiaannya .

Pengamatan selanjutnya, Durkheim menemukan karakteristik paling mendasar dari setiap kepercayaan agama bukanlah terletak pada elemen-elemen supernatural seperti yang telah dikemukakan di atas, melainkan terletak pada konsep tentang yang sakral dimana keduanya yaitu supernatural

dan yang sakral, memiliki perbedaan yang mendasar. Menurut Durkheim,

seluruh keyakinan keagamaan manapun, baik yang sederhana maupun yang kompleks, memperlihatkan satu karakteristik umum yaitu memisahkan antara yang sakral sacred dan yang profan (profane), yang selama ini dikenal dengan natural dan supernatural. Durkheim menambahkan bahwa hal-hal yang bersifat sakral selalu diartikan sebagai sesuatu yang superior, berkuasa, yang dalam kondisi normal hal-hal tersebut tidak tersentuh dan selalu dihormati. Hal-hal yang bersifat profan merupakan bagian keseharian dari hidup dan bersifat biasa-biasa saja.

(15)

Maka, Durkheim mengingatkan bahwa dikotomi tentang yang sakral dan yang profan hendaknya tidak diartikan sebagai sebuah konsep pembagian moral, bahwa yang sakral sebagai kebaikandan yang profan sebagai keburukan. Menurut Durkheim, kebaikan dan keburukan sama-sama ada dalam yang sakral ataupun yang profan . (anya saja yang sakral tidak dapat berubah menjadi profan dan begitupula sebaliknya, yang profan tidak dapat menjadi yang sakral. Dari definisi ini, konsentrasi utama agama terletak pada hal-hal yang sakral.

Yang sakral, kata Durkheim, adalah tidak lain dari masyarakat itu sendiri. Karena masyarakat melibatkan kelompok yang lebih besar dan terkait dengan kesejahteraan dari komunitas yang besar. Sementara yang profan adalah masalah-masalah kecil yang mencerminkan kegiatan individu sehari-hari. Mereka, lanjut Durkheim, memiliki kesadaran bersama (collective consciousness) dalam sebuah ritual.41 Upacara itu untuk memilah warna kehidupan yang sakral

dari yang profan.

Hemat penulis, inilah filosofi dari apa yang oleh Rousseau disebut sebagai agama sipil tersebut. Durkheim berpendapat bahwa format dasar dari kepercayaan itu berasal dari kolektifitas individu yang menyatukan asas moralnya. Agama disini berperan lebih sebagai ekspresi masyarakat yang terintegrasi bukan sebagai sumber integrasi masyarakat.

Asosiasi manusia didasarkan atas klan ataupun karena adanya kesamaan tujuan ataupun kesamaan tradisi yang melakukan penyatuan berdasarkan substansi moralitas yang dikandung. Mereka menyadari semua itu sebagai sebuah collective consciousness. Durkheim menyebut kesadaran kolektif itu hanya akan muncul saat mereka mengalami semacam collective effervescent dimana semua kepentingan-kepentingan individu menyatu dalam sebuah

(16)

kolektifitas masyarakat.42 Disinilah hakikat dari agama sipil itu bisa ditemukan.

Ada kepentingan bersama yang menjadi kesepakatan dari tiap-tiap anggota kelompok.

Penulis melihat bahwa dengan model ini, Durkheim hendak menyambungkan format dasar dari agama dengan integrasi. Jadi bukan lantas agama yang menghasilkan masyarakat yang terintegrasi, tetapi lebih pada bahwa fenomena tersebut memiliki kualitas keberimanan. Sekumpulan orang pada taraf tertentu yang membentuk sebuah masyarakat, secara otomatis akan melahirkan sebuah agama yang dipeluk secara publik. Dan karena keunikannya itulah, dengan mengikuti cara berpikir Durkheim, maka tidak ada masyarakat tanpa agama. Durkheim menunjukkan masyarakat sebagai fakta unitas, tidak semata-mata kenyataan keagamaan.

Jika dikaitkan dengan tesis agama sipil, maka gagasan Durkheim tentang agama, bukan tidak mungkin akan menemukan pelbagai kerumitan. Ketika berbicara soal integrasi, pengalaman unitas serta praktek ritus yang diekspresikan, maka yang kita baca dari gagasan Durkheim itu adalah praktek totemik dari masyarakat Arunta. Pengalaman semacam ini, rentan ketika dihadapkan pada klaim generalisasi. Apakah gagasan agama Durkheim seperti yang muncul dalam Elementary Form itu merupakan suatu yang universal atau tidak.

Menurut Hammond, interpretasi umum terhadap tesis Durkheim bahwa sebuah masyarakat akan terintegrasi sebanding dengan tingkat sejauhmana ia memiliki sebuah agama umum, didasarkan pada dua kekuatan.43 Pertama, istilah

utama dalam tesis itu dibalik, sehingga suatu masyarakat terintegrasi, ekspresi integrasinya akan berlangsung sedemikian rupa sehingga bisa kita sebut agama. Kedua, karena konflik jelas membahayakan integrasi sosial, maka resolusi

42 Ibid., 238.

(17)

konflik berlangsung kemungkinan merupakan sebuah peristiwa yang mengekspresikan agama ini.

Dalam diskursus agama sipil, ketika konflik terjadi, maka gereja tidak dapat menyelesaikan konflik antar gereja misalnya. Disini, diperlukan institusi hukum untuk menyelesaikannya. Institusi hukum memiliki peran dalam perkembangan agama sipil.

C. Perbandingan Rousseau dan Durkheim

Konstruksi awal dari agama sipil baik Rousseau maupun Durkheim sesungguhnya merupakan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan kemasyarakatan. Rousseau mencoba mengajukan agama sipil sebagai cara untuk membangun masyarakat ideal sementara Durkheim melihat kualitas keagamaan dalam satu masyarakat.

