• Tidak ada hasil yang ditemukan

RUU TENTANG PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN SENDIRI DI ACHEH YANG MENGACU KEPADA MOU HELSINKI 15 AGUSTUS Ahmad Sudirman Stockholm - SWEDIA.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "RUU TENTANG PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN SENDIRI DI ACHEH YANG MENGACU KEPADA MOU HELSINKI 15 AGUSTUS Ahmad Sudirman Stockholm - SWEDIA."

Copied!
45
0
0

Teks penuh

(1)

Stockholm, 14 Januari 2006

Bismillaahirrahmaanirrahiim.

Assalamu'alaikum wr wbr.

RUU TENTANG PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN SENDIRI DI ACHEH

YANG MENGACU KEPADA MOU HELSINKI 15 AGUSTUS 2005.

Ahmad Sudirman

Stockholm - SWEDIA.

SEKILAS CONTOH RUU TENTANG PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN

SENDIRI DI ACHEH YANG MENGACU KEPADA MOU HELSINKI 15 AGUSTUS 2005.

Dibawah ini ada draft RUU Pemerintahan Sendiri di Acheh yang masuk ke Ahmad Sudirman

dan telah diteliti, dipelajari, dianalisa dan dirobah disesuaikan dengan Memorandum of

Understanding (MoU) Helsinki 15 Agustus 2005.

Semua butir-butir yang terkandung dalam MoU Helsinki sudah tertuang dalam draft RUU

Pemerintahan Sendiri di Acheh dibawah ini.

Dasar yang paling penting yang perlu dijelaskan disini adalah karena Pemerintahan Sendiri di

Acheh baru pertama kali ini dilahirkan, dibentuk dan dibangun sejak sejarah pertumbuhan dan

perkembangan Republik Indonesia 17 Agustus 1945, Republik Indonesia Serikat 27

Desember 1949, Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan UUD Sementara

1950 dan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan UUD 1945 5 Juli 1959,

maka tidak satupun Undang-Undang yang berlaku sekarang termasuk UUD 1945 yang

mengatur secara hukum Penyelenggaraan Pemerintahan Sendiri di Acheh. Jadi wujudnya

Penyelenggaraan Pemerintahan Sendiri di Acheh ini adalah karena telah ditandatanganinya

MoU Helsinki 15 Agustus 2005 dan berdasarkan dasar hukum MoU inilah RUU Tentang

Penyelenggaraan Pemerintahan Sendiri di Acheh dibuat yang selanjutnya ditetapkan dan

diundangkan di Acheh.

Berdasarkan MoU Helsinki Pemerintahan sendiri di Aceh yang disebut pemerintahan Acheh

adalah Pemerintahan sendiri di wilayah Aceh berdasarkan perbatasan 1 Juli 1956 dan

berdasarkan perbatasan 1 Juli 1956 Acheh adalah bukan provinsi dan Acheh bukan otonomi,

melainkan Acheh merupakan daerah yang dimasukkan kedalam wilayah propinsi Sumatra

Utara.

Dimana dasar hukumnya adalah karena Undang Undang Nomor 24 Tahun 1956 Tentang

Pembentukan Daerah Otonom Propinsi Aceh dan Perubahan Peraturan Pembentukan Propinsi

Sumatera Utara ditetapkan pada tanggal 29 Nopember 1956 oleh Presiden Republik

Indonesia, Soekarno dan diundangkan pada tanggal 7 Desember 1956 oleh Menteri

Kehakiman, Muljatno dan Menteri Dalam Negeri, Sunarjo.

Jadi, Acheh pada tanggal 1 Juli 1956 masih berada dalam wilayah Propinsi Sumatera Utara,

sebab Acheh baru dipisahkan dari Propinsi Sumatera Utara menjadi Propinsi Acheh yang

otonom pada tanggal 29 Nopember 1956.

(2)

Nah, berdasarkan dasar hukum inilah mengapa Acheh pada tanggal 1 Juli 1956 bukan

propinsi dan bukan otonomi.

Ketika Ahmad Sudirman mempelajari RUU Tentang Penyelenggaraan Pemerintahan Sendiri

di Acheh ini, yang paling penting adalah:

Pertama, RUU tersebut mengacu kepada MoU Helsinki 15 Agustus 2005 sebagai

Self-Government atau Pemerintahan Sendiri di Acheh yang bukan propinsi dan tidak bersifat

otonomi khusus atau otonomi istimewa.

Kedua, RUU tersebut tidak mengacukan kepada UU yang ada sekarang di RI, karena UU

yang ada tidak punya referensi hukum tentang Penyelenggaraan Pemerintahan Sendiri di

Acheh.

Ketiga, RUU tersebut tidak mengacu kepada UUD 1945, karena dalam UUD 1945 tidak ada

dasar hukum untuk membangun Pemerintahan Sendiri di Acheh, karena yang ada dalam

UUD 1945 adalah seperti yang tertuang dalam Pasal 18B ayat (1) Negara mengakui dan

menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa

yang diatur dengan undang-undang. Nah, yang dimaksud dengan satuan-satuan pemerintahan

daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa menurut UUD 1945 adalah satuan

pemerintahan daerah oronomi, bukan Pemerintahan sendiri sebagaimana yang telah

disepakati dalam MoU Helsinki.

Jadi, berdasarkan dasar hukum inilah mengapa Ahmad Sudirman membuang semua yang

menjadi dasar "Mengingat" dari mulai pasal-pasal dalam UUD 1945 sampai UU lainnya dan

untuk gantinya dimasukkan MoU Helsinki sebagai acuan hukum pembuatan RUU Tentang

Penyelenggaraan Pemerintahan Sendiri di Acheh.

Karena kalau ada saja satu UU yang dijadikan referensi dalam pembuatan RUU Tentang

Penyelenggaraan Pemerintahan Sendiri, maka menyimpanglah RUU tersebut dari isi MoU

Helsinki yang telah disepakati antara pihak GAM dan Pemerintah RI.

Inilah sedikit penjelasan RUU Tentang Penyelenggaraan Pemerintahan Sendiri di Acheh yang

telah dipelajari oleh Ahmad Sudirman.

Bagi yang ada minat untuk menanggapi silahkan tujukan atau cc kan kepada

ahmad@dataphone.se agar supaya sampai kepada saya dan bagi yang ada waktu untuk

membaca tulisan-tulisan saya yang telah lalu yang menyinggung tentang Khilafah Islam dan

Undang Undang Madinah silahkan lihat di kumpulan artikel di HP

http://www.dataphone.se/~ahmad

Hanya kepada Allah kita memohon pertolongan dan hanya kepada Allah kita memohon

petunjuk, amin *.*

Wassalam.

Ahmad Sudirman

http://www.dataphone.se/~ahmad

ahmad@dataphone.se

(3)

---

RANCANGAN UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR TAHUN 2006

TENTANG

PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN SENDIRI DI ACEH

DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA.

Menimbang

: a. Nota Kesepahaman antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Gerakan Aceh

Merdeka yang ditandatangi pada tanggal 15 Agustus 2005 di Helsinki

Finlandia;

b.

bahwa penyelenggaraan pemerintahan sendiri di Aceh baru pertama kali ini

wujud sejak sejarah pertumbuhan dan perkembangan Republik Indonesia 17

Agustus 1945, Republik Indonesia Serikat 27 Desember 1949, Negara Kesatuan

Republik Indonesia yang berdasar UUDSementara 1950 dan Negara Kesatuan

Republik Indonesia yang berdasar UUD 1945 5 Juli 1959;

c.

bahwa dalam penyelenggaraan pemerintahan sendiri di Aceh, dipandang perlu

diberikan kewenangan Pemerintahan sendiri di Aceh sesuai dengan semangat

dan butir-butir yang terkandung dalam Nota Kesepahaman Helsinki 15 Agustus

2005 yang diatur dengan undang-undang;

d.

bahwa salah satu karakter khas yang alami di dalam sejarah perjuangan rakyat

Aceh adalah adanya ketahanan dan daya juang yang tinggi yang bersumber pada

pandangan hidup dan karakter sosial kemasyarakatan dengan budaya Islam yang

kuat;

e.

bahwa berdasarkan hal-hal tersebut pada huruf a, b, c, dan d, maka perlu

ditetapkan Undang-undang tentang Penyelenggaraan Pemerintahan Sendiri di

Aceh;

Mengingat :

Nota Kesepahaman antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka:

1. Penyelenggaraan Pemerintahan di Aceh.

1.1. Undang-undang tentang Penyelenggaraan Pemerintahan di Aceh

1.1.1. Undang-undang baru tentang Penyelenggaraan Pemerintahan di Aceh akan

diundangkan dan akan mulai berlaku sesegera mungkin dan selambat-lambatnya tanggal 31

Maret 2006.

Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

Dan

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PENYELENGGARAAN

PEMERINTAHAN SENDIRI DI ACEH

(4)

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Undang Undang ini yang dimaksudkan dengan :

1.

Pemerintah Republik Indonesia selanjutnya disebut Pemerintah Indonesia adalah pemegang

kekuasaan eksekutif Negara Republik Indonesia yang terdiri atas Presiden serta para Menteri.

2.

Pemerintahan sendiri di Aceh selanjutnya disebut pemerintahan Acheh adalah

Pemerintahan sendiri di wilayah Aceh berdasarkan perbatasan 1 Juli 1956 yang

diwujudkan melalui suatu proses demokratis yang jujur dan adil.

3.

Pemerintah Aceh adalah pemegang kekuasaan eksekutif Aceh yang terdiri atas Kepala

Pemerintahan Aceh dan perangkat-perangkatnya.

4.

Pemerintah Aceh terdiri dari Pemerintahan Aceh dan Pemerintahan daerah

Kabupaten/Kota.

5.

Kepala Pemerintahan Aceh adalah pemegang kekuasaan eksekutif di Aceh yang menjalankan

kekuasaan Pemerintahan sendiri di Aceh.

6.

Kabupaten, adalah Daerah yang berada di bawah Pemerintahan Aceh yang dipimpin oleh

Bupati/Kepala Pemerintahan Daerah.

7.

Kota adalah Daerah yang berada di bawah Pemerintahan Aceh yang dipimpin oleh Walikota.

8.

Kecamatan adalah perangkat daerah Kabupaten/Kota, yang dipimpin oleh Camat.

9.

Mukim adalah kesatuan masyarakat yang merupakan organisasi pemerintahan dalam Kecamatan

yang terdiri atas gabungan beberapa gampong yang mempunyai batas wilayah tertentu dan harta

kekayaan sendiri, yang dipimpin oleh Imum Mukim.

10.

Gampong adalah kesatuan masyarakat yang merupakan organisasi pemerintahan terendah yang

berada langsung di bawah Mukim dan menempati wilayah tertentu, yang dipimpin oleh Geuchik

serta berhak menyelenggarakan urusan rumah tangganya sendiri.

11.

Wali Nanggroe adalah lembaga kepemimpinan rakyat yang berdiri sendiri untuk

pelestarian dan penyelenggaraan kehidupan adat dan budaya serta pemersatu rakyat Aceh.

12.

Legislatif Aceh untuk selanjutnya disebut Dewan Perwakilan Rakyat Aceh dan Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota yang anggota-anggotanya dipilih melalui

pemilihan umum.

13.

Majelis Perwakilan Daerah Aceh selanjutnya disebut MPDA adalah lembaga legislatif Aceh

perwakilan daerah yang berada di wilayah Pemerintahan Aceh yang anggota-anggotanya dipilih

melalui pemilihan umum.

14.

Departemen adalah lembaga operasional strategis dan teknis yang bertugas membantu kepala

pemerintahan Aceh

15.

Dinas adalah lembaga operasional teknis yang bertugas membantu kepala daerah kabupaten/kota

16.

Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama adalah lembaga peradilan yang mengadili

perkara-perkara yang berkenaan dengan Agama Islam.

17.

Qanun Aceh adalah peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh Dewan Perwakilan

Rakyat Aceh dengan persetujuan bersama Kepala Pemerintahan Aceh sebagai peraturan

pelaksanaan undang-undang ini.

18.

Qanun pada tingkat Kabupaten/Kota adalah produk perundang-undangan yang dibentuk oleh

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota dengan persetujuan bersama

Bupati/Walikota untuk mengatur hal ikhwal penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan

masyarakat dalam lingkungan Kabupaten/Kota itu.

(5)

19.

Partai Politik yang memenuhi persyaratan Nasional dan ada basisnya di Aceh adalah partai

politik nasional sebagai sarana partisipasi politik secara damai dan demokratis melalui

pemilihan umum.

20.

Partai Politik Lokal adalah partai politik yang berbasis di Aceh dan hanya untuk di Aceh yang

dibentuk dan didirikan di Aceh oleh Rakyat Aceh, sebagai sarana partisipasi politik secara damai

dan Demokratis melalui pemilihan umum.

21.

Rakyat Aceh adalah rakyat yang berasal dari berbagai bangsa yang telah menetap di Aceh

secara turun temurun

22.

Penduduk Aceh adalah semua orang yang menurut ketentuan yang berlaku terdaftar dan

bertempat tinggal di wilayah-wilayah yang ada di Aceh

BAB II

PEMBAGIAN WILAYAH

Pasal 2

(1)

Aceh mencakup seluruh wilayah yang merujuk kepada perbatasan tanggal 1 Juli 1956.

(2)

Batas-batas geografis Aceh adalah di timur berbatasan dengan Provinsi Sumatera Utara,

di sebelah barat dan selatan berbatasan dengan Samudera India dan di sebelah utara

berbatasan dengan Selat Malaka.

Pasal 3

(1)

Pemerintahan Aceh dibagi dalam Kabupaten/Kota.

(2)

Kabupaten/kota terdiri atas kecamatan-kecamatan.

(3)

Kecamatan terdiri atas mukim-mukim.

(4)

Mukim terdiri atas gampong-gampong.

Pasal 4

(1)

Pemerintah Aceh bersama-sama pemerintahan daerah provinsi berbatasan dapat membentuk

kawasan-kawasan strategis yang menunjang pertubuhan ekonomi.

(2)

Pemerintah Aceh dan atau bersama-sama Kabupaten/Kota dapat mengusulkan pembentukan

kawasan-kawasan strategis untuk kebutuhan pengembangan ekonomi, konservasi dan lingkungan

hidup, cagar budaya dan kebutuhan-kebutuhan strategis lainnya.

(3)

Pembentukan kawasan-kawasan strategis pada ayat (1) dan (2) ditetapkan dengan

undang-undang.

BAB III

KEWENANGAN PEMERINTAHAN ACEH

Pasal 5

(1)

Kewenangan Pemerintah Aceh mencakup kewenangan dalam semua sektor publik, kecuali dalam

bidang hubungan luar negeri, pertahanan luar, keamanan nasional, hal ikhwal moneter dan fiskal,

kekuasaan kehakiman dan kebebasan beragama, dimana kewenangan tersebut merupakan

kewenangan Pemerintah Indonesia.

(6)

(2)

Persetujuan-persetujuan internasional yang diberlakukan oleh Pemerintah Indonesia yang terkait

dengan hal ikhwal kepentingan khusus Aceh akan berlaku dengan konsultasi dan persetujuan

Dewan Perwakilan Rakyat Aceh.

(3)

Keputusan-keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia yang terkait dengan Aceh

akan dilakukan dengan konsultasi dan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh.

(4)

Kebijakan-kebijakan administratif yang diambil oleh Pemerintah Indonesia berkaitan dengan

Aceh akan dilaksanakan dengan konsultasi dan persetujuan Kepala Pemerintahan Aceh.

(5)

Pemerintah Aceh dapat mengadakan kerjasama yang saling menguntungkan dengan negara lain

atau lembaga/badan luar negeri yang diatur dengan keputusan bersama.

(6)

Pemerintah Aceh berwenang untuk melakukan perdagangan dan bisnis secara internal dan

internasional serta menarik investasi dan wisatawan asing secara langsung ke Aceh.

(7)

Pemerintah Aceh berwenang untuk melakukan perdagangan bebas dengan semua daerah bagian

Republik Indonesia tanpa hambatan pajak, tarif ataupun hambatan lainnya.

(8)

Pemerintah Aceh berwenang untuk mengakses langsung dan tanpa hambatan ke negara-negara

asing, melalui laut dan udara.

(9)

Pemerintah Aceh berwenang untuk melaksanakan pembangunan dan pengelolaan semua

pelabuhan laut dan pelabuhan udara dalam wilayah Aceh.

(10)

Pemerintah Aceh berwenang untuk mengelola sumber daya alam baik yang terdapat di

darat maupun di laut teritorial di Aceh.

(11)

Pemerintah Aceh berwenang untuk membentuk kawasan pembangunan ekonomi

terpadu dan kawasan pembangunan industri terpadu dalam pemberdayaan ekonomi rakyat.

