• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bambang Prayitno Pendahuluan Kesimpulan Penelitian Hibah Strategis 2009

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Bambang Prayitno Pendahuluan Kesimpulan Penelitian Hibah Strategis 2009"

Copied!
103
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sumatera Selatan mempunyai kawasan bergambut seluas 1,4 juta ha atau 16,3 % dari luas wilayah, dan kondisi tersebut merupakan salah satu sumberdaya alam yang potensial untuk dikelola dan dimanfaatkan bagi kepentingan dan kesejahteraan seluruh masyarakat.

Pengambilan kayu di lahan gambut di era 1970 yang dikenal dengan kegiatan Hak Pengusahaan Hutan (HPH) di Sumatera Selatan, seperti Kabupaten Ogan Komering Ilir dan Musi Banyuasin, mempunyai dampak yang sangat nyata, baik terhadap kondisi fisik lahan dan sosio ekonomi masyarakat sekitarnya.

Ekploitasi hutan secara besar besar pada era 1970 an menghasilkan perubahan yang cukup nyata terhadap kondisi hutan di Sumatera Selatan. Kondisi degradasi lahan gambut saat ini ditemukan tersebar di Kabupaten Ogan Komering Ilir, Banyuasin, Musi Banyuasin, dan Muara Enim pada tingkat yang sangat memprihatinkan.

Keterbatasan informasi dan data tentang hutan rawa gambut di Sumatera Selatan merupakan salah satu indikasi rendahnya perhatian dari seluruh pihak dan rendahnya kegiatan penelitian yang dilakukan, disisi lain database merupakan kebutuhan dasar untuk kegiatan di lahan gambut dalam mendukung pelestarian sumberdaya alam hutan rawa gambut. Potensi sumberdaya alam hutan gambut perlu dipertahankan kelestariannya, sehingga peranan hutan gambut tetap mampu mendukung kehidupan dan lingkungan.

(2)

Potensi sumberdaya alam hutan gambut dan potensi kandungan karbon di lahan gambut Kayuagung setiap tahun terus berkurang akibat dari proses kebakaran, sehingga kondisi tersebut memacu proses degradasi lahan. Oleh karena itu dampak kebakaran lahan terhadap karakteristik tanah dan gambut perlu dilakukan.

B. Tujuan Penelitian

1. Mengidentifikasi dan menganalisis karakteristik lahan gambut setelah terjadi kebakaran di dalam kawasan hutan.

2. Mengidentifikasi dan menganalisis keragaman hayati pada lahan gambut setelah terjadi kebakaran yang berada di sekitar pemukiman dan di dalam Kawasan Hutan Produksi Terbatas Kayuagung.

3. Mengidentifikasi dan menganalisis kondisi sosioekonomi masyarakat di sekitar kawasan Hutan Produksi Terbatas Kayuagung.

4. Mengidentifikasi potensi sumberdaya lahan di sekitar pemukiman untuk kegiatan pertanian dan perkebunan.

5. Mengidentifikasi potensi rehabilitasi sumberdaya lahan di sekitar pemukiman yang telah rusak untuk kegiatan penghijauan.

C. Keutamaan Penelitian

Perubahan kondisi lahan dari hutan primer menjadi hutan tersier atau tidak ada tumbuhan hutan lagi dan tumbuh menjadi tumbuhan pioner generasi baru merupakan salah satu kondisi yang saat ini banyak dijumpai di kawasan hutan Sumatera Selatan, terutama di Hutan Rawa Gambut. Kondisi ini merupakan salah satu dampak dari pemanfaatan hutan secara berlebihan pada era 1970an dan diteruskan oleh penebangan liar hingga saat ini.

(3)

manusia terkadang mempercepat terciptanya degradasi lahan gambut baik secara langsung maupun tidak langsung.

Penelitian ini perlu dilakukan untuk mengetahui dampak kebakaran hutan dan aktivitas masyarakat sekitar kawasan hutan terhadap karakteristik gambut dan keanekaragaman hayati di Hutan Produksi Terbatas Kayuagung, Kabupaten Ogan Komering Ilir. Data dan informasi dasar tentang kawasan ini tidak tersedia, disisi lain potensi sumberdaya kawasan ini cukup besar untuk mendukung kehidupan dan lingkungan, meskipun kondisi kawasan tersebut telah terdegradasi akibat kebakaran lahan setiap tahunnya dan adanya pembukaan lahan oleh masyarakat untuk kegiatan pertanian dan perkebunan.

(4)

BAB II. STUDI PUSTAKA

A. Hutan di Propinsi Sumatera Selatan

Kawasan hutan Provinsi Sumatera Selatan yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No: 75/Kpts-II/2001, Tanggal 15 Maret 2001 seluas ± 4.416.837 ha. Luas kawasan hutan ini mencakup ± 40.43% dari luas Provinsi Sumatera Selatan. Kawasan hutan ini terdiri dari Kawasan Hutan Konservasi (16.17%), Hutan Lindung (17.22%) dan Hutan Produksi (66.61%) seperti disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Kawasan Hutan di Propinsi Sumatera Selatan

Fungsi Kawasan Luas

Hektar Persen

Kawasan Hutan Konservasi

 Daratan 714.416 16.17

 Perairan 0 0

Kawasan Hutan Lindung 760.523 17.22

Kawasan Hutan Produksi

 Hutan Produksi Terbatas 217.370 4.92

 Hutan Produksi Tetap 2.293.083 51.92

 Hutan Produksi yang dapat Dikonversi 431.445 9.77

Total 4.416.837 100

Sumber: Badan Planologi Departemen Kehutanan (2002).

Luas kawasan hutan dalam perkembangannya telah banyak mengalami perubahan. Berdasarkan hasil tata batas pengukuhan hutan yang telah dilaksanakan sampai dengan tahun 2003, diketahui bahwa kawasan hutan di Propinsi Sumatera Selatan seluas 3.774.457 ha yang sesuai fungsinya terdiri dari kawasan hutan produksi (hutan produksi terbatas, hutan produksi tetap, hutan produksi konservasi (HPK)) dan kawasan non budidaya (hutan lindung dan hutan konservasi).

(5)

Laju pengurangan hutan (deforestasi) di Propinsi Sumatera Selatan berdasarkan hasil perbandingan Peta Penutupan lahan RePProT tahun 1985 dengan Peta Penutupan Lahan hasil penafsiran citra Tahun 1998 oleh Pusat Data dan Perpetaan Badan Planologi Kehutanan diperoleh hasil bahwa selama periode waktu 12 tahun telah terjadi perubahan penutupan lahan hutan disajikan pada Tabel 2. Rata-rata laju deforestasi selama periode 1985 sampai 1998 di Sumatera Selatan ialah 192.824 ha per tahun.

Tabel 2. Deforestasi di Propinsi Sumatera Selatan

Penutupan Lahan RePPProT (1985) Dephut (1991) Dephut (1998) Ha

Luas areal yang

ditafsir 10.226.300 10.236.090 10.149.068

Hutan 3.562.100 3.438.140 1.248.209

% hutan 34.8 33.6 12.3

Sumber: Badan Planologi Departemen Kehutanan (2002).

(6)

Tabel 3. Kondisi Penutupan Lahan Kawasan Hutan Di Propinsi Sumatera Selatan.

No. Fungsi

Hutan

Luas Kawasan Hutan tiap Kab/Kota per Kondisi Penutupan Vegetasi (ha)

TOTAL Muba dan

Banyuasin OKI dan OI

OKU, OKUT,

OKUS

M. Enim, Prabumulih

Lahat, Pagaralam

Mura, Linggau

1. Luas yang Berhutan (ha)

 HSA 211.089 645 724 6.777 29.770 216.875 465.880

 HL 58.771 8.289 8.656 51.372 63.596 - 190.648

 HPT 81.295 2.817 2.888 18.985 2.882 9.202 118.069

 HP 344.742 138.988 9.742 46.413 767 87.893 628.545

Jumlah (1) 696.897 150.739 22.010 123.547 97.015 313.970 1.403.142

2. Luas Non Hutan (ha)

 HSA 131.390 4.183 50.226 2.663 23.059 34.377 245.898

 HL 10.052 96.870 142.365 20.328 77.504 1.842 348.961

 HPT 8.101 7.069 43.043 11.120 8.999 17.278 95.610

 HP 222.179 506.112 55.940 142.702 40.980 213.565 1.181.478

Jumlah (2) 371.722 614.234 291.574 176.813 150.542 267.062 1.871.947

Luas Hutan Tetap

(1+2) 1.067.619 764.973 313.584 300.842 247.557 581.032 3.275.607

3  HPK (ha) 192.460 188.913 - 67.887 - 50.072 499.332

Total Luas Hutan

(1+2+3) (ha) 1.260.079 953.886 313.584 368.729 247.557 631.104 3.774.939

(7)

B. Karakteristik Tanah Gambut

1. Definisi

Definisi tanah gambut oleh Subagyo et al., (2000) tanah gambut terbentuk dari bahan organik, selanjutnya Wahyunto et al., (2005) menyatakan bahwa tanah gambut adalah tanah jenuh air yang tersusun dari bahan tanah organik, yaitu sisa-sisa tanaman dan jaringan tanaman yang melapuk dengan ketebalan lebih dari 50 cm.

Tanah gambut merupakan tanah yang tersusun dari bahan organik, baik dengan ketebalan >45 cm maupun terdapat secara berlapis bersama tanah mineral pada ketebalan penampang 80 cm serta mempunyai tebal lapisan bahan organik >50 cm. Analisis laboratorium bahan organik dinyatakan dalam kadar karbon 12-18% atau lebih. Makin tinggi kadar karbon, bahan organik dapat dikatakan masih segar, sedangkan makin kecil kadar karbon maka bahan organik makin lanjut pelapukannya dan disebut dengan humus (Rismunandar, 2001).

