• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perilaku keluarga dalam pencegahan kejadian jatuh pada lansia di lingkungan x kelurahan teladan timur kecamatan medan kota

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Perilaku keluarga dalam pencegahan kejadian jatuh pada lansia di lingkungan x kelurahan teladan timur kecamatan medan kota"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

1. Perilaku

1.1 Definisi Perilaku

Skiner seorang ahli perilaku merumuskan bahwa prilaku merupakan

respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Oleh

karena perilaku rerjadi melalui peroses adanya stimulus terhadap adanya

organisme. Dan kemudian tersebut merespon, maka teori Skiner ini disebut

(stimulus- organisasi-respon). Skiner membedakan adanya dua respon

responden respon atau reflexive, yaitu respon yang di timbulkan oleh

karena rangsangan-rangsangan tertentu. Stimulus semacam ini disebut

elicting stimulus karena menimbulkan respon-respon yang relatif tetap dan

operant respons atau instrumental, yaitu respon yang timbul berkembang

kemudian diikuti oleh stimulus atau perangsangan tertentu. Perangsangan

ini disebut reinforcing stimulation atau reinforce karena memperkuat

respon. (Notoatdmojo, 2010).

Dilihat dari bentuk respon terhadap stimulus ini, maka perilaku dapat

dibedakan menjadi dua.

1.1.1 Perilaku Tertutup

Rerpon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk terselubung

atau tertutup. Respon atau reaksi terhadap stimulus ini masih

(2)

sikap yang terjadi pada orang yang menerima stimulus tersebut dan

belum dapat diamati secara jelas.

1.1.2 Perilaku Terbuka

Respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk tindakan

nyata atau terbuka, respon terhadap stimulus tersebut jelas dalam

bentuk tindakan atau praktek yang mudah dapat diamati atau

dengan mudah diamati.

Penelitian Roger (1974) mengungkap bahwa sebelum orang

mengadopsi perilaku baru didalam diri seseorang tersebut terjadi

proses yang berurutan yakni :

a. Awereness (kesadaran) dimana orang tersebut menyadari

dalam arti mengetahui terlebih dahulu terhadap stimulus

b. Interest (merasa terbaik) terhadap stimulus atau objek

tersebut. Disini sifat subjek sudah mulai timbul

c. Evaluation (menimbang-nimbang) baik tidaknya stimulus

tersebut bagi dirinya.

d. Trial, dimana subjek mulai mencobaa melakukan sesuatu

sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh stimulus.

e. Adoption, dimana subjek telah berperilaku sesuai dengan

pengetahuan, sesadaran dan sikapnya terhadap stimulus

Adapun perilaku itu tidak disadari oleh pengetahuan,

kesadaran tidak akan berlangsung lama. Sesuatu contoh

(3)

imunisasi yang diperintahkan oleh lurah atau ketua RT tanpa

ibu-ibu mengetahui makna dan tujuan imunisasi tersebut, meraka tidak

akan mengimunisasikan bayinya lagi setelah beberapa saat

2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku

2.1Keturunan

Keturunan diartikan sebagai pembawaan yang merupakan karunia dari

Tuhan Yang Maha Esa. Pengaruh faktor keturunan bagi perilaku diperlukan

pengembangan pada masa pertumbuhannya. Dalam beberapa keturunan

terdapat beberapa azas yaitu : azas reproduksi yaitu kecakapan dari ayah dan

ibu tidak dapat diturunkan kepada anaknya karena kecakapan merupakan

hasil belajar dari tiap individu. Azas variasi yaitu penurunan sifat dari

orangtua pada keturunannya terdapat variasi baik kualitas maupun kuantitas.

Azas regresi fillial yaitu adanya penyususnan sifat-sifat orangtua yang

diturunkan kepada anak-anaknya.

Azas jenis menyilang yaitu apa yang diturunkan kepada anak mempunyai

sasaran menyilang. Ibu akan menurunkan sifat lebih banyak kepada anak

laki-laki dan ayah lebih banyak menurunkan pada anak perempuan. Azas

kompromitas yaitu setiap individu akan menyerupai ciri-ciri yangditurunkan

oleh kelompok rasnya.

2.2Lingkungan

Lingkungan sering disebut dengan miliu, environment atau juga disebut

(4)

berpengaruh pada diri individu dalam berperilaku. Lingkungan turut

berpengaruh terhadap perkembangan pembawaan dan kehidupan manusia.