(12)

Pemerintah Aceh berwenang untuk membentuk Majelis Permusyawaratan Ulama,

Lembaga Pendidikan Daerah, Majelis Adat Aceh dan Lembaga-lembaga lain sesuai dengan

kebutuhan.

(13)

Kewenangan Pemerintah Aceh yang tidak diatur dalam undang-undang ini akan diatur

dalam qanun.

BAB IV

PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN

Pasal 6

(1)

Pemerintah Aceh menjalankan kekuasaan pemerintahan sendiri dalam menyelenggarakan semua

sektor publik yang menjadi kewenangannya.

(2)

Kewenangan Pemerintah Indonesia yang tidak termasuk kewenangan pemerintah Aceh dapat:

a.

Diselenggarakan sendiri oleh Pemerintah Indonesia;

b. Dilimpahkan kepada Pemerintah Aceh.

Pasal 7

(1)

Penyelenggaraan urusan pemerintahan dibagi berdasarkan kriteria efisiensi, efektivitas,

akuntabilitas dan transparansi dengan memperhatikan keserasian hubungan antara susunan

pemerintahan.

(2)

Penyelenggaraan urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan

pelaksanaan hubungan kewenangan antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Aceh dan antara

Daerah di wilayah Aceh yang saling terkait dan sinergis sebagai satu sistem pemerintahan.

(3)

Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Aceh yang diselenggarakan

berdasarkan kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terdiri atas urusan wajib dan urusan

pilihan.

(7)

Pasal 8

(1)

Urusan pemerintahan yang diserahkan oleh pemerintah Indonesia kepada Pemerintah Aceh

disertai dengan sumber pendanaan, pengalihan sarana dan prasarana, kepegawaian dan lainnya

(2)

Urusan pemerintahan yang dilimpahkan kepada Pemerintah Aceh disertai dengan pendanaan

sesuai dengan urusan yang dilimpahkan.

Pasal 9

(1)

Urusan wajib yang menjadi kewenangan Pemerintah Aceh meliputi:

a.

Perencanaan dan pengendalian pembangunan;

b.

Perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang.

c.

Penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat;

d.

Penyediaan sarana dan prasarana umum;

e.

Penanganan bidang kesehatan;

f.

Penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia potensial;

g.

Penanggulangan masalah sosial;

h.

Pelayanan bidang penyediaan lapangan kerja dan ketenagakerjaan;

i.

Fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil, dan menengah;

j.

Pengendalian lingkungan hidup;

k.

Pelayanan pertanahan;

l.

Pelayanan kependudukan, dan catatan sipil;

m.

Pelayanan administrasi umum pemerintahan;

n.

Pelayanan administrasi penanaman modal;

o.

Penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya yang belum dapat dilaksanakan oleh

Kabupaten/Kota; dan

p.

Urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan.

(2)

Urusan wajib lainnya yang menjadi kewenangan khusus Pemerintah Aceh antara lain meliputi:

a.

penyelenggaraan kehidupan beragama dengan tetap menjaga kerukunan hidup antar-umat

beragama;

b.

penyelenggaraan dan pengelolaan ibadah haji;

c.

penyelenggaraan kehidupan adat dan budaya;

d.

penyelenggaraan pendidikan yang berkualitas, bermoral serta menghargai nilai-nilai hak-hak

asasi manusia;

(3)

Urusan pemerintahan Aceh yang bersifat pilihan meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata

berpotensi meningkatkan partisipasi masyarakat dalam kegiatan ekonomi, industri, perdagangan

dan jasa-jasa yang dapat menembus pasar dunia.

Pasal 10

(1)

Urusan wajib yang menjadi kewenangan Pemerintah Kabupaten/Kota meliputi:

a.

perencanaan dan pengendalian pembangunan;

b.

perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang;

c.

penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat;

d.

penyediaan sarana dan prasarana umum;

e.

penanganan bidang kesehatan;

f.

penyelenggaraan pendidikan;

(8)

g.

penanggulangan masalah sosial;

h.

pelayanan bidang penyediaan lapangan kerja dan ketenagakerjaan;

i.

fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil, dan menengah;

j.

pengendalian lingkungan hidup;

k.

pelayanan pertanahan;

l.

pelayanan kependudukan, dan catatan sipil;

m.

pelayanan administrasi umum pemerintahan;

n.

pelayanan administrasi penanaman modal termasuk;

o.

penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya; dan

p.

urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan.

(2)

Urusan wajib lainnya yang menjadi kewenangan khusus Kabupaten/Kota antara lain meliputi:

a.

penyelenggaraan kehidupan beragama dengan tetap menjaga kerukunan hidup antar-umat

beragama;

b.

penyelenggaraan kehidupan adat dan budaya;

c.

penyelenggaraan pendidikan yang berkualitas, bermoral dan menghargai nilai-nilai hak-hak

asasi manusia;

(3)

Urusan pemerintah Kabupaten/Kota yang bersifat pilihan meliputi urusan pemerintahan yang

secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan

kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan Daerah yang bersangkutan.

(4)

Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 4, pasal 5, pasal 6, pasal 7, dan pasal 8

ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Qanun.

BAB V

SISTIM DAN SUSUNAN PENYELENGGARA

PEMERINTAHAN

UMUM

Pasal 11

(1)

Pemerintahan Aceh berbentuk pemerintahan sendiri dalam wilayah Acheh berdasarkan

perbatasan tanggal 1 Juli 1956.

(2)

Penyelenggara Pemerintahan Aceh adalah Kepala Pemerintahan Aceh, Wakil Kepala

Pemerintahan Aceh dan perangkat Pemerintahan Aceh.

(3)

Penyelenggara Pemerintahan Daerah Kabupaten atau nama lain adalah Bupati atau nama lain,

Wakil Bupati dan perangkat pemerintah Kabupaten.

(4)

Penyelenggara Pemerintahan Kota atau nama lain adalah Walikota atau nama lain, Wakil

Walikota dan perangkat pemerintah Kota.

(5)

Susunan penyelenggara pemerintahan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (3) dan (4)

ditetapkan dengan Qanun Aceh.

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT ACEH, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH

DAN MAJELIS PERWAKILAN DAERAH ACEH

(9)

(1)

Kekuasaan Legislatif Aceh dilaksanakan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Aceh dan Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota yang anggotanya dipilih oleh rakyat secara langsung.

(2)

Dewan Perwakilan Rakyat Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota

mempunyai fungsi legislasi, penganggaran, pengawasan kebijakan Aceh dan daerah serta penyalur

aspirasi rakyat.

(3)

Dewan Perwakilan Rakyat Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota

mempunyai hak untuk membentuk alat-alat kelengkapannya sesuai dengan kebutuhan dan

kekhususan daerah.

(4)

Dewan Perwakilan Rakyat Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota

mempunyai hak untuk membentuk fraksi-fraksi atau gabungan antar fraksi sesuai hasil pemilihan

umum.

(5)

Jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Kabupaten/Kota sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

TUGAS DAN WEWENANG DEWAN PERWAKILAN RAKYAT ACEH DAN DEWAN

PERWAKILAN RAKYAT DAERAH

Pasal 13

(1) Dewan Perwakilan Rakyat Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah mempunyai tugas dan

wewenang sebagai berikut:

a.

menetapkan Qanun setelah melalui proses pembahasan bersama dengan eksekutif;

b.

membahas dan menetapkan Qanun tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Pemerintahan

Aceh bersama dengan eksekutif;

c.

melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan Qanun dan peraturan perundang-undangan

lainnya yang berlaku di Aceh;

d.

melaksanakan dengan sungguh-sungguh amanat aspirasi rakyat;

e.

mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian Kepala Pemerintahan Aceh serta Wakil

Kepala Pemerintahan Aceh kepada Dewan Perwakilan Rakyat Aceh serta Majelis Perwakilan

Daerah Aceh; Bupati/Walikota serta Wakil Bupati/Walikota kepada Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah serta kepala pemerintah Aceh;

f.

memberitahukan kepada Kepala Pemerintahan Aceh, Bupati/Walikota dan Komisi Pemilihan

(KP) tentang akan berakhirnya masa jabatan Kepala dan Wakil Kepala Daerah;

g.

memilih Wakil Kepala Pemerintahan Aceh, Bupati/Walikota dalam hal terjadinya kekosongan

jabatan Wakil Kepala Daerah;

h.

memberikan pendapat, pertimbangan, dan persetujuan kepada Pemerintah Aceh terhadap

rencana persetujuan internasional;

i.

memberikan persetujuan terhadap keputusan pemerintah Indonesia tentang

persetujuan-persetujuan Internasional yang terkait dengan hal ikhwal kepentingan khusus Aceh;

j.

memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap keputusan Dewan Perwakilan Rakyat

Republik Indonesia yang terkait dengan Aceh;

k.

memberikan pertimbangan terhadap rencana kerjasama antar daerah dengan pihak ketiga yang

membebani masyarakat dan daerah;

l.

meminta laporan pertanggungjawaban Kepala Pemerintahan Aceh dan/atau Bupati/Walikota

dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah;

m.

membentuk Komisi Pemilihan (KP);

n.

melakukan pengawasan dan meminta laporan kegiatan dan penggunaan anggaran kepada KP

dalam penyelenggaraan pemilihan Kepala pemerintahan dan Kepala daerah.

