• Tidak ada hasil yang ditemukan

Universitas Sumatera Utara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Universitas Sumatera Utara"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN DAN PERCERAIAN DI INDONESIA

A. Pengertian Perkawinan Dan Dasar Hukum Perkawinan 1. Menurut Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974

Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang dimaksud dengan perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Yang dalam penjelasannya menyebutkan:

“Sebagai negara yang berdasarkan Pancasila, dimana sila yang pertama ialah Ketuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan mempunyai hubngan yang erat sekali dengan agama/kerohanian, sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsure lahir/jasmani, tetapi unsure batin/rohani juga mempunyai peranan yang penting.

Sebagai ikatan lahir, perkawinan merupakan hubungan hukum antara seorang pria dengan seorang wanita untuk hidup bersama sebagai suami istri. Ikatan lahir ini merupakan hubungan formal yang sifatnya nyata, baik bagi masyarakat yang mengikat dirinya maupun bagi orang lain atau masyarakat. Ikatan lahir ini terjadi dengan adanya upacara perkawinan yakni penerimaan sakramen perkawinan bagi yang beragama Kristen dan Katolik dan pengucapan akad nikah bagi yang beragama Islam. Sebagai ikatan batin, perkawinan merupakan pertalian jiwa yang terjalin karena adanya kemauan yang sama dan ikhlas antara seorang pria dengan seorang wanita untuk hidup bersama sebagai suami istri. Dalam taraf permulaan, ikatan batin ini diawali dan ditandai dengan adanya persetujuan dari calon mempelai untuk melangsungkan perkawinan. Selanjutnya dalam hidup bersama ikatan batin tercermin dari adanya kerukunan suami istri yang bersangkutan. Terjalinya ikatan lahir dan batin merupakan dasar utama dalam pembentukan dan membina keluarga yang bahagia dan kekal.

(2)

Dalam rumusan perkawinan menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 ini tercantum juga tujuan perkawinan yaitu untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal. Ini berarti bahwa perkawinan dilangsungkan bukan untuk sementara atau untuk jangka waktu tertentu yang direncanakan, akan tetapi untuk seumur hidup atau selama-lamanya, dan tidak boleh diputuskan begitu saja. Karena tidak diperkenankan perkawinan yang hanya dilangsungkan untuk sementara waktu saja seperti kawin kontrak. Pemutusan perkawinan dengan perceraian hanya diperbolehkan dalam keadaan yang terpaksa.

Selanjutnya dalam rumusan perkawinan ini dinyatakan dengan tegas bahwa pembentukan keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal itu berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Ini berarti bahwa perkawinan harus didasarkan pada agama dan kepercayaan masing-masing. Karena inilah maka dalam pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dinyatakan: Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, kemudian dalam penjelasannya dinyatakan tidak ada perkawinan diluar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945. Yang dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam undang-undang ini.17

2. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Berdasarkan ketentuan dalam pasal 26 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW) mengatakan bahwa BW hanya memandang perkawinan itu dari sudut hubungannya dengan hukum perdata saja. Dengan kata lain tidak ada dijumpai defenisi konkrit mengenai perkawinan tersebut. Menurut salah seorang sarjana hukum yaitu: Prof. Mr. Paul Scholten. Perkawinan adalah suatu hubungan hukum antara seorang pria dengan seorang wanita untuk

17

Sudarsono, Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil, (Jakarta: PT.Media Sarana Press, Edisi Pertama, Cetakan Pertama, 1987) hal.12-14.

(3)

hidup bersama dengan kekal yang diakui oleh negara.18Berdasarkan rumusan tersebut maka perkawinan itu terlepas dari dasar-dasar psikologis, biologis dan sebagainya. Didalamnya lebih terkandung makna hukum dan pengaruh kekuasaan atau negara dalam mengatur perkawinan tersebut. Hal ini lah yang kita jumpai didalam BW yang lebih menekankan ketentuan hukum keperdataan saja dalam memandang perkawinan tersebut.

B. Dasar-Dasar Perkawinan

1. Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan, adapun dasar-dasar perkawinan diatur dalam Pasal, yakni: a) Pasal 2

1.Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.

2.Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku

b) Pasal 3

1.Pada azasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.

2.Pengadilan dapat member izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan. c) Pasal 4

1.Dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari seorang, sebagaimana tersebut dalam pasal 3 ayat (2) Undang-Undang ini maka ia wajib mengajukan permohonan kepada Pengadilan didaerah tempat tinggalnya. 2.Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya member izin kepada

seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila: a.Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri.

b.Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan. c.Istri tidak dapat melahirkan keturunan.

18

(4)

d) Pasal 5

(1). Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan, sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) undang-undang ini, harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

a.adanya persetujuan dari istri/istri-istri.

b.adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka.

c.Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri dan anak-anak mereka.

(2). Persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi seorang suami apabila istri/istri-istrinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari istrinya selama sekurang-kurangnya dua tahun, atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari hakim pengadilan.19

C. Syarat Sahnya Perkawinan

1.Menurut Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974

Berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 secara garis besar terdapat dua macam syarat sahnya suatu perkawinan, yaitu syarat materil dan syarat formil.

1. Syarat materil adalah syarat mengenai orang-orang yang hendak melangsungkan perkawinan, terutama mengenai persetujuan, izin, dan kewenangan untuk member izin. yang terbagi dalam dua bagian besar yaitu: syarat materil yang bersifat absolut/mutlak dan yang bersifat khusus.

2. Syarat formil adalah syarat yang merupakan formalitas yang berkaitan dengan upacara nikah.

19

(5)

2. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW)

Pada dasarnya syarat sahnya suatu perkawinan menurut BW tidak lah jauh berbeda dengan ketentuan yang berlaku pada Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974. Ketentuan yang terdapat dalam BW kemudian diadopsi dan disempurnakan didalam Undang-Undang Perkawinan tersebut. Syarat-syarat perkawinan didalam BW secara garis besar dapat dibagi dalam dua bagian yaitu:

a. Syarat Intern

Syarat intern diatur dalam pasal 27-49 BW dapat kita bedakan lagi dalam absolut/mutlak dan elatif/nisbi.