Bagi Rousseau, agama sipil dikonstruksi secara top-down sebagai sumber artifisial dari civic virtue.44 Durkheim, berbeda dari Rousseau melihat agama

sipil sebagai gerak sebaliknya yakni suatu pengalaman sosial yang dalam.45

Perbedaan kesimpulan yang dihasilkan oleh keduanya bisa dimengerti karena Rousseau dan Durkheim berangkat dari dua latar belakang keilmuan yang berbeda. Dalam Social Contract, Rousseau mengelaborasi banyak tema terkait dengan struktur dan infrastruktur sebuah negara. Sebagai seorang yang bergelut dengan tradisi filsafat politik abad pencerahan, Rousseau mengetengahkan tema agama sipil dalam relasinya dengan struktur negara dan pemerintahan. Kegelisahan Rousseau ketika mengkritik tiga model agama yang disinggungnya dalam Social Contract adalah karena ketiganya tidak mampu memberikan solusi kepada rakyat di sebuah negara untuk menjadi warga negara dan warga agama yang baik.

44 N.J. Demerath ))) dan Rhys (. Williams, Civil Religion in Uncivil Society , ANNALS,

(18)

Bagi Durkheim, dasar yang paling hakiki dari agama sipil bukanlah dalam kaitannya dengan negara.46 Sebagai sosiolog fungsionalis, Durkheim mengamati

momentum yang jauh lebih mengakar dari masyarakat yakni soal kesadaran kolektif. Setelah melakukan studi terhadap bentuk-bentuk dasar dari kehidupan keagamaan dengan mengambil sampel Suku Aborigin di Australia, Durkheim sampai pada satu konklusi; jika agama diberikan kepada semua sebagai suatu yang esensial dalam masyarakat, maka itu karena ide masyarakat adalah jiwa dari agama.47 Kohesi sosial merupakan tema utama dalam perbincangan itu.

Meski Durkheim tidak berbicara dalam konteks yang luas dalam menelaah dasar dari agama, namun Durkheim tentu saja tidak menegasikan kemungkinan hadirnya masyarakat yang lebih luas dari Suku Aborigin. Penekanannya terhadap komponen sebuah masyarakat yang percaya terhadap afeksi dari kolektifitas yang dikembangkan melalui sentimen dan ritual keagamaan. Bagi Durkheim, setiap kelompok, atau lebih tepatnya setiap masyarakat memliki dimensi keagamaan.48

Rousseau membangun teori agama sipil sebagai bagian dari momen politik-kenegaraan, sementara Durkheim (dalam Elementary Form) menimbang gagasan elementer dari agama sipil sebagai suatu kesadaran bersama dalam masyarakat. Jika kesadaran masyarakat menjadi sentrum, maka berdasarkan dua konstruksi awal agama sipil, penulis menyimpulkan ada dua bangunan teori mengenai agama sipil.

Pertama adalah teori sentrifugal dimana konstruksi agama sipil bergerak

menuju pusat, dari masyarakat menuju idealitas bernegara seperti yang digambarkan Rousseau. Kedua, teori sentripetal yakni kesadaran kolektif, civic morals, sebagai poros dari pandangan tersebut dengan merujuk pada pandangan

46 Bandingkan dengan )van Varga, Social Morals, the Sacred and State… 47 Emile Durkheim, The Elementary Forms. . .419.

(19)

Durkheim. Gambaran tentang bagaimana gabungan dari dua konsepsi teoritik ini bisa kita dapati dalam paparan Bellah tentang agama sipil di Amerika.

Agama Sipil Amerika: Robert N. Bellah

Tak dapat disangkal, diskursus agama sipil menemukan momentumnya ketika Robert N. Bellah menulis risalah yang berjudul Civil Religion in America.49

Bellah menelaah dasar kehidupan masyarakat Amerika dimana perkembangan kehidupannya tidak lepas dari hadirnya momenbersama yang olehnya dikenal sebagai agama sipil. Dilihat dari waktu keluarnya gagasan tersebut, bisa ditegaskan di sini, kalau tema itu lahir tidak lama setelah pembunuhan Presiden John F. Kennedy.

Menurut Bellah, agama sipil adalah dimensi keagamaan publik yang terekspresikan dalam seperangkat keyakinan, simbol dan ritual.50 Dimensi

keagamaan itu ada dalam kehidupan setiap masyarakat, melalui interpretasinya terhadap pengalaman sejarahnya dalam pancaran realitas transenden.51

Dalam masyarakat Amerika, agama memiliki kedudukan yang cukup penting. Orang Amerika mendonasikan uang dan waktunya untuk institusi keagamaan.52 Lebih dari 40 persen, bangsa Amerika mendatangi pelayanan

ibadah setiap minggu dan 60 persen dari mereka merupakan anggota dari

49Robert N. Bellah, Civil Religion in America , Daedalus , , -22. Reprinted in

Robert Bellah, Beyond Belief: Essay on Religion in a Post-Traditional World (University of California Press, 1980), 168-189.

50 Robert N. Bellah, Beyond Belief… .

51 Robert N Bellah, The Broken Covenant: American Civil Religion in Time of Trial (University of Chicago Press, 1992), 3. Bandingkan dengan definisi John A. Coleman tentang agama sipil. Menurut Coleman, civil religion is the mystic chord of communal memory which ties

together both a nation’s citizenry and the episodes of its history into a meaningful identity by using significant national beliefs, events, persons, places, or documents to serve as symbolic repositories of the special vocational significance of the nation-state in the light of a more ultimate or transcendent bar of judgment: ethical ideals, humanity, world history, being, the universe or God. John Coleman, An American Strategic Theology (New York: Paulist Press, 1982), 109.

52 Robert N. Bellah et.al., Habits of the Heart: Individualism and Commitment in American

(20)

perkumpulan keagamaan.53 David Leege menulis bahwa sekitar tiga per lima

atau tiga per empat dari warga Amerika merupakan bagian dari gereja-gereja, sinagog-sinagog atau perkumpulan keagamaan lainnya. Leege menambahkan jika 82 hingga 93 persen dari warga Amerika dewasa bersedia untuk menggunakan identitas agama mereka.