(10)

o.

Dewan Perwakilan Rakyat Aceh akan merumuskan kembali ketentuan hukum bagi Aceh

berdasarkan prinsip-prinsip universal Hak-hak Asasi Manusia sebagaimana tercantum dalam

konvenan internasional Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Hak-hak Sipil dan Politik dan

mengenai Hak-hak Ekonomi Sosial dan Budaya.

p.

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah hasil pemilihan umum tahun 2004 untuk masa sidang

sampai dengan tahun 2009 tidak berwenang untuk mengesahkan peraturan

perundang-undangan apapun tanpa persetujuan Kepala Pemerintah Aceh.

(2) Melaksanakan kewenangan lainnya yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.

HAK DAN KEWAJIBAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT ACEH DAN DEWAN

PERWAKILAN RAKYAT DAERAH

Pasal 14

(1)

Setiap anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah didalam

menjalankan tugas mempunyai hak:

a.

interpelasi;

b.

angket;

c.

budget;

d.

mengajukan rancangan qanun;

e.

mengajukan pertanyaan;

f.

menyampaikan usul dan pendapat;

g.

protokoler;

h.

immunitas;

i.

memilih dan dipilih;

j.

keuangan dan administratif;

k.

hak membela diri.

(2)

Hak-hak sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf a, b dan c hanya berlaku untuk Dewan Perwakilan

Rakyat Aceh.

(3)

Pelaksanaan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam tata tertib Dewan Perwakilan

Rakyat Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sesuai dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku di Aceh.

pasal 15

(1)

Setiap anngota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah di dalam

menjalankan tugas mempunyai kewajiban:

a.

mengamalkan nilai-nilai Islam;

b.

membangun, mengembangkan dan mendorong kemajuan demokrasi;

c.

menghormati, melindungi dan menegakkan hak-hak asasi manusia sesuai dengan

prinsip-prinsip universal hak-hak asasi manusia, termasuk konvenan internasional Perserikatan

Bangsa-Bangsa mengenai Hak-hak Sipil dan Politik dan mengenai Hak-hak Ekonomi Sosial

dan Budaya;

d.

menerima dan memperjuangkan aspirasi rakyat;

e.

meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan rakyat;

f.

mencerdaskan kehidupan rakyat Aceh;

g.

menghormati dan memberdayakan tradisi atau norma adat dalam masyarakat.

(2)

pelaksanaan kewajiban dimaksud pada ayat (1) diatur dalam tata tertib Dewan Perwakilan Rakyat

Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang

berlaku di Aceh.

(11)

MAJELIS PERWAKILAN DAERAH ACEH

Pasal 16

(1)

MPDA adalah bagian dari Legislatif Aceh yang anggotanya dipilih oleh rakyat secara langsung

untuk mewakili daerah-daerah kabupaten/kota di Aceh.

(2)

MPDA mempunyai fungsi legislasi, penganggaran, pengawasan kebijakan Aceh dan penyalur

aspirasi daerah-daerah asal pemilihan.

(3)

Sumber keuangan MPDA berasal dari sumber Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh.

(4)

MPDA mempunyai hak untuk membentuk alat-alat kelengkapannya sesuai dengan kebutuhan.

(5)

Jumlah anggota MPDA untuk masing-masing daerah kabupaten/kota sebanyak 2 (dua) orang.

TUGAS DAN WEWENANG MAJELIS PERWAKILAN DAERAH ACEH

Pasal 17

MPDA mempunyai tugas dan wewenang sebagai berikut:

a.

mengajukan usulan pembuatan Qanun kepada Dewan Perwakilan Rakyat Aceh;

b.

menunjuk wakil-wakilnya untuk ikut di dalam proses pembuatan Qanun di Dewan

Perwakilan Rakyat Aceh;

c.

menunjuk wakil-wakilnya untuk ikut didalam proses penyusunan Anggaran Pendapatan dan

Belanja Aceh;

d.

melakukan pengawasan pelaksanaan pembangunan Aceh;

e.

melakukan pengawasan atas pemasukan/penerimaan dan pengeluaran/ penggunaan hasil

pajak dan hak bagi hasil;

f.

hasil pemeriksaan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan dilaporkan kepada MPDA

untuk dibahas dan dianalisa untuk digunakan sebagai data pengawasan keuangan Pemerintah

Aceh.

HAK DAN KEWAJIBAN MAJELIS PERWAKILAN DAERAH ACEH

Pasal 18

(1)

MPDA mempunyai hak:

a.

menyatakan pendapat;

b.

mengajukan rancangan qanun;

c.

mempunyai hak suara untuk memilih Wali Nanggroe;

d.

mengirim wakil-wakilnya di dalam penyusunan qanun dan Anggaran Pendapatan dan Belanja

Aceh di Dewan Perwakilan Rakyat Aceh.

(2)

Pelaksanaan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan tata tertib MPDA

sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Aceh.

Pasal 19

(1)

Setiap anggota MPDA di dalam menjalankan tugas mempunyai kewajiban:

a.

mengamalkan nilai-nilai Islam;

(12)

c.

menghormati, melindungi dan menegakkan hak-hak asasi manusia sesuai dengan

prinsip-prinsip universal hak-hak asasi manusia, termasuk konvenan internasional Perserikatan

Bangsa-Bangsa mengenai Hak-hak Sipil dan Politik dan mengenai Hak-hak Ekonomi Sosial

dan Budaya;

d.

menerima dan memperjuangkan aspirasi rakyat asal daerah pemlihannya;

e.

meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan rakyat;

f.

mencerdaskan kehidupan rakyat Aceh;

g.

menghormati dan memberdayakan tradisi atau norma adat dalam masyarakat.

(2) Pelaksanaan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan tata tertib Dewan

Perwakilan Rakyat Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sesuai dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku di Aceh.

BADAN EKSEKUTIF

Pasal 20

(1)

Pemerintah Aceh dan pemerintah Kabupaten/Kota dipimpin oleh seorang Kepala Pemerintahan

Aceh, Bupati/Walikota dan Wakil Kepala Pemerintahan Aceh serta Wakil Bupati/Walikota

sebagai pemegang kekuasaan eksekutif.

(2)

Kepala Pemerintahan Aceh dan Wakil Kepala Pemerintahan Aceh, Bupati dan Wakil Bupati serta

Walikota dan Wakil Walikota dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh perangkat daerah.

(3)

Kepala Pemerintahan Aceh dan Wakil Kepala Pemerintahan Aceh, Bupati dan Wakil Bupati serta

Walikota dan Wakil Walikota bertanggung jawab dalam penetapan kebijakan daerah termasuk

keamanan, ketertiban, ketenteraman masyarakat dan kesejahteraan sosial.

(4)

Kepala Pemerintahan Aceh bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat Aceh dalam

menjalankan tugas dan kewenangannya.

(5)

Wakil Kepala Pemerintahan Aceh bertanggung jawab kepada Kepala Pemerintahan Aceh dalam

menjalankan tugas dan kewenangannya.

(6)

Bupati dan Walikota bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Kabupaten/Kota dalam menjalankan tugas dan kewenangannya.

(7)

Wakil Bupati dan Wakil Walikota bertanggung jawab kepada Bupati dan Walikota dalam

menjalankan tugas dan kewenangannya.

Pasal 21

(1)

Tugas dan wewenang Kepala Pemerintahan Aceh adalah:

a.

menyelenggarakan pemerintahan Aceh sesuai dengan prinsip-prinsip pemerintahan sendiri;

b.

memberi persetujuan terhadap kebijakan-kebijakan pemerintahan yang diambil oleh

Pemerintah Indonesia yang berkaitan dengan Aceh setelah terlebih dahulu dikonsultasikan

dengan pemerintah Aceh;

c.

mengkoordinasi badan-badan daerah dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya masing-masing;

d.

di dalam hal tertentu dan apabila dibutuhkan dapat mengeluarkan dan menetapkan

peraturan-peraturan pemerintah Aceh dan instruksi-instruksi pemerintah Aceh sebagai pengganti

Qanun.

