SENI PANAHAN JEPANG
KYUDO
KERTAS KARYA Dikerjakan
O L E H
NURUL ULFA SARI NIM : 112203018
PROGRAM STUDI BAHASA JEPANG DIII FAKULTAS ILMU BUDAYA
SENI PANAHAN JEPANG
KYUDO
KERTAS KARYA
Kertas karya ini diajukan kepada panitia uiian Program Pendidikan Non-Gelar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan, untuk melengkapi salah satu syarat ujian Diploma III dalam Bidang Studi Bahasa Jepang.
Dikerjakan
OLEH
NURUL ULFA SARI NIM : 112203018
Pembimbing, Pembaca,
Drs.Amin Sihombing Prof.Hamzon Situmorang,M.S.,Ph.D. NIP. 19600403 1991031 1 001 NIP.19580704 1982 12 1 001
PROGRAM STUDI BAHASA JEPANG FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
PENGESAHAN
Diterima Oleh:
Panitia Ujian Program Pendidikan Non-Gelar Sastra Budaya Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan,
Untuk melengkapi salah satu syarat tugas akhir Diploma III dalam bidang Studi Bahasa Jepang
Pada : Tanggal : Hari :
Program Diploma Sastra Budaya
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara
Dekan,
Dr.Syahron Lubis.M.A NIP.19511013 1976 03 1 001
Panitia Tugas Akhir:
No. Nama Tanda Tangan
1. Zulnaidi,SS,M.Hum ( )
2. Drs.Amin Sihombing ( )
Disetujui Oleh:
Program Diploma Sastra Dan Budaya Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Sumatera Utara Medan
Program Studi D-III Bahasa Jepang Ketua,
Zulnaidi,SS,M.Hum
NIP. 19670807 2004 01 1 001
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas berkah dan rahmat-Nya. Penulis dapat
menyelesaikan kertas karya yang bejudul “SENI PANAHAN JEPANG” Dengan kerendahan hati penulis menyambut kritik dan saran dari pembaca demi kesempurnaan
kertas karya ini.
Dalam penulisan kertas karya ini, penulis banyak menerima bantuan dan
bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan
rasa terima kasih yang tak terhingga,terutama :
1. Bapak Dr.Syahron Lubis, M.A, selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas
Sumatera Utara.
2. Bapak Zulnaidi,SS, M.Hum, selaku Ketua Jurusan Program D3 Bahasa Jepang
Universitas Sumatera Utara.
3. Bapak Drs.Amin Sihombing, selaku Dosen Pembimbing yang dengan ikhlas telah
meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan dan pengarahan kepada
penulis sehingga dapat menyelesaikan kertas karya ini.
4. Bapak Prof.Hamzon Situmorang,M.S.,Ph.D. Selaku Dosen Pembaca.
5. Bapak M.Pujiono,SS.M.Hum, selaku Dosen Wali.
6. Segenap Dosen dan Staf Pengajar di Fakultas Ilmu Budaya Sumatera Utara yang
7. Terkhusus Ayahanda dan Ibunda Tercinta yang telah memberikan dukungan
materi,doa dan dukungan moril kepada penulis.
8. Kakak, Abang dan Adik-Adik saya tercinta yang selalu membantu dan
memberikan dukungan kepada penulis.
9. Terkhusus kepada Yudha Pratama Putra. yang telah banyak membantu,
memberikan semangat, motivasinya, dan dukungan kepada penulis dalam
menyelesaikan kertas karya ini dengan baik.
10. Teman-TemanHinode’011:
Yanda,Randy,Abdul,Sendy,Tiara,Tita,Juinda,Nanda,Fajriah,Maria,Ratna,Debby,
Asma,Amel, yang selalu mendukung dan memberikan semangat.
11. Seluruh rekan-rekan mahasiswa yang namanya tidak bisa penulis sebutkan satu
persatu terima kasih atas bantuannya selama ini.
Akhirnya kepada Allah SWT diri ini bersujud dan mengucapkan rasa syukur yang
tak terhingga karena atas izin-Nya penulis mampu menyelesaikan kertas karya ini.
Dengan segala kerendahan hati penulis mempersembahkan karya ini semoga bermanfaat
bagi pembaca dan penulis.
Medan, juni 2014
2.3.3 Monomi 32 3.4 Uchiokoshi (Mengangkat Busur) 33
3.5 Hikiwake (Menarik Busur) 34
3.6 Kai (Menyelesaikan Penarikan) 35
3.7 Hanare (Melepaskan) 36
3.8 Zanshin (Kelanjutan) 38
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN 40
4.1 Kesimpulan 40
4.2 Saran 41
LAMPIRAN 42
ABSTRAK
Kyudo adalah seni memanah jepang yang merupakan salah suatu olahraga
tradisional jepang yang meliputi semangat, kemurnian, dan konsentrasi.
Pada zaman Jomon dan Yayoi penduduk Jepang, yang menjalankan budaya
berburu dan pengumpul makanan disebut Jomon (7.000 sebelum masehi hingga 250
sebelum masehi), bergantung pada penggunaan busur. Sementara sangat
dimungkinkan bahwa mereka menggunakan busur untuk kesejahteraan sukunya, dan
kemungkinan juga untuk keperluan ritual yang terutama digunakan untuk berburu.
Peralatan dan Aksesoris yang digunakan dalam seni pahanan jepang (Kyudo)
adalah sebagai berikut :
Ada 8 teknik yang digunakan dalam seni panahan jepang (Kyudo) yaitu :
1. Ashibumi (Kaki)
Ashibumi adalah dasar dimana tahapan dari hassetsu dimulai. Tanpa itu, kaki
yang stabil dengan panahan yang baik akan sangat sulit diperoleh.Sangat imperatif
2. Dozukuri (Memperbaiki postur)
Setelah kaki ditempatkan maka anda harus mengalihkan perhatian anda
kepada postur bagian atas tubuh anda. Perhatian khusus harus ditujukan dengan apa
yang disebut hubungan tiga silang, dimana bahu, pinggul dan kaki adalah sebaris satu
dengan yang lain, sejajar dengan lantai. Agar postur ini bekerja dengan benar, maka
bahu harus diturunkan kearah punggung dan punggung leher diregangkan.
3. Yugamae (Mempersiapkan busur)
Ada dua gaya yugamae dalam Kyudo modern. Pertama disebut shomen no
kamae, busur yang tetapi di depan tubuh. Dalam posisi kedua disebut Shamen no
Kamae, busur dipertahankan pada sisi kiri. Kedua cara ini melibatkan gerakan
persiapan yang dikenal sebagai Torikake (mempersiapkan sarung tangan), Tenouchi
(memegang busur) dan Monomi (melihat target).
4. Uchiokoshi (Mengangkat Busur)
Dalam Uchiokoshi anda bersiap memanah dengan membiarkan semangat anda
melintasi hingga ke ujung busur dan panah sehingga akan menjadi bagian dari tubuh
anda. Anda kemudian mengangkat busur dalam dua cara : Shomen Uchiokoshi,
dimana busur diangkat lurus di depan tubuh anda, atau Shamen Uchiokoshi, dimana
busur diangkat pada posisi Shamen sebelah kiri.
5. Hikiwake (Menarik busur)
Busur Jepang ini ditarik dalam dua langkah. Pertama disebut Daisan, yaitu
sendiri. Tahapan kedua dari Hikiwake, menarik busur secara aktual, dimulai ketika
dan menarik nafas.
6. Kai (Menyelesaikan penarikan)
Kai berarti Pertemuan. Ini berasal dari pengajaran Buddha bahwa setiap
pertemuan diikuti oleh perpisahan. Dalam Kyudo ini berarti bahwa setiap tahapan
memanah sebelumnya mengarah pada kai, dan bahwa pelepasan adalah hasil alami
dari pertemuannya. Sehingga, keberhasilan atau kegagalan dari memanah tidak
ditentukan setelah pelepasannya, ini ditentukan dalam Kai.
7. Hanare (Melepaskan)
Bila Kai telah menjadi hal penting dalam Kyudo, maka Hanare itu
mengungkapkan misterinya. Hanare adalah sesuatu yang lebih besar, ini terletak pada
sisi pemahaman dan akibatnya tidak ada cara yang cukup untuk menjelaskannya
kecuali melalui analogi.
8. Zanshin (Kelanjutan)
Di dalam Kyudo, memanah tidak diakhiri dengan pelepasan panah, ini
berakhir dengan Zanshin. Zanshin berarti menyisakan tubuh. definisi ini digunakan
untuk menjelaskan periode setelah pelepasan ketika anda terus menahan posisi anda
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Dilihat dari karakteristiknya olahraga panahan adalah melepaskan panah
melalui lintasan tertentu menuju sasaran pada jarak tertentu. pada panahan kekuatan
dorongan sangat tergantung pada energi atau tenaga timbul karena tarikan atau
rentangan pemanah terhadap busur, dimana energi yang diperoleh dari rentangan
diubah menjadi daya dorong pada waktu panah dilepaskan. Oleh karena itu
penggunaan alat tersebut memerlukan kekuatan dan daya tahan otot-otot tertentu
terutama untuk menarik busur.
Sejarah seni pahanan Jepang terus menjadi subjek pembahasan para sarjana.