2. Sebaran Gambut Di Sumatera Selatan

Cadangan gambut di Indonesia sebagian besar terletak di Pantai timur Sumatera (Riau, Jambi, dan Sumatera Selatan), Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah dan Irian Jaya. Di Sumatera Selatan sebaran gambut berada di Kabupaten OKI (500.000 ha), Muba (250.000 ha), Banyuasin (200.000 ha), Muara Enim (45.000 ha) dan Musi Rawas (35.000 ha) (Gambar 1).

Luasan lahan gambut atau bergambut pada kondisi utuh dan asli penutupan vegetasinya (virgin forest) adalah identik dengan luas hutan rawa gambut, karena pada hutan primer di lahan gambut merupakan sumber utama bahan organik sebagai bahan utama gambut.

(8)

Gambar 1. Peta Sebaran Gambut Di Propinsi Sumatera Selatan

3. Pembentukan Tanah Gambut

Pembentukan tanah gambut secara umum dimulai dengan adanya cekungan lahan berdrainase jelek dan genangan air, sehingga memungkinkan terjadinya penumpukkan bahan organik yang sukar melapuk. Vegetasi tua yang roboh akan diganti oleh vegetasi baru yang pertumbuhannya makin dipengaruhi ketebalan bahan organik. Penumpukan bahan organik dapat berjalan terus karena sifat permeabilitas ke bawah yang rendah dari tanah-tanah jelek dan air tetap tergenang.

Gambut terbentuk di daerah rawa-rawa pada zaman Holosen sebagai akibat dari peristiwa transgesi dan regresi laut karena mencairnya es di kutub. Pada zaman Pleistosen, permukaan laut kira-kira 60 m di bawah permukaan sekarang. Kenaikan air laut pada zaman berikutnya menyebabkan terbentuknya rawa-rawa sehingga vegetasi mati, kemudian mengalami dekomposisi lambat.

(9)

kepunahan. Disisi lain, proses kebakaran gambut yang berakibat kehilangan gambut hanya memerlukan waktu yang relatif singkat.

4. Karakteristik Tanah Gambut

Karakteristik tanah gambut sangat dipengaruhi oleh kondisi biologinya. Vegetasi alami yang tumbuh di lahan ini sangat dipengaruhi oleh salinitas, kemasaman, dan tekstur tanah. Perbedaan vegetasi sangat dipengaruhi oleh waktu dan frekuensi genangan.

Kualitas tanah gambut sangat tergantung pada vegetasi yang menghasilkan bahan organik pembentuk tanah gambut, bahan mineral yang berada dibawahnya, faktor lingkungan tempat terbentuknya tanah gambut dan proses pembentukan tanahnya. Di daerah tinggi atau dingin bahan organik yang terbentuk lebih halus atau mudah melapuk daripada di dataran rendah atau pantai.

5. Vegetasi di Lahan Gambut

Wilayah lahan rawa dapat dibagi atas empat mintakat, yaitu: 1). Tepian sungai yang dirajai oleh asosiasi jenis prepat atau pedada (Sonnertia sp) dan api-api (Avicennia sp), 2). Pesisir pantai yang ditempati bakau (Rhizopora sp), 3). Wilayah kubah gambut (peat dome) yang ditempati vegetasi hutan gambut seperti ramin (Gonystylus sp), meranti (Shorea albida), terantang (Camriosperma auricurata), pulai (Alastonia sp) dan lainnya., 4). Pinggir sungai yang bersifat payau ditempati oleh vegetasi nipah (Nipa fructicans), dan 5). Wilayah yang telah dibuka kemudian ditinggalkan dan ditumbuhi vegetasi gelam (Samingan, 1979 dalam Noor, 2004)

Tumbuhan di lahan gambut ini memperlihatkan komposisi dan struktur yang jelas. Komposisi hutan gambut yang spesifik di Kalimantan terdiri dari asosiasi kayu ramin. Asosiasi dalam tumbuhan dapat menghasilkan tiga lapisan tajuk yaitu:

(10)

b. Tajuk tengah terdiri dari pepohonan kel;uarga Lauraceae, seperti Alseodaphhe sp, Endriandra rubescens, litsea sp, Myristica inner, Horsfeldia sp, Garcinia sp, dan keluarga Euphorbiaceae, Myristiceae, dan Ebennaceae.

c. Tajuk bawah terdiri dari keluarga Annonaceae, anakan dari pohon-pohon dan semak jenis Crinus sp. (Noor, 2004).

6. Peranan Gambut

Lahan gambut mempunyai peran dalam ekosistem lahan rawa gambut baik secara hidrologi, pelestarian satwa dan vegetasi. Lahan gambut memegang peranan penting dalam sistem hidrologi suatu lahan rawa, dimana salah satu sifat gambut berperan dalam sistem hidrologi adalah daya menahan air yang dimilikinya.

Gambut memiliki daya menahan air sangat besar yaitu 300 hingga 800 persen dari bobotnya (Wahyunto et al., 2005). Selain kemampuannya dalam daya menahan air, gambut juga mempunyai daya melepas air yakni sejumlah air akan dilepaskan bila permukaan air diturunkan per satuan kedalaman. Semakin dalam permukaan air diturunkan akan semakin besar pula air yang akan dilepas.

Pemanfaatan lahan gambut di Indonesia mulai menonjol sejalan dengan program transmigrasi dan ekstensifikasi pertanian melalui reklamasi rawa pantai atau pasang surut. Kendala yang dihadapi dalam pemanfaatan gambut: 1). Keadaan lingkungan tanah gambut, 2). Ketebalan gambut dan keadaan morfologi, 3). Sifat fisik dan kimiawi, dan 4). Perkembangan tanah akibat reklamasi dan pemilihan teknologi yang tepat.

7. Kebakaran Gambut

(11)

Dampak kebakaran hutan dan lahan gambut adalah sangat luas yakni terhadap sifat fisik, kimia, biologi, hidrologi lahan dan lingkungan seperti asap, kesehatan, dan lainnya.

Gambar 2. Sebaran Kebakaran Gambut Di Propinsi Sumatera Selatan

C. Karakteristik Lahan Kering

Lahan adalah bentang alam yang terdiri dari faktor tanah, iklim dan topografi. Lahan merupakan salah satu sumber daya alam yang sangat penting untuk pengembangan usaha pertanian terutama untuk memenuhi kebutuhan sandang dan pangan. Masalah pokok yang sering dihadapi dalam pemanfaatan lahan adalah terbatasnya kemampuan lahan untuk digunakan secara terus-menerus bersamaan dengan menurunnya produktivitas lahan.

Lahan kering adalah lahan yang sepanjang tahun tidak tergenangi air. Lahan kering memiliki tingkat kesuburan yang rendah karena kandungan unsur hara dan bahan organik yang sedikit sehingga menjadi kurang produktif.

(12)

pertanian dan perkebunan mencapai 4,47 juta hektar sehingga memberi peluang cukup besar untuk perluasan pengembangannya (Pusat Penelitian dan Pegembangan Tanah dan Agroklimat, 2001 dalam Kurnia, 2004).

1. Sifat Fisik Lahan Kering

Lahan kering adalah lahan yang sepanjang tahun tidak tergenangi air, dengan demikian penggunaanya untuk usaha pertanian yang membutuhkan air dalam jumlah yang sedikit, karena sebagian besar lahan kering di Indonesia bergantung pada hujan untuk memenuhi kebutuhan air bagi tanaman.

Tanah di kawasan tropika basah pada umumnya memperoleh energi matahari dan curah hujan yang tinggi sepanjang tahun. Kondisi tersebut menyebabkan tanah menjadi reaktif (peka) dan mempunyai tingkat erosi serta pencucian (leaching) yang tinggi. Temperatur dan kelembaban udara yang juga tinggi mengakibatkan dekomposisi bahan organik dan pelepasan hara berlangsung cepat (Safuan, 2002).

2. Sifat Kimia Lahan Kering

Sebagian besar lahan kering terdapat pada tanah Ultisols, Inceptisols, dan Oxisols, yang umumnya mempunyai tingkat kesuburan rendah. Berdasarkan hasil analisis contoh tanah pada beberapa lahan alang-alang menunjukkan bahwa tingkat kesuburan tanah umumnya rendah, dicirikan dengan kandungan hara yang rendah terutama fosfat dan kation-kation dapat tukar seperti Ca, Mg, dan K. Tanah bersifat masam sampai agak masam, dan sebagian mempunyai kadar aluminium yang tinggi sampai sangat tinggi pada lapisan bawah sehingga dapat bersifat racun bagi tanaman.

(13)

D. Survai dan Evaluasi Lahan

Survai merupakan salah satu kegiatan yang dilakukan untuk mempelajari lingkungan alam dan potensi sumber daya yang dimiliki. Survai tanah memiliki dua tujuan, yaitu memberi informasi kepada pemakai tanah tentang karakteristik tanah, bentuk wilayah dan keadaan lainnya; dan menyediakan informasi yang akan membantu dalam pengambilan keputusan tentang tanah dan rencana pengembangan wilayah yang di survai. (Hakim et al., 1986).

Menurut Hakim et al., (1986), berdasarkan ketelitian, survai dibagi atas lima yaitu :

1. Survai eksplorasi, adalah survai pada tingkat lebih kasar yang membuat uraian singkat mengenai informasi daerah yang belum diketahui. Survai ini digunakan untuk tujuan survai yang bersifat sangat umum dengan skala 1:500.000-1:2.000.000. Beberapa survai eksplorasi digunakan untuk menyediakan informasi bagi peta dunia FAO – UNESCO.