Tak hanya berfungsi sebagai afinitas, agama merupakan sesuatu yang dijalankan baik secara privat maupun publik. Mereka yang hadir dalam pelbagai kegiatan keagamaan seperti menghadiri ceramah keagamaan, justru lebih banyak dibanding dengan warga Amerika yang menonton program keagamaan di televisi dan mendengarkan acara-acara keagamaan di radio.

Dalam situasi keduniawian, gereja menanamkan berbagai keyakinan dan membentuk pandangan dunia. Gereja membangun struktur-struktur pemahaman, yakni pelbagai cara menghadapi teka-teki kehidupan serta menawarkan berbagai norma-norma sosial. Gereja juga membangun asumsi yang berbeda menyangkut kebaikan maupun kejahatan yang melekat pada diri manusia, merumuskan pemikiran-pemikiran bagi desain dan tujuan sistem-sistem politik, serta membangkitkan harapan akhir zaman.

Kaitannya dengan latar belakang etnis atau kedaerahan, kasus di Amerika kerapkali menunjukkan fakta kalau institusi keagamaan seringkali menutupi latar belakang etnis atau kedaerahan. Bagi sebagian besar warga Amerika Serikat, secara historis, politik mendahului agama. Sebagai contoh, mereka yang berasal dari Irlandia, Italia atau Polandia beragama Katolik. Jika berasal dari Saxony, Hanover atau Skandinavia, mereka beragama Lutheran. Jika mereka tumbuh di Utah atau Great Basin, mereka beragama Mormon, atau jika mereka tinggal di Deep South, mereka beragama Baptis Southern. Prinsipnya, segala

(21)

sesuatu di sekitar, tertata dan dengan serasi tersimpulkan oleh suatu afiliasi keagamaan.54

Disinilah pentingnya memahami agama dalam politik Amerika. Jika semua politik bersifat lokal, jelas banyak agama bersifat lokal. Kekhawatiran sempat muncul pada awal tahun 1980-an ketika para pemuka agama melihat perkembangan gereja elektronik yang bukan mustahil akan menggantikan perkumpulan keagamaan yang bersifat lokal.55 Tetapi ternyata kekhawatiran itu

tidak terbukti, karena yang terjadi adalah efek siaran keagaman di televisi tidak bersifat substitusi, tetapi kumulatif.

Budaya keagamaan Amerika bisa dilihat laiknya sebuah pasar. Di tempat mana pun, seseorang yang merasa terpanggil oleh Roh Kudus bisa mendirikan sebuah rumah untuk kebaktian dan layanan-layanan lainnya. Konsensus agama yang menggerakan lembaga akademis besar sampai akhir abad ke-19 mencair dari pemaknaan ulang mereka sendiri yang sekuler, dipengaruhi oleh munculnya institusi negara, kebutuhan nasional baru dan hadirnya lebih banyak lagi kaum Katolik, Yahudi dan Non Katolik atau Kristen di kalangan guru besar dan mahasiswa.56 Agama kemudian menjadi tema yang sangat membosankan

yang ditelaah sebagai sebentuk keingintahuan akan masa silam yang tersingkirkan. Berakar pada takhayul dan tribalisme, agama diperkirakan akan tergerus oleh dahsyatnya sekularisasi.

Tetapi, sekularisasi ternyata tidak membuat agama benar-benar hilang dari peredaran. Minat yang terhadap studi agama dan politik justru semakin menunjukkan gejala yang masif. Kebangkitan minat tersebut muncul melalui (1) kesadaran bahwa zaman keemasan tidak datang melalui kolaborasi negara dan universitas (2) kekecewaan terhadap gagasan bahwa Roh Ilahi berkembang

54 David C. Leege dan Lyman A. Kellstedt, Rediscovering the Religious Factor in American

Politics, terj. Debbie A. Lubis dan A. Zaim Rofiqi, Agama dalam Politik Amerika Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan Freedom Institute, 2006), 5.

(22)

dalam berbagai perang imperialistis dan program sosial yang bermaksud baik. (3) pengakuan bahwa masyarakat umum Amerika tidak pernah melakukan sekularisasi. (4) pelembagaan kembali program-program studi agama di kampus-kampus negeri dan swasta (5) pengakuan bahwa dalam masyarakat dengan budaya yang beragam, agama bisa menjadi kekuatan yang menyatukan dan memecah belah dan karena itu orang ingin tahu hal tersebut.57

Bagi generasi awal intelektual politik Amerika, mempelajari agama merupakan suatu yang tidak menyenangkan. Meskipun demikian, keyakinan Protestan arus utama sangat tertanam dalam budaya yang mendalam dari ilmu sosial pada zaman itu. Selain itu, memberikan banyak kepercayaan pada agama dalam interpretasi-interpretasi politik dianggap membahayakan struktur masyarakat. Agama kemudian menjadi faktor pembela manusia. Politisi-politisi memiliki andil atas kebodohan rakyat dengan menggunakan metafor-metafor keagamaan dalam kampanye mereka. Sebuah bangsa yang sangat beragam, sangat heterogen, dapat dipecah belah dengan sangat mendalam oleh agama. Singkatnya, politik Amerika melibatkan berbagai hubungan simbiosis antara para elit dan pemilih, tidak hanya menyangkut isu-isu ekonomi, tetapi juga menyangkut isu-isu yang menghubungkan pandangan-pandangan dunia keagamaan dan mobilisasi gereja.

Kata Leege, seharusnya ilmuwan sosial tidak perlu terkejut bahwa agama seperti halnya ekonomi, merupakan suatu kekuatan elektoral yang penting.58

Para teoritikus sosial telah lama menunjuk agama sebagai lem perekat yang menyatukan masyarakat, memberikan legitimasi atas perubahan sosial dan mendefinisikan banyak harapan dasar kita menyangkut tatanan politik.