Asal usul kyudo disertai dengan mitos dan legenda, dan catatan ini disimpan oleh
berbagai kaum atau suku yang kadangkala bersifat kontradiksi, menggambarkan
sejumlah bias familial. Semua hal ini menimbulkan kesulitan yang luar biasa untuk
merangkai gambar sejarah yang benar. Namun demikian kesamaan yang cukup
diperoleh dalam berbagai uraian kuno yang memungkinkan sejarahwan untuk
memadukan bersama catatan sejarah tentang Kyudo.
Bukti arkeologi memperlihatkan bahwa pada awalnya telah diketahui bahwa
penduduk Jepang, yang menjalankan budaya berburu dan pengumpul makanan
penggunaan busur. Sementara sangat dimungkinkan bahwa mereka menggunakan
busur untuk kesejahteraan sukunya, dan kemungkinan juga untuk keperluan ritual
yang terutama digunakan untuk berburu.Busur itu dalam kenyataannya adalah alat
yang terbaik yang dimiliki oleh orang-orang Jepang pada awalnya.
Penggunaan busur mencapai puncaknya selama abad kelima belas dan abad
keenambelas. Metode pengajarannya telah didefinisikan dan memodifikasikan
kembali dan teknik pembuatan busur dan panah telah disempurnakan. Selama periode
ini, pemanah telah mendapatkan posisi tertinggi dalam hirarkhi pejuang atau prajurit.
Tetapi semuanya ini berubah tiba-tiba pada tanggal 25 Aguistus 1543 ketika fregat
China berlari di Tanegashima di sebelah selatan Kyushu.Di kapal dimana tiga tentara
Portugis dengan senapan kuno,senjata yang sebelumnya belum diperkenalkan di
Jepang.Sementara samurai penuh kebanggaan adalah pertama kali digunakan sebagai
senjata asing, maka tidak lama sebelum Jepang mulai membuat senjata dalam jumlah
yang besar. Di tahun 1575, pemimpin perang Oda Nobunaga pertama kali berhasil
menggunakan pistol dalam pertempuran utama, sehingga mengakhiri pemanfaatan
busur sebagai senjata perang.
Dan kini Kyudo tidak lagi berada dalam keluarga pemanah tradisional dan
lebih banyak orang yang datang bersama untuk berlatih Kyudo, yang kemudian
penting untuk membangun beberapa standar panahan nasional. Di awal tahun
1930-an, Dai Nippon Butoku Kai mengundang berbagai sekolah untuk ikut serta dalam
penetapan standar baru itu. Hal ini masih kontroversial dan diperdebatkan untuk
standar baru telah diabaikan oleh sekolah utama dari panahan ini, Kyudo mengalami
kebangkitan dalam popularitas yang kemudian sampai akhir perang dunia kedua.
Setelah perang, latihan Kyudo dan seni marsial lainnya dilarang oleh penguasa
saat itu. Tetapi di tahun 1946, berbagai master Kyudo dan orang berpengaruh lainnya
telah berhasil melobi GHQ untuk mendapatkan izin membentuk organisasi Kyudo
yang baru. Usaha pertama untuk organisasi ini tidak terpenuhi dengan persetujuan
otoritas setempat dan ini hanya berlangsung hingga 1949 dimana autorisasi akhir
diberikan untuk membentuk Zen Nihon Kyudo Renmei (Semua federasi Kyudo
Jepang). Pada musim panas tahun 1953, Zen Nihon Kyudo Renmei mempublikasikan
Kyudo Kyohon (panduan), yang menetapkan standar modern dari bentuk, etiket dan
prosedur memanah. Sejak saat itu, Sharei atau upacara panahan, telah dilaksanakan
dan jumlah orang yang berlatih Kyudo terus meningkat hingga lebih dari 500.000 di
seluruh dunia.
Berdasarkan hal tersebut penulis merasa tertarik untuk membahas tentang
“Seni panahan Jepang ”, dan ingin menuangkannya kedalam kertas karya ini.
1.2 Batasan Masalah
1. Bagaimana perkembangan dan sejarah seni panahan Jepang?
1.3 Metode Penulisan
Metode yang digunakan penulis dalam Kertas Karya ini adalah metode
kepustakaan, yaitu metode mengumpulkan data atau informasi dengan membaca
buku, serta menggunakan internet. Selanjutnya data dibahas dan dirangkum untuk
kemudian dideskripsikan ke dalam Kertas Karya ini.
1.4 Landasan Teori
Pengertian Seni Panahan Jepang
Kyudo adalah Seni memanah Jepang yang merupakan salah satu olahraga
tradisional Jepang yang meliputi semangat,kemurnian dan konsentrasi. Kyudo juga
dikenal sebagai Ritsuzen atau Zen Standing yang meliputi kontrol pernapasan,
konsentrasi pendengaran, penglihatan dan gerakan.
Teknik-Teknik Seni Panahan Jepang
Seni Panahan Jepang dibagi ke dalam 8 tahapan teknk memanah yang dikenal
sebagai hassetsu yaitu: Ashibumi ( Kaki ), Dozukuri (Memperbaiki Postur Tubuh ),
Yugamae (Mempersiapkan Busur), Uchiokoshi (Mengangkat Busur), Hikiwake
(Menarik Busur), Kai (Menyelesaikan Penarikan), Hanare (Melepaskan), Zanshin
BAB II
GAMBARAN UMUM TENTANG SENI PANAHAN JEPANG
2.1 Sejarah Dan Perkembangan Seni Panahan Jepang
Sejarah seni pahanan Jepang terus menjadi subjek pembahasan para sarjana.
Asal usul Kyudo disertai dengan mitos dan legenda, dan catatan ini disimpan oleh
berbagai kaum atau suku yang kadangkala bersifat contradiksi, menggambarkan
sejumlah bias familial. Semua hal ini menimbulkan kesulitan yang luar biasa untuk
merangkai gambar sejarah yang benar. Namun demikian kesamaan yang cukup
diperoleh dalam berbagai uraian kuno yang memungkinkan sejarahwan untuk
memadukan bersama catatan sejarah tentang Kyudo.
Menurut Hideharu Onuma (2013:11) Perkembangan seni panahan Jepang
dapat dibagi ke dalam lima tahapan sejarah : periode pra sejarah (dari 7.000 sebelum
masehi hingga 330 sesudah masehi), masa kuno (330 – 1192), masa feodal (1192 – 1603), masa tradisional (1603-1912) dan masa modern (1912 hingga saat ini).
2.1.1 Masa Pra Sejarah
Bukti arkeologi memperlihatkan bahwa pada awalnya telah diketahui bahwa
penduduk Jepang, yang menjalankan budaya berburu dan pengumpul makanan
penggunaan busur. Sementara sangat dimungkinkan bahwa mereka menggunakan
busur untuk kesejahteraan sukunya,dan kemungkinan juga untuk keperluan ritual
yang terutama digunakan untuk berburu. Busur itu dalam kenyataannya adalah alat
yang terbaik yang dimiliki oleh orang-orang Jepang pada awalnya.
Periode yang mengikutinya,dari 250 sebelum masehi hingga 330 sesudah
masehi adalah didominasi oleh budaya Yayoi. Ini merupakan permulaan zaman besi
di Jepang dan kehidupan di pedesaan yang berubah secara dramatis. Yayoi
menghabiskan banyak waktu untuk bekerja di pedesaan dibandingkan dengan Jomon,
dan ini membantu memperkuat pengertian komunitas diantara penduduk kampung.
Juga para sejarahwan meyakini bahwa keluarga yang memiliki kemauan akan mulai
mendapatkan upeti dari penduduk kampung, sehingga memulai sistem politik dan
kontrol ekonomi pada keseluruhan masyarakat. Penduduk kampung sekarang ini
dipaksa untuk menghabiskan waktu untuk memancing dan bertani dan memiliki
sedikit waktu untuk berburu guna memenuhi permintaan atas mereka. Akibatnya,
pertama dari serangkaian transformasi dalam cara pemakaian busur adalah dapat
terjadi, kemudian berevolusi dari alat berburu ke dalam simbol dan instrumen dari
kekuatan politik.
Tanggal yang pasti dari pembentukan sistem pemerintahan yang terusak ini
masih belum diketahui. Legenda mengatakan bahwa Kaisar Jimmu naik tahta di tahun
660 sebelum masehi, tetapi lebih banyak sejarahwan yang telah menjadikan tanggal
ini sebagai mitos. Mengutip sumber China dan Korea, mereka meyakini bahwa
yang lebih terbentuk dalam pemikiran terakhir adalah keraguan terhadap keyakinan
bahwa Jimmu adalah kaisar Jepang yang pertama.
Pertanyaan tentang keberadaan Jimmu ini adalah merupakan subjek di luar
ruang lingkup buku ini, tetapi akan sangat menarik untuk dicatat bahwa dalam
melukis dan menjelaskan kehidupannya, Jimmu selalu digambarkan dengan busur
yang panjang dan panah. Ini jelas mengilustrasikan dalam tahap perkembangan awal
dari negara Jepang bahwa busur itu digunakan sebagai simbol otoritas dan kesatuan
politik.