2. Survai tinjau, digunakan untuk survai pada wilayah yang luas seperti: negara, profinsi, atau wilayah pada tingkat skala yang kecil. Umumnya menggunakan skala 1:250.000. survai pada tingkat ini sering digunakan untuk membuat interpretasi photo udara, pemetaan yang bervariasi pada kelas-kelas tanah kebentuk wilayah, asosiasi dan segi-segia tanah tertentu.

3. Survai semi detail, merupakan kelanjutan dari survai tinjau dengan skala peta 1:100.000-1:30.000. survai ini menggunakan kombinasi antara photo udara dan penjajakan lapangan survai.

4. Survai detail, merupakan survai pada tingkat detail dengan intensitas tinggi dengan skala 1:25.000-1:10.000. Survai ini, kegiatan dan pelaksanaan survai sebagian besar dilakukan sebagai pekerjaan lapangan. Survai ini ditujukan untuk persiapan pelaksanaan suatu proyek melalui penilaian kesesuaian lahan dari suatu daerah yang terbatas untuk suatu pengembangan tertentu.

5. Survai intensif, digunakan untuk luasan yang relatif kecil (beberapa hektar) dengan menggunakan intensitas yang sangat tinggi sehingga peta yang dihasilkan berskala lebih besar dari 1:10.000. survai ini digunakan untuk penelitian tertentu, dalam survai ini dilakukan penjelajahan keseluruh wilayah yang memungkinkan penggambaran parameter dan sifat-sifat tanah yang lebih jelas.

(14)

Evaluasi lahan pada hakekatnya merupakan proses menduga potensi-potensi lahan untuk berbagai penggunaannya. Evaluasi lahan pada prinsipnya adalah mencocokkan (matching) antara kualitas atau karakteristik lahan dengan kebutuhan penggunan lahan tersebut (Rahman, 1990). Secara umum dikemukakan oleh Sitorus (1985), bahwa kerangka dasar evaluasi lahan adalah membandingkan persyaratan yang diperlukan untuk suatu penggunaan lahan tertentu dengan sumber daya yang ada pada lahan tersebut. Dasar pemikirannya adalah kenyataannya bahwa berbagai penggunaan lahan membutuhkan persyaratan yang berbeda-beda.

Didalam pelaksanaan evaluasi lahan sering terbentur oleh faktor-faktor pembatas seperti iklim (suhu dan curah hujan), topografi (kecuraman lereng), kondisi perakaran (kedalaman efektif) dan sifat tanah (retensi unsur hara dan ketersediaan unsur hara). Iklim dan kedalaman efektif tanah merupakan faktor pembatas yang tidak dapat diubah tingkat kesesuaiannya, sedangkan sifat tanah yang menyangkut kesuburan dan beberapa sifat fisik tanah masih dapat ditolerir dengan cara pemupukan dan pengolahan tanah. Karena itu dibutuhkan data mengenai lahan tersebut yang menyangkut berbagai aspek sesuai dengan rencana yang sedang dipertimbangkan (FAO, 1976 dan Sitorus, 1985).

Evaluasi lahan merupakan proses perencanan tata guna lahan. Maksud dari evaluasi lahan adalah membandingkan persyaratan yang diminta oleh tipe penggunaan lahan yang akan diterapkan, dengan sifat-sifat atau kualitas lahan yang dimiliki oleh lahan tersebut (Hardjowigeno, 2001).

Dalam evaluasi kesesuaian lahan dapat dibuat beberapa asumsi jenis usaha perbaikan yang dapat dilaksanakan pada tingkat pengelolaan tertentu antara lain : a. Rezim suhu, tidak dapat diperbaiki, sehingga tingkat kesesuaian lahannya

adalah kesesuaian lahan aktual.

b. Ketersediaan air, jenis perbaikan yang dilakukan adalah irigasi atau pengairan. Secara umum ketersediaan air merupakan faktor pembatas yang relatif tidak dapat diatasi untuk tingkat petani lokal karena memerlukan baiya yang relatif besar.

(15)

d. Tekstur, tidak dapat dilakukan perbaikan sehingga kesesuaian lahannya adalah kesesuaian lahan aktual.

e. Kedalaman efektif, umumnya tidak dapat dilakukan perbaikan kecuali pada lapisan padas lunak dan tipis dengan membongkarnya waktu pengolahan tanah. Pengelolaan hanya dapat dilakuakn dengan modal dan biaya yang relatif besar, umumnya dilakukan oleh pemerintah atau perusahaan besar dan menengah.

f. KTK, jenis usaha perbaikan yang dilakukan yaitu dengan pengapuran atau penambahan bahan organik sesuai kebutuhan tanah.

g. pH, jenis usaha perbaikan yang dilakukan yaitu dengan pengapuran sesuai kebutuhan tanah.

h. N-total, dengan melakukan pemupukan pupuk N, sesuai dosis yang dibutuhkan oleh tanaman.

i. P2O5, dengan melakukan pemupukan pupuk P, sesuai dosis yang dibutuhkan oleh tanaman.

j. K2O, dengan melakukan pemupukan pupuk K, sesuai dosis yang dibutuhkan oleh tanaman.

1. Kesesuaian Lahan dan Klasifikasinya

Lahan terdiri dari lingkungan fisik termasuk iklim, topografi atau relief, tanah, hidrologi dan vegetasi yang semuanya berpengaruh terhadap penggunaan lahan secara potensial (FAO, 1976).

Kesesuaian lahan adalah kecocokan suatu lahan untuk penggunaan (jenis tanaman dan tingkat pengelolaan) tertentu (Hardjowigeno, 2001). Adapun jenis-jenis kesesuaian lahan antara lain: 1). Kesesuaian lahan aktual dan 2). Kesesuaian lahan potensial.

Menurut Hadjowigeno (2001), kesesuaian lahan aktual adalah kesesuaian lahan saat ini dalam keadaan alami pada lahan tanpa mempertimbangkan usaha perbaikan dan tingkat perngelolaan yang tepat. Untuk menentukan kelas kesesuaian lahan aktual, mula-mula dilakukan penilaian terhadap masing-masing kualitas lahan berdasarkan atas karakteristik lahan terjelek atau yang memiliki kelas kesesuaian lahan tidak sesuai (N).

(16)

Karakteristik lahan dapat dibedakan menjadi karakteristik lahan yang dapat diperbaiki dengan masukan sesuai dengan tingkat pengelolaan (teknologi) yang akan diterapkan, dan karakteristik lahan yang tidak dapat diperbaiki sehingga tidak akan mengalami perubahan kelas kesesuaian lahan. Sedangkan lahan yang karakteristik lahannya dapat diperbaiki kelas kesesuaian lahannya, dapat berubah menjadi satu atau dua tingkat lebih baik.

Tujuan utama klasifikasi kesesuaian lahan adalah untuk memetakan lahan dengan mengelompokkan lahan-lahan yang sama atau hampir sama sifatnya ke dalam satuan peta lahan yang sama serta melakukan interpretasi kesesuaian untuk penggunaan-penggunan tertentu.

Klasifikasi kesesuaian lahan adalah pengelompokan lahan berdasarkan kesesuaiannya untuk tujuan penggunaan tertentu. Konsep terpenting dalam klasifikasi kesesuaian lahan adalah kesesuaian lahan aktual dan potensial (Sitorus, 1985). Kelas kesesuaian lahan aktual menunjukkan kesesuaian lahan terhadap penggunaan lahan yang ditentukan tanpa ada perbaikan yang berarti. Sedangkan kesesuaian lahan potensial menunjukkan kesesuaian lahan yang ditentukan setelah dilakukan perbaikan utama yang diperlukan. Acuan evaluasi lahan menurut CSR/FAO (1983), terdapat 15 karakteristik lahan yang dikelompokkan menjadi 7 kualitas lahan yang biasa digunakan (Tabel 4).

Tabel 4. Faktor Penentu Kualitas Lahan

Simbol Kualitas lahan Karakteristik lahan

t 1.Bulan kering (<75 mm)

(17)

Penilaian kelas kesesuaian lahan ditujukan terhadap setiap Satuan Peta Tanah (SPT) pada suatu areal. Untuk keperluan evaluasi lahan maka sifat fisik lingkungan suatu wilayah dirinci ke dalam suatu kualitas lahan (land qualities) dan setiap kualitas lahan biasanya terdiri dari satu atau lebih karakteristik (land characteristic).

Data karakteristik fisik lahan dideskripsi pada saat survai tanah dengan tingkat pemetaan tanah tertentu (tinjau, semi detil atau detil). Karakteristik lahan yang diperlukan dalam penilaian lahan untuk tanaman karet meliputi: curah hujan, jumlah bulan kering, lereng, kandungan batuan atau bahan kasar di dalam dan dipermukaan tanah, kedalaman efektif atau kedalaman gambut, tekstur tanah, kelas drainase, kemasaman tanah dan tingkat pelapukan gambut.

Klasifikasi kesesuaian lahan adalah pengelompokan suatu lahan yang cocok untuk penggunaan tertentu, dengan menggunakan hukum minimum yaitu mencocokkan (matching) antara kualitas dan karakter lahan sebagai parameter dengan kriteria kelas kesesuaian lahan yang telah disusun berdasarkan persyaratan penggunaan atau persyaratan tumbuh tanaman yang akan dievaluasi (Pusat Peneltian Tanah dan Agroklimat, 1993).

Sistem klsifikasi kesesuaian lahan menurut (CSR/FAO, 1983) ada tiga, yang merupakan tingkat generarilasi yang bersifat menurun yaitu:

1.1. Kesesuaian Lahan Tingkat Ordo

Kesesuaian lahan tingkat ordo, menunjukkan jenis atau macam kesesuaian lahan atau keadaan secara umum. Kesesuaian lahan tingkat ordo dibagi menjadi dua, yaitu:

1. Ordo S (sesuai atau suitable), lahan dapat digunakan secara lestari tanpa atau sedikit kerusakan terhadap sumber daya lahannya.