Lingkungan dapat digolongkan atas lingkungan manusia, yang termasuk

kedalam lingkungan ini adalah keluarga, sekolah dan masyarakat, termasuk

didalamnya kebudayaan, agama, taraf kehidupan dan sebagainya, lingkungan

benda yaitu benda yang terdapat disekitar manusia yang turut memberi warna

pada jiwa manusia yang berbeda disekitarnya dan lingkungan geografis.

Latar geografais turut mempengaruhi corak kehidupan manusia. Masyarakat

yang tinggal dipantai mempunyai keahlian, kegemaran dan kebudayaan yang

berbeda dengan manusia yang tinggal di daerah gersang. (Notoatmodjo

2003).

Pengaruh lingkungan pada individu mempunyai dua sasaran yaitu

lingkungan membuat individu sebagai mahluk sosial dan lingkungan

membuat wajah budaya bagi individu. Dengan lingkungan dapat

mempengaruhi prilaku manusia sehingga kenyataannya akan menuntut suatu

keharusan sebagai mahluk sosial yang dalam keadaan bergaul satu dengan

yang lainnya (Purwanto, 1998).

2.3Macam-macam Perilaku Manusia

Perilaku manusia terdapat banyak macamnya yaitu perilaku reflek,

perilaku refleks bersarat dan perilaku yang mempunyai tujuan. Ada sejumlah

perilaku refleks yang dilakukan oleh manusia secara otomatik. Perilaku

refleks diluar lapangan kemampuan manusia serta terjadi tanpa berpikir dan

(5)

mengecilkan kelopak mata, secara umum perilaku refleks mempunyai tujuan

menghindar ancaman yang merusak keberadaan individu, sehingga individu

dapat berperilaku dan berkembang normal.

Perlilaku refleks bermasyarat adalah merupakan perilaku yang muncul

karana adanya perangsangan tertentu. Reaksi ini wajar dan merupakan

pembawan manusia dan bisa dipelajari atau didapat dari pengalaman

Perilaku yang mempunyai tujuan disebut perilaku naluri. Menurut

Spencer perilaku naluri adalah gerakan refleks yang komplek atau merupakan

rangkaian tahap-tahap yang banyak, nasing-masing tahap merupakan perilaku

refleks yang sederhana. Ada tiga gejala yang menyertai perilaku bertujuan

yaitu pengenalan, perasaan, atau emosi dorongan, keinginan atau motif

(Purwanto 1998).

2.4Aspek Sosial – Psikologi Kesehatan

Didalam proses pembentukan dan atau berubahan perilaku dipengaruhi

oleh beberapa faktor yang berasal dari dalam diri individu itu sendiri,

faktor-faktor tersebut antara lain : susunan syaraf pusat, persepsi, motovasi, emosi

dan belajar. Susunan saraf pusat memegang peranan penting dalam perilaku

manusia, karena merupaakan sebuah bentuk perpindahan dari rangsangan

yang masuk ke rangsangan yang dihasilkan. Perpindahan ini dihasilkan

susunan saraf dengan unit-unit dasarnya yang di sebut neuron.

Perubahan-perubahan perilaku dalam diri seseorang dapat diketahui dari

persepsi. Persepsi adalah pengalaman yang dihasil melalaui indra

(6)

sebagai dorongan untuk bertindak untuk mencapai tujuan tertentu, hasil dari

dorongan dan gerakan ini diwujudkan dalam bentuk perilaku.

Perilaku juga dapat timbul karena emosi, aspek sosial psikologi yang

mempengaruhi emosi berhubungan erat dengan keadaan jasmani, sedangkan

keadaan jasmani merupakan hasil dari keturunan. Dalam proses pencapaian

kedewasaan pada manusia semua aspek yang berhubungan dengan keturunan

dan emosi akan berkembang sesuai dengann hukum perkembangan. Oleh

kerana itu perilaku yang timbul karena emosi merupakan perilaku bawaan.

Belajar diartikan senagai suatu perubahan perilaku yang dihasilkan dari

praktek-praktek dalam lingkungan kehidupan. Belajar adalah suatu

berubahan perilaku yang dihasilkan dari perilaku terdahulu.

Faktor-faktor yang memegang peranan didalam pembentukan perilaku

dapat dibedakan menjadi dua yakni faktor internal dan faktor eksternal.

Faktor internal merupakan kecerdasan, perspsi, motivasi, minaat, emosi, dan

sebagainya untuk mengelola pengaruh-pengaruh dari luar. Faktor eksternal

meliputi objek, orang, kelompok dan hasil-hasil kebudayaan yang dijadikan

sasaran dalam perwujutan perilaku, kedua faktor tersebut akan dapat terpadu

menjadi perilaku yang selalas dengan lingkungan apabila perilaku yang

terbentuk dapat diterima oleh lingkungannya, dan dapat diterima oleh

individu yang bersangkutan. (Notoatmodjo, 2003).