2.1.2 Masa Kuno
Dari abad keempat hingga ke lima, budaya China sangat mempengaruhi
sistem pemerintahan di Jepang. Bersamaan dengan etiket dan ritual, Jepang
mengadopsi upacara memanah dari aristokrasi China yang mempertimbangkan
kemahiran dalam memanah sebagai tanda bagi seorang laki-laki yang berpendidikan
baik.Sarjana pada masa itu menulis bahwa laki-laki yang beradab tidak pernah
berkelahi untuk menyelesaikan perbedaan mereka, tetapi harus menyelesaikannya
melalui uji kepandaian dalam memanah. Kontes seperti itu harus diatur oleh kode etik
dan peserta yang harus melaksanakannya. Mereka harus memperlihatkan responnya
dengan memanah kepada yang lain sebelum mereka memanah dan setelah itu, yang
kalah harus menerima hasil dengan murah hati dan berbesar hati dan memberikan
Jepang dan China putus hubungan pada abad kesembilan, tetapi China terus
melanjutkan dan memiliki pengaruh terhap kepiawaian memanah Jepang. Dalam
kenyataannya, jauh setelah upacara memanah menghilang di China, maka kemudian
dilanjutkan untuk berkembang di Jepang, dimana ini dapat diikuti dalam seni Kyoto.
Berikut ini ada tiga ratus tahun berlangsung perubahan yang sekali lagi akan
merubah praktek memanah Jepang. Pertama, sebagai sebuah kekuatan pemilik tanah
yang terus meningkat, mereka diberikan pengecualian atas pajak dan kekebalan dari
pemeriksa resmi. Kemudian, ketika otoritas negara terhadap tanah berkurang, maka
pemilih tanah mengasumsikan tanggung jawab pemerintah dan melindungi orang
yang tinggal di daerah mereka. Akibatnya, wajib militer sebagai sebuah kelompok
yang kurang terlatih dan tidak berdisiplin yang lebih bersifat tenaga kerja dari
serdadu adalah ditempatkan oleh milisi provinsi yang memiliki kemauan. Akhirnya,
sebagai pengaruh pemerintahan pusat, maka kekuatan pejuang elit meningkat dan
kelas militer baru, samurai, mulai mendominasi negeri itu. Peningkatan kelas samurai
mengarah pada pembentukan berbagai Ryu, atau sekolah marsial. Pemanah
mula-mula Ryu adalah tidak terorganisir, mereka tidak memiliki metode instruksi yang
sistematis. Namun demikian, mereka memberikan pelatihan bagi generasi pemanah
baru. Akibatnya, kaum samurai utama sangat tergantung pada keahlian dari sekolah
pemanah.
Juga ada catatan sejarah terhadap sebutan Taishi Ryu yang telah ada selama
pemanah pertama. Ini diikuti oleh Takeda Ryu dan Ogasawara Ryu, keduanya
dibentuk oleh keturunan Kiyomitsu.
Perjuangan untuk supremasi di kalangan suku samurai mengarah pada
konfrontasi antara dua keluarga utama, Minamoto dan Taira (Perang Gempei 1180 – 11185) dan mengakibatkan peningkatan penggunaan panah secara dramatis.
Ada sejumlah kisah dari saat itu yang mengatakan tentang eksploitasi
pemanah. Dua dari kisah yang terkenal menyangkut Minamoto no Tametomo dan
Nasu no Yoichi.
Minamoto No Tametomo yang dikatakan laki-laki yang cukup besar dan
memiliki kekuatan. Dicatat bahwa panahnya berukuran Dua belas tangan dan Dua
jari. Dia menyatakan penggunaan busur yang memberinya daya untuk membutuhkan
lima laki-laki untuk menariknya. Legenda ini muncul selama Era Gempei, Tametomo
hidup di pembuangan di pulau Oshima di Izu. Sejak dia menganggap pulau itu
sebagai domain pribadinya, dia menolak membayar pajak. Kekerasan pendiriannya
telah memprovokasi pemerintahan pusat untuk mengirimkan armada yang terdiri dari
dua puluh kapal perang kecil dalam usaha untuk memaksanya untuk membayar pajak.
Sebagai gerakan penolakan, Tametomo memutuskan untuk memanah dengan panah
besar ke pada busur dari satu kapal, tetapi kemudian mengenai hull kayu beberapa
inci di atas garis air. Panahan itu begitu dahsyat sehingga panah menembus hingga ke
bagian dalam kapal, menciptakan dua lubang mengagah. Air laut masuk ke dalam dan
kapal itu mulai tenggelam. Petunjuk dari kapal perang tenggelam oleh satu panah
Nasu no Yoichi adalah tokoh populer dalam seni dan kesusasteraan Jepang,
tetapi seperti halnya dengan Minamoto no Tametomo, uraian tentang kehidupannya
adalah kemungkinan telah dilebih-lebihkan. Nasu no Yoichi adalah lebih baik
diketahui untuk gambaran pengecualian dari keahlian di yashima, pertempuran desisif
antara Minamoto dan Taira. Pasukan tentara Minamoto memaksa Taira untuk
menarik diri ke dalam kapalnya untuk meninggalkan pantai laut pedalaman,dan
dalam memastikan pertempuran dari armada yang hilang.Taira tidak menerima
kekalahan tanpa mengajukan satu tantangan simbolik terakhir.Mereka menambatkan
satu kapalnya yang masih tersisa hingga tujuh puluh meter lepas pantai dan
menantangi pemanah Minamoto untuk menembak kipas lipat yang diikatkan di ujung
bagian kayu panjang. Nasu no Yoichi pemanah besar Minamoto, menerima tantangan
itu. Di belakang kuda dan dalam pandangan penuh dari teman-teman dan musuhnya,
dia berlari dalam jarak pendek ke arah laut dan bersiap untuk memanah. Dia meminta
dewa untuk menenangkan angin dan memandu panahnya.Mukjizat, angin terhenti
dan laut tenang.Nasu no Yoichi mengangkat busurnya,mengambil arah panahannya
dan melepaskan panahnya. Tepat mengenai ke arah kapal Taira dan membagi dasar
kipas, dan kemudian masuk ke dalam laut. Setelah hening sesaat, pejuang dari kedua
pihak meraung tanda setuju.
Perang Gempei menghasilkan banyak laki-laki petarung yang luar biasa
seperti Minamoto no Tametomo dan Nasu no Yoichi dan kemudian membentuk bushi,
atau Samurai, sebagai kelas sosial baru yang memiliki kekuatan. Naiknya samurai
2.1.3 Masa Feudal
Di tahun 1192, Minamoto no Yoritomo, kepala kaum Minamoto, diberi gelar
Shogun. Pada saat itu dia berhasil menghimpun kekuatannya dan mengendalikan
seluruh negeri dari markas besarnya di kamakura. Pengadilan Imperial Kyoto masih
di tempat, tetapi mendorong untuk melepaskan semua kewenangan kepada regime
militer. Ini bersifat alami dimana prinsip dan praktek dari militer ini harus
mempengaruhi seluruh masyarakat.(Hideharu Onuma:2013:15)
Hampir akhir abad keduabelas, Yoritomo memulai standar pelatihan yang
lebih ketat bagi para pejuangnya. Sebagai bagian dari pelatihan dia minta
Ogasawara Nagakiyo, pendiri Ogasawara Ryu, untuk mengajarkan keahlian panahan
itu. Memanah dari belakang kuda adalah sudah pasti bukan hal baru tetapi ini
merupakan kali pertama diajarkan dalam cara yang lebih atau kurang standar. Dalam
tahun berikutnya, Yabusame atau panahan itu akan mencapai potensi penuh dan
menambahkan dimensi baru untuk mempelajari Kyudo.
Untuk abad kelima belas dan keenam belas, Jepang mengalami gangguan
oleh perang sipil. Ini merupakan masa yang sangat menghancurkan, tetapi kemudian
memungkinkan para samurai mengasah keahlian perkelahiannya atas dasar konstant,
yang menghasilkan pejuang terampil dalam sejarah Jepang. Dengan demikian, busur
menjadi sangat penting sebagai senjata dan teknik memanah telah mengalami
Salah satu pemanah berpengaruh pada zaman itu adalah Heki Danjo
Masatsugu, pejuang yang memiliki keahlian yang luar biasa dan reputasi yang baik.
Terdapat sedikit tulisan tentang Heki Danjo dan sejarahwan yang tidak setuju tentang
fakta yang menyertai kehidupannya. Sebagian berpikir bahwa dia tinggal di Yamato (
perfektur Nara di zaman modern ) dan Iga ( prefektur Mie zaman modern ), tetapi
sebagian mempertahankan bahwa ada dua keluarga heiki yang berbeda secara aktual,
satu di Yamato dan yang lain di Iga. Disamping semua hal yang membingungkan,
sebagian sejarahwan setuju bahwa sesungguhnya Heki Danjo telah ada. Secara umum
dapat dipikirkan Bahwa dia lahir di tahun 1443 dan meninggal pada usia lima puluh
sembilan tahun. Menurut Legenda, Heki Danjo ini adalah berusia empat puluh tahun
ketika dia menyatakan tentang kerja dari apa yang disebutnya sebagai Hi, Kan, Chu.
Setelah bereksperimen dengan berbagai cara yang ada, maka Heki Danjo
menemukan metode baru yang lebih akurat dalam menembak yang telah
mengembangkan revolusionisasi dari keberadaan pemanah Jepang.