(18)

1.2. Kesesuaian Lahan Tingkat Kelas

Kesesuaian lahan tingkat kelas terdiri dari empat kelas, yaitu :

a. Kelas S1 (sangat sesuai atau highly suitable), lahan ini tidak memiliki pembatas yang berarti untuk suatu penggunaan secara lestari.

b. Kelas S2 (cukup sesuai atau moderately suitable), lahan yang mempunyai pembatas cukup berarti untuk suatu penggunaan lahan secara lestari, sehingga dibutuhkan masukan.

c. Kelas S3 (sesuai marginal atau marginally suitable), lahan ini memiliki pembatas yang berat untuk suatu penggunaan yang lestari sehingga diperlukan pengetahuan pengelolaan.

d. Kelas N (tidak sesuai atau not suitable), jenis lahan ini memiliki pembatas yang sangat berat tapi masih mungkin untuk diatasi, tetapi membutuhkan perbaikan yang intensif dengan biaya yang cukup tinggi bila ingin mencapai kesesuaian potensial yang tinggi.

1.3. Kesesuaian Lahan Tingkat Sub Kelas

Kesesuaian lahan tingkat sub kelas, menunjukkan jenis pembatas atau macam pembatas yang diperlukan dalam suatu kelas. Kesesuaian lahan tingkat sub kelas terdiri dari beberapa faktor pembatas, yaitu:

s : Topografi (slope steepness)

n : Ketersediaan unsur hara (nutrient availability) f : Retensi hara (nutrient retention)

w : Ketersediaan air oleh curah hujan dalam bulan kering dalam setahun (water availability)

t : Temperatur rata-rata suatu daerah

2. Kriteria Kesesuaian Lahan

Sebagaimana telah dikemukakan terdahulu, ada beberapa faktor yang dipertimbangkan dalam menentukan kelas kesesuaian lahan, antara lain: topografi (s), kondisi perakaran (r), ketersediaan air (w), retensi unsur hara (f), ketersediaan unsur hara (n), rezim temperatur (t), CSR/FAO (1983).

2.1. Topografi

(19)

dibandingkan dengan tanah-tanah yang memiliki topografi bergelombang dan datar (Hakim, 1986).

2.2. Kondisi Media Perakaran

Media perakaran merupakan area perkembangan akar. Media perakaran mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan akar. Faktor yang menjadi pembatas pada media perakaran adalah drainase, tekstur dan kedalaman efektif.

a. Drainase Tanah

Drainase tanah adalah suatu tanda dari kondisi basah dan kering suatu tanah. Drainase tanah dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu, topografi, tekstur, struktur, permeabilitas dan ketersediaan air yang berasal dari curah hujan, rembesan atau aliran permukaan yang berasal dari daerah yang lebih tinggi (CSR/FAO, 1983). Drainase tanah bertujuan untuk menurunkan muka air tanah sehingga dapat meningkatkan kedalaman efektif daerah perakaran (Hakim, 1983).

b. Tekstur

Tekstur tanah adalah perbandingan relative (dalam persen) kandungan pertikel tanah berupa fraksi pasir, debu dan liat dalam satuan massa tanah (Seta, 1991).

Menurut Foth (1984), tekstur merupakan ciri tanah yang penting untuk diketahui, karena tekstur dapat menetukan kecepatan resapan air, serta dapat menentukan sifat fisik dan kimia tanah. Menurut Kartasapoetra (1991), tekstur tanah adalah suatu berbandingan relatif dari berbagai golongan besar partikel di dalam tanah, terutama perbandingan fraksi pasir, debu dan liat.

Tekstur tanah menunjukkan kasar halusnya tanah dan berdasarkan atas perbandingan banyaknya butir-butir pasir, debu dan liat maka tanah dikelompokkan dalam beberapa tekstur (Hardjowigeno, 1995).

c. Kedalaman Efektif Tanah

(20)

tanah,selain itu kedalaman efektif tanah juga dibatasi oleh lapisan padas atau lapisan krokos.

Jenis tanaman pangan kedalaman efektif tanahnya hanya 25 cm, sedangkan pada jenis tanaman tahunan kedalaman efektif tanahnya mencapai 120 cm.

2.3. Ketersediaan Air

Ketersediaan air untuk pertumbuhan tanaman ditentukan oleh faktor iklim (khususnya curah hujan), tanah dan tanaman (Hakim, 1986). Curah hujan merupakan unsur yang berperan besar terhadap ketersediaan air di dalam tanah, selain itu juga berpengaruh terhadap pola tanam. Tanaman karet menghendaki daerah dengan curah hujan yang tinggi antara 1500 sampai 4000 mm per tahun dan merata sepanjang tahun, yang terbaik antara 2500–4000 mm dengan 100–150 hari hujan (Tim Penulis Penebar Swadaya, 1992).

2.4. Retensi Hara

Kemasaman tanah atau reaksi tanah merupakan perwujudan dari proses hancuran iklim dan faktor kimiawi yang berpengaruh terhadap proses pembentukan tanah. Nilai pH memiliki peran penting sebagai penduga jumlah basa dan mikroba tanah (Hakim et al., 1989). Tanah yang derajat kemasamannya mendekati normal cocok untuk ditanami karet. Derajat kemasaman yang paling cocok untuk di tanami karet adalah 5-6.

Kapasitas tukar kation (KTK) merupakan kapasitas suatu tanah untuk menjerap atau memegang kation-kation dan mempertukarkan ion-ion di dalam reaksi kimia tanah. Nilai KTK tanah dipengaruhi oleh reaksi tanah, tekstur tanah, mineral liat, bahan organik, dan penguapan serta pemupukan.

(21)

2.5. Ketersediaan Unsur Hara

Unsur hara yang dibutuhkan oleh tanaman berjumlah 16, yang terbagi menjadi 9 unsur hara makro dan 7 unsur hara mikro. Kedua unsur ini harus dalam keadaan seimbang, sehingga tanah dapat menjadi suburdan tanaman dapat tumbuh dengan baik (Soepardi, 1983). Pertumbuhan tanaman sangat dipengaruhi oleh ketersediaan unsur hara di dalam tanah. Keberadaan bahan organik di dalam tanah akan menunjang aktvitas mikro organisme di dalam tanah sehingga tanah akan menjadi subur dan unsur hara yang diperlukan oleh tanaman menjadi tersedia. Melalui proses dekomposisi bahan organik, akan dibebaskan unsur-unsur hara ke dalam tanah. Secara fisik bahan organik dihancurkan oleh binatang tanah kemudian diteruskan oleh mikroba tanah. Secara biokimia bahan organik menghasilkan senyawa sederhana berupa CO2, air dan energi yang dibebaskan oleh mikroba (Indranada, 1994).

Lapisan olah tanah pertanian mengandung 0,02–0,4 % N. Ketersedian N di dalam tanah dipengaruhi oleh faktor lingkungan, antara lain iklim dan jens vegetasi. Faktor lingkungan tersebut dipengaruhi oleh keadaan topografi, bahan induk, aktivitas manusia, dan waktu (Nyapka et al., 1988).

Tanaman karet memiliki toleran yang cukup tinggi terhadap tanah yang kesuburannya rendah. Pada tanah-tanah yang kurang subur, seperti Podsolik Merah Kuning, Latosol dan Aluvial dengan penambahan pupuk dapat dikembangkan untuk perkebunan karet (Tim Penulis Penebar Swadaya, 1992).

2.6. Rezim Temperatur

Perbedaan temperatur merupakan cerminan energi panas matahari yang sampai ke suatu wilayah, sehingga berfungsi sebagai pemicu :

a. Proses fisik dalam pembentukan liat dari mineral-mineral bahan induk tanah dengan mekanisme identik proses pelapukan bebatuan.

b. Keaneka ragaman hayati yang aktif, karena setiap kelompok terutama mikrobia mempunyai temperatur yang optimum spesifik, sehingga perbedaan temperatur akan menghasilkan jenis dan populasi yang berbeda pula.

(22)

Tanah yang terbentuk pada temperatur rendah (daerah kutub), akan cenderung berkadar biomasa rendah dan mentah (fibrik), akibatnya tanaman yang tumbuh umumnya berbatang kecil dan lambat berkembang, dan sedikitnya populasi dan jenis mikrobia heterotrof yang aktif. Tanah yang terbentuk pada temperatur tinggi (daerah arid), juga berkadar biomass rendah tapi matang (saprik), karena cepatnya prosesmineralisasi kimiawi terhadap sisa tanaman. Tanah yang terbentuk pada daerah humid (temperatur sedang), akan mempunyai jenis dan populasi mikrobia yang ideal, maka aktivitas biologisnya dalam dekomposisi biomas dan derajad kematanganya juga sedang atau hemik (Hanafiah, 2005).

Temperatur berpengaruh terhadap jenis tanaman yang dapat tumbuh pada daerah tersebut. Seperti halnya tanaman yang tumbuh di daerah dengan temperatur rendah berbeda dengan jenis tanaman yang tumbuh dengan baik pada daerah dengan temperatur sedang, walaupun ada beberapa jenis tanaman yang dapat tumbuh pada kedua temperatur tersebut.

Berdasarkan penelitian Rahman (1993) di Cibodas Biosphere Reserve, antara ketinggian lahan dari permukaan laut dengan suhu udara memiliki hubungan erat. Dalam hal ini, setiap naik 200 m dpl maka suhu udara akan turun 1 ºC.