1). Syarat intern absolut/mutlak.

Syarat-syarat ini mengandung arti bahwa apabila pihak-pihak yang akan melangsungkan perkawinan tidak memenuhi syarat ini, maka para pihak tersebut tidak berwenang untuk melangsungkan perkawinan. Ada 5 hal yang perlu diperhatikan dalam hal ini, diantaranya:

1. Kedua belah pihak masing-masing harus tidak dalam keadaan kawin (pasal 27 BW), hal ini merujuk bahwa BW menganut sistem perkawinan monogami.

2. Adanya persetujuan atau kemauan bebas dari pihak-ihak yang akan melangsungkan perkawinan tersebut, persetujuan ini harus diberikan dan diutarakan dengan sukarela pada saat perkawinan dilangsungkan. 3. Harus mempunyai batas umur minimum tertentu (pasal 29 BW), bagi

pria batas minimumnya adalah 18 tahun (calon suami) dan bagi wanita batas minimumnya adalah 15 tahun (calon istri).

4. Bagi seorang wanita tidak boleh/ dapat kawin lagi sebelum lampau 300 hari sesudah putusnya perkawinan sebelumnya (pasal 34 BW), hal ini untuk menghindari kekacauan darah apabila ternyata si wanita telah mengandung pada perkawinan yang sebelumnya.

5. Harus ada persetujuan dari pihak ke 3, terutama bagi pasangan yang masih dibawah umur harus adanya persetujuan dari orangtua masing-masing pihak untuk melangsungkan perkawinan.

(6)

b. Syarat Intern relatif/nisbi

Syarat ini merupakan syarat yang mengandung larangan perkawinan tertentu, yaitu antara lain:

1. Larangan perkawinan antara orang-orang yang ada hubungan keluarga yakni:

a. antar wangsa: mereka yang berinduk nenek moyang yang sama. b. antar ipar: mereka yang menjadi keluarga karena perkawinan. Ketentuan ini terdapat dalam pasal 30 dan 31 BW yang meliputi:

- Semua orang termasuk para wangsa dalam garis lurus dengan tidak terbatas seperti antara ayah dengan anak perempuannya, inu dengan anak laki-lakinya, kakek dengan cucu perempuannya, nenek dengan cucu laki-lakinya, ayah mertua dengan menantu perempuannya, ibu mertua dengan menantu laki-lakinya dan lain sebagainya.

- Antara paman dan anak perempuan saudara paman atau kemenakan perempuan, antara bibi dengan anak laki-laki saudara bibi atau kemenakan laki-laki, pakde/ paman tua dngan cucu perempuan saudara paman tua, bibi tua dengan cucu laki-laki saudara bibi tua (pasal 31 BW).

2. Larangan perkawinan antara mereka karena dengan putusan hakim terbukti melakukan overspel (berzinah) (pasal 32 BW):

Pasal ini menentukan bahwa seseorang yang dengan putusan hakim terbukti melakukan zinah tidak akan diperbolehkan kawin dengan orang yang diajak melakukan zinah tersebut. Hal ini pada dasarnya untuk menghindari orang untuk melakukan zinah.

Akan tetapi dalam prakteknya ketentuan ini adalah ketentuan kosong karena pada umumnya seorang hakim dalam putusannya tidak pernah (tidak diwajibkan) menyebutkan nama orang yang diajak melakukan zinah tersebut.

3. Larangan perkawinan karena perkawinan yang dahulu atau sebelumnya (pasal 33 BW).

(7)

Pasal ini pada dasarnya berarti bahwa seorang suami atau istri yang telah melakukan perceraian tidak boleh melakukan perkawinan lagi. Halini bertujuan agar setiap pasangan harus berpikir dua kali untuk melakukan perceraian.

Namun ketentuan ini kemudian mendapat perubahan sehingga orang yang sudah pernah melakukan perceraian masih dimungkinkan untuk dapat melangsungkan perkawinan lagi dengan syarat-syarat tertentu. b. Syarat Eksternal

Syarat eksternal merupakan syarat yang berhubungan dengan formalitas-formalitas perkawinan yaitu diantaranya:

1. Adanya pemberitahuan (pasal 50 dan 51 BW)

Pemberitahuan ini dilakukan oleh calon mempelai kepada pegawai catatan sipil dan menyatakan bahwa mereka hendak kawin. Dan dalam pemberitahuan tersebut para pihak juga memberitahukan tempat tinggalnya masing-masing.

2. Dilakukannya pengumuman kawin. Pengumuman ini kemudian dilakukan oleh pegawai catatan sipil dengan menempelkannya dipintu utama kantor catatan sipil tersebut. Hal ini bertujan untuk member kesempatan kepada pihak-pihak yang bertalian dengan calon mempelai untuk melakukan pertentangan/menghalang-halangi perkawinan apabila ada pihak-pihak yang merasa dirugikan apabila perkawinan tersebut dilakukan. Selanjutnya dalam pasal 75 BW menyebutan bahwa perkawinan belum dapat dilakukan sebelum hari ke 10 sejak pengumuman tersebut ditempelkan namun didalam ayat 2 disebutkan bahwa hal tersebut dapat disimpangi apabila kepala daerah memberikan dispensasi bilamana ada hal-hal yang istimewa.

Dengan terpenuhinya syarat-syarat dari perkawinan maka perkawinan dapat dilaksanakan, dan dengan adanya perkawinan maka akan menimbulkan akibat hukum baik terhadap suami maupun terhadap istri, harta kekayaan, maupun anak yang dilahirkan dari perkawinan.

(8)

D. Akibat Perkawinan

1.Akibat Perkawinan Terhadap Suami Isteri

1. Suami istri memikul tanggung jawab yang luhur untuk menegakkan rumah tangga berdasarkan Ketuhanan Yan Maha Esa (Pasal 30). 2. Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan

kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan dalam pergaulan hidup.

3. Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum (ayat 2)

4. Suami adalah kepala rumah tangga dan istri adalah ibu rumah tangga.

5. Suami istri menentukan tempat kediaman mereka.

6. Suami istri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, saling setia.

7. Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu sesuai dengan kemampuannya.

8. istri wajib mengatur urusan rumah tangga dengan sebaik-baiknya. 2. Akibat Perkawinan Terhadap Harta Kekayaan

1. Timbul harta bawaan dan harta bersama

2. Suami dan istri masing-masing mempunyai hak sepenuhnya terhadap harta bawaan untuk melakukan perbuatan hukum apapun.

3. Suami dan istri harus ada selalu ada persetujuan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap harta bersama (Pasal 45 dan 36)

3. Akibat Perkawinan Terhadap Anak 1. Kedudukan anak

a. Anak yang dilahirkan dalam perkawinan adalah anak yang sah (Pasal 42)

b. Anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan kerabat ibunya saja.

(9)

a. Kedua orangtua wajib memelihara dan mendidik anak-anaknya sampai anak-anak tersebut kawin dan dapat berdiri sendiri (Pasal 45).

b. Anak wajib menghormati orangtua dan mentaati kehendak yang baik.

c. Anak yang dewasa wajib memelihara orangtua dan keluarga dalam garis keturunan keatas sesuai kemampuannya, apabila memerlukan bantuan anaknya (Pasal 46).

3. Kekuasaan orangtua

a. Anak yang belum berumur 18 tahun atau belum pernah kawin ada dibawah kekuasaan orangtua.

b. Orangtua dapat mewakili segala perbuatan hukum bai didalam maupun diluar pengadilan.

c. Orangua tidak boleh memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum berumur 18 tahun atau belum pernah kawin.

d. Kekuasaan orangtua bisa dicabut oleh pengadilan apabila dia melalaikan kewajibannya terhadap anak.

e. Meskipun orangtua dicabut kekuasaannya, tetap berkewajiban untuk memberi biaya pemeliharaan kepada anaknya.

Sedangkan yang dimaksud kekuasaan orangtua adalah:

a. Kekuasaan yang dilakukan oleh ayah dan ibu terhdap anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan.

Isi kekuasaan orangtua adalah:

a. Kewenangan atas anak-anak baik mengenai pribadi maupun harta kekayaannya.

b. Kewenangan untuk mewakili anak terhadap segala perbuatan hukum didalam maupun diluar pengadilan.

Kekuasaan orangtua itu berlaku sejak kelahiran anak atau sejak hari pengesahannya.

(10)

Kekuasaan orangtua berakhir apabila: a. Anak itu dewasa

b. Anak itu kawin

c. Kekuasaan orangua dicabut.20

E. Pengertian Perceraian Dan Dasar Hukum Perceraian 1. Menurut Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974

Berdasarkan ketentuan dalam pasal 38 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 adalah putusnya perkawinan. Adapun yang dimaksud dengan perceraian adalah putusnya perkawinan karena kematian, perceraian dan atas keputusan pengadilan. Hal ini biasanya didasarkan pada perselisihan atara suami dan istri, perselisihan tersebut dapat disebabkan oleh berbagai faktor yang dapat berasal dari salah satu pihak suami atau istri misalnya: adanya pihak ketiga dalam rumah tangga atau sering disebut dengan perselingkuhan, ketidak cocokan satu sama lain sehingga selalu terjadi pertengkaran, rasa egois masing-masing pihak sehingga merasa benar dan tidak mau mengalah dan lain sebagainya. Dan dapat juga berasal dari pihak keluarga besar suami atau istri misalnya: karena dalam perkawinan tersebut tidak mempunyai anak sehingga keluarga suami menganjurkan untuk menceraikan si istri dan agar suami kawin lagi, ketidak cocokan antara istri dan mertua demikian juga sebaliknya, atau dapat juga karena perbedaan suku atau agama sehingga menyebabkan masing-masing keluarga besar sulit untuk dipersatukan.

2. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Perceraian adalah putusnya suatu perkawinan dengan putusan Hakim atas tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan itu berdasarkan

20

H. Rusdi Malik,Memahami Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: Universitas Trisakti, 2009) hal.51-51.

(11)

alasan yang sah yang disebut dalam UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974.21 Dalam KUHPerdata (BW) putusanya perkawinan dipakai istilah pembubaran perkawinan (ontbindinng des huwelijk). Namun pada hakikatnya baik Undang No. 1 Tahun 1974 maupun Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak merumuskan secara terperinci mengenai perceraian. Apabila kita tinjau menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan juga KUHPerdata, tidak ada satu pasal pun yang memberikan definisi tentang perceraian.

Namun walaupun demikian penulis mencoba untuk memberikan pengertian tentang perceraian berdasarkan pendapat dari beberapa penyusun buku: R.Soetodjo Prawirohamidjojo, SH dan Asis Safioedin, SH mengatakan: “Pada perceraian pembuat undang-undang memang berpangkal pada pendirian bahwa ada perselisihan antara suami istri. Sebuah pihak menghendaki perceraian oleh karena pihak yang lain berbuat sesuatu yang menyebabkan hubungan keluarga goyang. Tetapi dalam hal pihak yang lain berbuat sesuatu yang menyebabkan hubungan keluarga goyang maka hal itu tidak diserahkan kepada suami istri sendiri untuk menyelesaikannya, tetapi undang-undanglah yang akan memberikan ketentuannya.22 Prof. Ali Afandi, SH mengatakan: “Perceraian adalah salah satu sebab dari bubarnya perkawinan.23 dan Prof. Subekti SH mengatakan: “Perceraian adalah penghapusan perkawinan dengan putusan hakim, atas tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan itu.24 Dari berbagai pendapat tersebut diatas, dapat kita tarik kesimpulan bahwa perceraian adalah putusnya perkawinan diantara suami dan istri berdasarkan pada ketentuan undang-undang yang mengatur berdasarkan putusan hakim di pengadilan. Dengan pengertian tersebut kiranya dapat memberikan pemahaman kepada kita pengertian dari

21

H.M.Djamil Latif, Aneka Hukum Perceraian Di Indonesia (Jakarta:Balai Aksara,Yudhistira,Saadiyah,Cetakan 1, Cetakan 2, 1985) hal.93.