2.5Determinasi Perilaku

Perilaku seseorang atau masyarakat tentang kesehatan ditentukan oleh

(7)

masyarakat yang bersangkutan (Notoatmodjo, 2003). Seseorang berperilaku

tertentu disebabkan oleh pemikiran dan perasaan yakni dalam bentuk

pengetahuan, persepsi, sikap, kepercayaan, dan penilaian-penilaian seseorang

terhadap objek.

3. Konsep Keluarga 3.1 Definisi Keluarga

Menurut Depkes RI (1998) dalam Setiawati (2008), keluarga adalah unit

terkecil dari masyarakat yang terdiri atas kepala keluarga dan beberapa orang

yang terkumpul serta tinggal di suatu tempat di bawah satu atap dalam keadaan

saling ketergantungan. Keluarga merupakan salah satu potensi masyarakat

yang paling berharga, dan mencerminkan kelompok sosial primer yang dapat

mempengaruhi dan dipengaruhi oleh orang dan kelompok lain (Kenzie, 2006).

Menurut whall (1986) dalam Friedman (1998), keluarga adalah sebagai

kelompok yang mengindentifikasikan diri dengan anggotanya terdiri dari dua

individu atau lebih, yang asosiasinya dicirikan oleh istilah-istilah khusus yang

boleh jadi tidak diikat oleh hubungan darah atau hukum. Bentuk keluarga

terdiri atas keluarga inti (konjungal), keluarga orientasi (keluarga asal) dan

keluarga besar. Keluarga inti adalah keluarga yang menikah, sebagai orang

tua, atau memberi nafkah keluarga inti terdiri dari suami, istri, dan anak

kandung. Sedangkan keluarga orientasi (keluarga asal) adalah suatu unit

(8)

keluarga inti dan orang-orang yang berhubungan darah, sanak keluarga,

kakek, nenek, tante dan sepupu.

Burgess dkk. (1963) dalam Friedman (1998), membuat definisi keluarga

yang berorientasi pada tradisi dan digunakan sebagai referensi secara luas :

a. Keluarga terdiri atas orang-orang yang disatukan dalam ikatan darah dan

ikatan adopsi.

b. Para anggota sebuah keluarga biasanya hidup bersama-sama dalam satu

rumah tangga atau jika mereka hidup secara terpisah, mereka tetap

menganggap rumah tangga tersebut sebagai rumah mereka.

c. Anggota keluarga berinteraksi dan berkomunikasi satu sama lain dalam

peran-peran sosial keluarga seperti suami-istri, ayah dan ibu, anak laki-laki

dan anak perempuan, saudara dan saudari.

d. Keluarga sama-sama menggunakan kultur yang sama, yaitu kultur yang

diambil dari masyarakat dengan beberapa ciri unik tersendiri.

3.2 Bentuk-Bentuk Keluarga

Pembagian tipe keluarga menurut Sussman (1974) dalam Effendi (2009),

adalah :

3.2.1 Keluarga tradisional

a. Keluarga inti, keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak.

b. Pasangan inti, keluarga yang terdiri dari suami dan istri saja.

c. Keluarga dengan orang tua tunggal, satu orang sebagai kepala

keluarga, biasanya bagian dari konsekuensi perceraian.

(9)

e. Keluarga besar yang mencakup tiga generasi

f. Pasangan usia pertengahan atau pasangan lanjut usia

g. Jaringan keluarga besar.

3.2.2 Keluarga non tradisional

a. Pasangan yang memiliki anak tanpa menikah

b. Pasangan yang hidup bersama tanpa menikah

c. Keluarga homoseksual (gay dan/atau lesbian)

d. Keluarga komuni, yaitu keluarga yang lebih dari satu pasang

monogami dengan anak secara bersama-sama menggunakan

fasilitas serta sumber-sumber yang ada.

3.3 Fungsi Dan Tugas Keluarga

Status sehat-sakit pada keluarga dan pengaruh status sehat-sakit keluarga

saling mempengaruhi satu sama (Friedman, 1998). Keluarga cenderung

menjadi seorang pengambil keputusan terhadap masalah-masalah kesehatan

anggota keluarga, dalam mengambil keputusan pada setiap tahap sehat dan

sakit para anggota keluarga, mulai dari keadaan sehat hingga diagnosa

tindakan dan penyembuhan. yaitu ada enam tahap sehat atau sakit dari

sebuah keluarga,

3.3.1 Tahap pencegahan sakit dan mengurangi resiko

Keluarga dapat memainkan suatu peran vital dalam upaya

peningkatan kesehatan dan pengurangan resiko. Kebanyakan peran

berkisar pada masalah- masalah pola hidup, misalnya berhenti

(10)

sebagainya. Agar dapat berjalan dengan baik, para anggota keluarga

perlu mempelajari status kesehatan mereka dan citra tubuh seperti,

apakah tubuh mereka lemah, sakit-sakitan atau sehat dan sembuh.