Dalam konteks budaya, agama memenuhi semua fungsi dasar sebuah budaya dari perspektif kelompok-kelompok dan individu-individu. (1) identitas,

(23)

ia mengatakan pada kita siapa kita dan siapa saya. (2) norma-norma, ia mengatakan bagaimana kita seharusnya bertingkah laku (3) pemeliharaan tapal-batas, ia mengatakan kepada kita siapa dan perilaku apa yang bukan bagian kita.59 Namun sangat mungkin agama memiliki arti penting yang lebih besar bagi

pemeluk agama dari sekadar identitas, norma atau batas sosial lainnya karena dalam agama ada klaim mengenai yang sakral, abadi, penuh dengan makna puncak dari hidup.

Begitu pentingnya peran agama dalam masyarakat Amerika menghadirkan pelbagai bentuk pemikiran tentang posisi agama itu sendiri, apakah ia bersifat privat ataukah publik. Dalam buku Habits of the Heart ditunjukkan beberapa pandangan umum yang mengemuka dalam menanggapi persoalan ini.60 Ada

sebagian masyarakat Amerika yang memahami agama semata-mata urusan privat yang harus dijalankan oleh keluarga dan kongregasi lokal. Sementara yang lain ada yang memahami bahwa agama itu privat di satu sisi, tetapi juga menjadi sebuah kendaraan utama bagi ekspresi nasional bahkan urusan yang bersifat global. Meski orang Amerika secara umum menerima doktrin pemisahan Gereja dan negara, banyak dari mereka percaya, sebagaimana mereka selalu miliki bahwa agama memiliki peranan penting untuk bermain di aras publik.

Fenomena bagaimana agama direspon secara beragam oleh masyarakat Amerika tercermin dalam penegasan hasil penelitian Bellah dan kawan-kawan. Ia menemukan fakta tentang mereka yang menisbatkan agama dari apa yang ia pikirkan sendiri tentang agama. Salah satunya adalah Sheila Larson seorang perawat yang menyebut agamanya sebagai Sheilaism . Itulah salah satu respon masyarakat Amerika terhadap keyakinan yang dipeluknya.

(24)

Dalam sejarah Amerika sendiri, relasi antara bangsa dan agama selalu berkait dengan dua pandangan yang berkembang dalam masyarakat itu. Menurut Bellah, dua cara pandang itu masing-masing, Pertama, ide yang berasal dari gagasan keagamaan: satu masyarakat, satu iman. Kedua, gagasan yang tidak dikaitkan sama sekali dengan organisasi keagamaan; satu individu, satu iman.61

Fenomena Sheilaisme seperti yang disitir Bellah di atas merupakan salah satu ekspresi dari fenomena satu individu, satu iman.

Dalam sejarah perkembangan Kekristenan, ketegangan antara agama dan negara selalu menjadi warna dari rona kesejarahan Kristen itu sendiri. Ide mengenai pemisahan agama dan negara atau negara yang tidak memberikan kesempatan pada agama untuk terlibat di dalamnya adalah suatu hal yang modern dan meragukan.62 Kekristenan sendiri telah dicandra sebagai religious

legitimation bagi kebijakan negara-negara di Barat. Di Amerika, pemisahan

antara agama dan negara tidak memiliki dasar konstitusi.63 Meski begitu,

Kekristenan atau agama lain juga tidak menjadi agama negara.64

Tentang agama sipil, Bellah sendiri menyandarkan paparannya mengenai hal tersebut pada uraian Rousseau dan Durkheim. Dalam Beyond Belief, Bellah mengintrodusir gagasan tentang agama sipil di Amerika.65 Dengan sendirinya,

konsep agama sipil Amerika ini, sesungguhnya racikan yang bermula dari para pemikir Perancis. Bellah mengatakan di Amerika ada sebuah agama sipil yang tertata dan terlembagakan dengan baik, yang berjalan dengan, namun juga secara jelas dapat dipisahkan dan dibedakan dari Kekristenan. Artinya, agama sipil Amerika bisa dibedakan dari institusi agama sipil di pelbagai belahan

61 Robert N. Bellah and Frederick E. Grenspahn (eds), Uncivil Religion: Interreligious

Hostility in America (New York: Crossroad, 1987), 221

62Robert N. Bellah, Religionand the Legitimation of the American Republic , Society, no. 4, 1978, 16-23, reprinted as afterword in Robert N. Bellah, The Broken Covenant: American Civil Religion in Time of Trial (The University of Chicago Press, 1975), 169.

63 Ibid., 169.

(25)

negara lainnya karena di Amerika agama sipil terpisah dari gereja maupun negara.66

Bellah sendiri memahami bahwa hal itu bukanlah dimaksudkan sebagai national self-worship, melainkan sebagai bentuk ketundukan bangsa Amerika

pada prinsip-prinsip etika yang melampauinya dan dari sudut mana hal itu harus dinilai.67 Agama sipil itu sendiri, sejauh pembacaan penulis terhadap

pemikiran Bellah, sebenarnya justru muncul dari pelbagai ekspresi keberagamaan formal. Semangat keberagamaan itulah yang merupakan bagian dari apa yang disebut sebagai agama sipil.

Kala menelaah tentang ekspresi dari agama sipil Amerika, Bellah menemukan fenomena yang unik dalam dua momen, state funeral dan pidato-pidato Presiden Amerika saat diangkat menjadi kepala negara. Bellah misalnya mencoba menarasikan pidato pengangkatan John F. Kennedy saat menjadi presiden Amerika tahun . Kennedy mengucapkan tiga kali kata Tuhan .

