BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Banyak kepentingan rakyat yang seharusnya menjadi tanggung jawab sebuah
negara.Kini diatur oleh sistem pasar bebas (free market) yang menciptakan suatu sistem
demokrasi mengarah pada neoliberalisme.Melemahnya peran negara dalam melindungi dan
mensejahterakan rakyatnya merupakan suatu kondisiyang hadir ditengah kehidupan
berbangsa dan bernegara saat ini.Hal ini tercermin dari praktik-praktik para pemangku
kebiijakan yang seharusnya mengedepankan kedaulatan rakyat, namun pada realitasnya
berorientasi pada kepentingan modal.Perkembangan kapitalisme masih terus berlanjut secara
terus-menerus menghisap nilai-nilai kebangsaan yang telah dibawakan oleh para leluhur
bangsa, yang menyebabkan rakyat menjadi budak di bangsanya sendiri.
Kondisi ini tidak terlepas dari suatu perkembangan kapitalisme global yang semakin
pesat, yang menjadi penyebab dari krisis banyak negara dari belahan dunia. Kemenangan dan
kejayaan kapitalisme global dimulai ketika beberapa negara penganut sistem kapitalisme
mengadakan GATT (general Agremeent on Tariffs and Trade) atau perjanjian umum tentang
tarif-tarif perdagangan , didirikan pada tahun 1948 di Genewa, Swiss. Yaitu dengan tujuan
untuk mempengaruhi dan merebut kembali Global Govrnance dalam bidang ekonomi dan
politik perdagangan.Yang pada akhirnya menyebabkan peran negara dalam pembangunan
mengarah pada kepentingan kapitalisme liberal tersebut.
Negara tidak lagi memenuhi segala tuntutan yang berkaitan dengan kedaulatan rakyat
namun berorientasi pada modal yang diakibatkan oleh perubahan paradigma yang secara
signifikan dari kondisi sebelumnya.Negara tidak lagi memenuhi segala tuntutan yang
kuat menyerang berbagai sektor publik, seperti adanya pemotongan subsidi negara di
berbagai bidang, privatisasi perusahaan-perusahan, serta melemahnya peran negara dalam
sektor pendidikan dan kesehatan.
Arus kapitalisme juga menyerang salah satu sektor publik yang didominasi rakyat
kelas bawahyaitu perburuhan.Sektor tersebut merupakan sektor yang cukup penting di
masyarakat kelas bawah.Dan pada dasarnya sektor perburuhan juga memberikan kontribusi
bagi perkembangan ekonomi dan industri tanah air.Perekonomian dan perindustrian juga
merupakan sebuah kontributor kunci bagi pendapatan negara guna mensejahterakan
rakyatnya.Namun sektor perburuhan sering menuai sebuah konflik yang tidak kunjung
selesai.Lagi-lagi konflik tersebut menghisap kedaulatan rakyat dan merugikan rakyat sendiri.
Secara tidak langsung dengan kondisi seperti ini akan menimbulkan perlawanan dari pihak
buruh itu sendiri sebagai wujud perlawanan terhadap kebijakan neoliberalisme di Indonesia.
Perkembangan ekonomi di tanah air selayaknya berorientasi untuk kesejahteraan
rakyatnya bukan tunduk pada kepentingan modal dan kapitalisme global.
Perusahaan-perusahaan yang bergerak diberbagai sektor sudah pasti menggunakan buruh sebagai ujung
tombak dalam perjalanan perekonomian dan perindustriannya.Permasalahan yang hadir
dalam sebuah perjalanan panjang perburuhan adalah konflik antara perusahaan dengan para
buruh dalam memperjuangkan hak normatif buruh.
Hak normatif diklasifikasikan menjadi beberapa bagian yaitu yang bersifat ekonomis
(seperti upah, THR), yang bersifat politis (membentuk serikat buruh,menjadi atau tidak
menjadi anggota serikat buruh, mogok kerja), yang bersifat medis (keselamatan dan
kesehatan kerja), yang bersifat sosial (cuti nikah/kawin,libur resmi,dan lain-lain).
(http:www.bantuan hukum.info).