3.3.2Tahap gejala penyakit yang dialami keluarga dan penilaian tahap ini

mulai jika gejala-gejalanya, yaitu : diketahui, diinterpretasikan sejauh

mana menyangkut keseriusan kemungkinan penyebab dan penting

artinya, ditemukan dengan berbagai masalah

Tahap ini terdiri dari kepercayaan-kepercayaan menyangkut

gejala-gejala atau penyakit dari anggota keluarga dan bagaimana menangani

penyakit tersebut (Doherly dan Camphel, 1988 dikutip dari Friedman,

1998). Keluarga berfungsi sebagai titik tolak penilaian tingkah laku

dan memberikan definisi-definisi dasar sehat dan sakit, maka keluarga

mempengaruhi persepsi-persepsi individu.

3.3.3 Tahap Mencari Perawatan

Tahap mencari perawatan mulai ketika keluarga menyatakan bahwa

anggota keluarga yang sakit benar-benar sakit dan membutuhkan

pertolongan. Keluarga mulai mencari informasi, penyembuhan,

nasehat dan validitas profesional dari keluarga lain, teman-teman,

tetangga dan non profesional lainnya. Keputusan menyangkut apakah

penyakit dari seorang anggota keluarga harus ditangani di rumah atau

disebuah klinik medis atau rumah sakit, cenderung dirundingkan di

(11)

sering disebutkan dalam kaitannya dengan perawatan di rumah dan

pengobatan sendiri.

3.3.4 Kontak keluarga dengan tahap sistem kesehatan

Dimulai ketika melakukan kontak dengan lembaga kesehatan atau

profesional dibidang atau dengan praktisi sosial lokal (dukun).

Keluarga merupakan instrumen dalam membuat keputusan

menyangkut dimana penanganan harus diberikan dan oleh siapa, dalam

fungsinya keluarga juga membuat keputusan bagi seorang anggota

keluarganya untuk mendapat pelayanan rujukan kesehatan yang lebih

primer yaitu membuat keputusan-keputusan menyangkut pelayanan

apa yang hendak digunakan, juga ditentukan oleh ketersedian dan

kemampuan akses perawatan kesehatan bagi keluarga. Jenis perawatan

kesehatan yang dicari juga sangat berbeda seperti tabib, akupuntur dan

spesialis bedah (Pratt, 1976 dalam Friedman, 1998).

3.3.5 Respon keluarga

Karena pasien menerima perawatan kesehatan dari praktisi, sudah

tentu ia menyerahkan beberapa hak prerogatifnya dan keputusannya

serta diharapkan menerima peran sebagai pasien. Hal ini dicirikan oleh

suatu ketergantungan pada nasehat dari profesional di bidang

kesehatan, keinginan untuk mentaati nasehat medis dan berupaya keras

untuk sembuh, keluarga juga mengharapkan adanya perubahan dalam

diri anggota keluarga yang sakit dan mengharapkan agar dapat

(12)

penting dalam menentukan perilaku peran pasien dari anggota

keluarganya yang sakit, keluarga juga bersifat instrumental dalam

memutuskan dimana penanganan harus diberikan di rumah sakit atau

di rumah. Upaya-upaya yang dilakukan oleh medis sering

menimbulkan konflik dengan nilai-nilai keluarga sehingga

menimbulkan masalah pada medis. Tahap respons yang akut juga

berkenaan dengan penyesuaian segera yang harus dilakukan oleh

keluarga dengan anggota keluarga yang sakit, diagnosa dan penaganan.

Untuk penyakit yang lebih serius atau penyakit yang mengancam jiwa,

krisis keluarga bisa terjadi dimana keluarga mengalami kekacauan

yaitu sebagai respon terhadap kekuatan stressor.

3.3.6 Tahap adaptasi penyakit dan pemulihan

Keluarga mempunyai suatu peran yang bersifat mendukung selama

masa penyembuhan dan pemulihan pasien. Apabila dukungan

semacam ini tidak ada, maka keberhasilan penyembuhan atau

pemulihan (rehabilitasi) sangat berkurang.