E. Tanaman Karet

1. Syarat Tumbuh Tanaman Karet

Dunia tumbuhan tanaman karet tersusun dalam sistematika sebagai berikut (Tim Penulis Penebar Swadaya, 1992 ):

Divisi : Spermatophyta Subdivisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledoneae

Ordo : Euphorbiales

Famili : Euphorbiaceae

Genus : Hevea

(23)

1.a. Iklim

a. Suhu dan Curah Hujan

Tanaman karet dapat tumbuh dengan baik maka harus diperhatikan syarat-syarat lingkungan yang diinginkan oleh tanaman ini, karena lingkungan yang cocok akan menunjang pertumbuhan disamping perawatan. Apabila tanaman karet ditanam pada lahan yang tidak sesuai dengan habitat yang diinginkannya, maka pertumbuhan tanaman akan terhambat.

Tanaman karet cocok ditanam padadarh beriklim tropis dan suhu harian yang diinginkan tanaman karet adalah rata-rata 25–30 oC. Sedangkan curah hujan, tanaman karet menghendaki daerah yang memiliki curah hujan yang tinggi yaitu 2000–2500 mm/tahun, dan akan lebih baik lagi apabila curah hujan itu merata sepanjang tahun (Tim Penulis Penebar Swadaya, 1992).

Menurut Setyamidjaja (1993), curah hujan tahunan yang cocok untuk pertumbuhan tanaman karet tidak kurang dari 2000 mm. Optimal antara 2500– 4000 mm/tahun, yang terbagi dalam 100–150 hari hujan. Pembagian hujan dan waktu jatuhnya hujan rata-rata setahunnya mempengaruhi produksi. Daerah yang sering mengalami hujan pada pagi hari produksinya akan kurang. Keadaan iklim di Indonesia yang cocok untuk tanaman karet ialah daerah-daerah Indonesia bagian barat, yaitu Sumatera, Jawa dan Kalimantan, sebab iklimnya lebih basah.

b. Tinggi Tempat

(24)

1.b. Tanah

Tanaman karet dapat tumbuh pada berbagai jenis tanah, baik pada tanah-tanah vulkanis muda ataupun Vulkanis Tua, Alluvial dan bahkan tanah-tanah gambut (Setyamidjaja, 1993). Tanaman karet adalah tanaman yang paling toleran terhadap tanah yang kesuburannya rendah dibandingkan dengan jenis tanaman perkebunan yang lain. Dengan bantuan pemupukan dan pengelolaan yang baik, tanah-tanah yang kurang subur dapat dikembangkan menjadi lahan perkebunan karet (Tim Penulis Penebar Swadaya, 1992). Topografi tanah sedikit banyak juga mempengaruhi pertumbuhan tanaman karet. Pada tanah datar, pemeliharaan tanaman tanaman akan lebih mudah dari pada lahan yang berbukit.

Tanaman karet dapat tumbuh dengan baik pada tanah dengan kisaran pH 4,0–7,0 (Syarif, 1986). Menurut Setyamidjaja (1993), reaksi tanah yang umumnya ditanami karet mempunyai pH antara 3,0–8,0, pH tanah di bawah 3,0 atau di atas 8,0 menyebabkan pertumbuhan tanaman terhambat. Sifat-sifat tanah yang cocok untuk tanaman karet adalah sebagai berikut :

- Solum cukup dalam, sampai 100 cm atau lebih, tidak terdapat batu-batuan, - Aerasi dan drainase baik,

- Reah, porus dan dapat menahan air,

- Tekstur terdiri atas 35% liat dan 30% pasir,

- Tidak bergambut, dan jika ada tidak lebih dari 20 cm,

- Kandungan unsur hara N, P dan K cukup dan tidak kekurangan unsur mikro, - pH 4,5 – 6,5,

- kemiringan tidak lebih dari 16%,

(25)

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN

A. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian adalah lahan gambut pada hamparan Hutan Produksi Perbatas Kayuagung. Secara adminstrasi di sekitar lahan gambut terdapat empat kecamatan, yakni Kecamatan Kayuagung, Pedamaran, Pedamaran Timur dan Pampangan, Kabupaten Ogan Komering Ilir. Peta Kabupaten Ogan Komering Ilir disajikan pada Gambar 3 dan 4.

Gambar 3. Lokasi Penelitian di Kecamatan Kayuagung, Pedamaran, Pedamaran Timur dan Pampangan, Kabupaten Ogan Komering Ilir

(26)

Gambar 4. Citra landsat Lokasi Penelitian pada Bentang Lahan Gambut di Hutan Produksi Terbatas Kayuagung.

Penelitian ini terdiri dari 4 aspek penelitian, yakni aspek karakteristik lahan, keanekaragaman hayati dan aspek sosioekonomi, sehingga lokasi penelitian untuk masing-masing aspek adalah disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5. Lokasi Penelitian

No. Aspek Lokasi Keterangan

1 Karakteristik Gambut

Hutan Gambut Kayuagung

Kec. Kayuagung; Kec. Pedamaran; Kec. Pedamaran Timur dan Kec. Pampangan

2 Keanekaragaman Hayati

Hutan Gambut Kayuagung

Kec. Kayuagung; Kec. Pedamaran; Kec. Pedamaran Timur dan Kec. Pampangan

3 Karakteristik Tanah

Desa Hutan Kec. Kayuagung; Kec. Pedamaran; Kec. Pedamaran Timur dan Kec. Pampangan

Sosioekonomi Desa di sekitar Hutan Gambut

(27)

Hasil pengambilan sampel pada masing-masing aspek dilanjutkan dengan kegiatan analisis laboratorium seperti disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6. Lokasi Analisis Laboratorium

No. Aspek Sampel dan Data Laboratorium

1 Karakteristik Gambut

Gambut Laboratorium Jurusan Tanah Fakultas Pertanian, Unsri Biologi Fakultas MIPA, Unsri. 3 Karakteristik

Tanah

Tanah Laboratorium Jurusan Tanah Fakultas Pertanian, Unsri. 4 Sosioekonomi Sosioekonomi Laboratorium Jurusan Sosek

Fakultas Pertanian, Unsri. B. Bahan dan Alat

Bahan dan alat yang digunakan dalam penelitian pada setiap aspek kegiatan seperti disajikan pada Tabel 7 dan 8.

Tabel 7. Bahan untuk Penelitian

No. Aspek Bahan

1 Karakteristik Gambut

pH paper, baterai alkalin, bahan untuk analisis laboratorium dan bahan lainnya.

2 Keanekaragaman Hayati

pH paper, baterai alkalin, alkohol, bahan kimia untuk analisis laboratorium dan bahan lainnya.

3 Karakteristik Tanah

pH paper, baterai alkalin, bahan untuk analisis laboratorium dan bahan lainnya.

4 Sosioekonomi Bahan untuk wawancara, dll

Tabel 8. Alat untuk Penelitian

No. Aspek Alat

1 Karakteristik Lahan

GPS, Bor gambut dan belgi, meteran, peta lokasi, kamera digital, plastik sampel, karet, kertas label, spidol permanen, karung plastik, botol plastik, alat tulis dan alat untuk analisis tanah di laboratorium.

2 Keanekaraga man Hayati

GPS, kamera digital, ember, jaring, plastik sampel, karet, kertas label, spidol permanen, karung plastik, botol, alat tulis dan alat untuk analisis tanah di laboratorium. 3 Karakteristik

Lahan

GPS, Bor gambut dan belgi, meteran, peta lokasi, kamera digital, plastik sampel, karet, kertas label, spidol permanen, karung plastik, botol plastik, alat tulis dan alat untuk analisis tanah di laboratorium.

(28)

C. Metodologi Penelitian

Penelitian 1. Dampak Kebakaran Lahan dan Aktivitas Masyarakat terhadap Karakteristik Gambut di Hutan Produksi Terbatas Kayuagung, Kabupaten Ogan Komering Ilir.

Cara Kerja: Penelitian ini dilakukan dengan beberapa tahapan, yakni: 1. Pra survai

Kegiatan tahap pra survai adalah studi kepustakaan, diskusi tim peneliti tentang kerangka acuan dan pengumpulan data sekunder meliputi data kondisi lokasi, data iklim, pengadaan peta dasar, membuat desain peta survai, merencanakan titik pengamatan, mengurus administrasi dan perizinan, mempersiapkan peralatan, bahan dan perlengkapan survai.

Peta dasar untuk kegiatan survai dibuat dari citra skala 1:80.000 dan modifikasinya dalam bentuk peta potensi kebakaran atau menggunakan peta yang telah ada dari data sekunder. Hasil interpretasi citra dan dilanjutkan dengan melakukan pengecekan di lapangan, maka peta tersebut digunakan sebagai peta dasar dalam pembuatan peta kerja untuk penelitian.

Survai pendahuluan dilakukan dan bersifat penjajakan lapangan dengan menggunakan peta hasil interpretasi citra landsat. Tahapan kegiatan survai pendahuluan adalah sebagai berikut: 1. Meninjau daerah survai guna mendapatkan gambaran menyeluruh tentang kondisi lapangan, dan 2. Melakukan pengamatan penggunaan lahan dan lingkungan berdasarkan peta yang tersedia dan mempersiapkan seluruh keperluan untuk survai utama.

2. Survai Utama

Kegiatan survai utama merupakan kegiatan peninjauan langsung lapangan untuk mendapatkan data primer. Kegiatan yang dilakukan adalah melakukan pengamatan pada setiap titik yang telah ditentukan dengan pengeboran gambut, mengambil dan mempersiapkan sampel tanah untuk analisis.

(29)

Kegiatan dilakukan pada tingkat survai tinjau. Batas penyebaran kebakaran lahan dan bentuk wilayah, tipe penutupan lahan dan informasi lainnya. Sungai dan anak sungai adalah sangat membantu dalam mempercepat penjelajahan dan pengamatan lapangan, sehingga akan mendapatkan data dan gambaran lokasi lebih lengkap atau menyeluruh, serta menghasilkan analisis data lebih baik.

