• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Diabetes Melitus dengan Waktu untuk Konversi Kultur Sputum pada Pasien TB-MDR di RSUP H. Adam Malik

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan Diabetes Melitus dengan Waktu untuk Konversi Kultur Sputum pada Pasien TB-MDR di RSUP H. Adam Malik"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Multidrug Resistant Tuberculosis (TB-MDR) 2.1.1 Definisi

Multidrug resistant tuberculosis (TB-MDR) adalah tuberkulosis akibat infeksi Mycobacterium tuberculosis yang telah resisten terhadap rifampisin dan isoniazid (INH) dengan atau tanpa resistensi terhadap obat anti tuberkulosis (OAT) lainnya (Sinaga, 2013). Rifampisin dan INH merupakan 2 obat yang sangat penting pada pengobatan TB yang diterapkan pada strategi DOTS. Secara umum resistensi terhadap OAT dibagi menjadi:

a. Resistensi primer ialah apabila pasien sebelumnya tidak pernah mendapat pengobatan OAT atau telah mendapat pengobatan OAT kurang dari 1 bulan b. Resistensi inisial ialah apabila tidak diketahui dengan pasti apakah pasien

sudah ada riwayat pengobatan OAT sebelumnya atau belum pernah

c. Resistensi sekunder ialah apabila pasien telah mempunyai riwayat pengobatan OAT minimal 1 bulan

Insidensi TB-MDR terus meningkat sejak diperkenalkannya pengobatan TB pertama tahun 1943. Penggunaan rifampisin yang meluas pada awal tahun 1970-an mengakibatkan munculnya resistensi yang kemudian mengharuskan penggunaan pengobatan TB lini kedua (Sinaga, 2013). Selain itu, kesalahan petugas kesehatan dan ketidakpatuhan pasien selama pengobatan TB juga menjadi pencetus munculnya TB-MDR. Dengan kasus yang terus meningkat dan meluas di berbagai negara, TB-MDR merupakan masalah global yang harus diatasi bersama (Ormerod, 2005).

2.1.2. Epidemiologi

(2)

China (61.000 kasus), dan Federasi Rusia (44.000 kasus). Sementara Indonesia berada di urutan ke-9 (6.600 kasus) (WHO, 2013).

WHO melaporkan 3,5% dari kasus baru TB di seluruh dunia merupakan TB-MDR. Persentase lebih tinggi ditemukan pada kasus TB yang sudah mendapat pengobatan sebelumnya, yaitu sekitar 20,5%. Hasil survei memperkirakan ada sekitar 480.000 kasus berkembang di tahun 2013, dan 210.000 diantaranya meninggal dunia (WHO, 2014).

Sementara itu, untuk cakupan pengobatan, WHO melaporkan 1 dari 5 pasien TB-MDR yang dideteksi tahun 2011 telah mendapatkan pengobatan. Data yang disajikan WHO menunjukkan masih rendahnya tingkat pengobatan TB-MDR di negara-negara dengan beban TB-TB-MDR tertinggi (Gambar 2.2.) (WHO, 2013). Belarusia memiliki cakupan pengobatan TB-MDR tertinggi dengan persentase 72% diantara 2000 kasus TB-MDR yang terdeteksi. Sementara persentase India (5%) dan China (2%) jauh berada di bawah negara-negara lain, tak jauh berbeda dengan Indonesia (4%) (WHO, 2013).

(3)

0%

Gambar. 2.1. Diagram Persentase Perkiraan Kasus TB-MDR yang Mendapat Pengobatan pada Tahun 2011 (jumlah perkiraan kasus TB-MDR tertulis di sebelah nama negara)

(WHO, 2013)

2.1.3. Faktor Penyebab

(4)

1. Faktor Mikrobiologik a. Resistensi yang natural b. Resistensi yang didapat

c. Amplifier effect

d. Virulensi kuman

e. Tertular galur kuman MDR 2. Faktor Klinik

a. Penyelenggara kesehatan  Keterlambatan diagnosis

 Pengobatan tidak mengikuti pedoman

 Penggunaan paduan OAT yang tidak adekuat yaitu karena jenis obatnya yang kurang atau karena lingkungan tersebut telah terdapat resistensi yang tinggi terhadap OAT yang digunakan misal rifampisin atau INH

 Tidak ada guideline/pedoman  Tidak ada/kurangnya pelatihan TB  Tidak ada pemantauan pengobatan

 Fenomena addition syndrome yaitu suatu obat yang ditambahkan pada suatu paduan yang telah gagal. Bila kegagalan ini terjadi karena kuman TB telah resisten pada paduan yang pertama maka “penambahan” 1 jenis obat tersebut akan menambah panjang daftar obat yang resisten

