• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH PEMBERIAN LEVEL PROTEIN-ENERGI RANSUM YANG BERBEDA TERHADAP KUALITAS TELUR AYAM BURAS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGARUH PEMBERIAN LEVEL PROTEIN-ENERGI RANSUM YANG BERBEDA TERHADAP KUALITAS TELUR AYAM BURAS"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH PEMBERIAN LEVEL PROTEIN-ENERGI

RANSUM YANG BERBEDA TERHADAP KUALITAS

TELUR AYAM BURAS

(The Effect of Protein-Energy Rations in Eggs Quality of Native Chickens)

SADDAT NASUTION1danADRIZAL2

1Loka Penelitian Kambing Potong, PO Box I, Sei Putih, Galang 20585, Sumatera Utara 2Fakultas Peternakan Universitas Andalas, Padang

ABSTRACT

The purpose of this study was to investigate the effects of different levels of protein energy ration on eggs quality of native chickens. The experiment used 60 layers of native chickens and 24 – 27 weeks old. They were placed in battery cages of 40 x 20 x 25 cm size. The animals were then fed on different levels of protein-energy ration consisting: A: 14.50% – 2250Kkal/kg, B: 14% – 2240 Kkal/kg, C: 15% – 2400 Kkal/kg, D: 16% – 2560 Kkal/kg, and E: 17% – 2720 Kkal/kg. The experiment was designed following a Randomized Completely Block Design according to body weight cages, 5 treatments of protein-energy levels and 4 replications. Parameters were including egg weight, coat thickness, egg index, and egg yolk collourness. The results showed that feeding on different levels of protein-energy ration in native chickens did not affect (P > 0.05) egg weight, egg shell thickness and egg index, but significantly (P < 0.05) affected the egg yolk collour. In conclusion, the composition ration of 16% protein and 2560 Kkal/kg energy appeared to be appropriate ration.

Key Words: Level Protein-Energy, Ration, Buras Layer ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian level protein-energi ransum yang berbeda terhadap kualitas telur ayam kampung petelur. Penelitian ini menggunakan 60 ekor ayam kampung betina dewasa, umur antara 24-27 minggu. Ayam ditempatkan dalam kandang battery dengan ukuran 40 x 20 x 25 cm. ransum yang digunakan dengan protein-energi masing-masingnya yaitu: A; 14.50% – 2250 kkal/kg, B; 14% – 2240 kkal/kg, C; 15% – 2400 kkal/kg, D; 16% – 2560 kkal/kg, E; 17% – 2720 kkal/kg. rancangan penelitian yang dipakai adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) berdasarkan bobot badan dengan 5 perlakuan level protein-energi dan empat kelompok bobot badan sebagai ulangan, peubah yang diukur adalah berat telur, tebal kerabang, indek telur, warna kuning telur. Hasil penelitan menunjukkan bahwa pemberian level protein-energi ransum yang berbeda memberikan pengaruh yang berbeda tidak nyata (P > 0.05) terhadap berat telur, tebal kerabang, indek telur serta berbeda sangat nyata terhadap warna kuning telur. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa level yang terbaik adalah protein 16% dengan energi 2560 kkal/kg, karena memberikan warna kuning telur yang terbaik.

Kata Kunci : Level Protein-Energi, Ransum, Ayam Kampung Petelur

PENDAHULUAN

Dalam rangka meningkatkan pendapatan masyarakat di Sumatera Barat telah di kembangkan peternakan ayam buras, diantaranya melalui proyek RRMC (Rural Rearing Multiplication Center). Hasil dari proyek ini telah mampu meningkatkan populasi dan produksi ayam buras di Sumatera

Barat. Seiring dengan terjadinya krisis ekonomi berdampak negatif pula terhadap proyek ini yang disebabkan oleh tingginya biaya produksi, yaitu melambungnya harga pakan konsentrat dan tidak stabil karena masih menggunakan bahan pakan impor seperti bungkil kedele dan tepung ikan. Salah satu kelompok tani yang dibina oleh RRMC adalah kelompok peternak ayam buras petelur Usaha

(2)

Bersama Jorong Taratak XII Kanagarian Atar, di Kecamatan Padang Ganting, Kabupaten Tanah Datar.