Sebelum Heki Danjo, gaya memanah sangat bervariasi dan ada sedikit cara
dari pengajaran formal, khususnya dalam kasus teknik pertempuran di lapangan.
Pemanah umumnya dilatih atas metode sendiri dengan metode yang mereka rasa
lebih efektif. Samurai dengan cepat mengakui Potensi gaya memanah Heki Danjo,
sehingga tidak membutuhkan waktu lama untuk menyebarluaskan metode ini.
Heki Danjo memberikan rahasianya kepada Yoshida Shigekata. Keturunan
Shigekata ini membentuk fraksi tersendiri dan dalam zaman itu, jumlah sekolah
Chikurin ha (sekolah Chikurin) yang bergulir dari Iga Heki Ryu, sebagian besar
melalui anggota keluarga Yoshida. Sekolah ini disebut sekolah baru yang berbeda
dengan Henmi, Takeda dan Ogasawara Ryu yang mendominasi pengadilan dan
memanah di medan pertempuran hingga kemunculan Heki Danjo.
Secara umum dapat dpikirkan bahwa sejumlah besar sekolah memanah telah
ada di zaman kuno itu, tetapi secara aktual ini merupakan cabang dari Heki Ryu dan
sebagian besar seperti Heki RyuChikurin-ha, Heki Ryu Sekka -ha dan heki Ryu
Insai-ha, terus berlangsung hingga saat ini.
Penggunaan busur mencapai puncaknya selama abad kelima belas dan abad
keenambelas. Metode pengajarannya telah didefinisikan dan memodifikasikan
kembali dan teknik pembuatan busur dan panah telah disempurnakan. Selama periode
ini, pemanah telah mendapatkan posisi tertinggi dalam hirarkhi pejuang atau prajurit.
Tetapi semuanya ini berubah tiba-tiba pada tanggal 25 Agustus 1543 ketika fregat
China berlari di Tanegashima di sebelah selatan Kyushu. Di kapal dimana tiga tentara
Portugis dengan senapan kuno,senjata yang sebelumnya belum diperkenalkan di
Jepang.Sementara samurai penuh kebanggaan adalah pertama kali digunakan sebagai
senjata asing, maka tidak lama sebelum Jepang mulai membuat senjata dalam jumlah
yang besar. Di tahun 1575, pemimpin perang Oda Nobunaga pertama kali berhasil
menggunakan pistol dalam pertempuran utama, sehingga mengakhiri pemanfaatan
2.1.4 Masa Transisi
Pada awal abad ketujuh belas, Shogun Tokugawa Ieyasu mengelola untuk
menyatukan fraksi samurai pejuang dan negara itu berada dalam damai yang cukup
lama. Ketiadaan perang, dikaitkan dengan diperkenalkannya senjata api, harus dapat
membuat para pemanah samurai menyingkirkan busurnya tetapi mereka menolak
untuk melakukannya. Merasakan bahwa Kyujutsu teknik berjuang dengan busur
adalah sesuatu yang absolut, dengan kompetisi yang teratur di kuil Sanjusangendo di
Kyoto dengan harapan mempertahankan minatnya dalam memanah.(Hideharu
Onuma:1961:18).
Di Sanjusangendo, pemanah, dari posisi yang ada, adalah diminta untuk
memanah ke bawah melalui koridor sempit pada target yang ditempatkan 120 meter
jauhnya. Beam kayu yang menggantung rendah telah membuat panahan itu menjadi
sulit, sebagaimana dibuktikan oleh nilai poros panah yang masih tetap di batang itu
hingga saat ini. Hingga akhir zaman Edo, 823 pemanah telah mengambil tantangan
Sanjusangendo, tetapi sangat sedikit dibandingkan dengan tiga puluh yang masih
tersisa dari catatan itu. Diantaranya, dua panah bertahan sendiri : Hoshino
Kanzaemon dan Wasa Daihachiro.
Hoshino Kanzaemon adalah mengkhawatirkan tentang keadaan panahan yang
membawanya bergerak melintasi negara dan meneliti teknik panahan. Dia
menentukan untuk menjadi pemanah terbaik di zaman itu. Dedikasinya telah ada.
Pada pertengahan abad ketujuh belas, ketika dia menjadi bagian dalam kompetisi di
Hoshino adalah 8.000 panahan dari total 10.542 panah yang dipanahkan dan menjadi
kesaksian terhadap keahliannya.
Sama kagumnya dengan Record Hoshino Kanzamon, adalah jauh lebih baik
tujuh belas tahun kemudian oleh Wasa Daihachiro, pemanah dengan kekuatan dan
stamina yang besar. Sejarahnya adalah bahwa ketika Wasa Daihachiro telah
berusaha, dia beristirahat setelah beberapa jam memanah terus menerus. Ketika dia
kembali dia tidak lagi mampu memanah seperti sebelumnya, panahnya tidak lagi
dapat melintasi panjang koridor. Pada saat itu, samurai tua yang telah ada di
sekitarnya memanah mendekati dan kemudian berhenti. Laki-laki itu mengambil
pisau kecil dan membuat sejumlah sayatan pada tangan kiri Wasa Daihachiro yang
kemudian menjadi bagian dengan darah yang tidak lagi mampu memegang busurnya
dengan baik. Setelah tekanan dilepaskan, Wasa Daihachiro mendapatkan kembali
kekuatannya dan kemudian pergi untuk melakukan usaha seperti sebelumnya. Dia
tidak menemukan bagian terakhir dimana seseorang membantunya untuk
memecahkan Record Hoshino yaitu Hoshino Kanzaemon itu sendiri.
Dalam dua puluh empat jam memanah dari malam hingga keesokan harinya
Wasa Daihachiro memanah 13.053 panah dan mengenai sebanyak 8.133
kali.Rata-rata ini adalah kurang lebih sembilan panah per menit, atau satu setiap enam atau
tujuh detik catatan yang tidak dipercaya yang hampir tidak pernah tersaingi.
Disamping semua usaha yang mereka lakukan, kaum samurai ini gagal
memulihkan Kyujutsu ke keadan sebelumnya. Waktu berubah dan kemudian busur
tidak pernah lagi digunakan dalam pertempuran.
Dalam paruh terakhir abad ketujuh belas, populasi umum menggunakan
praktek memanah dalam jumlah yang meningkat dan upacara panahan menjadi
populer. Menurut beberapa sumber, Morikawa Kozan, pendiri Yamoto Ryu modern,
pertama kali menggunakan kata Kyudo pada saat itu. Dan meskipun telah
berlangsung selama dua ratus tahun untuk waktu memperoleh penerimaan yang luas,
tempat yang terus menerus dan diperkenalkannya senjata api yang lebih efisien
menjadi sesuatu yang tidak dapat dielakkan bahwa penekanan terhadap pelatihan
memanah ini harus bergeser ke arah perkembangan spritual dan mental.
Era Meiji (1868 – 1912) melihat Jepang berembarkasi pada modernisasi yang cepat. Tiba-tiba, segala sesuatu telah berlangsung di Eropa. Secara natural, budaya
tradisional telah diderita dan panahan Jepang adalah dalam kondisi bahaya atau
menghilang.
Mendekati abad Honda Toshizane, instruktur Kyudo di Universitas Imperial
Tokyo, memadukan berbagai unsur pejuang dan gaya upacara untuk menciptakan
metode hibrida dari memanah yang kemudian diajarkan kepada murid-muridnya.
Hingga saat itu pengajaran terhadap kedua gaya ini lebih kurang terpisah. Tentu saja,
sekolah tradisional tidak mendukung metode yang baru. Protes mereka adalah tidak
didengarkan, seperti Honda Toshizane yang terus mengajarkan muridnya gaya hibrid.
sekolah dan Honda Ryu yang kemudian menjadi terkenal, ditemukan lebih diketahui
oleh umum. Dewa ini, Honda Toshizane diakui sebagai seorang master Kyudo yang
berpengaruh pada zaman modern. Sebagian mengatakan bahwa ini bukan hanya
bertanggung jawab untuk merubah arah panahan Jepang tetapi juga memastikan
kelangsungannya dalam abad keduapuluh.
2.1.5 Zaman modern
Sekarang bahwa Kyudo tidak lagi berada dalam kontrol keluarga pemanah
tradisional dan lebih banyak orang yang datang bersama untuk berlatih Kyudo, yang
kemudian menjadi penting untuk membangun beberapa standar panahan nasional.Di
awal tahun 1930-an, Dai Nipppon Butoku Kai mengundang berbagai sekolah untuk
ikut serta dalam penetapan standar itu. Hal ini masih kontroversial dan diperdebatkan
untuk waktu sebelum perjanjian tentatif akhirnya dicapai di tahun 1934. Dan
meskipun standar baru telah diabaikan oleh sekolah utama dari panahan ini, kyudo
mengalami kebangkitan dalam popularitas yang kemudian sampai akhir perang dunia
kedua.