 Organisasi program nasional TB yang kurang baik b. Obat

 Pengobatan TB jangka waktunya lama, lebih dari 6 bulan sehingga membosankan pasien

 Obat toksik menyebabkan efek samping sehingga pengobatan gagal sampai selesai/komplit

(5)

 Kualitas obat kurang baik misal pengunaan obat kombinasi dosis tetap yang mana bioavabilitas rifampisinnya berkurang

 Regimen/dosis obat yang tidak tepat  Harga obat yang tidak terjangkau  Pengadaan obat yang terputus c. Pasien

 PMO tidak ada/kurang baik

 Kurangnya informasi atau penyuluhan

 Kurang dana untuk obat, pemeriksaan penunjang, dan lain lain  Efek samping obat

 Sarana dan prasarana transportasi yang sulit/tidak ada  Masalah sosial

 Gangguan penyerapan obat 3. Faktor Program

a. Tidak ada fasilitas untuk biakan dan uji kepekaan b. Amplifier effect

c. Tidak ada program DOTS-PLUS

d. Program DOTS belum berjalan dengan baik e. Memerlukan biaya yang besar

4. Faktor HIV/AIDS

a. Kemungkinan terjadi TB-MDR lebih besar b. Gangguan penyerapan

c. Kemungkinan terjadi efek samping lebih besar 5. Faktor Kuman

Kuman M. Tuberculosis super strains a. Sangat virulen

(6)

2.1.4. Pemeriksaan Laboratorium

Drug Susceptibility Testing (DST) berperan penting dalam mengidentifikasi dan mengobati pasien MDR atau dengan risiko tinggi TB-MDR (WHO, 2014).

1. DST Fenotipik (DST Konvensional)

Prinsip DST fenotipik ialah mengkultur bakteri bersama dengan OAT untuk melihat adanya hambatan terhadap pertumbuhan bakteri. DST fenotipik dapat dilakukan secara langsung (direct) maupun tidak langsung (indirect) pada medium padat ataupun cair. Pada metode langsung (direct), satu set medium yang mengandung dan tidak mengandung OAT diinokulasikan secara langsung dengan spesimen yang telah didekontaminasikan dan dijadikan konsentrat. Tes tidak langsung (indirect) membutuhkan pertumbuhan kultur murni dari spesimen, dilusi dari isolat kemudian diinokulasikan ke medium yang mengandung dan tidak mengandung OAT. Tes tidak langsung (indirect) telah digunakan secara luas dan saat ini digunakan sebagai standar referensi.

2. DST Genotipik a. Xpert MTB/RIF

Xpert MTB/RIF adalah pemeriksaan diagnostik molekuler menggunakan PCR (polymerase chain reaction) untuk mengidentifikasi DNA Mycobacterium tuberculosis complex dan mutasi yang berkaitan dengan resistensi rifampisin secara langsung dari spesimen sputum dalam waktu kurang dari 2 jam. Pemeriksaan ini memiliki tingkat sensitifitas dan spesifitas yang sama dengan kultur pada medium padat dan telah direkomendasikan WHO sebagai tes diagnostik awal untuk pasien dengan risiko TB-MDR yang tinggi.

b. Line Probe Assay (LPA)

(7)

2.1.5. Penatalaksanaan

a. Kelompok OAT untuk Pengobatan TB-MDR

Jenis obat yang digunakan dalam pengobatan TB-MDR terbagi dalam beberapa kelompok sebagai berikut (PDPI, 2011).

Tabel 2.1. Kelompok OAT untuk Pengobatan TB-MDR

Kelompok 1 OAT lini 1. Etambutol (E), Pirazinamid (Z)

Kelompok 2 Obat suntik. Kanamisin (Km), Amikasin (Am), Kapreomisin (Cm), Streptomisin (S)

Kelompok 3 Fluorokuinolon. Moksifloksasin (Mfx), Levofloksasin (Lfx), Ofloksasin (Ofx)

Kelompok 4 Bakteriostatik OAT lini 2. Etionamid (Eto), Protionamid (Pto), Siklosrin (Cs), Terzidone (Trd), PAS

Kelompok 5

Obat yang belum diketahui efektifitasnya. Klofazimine (Cfz), Linezoid (Lzd), Amoksiclav (Amx/clv),

Tiosetazone (Thz), Imipenem/cilastin (Ipm/cln), H dosis tinggi, Klaritromisin (Clr)