Akibat mahalnya harga konsentrat, peternak mengalami kesulitan untuk menyusun ransum tanpa menggunakan konsentarat yang sesuai dengan kebutuhan ayam. Tidak sesuainya ransum yang diberikan dengan kebutuhan ayam menyebabkan telur yang dihasilkan berkualitas rendah sehingga dalam pemasaran kalah bersaing dengan produk dari daerah lain. Kombinasi ransum yang tinggi kandungan protein dan asam linoleatnya, dapat menciptakan telur dengan kualitas prima

(CAHYONO, 2008). Kualitas telur tergantung

pada kualitas isi telur, yang meliputi kondisi ruang udara, kuning telur dan putih telur, kualitas kulit telur dan berat/besar telur

(SUDARYANI, 2003).

Telur ayam buras umumnya dikonsumsi dalam bentuk teh telur, telur setengah matang atau diseduh bersama jamu. Umumnya konsumen menyukai warna kuning telur yang lebih pekat, sementara telur yang banyak dihasilkan di kelompok tani peternak Usaha Bersama ini warna kuningnya pucat. Ukuran telur juga menjadi karakter tersendiri dalam mempengaruhi pilihan konsumen. Dilihat dari kandungan gizinya, telur yang besar menunjukkkan keunggulan dibanding telur yang kecil. Telur yang besar mengandung asam-asam amino esensial dan nilai biologis (protein) yang tinggi, sedangkan telur yang kecil kandungan gizinya tidak setinggi telur yang besar (CAHYONO, 2008). Selama proses

transportasi pemasaran, banyak telur yang

rusak (pecah) karena rapuhnya kerabang telur. Dengan kondisi tersebut diperkirakan peternak mengurangi populasi atau melepaskan ayamnya dan kembali kepemeliharaan ekstensif secara tradisional, dengan demikian program pemerintah daerah dalam meningkatkan pendapatan masyarakat melalui peternakan ayam kampung petelur sulit tercapai.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pemberian level protein– energi ransum yang berbeda terhadap kualitas telur ayam buras.

MATERI DAN METODE

Penelitian dilakukan di Rural Rearing Multiplication Center (RRMC), Sumatera Barat pada bulan Agustus – Oktober 2003 di kelompok peternak ayam buras petelur Usaha Bersama di Nagari Atar, Jorong Taratak XII, Kecamatan Padang Ganting Kabupaten Tanah Datar-Batu Sangkar.

Penelitian ini menggunakan 60 ekor ayam buras betina dewasa berumur antara 24 – 27 minggu, dengan bobot badan 934 – 1492 g. Sebanyak 60 buah kandang baterei dengan ukuran 40 x 25 x 45 digunakan untuk menempatkan ayam secara individu dan dilengkapi dengan tempat makan dan minum.

Ransum yang digunakan terdiri dari jagung kuning, dedak, bungkil kelapa, ikan, kedele, konsentrat 124, top mix, serta kapur dan kulit pensi sebagai sumber mineral. Kandungan zat-zat makanan penyusun ransum penelitian mengacu pada hasil penelitian SCOTT et al.

(1982) dan YULIA (1997)( Tabel 1).

Tabel 1. Kandungan zat–zat makanan (%) dan energi metabolik ransum (Kkal/kg) Kandungan zat–zat makanan Bahan PK (%) SK (%) LK (%) Ca (%) P (%) Energi metabolik Jagung kuning1 8,60 2,00 3,90 0,02 0,30 3370 Dedak1 12,00 12,00 13,00 0,12 1,50 1630 Bungkil kelapa1 21,00 15,00 1,80 0,20 0,60 1540 Tepung ikan1 58,00 1,00 19,00 7,70 3,90 2970 Kedele1 38,00 5,00 18,00 0,25 0,60 3510 Kulit pensi1 - - - 33,00 - - Kapur1 - - - 37,00 - - Top mix** - - - 5,38 1,14 - Konsentrat 124 ** 29,13 8,23 4,53 8,59 0,84 2400 1 = S

(3)

Susunan ransum penelitian sebagai perlakuan dan kandungan zat–zat makanan ransum penelitian, disajikan pada Tabel 2.

