MAHKAM AH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
---RISALAH SIDANG
PERKARA NOMOR 33/PUU-XII/2014
PERIHAL
PENGUJIAN UNDANG-UNDANG 21 TAHUN 2001 TENTANG
OTONOMI KHUSUS BAGI PROVINSI PAPUA PENGUJIAN
UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2008 TENTANG
PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI
UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2004 TENTANG
OTONOMI KHUSUS BAGI PROVINSI PAPUA
TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR 1945
ACARA
PENGUCAPAN PUTUSAN
J A K A R T A
RABU, 23 JULI 2014
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA
---RISALAH SIDANG
PERKARA NOMOR 33/PUU-XII/2014 PERIHAL
Pengujian Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua [Pasal 12 huruf c]; dan Pengujian UU Nomor 35 Tahun 2008 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2004 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua terhadap Undang-Undang Dasar 1945
PEMOHON
1. Paulus Agustinus Kafiar
ACARA
Pengucapan Putusan
Rabu, 23 Juli 2014, Pukul 14.32 – 13.42 WIB Ruang Sidang Gedung Mahkamah Konstitusi RI, Jl. Medan Merdeka Barat No. 6, Jakarta Pusat
SUSUNAN PERSIDANGAN
1. Hamdan Zoelva (Ketua)
2. Arief Hidayat (Anggota)
3. Anwar Usman (Anggota)
4. Wahiduddin Adams (Anggota)
5. Muhammad Alim (Anggota)
6. Ahmad Fadlil Sumadi (Anggota)
7. Patrialis Akbar (Anggota)
8. Maria Farida Indrati (Anggota)
Pihak yang Hadir: A. Pemerintah:
1. Chandra Purwo Negoro 2. Tri Rahmanto
1. KETUA: HAMDAN ZOELVA
Sidang Mahkamah Konstitusi untuk pengucapan putusan dalam Perkara Nomor 33/PUU-XII/2014 dibuka dan dinyatakan terbuka untuk umum.
Pemohon tidak hadir? Pemerintah hadir ya? Dari Depdagri dari mana?
2. PEMERINTAH: CHANDRA PURNWO NEGORO
Terima kasih, Yang Mulia. Pemerintah hadir, saya Chandra Purwonegoro dari Kementerian Dalam Negeri dan di samping kiri saya Tri Rahmanto dari Kementerian Hukum dan HAM.
3. KETUA: HAMDAN ZOELVA
Kementerian Hukum, DPR tidak hadir? Baik. Kita mulai pengucapan putusan. Bismillahiramanirrahim.
PUTUSAN
NOMOR 33/PUU-XII/2014
DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA
[1.1] Yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir, menjatuhkan putusan dalam perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua Menjadi Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang diajukan oleh:
[1.2] Nama : Paulus Agustinus Kafiar
Tempat, tanggal lahir : Jayapura, 2 Agustus 1967
Pekerjaan : Swasta
SIDANG DIBUKA PUKUL 14.00 WIB
Alamat : Kampung Ruar, Distrik Biak Timur, Kabupaten Biak Numfor,
Provinsi Papua
Dalam hal ini berdasarkan Surat Kuasa Khusus bertanggal 24 Januari 2014 memberi kuasa kepada Habel Rumbiak, S.H., SpN., advokat dan konsultan hukum dari Kamasan Law Firm, berkedudukan di Gedung JCD Lantai 4, Jalan Wahid Hasyim Nomor 27, Menteng, Jakarta Pusat, bertindak untuk dan atas nama pemberi kuasa;
Selanjutnya disebut sebagai --- Pemohon; [1.3] Membaca permohonan Pemohon;
Mendengar keterangan Pemohon; Memeriksa bukti-bukti Pemohon.