Pertama ia mengatakan, ...karena saya telah menyatakan sumpah di hadapan

Anda sekalian dan Tuhan Yang Maha Kuasa. Kedua, ...keyakinan bahwa hak-hak manusia tidak datang dari pemberian negara, tetapi dari tangan Tuhan . Ketiga,

...karya Tuhan harus benar-benar menjadi karya kita .68

Menurut Bellah, kata Tuhan yang diucapkan Kennedy adalah cara yang dibuat untuk memperlihatkan sisa-sisa posisi agama di Amerika dewasa ini. Kennedy, ketika mengucapkan kata Tuhan, tentu tidak mengacu kepada Yesus Kristus atau Musa, atau Gereja Kristen. Dan tentu saja ia juga tidak mengacu kepada Gereja Katolik.69 Ia hanya mengacu kepada konsep Tuhan, sesuatu yang

bisa diterima oleh hampir semua orang Amerika.70

66John A Coleman, Civil Religion . . . -77. 67 Robert N. Bellah, Beyond Belief. . . .170 68 Ibid., 170-171.

(26)

Lalu bagaimana memahami konsep Tuhan yang diekspresikan dalam sebuah negara yang memantapkan posisinya untuk memisahkan antara agama dan negara? Bellah menjawab bahwa pemisahan antara agama dan negara itu tidak mengingkari dimensi keagamaan dalam bidang politik.71 Meski agama

adalah urusan pribadi, tetapi dalam batas-batas tertentu, ada orientasi keagamaan yang dimiliki secara bersama-sama oleh sebuah bangsa. Dimensi dari keyakinan bersama itu diekspresikan dalam seperangkat keyakinan, simbol dan ritus yang oleh Bellah disebut sebagai American Civil Religion .72

Bellah juga mengatakan bahwa agama sipil Amerika telah melewati tiga masa percobaan. Pertama, masa kemerdekaan. Kedua, masa perbudakaan. Ketiga, situasi yang saat ini tengah dihadapi, dimana Amerika secara militer,

ekonomi, dan budaya memiliki pengaruh yang sangat kuat di dunia.73

Fenomena ketiga cukup mengkhawatirkan Bellah. Baginya, agama sipil Amerika itu adalah ketundukan bangsa Amerika pada prinsip-prinsip etis yang transendental dan terhadap prinsip-prinsip etis tersebut bangsa itu dinilai.74

Pemikiran seperti ini bisa berimbas pada sikap eksklusif bangsa Amerika.

Makanya, Bellah mengupayakan agar pemikirannya tentang agama sipil ini dipahami dari satu latar belakang Amerika Serikat yang baru saja keluar sebagai pemenang dalam Perang Dunia II. Kekhawatiran Bellah adalah Amerikanisme atau sikap patriotik yang berlebihan bukan mustahil dapat membawa Amerika ke suatu kehidupan yang mengancam eksistensi bangsa-bangsa lain. Karenanya, dia mengatakan bahwa agama sipil Amerika tersebut haruslah ditempatkan dalam perspektif agama sipil dunia supaya mendapatkan maknanya.75

Yang menarik dari perkembangan gagasan Bellah ini adalah adanya tantangan yang sangat keras terhadap pandangannya itu, terutama dari

71 Ibid. 72 Ibid.

(27)

lembaga-lembaga keagamaan, sehingga Bellah memutuskan untuk tidak mengembangkan gagasan tersebut lebih lanjut. Keberatan terutama datang dari pandangan keagamaan gereja-gereja di Amerika yang eksklusif.76

Melihat paparan Bellah atas agama sipil, maka gagasan tersebut tidak hanya perlu dilihat dari konteks internal Amerika yang pluralistik, tetapi juga harus dilihat dari konteks Amerika sebagai salah satu peradaban yang memberikan pengaruh cukup luas terhadap masyarakat dunia. Americanism ditambah dengan wawasan teologi yang triumfalistik, sangat potensial menciptakan kekuatan primordial Amerika yang bukan tidak mungkin dijustifikasi secara teologis, karena mereka menganggap Amerika sebagai New Jerusalem. Disitulah Bellah bermaksud untuk menyerukan agar agama sipil

Amerika harus ditempatkan dalam konstelasi ideologi dunia.

Salah satu teoritikus politik yang mencoba mengingatkan bahaya dari ide agama sipil ini adalah David C. Leege. Pertama-tama, Leege mengidentifikasi agama sipil atau civil religion di Amerika sebagai percampuran nilai-nilai agama dan anti agama dari konflik yang inheren diantara keduanya.77 Karena budaya

harus menawarkan dasar ideologis yang lebih stabil, lebih halus bagi sebuah komunitas politik, maka membangun mitos tampaknya adalah sebuah keniscayaan. Disinilah agama memegang peranan yang cukup penting. 78

Mitos keagamaan tersebut salah satunya dibangun untuk memperkuat posisi Deklarasi Kemerdekaan.79 Dalam konteks ini, Bellah menegaskan bahwa

dengan menggunakan kata mitos, bukan berarti bahwa cerita itu tidak benar.80

Mitos tidak mencoba menggambarkan realitas, karena itu tugas ilmuwan. Mitos berupaya mencari realitas transfigur yang menyediakan makna moral dan spiritual untuk individu dan masyarakat.

76John A. Titaley, Negara, Agama-agama dan Hak Asasi Manusia. . .4-5.

77 David C. Leege dan Lyman A. Kellstedt, Rediscovering the Religious Factor . . . 19. 78 Ibid.

(28)

Merupakan suatu kewajiban sebuah bangsa untuk memberikan loyalitas kepada pemerintah mereka, sebuah kewajiban yang dibebankan oleh Tuhan.81

Namun, adalah kewajiban penguasa untuk memerintah secara adil, kewajiban yang juga dibebankan oleh Tuhan. Ketika penguasa melanggar kepercayaan tersebut, orang-orang harus memberontak, bukan bagi diri mereka, tetapi demi Tuhan.82 Logika inilah yang digunakan untuk mendukung Deklarasi

Kemerdekaan dan juga pembangkangan sipil serta banyak perang moral dalam sejarah politik Amerika. Bangsa Amerika, karenanya lahir dalam wadah kewajiban agama. Dengan cepat, tujuan nasionalnya dilekatkan dengan motivasi-motivasi keagamaan. Monumen-monumennya menjadi tempat ibadah, koin-koin dan sumpah-sumpahnya memanggil ilahi, lagu-lagu kebangsaannya menjadi lagu agama, hari-hari libur nasionalnya memenuhi langit dengan ledakan cahaya dan sambaran petir.83 Tetapi warganya mungkin merupakan

orang bebal yang saleh yang ditipu oleh penguasa yang memanipulasi agama sipil.