Upah merupakan sebuah permasalahan yang sangat mendasar bagi buruh yang
minimum buruh di Indonesia belum selesai diperdebatkan. Inti perdebatan dari sisi buruh,
terletak pada ketidakcukupan upah untuk memenuhi kebutuhan hidup dan dari sisi pengusaha
Kenaikan upah setiap tahun yang memberatkan. Sebagai negara berkembang yang
mengambil jalur industrialisasi dengan mengandalkan penanaman modal asing, pemerintah
Indonesia menetapkan kebijakan upah rendah sebagai daya tarik sekaligus sebagai cara untuk
memenangkan persaingan dengan sesama negara berkembang lain dikawasan Asia Pasifik.
Selain itu, secara objektif keadaan pasar kerja Indonesia ditandai oleh kelebihan penawaran
dan mutu angkatan kerja yang rendah. Pada saat yang sama pemerintah juga dihadapkan pada
pekerjaan besar untuk menciptakan lebih banyak kesempatan kerja untuk menahan
membengkaknya angka pengangguran (Tjandrawasih dan Herawati, 2009:27).
Meskipun ada konsepsi yangjelas mengenai upah, pelaksanaannya tidak semudah
yang dibayangkan karena berbagai faktor internal maupun eksternalperusahaan sebagai
pemberi upah dan karena aspek politis yang terkandung dalam upah. Dalam konteks
persaingan global dan upaya menuju negara demokratis di satu sisi dan dalam konteks
pembangunan negara serta perlindungan warga negara disisi lain.
Masalah upah tidak hanya menjadi persoalan ekonomi semata akan tetapi merupakan
sebuah persoalan yang dilekati oleh dimensi hukum dan politik. Undang-undang nomor 13
tahun 2003 tentang ketenaga kerjaan sebagai payung hukum perburuhan mengamanatkan
bahwa upah minimum yang diterima oleh buruh seharusnya mampu untuk memenuhi
Kebutuhan Hidup Layak (KHL). Undang-undang ini kemudian diterjemahkan dalam
Peraturan Menteri Tenaga Kerja nomor Per-17/Men/VIII/2005 tentang komponen dan
pelaksanaan tahapan pencapaian kebutuhan hidup layak, yang mengatur bahwa upah
minimum ditetapkan oleh kepala daerah dalam hal ini Gubernur/Bupati/Walikota setelah
mendengarkan saran dan pertimbangan dari Dewan Pengupahan yang melakukan survey
pelaksanaan upah minimum tidak pernah berjalan lancar.Dari sisi pengusaha persoalan
meliputi keberatan pengusaha terhadap kenaikan tahunan upah minimum yang dianggap
sebagai beban sedangkan disisi pekerja persoalan yang muncul meliputi ketidakpatuhan
pengusaha terhadap ketentuan kenaikan upah minimum.
Nasib kaum buruh di Indonesia sekarang ini memang semakin mengalami proses
pemiskinan dan semakin “tercabut” hak sosial-ekonomi dan hak sipil-politiknya. Rencana
revisi undang-undang nomor 13 tahun 2003 memiliki motivasi ekonomis-politik, untuk
meliberalisasikan sektor perburuhan dan melemahkan posisi tawar politik komunitas buruh di
Indonesia (Yulianto, 2006).Standar kesejahteraan hidup para buruh di Indonesia juga semakin
melemah karena himpitan dampak kebijakan ekonomi pemerintah yang berwatak
neoliberalisme.
Berdasarkan realitas upah yang dialami oleh buruh maupun kebijakan pengupahan
yang dimunculkan oleh pemerintah, jelas landasan teori dan fundamen yang mendasari
kebijakan upah masih sangat kental dengan kepentingan pengusaha.Secara terbuka
pemerintah lebih menyetujui tingkat upah ditentukan oleh mekanisme pasar.Dalam
mekanisme pasar, tidak ada kepastian tentang jumlah upah bagi buruh. Tingkat upah lebih
ditentukan oleh hitung-hitungan biaya yang dikeluarkan oleh pengusaha dalam suatu proses
produksi, kompetisi antar perusahaan, jumlah permintaan dan penawaran tenaga kerja dan
kepentingan pertumbuhan ekonomi dari pemerintah.