4. HAKIM ANGGOTA: MUHAMMAD ALIM Pendapat Mahkamah
[3.13] Menimbang bahwa sebelum Mahkamah mempertimbangkan lebih lanjut mengenai pokok permohonan Pemohon, Mahkamah perlu mempertimbangkan bahwa Pemohon pernah mengajukan permohonan pengujian Pasal 12 huruf c UU Otsus Provinsi Papua kepada Mahkamah yang telah diputus dalam Putusan Nomor 102/PUU-X/2012, tanggal 5 Februari 2013 dengan amar “Menyatakan permohonan Pemohon gugur”. Terhadap hal tersebut, menurut Mahkamah, permohonan Pemohon sebelumnya diputus tidak menyangkut pokok permohonan melainkan karena Pemohon tidak sungguh-sungguh dengan permohonannya dan dianggap tidak menggunakan haknya. Dengan demikian, pengajuan permohonan a quo tidak bertentangan dengan Pasal 60 ayat (1) UU MK, sehingga menurut Mahkamah Pemohon tetap dapat mengajukan permohonan a quo;
[3.14] Menimbang bahwa setelah Mahkamah memeriksa dengan saksama permohonan Pemohon dan alat bukti surat/tulisan yang diajukan oleh Pemohon, menurut Mahkamah, pokok permasalahan konstitusional yang dimohonkan oleh Pemohon adalah apakah syarat pendidikan sebagaimana ketentuan Pasal 12 huruf c UU Otsus Provinsi Papua merupakan syarat yang bertentangan dengan UUD 1945?
[3.15] Menimbang bahwa Mahkamah perlu menguraikan kembali latar belakang serta maksud dan tujuan dibentuknya Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua. Pembentukan otonomi khusus bagi Provinsi
IV/MPR/1999 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara Tahun 1999-2004 dalam Bab IV huruf (g) angka 2 yang menetapkan perlunya pemberian status otonomi khusus bagi Provinsi Papua. Selanjutnya pada tahun 2000, MPR kembali mengeluarkan Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/2000 tentang Rekomendasi Kebijakan dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah yang antara lain menekankan tentang pentingnya segera merealisasikan otonomi khusus tersebut melalui penetapan suatu Undang-Undang otonomi khusus bagi Provinsi Irian Jaya dengan memperhatikan aspirasi masyarakat. Otonomi khusus bagi Provinsi Papua kemudian dibentuk dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua.
Bahwa semangat pembentukan otonomi khusus bagi Provinsi Papua, diantaranya, adalah untuk mewujudkan keadilan, penegakan supremasi hukum, penghormatan terhadap HAM, percepatan pembangunan ekonomi, peningkatan kesejahteraan dan kemajuan masyarakat Provinsi Papua, dalam rangka kesetaraan dan keseimbangan dengan kemajuan provinsi lain (vide Penjelasan Umum UU Otsus Provinsi Papua paragraf 8); [3.16] Menimbang bahwa berdasarkan latar belakang pemikiran tersebut
Mahkamah perlu mempertimbangkan pentingnya pendidikan minimal sampai pada jenjang sarjana dalam pengisian jabatan kepala daerah di Provinsi Papua. Pengisian jabatan kepala daerah pada Provinsi Papua tidak dapat dilepaskan dari tujuan dibentuknya Provinsi Papua sebagai daerah otonomi khusus. Percepatan pembangunan daerah Provinsi Papua membutuhkan pemikiran yang mendasar, matang, komprehensif dan berdimensi jauh ke depan. Dengan kekhususan dan keragaman yang dimiliki serta kompleksitas persoalan pembangunan, baik fisik maupun sumber daya manusia, pada Provinsi Papua, dibutuhkan kepala daerah yang memiliki wawasan yang luas dan menjangkau ke depan, memiliki kapasitas intelektual yang mumpuni agar mampu berpikir dan bertindak secara holistik untuk membangun, mensejahterakan, dan memperkokoh ketahanan Provinsi Papua dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pendidikan yang baik akan memungkinkan terbukanya aksesibilitas informasi yang luas yang beriringan dengan meningkatnya pemahaman untuk menyatukan berbagai keragaman suku, budaya, dan etnik yang ada di Provinsi Papua serta untuk memanfaatkan sumber daya alam yang terkandung dalam bumi Provinsi Papua dalam kerangka Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Oleh karena itu, melalui sistem pendidikan nasional yang diselenggarakan oleh negara sebagai