4 Konsep Lanjut Usia

4.1 Pengertian Lansia

Lansia (Lanjut usia) adalah suatu proses yang terus-menerus (berlanjut)

secara alamiah, dimulai sejak lahir dan umum dialami pada semua makhluk

hidup. Lansia bukanlah suatu penyakit, melainkan suatu masa atau tahap

(13)

Batasan-batasan lansia menurut WHO, meliputi: (Kushariyadi, 2010).

a. Usia pertengahan (middle age), antara 45 sampai 59 tahun

b. Lanjut usia (elderly), antara 60 sampai 74 tahun

c. Lanjut usia tua (old), antara 75 dan 90 tahun

d. Usia sangat tua (very old), di atas 90 tahun.

4.2 Perubahan-perubahan yang terjadi pada lansia

Menurut Nugroho (1992), banyak perubahan-perubahan yang terjadi pada

lansia yaitu:

a. Perubahan fisik

Perubahan fisik pada lansia meliputi banyak sistem yang ada pada tubuh,

diantaranya:

1. Sel

Jumlah sel pada lansia, lebih sedikit jumlahnya dan lebih besar

ukurannya serta berkurangnya cairan intraseluler.

2. Sistem persyarafan

Pada sistem persyarafan, lansia mengalami pengecilan syaraf panca

indera, berkurangnya pengelihatan, hilangnya pendengaran,

mengecilnya saraf pencium dan perasa, lebih sensitif terhadap

perubahan suhu dengan rendahnya ketahanan terhadap dingin.

3. Sistem pendengaran

Gangguan pendengaran pada lansia (Presbiakusis) yaitu hilangnya daya

pendengaran pada telinga dalam terutama terhadap suara atau

(14)

4 Sistem penglihatan

Terjadi kekeruhan pada lensa, penurunan lapangan pandang, dan daya

adaptasi terhadap kegelapan lebih lambat.

5. Sistem Kardiovaskuler

Sistem kardiovaskuler pada lansia mengalami penurunan kemampuan

1% pertahun setiap memompa darah sesudah berumur 20 tahun,

penebalan katup jantung, kehilangan elastisitas pembuluh darah, dan

terjadinya tekanan darah tinggi akibat resistensi pembuluh darah

perifer.

6. Sistem respirasi

Paru-paru pada lansia kehilangan elastisitas yaitu meningkatnya

kapasitas residu, menarik nafas lebih berat, kapasitas pernafasan

menurun dan kedalaman pernafasan menurun.

7. Sistem gastrointestinal

Pada lansia biasanya banyak kehilangan gigi (periodental disease),

indera pengecap menurun, esofagus melebar, rasa lapar menurun, dan

fungsi absorbsi melemah.

8. Sistem genito urinaria

Pada sistem genito urinaria terutama ginjal mengalami pengecilan dan

atrofi pada nefron,aliran darah ke ginjal menurun 50% serta nilai

ambang ginjal terhadap glikosa meningkat. Selain pada ginjal, otot-otot

(15)

dikosongkan, Pembesaran prostat 75% dialami oleh pria usia diatas 65

tahun, sedangakan pada wanita terjadi menopause dan atrofi vulva.

9. Sistem endokrin

Pertumbuhan hormon semakin rendah daiantaranya penurunan hormon

aldosteron serta sekresi hormon kelamin (progesteron, estrogen, dan

testosteron).

10.Sistem integumen (kulit)

Kulit pada lansia keriput dan kelenjar keringat berkurang jumlah dan

fungsinya.

11.Sistem muskuloskeletal

Tulang kehilangan cairan, persendian membesar dan menjadi kaku.

b. Perubahan-perubahan mental

Kenangan jangka panajang lansia berlangsung berjam-jam sampai

berhari-hari yang lalu, mencakup beberapa perubahan sedangkan pada kenangan

jangka pendek hanya berlangsung selama 10 menit terutama kenangan

buruk yang baru saja dialami.

1. IQ (Interlegentia Quantion)

I.Q pada lansia tidak berubah dengan informasi matematika dan

perkataan verbal, berkurangnya penampilan,dan pada keterampilan

psikomotor terjadi perubahan pada daya membayangkan sesuatu hal

(16)

c. Perubahan-perubahan Psikososial

Perubahan-perubahan yang terjadi pada lansia terutama meliputi

psikososial dipengaruhi oleh:

1. Pensiun adalah nilai seseorang sering diukur oleh produktivitasnya,

identitas dikaitkan dengan peranan dalam pekerjaan.