Kandungan zat–zat makanan pada ransum perlakuan dibandingkan dengan hasil

perhitungan terhadap kandungan zat–zat makanan dari SCOTT et al. (1982) dan YULIA (1997) yang tertera pada Tabel 3.

Tabel 2. Susunan ransum penelitian sebagai perlakuan dan kandungan zat–zat makanannya Perlakuan Bahan A* B C D E Jagung (%) Dedak (%) B kelapa (%) T ikan (%) Kedele olahan (%) Pensi (%) Kapur (%) Top mix (%) Konsentrat 124 (%) 33,3 43 4,9 3,9 0 2 2,9 0,2 9,8 39,1 28 20 5,30 0 4,1 3 0,5 0 44,8 24,6 14,93 8,74 0 3 3,43 0,5 0 52,82 9,08 21,75 10 0 5,85 0 0,5 0 57,34 0 21,97 10 4,35 5,84 0 0,5 0 100 Total (%) 100 100 100 100

Kandungan zat makanan** Protein Kasar (%) Serat Kasar (%) Lemak Kasar (%) Kalsium (%) Posfor (%)

Energi Metabolik (kkal/kg) Imbangan Energi dan Protein

14,50 7,45 7,81 2,91 0,98 2250 155 14 7,2 6 3 0,86 2240 160 15 6,17 6 3 0,93 2400 160 16 5,51 4,53 3 0,82 2560 160 17 4,76 4,31 3 0,72 2720 160

*Ransum yang dipergunakan pada kelompok peternak Tanjung Balai Atar (sebagai perlakuan kontrol) **) Berdasarkan perhitungan Tabel 2 dan 3

Tabel 3. Hasil analisis kandungan zat–zat makanan ransum perlakuan* Perlakuan Kandungan zat makanan

A B C D E Protein kasar (%) Serat kasar (%) Lemak kasar (%) Kalsium (%) Posfor (%) Energi metabolik(kkal/kg)**

Imbangan energi dan protein

14,39 10,05 4,72 2,37 0,57 2600 180,86 13,68 5,75 7,19 3,27 0,39 2578 188,45 15,3 7,4 7,52 3,03 0,38 2838 185,48 16,8 8,89 6,78 2,35 0,38 3028 180,24 16,9 5,03 7,73 3,12 0,39 3080 182,25 * = berdasarkan hasil analisis laboratorium gizi ruminansia (2003)

(4)

Penelitian dilakukan dengan menggunakan Rancangan Acak Kelompok berdasarkan bobot badan dengan 5 perlakuan level protein-energi dan empat kelompok bobot badan sebagai ulangan. Setiap unit perlakuan terdiri dari 3 ekor ayam.

Model matematika linier (STEEL dan

TORRIE, 1981) untuk rancangan percobaan

yang di gunakan adalah: Yij = µ + αi + κj + €ij dimana:

Yij = Nilai pengamatan perlakuan ke-i pada kelompok ke-j

µ = Nilai tengah umum

αi = pengaruh perlakuan (i = 1, 2...5)

κj = Pengaruh akibat kelompok (j = 1, 2, 3, 4) €ij = Pengaruh sisa

Ayam ditimbang berat badannya sehingga memenuhi syarat untuk kebutuhan kelompok. Tahap selanjutnya adalah penggilingan bahan pakan yang digunakan dalam Ransum, kemudian Ransum disusun. Kandang dibersihkan kemudian diberi nomor urut dan kode berdasarkan perlakuan. Ayam ditimbang bobot badan awalnya sebelum ditempatkan secara acak. Setiap unit kandang di isi dengan 3 ekor ayam yang dipisah, ayam diadaptasikan dengan makanan baru selama satu minggu. Pemberian pakan maksimal 180 g dan air secara ad líbitum di tambah egg stimulant. Pengambilan telur dilakukan setiap hari dan ditimbang, selanjutnya dilakukan pengambilan sampel telur untuk penentuan kualitas telur selama dua periode, pada pertengahan dan akhir penelitian.