Setelah perang, latihan kyudo dan seni marsial lainnya dilarang oleh penguasa
saat itu. Tetapi di tahun 1946, berbagai master kyudo dan orang berpengaruh lainnya
telah berhasil melobi GHQ untuk mendapatkan izin membentuk organisasi kyudo
yang baru. Usaha pertama untuk organisasi ini tidak terpenuhi dengan persetujuan
diberikan untuk membentuk Zen Nihon Kyudo Renmei (Semua Federasi Kyudo
Jepang). Pada musim panas tahun 1953, Zen Nihon Kyudo Renmei mempublikasikan
Kyudo Kyohon (panduan), yang menetapkan standar modern dari bentuk, etikat dan
prosedur memanah. Sejak saat itu, Sharei atau upacara panahan, telah dilaksanakan
dan jumlah orang yang berlatih kyudo terus meningkat hingga lebih dari 500.000 di
seluruh dunia.
Pada musim gugur tahun 1989, laki-laki dan perempuan dari delapan negara
yang berbeda, mulai dari usia sebelas tahun hingga sembilan puluh sembilan tahun
berkumpul di Budokan di Tokyo untuk merayakan ulang tahun keempat puluh Zen
Nihon Kyudo Renmei. Keberaaannya dan fakta yang ada adalah berkumpul dalam
harmoni, dan juga dengan kesaksian hidup terhadap kekuatan Kyudo modern.
Diperlihatkan bahwa pemanah Jepang adalah bergulir dari metode penaklukan musuh
ke dalam cara mempromosikan persahabatan dan perdamaian dunia.
2.2 Peralatan Dan Aksesoris Seni Panahan Jepang
2.2.1 Busur Jepang (Yumi)
Di mana saja di seluruh dunia, terdapat busur yang menyerupai yumi Jepang.
Dalam setiap pengertiannya ini adalah unik. Pengecualiannya adalah panjang yang
lebih dari dua meter dan asimetris, pegangannya adalah ditempatkan di bawah titik
dengan bahan yang sederhana, bambu dan kayu, yang digunakan selama lebih dari
400 tahun ang lalu.
Keindahan dan kekuatannya tidak tertandingi, Yumi membuat semangat
Jepang. Ini adalah sederhana dan elegan dan berakar dalam tradisi yang lebih lama.
Sepanjang sejarah yumi telah dipuja karena memiliki nilai seni dan nilai praktisnya.
2.2.2 Bowstring (Tsuru)
Pada dasarnya, ada tiga jenis Tsuru : alami, sintesis dan campuran keduanya.
Tsuru terbaik terbuat dari hemp alami (asa). Ini memberikan pelepasan yang halus
dan mulus dari Tsurune (bunyi string). Bagaimanapun, ini tidak akan tahan lama,
terutama pada kondisi kering. Tsuru sintesis atau campuran adalah lebih kuat tetapi
tentu kekruangan mutu dan elegansi dari string alami. Pilihan tsuru ini adalah
mengarah pada individu yang harus memutuskan jenis tsuru mana yang sesuai
dengan kebutuhan dan kebiasan memanah.
Tsuru ini datang dengan panjang yang disesuaikan dengan yumi (Namisun,
Nisun Nobi, dll). Ini juga datang dengan berat yang berbeda (momei dan kisaran 1.6
momei (enam gram) hingga 2.4 momei (sembilan gram). Ketika aturan umum dengan
string yang lebih ringan digunakan di musim panas atau pada yumi dengan kekautan
tarikan ringan, sementara string berat lebih baik digunakan dalam musim penghujan
Tsuru adalah dilapisi dengan Kusune, resin halus dan juga campuran minyak
yang pengikat serat dan kekuatan string. Umumnya, ide yang baik untuk memperkuat
tsuru sebelum dan sesudah sesi praktis dengan bantalan rami disebut Waraji. Untuk
itu, ada lipatan waraji terhadap pegas dan juga rub ke atas dan ke bawah pada
panjang string. Aksi gosokan ini akan meleburkan kusune dan kemudian mengikat
kembali alur yang longgar, sehingga mampu meningkatkan usia Tsuru.
Tsuru yang terpisah harus disimpan dimana akan dilindungi dari kelembaban
atau kekeringan yang berlebihan. Sebagian pemanah harus menjaga satu atau dua
string yang telah dipersiapkan sebelumnya dalam tsurumaki,penahan pegas sirkular
yang terbuat dari rotan atau kayu. Tsurumaki akan dibawa pada orang pemanah atau
tetapi di tangan dalam hal string putus ketika sedang memanah.
2.2.3 Mengikat Tsuru
Ketika anda membeli Tsuru baru, anda akan menemukan Tsuruwa (Loop)
hanya terikat pada ujung bawah. Oleh karena itu, perlu mengingatkan Tsuru atas.
Biasanya, bagian atas Tsuru ini ditutupi dengan kain merah dan loop adalah dibuat
dua atau tiga sentimeter di atas titik dimana kain merah bertemu dengan serat string.
Tetapi karena setiap Yumi dan Tsuru bervariasi panjangnya, maka akan lebih baik
untuk membuat pengukuran yang cepat sebelum mengikat loop.
Cara termudah untuk melakukannya adalah menempatkan loop bawah pada
Meregangkan tsuru dan menandai titik dimana kain merah bertemu pada dasar nock
bawah (Motohazu).
2.2.4 Panah (Ya)
Panah Jepang adalah tidak seperti panah di dunia Barat. Ini sangat panjang,
mendekati satu meter atau lebih dengan bulu dengan panjang lima belas sentimeter.
Seperti Yumi, ini terbuat dengan cara yang sama seperti di masa lalu, dengan semua
bahan alami dengan pengecualian titik besi. Porosnya dibuat dari Yadake, pilih
dengan variasi bambu. Nock ini adalah normalnya terbuat dari tanduk atau bambu dan
bulunya dari elang, rajawali,atau burung besar.
2.2.5 Kepala Panah (Yajiri/Yanone)
Kepala panah klasik, atau yajiri, berkisar dari ujung besi sederhana yang
digunakan untuk berburu atau perang hingga kepala yang digunakan untuk
upacara-upacara. Dengan pengecualian prosedur upacara khusus, maka kepala panah ini tidak
lagi pernah digunakan.
Titik modern (Yanone) muncul kedalam dua jenis : titik target regular dan
Makiwara. Sebagian titik logam pada ujung poros panah dan juga tersedia dalam
berbagai diameter yang memungkinkan mereka menempel pada poros tanpa
penggunaan agen bonding. Dalam kasus dimana titik ini tidak cukup besar untuk
Makiwara logam aalah lebih halus untuk praktek sehari-hari tetapi tentu
dengan makiwara panah yang lebih baik, seperti yang digunakan untuk keperluan
upacara, yang disesuaikan dengan titik kepala tanduk. Titik ini pertama kali
dimasukkan pada ujung terbuka dari poros, yang dipastikan oleh kusune kecil atau
lem putih kemudian dibentuk dengan pisau untuk menciptakan panah yang halus dan
bersih.
2.2.6 Nock (Hazu)
Sebagian besar nock dewasa ini dibuat dari tanduk kambing atau tanduk rusa.
Seperti titik tanduk Makiwara, ini dapat disisipkan ke dalam poros panah dan bila
perlu diarahkan untuk disesuaikan dengan diameternya. Sebagian besar slot nocking
dari Hazu tanduk telah diseleaikan oleh pemanah sehingga dengan benar akan
menempatkan area nocking dari Tsurunya. Untuk itu gunakan tempat flat kecil dan
rattail tipis untuk membuat bagian dalam slot lebih lebar dari bagian atas. Bentuk
seperti lubang kunci akan mempertahankan panah tetap pada di tempatnya.
Sebagian panah yang lama, dan beberapa panah upacara memiliki nock
bambu. Seringkali jenis nock ini dibentuk langsung dari ujung poros panah.
Kadangkala, nock bambu ini dibuat dari potongan bambu yang terpisah dan
ditetapkan pada ujung poros sehingga memungkinkan nock untuk diganti bila telah
2.2.7 Bulu (Hane)
Tanpa meragukan kondisi impresif, seringkali panah yang mahal dengan
bagian bulu yang menyertainya. Bulu halus, dari segi keindahan dan daya tahan,
berasal dari burung pemangsa, sebagian burung elat laut utara (Otori) dan burung
elang (Taka). Kedua burung ini sedikit lebih sulit di dapat di alam liar. Dalam hal ini,
elang laut menjadi sangat langka yang sekarang dilindungi oleh perjanjian
internasional. Akibatnya, bulu elang laut tidak lagi dapat diambil. sebagian bulu
berasal dari elang biasa, angsa, dan kalkun dengan burung besar yang tidak
berbahaya.
Kualitas bulu ini sangat bervariasi berdasarkan jenis burung dan jenis bulu.
Yang sangat baik adalah Ishiuchi, bulu ekor terluar dari elang. Kemudian bulu ekor
bagian dalam (Oba), dan akhirnya bulu sayap (Teba). Dalam kasus burung lain
seperti kalkun atau angsa, hanya bulu sayap yang digunakan. Bulu ini relatif murah.
Ini tidak dapat bertahan dalam pemakaian yang berulang dibandingkan dengan bulu
elang.