(8)

b. Strategi Pengobatan

Strategi program pengobatan sebaiknya berdasarkan data uji kepekaan dan frekuensi penggunaan OAT di negara tersebut. Di bawah ini beberapa strategi pengobatan TB-MDR (PDPI, 2011).

a. Pengobatan standar. Data drugs resistancy survey (DRS) dari populasi pasien yang representatif digunakan sebagai dasar regimen pengobatan karena tidak tersedianya hasil uji kepekaan individual. Seluruh pasien akan mendapatkan regimen pengobatan yang sama. Pasien yang dicurigai TB-MDR sebaiknya dikonfirmasi dengan uji kepekaan.

b. Pengobatan empiris. Setiap regimen pengobatan dibuat berdasarkan riwayat pengobatan TB pasien sebelumnya dan data hasil uji kepekaan populasi representatif. Biasanya regimen empiris akan disesuaikan setelah ada hasil uji kepekaan individual.

c. Pengobatan individual. Regimen pengobatan berdasarkan riwayat pengobatan TB sebelumnya dan hasil uji kepekaan.

Regimen standar TB-MDR di Indonesia adalah: 6Z-(E)-Kn-Lfx-Eto-Cs/18Z-(E)-Lfx-Eto-Cs

Z: Pirazinamid, E: Etambutol, Kn: Kanamisin, Lfx: Levofloksasin, Eto: Etionamid, Cs: Sikloserin

Etambutol tidak diberikan bila terbukti resisten.

2.1.6. Evaluasi Pengobatan dan Konversi Kultur Sputum

Evaluasi pengobatan dilakukan secara ketat untuk menilai tanda-tanda kegagalan pengobatan. Evaluasi terhadap respon pengobatan dilakukan melalui anamnesis rutin, pemeriksaan fisik, foto toraks dan pemeriksaan laboratorium. Gejala-gejala klasik TB – batuk, produksi sputum, demam dan berat badan menurun - secara umum mengalami perbaikan dalan beberapa minggu pertama (WHO, 2014).

(9)

positif Mycobacterium tuberculosis menjadi negatif setelah fase pengobatan merupakan salah satu indikator keberhasilan pengobatan TB maupun TB-MDR. Kultur sputum dinyatakan telah konversi bila pemeriksaan kultur sputum yang dilakukan 2 kali berurutan dengan jarak pemeriksaan 30 hari menunjukkan hasil yang negatif. Tanggal pertama pengambilan spesimen kultur dengan hasil konversi negatif dijadikan tanggal konversi. Pemeriksaan kultur sputum dilakukan setiap bulan selama fase intensif dan setiap 2 bulan pada fase lanjutan (WHO, 2014).

Pada manajemen TB-MDR, penggunaan obat injeksi (suntik), peralihan dari fase intensif ke fase lanjutan dan penentuan keberhasilan pengobatan bergantung pada status mikrobiologi dari kultur sputum pasien. Konversi kultur sputum dini telah terbukti secara luas menunjukkan keberhasilan pengobatan baik pada kelompok sensitif maupun resisten OAT. Konversi kultur sputum setelah 2 bulan pengobatan dilaporkan secara luas sebagai prediktor kuat dan indikator dini dari keberhasilan pengobatan pada TB sensitif OAT. Hal yang sama juga ditemukan pada kelompok TB-MDR, hasil pengobatan yang lebih baik didapatkan dari pasien TB-MDR yang berhasil mengalami konversi kultur sputum setelah 2 bulan (Basit et al., 2014).

2.2. Hubungan Tuberkulosis dengan Diabetes Melitus 2.2.1 Diabetes Melitus

Diabetes melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-keduanya. Hiperglikemia kronik pada diabetes berhubungan dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi atau kegagalan beberapa organ tubuh, terutama mata, saraf, ginjal, jantung dan pembuluh darah (Purnamasari, 2009).

(10)

Diperkirakan terdapat 8,4 juta kasus DM di Indonesia pada tahun 2000, dan akan berkembang menjadi 21,3 juta pada tahun 2030 (Wild, 2004).

Diagnosis DM didasarkan atas pemeriksaan konsentrasi glukosa darah. Untuk diagnosis, pemeriksaan yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa dengan cara enzimatik dengan bahan darah plasma vena. PERKENI membagi alur diagnosis DM menjadi dua bagian besar berdasarkan ada tidaknya gejala khas DM. Gejala khas DM terdiri dari poliuria, polidipsia, polifagia dan berat badan menurut tanpa sebab yang jelas, sedangkan gejala tidak khas DM, lemas, kesemutan, luka yang sulit sembuh, gatal, mata kabur, disfungsi ereksi (pria) dan pruritus vulva (wanita). Apabila ditemukan gejala khas DM, pemeriksaan glukosa darah abnormal satu kali saja sudah cukup untuk menegakkan diagnosis, namun apabila tidak ditemukan gejala khas DM, maka diperlukan dua kali pemeriksaan glukosa darah abnormal. Diagnosis DM juga dapat ditegakkan melalui cara pada Tabel 2.2. (Purnamasari, 2009).