amanat dari ketentuan UUD 1945, negara menyediakan pendidikan formal secara berjenjang sampai jenjang pendidikan tinggi yang di dalamnya termasuk jenjang sarjana. Sistem pendidikan nasional ini dibangun dengan tujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai bagian dari upaya untuk meningkatkan kesejahteraan umum yang merupakan salah satu tujuan berbangsa dan bernegara yang diamanatkan oleh Pembukaan UUD 1945. Terpenuhinya syarat ini justru akan meneguhkan kapasitas dan kapabilitas calon kepala daerah atau wakil kepala daerah sebagai sosok yang telah teruji secara akademik melalui jenjang pendidikan tinggi sebelum terjun ke tengah-tengah masyarakat;
[3.17] Menimbang bahwa syarat minimal berpendidikan sarjana berlaku secara sama kepada semua warga Provinsi Papua yang berkehendak untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah atau wakil kepala daerah. Tidak ada pembedaan antara satu dengan lainnya. Bahwa perbedaan pengaturan mengenai syarat pendidikan minimal sebagaimana diatur dalam UU Otsus Provinsi Papua tidak dapat diperlakukan secara sama dengan pengaturan yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan lainnya yang mengatur tentang syarat pengisian jabatan kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah termasuk Undang-Undang khusus seperti Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4633) dan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 170, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5339). Perbedaan ini bukanlah merupakan pengaturan yang bersifat diskriminatif sebab masing-masing daerah memiliki keragaman dan karakteristik yang berbeda satu sama lain. Pengaturan yang berbeda ini merupakan pilihan kebijakan hukum yang diambil berdasarkan kebutuhan khusus masing-masing daerah dalam hal ini Provinsi Papua untuk kebaikan masyarakat Provinsi Papua serta percepatan pembangunan di Provinsi Papua dalam menghadapi era global yang sangat kompetitif;
[3.18] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan di atas, menurut Mahkamah, permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum.
5. KETUA: HAMDAN ZOELVA
KONKLUSI
Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berkesimpulan:
[4.1] Mahkamah berwenang untuk mengadili permohonana quo;
[4.2] Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan a quo;
[4.3] Permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum.
Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226), dan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076);
AMAR PUTUSAN Mengadili,
Menyatakan menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya.
Demikian diputuskan dalam Rapat
Permusyawaratan Hakim yang dihadiri oleh sembilan Hakim Konstitusi yaitu kami, Hamdan Zoelva selaku Ketua merangkap Anggota, Arief Hidayat, Muhammad Alim, Aswanto, Patrialis Akbar, Ahmad Fadlil Sumadi, Anwar Usman, Maria Farida Indrati, dan Wahiduddin Adams, masing-masing sebagai Anggota pada hari Kamis, tanggal dua puluh empat, bulan April, tahun dua ribu empat belas, dan diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari Rabu, tanggal dua puluh tiga, bulan Juli, tahun dua ribu empat belas, selesai diucapkan pukul 14.42 WIB, oleh delapan Hakim Konstitusi yaitu kami, Hamdan Zoelva selaku Ketua merangkap Anggota, Arief Hidayat, Muhammad Alim, Patrialis Akbar, Ahmad Fadlil Sumadi, Anwar Usman, Maria Farida Indrati, dan Wahiduddin Adams, masing-masing sebagai Anggota, dengan dibantu oleh Rizki Amalia sebagai Panitera Pengganti, dihadiri oleh Pemerintah atau yang mewakili, dan tanpa dihadiri oleh Pemohon/Kuasanya serta Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili.
Demikian pengucapan ini sudah selesai, Saudara bisa mengambil salinan putusan setelah sidang ini ditutup. Sidang ini selesai dan ditutup.
Jakarta, 23 Juli 2014 Kepala Sub Bagian Risalah, t.t.d
Rudy Heryanto
NIP. 19730601 200604 1 004
SIDANG DITUTUP PUKUL 14.42 WIB KETUK PALU 3X