Bulu dari sisi kanan dan sisi kiri digunakan untuk membuat panah. Panah
yang memiliki bulu yang melengkung ke kiri disebut Haya atau panah pertama,
sementara yang melengkung ke kanan disebut Otoya atau panah kedua. Dalam
2.2.8 Sarung Tangan (Yugake)
Pada awal pertama panahan Jepang, busur itu selalu ditarik dengan ibu jari
dan jari tengah yang disebut dalam Gaya Pinch yang diketahui oleh setiap anak yang
bermain dengan busur dan panah. Sekitar tujuh abad, Jepang mengadopsi gaya China
utara dalam menarik busur dengan ibu jari. China menggunakan ring ibu jari yang
terbuat dari tanduk atau batu untuk menarik senar.Masih diragukan bahwa Jepang
pernah menggunakan ring, yang lebih suka menggunakan band ulit. Dengan sarung
tangan yang dapat digunakan, tetapi mengesampingkannya pada ibu jari dimana tidak
lagi membutuhkan sarung tangan khusus karena pemanah dapat menggunakan
pedangnya sendiri.
Sarung tangan seperti yang digunakan dengan ibu jari dan pergelangan yang
dibuat keras terlihat setelah perang Onin (1467 – 1477) yang berakhir pada penekanan ke target panahan. Sarung tangan ini dibuat dari kulit rusa dengan tanduk
dan kayu. Disain ini meningkatkan kemampuan pemanah untuk menahan tarikan
panjang waktu dan memungkinkannya untuk mempelajari hubungan diantara dirinya
dan panahan.
Pada dasarnya ada tiga jenis Yugake yang biasa digunakan dewasa ini :
Mitsugake (sarung tangan tiga jari), Yotsugake (sarung tangan empat jari) dan
Morogake (sarung tangan lima jari). Sarung tangan ini adalah bertangan kanan karena
pemanah Jepang selalu menghadap Kamiza ketika memanah. Terlepas dari jumlah
jari, juga ada perbedaan bagaimana sarung tangan itu dibuat. Ibu jari yotsugake
Akibatnya, sekolah tertentu atau guru akan lebih menyukai satu jenis
sarungan ini dibandingkan dengan yang lainnya. Morogake misalnya, digunakan oleh
mereka yang berlatih Ogasawara Ryu sementara eksponen Heki Ryu lebih suka
menggunakan Mitsugake ketika memanah dari jarak dekat. Yotsugake, pada sisi lain
adalah dirancang dan digunakan untuk kompetisi memanah jarak jauh di
Sanjusangendo Kyoto. beberapa peserta pelatihan lebih suka menggunakan Yotsugake
untuk panahan jarak dekat karena membutuhkan sedikit usaha untuk menarik dan
memegang busur dengan Yotsugake.
2.3 Keseragaman Latihan (Keiko – Gi)
Untuk melihat pemanah berpengalaman menembak dalam Kimono Remsi dan
Hakama pakaian Jepang klasik adalah melihat Kyudo pada kecantikannya. Namun,
Kimono yang baik adalah sangat mahal, seringkali membentuk ratusan dollar atau
lebih. Akibatnya, sebagian orang hanya memakai kimono pada kesempatan tertentu.
Seragam praktek standar terdiri dari Kimono (Kyudo-gi) dengan pakaian
belahan (Hakama), kaos kaki belahan pada jari kaki (Tabi), dan juga tali pinggang
kain (Obi). Wanita memakai pelindung dada dari kulit (Muneate). Ada beberapa
perbedaan seragam yang digunakan oleh laki-laki dan perempuan. Hakama laki-laki
terutama karena wanita pada dasarnya memakai Hakama mereka lebih tinggi pada
pergelangan tangan dibandingkan dengan laki-laki.
Di Jepang, Zen Nihon Kyudo Renmei mempersyaratkan agar semua pemanah
menguji hingga kelima dan memakai kyudo-gi putih dan Tabi putih. Laki-laki harus
memakai Hakama belakang, sementara perempuan diperkenankan memakai belakang
atau Hakama biru. Pemanah menguji dan ke lima yang dibutuhkan untuk memakai
anggota yang mengikuti standar yang sama untuk praktek sehari-hari tetapi tentu
dengan anggota lawan yang memakai Kyudo-gi putih atau Kimono.
Setiap saat seragam Kyudo ini harus tetap bersih dan dipres rapi. Tidak ada
noda karena keindahan Kyudo lebih dari sekedar orang yang bersih dari kotoran.
Sebagian besar Kyudo-gi adalah terbuat dari katun atau bahan sintesis dan mudah
dicuci dan disetrika. Hakama juga harus dilipat rapi setelah digunakan untuk menjaga
kerapiannya. Semuanya ini bersifat biasa, tetapi tentu bila seseorang tidak
mengabaikannya dan disiplin untuk mempertahankan permintaan yang lebih besar
dari praktek Kyudo untuk membuatnya.
2.3.1 Mengikat Obi
Sebelum mengikat Obi, pastikan bahwa kyudo-gi atau Kimono sudah dipasang
dengan benar dengan lipatan sisi kiri ke arah kanan. Bekerja dari depan, lipat bagian
tiga puluh sentimeter dari satu ujung Obi dalam setengah panjang. Pegang ujung ini
anda, sisakan tiga puluh sentimeter pada ujungnya (bila Obi terlalu panjang untuk
dilipat kembali).
Lipat ujung yang lebar sektiar ujung yang pendek dan tarik ke atas, ketatkan
Obi. Lipat ujung bagian yang lebar ke dalam membentuk huruf V, kemudian ulirkan
melalui v dan kemudian tarik ketat. Selesaikan dengan mengembalikan Obi sekitar
sisi kanan hingga knot sejalan dengan bagian tengah ke belakang.
2.3.2 Mengikat Hakama
Pegang bagian depan hakama pada pergelangan tangan, kemudian ambil
ikatan panjang pada sisi sekitar punggung. Lipat ikatan pada bagian atas Knot Obi
dan lanjutkan di sekitarnya dan ke bawah di bagian depan, lepaskan ikatan kiri ke
atas kanan. Pada titik kiri tengah, lipat ujung kanan yang mengarah pada ikatan yang
lain dan teruskan pada kedua ikatan sektiar punggung. Ikat mereka dalam bagian
panah Obi.
Ambil kembali Hakama dan letakkan kembali pada bagian atas dari Knot Obi.
Bawa kembali ke belakang dan kemudian pada bagian depan dan silangkan dan
kemudian pada bagian tengah dari tubuh, untuk perempuan, ikatan ini kemudian
dilipat sekitar sisi belakang Hakama dan diikat pada busur di bawah Obi. Untuk
laki-laki ikatan ini adalah diikat pada knot bujur sangkar sederhana dan sisa dari ikatan
BAB III
TEKNIK DALAM SENI PANAHAN JEPANG
Hassetsu : Delapan Tahapan Dalam Memanah
Menurut Hideharu Onuma (2013:65-85) Kajian Kyudo dibagi ke dalam 8
tahapan teknk memanah yang dikenal sebagai hassetsu. Berikut macam-macam
teknik dan penjelasannya :
3.1 Ashibumi (Kaki)
Ashibumi adalah dasar dimana tahapan dari hassetsu dimulai. Tanpa itu, kaki
yang stabil dengan panahan yang baik akan sangat sulit diperoleh. Sangat imperatif
dibandingkan ketika anda mengembangkanya melalui pemahaman ashibumi.
Ada dua cara untuk menempatkan kaki ketika membuat ashibumi: metode
melangkah dan geser yang digunakan dalam reishakei dan juga metode dua langkah
yang digunakan dalam Bushakei. Dalam kedua kasus ini, sangat penting untuk
menjaga tubuh tetap tegak dan membiarkan kaki bergeser mulus di lantai untuk
menghindari bobbing atau ayunan. Sebagai aturan,kaki dilebarkan sejarak panjang
panah (Yazuka) dengan ibu jari besar segaris dengan bagian tengah target. Sudut kaki
harus enam puluh derajat, dan berat badan harus didistribusikan merata sehingga
harus diberikan pada kedua kaki dan lutut harus diregangkan secara alami. Kaki harus
diletakkan ditanah, tetapi anda harus berhati-hati untuk tidak terlalu melebarkan kaki
anda atau menekan berlebihan di lantai. Disamping itu anda harus merasa bila energi
bumi itu naik ke atas melalui lantai dan masuk ke dalam kaki dan tubuh bagian atas
anda. Busur dan panah dipegang setinggi pinggul dengan busur pada sebelah kiri dan
panah di sebelah kanan.Kedua siku harus mengarah ke atas. Bagian atas busur
dipertahankan sejajar dengan tengah tubuh dan dipertahankan sepuluh sentimeter di
atas lantai. Dalam reishakei, panah dipegang sedemikian sehingga titik yang
menonjol sekitar sepuluh sentimeter dari sarung tangan. Dalam bushakei, hanya
ujung titik yang terlihat. Dalam kasus ini, panah dipegang pada sudut yang sama
seperti busur untuk membentuk segitiga di depan anda.