(2)

Pelaksanaan tugas dan wewenang Kepala Pemerintahan Aceh selain dimaksud pada ayat (1)

sebagaimana yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku di Aceh tetap

berlaku.

(13)

Wakil Kepala Pemerintahan Aceh mempuyai tugas:

a.

membantu Kepala Pemerintahan Aceh dalam melaksanakan kewajibannya;

b.

membantu mengkoordinasikan kegiatan instansi pemerintah Aceh dan pemerintah

Kabupaten/Kota;

c.

melaksanakan tugas-tugas lain yang diberikan oleh Kepala Pemerintahan Aceh.

Pasal 23

Kepala Pemerintahan Aceh mempunyai kewajiban:

a.

mengamalkan nilai-nilai Islam;

b.

menghormati kedaulatan rakyat;

c.

menghormati, melindungi, memenuhi dan menegakkan hak asasi manusia sesuai dengan

prinsip-prinsip universal hak-hak asasi manusia;

d.

menegakkan dan melaksanakan seluruh peraturan perundang-undangan;

e.

meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan rakyat;

f.

mencerdaskan kehidupan rakyat Aceh;

g.

menghormati dan memberdayakan tradisi atau norma adat dalam masyarakat;

h.

memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat;

i.

mengajukan Rancangan Qanun bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh;

j.

menetapkannya sebagai Qanun setelah mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat

Aceh;

k.

menyelenggarakan pemerintahan dan melaksanakan pembangunan sesuai dengan rancangan

pembangunan Aceh secara bersih, jujur, dan bertanggung jawab;

l.

mengawasi setiap kegiatan eksplorasi/eksploitasi sumber daya alam Aceh dengan membentuk

Badan khusus untuk itu;

m.

mendorong percepatan pertumbuhan ekonomi rakyat Aceh.

KECAMATAN

Pasal 24

(1)

Kecamatan dibentuk di Kabupaten/Kota dengan Qanun.

(2)

Kecamatan dipimpin oleh Camat yang dalam pelaksanaan tugasnya memperoleh pelimpahan

sebagian wewenang Bupati atau Walikota untuk menangani urusan pemerintahan di tingkat

kecamatan.

(3)

Selain tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Camat juga menyelengarakan tugas umum

pemerintahan meliputi:

a.

mengkoordinasikan kegiatan pemberdayaan masyarakat;

b.

mengkoordinasikan upaya penyelenggaraan ketenteraman dan ketertiban umum;

c.

mengkoordinasikan penerapan dan penegakan peraturan perundang-undangan;

d.

mengkoordinasikan pemeliharaan prasarana dan fasilitas pelayanan umum;

e.

mengkoordinasikan penyelenggaraan kegiatan pemerintahan di tingkat kecamatan;

f.

melaksanakan pelayanan masyarakat yang menjadi ruang lingkup tugasnya dan/atau yang

belum dapat dilaksanakan pemerintahan mukim dan gampong;

g.

mendorong kegiatan-kegiatan yang menunjang pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan

rakyat.

(4)

Camat diangkat oleh Bupati/Walikota atas usul Sekretaris Daerah Kabupaten/Kota dari pegawai

negeri sipil yang memenuhi syarat sesuai perundang-undangan yang berlaku di Aceh untuk dipilih

oleh Dewan Kecamatan.

(5)

Camat dalam menjalankan tugas-tugasnya sebagaimana yang dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3)

dibantu oleh perangkat Kecamatan dan bertanggung jawab kepada Bupati/Walikota melalui

Sekretaris Daerah Kabupaten/Kota.

(14)

(7)

Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5)

ditetapkan dengan peraturan Bupati atau Walikota dengan berpedoman pada Qanun.

TATA CARA PEMILIHAN CAMAT

Pasal 25

(1)

Seorang Camat dipilih setiap lima tahun sekali melalui pemilihan langsung yang demokratis,

bebas, rahasia serta dilaksanakan secara jujur dan adil oleh Dewan kecamatan.

(2)

Dewan kecamatan adalah kumpulan Mukim dalam satu kecamatan.

(3)

Seorang Camat hanya dapat dipilih secara berturut-turut untuk dua periode masa jabatan.

(4)

Seseorang yang dapat ditetapkan menjadi calon Camat adalah rakyat Aceh yang memenuhi

syarat-syarat sebagai berikut.

a.

Beragama Islam;

b.

berpendidikan sekurang-kurangnya sarjana muda atau D3 atau sederajat;

c.

berusia sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) tahun;

d.

sehat jasmani dan rohani berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan dari tim dokter;

e.

tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan karena melakukan

tindak pidana korupsi;

f.

tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh

kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara

paling lama 5 (lima) tahun atau lebih;

g.

telah memperoleh amnesti atau abolisi dari pemerintah Indonesia bagi orang yang pernah

dihukum penjara karena makar atau karena alasan-alasan politik;

h.

tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh

kekuatan hukum tetap.

(5)

Tata cara pemilihan ditetapkan dengan Qanun sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan

yang berlaku di Aceh.

MUKIM

Pasal 26

(1)

Dalam pemerintahan daerah Kabupaten/Kota dibentuk pemerintahan Mukim dan Badan

Permusyawaratan Mukim.

(2)

Imum Mukim atau nama lain adalah Kepala Pemerintahan Mukim yang dibantu oleh Tuha Peuet

Mukim yang dipilih melalui musyawarah Mukim untuk masa jabatan 5 (lima) tahun.

(3)

Kedudukan, tugas dan fungsi, organisasi dan kelengkapan Mukim diatur lebih lanjut dengan

Qanun.

GAMPONG

Pasal 27

(1)

Dalam pemerintahan daerah Kabupaten/Kota dibentuk pemerintahan Gampong dan badan

permusyawaratan Gampong.

(2)

Pembentukan, penghapusan, dan/atau penggabungan Gampong dengan memperhatikan asal-usul

dan atas prakarsa masyarakat.

(3)

Ketentuan lebih lanjut tentang kedudukan, fungsi, pembiayaan, organisasi dan perangkat

pemerintahan Gampong diatur dengan Qanun.

BAB VI

PERANGKAT DAN KEPEGAWAIAN

PERANGKAT

(15)

Pasal 28

(1)

Perangkat pemerintah Aceh terdiri atas sekretariat pemerintah, sekretariat Dewan Perwakilan

Rakyat Aceh, departemen dan lembaga teknis.

(2)

Segala sesuatu mengenai perangkat pemerintah Aceh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur

dengan qanun.

Pasal 29

Perangkat Kabupaten/Kota terdiri atas Sekretariat daerah, Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah, Dinas Daerah, Lembaga Teknis Daerah, Kecamatan, Mukim dan Gampong.

LEMBAGA OPERASIONAL STRATEGIS DAN TEKNIS

Pasal 30

(1)

Lembaga operasional strategis dan teknis merupakan unsur pendukung tugas Kepala

Pemerintahan Aceh dan Wakil Kepala Pemerintahan Aceh dalam penyusunan dan pelaksanaan

kebijakan Pemerintahan Aceh yang bersifat spesifik berbentuk badan dan kantor.

(2)

Lembaga teknis daerah merupakan unsur pendukung tugas Bupati dan Wakil Bupati serta

Walikota dan Wakil Walikota dalam penyusunan dan pelaksanaan kebijakan daerah yang bersifat

spesifik berbentuk badan dan kantor.

(3)

Badan dan kantor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipimpin oleh kepala badan, kepala

kantor yang diangkat oleh Kepala Pemerintahan Aceh, Bupati dan Walikota dari pegawai negeri

sipil yang memenuhi syarat atas usul Sekretaris Daerah.

(4)

Kepala badan dan kantor sebagaimana yang dimaksud pada ayat (2) bertanggung jawab kepada

Kepala Pemerintahan Aceh, Bupati/Walikota melalui sekretaris pemerintah Aceh/sekretaris

Daerah.

KEPEGAWAIAN

Pasal 31

(1)

Pemerintah Aceh melaksanakan pembinaan manajemen pegawai negeri sipil Aceh.

(2)

Segala sesuatu yang terkait dengan kepegawaian negeri sipil diatur sesuai peraturan

perundang-undangan yang berlaku di Aceh.