3. Titik Pengamatan

Titik pengamatan gambut pada lahan bekas terbakar adalah sangat ditentukan oleh lokasi kebakaran lahan gambut yang terjadi pada beberapa waktu lalu, yang diharapkan titik pengamatan tersebut menyebar pada lokasi Hutan Gambut Kayuagung.

2. Analisis Tanah dan Data

Analisis gambut adalah sifat fisik tanah (tingkat kematangan gambut, warna gambut dan kandungan abu) dan sifat kimia tanah (pH, kandungan hara N, P, K, C-organik, Ca, Mg dan KTK).

(30)

Penelitian 2. Dampak Kebakaran Lahan dan Aktivitas Masyarakat terhadap Keanekaragaman hayati di Hutan Produksi Terbatas Kayuagung, Kabupaten Ogan Komering Ilir.

Cara Kerja: Penelitian ini dilakukan dengan beberapa tahapan, yakni: 1. Pra survai

Kegitan tahap pra survai adalah studi kepustakaan, diskusi tim peneliti tentang kerangka acuan dan pengumpulan data sekunder meliputi data kondisi lokasi, data iklim, pengadaan peta dasar, membuat desain peta survai, merencanakan titik pengamatan, mengurus administrasi dan perizinan, dan mempersiapkan peralatan, bahan dan perlengkapan survai.

Peta dasar untuk kegiatan survai dibuat dari citra skala 1:80.000 dan modifikasinya dalam bentuk peta potensi kebakaran atau menggunakan peta yang telah ada dari data sekunder. Hasil interpretasi citra dan dilanjutkan dengan melakukan pengecekan di lapangan, maka peta tersebut digunakan sebagai peta dasar dalam pembuatan peta kerja untuk penelitian.

Survai pendahuluan dilakukan dan bersifat penjajakan lapangan dengan menggunakan peta hasil interpretasi citra landsat. Tahapan kegiatan survai pendahuluan adalah sebagai berikut:1. Meninjau daerah survai guna mendapatkan gambaran menyeluruh tentang kondisi lapangan, dan 2. Melakukan pengamatan penggunaan lahan dan lingkungan berdasarkan peta yang tersedia dan mempersiapkan seluruh keperluan untuk survai utama.

2. Survai Utama

(31)

3. Titik Pengamatan

Titik pengamatan keanekaragaman hayati berdasarkan peta dasar rencana kerja hasil interpretasi citra dan pengamatan pra-survai di lokasi hutan gambut Kayuagung dipadukan dengan kondisi lapangan, yakni telah banyaknya perubahan peruntukan lahan, yakni terdapat tanaman karet, kelapa sawit, tanaman pangan dan lainnya. Titik pengamatan dilakukan pada setiap jenis tanaman yang ada.

4. Analisis Sampel dan Data

(32)

Penelitian 3. Evaluasi Kemampuan Lahan di Desa Hutan pada Lahan Hutan Rawa Gambut di Bentang Lahan Kayu Agung, Kabupaten Ogan Komering Ilir

Cara Kerja: Penelitian ini dilakukan dengan beberapa tahapan, yakni: Pra survai

Kegitan tahap pra survai adalah studi kepustakaan, diskusi tim peneliti tentang kerangka acuan dan pengumpulan data sekunder meliputi data kondisi lokasi, data iklim, pengadaan peta dasar, membuat desain peta survai, merencanakan titik pengamatan, mengurus administrasi dan perizinan, mempersiapkan peralatan, bahan dan perlengkapan survai.

Peta dasar untuk kegiatan survai dibuat dari citra skala 1:80.000 dan modifikasinya dalam bentuk peta potensi kebakaran atau menggunakan peta yang telah ada dari data sekunder. Hasil interpretasi citra dan dilanjutkan dengan melakukan pengecekan di lapangan, maka peta tersebut digunakan sebagai peta dasar dalam pembuatan peta kerja untuk penelitian.

Survai pendahuluan dilakukan dan bersifat penjajakan lapangan dengan menggunakan peta hasil interpretasi citra landsat. Tahapan kegiatan survai pendahuluan adalah sebagai berikut: 1. Meninjau daerah survai guna mendapatkan gambaran menyeluruh tentang kondisi lapangan, dan 2. Melakukan pengamatan penggunaan lahan dan lingkungan berdasarkan peta yang tersedia dan mempersiapkan seluruh keperluan untuk survai utama.

2. Survai Utama

Kegiatan survai utama merupakan kegiatan peninjauan langsung lapangan untuk mendapatkan data primer. Kegiatan yang dilakukan adalah melakukan pengamatan pada setiap titik yang telah ditentukan dengan pengeboran tanah, pengamatan boring atau profil tanah, mengambil dan mempersiapkan sampel tanah untuk analisis.

(33)

Kegiatan dilakukan pada tingkat survai tinjau. Batas penyebaran kebakaran lahan dan bentuk wilayah, tipe penutupan lahan dan informasi lainnya. Sungai dan anak sungai adalah sangat membantu dalam mempercepat penjelajahan dan pengamatan lapangan, sehingga akan mendapatkan data dan gambaran lokasi lebih lengkap atau menyeluruh, serta menghasilkan analisis data lebih baik.

3. Titik Pengamatan

Titik pengamatan boring atau profil tanah berdasarkan peta dasar rencana kerja hasil interpretasi citra dan pengamatan pra-survai di desa yang mempunyai potensi pengembangan pertanian di sekitar lokasi hutan gambut Kayuagung.

3. Analisis Tanah dan Data

Analisis tanah adalah sifat fisik tanah (struktur tanah, infiltrasi tanah, warna tanah, dan tekstur tanah) dan sifat kimia tanah (pH, kandungan hara N, P, K, C-organik, Ca, Mg, dan KTK).

(34)

Penelitian 4. Kondisi Sosioekonomi dan Aktivitas Masyarakat di Kawasan Hutan Produksi Terbatas Kayuagung, Kabupaten Ogan Komering Ilir.

Cara Kerja: Penelitian ini dilakukan dengan beberapa tahapan, yakni: 1. Pra survai

Kegitan tahap pra survai adalah studi kepustakaan, diskusi tim peneliti tentang kerangka acuan dan pengumpulan data sekunder meliputi data kondisi lokasi, data iklim, pengadaan peta dasar, membuat desain peta survai, merencanakan titik pengamatan, mengurus administrasi dan perizinan, dan mempersiapkan peralatan, bahan dan perlengkapan survai.

Survai pendahuluan dilakukan dan bersifat penjajakan lapangan dengan menggunakan data desa/kecamatan yang tersedia. Kegiatan survai pendahuluan adalah meninjau daerah survai guna mendapatkan gambaran menyeluruh tentang kondisi masyarakat, dan mempersiapkan seluruh keperluan untuk survai utama.

2. Survai Utama

Kegiatan survai utama kondisi sosioekonomi dan aktivitas masyarakat di kawasan hutan merupakan kegiatan peninjauan langsung lapangan untuk mendapatkan data primer. Kegiatan yang dilakukan adalah melakukan wawancara terhadap masyarakat (pemuka masyarakat, tokok agama dan petani sebagai pelaku kegiatan di hutan) pada desa tertentu yang telah ditentukan.

3. Titik Pengamatan sampel masyarakat

(35)

4. Analisis Tanah dan Data

(36)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Dampak Kebakaran Lahan dan Aktivitas Masyarakat terhadap Karakteristik Gambut di Hutan Produksi Terbatas Kayuagung, Kabupaten Ogan Komering Ilir.

Pengamatan karakteristik lahan gambut dilakukan pada beberapa titik pengamatan baik yang bersifat mengelompok dan individu sesuai dengan kondisi lahan dan tata guna lahan yang ada. Pengamatan mengelompok dilakukan pada lahan gambut Desa Cinta Jaya, sedangkan titik pengamatan lainnya yang bersifat pewakil atau individu adalah tersebar di beberapa titik pengamatan pada lahan yang pernah terbakar dan secara adminstratif tersebar pada Kecamatan Kayuagung, Pedamaran Timur dan Pedamaran.

A.1. Karakteristik Gambut Desa Cinta Jaya, Pedamaran.

Lahan gambut di Desa Cinta Jaya terletak lebih kurang 5 km dari pemukiman penduduk dan dapat ditempuh melalui jalan air melewati Sungai. Masyarakat melakukan aktivitas di lahan gambut untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, yakni mencari kayu baikar, rumput purun (bahan baku tikar), rotan, dan kayu-kayu besar yang banyak tertimbun di bawah gambut sebagai kayu olahan. Upaya pengambilan kayu yang ada di bawah gambut dilakukan dengan menggali gambut dengan sebelumnya membakar untuk menghilangkan semak-semak dan memudahkan dalam penggalian, hal ini merupakan salah satu penyebab kerusakan lahan gambut di Desa Cinta Jaya.

(37)
(38)

Dampak dari kebakaran hutan yang sering terjadi di lokasi penelitian menyebabkan terjadinya kerusakan hutan, yakni terjadinya hilangnya tanaman asli gambut dan munculnya tanaman jenis baru. Disisi lain kondisi fisik lahan juga telah terjadi kemerosotan, yakni dengan hilangnya lapisan gambut hingga cukup dalam dan menjadikan kerusakan lahan (Gambar 6).

Gambar 5. Peta Sebaran Ketebalan Gambut Desa Cinta Jaya, Pedamaran.