Peubah yang diamati adalah kualitas telur yang meliputi berat telur, ditimbang menggunakan timbangan Ohaus kapasitas 2610 g dengan angka ketelitian 0,1 g. Tebal kerabang, diukur menggunakan mikrometer. Warna kuning telur diukur menggunakan Roche yolk collor. Indeks telur diukur dengan membandingkan lebar telur dengan panjang telur dikalikan 100%. Apabila terdapat pengaruh perlakuan yang nyata (P < 0,05),

maka akan dilanjutkan dengan Uji Duncan Multiple Range Test (DMRT).

HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh perlakuan terhadap berat telur

Hasil analisis ragam memperlihatkan bahwa perlakuan (A, B, C, D dan E), memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata (P > 0,05) terhadap berat telur. Hal ini disebabkan karena jumlah protein yang diberikan telah mencukupi kebutuhan untuk mencapai berat telur optimal. Asupan protein pada masing-masing perlakuan berkisar antara 9,34 – 10,29. Jumlah ini sudah mencukupi kebutuhan protein telur, sebagaimana dikatakan SCHAIBLE (1970) bahwa ayam buras

menyimpan 6,2 – 6,7 protein dalam masing– masing telur. Selanjutnya SUGANDHI (1973)

menyatakan bahwa meningkatnya kandungan protein dengan kandungan energi yang sama dapat meningkatkan produksi telur, tetapi tidak berpengaruh terhadap berat telur. Hasil penelitian YULIA (1997) memperlihatkan bahwa pemberian level protein 12, 14 dan 16% dengan energi sebesar 2400 kkal/kg dan 2600 kkal/kg, tidak berpengaruh nyata terhadap berat telur. Berat telur yang berkurang diantaranya disebabkan oleh defisiensi protein dan asam amino untuk pembentukan sebutir telur. Selain faktor tersebut berat telur juga dipengaruhi oleh genetik ayam, dimana ayam buras yang mempunyai kemampuan genetik rendah hanya akan mampu menghasilkan berat telur optimal sesuai dengan kemampuan genetiknya (ANGGORODI, 1978). Ayam biasanya dapat mengefisienkan penggunaan ransum pada tiap perlakuan, sehingga bila terjadi defisiensi zat makanan tidak terlihat penurunan pada berat telur, kebutuhannya dapat dipenuhi dengan cara merombak zat-zat makanan dari tubuhnya.

Berat telur yang dihasilkan pada penelitian ini berkisar antara 38,79 – 41,01 g, sama kualitasnya dengan hasil penelitian SARWONO

(5)

Tabel 5. Rataan berat telur, tebal kerabang telur, warna kuning telur, indek telur

Perlakuan Berat telur (g) Tabal kerabang telur (cm) Warna kuning telur Indeks telur A B C D E 39,50 41,01 38,79 40,49 39,98 0,18 0,21 0,18 0,17 0,20 8,26d 9,69ac 9,37bc 10,67a 10,44ac 77,83 76,97 78,93 78,32 80,12 Huruf superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan pengaruh berbeda nyata (P < 0,05) dan berbeda sangat nyata (P < 0,01) terhadap warna kuning telur

A s/E = perlakuan dengan komposisi pada Tabel 2

Pengaruh perlakuan terhadap tebal kerabang

Ketebalan kerabang telur pada tiap level protein-energi memberikan hasil yang tidak berbeda nyata (P > 0,05). Rataan tebal kerabang yang didapat berkisar antara 0,17 – 0,21 cm, hasil tersebut lebih rendah dibandingkan dengan hasil penelitian YULIA

(1997) yaitu 0.33 cm. Secara umum kebutuhan kalsium untuk pembentukan kerabang telur telah terpenuhi. Tetapisebagaimana dikatakan BERG et al.(1964) bahwa kandungan kalsium dan fosfor mempengaruhi tebal kerabang. Di samping itu juga dilaporkannya bahwa ransum yang mengandung kalsium rendah, kurang dari 2% secara nyata menurunkan kualitas kulit telur termasuk tebal kerabang. Sebaliknya apabila kalsium lebih dari 3 atau 4% meningkatkan tebal kerabang.