3.2 Dozukuri (Memperbaiki Postur)
Setelah kaki ditempatkan maka anda harus mengalihkan perhatian anda kepada
postur bagian atas tubuh anda. Perhatian khusus harus ditujukan dengan apa yang
disebut hubungan tiga silang, dimana bahu, pinggul dan kaki adalah sebaris satu
dengan yang lain, sejajar dengan lantai. Agar postur ini bekerja dengan benar, maka
bahu harus diturunkan kearah punggung dan punggung leher diregangkan. Panah
pertama (Haya) diknock dan dipertahankan dengan jari tangan kiri, sementara panah
kedua (Otoya) dipertahankan pada Haya diantara jari manis dan jari kelingking
(Reishakei atau antara jari tengah dan jari manis Bushakei). Ujung bawah dari busur
sebaris dengan bagian tengah tubuh. Ketika tangan kanan diletakkan pada paha kanan
anda harus memperbaiki postur anda, dan berhati-hati untuk tidak condong ke depan
atau kebelakang, dan tidak juga ke kiri atau ke kanan. Kemudian tergantung pada
jenis sarung tangan yang digunakan, Otoya dipegang dan dipertahankan pada sisi
kanan dalam satu dari dua cara yang diperlihatkan. Mata melihat lembut sepanjang
garis hidung ke titik lantai sekitar empat meter jauhnya. Pada titik ini, anda harus
mengatur pernafasan anda dan membiarkan berat badan anda mengarah secara alami
sehingga tenangkan pikiran dan kirimkan semangat anda ke depan dalam setiap arah,
ciptakan apa yang disebut dalam Kyudo sebagai Enso, perasaan yang membulat.
Ketika persiapan akhir pada Tsurushirabe, maka pemeriksaan string, dengan melihat
pertama ke bawah string kemudian sepanjang dari panah ke target. Setelah gerakan
itu kembalikan pandangan anda pada bagian nocking dan persiapkan untuk
melakukan yugamae.
3.3 Yugamae (Mempersiapkan Busur)
Ada dua gaya yugamae dalam Kyudo modern. Pertama disebut shomen no
kamae, busur yang tetapi di depan tubuh. Dalam posisi kedua disebut Shamen no
Kamae, busur dipertahankan pada sisi kiri. Kedua cara ini melibatkan gerakan
persiapan yang dikenal sebagai Torikake (mempersiapkan sarung tangan),Tenouchi
3.3.1 Torikake
Salah satu tugas yang sulit dalam Kyudo adalah belajar bagaimana membuat
panah yang dilepaskan bersih tanpa usaha. Kemampuan untuk melakukannya
tergantung sebagian pada kemampuan seseorang untuk memasang sarung tangan apa
string dengan cara yang benar.
Untuk membuat Torikake, pertama tetapkan string pada alur nocking pada
dasar ibu jari kemudian tergantung pada apakah ini sarung tangan tiga atau empat
jari, letakkan dua jari pertama atau tiga jari pertama pada ibu jari. Kemudian geser
ibu jari anda pada string hingga menemui panah.
Ada empat titik yang harus dipertimbangkan secara cermat ketika membuat
Torikake. Pertama, anda harus memastikan bahwa untuk mengatur ibu jari dari
sarung tangan yang tegak lurus pada string. Kemudian, anda harus menjaga
pergelangan tangan anda tetapi lurus sehingga lengan bawah sejajar dengan ibu jari.
Juga ibu jari harus dipertahankan lurus di dalam sarung tangan dan tidak pernah
digantung atau ditekan. Akhirnya, lengan kanan bawah harus diputar sedemikian. Ini
akan menarik panah terhadap Tenouchi yang benar tidak busur dan menjaganya tetap
di tempat selama memanah.
3.3.2 Tenouchi
Setelah memasang sarung tangan anda harus mempersiapkan Tenouchi,
metode khusus memegang busur terutama pada panahan Jepang. Hal penting dalam
Tenouchi tidak dilakukan dengan benar. Demikian juga Yugaeri, aksi dimana pada
sasat melepaskannya, busur akan kembali ke tempatnya dan string mengayun ke kiri,
tidak terjadi bila Tenouchi tidak digunakan dengan benar.
Ketika Tenouchi yang baik berhasil dikembangkan dalam beberapa tahun,
maka teknik dasar akan jauh lebih sederhana, kita hanya menjaga tangan lurus
dengan jari-hari yang dilepas dan kemudian memegangnya bersamaan, kemudian
memegang tiga jari terakhir untuk bertemu dengan ibu jari. Perhatian khusus
ditujukan untuk memperbaiki kelurusan tangan, pergelangan tangan, lengan dan juga
hubungan diantara ibu jari dan jari tengah. Demikian juga ruang terbuka diantara
busur dan dasar ibu jari yang harus dipertahankan. Dengan latihan yang cermat, unsur
ini harus mengarah pada Tenouchi yang telah dipersiapkan dengan benar.
3.3.3 Monomi
Monomi, yang secara harafiah berarti melihat objek, adalah persiapan akhir
dalam Yugamae. Dalam Monomi anda melihat pada target dengan tenang, dengan
mata separuh tertutup. Anda tidak memikirkan tujuan, Monomi tidak menjadi teknik
penentuan tujuan anda harus memberikan semangat anda untuk membuat kontak
dengan target. Dan dari saat itu anda tidak pernah berkedip atau melepaskan
3.4 Uchiokoshi (Mengangkat Busur)
Dalam Uchiokoshi anda bersiap memanah dengan membiarkan semangat anda
melintasi hingga ke ujung busur dan panah sehingga akan menjadi bagian dari tubuh
anda. Anda kemudian mengangkat busur dalam dua cara : Shomen Uchiokoshi,
dimana busur diangkat lurus di depan tubuh anda, atau Shamen Uchiokoshi, dimana
busur diangkat pada posisi Shamen sebelah kiri.
Busur harus diangkat tanpa gaya, seperti asap naik ke udara. Dan dalam kasus
Shomen Uchiokoshi, maka harus tetap lurus dengan sempurna dengan panah sejajar
dengan lantai. Normalnya, busur ini diangkat pada suatu titik dimana tangan tepat
berada di atas kepala dan lengan berada pada sudut empat puluh lima derajat,
meskipun ini bervariasi tergantung pada kondisi fisik seseorang. Etika mengangkat
busur maka perlu untuk menjaga lengan dan dada tetapi rileks dan bahu ke depan.
Postur ini sering dikatakan seperti memegang tiga badan. Kita juga harus tidak
mengabaikan hal ini secara harafiah dengan lengan yang ada.
Busur harus diangkat dengan menarik nafas. Pada puncak gerakan maka akan
ada penghentian singkat ketika nafas dibuang secara perlahan. Kemudian pemanah
3.5 Hikiwake (Menarik Busur)
Busur Jepang ini ditarik dalam dua langkah. Pertama disebut Daisan, yaitu
gerakan pendahuluan yang membuat tarikan. Daisan ini diikuti oleh penarikan
sendiri.
Daisan berarti tiga besar. Istilah ini sesuai dengan pengajaran dari dorongan
besar dan tarikan sepertiga. Daisan dibentuk dengan menarik busur ke kiri seperti ke
kanan dalam lipatan siku. Gerakan ini lengkap ketika panah ditarik setengah panjang
dan tangan kanan sedikit ke atas dan disesuaikan ke arah kening. Pada titik ini,
penarikan gaya panahan ini berhenti sejenak.Tetapi meskipun gerakannya terlihat
berhenti, namun tetapi aktif, karena pause itu adalah berarti membuang nafas dan
semangatnya terus mengalir.
Tahapan kedua dari Hikiwake, menarik busur secara aktual, dimulai ketika
dan menarik nafas. Anda harus terus menarik nafas hingga anda telah menyelesaikan
sepertiga tarikan. Anda kemudian memasukkan nafas anda ke perut bagian bawah.
Jangan mendorong nafas ke bawah atau anda akan menciptakan ketegangan
berlebihan pada otot tubuh bagian atas anda.
Dalam Kyudo, busur tidak ditarik sepanjang penyebarannya. Ini dapat
menyebar sama ke kiri dan ke kanan yang tentu saja tetapi tentu harus memiliki
perasaan bahwa busur itu telah bergeser sepanjang panah, dan tidak dapat berbalik.
Ide yang sama juga tercermin dalam mengajarkan Lepaskan string dengan lengan kiri
Busur ditarik terutama dengan otot punggung dan dada dan tidak dengan
lengan atau tangan. Ini memungkinkan anda untuk mendistribusikan gaya tarikan
melalui seluruh tubuh anda, yang kemudian membuat tarikan yang mulus dan halus
tanpa usaha. Selama menarik dari daisan ke kai, maka tangan kiri dan siku kanan
bergerak serentak ke bawah dn ke belakang sepanjang jalur melengkung. Ini terlihat
bila busur adalah memndu tubuh pemanah. Untuk menekankannya, maka master
pemanah seringkali mengatakan kepada muridnya untuk merasakan tubuh mereka
antara busur dan string ketika mereka telah melakukan penarikan.
3.6 Kai (Menyelesaikan Penarikan)
Kai berarti Pertemuan. Ini berasal dari pengajaran Buddha bahwa setiap
pertemuan diikuti oleh perpisahan. Dalam Kyudo ini berarti bahwa setiap tahapan
memanah sebelumnya mengarah pada kai, dan bahwa pelepasan adalah hasil alami
dari pertemuannya. Sehingga, keberhasilan atau kegagalan dari memanah tidak
ditentukan setelah pelepasannya, ini ditentukan dalam Kai.
Dapat dikatakan bahwa bila hikiwake adalah tarikan fisik, maka kai adalah
tarikan spritual. Dalam hikiwake, kekautan yang kita gunakan untuk menarik busur
berasal dari penggunaan tubuh kita yang efisien, pekerjaan tulang dan otot dikaitkan
dengan teknik yang benar. Tetapi dalam Kai, sebagian kerja fisik dilakukan. Ini
Ini tidak berarti bahwa sisi fisik adalah diabaikan secara total dalam Kai.