22

R. Soetodjo Prawirohamidjojo, Asis Safionedin, Hukum Orang dan Keluarga,

(Bandung: 2005) hal.109. 23

Ali Afandi, Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: Bina Aksara, 1983) hal.120.

24

(12)

perceraian yang dimaksud oleh undang-undang walaupun secara tersurat tidak diuraikan secara defenitif didalam pasal demi pasal dari undang-undang yang mengaturnya.

F. Alasan-Alasan Perceraian

Masalah perceraian bukanlah suatu hal yang baru bagi masyarakat kita jauh sebelum adanya undang-undang yang mengatur mengenai perkawinan dan perceraian, masyarakat adat kita sudah mengenal dan mengatur tentang perceraian ini. Bahkan sejak zaman nenek moyang dahulu perceraian juga sudah terjadi didalam perkawinan. Perceraian adalah suatu konsekuensi dari suatu perkawinan. Walaupun perceraian adalah suatu hal yang dianggap tabu oleh sebagian besar masyarakat kita, namun mau tidak mau kita tidak dapat memungkiri bahwa tidak selamanya suatu perkawinan akan berakhir dengan kebahagiaan seperti yang dicita-citakan, adakalanya perkawinan tersebut harus kandas ditengah jalan oleh karena berbagai faktor.

Sudah barang tertentu bahwa dalam setiap perceraian masing-masing pihak atau pun salah satu pihak pasti mengalami kerugian. Kerugian tersebut bukan saja hanya dalam bentuk materi, namun juga dalam bentuk inmaterial seperti fisik, kejiwaan, mental dan pikiran. Kerugian ini akan lebih terasa apabila salah satu pihak baik suami atau pun istri melakukan perceraian secara sewenang-wenang. Oleh karena didasarkan hal demikian, maka pembuat undang-undang membuat batasan ataupun alasan-alasan yang dapat memaklumkan suatu perceraian itu dilakukan. Sehingga dengan demikian salah satu pihak yang mengingkari ikatan perkawinan itu tidak dapat menceraikan pasangannya dengan sewenang-wenang apabila hal tersebut tidak diatur dalam undang-undang. Masalah penanganan perceraian harus diarahkan pada usaha-usaha untuk sejauh mungkin menjaga keutuhan perkawinan dan nilai-nilai suci dari suatu perkawinan harus dijunjung tinggi. Jadi meskipun suatu permohonan perceraian tidak dilarang oleh hukum tapi perceraian tidaklah dapat dilakukan dengan mudah dan harus sesuai dengan tata cara melakukan perceraian seperti yang diatur dalam

(13)

Pasal 39 Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 yang berbunyi sebagai berikut:

1.Perceraian hanya dapat dilakukan didepan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.

2.Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa suami istri tidak akan hidup rukun sebagai suami istri.

3.Tata cara perceraian didepan siding pengadilan diatur dalam peraturan perundangan sendiri.25

1. Menurut Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974

Perceraian adalah putusnya perkawinan, dalam makna putusnya ikatan lahir batin antara suami dan istri yang mengakibatkan berakhirnya hubungan keluarga(rumah tangga) antara suami dan istri tersebut. Perceraian adalah perbuatan yang tercela dan dibenci oleh Tuhan, namun hukum membolehkan suami atau istri melakukan perceraian jika perkawinan mereka sudah tidak dapat dipertahankan lagi. Perceraian harus disertai dengan alasan-alasan hukum sebagaimana ditentukan dalam pasal 39 ayat (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 yang telah dijabarkan dalam pasal 19 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, yaitu:

1. Salah satu pihak berbuat zinah atau menjadi pemabuk, pemadat, pejudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;

2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-turut tanpaizin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya;

3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;

4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain;

25

(14)

5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai suami istri;

6. Antara suami istri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.26

2. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Sementara didalam pasal 209 BW disebutkan 4 macam alasan untuk meminta perceraian yaitu:

a. Overspel/berzinah;

Yaitu salah satu pihak melakukan perzinahan. Dizaman dahulu pada beberapa abad yang lalu, apabila seorang suami melakukan perzinahan, maka perbuatan itu tidak dianggap sebagai sebuah larangan, sebab suami berkuasa atas istrinya. Sedangkan istri adalah bawahan suami sehingga dengan demikian suami mempunyai beberapa kebebasan yang tidak dimiliki oleh istri. Namun ketentuan ini tidak diikuti oleh BW yang berpangkal pada kesamaan kesetian antara suami dan istri dalam perkawinan. Barulah akan ada pelanggaran terhadap kesetiaan tersebut apabila salah satu pihak menurut kehendaknya sendiri mengingkari kesetiaan itu. Maka dari itu perkosaan bukanlah dikategorikan dalam suatu perzinahan.

b. Meninggal pihak lain tanpa alasan yang sah dari salah satu pihak selama lima tahun berturut-turut. Dalam hal ini harus ada salah satu pihak yang menolak (tanpa alasan yang sah) untuk hidup bersama. Apabila seorang suami menolak menerima istrinya didalam rumahnya, maka dalam hal ini pihak istri lah yang berhak untuk mengajukan gugatan perceraian demikian juga sebaliknya. Dalam hal ini salah satu pihak dianggap menghalang-halangi kewajiban hidup bersama itu.

c.Salah satu pihak suami/istri dihukum pejara selama 5 tahun atau lebih sesudah perkawinan terjadi. Yang menjadi dasar ketentuan pada poin ini adalah tentang “dihukumnya” bukanlah perbuatan pidana yang

26

Muhammad syaifuddin, Sri Turatmiyah, Annalisa Yahanan, Hukum Perceraian Nasional (Jakarta: Sinar Grafika, Edisi 1, Cetakan 2, 2014) hal.181.