Walaupun upah memegang peranan yang sangat penting dan merupakan ciri khas
suatu hubungan yang disebut hubungan kerja, bahkan dapat dikatakan upah merupakan
tujuan utama dari seorang pekerja untuk melakukan suatu pekerjaan kepada orang lain atau
badan hukum lain (Husni, 2007: 148).Namun persoalan perburuhan tidak hanya mencakup
Misalnya seperti maraknya kasus pemutusan hubungan kerja secara sepihak (PHK),
kesehatan keelamatan kerja yang belum didapatkan oleh buruh, kebebasan untuk membentuk
serikat buruh menjadi atau tidak menjadi anggota serikat buruh, cuti dan libur resmi, dan
lain-lain.Soal yang sangat penting bahkan yang terpentig bagi buruh dalam masalah perburuhan
adalahsoal pemutusan kerja.Berakhirnya hubungan kerja bagi buruh berarti kehilangan mata
pencaharian, merupakan permulaan dari segala kesengsaraan.
Berbagai kondisi yang hadir dalam kehidupan buruh membuat buruh berfikir keras
dan tidak berhenti dalam keterpurukan.Keinginan untuk melakukan sebuah perubahan sosial
pun terjadi dalam pergolakan pemikiran buruh, yang dituangkan dengan sebuah konsep
gerakan sosial. Kehadiran gerakan sosial merupakan suatu alternatif dan wahana untuk para
buruh dalam mencapai sebuah pergerakan sosial yang bertujuan untuk kesejahteraan
buruh.Gerakan sosial yang dilakukan oleh buruh juga mengalami perkembangan organisasi
yang bermetamorfosis menjadi organisasi pekerja/buruh.
Kehadiran organisasi buruh dimaksudkan untuk memperjuangkan hak dan
kepentingan buruh, sehingga tidak diperlakukan sewenang-wenang oleh pihak penguasa.
Keberhasilan organisasi buruh ini sangat tergantung dari kesadaran para buruh untuk
mengorganisasikan dirinya, semakin baik organisasi itu, maka akan semakin kuat. Sebaliknya
semakin lemah, maka semakin tidak berdaya dalam melakukan tugasnya.Karena itulah kaum
buruh di Indonesia harus menghimpun dirinya dalam suatu wadah atau organisasi yang
bertujuan memperjuangkan hak-hak buruh.Organisasi buruh pada akhirnya terbentuk menjadi
sebuah serikat buruh yang memiliki prospek terhadap perjuangan kelas buruh.
Munculnya kehidupan serikat buruh adalah pada tingkat awal kapitalisme.Bertolak
dari kepentingan lansung untuk perbaikan syarat-syarat ekonimi dan sosial bagi kehidupan
buruh.Kendati demikian tidak keluar dari jangkauan kapitalisme, serikat buruh yang baru saja
bergerak, sudah menghadapi tindakan-tindakan represif dari pihak majikan-majikan kapitalis
dan pemerintahan-pemerintahan borjuis.Bukan kejadian yang langka, bahwa dalam
masyarakat kapitalis aparat kekuasaan baik militer maupun polisi dikerahkan untuk
menggagalkan aksi-aksi kaum buruh yang diorganisir oleh serikat buruh. Gejala yang
demikian pada umumnya berlatar belakang kekhawatiran pihak borjuis, bahwa gerakan
serikat buruh akan melahirkan perjuangan revolusioner kelas buruh menggulingkan
kekuasaan negara borjuis untuk mengakhiri kapitalisme (Soegiri DS dan Cahyono, 2003:7).
Serikat buruh juga memiliki sejarah yang cukup panjang dan tidak terlepas dari
dinamika organisasi.Organisasi kaum buruh itu pertama dikenal di Indonesia pada tahun 1894
oleh para guru sekolah dasar dan menengah Belanda.Asosiasi para guru ini bernama
Nederlandsch Indisch Onderwijies genootschap, disingkat NIOG, namun dengan sifat
Belandanya tidak pernah memainkan peran penting dalam gerakan kaum buruh di Indonesia.
Kemudian pada tahun 1905 diikuti dengan terbentuknya StaatspoorwegenBond, yang berarti
(Serikat Personel kereta Api Negara), Suikerbond (Serikat Buruh Gula, 1906), Cultuurbond
Vereeniging v. Asisten in Deli (Serikat Pengawas Perkebunan Deli, 1907), Di antara
serikat-serikat buruh yang dibangun oleh pribumi, layak disebut perkoempoelan Boemipoetra Pabean
(1911). PEB adalah sebuah serikat buruh yang dibentuk oleh Soejopranoto, yang kelak akan
dikenal sebagai salah seorang “radja mogok” Hindia Belanda.