Anda harus melengkapi apa yang dikenal sebagai kerja akhir dari tubuh.
meregangkan garis vertikal dari leher dan tulang punggung (Tetesan), bersama
dengan garis horizontal dada, bahu dan lengan (Yokosen). Kondisi ini yang disebut
Tsumeai, berlanjut hingga slak dalam tubuh terbentuk dan bagian yang tersisa dari
kelemahan dapat dihilangkan. Pada titik ini, kerja tubuh lengkap karena usaha fisik
lebih lanjut hanya akan menciptakan ketegangan dalam tubuh. Tetapi anda tidak
dapat berhenti sampai disini atau suki, pembukaan atau titik dari kelemahan akan
dicapai. Ini dimana kerja dari roh datang. Bersamaan dengan aliran yang mulus maka
tidak ada suki. Dibantu oleh kekuatan dan stabilitas Tsumeai, semangat anda menjadi
lebih besar hingga mencapai suastu titik dimana pelepasan ini tidak dapat dielakkan.
Dan akhirnya ini disebut sebagai Nobiai.
3.7 Hanare (Melepaskan)
Bila Kai telah menjadi hal penting dalam Kyudo, maka Hanare itu
mengungkapkan misterinya. Hanare adalah sesuatu yang lebih besar, ini terletak pada
sisi pemahaman dan akibatnya tidak ada cara yang cukup untuk menjelaskannya
kecuali melalui analogi. Hanare telah dibandingkan dengan momen ketika flint dan
besi dipadukan untuk mencipakan lembing, atau ketika salju jatuh dengan beratnya
sendiri dari daun. Sebagian guru menyatakan tunggu dalam kai hingga enam sampai
delapan detik untuk mencapai hanare yang baik. Pelepasan (Hayake) tidak
memanah untuk dapat dimunculkan. Dan pelepasan itu adalah datang setelah periode
tertentu dalam Kai (Motare) kehilangan momen kemasakannya.
Hanare yang benar adalah produk dari pemikiran dan tubuh yang menyatu.
kemudian dilepaskan dari tengah dada, yang sebagian besar terbelat dengan pisau.
Sebagian guru juga memiliki murid yang menutup mata dan memegang taut string
diantara tangan dan kemudian guru memotong string di bagian tengah untuk
mengajarkan kepada murid perasaan tentang hanare yang benar.
Mengamati Hanare yang murni adalah seperti menyaksikan striking dari
drum. Aksi ini berlangsung dalam kedipan mata, tetapi daya strike ini terus dirasakan
untuk waktu setelah itu. Dengan melihat pada Hanare yang kurang baik pada sisi
lain, adalah mengamati film dari drum yang dipukul tetapi dengan bunyi yang lepas.
Yugaeri
Pada saat melepaskannya, bila Tenouchi benar, maka bagaimana kita dapat
mengembalikannya ke tempatnya semula sehingga ayunan string itu menyentuh
lengan kiri terluar anda. Aksi ini disebut Yugaeri.
Belum jelas kapan dan mengapa yugaeri ini dipadukan ke dalam metode
memanah. Sebagian sumber menyatakan bahwa pertama kali muncul sekitar abad
kelima belas ketika perubahan utama dilakukan pada bentuk busur dan teknik
memanah. Ini sudah pasti bahwa ini pertama kali digunakan dalam panahan
mengembalikan string itu ke posisinya semula. Gaya memanah ini termasuk teknik
yang mengadopsi Yugaeri.
3.8 Zanshin (Kelanjutan)
Di dalam Kyudo, memanah tidak diakhiri dengan pelepasan panah, ini
berakhir dengan Zanshin. Zanshin berarti menyisakan tubuh Kai. Definisi ini
digunakan untuk menjelaskan periode setelah pelepasan ketika anda terus menahan
posisi anda dan mengirimkan semangat anda ke depan bahkan setelah panah
mencapai target.
Secara fisik, Zanshin harus tentang, utuh dan seimbang sempurna. Tubuh
harus kuat, tidak tegang, santai tetapi tanpa menunjukkan kelemahan. Secara mental
Zanshin adalah kondisi kewaspadaan yang luar biasa, dengan semangat yang
mengalir tanpa hambatan dan tidak hanya ke arah target tetapi dalam setiap arah lain.
Kita dapat memikirkan zanshin sebagai sesuatu yang bersifat gema dari
lonceng kuil, yang kemudian dirasakan berlalu waktu ketika bunyi itu kemudian akan
menghilang.
Yudaoshi
Termasuk di dalam konteks Zanshin adalah gerakan terpisah yang disebut
Yudaoshi, menurunkan busur. Dalam Yudaoshi, mempertahankan kontak visual
sehingga ujung busur mengenali dan sejajar dengan tengah tubuh anda. Kemudian,
putar kepala anda menghadap Kamiza. Setelah itu, melangkah dengan kaki kanan
dalam langkah separuh ke arah tengah tubuh, kemudian bawah kaki kiri anda untuk
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1 Kesimpulan
Dari semua pembahasan di atas, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Kyudo adalah Seni memanah Jepang yang merupakan salah satu olahraga
tradisional Jepang yang meliputi semangat,kemurnian dan konsentrasi.
2. Pada zaman prasejarah penduduk Jepang awalnya menggunakan busur untuk
berburu.
3. Peralatan dan aksesoris Kyudo yang digunakan yaitu Busur, Bowstring,
Panah, Nock, Bulu, Sarung tangan, Obi, dan Hakama.
4. Teknik dalam Kyudo terbagi dalam 8 tahapan yaitu Ashibumi (Kaki),
Dozukuri (Membetulkan Postur Tubuh), Yugamae (Mempersiapkan Busur),
Hikiwake (Menarik Busur), Kai (Menyelesaikan Tarikan), Hanare
(Melepaskan), dan terakhir Zanshin (Kelanjutan).
5. Kyudo sekarang banyak diajarkan di sekolah-sekolah tinggi di Jepang.
Tujuannya berbeda-beda, ada yang memang diajarkan untuk menjadi militer,
ada yang diajarkan untuk sebuah upacara-upacara tertentu, dan sebagai
4.2 Saran
Untuk mempelajari olahraga Seni Panahan Jepang ini peralatan panah, busur dan alat
pendukung adalah syarat utama untuk melakukan olahraga ini, disamping itu juga
kita harus benar-benar memperhatikan penguasaan tekniknya, dan pengawasan dari
ahlinya agar tidak terjadi hal yang berbahaya yang tidak diinginkan. Kita juga harus
mengetahui asal usul terbentuknya olahraga tersebut, sehingga kita dapat mengetahui
manfaat dan unsur-unsur yang ada didalam olahraga Seni Panahan Jepang ini.
Sebagai anak muda bangsa Indonesia, meskipun kita mempelajari olahraga
yang berasal dari negara lain, kita tetap harus mempertahankan olahraga asli bangsa
LAMPIRAN
Gambar 1. Pemanah Pengadilan Cina
(Sumber : Onuma Hideharu.2013.Kyudo:The Essence and Practice of Japanese
Archery.Tokyo: Asahi Archery Co.Ltd.)
Gambar 2. Ogasawa Ryu
(Sumber : Onuma Hideharu.2013.Kyudo:The Essence and Practice of Japanese
Gambar 3. Cara Memasang Tali Busur Pada Yumi
(Sumber : Onuma Hideharu.2013.Kyudo:The Essence and Practice of Japanese
Archery.Tokyo: Asahi Archery Co.Ltd.)
Gambar 4. Jenis Ujung Panah
(Sumber : Onuma Hideharu.2013.Kyudo:The Essence and Practice of Japanese
Gambar 5. Seragam Praktik Dan Peralatan Dasar
(Sumber : Onuma Hideharu.2013.Kyudo:The Essence and Practice of Japanese
Archery.Tokyo: Asahi Archery Co.Ltd.)
Gambar 6. Posisi Ashibumi
(Sumber : Onuma Hideharu.2013.Kyudo:The Essence and Practice of Japanese
Gambar 7. Posisi Kaki Ashibumi
(Sumber : Onuma Hideharu.2013.Kyudo:The Essence and Practice of Japanese
Archery.Tokyo: Asahi Archery Co.Ltd.)
Gambar 8. Posisi Memegang 2 Panah Dalaom Posisi Ashibumi
(Sumber : Onuma Hideharu.2013.Kyudo:The Essence and Practice of Japanese
Gambar 9. Posisi Dozukuri
(Sumber : Onuma Hideharu.2013.Kyudo:The Essence and Practice of Japanese
Archery.Tokyo: Asahi Archery Co.Ltd.)
Gambar 10. Cara Memegang Panah Haya Dan Otoya Pada Posisi Dozukuri
(Sumber : Onuma Hideharu.2013.Kyudo:The Essence and Practice of Japanese
Gambar 11. Posisi Yugamae
(Sumber : Onuma Hideharu.2013.Kyudo:The Essence and Practice of Japanese
Archery.Tokyo: Asahi Archery Co.Ltd.)
Gambar 12. Torikake
(Sumber : Onuma Hideharu.2013.Kyudo:The Essence and Practice of Japanese