Gagasan-gagasan Amerika tentang pemerintahan sendiri, demokrasi, kebebasan pemerintahan yang terbatas, semuanya dimasukkan dalam tujuan spiritual. Agama sipil sebagai satu tujuan spiritual memperlihatkan dirinya dalam takdir yang terejawantah, dalam emansipasi, dalam beban orang kulit putih, dan bentuk lain dari imperialisme keagamaan dan ekonomi, dalam perang untuk membuat dunia aman bagi demokrasi, dalam United Nations dan dalam perang dingin melawan kekaisaran setan.

Mengutip pandangan Robert N. Bellah agama sipil dalam budaya politik Amerika mempunyai fungsi-fungsi kependetaan maupun profetik. Fungsi kependetaan membuat kebijakan Amerika bermandikan rahmat Ilahi dan memobilisasi loyalitas rakyat melalui tujuan-tujuan transenden. Fungsi profetik

81 David C. Leege dan Lyman A. Kellstedt, Rediscovering the Religious Factor. . .20. 82 Ibid.

(29)

menugaskan para pemimpin dan kebijakan-kebijakan yang gagal untuk berjalan sesuai dengan suatu tujuan ilahiah bagi bangsa Amerika.

Meski begitu, agama sipil, kata Leege mengutip Wald, seperti bermain dengan api para dewa. Ia bisa menghasilkan sesuatu yang baik dan buruk seperti (1) ia bisa memuliakan sebuah bangsa dengan memicu naluri-naluri dermawan dan komitmen pada prinsip-prinsip bangsa. (2) ia bisa mengarah pada pemujaan berlebihan terhadap negara (3) ia bisa menghalangi skeptisisme dan kritik diri yang diperlukan bagi politik demokratis. (4) ia bisa menetapkan standar-standar yang kaku dan fleksibel sehingga sulit untuk membangun kompromi.84

Leege sepertinya tidak memiliki optimisme pada diskursus agama sipil ini.85 Bagi Leege, agama sipil merupakan kekuatan pemotivasi yang paling

berbahaya dalam perilaku manusia. Hal itu terjadi karena agama merupakan memori kolektif dan politik merupakan tindakan kolektif.86 Keduanya adalah

sumber identitas, norma-norma, dan batas-batas. Ketika mereka menjadi hampir tidak dapat dibedakan dalam sebuah budaya politik, yakni ketika politik menjadi bersifat penyelamatan dan agama semata-mata menjadi instrumen negara, lahirlah kemudian sistem totaliter yang paling represif.

Bagi para teoritikus sosial, agama diperlakukan sebagai sumber stabilitas politik. Glock, seperti dikutip Leege mengatakan bahwa semua organisasi sosial melibatkan bentuk-bentuk hierarkhis.87 Keyakinan-keyakinan keagamaan

secara khas digunakan untuk menjamin ketidakadilan hierarkis. Menurut Glock, keyakinan-keyakinan yang menjamin biasanya mengatur atau mengandaikan mekanisme-mekanisme kontrol sosial seperti sanksi, kompensasi dan ideologi.88

84 Ibid., 21. 85 Ibid., 22. 86 Ibid. 87 Ibid.

88Charles Glock, )mages of God , )mages of Man, and the Organization of Social Life ,

(30)

Sanksi berkisar mulai dari instrumen-instrumen yang diinternalisasi seperti kebiasaan dan adat istiadat, hingga instrumen-instrumen eksternal, seperti hukum dan paksaan. Pada masa stabilitas politik, adat istiadat cukup untuk memelihara hierarki, hukum menyelesaikan pertikaian antara pihak-pihak yang berkepentingan dan kekuatan paksaan yang menghukum pembangkan dan menimbulkan ketakutan pada calon pemberontak.89

Kompensasi mencakup sejumlah besar lembaga dan praktik yang mengalihkan perhatian orang dari kondisi mereka sekarang ini ke kondisi eksistensi yang lain. Mereka dapat meliputi kerinduan religius pada dunia lain, apa yang dicap oleh Marx agama sebagai candu masyarakat.90 Sesuai dengan

sifatnya, sebagian besar agama menyediakan kompensasi akhir, jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan yang tidak dapat dijawab oleh wacana ilmiah, yakni tentang hidup, kematian dan keabadian.

Ideologi adalah hal yang paling signifikan ketika terjadi perubahan sosial.91

Ideologi adalah suatu visi, suatu gambaran verbal tentang masyarakat yang baik dan sarana-sarana utama untuk mencapainya. Ideologi tidak memihak status quo, tetapi instrumen perubahan. Kaitannya dengan agama, menurut Alexis De Tocqueville, di Amerika Serikat agama menopang kebiasaan-kebiasaan baku rakyatnya. Agama tidak akan pernah bergabung dengan negara, tidak pernah menjadi dominan secara politik melalui kelompok keagamaan tunggal dan tidak pernah merasionalisasi gerakan-gerakan politik yang bisa mengklaim sebagai satu-satunya kebenaran.92 Kebenaran tidak tercakup dalam lembaga-lembaga

politik; ia tidak akan pernah ditemukan dalam Kerajaan Tuhan di muka bumi.

89 Ibid. Lihat juga David C. Leege dan Lyman A. Kellstedt, Rediscovering the Religious

Factor. . .22-23. 90 Ibid., 23-24. 91 Ibid., 25.

(31)

Sebaliknya kebenaran selalu berada di luar pemahaman, dalam prinsip-prinsip keagamaan yang transenden.