Dari beberapa serikat buruh yang dibentuk oleh buruh-buruh kulit putih, salah satu
yang terpenting adalah Vereeniging Van Spoor-en Trwmweg Personel In Nederlandsch-Indie
(VSTP). VSTP, yang didirikan 14 November 1908 di Semarang, dengan cepat menyerap
buruh-buruh pribumi dalam jajarannya.Pada tahun 1914, buruh-buruh pribumi ini telah
pusatnya adalah pribumi. Tahun 1915, VSTP telah menerbitkan sebuah koran dalam bahasa
Melayu, bertajuk “Si Tetap”. Salah satu dari tiga orang pribumi yang terpilih dalam pimpinan
pusat VSTP ini adalah seorang pemuda berusia 16 tahun bernama Samaoen. Dia adalah
seorang organizer yang sangat giat dan semenjak bergabung dengan VSTP di tahun 1914,
sampai tahun 1920 dia telah mendirikan 93 cabang VSTP di Jawa dan Sumatera. Pada tahun
1923, anggota VSTP tercatat berjumlah 13.000 orang atau seperempat dari total buruh
industri kereta api di Hindia Belamda
Dalam sejarahnya serikat buruh terus menerus terbentuk dan berkembang hingga
terlihat dalam proses perjuangan untuk realisasi proklamasi kemerdekaan. Hal ini
dikondisikan dan dilakukan sesuai dengan azas-azas gerakan buruh. Karenanya, pada 19
September 1945, sejumlah perwakilan kaum buruh berkumpul di Jakarta untuk
mendiskusikan peranan kaum buruh dalam perjuangan pendirian Republik dan menentukan
azas-azas bagi gerakan buruh sesuai dengan tuntutan-tuntutan zaman baru itu.Pasca
proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 7 Novenber 1945, para serikat
buruh yang membuat suatu kongres besar yang dihadiri oleh barisan buruh Indonesia,
serikat-serikat buruh pulau Jawa, serikat-serikat-serikat-serikat buruh di pulau Sumatera, dan serikat-serikat-serikat-serikat di pulau
lainnya. Dalam perjalanan kongres tersebut timbul sebuah saran untuk membentuk sebuah
partai politik buruh, yaitu PartaiBuruh Indonesia (PBI).
(http:// rendropagoyo. multiply. Com/ journal/
item/16/Sejarah Gerakan Buruh Indonesia).
Kondisi serikat buruh pada perjalanannya juga mengalami pasang surut.Peristiwa
kelam yang terjadi di tahun 1965 membalikkan keadaan secara drastis.Tuduhan yang
dilontarkan Angkatan Darat bahwa PKI mendalangi peristiwa penculikan jenderal-jenderal,
dan pembantaian aktivis gerakan rakyat yang terjadi sesudahnya, praktis menghancurkan
merekonstruksi perekonomian Indonesia sementara aktivis buruh progresif tengah meregang
nyawa di tangan para pembunuh yang sampai sekarang tidak pernah diadili.Orde baru juga
membuka pintu selebar-lebarnya kepada perusahaan-perusahaan asing, serta membuka pintu
bagi mengalirkan pinjaman luar negeri untuk berbagi proyek yang kemudian dikelola elit-elit
politik di masa orde baru.
Biar bagaimanapun rezim orde baru berusaha dengan segala represif siksaan dan
terornya, gelombang perlawanan kaum buruh tetap tidak dapat diredam.Gerakan buruh yang
dipelopori oleh serikat buruh terus melakukan sebuah terobosan untuk membangkitkan
kembali serikat buruh dan gerakan sosialnya. Perjuangan panjang gerakan serikat buruh di
Indonesia akhirnya mendapat titik terangnya ketika jatuhnya rezim Soeharto yang dipaksa
turun dari singgasananya. Reformasi yang menjatuh para penguasa orde baru itu memberikan
ruang kebebasan bagi bertumbuhnya gerakan buruh baru yang lebih segar dan bersemangat.