Pengaruh perlakuan terhadap indek telur

Indek telur yang didapatkan adalah antara 76 – 78. Indeks telur ini cukup baik, sesuai dengan MURTIDJO (1992) yang mengatakan

bahwa indeks telur yang baik berkisar 70 – 79. Nilai indeks telur yang lebih besar menunjukkan bahwa telur tersebut bentuknya lebih bulat dan telur yang lonjong mempunyai indek telur yang lebih kecil. Hasil penelitian ini kemungkinan mempunyai daya tetas yang tinggi karena nilai indeks yang baik. Hasil penelitian membuktikan bahwa telur yang bulat telur dengan indek telur 75 dapat menetas hingga 70 – 75%. Sedangkan telur yang bentuknya bulat atau lonjong, hanya mencapai

30 – 35%. Hal ini disebabkan karena bagian isi telur tidak seimbang (PAIMIN, 1998).

Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap indeks telur (P > 0,05). Pemberian level potein pada masa grower dan awal layer yang sama menyebabkan perkembangan isthmus tidak jauh berbeda sehingga menghasilkan bentuk telur yang tidak berbeda pula. Penelitian sebelumnya memperlihatkan bahwa indek telur dipengaruhi oleh lebar tidaknya diameter isthmus. Apabila diameter lebar maka bentuk telur yang dihasilkan cenderung bulat, apabila diameter isthmus sempit maka bentuk telur yang dihasilkan cenderung lonjong (PILIANG, 1992).

Pengaruh perlakuan terhadap warna kuning telur

Hasil analisis sidik ragam memperlihatkan bahwa antar perlakuan memberikan pengaruh yang berbeda sangat nyata (P < 0,01) terhadap warna kuning telur. Hal ini disebabkan meningkatnya persentase penggunaan jagung dalam ransum perlakuan A-E yang berfungsi sebagai sumber energi dan Xantophill. Xantophill inilah yang mempengaruhi kualitas kepekatan warna kuning telur yang dihasilkan, bukan pengaruh langsung dari pemberian level protein dan energi ransum yang diberikan. Hasil uji lanjut DMRT memperlihatkan perlakuan (B dan C) yaitu 14% protein, energi 2240 kkal/kg dan 15% protein, energi 2400 kkal/kg berbeda nyata (P < 0,05) terhadap perlakuan A (kontrol) yaitu protein14,50%, energi 2250 kkal/kg. Perlakuan D dan E

(6)

(protein16, energi 2560 kkal//kg dan protein 17%, energi 2720 kkal/kg) berbeda sangat nyata (P < 0,01) terhadap perlakuan A (kontrol). Hal ini disebabkan persentase jagung yang terlalu rendah pada perlakuan A (kontrol) sehingga kebutuhan Xantophill dalam ransum untuk menghasilkan warna kuning yang baik tidak terpenuhi. Peningkatan indeks warna kuning telur dari perlakuan (A, B, C, D dan E) disebabkan persentase jagung yang digunakan meningkat. Sebagaimana yang dikatakan TAMI

(1988) bahwa jagung merupakan sumber Xantophill dalam ransum yang sangat menentukan terhadap warna kuning telur. Rataan warna kuning telur pada penelitian ini sudah cukup baik, berkisar antara 8,26 – 10,67, sebagaimana dikatakan oleh SUDARYANI

(2003) bahwa warna kuning telur yang baik berkisar 9 – 12.

KESIMPULAN

Level yang terbaik adalah protein 16% dengan Energi Metabolik 2560 kkal/kg (perlakuan D), karena memberikan indek warna kuning telur yang terbaik. Pemberian level protein-energi dalam ransum tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap berat telur, tebal kerabang telur dan indeks telur.