Konsepsi tentang agama sejatinya membentuk sebuah ideologi perjuangan politik. Penafsiran atas agama menjadi cetak biru, sebuah ideologi, yang menempa konsensus pada saat perubahan yang besar. Dengan tegas, Tocqueville menuturkan kalau di Amerika semangat keagamaan terus menerus didorong oleh tugas-tugas patriotis.93 Tocqueville menunjukkan fenomena itu

dengan mengatakan, These men do not act exclusively from a consideration of a future life; eternity; eternity is only one motive of their devotion to the cause it.94

Tema penting yang perlu dijelaskan dalam kaitannya memahami agama dan politik dalam teori sosial adalah hipotesis masyarakat massa dan argumen bahwa agama adalah lembaga mediasi yang bisa melindungi warga dari negara modern yang kuat. Ia mempunyai relevansi khusus bagi budaya politik dan agama Amerika. Budaya politik masih memiliki harapan karena kekuasaan yang berdaulat belum menghancurkan lembaga-lembaga mediasi. Lembaga mediasi yang kritis dilihatnya dalam (1) struktur sistem politik itu sendiri (2) asosiasi-asosiasi sukarela (3) agama.

Sistem politik Amerika yang terdesentralisasi menyebabkan kekuatan politik tersebar melalui sistem pemerintah kota. Kekuasaan tidak dapat dengan mudah memusat selama pemerintah lokal masih tetap penting. Asosiasi sukarela ada dimana-mana; ketika sebuah persoalan muncul di luar kemampuan sendiri, rakyat akan bergotong-royong memecahkannya dan bukannya secara langsung menyerahkan kepada pemerintah. Dan agama, pada akhirnya menjadi faktor utama dalam perjuangan untuk mencegah kesetaraan menjadi despotisme.

Agama dalam versi Amerika memperlakukan keabadian sebagai suatu motif, tetapi pada dasarnya agama memusatkan perhatiannya pada bagaimana

(32)

menjalani hidup sehari-hari sesuai dengan ajaran Tuhan.95 Agama yang sejati,

menurut Tocqueville mengharuskan ketaatan semua kelas warga negara pada dogma.96 Dalam hal itu agama merupakan penyeragam dan pemersatu. Karena

agama, sebagaimana yang dipahami tidak mengompromikan nilai-nilai spiritualnya, bagaimana ia hidup selaras dengan Tuhan dan umat manusia, ia kurang memerhatikan kondisi-kondisi material yang spesifik. Agama harus tetap relevan bagi manusia namun tidak boleh kehilangan transendensinya.

Dalam sebuah masyarakat yang plural, maka agama, demikian tulis Leege memiliki peran sebagai lembaga mediasi.97 Peran ini penting untuk dijelaskan

dalam kaitannya untuk memahami agama dan politik dalam teori sosial. Ia bisa melindungi warga dari negara modern yang kuat. Dalam situasi tersebut, penting untuk menjaga sebisa mungkin agar agama harus mengambil jarak dari negara, mendorong loyalitas terbatas pada negara, tetapi tetap memelihara hak untuk menghakimi.98 Dalam kehidupan bernegara, agama tidak akan pernah

menggantikan hukum sipil karena dengan melakukan hal demikian, ia menjadi duniawi dan sementara, hukum bersumber dari kedaulatan rakyat, tetapi keadilan bersumber dari kedaulatan manusia dan Sang Pencipta.99 Hukum

keadilan yang semakin tinggi merupakan suatu pelindung dari tirani.

Leege sepertinya tengah menebar optimisme pada gereja sebagai lembaga mediasi, terutama dari ancaman totalitarianisme.100 Untuk mendukung

argumentasinya tersebut, Leege memaparkan bahwa lembaga mediasi diperlukan untuk (1) melindungi individu dari sebuah negara yang sangat berkuasa sekalipun baik hati. (2) menyediakan pelayanan-pelayanan yang membuat ketergantungan pada birokrasi negara menjadi kurang perlu (3)

95 Ibid., 311. 96 Ibid.

97 David C. Leege dan Lyman A. Kellstedt (ed), Rediscoveringthe Religious Factor. . ., 31. 98 Ibid.

(33)

menjadi pusat-pusat identitas yang menyaingi atau melampaui loyalitas negara-bangsa. (4) memelihara kriteria moral untuk menilai kinerja negara. Dan tidak ada lembaga yang terkondisikan secara baik untuk memerankan fungsi ini kecuali agama, khususnya gereja-gereja lokal.101

Dengan menjadi lembaga mediasi, maka anggota gereja memiliki lima keterampilan esensial dari kewarganegaraan aktif. Pertama, keterampilan sosial dalam memimpin, mendengarkan dan memediasi. Kedua, kesadaran akan isu publik dari perspektif moral. Ketiga, dorongan untuk bergabung dengan kegiatan lain untuk perbaikan sipil dan masyarakat. Keempat, sebuah keyakinan bahwa ada sifat sakral pada kewajiban sosial yang melampaui kepentingan diri sendiri. Kelima, penghargaan diri yang berasal dari tugas publik.102

Diluar perdebatan tentang gagasan ini, Bellah menekankan kalau agama sipil Amerika sekarang seperti berada dalam kehampaan. Ini terjadi karena dalam republikanisme, kovenan eksternal saja tidak cukup. Kovenan tersebut tidak hanya dipatuhi, tetapi harus juga dicintai oleh mereka yang menjalankannya. Bellah menyatakan, the external covenant must become an internal covenant and many times in our history that has happened.103 Namun,

kovenan internal tidak dapat dilengkapi hanya melalui institusi, itu adalah semangat dan memiliki ritmenya sendiri.