Aksi-aksi pemogokan dan demonstrasi buruh besar-besaran mulai menjadi bagian dari berita
sehari-hari dimedia massa. Salah satu bukti kebugaran gerakan tubuh progresif kontemporer
ini adalah kemampuannya untuk selama tiga tahun berturut-turut menyelenggarakan Mayday
(1 Mei diperingati sebagai hari buruh sedunia) dan momentum Mayday masih terus
berlansung hingga sekarang.
Sepanjang sejarahnya, gerakan serikat buruh telah mengalami pasang surut yang tiada
hentinya.Setiap kali gerakan buruh mengalami pasang, itu pasti karena pengorganisiran yang
militan di basis-basisnya, dan disertai dengan semangat berpoltik.Dan setiap gerakan serikat
buruh mengalami pukulan balik, itu niscaya disebabkan oleh ketergesaan oleh mengendurnya
militansi dibasis-basisnya atau oleh keterlenaan akibat politik parlementarisme.Gerakan
buruh berlandaskan pada kolektivisme, pada pengorganisiran, pada propaganda yang sabar
perlawanan politik untuk berkuasa. Jika gerakan serikat buruh mengingat ini dan konsisten
melaksanakannya dia akan kuat dan bugar. Tetapi, jika dilupakan maka gerakan seikat buruh
akan letih lesu dan akan tercengkram oleh politik kaum pemodal.Mengkaji dan memahami
peranan serikat buruh dalam gerakan sosialnya di Indonesia, Kota Medan merupakan kota
yang patut menjadi salah satu referensi. Karena Kota Medan sebagai salah satu kota besar di
Indonesia yang ternyata memiliki sejarah penting dalam gerakan sosial buruh di Indonesia,
yaitu tepat pada bulan April tahun1994 sekitar 40.000 buruh melakukan protes
memberlakukan upah yang layak dan kebebasan berserikat kaum buruh. Walaupun gerakan
buruh pada waktu itu memakan korban jiwa ternyata dapat menjadi kemenangan kecil bagi
kaum buruh untuk terus melakukan perlawanan, yaitu terus mengilhami para buruh sampai
saat ini untuk terus berada dalam gerakan sosial serikat buruh untuk menentang segala
penindasan dan neolibralisme.
Solidaritas Buruh Sumatera Utara (SBSU) yang didirikan pada 26 Juli 1999 oleh
aktifis dan mantan aktifis mahasiswa Medan didasari oleh idealisme dan semangat untuk
melakukan perubahan bersama-sama buruh. Juga berdasarkan keyakinan dan analisis politik
ketika itu bahwa pemerintahan yang baru lahir, dari kandungan reformasi bukan menjadi
jaminan akan terjadinya perubahan terhadap nasib buruh yang lebih baik, akan tetapi buruh
sendirilah sebagi pusat dan sebagai pelaku (subyek) perubahan. Perubahan nasib buruh
menjadi lebih sejahtera, adil, bermartabat, demokratis dan lebih manusiawi tidak bisa
diserahkan kepada elite politik dan elit penguasa yang ada. Sebagai organisasi serikat buruh
yang relative baru di Sumatera Utara, maka ketika itu para aktifis buruh yang ada di SBSU
berupaya untuk menjadikan SBSU sebagai sebuah Serikat Buruh yang kuat, berpengaruh,
demokratis, mandiri, rapi, dan keberadaannya sungguh-sungguh dirasakan oleh kaum buruh
sebagai organisasi perjuangan yang benar-benar membela dan memperjuangkan kepentingan
1999 – 2009 berbagai upaya, strategi dan taktik telah dijalankan dalam membangun
organisasi buruh yang kuat, mandiri, rapi, demokratis, populis dan berpengaruh baik secara
politik, ekonomi, sosial dan budaya. Kerja-kerja ini dalam teori dan prakteknya
membutuhkan kesungguhan, konsistensi, kontinuitas (terus menerus), pengorbanan dan
keyakinan ideologi yang kuat, serta proses belajar yang tiada hentinya.
Rentang waktu hampir 10 tahun telah banyak keberhasilan dan kemajuan yang telah
diukir dan diraih SBSU dalam memperjuangkan nasib kaum buruh di Sumatera Utara.
Walaupun disisi lain berbagai masalah dan tantangan selalu muncul dalam proses
pembangunan gerakan tersebut, yang bersumber dari internal dan eksternal organisasi.