Tabel 2.2. Kriteria diagnostik DM

1. Gejala klasik DM + glukosa plasma sewaktu ≥ 200 mg/dL (11.1 mmol/L)

Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa memperhatikan waktu makan terakhir

2. Atau

Gejala klasik DM + glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dL (7,0 mmol/L) Puasa diartikan pasien tidak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8 jam

3. Glukosa plasma 2 jam pada TTGO ≥ 200 mg/dL (11,1 mmol/L) TTGO

dilakukan dengan standar WHO, menggunakan beban glukosa yang setara dengan 75 gram glukosa anhidrus yang dilarutkan ke dalam air

(11)

2.2.2. Epidemiologi Tuberkulosis disertai Diabetes Melitus

Tuberkulosis dan diabetes melitus sama-sama diketahui sebagai penyakit yang menimbulkan beban global yang besar. Sekitar sepertiga penduduk dunia terinfeksi Mycobacterium tuberculosis dan 10% diantaranya akan mengidap TB aktif sepanjang hidupnya. Pada saat yang sama, dunia juga menghadapi peningkatan prevalensi diabetes bersama dengan penyakit tidak menular lainnya (Skowronski et al., 2013). Meningkatnya prevalensi kedua penyakit tersebut diikuti dengan meningkatnya kasus yang diakibatkan oleh asosiasi diantara keduanya. Diperkirakan 10% kasus infeksi TB di seluruh dunia berkaitan dengan diabetes dan kondisi tersebut meningkatkan risiko terkena infeksi TB sebesar 2-3 kali serta risiko meninggal selama dalam pengobatan dibandingkan dengan tanpa diabetes (WHO, 2011).

Sebagai negara dengan prevalensi TB tertinggi ke-3 di dunia (WHO,2015) serta tertinggi ke-5 untuk prevalensi DM (IDF, 2014), Indonesia menghadapi begitu banyak kasus TB yang dicetuskan maupun diperberat oleh keadaan penyakit kronis pada pasien-pasien DM. Sebuah penelitian yang dilakukan di Indonesia menemukan riwayat DM tipe 2 pada 13,3% pasien TB. Penelitian tersebut menyatakan adanya hubungan yang kuat antara TB dan DM di Indonesia (Alisjahbana et al., 2006).

2.2.3. Pengaruh Diabetes Melitus terhadap Infeksi Tuberkulosis

Diabetes yang tidak terkontrol dengan baik dapat mengarah pada berbagai komplikasi, diantaranya penyakit vaskular, neuropati, dan rentannya terkena infeksi termasuk infeksi yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis

(12)

Gambar

Gambar. 2.1. Diagram Persentase Perkiraan Kasus TB-MDR yang Mendapat
Tabel 2.1. Kelompok OAT untuk Pengobatan TB-MDR

Referensi

Dokumen terkait

• Multiguna iB Hasanah, merupakan fasilitas pembiayaan konsumtif yang diberikan kepada anggota masyarakat untuk membeli barang kebutuhan konsumtif dengan agunan

The International Archives of the Photogrammetry, Remote Sensing and Spatial Information Sciences, Volume XL-5/W6, 2015 Photogrammetric techniques for video surveillance,

manakala perubahan permintaan disebabkan oleh faktor-faktor lain selain harga barang itu sendiri... 4 a) Rajah di bawah menunjukkan keluk permintaan DoDo dan D1D1. D1 D1

The International Archives of the Photogrammetry, Remote Sensing and Spatial Information Sciences, Volume XL-5/W6, 2015 Photogrammetric techniques for video surveillance,

The International Archives of the Photogrammetry, Remote Sensing and Spatial Information Sciences, Volume XL-5/W6, 2015 Photogrammetric techniques for video surveillance,

[r]

4. Pameran literasi dapat dilaksanakan di luar kelas dengan meja-meja yang diatur untuk memamerkan karya tulisan siswa dan bahan bacaan. Kegiatan membaca dapat dilakukan di

Kedua faktor penyebab konflik tokoh Amelia meliputi kondisi lingkungan yang tidak mendukung, tuduhan yang tidak sesuai kenyataan, kenyataan yang tidak sesuai harapan,