2. Merasakan atau sadar dengan adanya kematian.

3. Perubahan dalam cara hidup

Cara hidup pada lansia biasa memasuki rumah perawatan sehingga

lansia bergerak lebih sempit

4. Ekonomi lansia mengakibatkan perubahan pada psikososial lansia,

terutama akibat pemberhentian dari jabatan. Sementara meningkatnya

biaya hidup pada penghasilan yang sulit dan bertambahnya biaya

pengobatan bila terjadi suatu penyakit kepada lansia

5. Penyakit kronis dan ketidakmampuan.

6. Kesepian akibat pengasingan dari lingkungan sosial.

7. Gangguan syaraf panca indra, timbul kebutaan dari ketulian.

8. Gangguan gizi akibat kehilangan jabatan.

9. Rangkaian dari kehilangan, yaitu kehilangan hubungan dengan

teman-teman dan famili.

4.3 Hilangnya kekuatan dan ketegapan fisik:

Perubahan terhadap gambaran diri, perubahan konsep diri. Akibat dari

(17)

psikososial terjadi masalah fisik sehari-hari dan sering ditemukan pada lanjut

usia salah satunya yaitu:

a. Mudah jatuh

Penyebab mudah jatuh atau sering jatuh adalah bermacam-macam atau

multi faktor:

1. Faktor intrinsik, misalnya:

a. Gangguan jantung atau sirkulasi darah.

b. Gangguan sisitem susunan syaraf.

c. Gangguan sisitem anggota gerak.

d. Pengaruh obat-obatan yang dipakai.

e. Gangguan penglihatan.

f. Gangguan psikologis.

2. Faktor Ekstrinsik (Penyebab dari lingkungan sekitarnya), misalnya:

a. Cahaya ruangan yang kurnag terang.

b. Lingkungan yang tidak biasa lanjut usia sehingga dirasa asing pada

sekitarnya.

c. Lantai yang licin dan lain-lain.

3. Faktor-faktor yang sukar diketahui

Faktor yang sulit dipengaruhi dapat berupa pengaruh makan yang

kurang. Jatuh sering membawa akibat berkelanjutan yang berangkai

misalnya: timbul perubahan pada persendian alat-alat gerak

(18)

5. Kejadian Jatuh Pada Lansia

5.1 Faktor-faktor yang mempengaruhi jatuh pada lansia

Menurut Probosuseno (2006) faktor-faktor yang dapat mempengaruhi risiko

jatuh pada lansia dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain :

5.1.1 Faktor fisik

Faktor-faktor yang menyebabkan jatuh sangat komplek dan tergantung

kondisi lansia. Diantara adanya disability, penyakit yang sedang diderita;

perubahan-perubahan kaibat proses penuan (penurunan pendengaran,

penurunan visus, penurunan mental, penurunan fungsi indra yang lain,

lambatnya pergerakan, dan lansia yang hidup sendiri) neuropati perifer.

Nueropati perifer dapat di nilai dengan tes berdiri satu kaki selama 10 detik,

bila gagal dalam tiga tes, sangat mungkin terdapat neuropati. Kondisi sakit,

panas badan atau peningkatan angka leukosit dan limfosit serta hemoglobin

yang rendah juga meningkatkan risiko terjadinya jatuh (Probosuseno, 2006).

Dalam penelitian Boedhi-Darmojo (1991), menyebutkan bahwa

gangguan penglihatan lebih banyak dialami oleh wanita (81,1%) dari pada

pria (74,1%). Dengan bertambahnya usia akan menyebabkan kekendoran

seluruh jaringan kelopak mata disebut dengan perubahan involusi, terjadi

pada M. Orbikularis, refraktor palpebra inferior, tarsus, tendon kantus,

medial/lateral,aponeurosis muskular levator palpebra, dan kulit. Maka

bagian-bagian organ mata juga mengalami perubahan seperti retina,

perubahan retina terjadi karena usia yang semakin meningkat, dan ini

(19)

pandang sehingga dapat meningkatkan jatuh ( Wilardjo, 2000 dalam Boedhi,

2000). Pada gangguan penglihatan ini penyakit-penyakit yang sering terjadi

antara lain katarak, glaukoma, degenerasi makular, gangguan visus pasca

stroke dan retinopati diabetika yang meningkat sesuai dengan umur.

Entropion, ektropion tau epifora yang menyebabkan gangguan penglihatan

juga meningkatkan insiden jatuh padan lansia. Walaupun gangguan

penglihatan meningkatkan insiden jatuh tetapi kebutaan tidak meningkatkan

insiden jatuh (Kane, 1994 dalam Boedhi,2000).