Masalah internal seperti keorganisasian, kepemimpinan/regenerasi, keanggotaan,
kepengurusan, program, keuangan, kaderisasi, konflik, Advokasi dan lain-lain.Selain masalah
internal, SBSU juga dihadapkan dengan berbagai masalah eksternal organisasi yang dapat
menghambat dan menjadi ancaman serius bagi masa depan kaum buruh dan organisasi
Serikar Buruh.
Masalah eksternal organisasi yang dimaksud adalah kuatnya pengaruh dan
cengkraman ideologi ‘Neoliberalisme’ terhadap sistim kehidupan masyarakat, sistim
pemerintahan, sistim kenegaraan dan sistem ekonom dan politik di Indonesia. Paham ini
menyakini betul perlunya dilakukan liberalisasi ekonomi yaitu menyerahkan sepenuhnya
kegiatan ekonomi kepada mekanisme pasar tanpa campur tangan Negara.
Penganut Neoliberalisme menginginkan supaya modal mereka (Kapitalis
Internasional) diberi kebebasan yang sebebas-bebasnya untuk bergerak di seluruh dunia ke
tempat yang diinginkan ‘modal’ dalam rangka mencapai tujuannya yaitu mendapatkan
keuntungan yang sebesar-besarnya tanpa hambatan dan dengan menghalalkan segara cara.
tujuan mereka untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya adalah kaum buruh
yang kuat dan berjuang dalam organisasi serikat buruh, jadi bagi neolib untuk memuluskan
tujuannya, mereka harus melemahkan dan mematikan gerakan buruh. Bagi neolib, serikat
buruh dianggap tidak “ pro pasar “ dan menghambat terbentuknya “ mekanisme pasar “, oleh
sebab itu pada tahun 1996 dengan alasan kondusifitas dan iklim investasi, maka pemerintah
Indonesia di bawah tekanan Bank Dunia dan IMF - merupakan instrumen dan kaki tangan
neolib - memaksa pemerintah Indonesia untuk membuat berbagai peraturan dibidang
perburuhan yang ramah terhadap modal, yaitu dengan lahirnya 3 paket UU di bidang
perburuhan (UU No. 21 Tahun 2000 tentang serikat Pekerja/Buruh, UU No. 2 Tahun 2004
tentang PPHI dan UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan). Berbagai peraturan/UU
diatas dalam praktiknya telah menyengsarakan kaum buruh, dengan sistem kerja
Outshourching dan buruh kontrak, maka kaum buruh semakin gampang di PHK, tidak
memiliki kepastian masa depannya karena sewaktu-waktu dapat diakhiri kontraknya tanpa
alasan yang jelas, apalagi buruh yang kritis dan bergabung dalam serikat buruh.
Kondisi yang dialami kaum buruh Indonesia tidak jauh berubah, baik ketika masa
orde baru maupun masa reformasi, buruh masih tetap dianaktirikan, dimarginalkan dan sering
diperlakukan sewenang-wenang baik oleh pengusaha maupun pemerintah/negara.Berbagai
kebijakan yang dikeluarkan pemerintah (lokal dan nasional) selalu memihak kepada
kepentingan kaum modal. Kaum buruh masih dihadapakan dengan persoalan-persoalan
kondisi kerja yang buruh serta pelanggaran hak normative seperti PHK sepihak, upah murah,
kebebasan berserikat, mengalami intimidasi, kriminalisasi dan stigmaisasi ketika
memperjuangakan hak-haknya serta jauh dari perlindungan kesehatan, keselamatan kerja dan
jaminan akan masa depannya, padahal sudah diatur dalam Undang-UndangNomor 24 tahun
Kemudian juga, krisis keuangan global yang menghantam ekonomi dunia saat ini,
yang bermula dari krisis keuangandi Amerika Serikat sebagai induknya kapitalis, lagi-lagi
mengorbankan kaum buruh untuk menyelamatkan kaum modal dan Negara. Hanya serikat
buruh yang kuat dan terorganisirlah yang dapat menjadi tempat kaum buruh untuk berlindung
dan memperjuangkan hak-hak dan nasibnya dari ancaman PHK dan kesewenang-wenangan
lainnya yang disebabkan kebangkrutan dan kegoncangan ekonomi yang dialami kaum
kapitalis (nasional/internasional).Kemudian pembangunan saat itu (masa orde baru) rezim
yang berwatak kapitalistik hanya mengejar pertumbuhan ekonomi semata dengan
mmengandalkan pembangunan industri, modal/investor asing, teknologi dan manajemen
modern tentunya hal ini mengabaikan dan mengorbankan kekuatan ekonomi rakyat yang
kebanyakan berada di desa (agraris). Pilihan tersbut menyebabkan terjadinya urbanisasi
besar-besaran ke kota dan masuk ke adalam sektor industri yang ketersediannya sangatlah
terbatas.