Tidak hanya di Amerika, fenomena perkembangan agama sipil juga bisa dilihat di Italia, Meksiko dan Jepang dan mungkin juga model itu ada di )ndonesia. Bellah dan Phillip E. (ammond memaparkan hal itu dalam Varieties of Civil Religion .104

Menurut Hammond, perkembangan agama sipil di pelbagai negara itu paling tidak dilatari oleh tiga alasan. Pertama, kondisi pluralisme keagamaan

101 Ibid., 35 102 Ibid., 35.

103 Robert N. Bellah, The Broken Covenant…, .

(34)

tidak memungkinkan bagi salah satu agama untuk digunakan oleh seluruh agama sebagai sumber makna yang bersifat general dan berlaku bagi setiap individu yang berlatar belakang identitas berbeda tersebut. Tetapi kedua, masyarakat dihadapkan pada kebutuhan untuk melekatkan sebuah makna dalam aktifitasnya, khususnya ketika aktifitas itu berkaitan dengan individu yang berangkat dari latar belakang keagamaan yang beragam. Karenanya, ketiga, diperlukan sistem makna pengganti dan jika telah ditemukan, aktifitas mereka dapat difasilitasi oleh sistem tersebut, oleh sebab itu kemudian mereka cenderung mengagungkan sistem itu.105

Jika dilihat dari konteksnya, gagasan Bellah tentang civil religion itu harus ditempatkan dalam konteks masyarakat imigran di tahun 1600an. Gelombang besar perpindahan penduduk terjadi dari Eropa ke Amerika Utara. Alasan untuk mencari kebebasan agama dan politik adalah salah satunya. Di Inggris, abad 16-17 muncul gejolak saat ada tuntutan dari kelompok Puritan yang ingin merombak tatanan Gereja resmi Inggris dari dalam.106 Pada dasarnya mereka

menghendaki semacam puritanisme yang lebih luas terhadap gereja nasional, menyederhanakan sistem keyakinan serta tata ibadah. Gagasan kelompok puritan ini dianggap membahayakan keutuhan negara, ancaman yang potensial memecah belah rakyat dan pasti merongrong wibawa Raja.107

Ketika Raja James I memerintah (dari 1603-1625), banyak dari kelompok Separatis ini yang akhirnya keluar dari Inggris karena merasa tidak mungkin melakukan perubahan dogma seperti yang mereka kehendaki.108 Mereka

berangkat ke Leiden, Belanda agar bisa beribadah menurut cara yang diyakininya. Beberapa bagian kecil dari mereka akhirnya memutuskan pergi

105Phillip (ammond, The Rudimentary Forms of Civil Religion , dalam )bid., -122.

106 Keith W. Olson, et.al., An Outline of American History, (United States Information Agency, 1990), 4.

(35)

dari Belanda dan sampai di tanah baru, Plymouth tahun 1620.109 Situasi tak

kunjung membaik bagi nasib kelompok Puritan di Inggris. Saat Raja Charles I naik tahta tahun 1625, pembatasan khotbah terhadap pendeta Puritan semakin kuat. Mereka akhirnya juga berlayar ke Amerika pada tahun 1630.110

Selain kelompok Puritan, datang juga di kelompok lain di Amerika yang berpindah karena alasan agama. William Penn dari aliran Quaker juga datang ke Amerika karena di Inggris mereka tidak mendapatkan ruang untuk mengekspresikan keyakinan keagamaannya.111 Penn kemudian mendirikan

koloni di Pennsylvania.

Melihat sejarah awal Amerika tampak bahwa kebebasan beragama adalah salah satu motivasi yang mendorong mereka untuk berhijrah. Pendefinisian awal mereka soal kolektifitas adalah agama. Makanya koloni-koloni awal mereka adalah kelompok Puritan, Quacker, Mennonite dan lainnya. Meski begitu yang perlu diingat, apapun varian Kekristenan di Amerika, Tuhannya itu ada dalam konsep Christendom. Tentu saja ini karena dilatari kelompok-kelompok tersebut yang anti Established Church di Inggris. Sehingga kemerdekaan yang mereka cari adalah kebebasan beragama. Definisi Tuhannya unified. Sehingga agama menjadi pendefinisi komunitas-komunitas di Amerika. Ide sekularisme dimaksudkan sebagai cara untuk mengamankan cita-cita agama. Dalam konteks inilah kita memahami ide agama sipilnya Bellah.

Elaborasi Robert Bellah tentang agama sipil ada dalam konteks kesejarahan Amerika yang menjadi tempat dimana kolektifitasnya bersumber dari agama, lebih spesifik lagi Kekristenan. Agama sipil tumbuh dari agama sebagai sumber moralitasnya. Tidak ada pasokan lain untuk moralitas selain agama. Relatif homogen, karena meskipun banyak varian, tetapi tetap dalam satu Kekristenan.

Referensi

Dokumen terkait

• Memberi informasi yang tepat kepada sejawat tentang kondisi pasien baik secara lisan, tertulis, atau elektronik pada saat yang diperlukan demi kepentingan pasien maupun

[r]

Di dalam BK SMP Negeri 2 Semarang juga memiliki struktur kepengurusan yang menjelaskan tenaga-tenaga pengisi BK di posisi tertentu yang memiliki rincian tugas-tugas

Hasil pemeriksaan menunjukkan infeksi kecacingan pada anak sekolah dasar di kecamatan Malinau Kota sebesar 6,16 % (18 orang dari 292 orang yang diperiksa

Ringkasan proposal penelitian yang mencakup tujuan penelitian, manfaat penelitian dari hasil Penelitian dan alasan/ latar belakang untuk melakukan penelitian6. Masalah Etik (

Hasil uji bivariat faktor risiko sanitasi lingkungan yang memiliki hubungan signifikan terhadap infeksi askariasis yaitu sumber air untuk keperluan rumah tangga (p =

c. Pengembangan Sikap dan Kebiasaan Belajar Efektif.. Anggapan yang menyatakan bahwa modal utama untuk sukses dalam belajar adalah tingkat intelegensi yang tinggi dan didukung

Tujuan pembelajaran : Siswa dapat memahami teknik informasi Lifeskill dilingkungan bisnis dan