(15)

dilakukannya. Adanya grasi yang diberikan pada hukuman tersebut tidak menghapus alasan untuk meminta cerai.

d.Menimbulkan luka berat atau melakukan penganiayaan yang membahayakan hidup pihak yang lain. Suatu percobaan pembunuhan yang tidak menimbulkan luka berat dan tanpa melakukan penganiayaan bukan merupakan alasan untuk bercerai.27

Pada dasarnya perceraian yang sah menurut undang-undang apabila perceraian itu telah diputus oleh hakim dengan putsan yang berkekuatan hukum tetap dan telah didaftarkan pada kantor catatan sipil setempat. “Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Pematangsiantar” adalah berhubung dengan kompetensi atau kewenangan mengadili, yaitu kewenangan mutlak atau kompetensi absolut dan kewenangan relatif atau kompetensi relatif. Kewenangan mutlak atau kompetensi absolut adalah menyangkut pembagian kekuasaan antara badan-badan peradilan, yaitu kewenangan suatu badan peradilan untuk menangani suatu perkara, misalnya persoalan mengenai perceraian, bagi mereka yang beragama Islam berdasarkan ketentuan pasal 63 ayat (1) a Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 adalah kewenangan Pengadilan Agama. Sedangkan bagi mereka yang beragama non Islam adalah kewenangan Pengadilan Negeri. Kewenangan relatif atau kompetensi relatif adalah menyangkut kewenangan wilayah hukum antar badan peradilan yang serupa, untuk menangani suatu perkara, tergantung dari tempat tinggal si tergugat. Misalnya seorang tergugat yang beragama Kristen yang tinggal di kota Pematangsiantar, maka apabila penggugat ingin melakukan gugatan perceraian, maka ia harus mengajukan gugatannya di Pengadilan Negeri Pematangsiantar.

Dari seluruh ketentuan dan alasan-alasan untuk mengajukan perceraian tersebut diatas baik yang diatur oleh Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 maupun oleh Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW) pada dasarnya memberikan ketentuan yang hampir sama. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah ataupun penguasa tidak

(16)

mengiginkan suatu perceraian terjadi didalam rumah tangga karena selain perkawinan yang didasarkan oleh ikatan yang suci dan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa juga akibat dari perceraian tersebut tidak hanya membawa dampak yang buruk bagi suami istri namun lebih dari itu juga membawa dampak psikologis bagi anak yang lahir dari perkawinan tersebut. Selain membawa trauma akibat kurang kasih sayang dan perhatian dari kedua orangtuanya, seorang anak yang dilahirkan dari keluarga yang broken home cenderung melakukan tindakan dan perilaku yang negatif bagi lingkungan maupun dirinya sendiri oleh karenanya sedapat mungkin haruslah dihindari.

G. Akibat Hukum Perceraian

Sebagaimana layaknya suatu perikatan, apabila perikatan tersebut diingkari oleh salah satu pihak yang membuatnya sudah barang tentu mempunyai dampak atau akibat akibat dari wanprestasi dengan demikian juga halnya perkawinan, juga mempunyai akibat hukum terhadap salah satu pihak atau kedua belah pihak sepakat untuk memutuskan ikatan tersebut. Dalam Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 sebagai peraturan pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan (UU No. 1 Tahun 1974) tidak disebutkan atau tidak diatur tentang akibat perceraian ini. Hanya dalam UU No. 1 Tahun 1974 disebutkan bahwa akiabt putusnya perceraian karena perceraian ialah:

1. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anak semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberikan keputusannya.

2. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat member kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.

(17)

3. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk menebrikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri.28

Secara garis besar akibat-akibat dari perceraian dapat dibagi dalam 3 bagian besar yaitu:

1. Akibat hukum perceraian terhadap keluarga.

2. Akibat hukum perceraian terhadap harta perkawinan. 3. Akibat hukum perceraian terhadap anak.

1. Akibat Hukum Perceraian Terhadap Keluarga a. Status bekas suami istri

Setelah terjadinya perceraian antara kedua suami istri tersebut, maka putus pulalah hubungna antara keduanya. Suami istri ini menjadi hidup terpisah satu sama lain, dan diantara mereka tidak ada lagi kewajiban untuk hidup bersama didalam satu rumah tangga. Selanjutnya akibat perceraian tersebut maka kedua belah pihak yakni suami istri dapat menikah kembali dengan pihak lain. Namun meskipun demikian mereka masih dibenarkan lagi untuk melangsungkan perkawinan satu sama lain (rujuk kembali). Hanya saja perkawinan kembali ini dibatasi oleh Undang-Undang Perkawinan.

Ketentuan ini diatur dalam Pasal 10 Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 yang berbunyi sebagai berikut: apabila suami istri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya maka diantara mereka tidak boleh dilangsungkan perkawinan lagi, sepanjang hukum agamanya dan kepercayaan yang bersangkutan tidak menentukan lain.

Namun dari ketentuan Pasal 10 Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 yang menyatakan bahwa kecuali ditentukan lain oleh hukum agama dan kepercayaan masing-masaing bekas suami istri yang bersangkutan, seorang pria dan seorang wanita hanya dibenarkan

28

Soedharyo Soimin,Hukum Orang dan Keluarga,(Jakarta: Sinar Grafika, Edisi Revisi, Cetakan 1, 2002) hal.66-67.

(18)

melangsungkan perkawinan sesama mereka paling banyak dua kali selama mereka masih hidup. Penyimpangan terhadap hal ini hanya dapat dilakukan dan dibenarkan apabila hukum agama dan kepercayaan masing-masing membenarkannya. Pembatasan ini dilakukan oleh pembuat Undang-Undang semata-mata untuk mewujudkan tujuan dari perkawinan tersebut. Sehingga tindakan kawin cerai secara berulang-ulang dapat dicegah dari suami istri tersebut dan keduanya harus benar-benar saling menghargai satu sama lain dan berpikir kembali matang-matang dalam mengambil keputusan.