Akibatnya posisi kaum buruh/pekerja sangat lemah dihadapan pengusaha. Upah buruh
sangat murah dan terkesan buruh dalam posisi dieksploitasi, hak-hak dan kesejahteraan kaum
buruh di abaikan oleh rezim – otoriter Soeharto.Sampai akhirnya rezim ini dapat diakhiri oleh
gerakan reformis (aktifis mahasiswa yang didukung sepenuhnya oleh rakyat Indonesia)
dengan lengsernya rezim soeharto atau pada tanggal 21 Mei 1998 gerakan reformasi tersebut
membuka jalan menuju perubahan kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik, lebih
demokratis dan manusiawi.
Namun rakyat miskin dan kaum buruh Indonesia yang merupakan bagian dari
kekuatan masyarakat sipil tidak sekali-sekali menyerahkan dan menggantungkan nasibnya
pada pengusaha, partai politik, elit penguasa dan lembaga-lembaga perwakilan yang ada serta
pemerintahan yang baru sekalipu yang lahir dari kandungan reformasi.Kaum buruh sendirilah
demokratis, jujur dan anti kekerasan serta merapatkan barisan dalam suatu organisasi buruh
yang independent sebagai alat perjuangan sejati kaum buruh.
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, penulis tertarik untuk
menjadikan Solidaritas Buruh Sumatera Utara (SBSU) sebagai fokus penelitian terhadap
peranan gerakan serikat buruh dalam memperjuangkan dan menyelesaikan masalah-masalah
buruh terutama memperjuangkan hak-hak normatif kaum buruh di PT.Asia Karet, Kota
Medan, Sumatera Utara.
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, maka penulis dalam
penelitian ini mengangkat rumusan masalah adalah:Bagaimana peranan Solidaritas Buruh
Sumatera Utara (SBSU) dalam memperjuangkanhak-hakburuh di PT Asia Karet Medan.
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.3.1 Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah:Untuk
mengetahuiperananSolidaritas Buruh Sumatera Utara (SBSU) dalam memperjuangkan
hak-hak normatifburuh di PT Asia Karet.
1.3.2 Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah:
a. Secara akademis penelitian ini dapat menambah referensi ilmu pengetahuan dan
karya ilmiah di Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial khususnya dalam studi
b. Secara praktis penelitian ini dapat diharapkan menjadi bahan pertimbangan bagi
pelaku gerakan sosial dalam menentang kebijakan neoliberalisme khususnya
serikat buruh.
c. Secara teoritis maupun metodologis penelitian ini diharapkan dapat memberikan
kontribusi pemikiran dalam studi gerakan sosial khususnya peran serikat buruh.
d. Bagi penulis penelitian ini dapat mengembangkan kemampuan berfikir kritis
1.4 Sistem Penulisan
Adapun sistematika penulisan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
BAB I : PENDAHULUAN
Berisikan latar belakang,perumusan masalah, tujuan dan
manfaat penelitian, dan sistematika penelitian.
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
Berisikan uraian teori yang berkaitan dengan masalah dan
obyek yang diteliti, kerangka pemikiran, defenisi konsep, dan
defenisi operasional.
BAB III : METODE PENELITIAN
Berisikan tentang jenis penelitian yang digunakan, lokasi
penelitian, teknik pengumpulan data dan teknik analisis data.
BAB IV : DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN
Berisikan tentang gambaran umum mengenai lokasi dimana
peneliti melakukan penelitian.
BAB V : ANALISIS DATA
Berisikan tentang uraian data yang diperoleh dalam penelitian
beserta analisisnya.
BAB VI : PENUTUP
Berisikan kesimpulan dan saran bermanfaat dari hasil