BAB VII

PEMILIHAN KEPALA DAN WAKIL KEPALA PEMERINTAHAN ACEH

Pasal 32

Pemilih adalah orang Aceh atau penduduk Aceh yang berdomisili di Aceh yang berumur 17

(tujuh belas) tahun ke atas atau yang sudah pernah menikah dan tidak sedang dicabut oleh

pengadilan hak pilihnya.

Pasal 33

(1)

Pemilih di Aceh, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31, mempunyai hak:

a.

memilih Kepala Pemerintahan Aceh dan Bupati/Walikota, serta Wakil Kepala Pemerintahan

Aceh dan Wakil Bupati/Walikota;

b.

mengawasi proses pemilihan Kepala Pemerintahan Aceh dan Bupati/Walikota, serta Wakil

Kepala Pemerintahan Aceh dan Wakil Bupati/Walikota;

(16)

c.

mengajukan usulan kebijakan pelaksanaan Pemerintahan Aceh dan pemerintahan daerah

kabupaten/kota;

d.

mengajukan usulan penyempurnaan dan perubahan qanun; dan

e.

mengawasi penggunaan anggaran.

(2) Hak-hak pemilih sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur dengan qanun.

Pasal 34

(1)

Kepala Pemerintahan Aceh dan wakil Kepala Pemerintahan Aceh, dan Bupati/Walikota,

dapat berhenti atau diberhentikan sesuai dengan peraturan perundangan-undangan yang

berlaku di Aceh.

(2)

Seorang Kepala Pemerintahan Aceh dan Wakil Kepala Pemerintahan Aceh, Bupati dan

Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota hanya dapat dipilih secara

berturut-turut untuk dua periode masa jabatan.

(3)

Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan qanun.

Pasal 35

(1)

Calon Kepala Pemerintahan Aceh atau Bupati/Walikota dan calon Wakil Kepala

Pemerintahan Aceh atau Wakil Bupati/Walikota, yang ikut dalam pemilihan berasal dari

partai politik, gabungan partai politik, partai politik lokal dan unsur independen.

(2)

Pemilihan Calon Kepala Pemerintahan Aceh atau Bupati/Walikota dan calon Wakil

Kepala Pemerintahan Aceh atau Wakil Bupati/Walikota, dipilih dalam satu pasangan

secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil.

(3)

Calon Kepala Pemerintahan Aceh atau Bupati/Walikota dan calon Wakil Kepala

Pemerintahan Aceh atau Wakil Bupati/Walikota dengan syarat-syarat:

a.

Mengamalkan nilai-nilai Islam;

b.

Orang Aceh atau rakyat Aceh;

c.

berpendidikan sekurang-kurangnya sarjana (S-1) atau sederajat;

d.

berusia sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) tahun pada saat pendaftaran;

e.

sehat jasmani dan rohani berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan dari tim dokter;

f.

tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan karena melakukan

tindak pidana korupsi.

g.

tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh

kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara

paling lama 5 (lima) tahun atau lebih kecuali dalam perkara tindak pidana makar atau politik;

h.

telah memperoleh amnesti atau abolisi dari pemerintah Indonesia bagi orang yang pernah

dihukum penjara karena makar atau karena alasan-alasan politik;

i.

tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh

kekuatan hukum tetap.

Pasal 36

(1)

Partai politik atau gabungan partai politik atau partai politik lokal sebagaimana dimaksud pada

Pasal 45 ayat (1) dan ayat (2) dapat mendaftarkan pasangan calon apabila memenuhi persyaratan

perolehan sekurang-kurangnya 15% (lima belas persen) dari jumlah kursi Dewan Perwakilan

Rakyat Aceh atau 15% (lima belas persen) dari akumulasi perolehan suara sah dalam Pemilihan

Umum anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah di daerah yang bersangkutan.

(2)

Calon independen sebagaimana dimaksud pada Pasal 45 ayat (1) dan ayat (2) harus didukung

setiap pasangan bakal calon dengan dukungan sekurang-kurangnya 1 % (satu persen) dari jumlah

penduduk di daerah pemilihan.

(17)

(3)

Dukungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan dalam bentuk daftar dukungan yang

ditandatangani oleh pemilih di wilayah pemilihannya dengan melampirkan foto copy Kartu Tanda

Penduduk yang sah.

(4)

Dukungan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus tersebar sekurang-kurangnya;

a.

setengah (1/2) dari jumlah Kabupaten/Kota untuk pemilihan Kepala Pemerintahan

Aceh/Wakil Kepala Pemerintahan Aceh; dan

b.

setengah (1/2) dari jumlah Kecamatan untuk pemilihan Bupati/Wakil Bupati atau

Walikota/Wakil Walikota.

(18)

Pasal 37

(1)

Komisi Pemilihan (KP) menyelenggarakan pemilihan Calon Kepala Pemerintahan Aceh atau

Bupati/Walikota dan calon Wakil Kepala Pemerintahan Aceh atau Wakil Bupati/Walikota, dan

bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat Aceh.

(2)

Komisi Pemilihan (KP) menyampaikan laporan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Aceh/Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah tentang penyelenggaraan pemilihan Calon Kepala Pemerintahan Aceh

atau Bupati/Walikota dan calon Wakil Kepala Pemerintahan Aceh atau Wakil Bupati/Walikota.

(3)

Dewan Perwakilan Rakyat Aceh/Dewan Perwakilan Rakyat Daerah membentuk Komisi

Pengawas Pemilihan untuk mengawasi penyelenggaraan pemilihan Calon Kepala Pemerintahan

Aceh serta Wakil Kepala Pemerintahan Aceh dan Bupati/Walikota serta calon Wakil

Bupati/Walikota, yang keanggotaannya terdiri atas unsur kepolisian, kejaksaan, perguruan tinggi,

pers, lembaga non pemerintah/lembaga swadaya masyarakat dan tokoh masyarakat.

(4)

Anggota Komisi Pengawas Pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berjumlah 7 (tujuh)

orang untuk pemilihan pemerintah Aceh, 7 (tujuh) orang untuk pemilihan bupati/walikota dan 3

(tiga) orang untuk pemilihan camat.

(5)

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menetapkan Panitia Pengawas Kecamatan berdasarkan usul

Panitia Pengawas Kabupaten/Kota.

(6)

Dalam hal tidak didapatkan unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3), panitia pengawas

kabupaten/kota/kecamatan dapat diisi oleh unsur tokoh agama atau tokoh masyarakat.

(7)

Panitia pengawas pemilihan Kepala Pemerintahan Aceh dan Wakil Kepala Pemerintahan Aceh

atau Panitia pengawas pemilihan Bupati/Walikota dan Wakil Bupati/Walikota, dibentuk oleh dan

bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat Aceh/ Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

dan berkewajiban menyampaikan laporannya.

(8)

Proses pengawasan jalannya pemilihan Kepala Pemerintahan Aceh atau Bupati/Walikota dan

calon Wakil Kepala Pemerintahan Aceh atau Wakil Bupati/Walikota selain dilakukan oleh

Komisi Pengawasan Pemilihan, juga dapat dilakukan oleh pemantau asing yang telah mendapat

akreditasi di Komisi Pemilihan (KP) Aceh.

Pasal 38

(1)

Pemilihan Calon Kepala Pemerintahan Aceh serta calon Wakil Kepala Pemerintahan Aceh dan

calon Bupati/Walikota serta calon Wakil Bupati/Walikota dilaksanakan melalui masa persiapan

dan tahap pelaksanaan.

(2)

Masa persiapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

Pemberitahuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kepada Kepala Pemerintahan Aceh atau

Bupati/Walikota mengenai berakhirnya masa jabatan;

a.

Pemberitahuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kepada Komisi Pemilihan Umum

Daerah mengenai berakhirnya masa jabatan Kepala Pemerintahan Aceh atau

Bupati/Walikota;

b.

Perencanaan penyelenggaraan, meliputi penetapan tata cara dan jadwal tahapan

pelaksanaan pemilihan;

c.

Pembentukan Panitia Pengawas, Panitia Pemilihan Kecamatan, Panitia Pemilihan

Gampong dan Panitia Pemungutan Suara.

d.

Pemberitahuan dan pendaftaran pemantau;

e.

Tahap pelaksanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

f.

Penetapan daftar pemilih;

g.

Pendaftaran dan Penetapan Calon Kepala Pemerintahan Aceh atau Bupati/Walikota

dan calon Wakil Kepala Pemerintahan Aceh atau Wakil Bupati/Walikota;

h.

Kampanye;

i.

Pemungutan suara;

j.