Khusus bagi bekas istri terdapat lagi akibat hukum yang timbul karena perceraian tersebut yakni ia tidak dibenarkan melangsungkan perkawinan dengan pria lain sebelum lewat jangka waktu tertentu, kecuali selama perkawinan sebelumnya diantara mereka tidak pernah dilakukan persetubuhan. Hal ini diatur pada pasal 39 ayat (2) PP No. 9 Tahun 1975.

Waktu tunggu atau (masa iddah) yang harus dilewatkan lebih dahulu oleh istri yang bercerai dengan suaminya diluar aturan pasal 39 ayat (2) PP No. 9 Tahun 1975, diatur dalam pasal 39 ayat (1) sub b dan c Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, yakni sebagai pelaksanaan dari pasal 11 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974. Lamanya waktu tunggu tersebut adalah sebagai berikut:

1. Apabila wanita (istri) yang bersangkutan menalami dating bulan, maka lamanya adalah tiga kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 (Sembilan puluh hari).

2. Apabila wanita (istri) yang bersangkutan tidak mengalami dating bulan, maka lamanya adalah 90 (Sembilan puluh hari)

3. Apabila wanita tersebut hamil disebabkan perkawinan itu, maka waktu tunggunya ialah sampai ia melahirkan.

Perhitungan waktu tunggu itu dimulai sejak putusan pengadilan yang mengabulkan perceraian itu mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Dan perlu dijelaskan bahwa perhitungan lamanya waktu tunggu bagi seorang wanita yang telah bercerai dengan suaminya, dan sedang berdatang bulan maka harus mengalami tiga kali suci sedangkan jangka waktu 90 (Sembilan

(19)

puluh hari) adalah waktu yang minimal. Ditentukannya waktu tunggu ini bagi bekas istri memang sangat perlu, hal ini untuk mencegah keragu-raguan tentang dari siapa anak yang mungkin dikandungnya ketika terjadi perceraian tersebut. Karena dengan lewatnya tiga kali suci atau waktu sekurang-kurangnya 90 (Sembilan puluh hari) bagi seorang istri yang mengalami datang bulan, dan demikian juga dengan lewatnya waktu 90 (Sembilan puluh hari) bagi bekas istri yang tidak mengalami datang bulan, hal ini dilakukan agar dapat diperkirakan bahwa ia tidak mengalami kehamilan ketika perceraian itu.

Ketentuan tersebut sangat penting untuk mencegah terjadinya kekacauan mengenai hubungan darah antara anak dengan bapaknya juga terhadap status anak tersebut. Seperti yang terdapat dalam ketentua Pasal 42 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 yang mengatakan bahwa anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah.

b. Status anak setelah perceraian orangtuanya

Berbeda dengan ketentuan dalam KUHPerdata, Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tidak mengatur jatuhnya anak dibawah perwalian apabila terjadi perceraian orangtuanya. Dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 mengatur bahwa bapak dan ibu tetap berkewajiban mengurus masa depan anak-anaknya dan dalam pengurusannya dilakukan oleh salah satu pihak. Jadi tidak mengakibatkan adanya akibat hukum baru terhadap hubungan antara bapak dan ibu dengan anak-anaknya. Hal ini dapat kita simpulkan dalam ketentuan pasal 50 ayat (1) dan pasal 49 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 50 ayat (1) Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak berada dibawah kekuasaan orangtua, berada dibawah kekuasaan wali

Pasal 49 ayat (1) Salah seorang atau kedua orangtua dapat dicabut kekuasaannya terhadap seorang anak atau lebih untuk waktu yang tertentu atas permintaan orangtua yang lain, keluarga anak dalam garis lurus keatas

(20)

dan saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang dengan keputusan pengadilan dalam hal-hal:

1. Ia sangat melalaikan kewajiban terhadap anaknya. 2. Ia berkelakuan buruk sekali.

Dari hubungan antara pasal 50 ayat (1) dengan pasal 49 ayat (1) ini, kita dapat menentukan bahwa seorang anak baru jatuh dibawah perwalian jika ia tidak berada dibawah kekuasaan orangtua, sedangkan kekuasaan orangtua baru dapat dicabut apabila ada tuntutan untuk itu dari salah satu pihak dengan alasan bahwa bapak dan ibu dari anak itu sangat melalaikan kewajibannya terhadap si anak atau ia berkelakuan buruk sekali.

2. Akibat Hukum dari Perceraian Terhadap Harta Benda Perkawinan Persoalan harta merupakan suatu persoalan yang timbul karena adanya perkawinan, mulai dari terbentuknya suatu rumah tangga sampai dengan berakhirnya atau putusnya perkawinan tersebut. Pengadaan dari harta benda atau kekayaan dalam suatu keluarga dapat bersumber dari kedua belah pihak suami istri dan dapat pula bersumber dari salah satu pihak suami atau istri.

Namun ketentuan tersebut tidak berlaku lagi setelah perkawinan itu terjadi. Harta yang ada setelah perkawinan tersebut menjadi harta bersama suami istri. Tidak memandang siapakah yang mencari nafkah atau siapakah yang dinafkahi dalam perkawinan tersebut. Dalam ketentuan Pasal 35 Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 membagi harta perkawinan dalam 2 (dua) bagian yaitu: harta bersama dan harta bawaan. Pembagian didasarkan atas asal-usul harta tesebut diperoleh, serta kekuasaan yang melekat atas harta tersebut. Harta bersama adalah harta benda yang diperoleh selama perkawinan berlangsung, sedangkan harta bawaan adalah harta benda yang dibawa masing-masing pihak dalam perkawinan. Mengenai harta bersama dalam pasal 36 undang-undang perkawinan menentukan bahwa terhadap harta bersama ini suami atau istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak, sedangkan mengenai harta

(21)

bawaan masing-masing, suami istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.