Hasil analisis kimia tanah gambut (Tabel 10) menunjukkan bahwa tanah gambut mempunyai reaksi sangat masam (>4,5). Rendahnya nilai pH adalah disebabkan oleh asam-asam organik, pirit, dan ion hidrogen dapat tukar (H-dd) yang

tinggi terkandung dalam tanah gambut. Dekomposisi bahan organik akan

menghasilkan asam-asam organik yang terakumulasi pada tubuh tanah sehingga akan meningkatkan kemasaman pada tanah gambut.

(39)

mampu mempertahankan reaksi tanah terhadap perubahan kemasaman tanah (Riwandi, 2001).

Gambar 6. Sebaran Kerusakan Hutan Gambut Desa Cinta Jaya, Pedamaran.

Tabel 10. Hasil Analisis Kimia Tanah Gambut Desa Cinta Jaya, Pedamaran. Contoh

(40)

C-organik pada lokasi pengamatan cenderung lebih tinggi pada gambut atas dibandingkan dengan gambut bawahnya. Perbedaan kandungan karbon ini dapat disebabkan oleh perbedaan sisa jenis tumbuhan penyusun gambut atas dan gambut bawah.

Hasil analisis kadar N-total (%) termasuk dalam kriteria tinggi hingga sangat tinggi. Tingginya kandungan Nitrogen dikarenakan sumber Nitrogen yang utama adalah bahan organik, Nitrogen dalam tanah berasal dari bahan organik tanah (Hardjowigeno, 1995). Meskipun kandungan Nitrogen dalam tanah gambut lokasi penelitian tergolong tinggi, namun N pada tanah gambut ini sulit tersedia untuk tanaman. Hal ini dikarenakan rasio C/N yang tergolong sangat tinggi (>25). Nilai C/N rasio lebih besar dari 30 akan terjadi immobilisasi N oleh mikrobia tanah untuk memenuhi kebutuhan metabolismenya (Barchia, 2006).

Nitrogen pada gambut atas relatif lebih tinggi dibandingkan dengan kandungan Nitrogen gambut bawahnya, hal ini dikarenakan pada gambut atas terjadi proses dekomposisi yang lebih baik dibandingkan dengan gambut bawahnya yang selalu dalam kondisi jenuh air, sehingga kandungan Nitrogen dari hasil dekomposisi cenderung lebih rendah dari gambut atas.

Ratio C dan N dari hasil analisis menunjukkan kriteria sangat tinggi (>25). Tingginya ratio C/N karena belum lanjutnya dekomposisi gambut pada lokasi penelitian. Dekomposisi yang belum lanjut ini dapat disebabkan oleh kondisi yang selalu jenuh dan pengaruh dari bahan penyusun tanah gambut yang berasal dari vegetasi yang sulit lapuk.

Ratio C dan N pada gambut atasnya relatif lebih rendah bila dibandingkan dengan C/N gambut di bawahnya. Ini disebabkan karena proses dekomposisi yang menghasilkan nitrogen pada gambut atas berlangsung lebih baik dibandingkan gambut di bawahnya, kemudian terjadi pencucian hara oleh air menuju sungai/danau. Kehilangan hara yang terjadi terus menerus akan mengurangi ketersediaan hara di lapisan permukaan tanah gambut.

(41)

terganggu tergolong rendah, peningkatan intensitas pengunaan lahan dapat meningkatkan kadar abu seiring dengan meningkatnya mineralisasi tanah. Menurut Barchia (2006), kadar abu tanah gambut berkisar antara 5-65%, dan makin tinggi kadar abu tanah gambut, makin tinggi mineral yang terkandung pada tanah gambut.

Kadar abu tanah gambut atas relatif lebih tinggi dibandingkan kadar abu pada bagian bawahnya. Hal ini karena proses dekomposisi gambut yang lebih baik pada permukaan tanah gambut dibandingkan dengan bagian bawahnya. Kadar abu pada titik pengamatan enam memiliki kadar abu lapisan atas yang lebih rendah, diperkirakan lokasi gambut tersebut bmasih terjadi proses penimbunan bahan baru yang berasal dari vegetasi yang tumbuh di atasnya.

Hasil analisis Natrium (Na) dari contoh tanah lokasi penelitian berkisar antara rendah (0,1-0,3) hingga sedang (0,4-0,7) (Tabel 11). Kandungan Na yang relatif rendah ini mamperjelas bahwa lokasi penelitian merupakan rawa lebak, karena tidak memperoleh pengaruh dari pasang surut air laut. Hal ini diperkuat dengan hasil uji DHL dari contoh tanah gambut lokasi penelitian yang termasuk dalam kriteria sangat rendah (<1) hingga rendah (1-2). DHL bisa dikatakan normal bila berkisar antara 0,02 - 1,500 mS cm-1 (Goldman dan Horne, 1983).

(42)

B. Dampak Kebakaran Lahan dan Aktivitas Masyarakat terhadap Keanekaragaman hayati di Hutan Produksi Terbatas Kayuagung, Kabupaten Ogan Komering Ilir.

B.1. Kondisi Vegetasi Lahan Gambut

Prayitno dan Bakri (2005) melaporkan bahwa tumbuhan penutup tanah pada lintasan survai jalur pengamatan titik 1 hingga 42 adalah dari Desa Tanjung Serang menuju Talang Serdang Tujuh yang dominan adalah perpat (Sonneratia sp) dan pakis (Stenochama polushis), namun kondisi vegetasi hanya tumbuhan sekunder yang mempunyai diameter batang kurang dari 20 cm. Berkurangnya jumlah kerapatan pohon di sekitar jalur pengamatan disebabkan oleh aktivitas masyarakat sekitar dengan menebang pohon untuk memenuhi keutuhan hidupnya. Dampak langsung atau tidak langsung adalah sering terjadinya kebakaran pepohonan dan gambut di musim kemarau.

Berdasarkan data pengamatan lapangan vegetasi dominan adalah gelam (Melaleuca sp), perpat (Sonneratia sp) dan pakis (Stenochama polushis). Pada lahan dengan kedalaman gambut dangkal akan memungkinkan tumbuhan gelam mendoninasi lahan, namun pada lahan dengan kedalaman gambut dalam, maka tanaman perpat akan mendominasi lahan.

Vegetasi gelam (Gambar 7) merupakan indikator lahan dengan gambut dangkal atau pada umumnya dapat dijumpai di pinggir dataran Alluvial. Tanaman pakis dan belidang (Gambar 7) dapat tumbuh dengan baik apabila kondisi lahan telah terbuka atau tidak mempunyai kanopi rapat. Kedua tanaman tersebut mampu tumbuh baik pada lahan dengan gambut dalam atau Tanah Alluvial.

(43)

Gambar 7. Vegetasi Gelam dan Vegetasi Rumput Belidang

Gambar 8. Vegetasi Perpat (Sonneratia sp)

Lintasan survai jalur pengamatan titik 43 hingga 100 adalah dari Desa Pedamaran I menuju Desa Jungkal mempunyai kondisi lahan gambut dengan vegetasi dominan perpat (Sonneratia sp), pakis (Stenochama polushis), dan beriang.

(44)

Berdasarkan data pengamatan lapangan vegetasi di titik 43-45 dominan adalah belidang, hal ini mengindikasikan gambut didaerah ini relatif lebih dangkal, ini dibuktikan dengan kedalaman gambut pada titik ini 2 m. Perpat (Sonneratia sp) dan pakis (Stenochama polushis), gelam (Melaleuca sp), beriang dan purun mendominasi titik pengamatan 47 sampai 98, kecenderung kondisi daerah lebih rendah dan gambutnya lebih dalam (Prayitno dan Bakri, 2005).

Hasil analisis vegetasi jalan raya Sepucuk, Kecamatan Pedamaran Timur yang dilakukan pada areal yang didominasi oleh belukar seperti terlihat pada Tabel 11, di atas, ternyata indeks keanekaragaman vegetasi adalah sebesar 2,04. nilai indeks keanekaragaman ini, menunjukkan kondisi komunitas sedang dalam proses suksesi yang demikian kuat untuk menjaga keseimbangan, yaitu menuju nilai indeks keanekaragaman 3,0–4,0. Nilai indeks keanekaragaman sebesar 2,00 adalah menunjukkan batas keseimbangan, jadi kondisi ini sangat rentan terhadap terjadinya kerusakan, antara lain kebakaran areal gambut.

Vegetasi yang dominan pada hasil analisis vegetasi ini, dapat dilihat pada indeks nilai pentingnya. Dalam hal ini ditunjukkan oleh jenis purun besar (Lepironia mucronata), dengan nilai indeks nilai penting sebesar 79,75%, disusul oleh pakis gambut (Blechnum orientale) dengan nilai indeks nilai pentingnya sebesar 56,80 dan kemudian diikuti oleh jenis pandan gambut (Pandanus ornatus) dengan indeks nilai pentingnya sebesar 44,83%. Berdasarkan harga Indeks Nilai Pentingnya (INP) setiap jenis tersebut, menunjukkan ada tiga spesies yang mendominasi vegetasi belukar di wilayah studi, berturut-turut yaitu: jenis purun besar, pakis gambut dan pandan gambut.

(45)

bergambut yang luar biasa. Harga INP terbesar ke dua terdapat pada jenis kayu perepat (Combretocarpus motleyi), yaitu dengan harga INP sebesar 46,12. Dan harga INP terbesar ketiga terdapat pada pakis gambut (Blechnum orientale) dengan INP sebesar 20,67. Hasil analisis dengan harga INP terbesar dapat dinyatakan ada tiga spesies yang mendominasi vegetasi di wilayah studi ini, yaitu: purun besar (Lepironia mucronata), kayu perepat (Combretocarpus motleyi) dan pakis gambut (Blechnum orientale).