Penghitungan suara;

(19)

k.

Penetapan pasangan Calon Kepala Pemerintahan Aceh atau Bupati/Walikota dan

calon Wakil Kepala Pemerintahan Aceh atau Wakil Bupati/Walikota terpilih,

pengesahan, dan pelantikan;

l.

Tata cara pelaksanaan masa persiapan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan tahap

pelaksanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e diatur Komisi Pemilihan

Umum Daerah dengan berpedoman pada Qanun.

Pasal 39

Tugas, wewenang dan kewajiban Komisi Pemilihan (KP) dalam penyelenggaraan Pemilihan Kepala

Pemerintahan Aceh serta Wakil Kepala Pemerintahan Aceh dan Bupati/Walikota serta Wakil

Bupati/Walikota adalah sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku di Aceh.

Pasal 40

Biaya untuk pemilihan Kepala pemerintahan Aceh serta Wakil Kepala Pemerintahan Aceh dan Kepala

Pemerintahan Daerah serta Wakil Kepala Pemerintaan Daerah dibebankan pada Anggaran Pendapatan

dan Belanja Aceh dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Dearah Kabupaten/Kota.

Pasal 41

(1)

Pemilihan Kepala Pemerintahan Aceh serta Wakil Kepala Pemerintahan Aceh dan

Bupati/Walikota serta Wakil Bupati/Walikota dilaksanakan melalui tahap-tahap:

pencalonan, kampanye, pelaksanaan pemilihan, pengesahan hasil pemilihan dan

pelantikan.

(2)

Tahap pencalonan, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan melalui:

a.

pendaftaran dan seleksi administratif pasangan bakal calon oleh Komisi Pemilihan (KP);

b.

pemaparan visi dan misi pasangan bakal calon di depan Komisi Pemilihan (KP);

c.

penetapan pasangan bakal calon oleh Komisi Pemilihan (KP);

d.

penetapan pasangan calon oleh Komisi Pemilihan (KP);

e.

pendaftaran pemilih oleh Komisi Pemilihan (KP) bersama dengan Pemerintah Aceh dan

Kabupaten/kota.

Pasal 42

Pelaksanaan Kampanye:

a.

dilaksanakan selama 14 (empat belas) hari dan berakhir 1 (satu) minggu sebelum hari pemungutan

suara;

b.

diselenggarakan oleh tim kampanye yang dibentuk oleh pasangan calon dan didaftarkan pada

Komisi Pemilihan (KP);

c.

jadwal pelaksanaan kampanye ditetapkan oleh Komisi Pemilihan (KP) dengan memperhatikan

usul dari pasangan calon;

d.

dapat dilaksanakan melalui: pertemuan terbatas; tatap muka dan dialog; media cetak dan

elektronik; rapat umum; debat publik/debat terbuka antar calon; dan/atau dalam bentuk kegiatan

lain yang tidak melanggar ketentuan perundang-undangan;

e.

penyampaian materi kampanye yang berisi visi, misi dan program pasangan calon kepada

masyarakat.

Pasal 43

(1)

Kepala Pemerintahan Aceh serta Wakil Kepala Pemerintahan Aceh dan Bupati/Walikota serta

Wakil Bupati/Walikota dipilih secara langsung oleh rakyat.

(20)

(3)

Komisi Pemilihan (KP) Aceh menyerahkan ketetapan tentang hasil pemilihan pasangan Kepala

Pemerintahan Aceh dan Wakil Kepala Pemerintahan Aceh kepada Dewan Perwakilan Rakyat

Aceh untuk diproses pengesahan pengangkatannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan

yang berlaku di Aceh.

(4)

Komisi Pemilihan (KP) kabupaten/kota menyerahkan ketetapan tentang hasil pemilihan pasangan

Bupati/Walikota dan Wakil Bupati/Walikota kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

kabupaten/kota untuk diproses pengesahan pengangkatannya sesuai dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku di Aceh.

Pasal 44

(1)

Pengesahan pengangkatan pasangan calon Kepala Pemerintahan Aceh dan Wakil Kepala

Pemerintahan Aceh terpilih dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Aceh selambat-lambatnya

dalam waktu 30 (tiga puluh) hari.

(2)

Pengesahan pengangkatan pasangan Bupati/Walikota dan Wakil Bupati/Walikota oleh Kepala

Pemerintahan Aceh selambat-lambatnya dalam waktu 30 (tiga puluh) hari.

(3)

Pasangan calon kepala Daerah dan wakil kepala Daerah kabupaten/kota diusulkan oleh Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota, selambat-lambatnya dalam waktu 3 (tiga) hari, kepada

Kepala Pemerintahan Aceh berdasarkan berita acara penetapan pasangan calon terpilih dari

Komisi Pemilihan (KP) kabupaten/kota untuk mendapatkan pengesahan pengangkatan.

BAB VIII

PARTAI POLITIK

Pasal 45

(1)

Rakyat Aceh yang berdomisili di Aceh dapat membentuk dan mendirikan partai-partai politik

yang berbasis Aceh serta berkriteria nasional.

(2)

Rakyat Aceh yang berdomisili di Aceh dapat membentuk dan mendirikan partai-partai politik

lokal.

(3)

Partai-partai politik sebagaimana disebut dalam ayat (1) dan (2) didirikan dengan akta

notaris yang memuat anggaran dasar dan anggaran rumah tangga disertai susunan

kepengurusan dan selajutnya didaftarkan pada Departemen Hukum dan HAM untuk

partai politik sebagaimana disebut dalam ayat (1) dan partai politik sebagaimana disebut

dalam ayat (2) didaftarkan pada Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM Aceh.

(4)

Partai politik berbasis Aceh serta berkriteria Nasional sebagaimana dimaksud ayat (1) diatas harus

memenuhi syarat-syarat sebagaimana ketentuan yang berlaku bagi partai yang bersifat nasional

dan memiliki kantor Dewan Pimpinan Pusat di Aceh.

(5)

Partai politik lokal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus berkedudukan di Aceh dengan

syarat-syarat sebagai berikut:

a.

Mempunyai kepengurusan sekurang-kurangnya 50 % (lima puluh persen) dari jumlah

Kabupaten/Kota pada Aceh dan 50 % (lima puluh persen) dari jumlah Kecamatan pada

setiap Kabupaten/Kota yang bersangkutan;

b.

Memiliki nama, lambang, dan tanda gambar yang ciri-cirinya tidak mempunyai persamaan

dengan nama, lambang, dan tanda gambar partai politik lain;

c.

Mempunyai alamat kantor yang tetap dan dapat diverifikasi di tingkat pemerintahan Aceh

dan Kabupaten/Kota.

Pasal 46

(1)

Pengesahan partai politik lokal sebagai badan hukum dilakukan oleh Kepala Kantor Wilayah

Departemen Hukum dan HAM Aceh selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah

penerimaan pendaftaran.

(21)

(2)

Pengesahan partai politik lokal diumumkan dalam Berita Acara Pemerintahan Aceh (BAPA).

Pasal 47

Dalam hal terjadi perubahan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga, nama, lambang, dan tanda

gambar partai politik lokal atau ciri-ciri lainnya maka partai yang bersangkutan harus melakukan

pendaftaran kembali ke Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM Aceh.

ASAS DAN CIRI

Pasal 48

Asas partai politik dimaksud pasal 46 ayat (1) dan (2) diatas memiliki dasar:

a. Demokrasi;

b. Keadilan;

c. Kesejahteraan;

d. Perdamaian;

e. Islam.

TUJUAN PARTAI POLITIK LOKAL

Pasal 49

(1)

Tujuan partai politik lokal adalah:

a.

Memajukan demokrasi bagi Aceh;

b.

Mewujudkan keadilan sosial bagi Aceh;

c.

Meningkatkan kesejahteraan rakyat Aceh;

d.

Memajukan perdamaian;

e.

Menegakkan Hak-hak Asasi Manusia;

f.

Mewujudkan masyarakat yang bernilaikan Islam.

(2) Tujuan partai politik lokal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diwujudkan secara damai,

jujur, adil dan demokratis.

HAK DAN KEWAJIBAN PARTAI POLITIK LOKAL

Pasal 50

(1)

Partai politik lokal berhak :

a.

Memperoleh perlakuan yang sederajat dan adil dari pemerintahan Aceh dan pemerintah

Indonesia;

b.

Mengatur dan mengurus rumah tangga organisasi secara mandiri;

c.

Memperoleh hak cipta atas nama, lambang, dan tanda gambar partainya dari Kantor Wilayah

Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Aceh;

d.