Pada gangguan pendengaran dapat meningkatkan risiko jatuh karena

terjadinya gangguan keseimbangan tubuh lansia yang merupakan kaibat dari

proses menua (Probosuseno, 2006). Berbagai masalah yang dapat

menggangu keseimbangan itu antara lain dizziness (rasa keseimbangan yang

tertanggu, goyah), rasa ingin pingsan, rasa melayang (light-headedness), dan

vertigo (Brocle-hurst, 1987 dalam Boedhi, 2000).

5.1.2 Faktor Aktivitas

Sebagian besar jatuh terjadi pada saat lansia melakukan aktivitas biasa

seperti berjalan, naik turun tangga, mengganti posisi. Hanya sedikit sekali

(5%), jatuh terjadi pada saat lansia melakukan aktivitas berbahaya seperti

mendaki gunung atau olahraga berat. Jatuh juga sering terjadi pada lansia

dengan banyak kegiatan dan olahraga, mungkin disebabkan oleh kelelahan

atau terpapar bahaya yang lebih banyak. Jatuh juga sering terjadi pada

(20)

tempat atau mengambil sesuatu tanpa petolongan (Reuben, 1996; Campbel,

1987 dalam Boedhi, 2000).

Laki-laki dengan mobilitas, postur yang tidak stabil, mempunyai risiko

jatuh sebesar 4,5 kali dibandingkan dengan yang tidak aktif atau aktif,

tetapi dengan postur yang stabil. Penelitian selama setahun terhadap 4.862

penderita yang dirawat dirumah sakit atau panti jompo, didapatkan

penderita dengan risiko jatuh paling tinggi adalah penderita aktif dengan

stabil gangguan keseimbangan (Probosuseno, 2006).

5.1.3 Faktor Lingkungan

Menurut (Kane, 1994 dalam Boedhi, 2000) faktor-faktor lingkungan

yang sering dihubungkan dengan jatuh pada lansia antara lain alat-alat atau

perlengkapan rumah tangga yang sudah tua atau tergeletak di bawah,

tempat tidur dan WC yang rendah/jongkok, tempat berpegangan yang tidak

kuat/tidak mudah di pegang, lantai yang tidak datar baik yang ada trapnya

ataupun menurun, karpet yang tidak dilem dengan baik, keset yang menebal

menekuk pinggirnya, dan benda-benda alas lantai yang licin atau mudah

tergeser, lantai yang licin atau basah, penerangan yang tidak baik (kurang

atau menyilaukan), alat bantu jalan yang tidak tepat ukuran, berat, maupun

cara penggunaanya.

Sekitar 10% lansia jatuh ditangga, dengan kejadian jatuh saat turun

tangga lebih banyak dibandingkan saat naik, yang lainya terjadi karena

(21)

licin atau tidak rata dan penerangan ruang yang kurang (Kane, 1994 dalam

Boedhi, 2000).

5.5 Faktor Obat-obatan dan makanan

Lansia tidak hanya rentan terhadap penyakit terapi rentan juga terhadap

gangguan obat-obatan, intoksikasi obat dan interaksi obat yang sering

terjadi pada lansia dengan umur diatas 65 tahun. Kadar obat dalam serum

tidak stabil karena perubahan farmakokinetik akibat proses menua dan

penyakit juga sering menyebabkan intoksikasi obat pada lansia.

Obat-obatan juga meningkatkan risiko jatuh terutama obat-Obat-obatan yang

menyebabkan samnolen (obat hipnotik), postural hipertension (diuretik,

nitrat, obat anti hipertensi dan anti depresan trisiklik) dan kebingungan

(simetidine dan digitalis). Lansia juga sering melakukan kesalahan dalam

penggunaan obat (Kane, 1994 dalam Boedhi, 2000).

Lansia juga sering melakukan kesalahan dalam penggunaan obat

terutama terjadi pada lansia dengan mengkonsumsi obat tiga atau lebih

obat-obatan yang diberkan oleh dokter. Jatuh yang biasanya disebabkan

oleh terapi obat-obatan dinamakan roboh iatrogenik (suatu kondisi yang

disebabkan oleh pengobatan kondisi primer atau disebabkan tindakan

dokter karena pengobatan) (Probosuseno, 2006).