Selanjutnya berdasarkan ketentuan Pasal 37 Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 mengatakan bahwa bilamana perkawinan itu putus karena perceraian, maka harta bersama diatur oleh hukumnya masing-masing. Kemudian dalam penjelasan pasal 37 tersebut dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan “hukum masing-masing” adalah hukum agama dan hukum adat serta hukum lainnya.29

3. Akibat Hukum perceraian Terhadap Anak

Dalam masyarakat yang beradab dan teratur dewasa ini, setiap orang memerlukan nafkah berupa: sandang, pangan, dan papan dalam melangsungkan kehidupannya. Hal ini adalah kebutuhan dasar bagi setiap manusia terutama sekali bagi seorang anak yang masih belum dewasa yang belum dapat menafkahi dan membiayai kebutuhan hidupnya sendiri. Dalam memenuhi kebutuhan tersebut tentu saja diperlukan biaya yang tentunya tidak dapat dicukupi oleh anak itu sendiri. Lalu kemudian timbul pertanyaan bagaimana dan siapa yang bertanggung jawab dalam membiayai kehidupan seorang anak tersebut apabila kedua orangtuanya bercerai.

Berdasarkan ketentuan Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 dikatakan bahwa kedua orangtua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya. Jadi pemeliharaan dan pendidikan anak-anak didalam rumah tangga adalah merupakan kewajiban bersama dari suami istri. Didalam melaksanakan kewajiban ini, suami istri harus saling membantu dan saling mengisi. Apa yang telah dikemukakan diatas merupakan pembagian tugas dan tanggung jawab dari suami istri didalam suatu keluarga yang masih utuh. Dalam pembahasan sebelumnya telah dibicarakan akibat perceraian terhadap beks suami istri dan anak. Dimana dengan terjadinya perceraian maka diantara bekas suami dan bekas istri, hubungan menjadi putus sama sekali, akan tetapi hal ini tidak berlaku

29

H.Rusdi Malik, Memahami Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta, Universitas Trisakti, 2009) hal.62.

(22)

kepada hubungan antara anak dengan kedua orangtuanya. Meskipun kedua orangtuanya telah bercerai namun kekuasaan orangtuanya terhadap anak-anaknya masih tetap berlaku sepanjang anak tersebut belum dewasa dan cakap bertindak dalam hukum dan orangtua tetap berkewajiban untuk melakukan pemeliharaan dan pendidikan. Dan karena keduanya baik suami maupun istri mempunyai kewajiban, maka mereka sama-sama berhak untuk menyelenggarakan pemeliharaan dan pendidikan tersebut.

Namun karena keduanya baik suami maupun istri telah dipisahkan dengan perceraian maka, mereka tidak mungkin lagi melakukan tugas pemeliharaan dan pendidikan tersebut secara bersama-sama lagi. Tetapi disatu sisi itu adalah kewajiban oleh kedua belah pihak, maka ada kemungkinan pelaksanaan pendidikan dan pemeliharaan anak tersebut diserahkan kepada salah satu pihak saja. Atau mungkin pula anak-anak dari pasangan suami istri tersebut diasuh oleh ibunya dan beberapa lagi diasuh oleh ayahnya. Semua ini mungkin terjadi apabila sia anak dalam kepentingannya memerlukannya. Pada dasarnya nafkah ini juga diberikan untuk anak yang tidak sah yang diakui sebagai anak.30

Berdasarkan ketentuan diatas maka timbul pertanyaan:

a. Siapakah diantara bekas suami istri selaku orangtua dari anak-anak mereka yang bertanggung jawab terhadap pemenuhan nafkah anak-anak tersebut setelah kedua suami istri tersebut bercerai.

b. Bagaimana pula dengan kebutuhan nafkah bekas istri yang telah bercerai itu, karena ia telah kehilangan suami yang selama ini berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan nafkahnya sehari-hari. Didalam Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, mengenai kewajiban untuk memberi nafkah bagi anak-anak setelah orangtuanya bercerai, diatur dalam pasal 41 sub b. Dalam pasal tersebut dikatakan “Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu; bilamana bapak dalam kenyataan tidak

30

R. Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan Di Indonesia, (Bandung: Sumur Bandung, 1984) hal.95.

(23)

dapat member kewajiban tersebut, pengadilan dapat menentukan ibu ikut memikul biaya tersebut”. Secara umum dapat kita artikan bahwa yang dimaksud dengan biaya pendidikan yang diperlukan oleh anak, adalah meliputi penyediaan segala kebutuhan pokok untuk kebutuhan sehari-hari seorang anak, yaitu berupa makanan, pakaian, perumahan, pengobatan, dan biaya keperluan sekolahnya. Dan hal ini pulalah yang dimaksud dengan nafkah anak.

Apabila diperhatikan bunyi pasal 41 sub b tersebut diatas, ternyata undang-undang melakukan prioritas utama kepada bapak (bekas suami) sebagai penanggung jawab untuk memberi semua biaya dan berhubungan dengan nafkah anak-anak yang lahir dari perkawinannya dengan bekas istrinya. Jika hal ini dihubungkan dengan pasal 41 sub b Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, maka peletakan prioritas pertanggung jawaban kepada bapak (bekas suami) tersebut adalah merupakan lanjutan dari prinsip yang diatur dalam pasal 34 ayat (1), yaitu bahwa suami selaku bapak dari anak-anak wajib memberikan segala sesuatu yang berhubungan dengan dengan keperluan hidup (nafkah) didalam rumah tangga. Dan berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam Hukum Islam tanggung jawab suami juga masih berlaku terhadap bekas istrinya, tanggung jawab itu adalah berupa kewajiban untuk memberi nafkah, karena pada hakekatnya ucapan cerai itu baru berlaku setelah habis masa iddahnya.

Kewajiban bapak dan ibu (dalam hal si ibu berdasarkan suatu putusan pengadilan diikut sertakan memikul) untuk memberi nafkah bagi anak-anak mereka baru berakhir sejak:

a. Anak tersebut melangsungkan perkawinan; atau b. Anak tersebut telah dapat berdiri sendiri.31

Berdasarkan ketentuan Pasal 45 ayat (2) tersebut, bebasnya orangtua dari kewajiban untuk memberikan nafkah anak-anaknya bukanlah ditentukan menurut usia sianak, akan tetapi adalah didasarkan atas suatu

31

Ropaun Rambe, Hukum Acara Perdata Lengkap, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008) hal.168.