Ikut serta dalam pemilihan umum untuk pemilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh

dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;

e.

Mengajukan calon untuk mengisi keanggotaan di Dewan Perwakilan Rakyat Aceh dan

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;

f.

Mengusulkan pergantian atau pemberhentian antar waktu anggotanya di Dewan Perwakilan

Rakyat Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; dan

g.

Mengusulkan pasangan calon Kepala Pemerintahan Aceh dan Wakil Kepala Pemerintahan

Aceh, calon Bupati/Walikota dan wakil Bupati/wakil Walikota di Aceh, baik secara mandiri

maupun berafiliasi dengan partai politik dan partai politik lokal lain.

(2)

Mekanisme tentang pengajuan pasangan calon Kepala Pemerintahan Aceh dan Wakil Kepala

Pemerintahan Aceh, calon Bupati/Walikota dan wakil Bupati/wakil Walikota serta calon anggota

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dari partai politik lokal diatur dengan qanun.

(22)

Partai politik lokal berkewajiban:

a.

Memajukan kehidupan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan Aceh dan

pemerintahan daerah;

b.

Memperjuangkan kesejahteraan rakyat Aceh;

c.

Memperjuangkan keadilan sosial;

d.

Memperjuangkan aspirasi rakyat Aceh;

e.

Memelihara dan memajukan perdamaian;

f.

Berpartisipasi dalam pembangunan Aceh di semua sektor;

g.

Menjunjung tinggi supremasi hukum, demokrasi, dan hak asasi manusia;

h.

Melakukan pendidikan politik;

i.

Mensukseskan pemilihan umum di Aceh pada semua tingkat;

j.

Melakukan pendaftaran dan memelihara ketertiban data anggota;

k.

Membuat laporan keuangan secara berkala satu tahun sekali kepada Komisi Pemilihan (KP)

Aceh dan Komisi Pemilihan (KP) Daerah setelah di audit oleh akuntan publik;

l.

Memiliki rekening khusus dana kampanye pemilihan umum dan menyerahkan laporan neraca

keuangan hasil audit akutan publik kepada Komisi Pemilihan (KP) Aceh dan Komisi

Pemilihan (KP) Daerah paling lambat 6 (enam) bulan setelah hari pemungutan suara.

LARANGAN BAGI PARTAI POLITIK

Pasal 52

(1)

Partai Politik dilarang menggunakan nama, lambang, atau tanda gambar yang sama dengan:

a.

Bendera atau lambang Republik Indonesia;

b.

Lambang lembaga atau lambang Pemerintah Indonesia dan Pemerintahan Aceh;

c.

Nama, bendera, atau lambang negara lain dan nama, bendera, atau lambang lembaga/badan

internasional;

d.

Nama dan gambar seseorang; atau

e.

Yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan partai politik

lokal dan partai politik berbasis Aceh berkriteria nasional lain.

(2)

Partai politik dilarang:

a.

Melakukan kegiatan yang bertentangan dengan Undang Undang ini;

b.

Melakukan kegiatan yang membahayakan keamanan;

c.

Menerima atau memberikan kepada pihak asing sumbangan dalam bentuk apa pun, yang

bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Aceh;

d.

Menerima sumbangan dari perseorangan dan/atau perusahaan/badan usaha melebihi batas

yang ditetapkan;

e.

Meminta atau menerima dana dari badan usaha milik negara, badan usaha milik

pemerintahan Aceh, badan usaha milik daerah, badan usaha milik desa atau dengan sebutan

lainnya, koperasi, yayasan, lembaga swadaya masyarakat, organisasi kemasyarakatan, dan

organisasi kemanusian;

f.

Mendirikan badan usaha dan/atau memiliki saham suatu badan usaha.

Pasal 53

Hal-hal mengenai keanggotaan dan kedaulatan anggota, kepengurusan, keuangan, pengawasan,

pembubaran dan penggabungan, sanksi, serta peradilan partai politik lokal diatur lebih lanjut dengan

Qanun.

Pasal 54

(1)

Dalam pelaksanaan pemilihan umum dan pemilihan kepala pemerintahan di Aceh akan diundang

pemantau asing yang bebas untuk menjamin penyelenggaraan proses demokrasi sesuai dengan

prinsip-prinsip jujur dan adil.

(23)

(2)

Dalam pelaksanaan pemilihan umum lokal pemerintah Aceh dapat meminta bantuan teknis dari

pihak asing.

(3)

Dalam dana kampanye harus dinyatakan secara transparan penuh.

(4)

Ketentuan pelaksanaan sebagaimana dimaksud di atas diatur lebih lanjut dengan Qanun.

BAB IX

PERENCANAAN PEMBANGUNAN ACEH

Pasal 55

(1)

Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan Aceh disusun perencanaan pembangunan Aceh

dengan memperhatikan:

a.

Nilai-nilai islami;

b.

Sejarah, adat dan budaya;

c.

Pemberdayaan sumberdaya manusia;

d.

Pelayaanan kesehatan;

e.

Pengembangan pertanian;

f.

Pelestarian lingkungan hidup;

g.

Aspirasi dan partisipasi rakyat;

h.

Kesejahteraan sosial;

i.

Kebutuhan sosial kemasyarakatan;

j.

Pengembangan wilayah;

k.

Pembangunan ekonomi,

l.

Pengembangan industri;

m.

Pengembangan perdagangan;

n.

Pengaturan tata ruang;

o.

Pengembangan sarana dan prasarana.

(2)

Tatacara penyusunan perencanaan pembangunan Aceh sebagaimana dimaksudkan ayat (1) diatur

dengan Qanun.

Pasal 56

(1)

Penyusunan Rencana Pembangunan Aceh dilakukan secara bertahap dan berkelanjutan.

(2)

Tahapan, tata cara penyusunan, pengendalian, dan evaluasi pelaksanaan rencana pembangunan

Aceh diatur lebih lanjut dengan Qanun.

(3)

Dalam melaksanakan rekonstruksi pasca-tsunami wakil-wakil Gerakan Aceh Merdeka

(GAM) dilibatkan untuk berpartisipasi dalam komisi Badan Rehabilitasi dan Rekontruksi.

BAB X

TENAGA KERJA

TENAGA KERJA ACEH

Pasal 57

(1)

Pemerintah Aceh akan memfasilitasi pengembangan dan pemberdayaan tenaga kerja dengan

mendirikan sentra-sentra pelatihan tenaga kerja profesional.

(2)

Pemerintah Aceh akan menciptakan lapangan kerja dengan mempercepat pertumbuhan industri

dan pembangunan di berbagai sektor.

(3)

Pemerintah Aceh berwenang mengeluarkan izin pendirian badan usaha jasa tenaga kerja Aceh

untuk pengiriman tenaga kerja profesional ke luar negeri.

(4)

Pemerintah Aceh akan memberi perlindungan bagi tenaga kerja Aceh yang bekerja di luar negeri

bekerjasama dengan pemerintah negara di mana tenaga kerja Aceh tersebut bekerja.

Referensi

Dokumen terkait

Untuk membuktikan pengaruh induksi kalsium terhadap densitas matriks enamel dilakukan analisis jarak atau kerapatan antar sel ameloblas gigi insisivus tikus seperti tampak

Berdasarkan hal tersebut di atas, akan diteliti pengaruh penggunaan batu Piropilit sebagai pengganti agregat halus dan filler yang selama ini menggunakan batu pecah

Pihak kedua akan memberikan supervisi yang diperlukan serta akan melakukan evaluasi akuntabilitas kinerja terhadap capaian kinerja dari perjanjian ini dan mengambil tindakan

Setelah mendapatkan data yang diperlukan di Sub Bengkel Pemeriksaan Bell 412 Bengkel Pusat Penerbangan Angkatan Darat, maka penulis melakukan pengolahan data usia komponen

Pengembangan yang dapat dilakukan pada penelitian di masa yang akan datang ialah menggunakan model komputasi paralel (parallel computing) dengan jumlah block dan thread

Pengertian dari pembentukan karakter yaitu pembentukan yakni membentuk, atau membangun, sedangkan karakter kata lain dari tabiat (sifat dalam diri yang dibentuk oleh individu

Penelitian ini pernah dilakukan sebelumnya oleh Nurfitriani (2017) tentang pengetahuan dan motivasi ibu post sectio caesarea dalam mobilisasi dini terdapat hubungan

Pengaruh signifikasi terhadap variabel fitur layanan terhadap keputusan menggunakan internet banking Bank Mandiri disebabkan karena sebagian besar responden