5.2 Komplikasi Jatuh

Menurut (Kane, 1994 dalam Boedhi, 2000) jatuh pada lansia menimbulkan

komplikasi-komplikasi antara lain (1) Perlakuan (injury) yaitu rusaknya

(22)

otot, robeknya arteri atau vena, patah tulang (fraktur) pada pelvis, femur

(terutama kollum), humerus, lengan bawah, tungkai bawah dan bisa juga

menyebabkan hematom subdural. (2) perawatan rumah sakit yaitu komplikasi

akibat tidak dapat bergerak (imobilitas), risiko penyakit-penyakit iatrogenik.

(3) Disabilitas yaitu penurunan mobilitas yang berhubungan dengan perlukaan

fisik, penurunan mobilitas akibat jatuh, kehilangan percaya diri, dan

pembatasan gerak. (4) Risiko untuk dimasukan dalam rumah perawatan

(nursing care). (5) Mati.

6. Pencegahan Jatuh

Usaha pencegahan merupakan langkah yang harus dilakukan karena bila

sudah terjadi jatuh pasti terjadi komplikasi, meskipun ringan tetap memberatkan.

Menurut (Tinetti, 1992 dalam Boedhi, 2000) ada tiga usaha pokok untuk

mencegah jatuh, antara lain:

6.1 Identifikasi faktor risiko

Pada stiap lansia perlu dilakukan pemeriksaan untuk mencari adanya faktor

host (diri lansia) risiko jatuh, perlu dilakukan assesmen keadaan sensorik,

neurologik, muskuloskeletal dan penyakit sistemik yang sering

mendasari/menyebabkan jatuh.

6.2 Penilaian Keseimbangan dan gaya berjalan (gait)

Setiap lansia harus dievaluasi bagaimana keseimbangannya badan dalam

melakukan gerakan pindah tempat, pindah posisi. Penilaian postural sway

(23)

lansia. Bila goyangan badan pada saat berjalan sangat risiko jatuh, maka

diperlukan bantuan latihan medik. Penilaian gaya berjalan (gait) juga harus

dilakukan dengan cermat, apakah penderita menapakkan kakinya dengan baik,

tidak mudah goyah, apakah penderita mengangkat kakinya dengan benar pada

saat berjalan, apakah kekuatan obat ekstrimitas bawah penderita cukup untuk

berjalan tanpa bantuan. Kesemuanya itu harus dikoreksi bila terdapat

kelainan/penurunan.

7. Kesehatan Lansia

Pada umumnya usia tua penuh dengan berbagai gangguan kesehatan. Hal itu

terjadi bukan hanya karena keteledoran orang untuk menjaga kesehatan sejak masa

muda tetapi masa tua memang ditandai dengan berbagai kemunduran fungsi tubuh.

Kemunduran itu bersifat fisiologis dan berjalan secara alamiah. Hingga saat ini

belum ada obat atau cara pencegahan penurunan fisiologis pada lansia. Tapi tetap

saja mungkin untuk sehat pada lansia. Hal-hal yang bisa dilakukan dan harus

senantiasa dilakukan untuk tetap sehat pada lansia adalah menjaga kesehatan

dengan baik, mengonsumsi makanan yang bergizi, berolahraga teratur sesuai usia,

menjauhkan pikiran dari pengaruh lingkungan yang negatif, dan secara periodik

Referensi

Dokumen terkait

As Kalecki emphasized, the rise in prices and in money wages due to increases in employment and production, leads to a rise in the ‘money value of turnover’; this also causes a rise

Penentuan nilai ambang yang ditetapkan pada suatu nilai tertentu (fixed threshold) sangat berisiko untuk diterapkan pada citra tangan karena dapat menghasilkan citra tangan

UJI AKTIVITAS ANTIRADIKAL EKSTRAK ETANOL DAUN Elephantopus schaber L., Ocimum basilicum L.forma citratum Back., Graptophylum pictum Griff, dan Gynura procumbens Merr.. DENGAN

Berdasarkan hasil analisis data penelitian yang diperoleh pada kelas IV B MI Ketib dalam pembelajaran Bahasa Indonesia materi menggali informasi dari teks

Hal tersebut dikarenakan adanya perbaikan dari siklus I yaitu siswa mulai aktif dan mengikuti pembelajaran dengan tertib, pada siklus III terus mengalami

sekali, langkah-langkah pembelajaran menggunakan tipe Student Teams Achievement Division sudah dilaksanakan dengan baik namun masih ada beberapa siswa yang masih

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di kelas IV SDN Buahdua I Kecamatan Buahdua Kabupaten Sumedang pada pembelajaran bahasa Indonesia membaca pemahaman dalam

tidak merasa adanya suatu ajaran yang dipaksakan kepada anggota paduan suara Alyans yang lain. Walaupun berbeda keyakinan, anggota Alyans tetap menjalankan ajaran