(24)

kenyataan, bahwa sianak telah kawin atau telah dapat berdiri sendiri. Ukuran bahwa “anak itu telah kawin” memang wajar karena seperti diatur dalam pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, seorang anak yang telah kawin maka ia mempunyai kewajibannya sendiri sebagai seorang suami kepada istri dan rumah tangganya. Ia telah diwajibkan bertanggung jawab penuh untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya sendiri, sedangkan apabila anak tersebut perempuan, maka sejak ia melangsungkan perkawinannya, kebutuhan nafkahnya telah pula menjadi tanggung jawab sepenuhnya dari suaminya. Demikian juga halnya “sianak telah dapat berdiri sendiri” adalah juga suatu hal yang pantas karena seorang anak dapat dikatakan “telah dapat berdiri sendiri” apabila ia telah bekerja dan mempunyai penghasilan sendiri yang cukup untuk kebutuhan hidupnya sendiri. Meskipun demikian ketentuan yang dimuat dalam Pasal 45 ayat (2) sangat bersifat relatif, karena mungkin saja sianak itu baru melangsungkan perkawinan setelah ia berusia 30 tahun dalam usia itu belum juga dapat berdiri sendiri. Oleh karenanya ketentuan diatas bukanlah menjadi ketentuan yang kaku dalam penerapannya, semuanya tergantung pada situasi dan kondisi keluarga tersebut pada kenyataannya.32

H. Faktor-Faktor Yang Menyebabkan Perceraian

1. Faktor Intern atau faktor yang berasal dari dalam rumah tangga a. Ketidakhadiran keturunan atau anak ditengah keluarga

b. Salah satu pihak suami istri tidak dapat melakukan kewajiban sebagaimana mestinya hal ini dapat berupa suami tidak bertanggung jawab dalam menafkahi keluarganya, suami atau istri tidak dpat memenuhi kebutuhan lahir dan batin pasangannya dan keluarganya.

c. Kekerasan dalam rumah tangga

Kekerasan rumah tangga yang lazim dilakukan oleh suami menyebabkan keutuhan rumah tangga tidak dapat dipertahankan lagi. Perilaku suami yang sering mabuk-mabukan, bermain judi, marah-marah dan semena-mena

32 H.M. Djamil Latif,

(25)

menyebabkan istri tidak dapat menahan lagi aniaya yang dilakukan oleh suami sehingga pernikahan sering kandas.

d. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain lebih dari 2 tahun.

Dalam kasus perceraian ini misalnya seorang istri yang mempunyai kewarganegaraan asing, kemudian ketika kembali kenegaranya dan tidak kembali kepada suaminya selama 2 tahun, sehingga suami mengajukan perceraian pada Pengadilan Negeri dan diputus secara Verstek (tanpa kehadiran tergugat).

2. Faktor ekstern atau faktor yang berasal dari luar rumah tangga.

Faktor ekstern yang berasal dari luar rumah tangga maksudnya disini adalah adanya pihak ketiga yang mempengaruhi terjadinya perceraian tersebut, pihak ketiga dalam hal ini berasal dari:

a. Keluarga masing-masing pihak suami istri

Kekerabatan atau keluarga sangat berpengaruh dalam kehidupan suatu rumah tangga. Ada istilah dalam masyarakat bahwa sebenarnya yang menikah itu tidak saja antara kedua mempelai tetapi keluarga juga ikut menikah didalamnya. Hal ini berarti bahawa keluarga mempunyai pengaruh yang sangat penting dalam suatu rumah tangga. Sering dijumpai beberapa kasus perceraian yang melibatkan keluarga didalamnya. Ketidakcocokan antara menantu dan mertua, antara ipar dan istri dan sebaliknya bahkan antara orangtua kedua belah pihak suami dan istri dapat memicu terjadinya pertengkaran dalam rumah tangga dan berujung pada suatu perceraian. b. Perselingkuhan

Perselingkuhan adalah salah satu penyebab terbesar terjadinya perceraian. Adanya WIL (wanita idaman lain) atau PIL (pria idaman lain) dalam rumah tangga mengakibatkan hubungan suami istri menjadi renggang dan berujung pada perceraian.

Referensi

Dokumen terkait

Dalam target pengawasan terhadap produk makanan tidak hanya ditujukan pada produk makanan yang telah terdaftar, namun lebih jauh lagi pengawasan dilakukan kepada

Tujuan penelitian ini adalah untuk: 1) untuk mengetahui apa itu hukuman kebiri, 2) untuk mengetahui alasan diberlakukannya hukuman kebiri bagi pelaku

Selain kebiasaan-kebiasaan utama tersebut dalam setiap praktik juga diterapkan Safety , dalam hal ini soft skill yang dikembangkan adalah kesadaran untuk menerapkan K3

Dari data disolusi, formula III yang mempunyai hasil disolusi yang tinggi dibandingkan formula I dan formula II yang disebabkan oleh perbandingan kombinasi magnesium stearat

APAC INTI CORPORA Bawen, Semarang berdasarkan SNI 7231:2009 tentang Metode Pengukuran Intensitas Kebisingan di Tempat Kerja dan hubungannya pada perubahan nilai ambang

Setelah dilakukan running pemodelan Alternatif 2 dengan software VISSIM diperoleh hasil yang menyatakan bahwa terdapat penurunan yang signifikan dari nilai

Suatu linear code C disebut cyclic codes (kode siklik) jika C merupakan cyclic subspace.. Karena cyclic code merupakan linear code, maka suatu cyclic code mempunyai

Danang ingin menjual tanah kavelingnya yang terletak di Jalan Pattimura nomor 12, Semarang. Letaknya sangat strategis, sudah diurug, dan siap bangun. Danang