DAFTAR PUSTAKA

ANGGORODI, R. 1978. Ilmu Makanan Ternak Umum. PT Gramedia, Jakarta.

BERG, L.R., G.E. BEARSE and L.H. MERIL. 1964.

The calsium and phosphorus reguiremen of white leghorn pullets from 8 – 21 weeks. J Poult. Sci. 43: 885 – 896.

CAHYONO,D.S. 2008. Apa pengaruh pakan terhadap

besar telur? www.poultryindonesia.com. (14 September 2008).

MURTIDJO, B.A. 1992. Mengelola Ayam Buras. Penerbit Kanisius, Yokyakarta.

PAIMIN,F.B. 1998. Mesin Tetas. Penebar Swadaya,

Jakarta.

PILIANG,W.G. 1992. Manajemen Beternak Unggas.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

SARWONO. 1995. Pengolahan Pengawetan Telur. Penebar Swadaya, Jakarta.

SCHAIBLE,P.J. 1970. Poultry: Foods and Nutrition. The Avi Publising Compony Inc. Westport. Conecticute.

SCOTT,M.L.,M.C.NESHEIM and R.J.YOUNG. 1982.

Nutrition Of The Chicken. 3rd Ed. Published

By M. L. Scott And Assosiates, Ithaca, New York.

STEEL,R.G.D. and J.H.TORRIE. 1981. Prinsip dan

Prosedur Statistika Suatu Pendekatan Geometrik. PT Gramedia, jakarta.

SUDARYANI, T. 2003. Kualitas Telur. Penebar

Swadaya, Jakarta.

SUGANDHI,D. 1973. The effect of different energy

and protein level on the performance of laying hens in floor pens and cages in the tropics. Disertation, Bogor Agriculture University, Bogor.

TAMI,D. 1988. Makanan Ternak Ungggas. Fakultas

Peternakan Universitas Andalas, Padang. YULIA. 1997. Pengaruh Pemberian Kombinasi

Beberapa Level Protein dan Energi Pada Ayam Buras yang Sedang Berproduksi Terhadap Kualitas Telur: Skripsi. Fakultas Peternakan Universitas Andalas, Padang.

Gambar

Tabel 1. Kandungan zat–zat makanan (%) dan energi metabolik ransum (Kkal/kg)
Tabel 2. Susunan ransum penelitian sebagai perlakuan dan kandungan zat–zat makanannya
Tabel 5. Rataan berat telur, tebal kerabang telur, warna kuning telur, indek telur

Referensi

Dokumen terkait

Beberapa perkara telah dapat dikesan dalam kajian ini, meliputi status penampilan sumber seni budaya Malaysia dalam internet yang muncul dalam laman web, blog, akhbar dan majalah

Uraian singkat di atas memperlihatkan bahwa manajemen disamping sebagai ilmu sebagai bahan kajian yang akan terus berkembang seiring dengan dinamika kehidupan

Per 8 April 2016, total kepemilikan Dana Pensiun di obligasi Pemerintah sebesar Rp56,2 triliun, tumbuh 12,7% dari posisinya di akhir 2015, sedangkan pada periode yang sama di tahun

Berdasarkan hasil siklus I dan siklus II pemberian treatment konseling behavioral dengan teknik shaping (melalui bimbingan klasikal, bimbingan kelompok, konseling

Analisis Perhitungan Waktu Proses Pengeluaran Barang Impor dari Kawasan Pabean Melalui Jasa Titipan (Studi kasus : Kantor Pelayanan Bea dan Cukai Tipe A Khusus Bandara

Penelitian yang dilakukan oleh Yoyok (2009), menyimpulkan hal yang sama dengan teori diatas, bahwa pengumuman right issue cenderung direspon negatif oleh investor,

Selain kemampuan donor elektron, peningkatan aktivitas penangkalan radikal DPPH juga dapat dipengaruhi karena adanya kandungan SAC ( S-allyl cysteine ) yang diduga bertanggung

Menurunnya produksi VFA total pada proses fermentasi in vitro tepung daging keong mas diproteksi tanin sampai level 3%w/w merupakan petunjuk bahwa tanin yang