(46)

Tabel 12. Hasil Analisis Vegetasi Belukar di Rawa Gambut, Lokasi Jalan Sepucuk, Kecamatan Pedamaran Timur

No. Nama Jenis Hasil Analisis

K KR F FR D DR INP HH

1 Blechnum orientale (pakis gambut) 565.000 38.948 1,00 17,54 4435 0,313 56,80 0,315

2 Lepironia mucronata (purun besar) 700.000 48.254 1,00 17,54 197.820 13.958 79,75 0,352

3 Melaluca leucadendra (gelam rawa) 5.000 0,345 0,20 3,51 361.728 25.522 29,38 0,228

4 Pandanus ornatus (pandan gambut) 135.000 9,306 0,32 5,61 423.900 29.909 44,83 0,283

5 Uncaria longiflora (kekait) 7.500 0,517 0,42 7,37 376.800 26.586 34,47 0,249

6 Fimbristylis annua (belidang) 3.500 2,413 0,64 11,23 275 0,019 13,66 0,141

7 Aporosa microcalyx (pelangas) 2.500 0,172 0,24 4,21 20 0,001 4,38 0,062

8 Melastoma malabathricum (seduduk) 75 0,005 0,18 3,16 2.885 0,203 3,37 0,050

9 Hevea brasiliensis (karet) 100 0,007 0,80 14,04 3.847 0,272 14,32 0,145

10 Paspalum conjugatum (kumpai) 300 0,021 0,34 5,96 5.887 0,415 6,40 0,082

11 Combretocarpus motleyi (perepat gambut)

175 0,012 0,56 9,83 3.9701 2,801 12,64 0,133

(47)

Tabel 13. Hasil Analisis Vegetasi pada Hutan Perepat di Rawa Gambut, Lokasi Jalan Sepucuk , Kecamatan Kayuagung

No. Nama Jenis Hasil Analisis

K KR F FR D DR INP HH

1. Combretocarpus motleyi (kayu perepat) 5.025 0,776 1,00 13,263 142.007 32,08 46,12 0,254

2. Melaleuca leucadendra (gelam rawa) 550 0,085 0,86 11,406 3.886 0,88 12,34 0,131

3. Eugenia variifolia (kayu samak) 200 0,031 0,42 5,570 1.413 0,32 5,92 0,077

4. Eugenia spicata (gelam tikus) 125 0,019 0,30 3,979 1.570 0,35 4,35 0,61

5. Vitex gamosepala (leban pacat) 100 0,015 0,12 1,592 1.256 0,28 1,89 0,032

6. Blechnum orientale (pakis gambut) 56.000 8,645 0,72 9,549 10.990 2,48 20,67 0,184

7. Lepironia mucronata (purun besar) 520.000 80,278 1,00 13,263 261.248 59,01 152,55 0,344

8. Axonopus compressus (rumput pait) 36.000 5,558 0,64 8,488 4.522 1,02 15,07 0,150

9. Fimbristylis annua (belidang) 24.000 3,705 0,56 7,427 6.782 1,53 12,66 0,134

10. Aporosa microcalyx (pelangas) 1.600 0,247 0,38 5,040 5.024 1,13 6,42 0,082

11. Melastoma malabathricum (seduduk) 350 0,054 0,44 5,836 275 0,06 5,95 0,078

12. Uncaria longiflora (kekait) 1.200 0,185 0,50 6,631 942 0,21 7,03 0,088

13. Paspalum conjugatum (kumpai) 200 0,031 0,20 2,653 25 0,01 2,69 0,042

14. Pandanus ornatus (pandan gambut) 600 0,093 0,16 2,122 1.884 0,43 2,65 0,042

15. Asplenium longissimum (pakis panjang) 1.800 0,278 0,24 3,183 904 0,20 3,66 0,054

Jumlah 647.750 100,0 7,54 100,0 442.728 100,0 300,0 1,75

(48)

B.2. Kondisi Biota Lahan Gambut

B.2.1. Danau Teloko, Kecamatan Kayuagung B.2.1.1. Biota Darat

Biota darat, meliputi semua makhluk hidup atau organisme yang menghuni atau hidup pada ekosistem daratan baik pada permukaan tanah maupun yang ada di dalam tanah bersifat immobil meliputi semua vegetasi maupun yang bersifat mobil meliputi semua satwa liar atau fauna yang ada. Pada masa lalu, hutan alam yang terdapat di kaki pegunungan bukit barisan hingga ke daerah pantai Pulau Sumatera adalah Hutan Primer dengan keanekaragaman yang tinggi. Namun, setelah itu, seiring dengan perkembangan kehidupan manusia, maka berlangsung pula kegiatan mengeksploitasi hutan dan penggunaan lahan oleh masyarakat maupun perusahaan, sehingga terjadilah degenerasi terhadap hutan alam tersebut dari waktu ke waktu. Sebagai akibat dari gangguan atau degenerasi ini, maka semakin bertambah jumlah spesies organisme yang berkategori langka dalam hutan alam tersebut. Apalagi, semakin hari hutan alam yang bersifat primer semakin tipis, maka masalah kelangkaan jenis flora dan fauna semakin menjadi persoalan yang sangat serius.

Wilayah Danau Teloko, merupakan danau rawa yang muka airnya berfluktuasi menurut musim penghujan atau kemarau. Sebagai danau rawa, debit air sangat tergantung pada pasokan air hujan yang berasal dari sungai-sungai kecil terdekat atau aliran air dari wilayah sekitar yang topografinya lebih tinggi ketika turun hujan.

(49)

terjadinya secara alami, sehingga jenis-jenis ikan dan vegetasi yang ada dalam perairan danau rawa tersebut sudah sangat beradaptasi dengan sifat fisik dan khemis badan air danau rawa tersebut.

Dengan kondisi lahan gambut yang terdapat di sekitar danau teloko, maka vegetasi yang kerap dijumpai antara lain: eceng gondok (Eichhornia crassipes), purun (Lepironia mucronata), kumpai (Panicum stagninum), teratai besar (Nelumbo nucifera), ketanan (Polygonum pulchrum), keladi (Colocasia esculenta), genjer (Limnocharis flava), belidang (Fimbristylis annua), petai air (Neptunia prostrata), kangkung (Ipomoea aquatica) dan rumput ganggang (Hydrilla verticillata). Vegetasi lainnya yang tumbuh pada tanah mengapung antara lain: senggani (Melastoma malabathricum) dan rumput pait (Axonopus compressus). Sementara itu jenis kayu yang masih ada dan bertahan pada kondisi tergenang adalah kayu gabus (Alstonia spp.).

Beberapa jenis unggas yang sering dijumpai adalah unggas yang beradaptasi dengan lingkungan akuatik, sehingga makanannya berupa jenis-jenis ikan kecil dan berbagai jenis Avertebrata dari Kelas Insecta maupun Kelas Annelida. Jenis unggas akuatik tersebut antara lain: keruwak (Amaurornis phoenicurus), ayaman (Gallinula chloropus), raja udang (Alcedo attis), bambangan (Ixobrychus cinnamomeus), kuntul kecil (Egretta garzetta), bangau totong (Leptoptilos javanicus), belibis (Dendrocygna javanica), elang bondol (Heliastur indus) dan bodol (Lonchura leucogastra).

B.2.1.2. Biota Perairan

(50)

Komunitas plankton secara garis besar dibedakan atas dua kelompok, yaitu fitoplankton dan zooplankton. Fitoplankton merupakan plankton yang bersifat produsen karena bersifat autotrof, yakni berkemampuan mengolah makanan dari bahan-bahan anorganik menjadi bahan-bahan organik via energi surya. Sedangkan kelompok zooplankton memanfaatkan bahan-bahan organik yang diproduksi oleh fitoplankton. Oleh karena itu kedua kelompok plankton tersebut saling tergantung. Dalam hal ini zooplankton memanfaatkan fitoplankton sebagai sumber energinya, sedangkan zooplankton berguna menekan pertumbuhan fitoplankton agar kepadatan populasinya di alam menjadi seimbang, sehingga tidak terjadi blooming populasi.

Hasil analisis komunitas plankton disajikan pada Tabel 14 dan hasil inventarisasi jenis-jenis nekton (terutama ikan) disajikan pada Tabel 15.

Tabel 14. Keanekaragaman dan Kelimpahan Populasi Spesies Plankton di Perairan Danau Teloko, Kabupaten Ogan Komering Ilir

No. Nama Kelompok dan Spesies

(51)

II. 1. Populasi plankton per liter:

2. Populasi phytoplankton per liter: 3. Populasi zooplankton per liter: 4. Keanekaan spesies plankton: 5. Keanekaan spesies fitoplankton: 6. Keanekaan spesies zooplankton: 7. Indeks Kemerataan (Shannon): E 8. Indeks Keanekaragaman Plankton (H):

76 Sumber: Data Primer, Juni 2009.

Keterangan: P1: Lebak Kecil Danau Teloko; P2. Lebak Besar Danau Teloko; P3: Lebak Sungai Danau Teloko; P4: Lebak Mahang Danau Teloko.

(52)

sebesar 2,86–3,24, yakni jauh di atas 2,00 menunjukkan tidak terdapat pencemaran dalam badan air Danau Teloko. Namun demikian, kelimpahan komunitas plankton rata-rata <100 individu/liter air menunjukkan kelimpahan sedang, yakni populasi masing-masing plankton tergolong tidak melimpah. Hal ini berkaitan dengan kondisi badan air yang rendah kandungan nutrisinya diperlihatkan dari kandungan N rendah.

Hasil analisis benthos yang dilakukan, menunjukkan bahwa pada substrat lumpur dasar Danau Teloko pada lokasi yang disampling ternyata tidak dijumpai organisme benthos. Hal ini kemungkinan berkaitan dengan faktor fisik dan khemis dalam badan air. Faktor fisik berkaitan dengan penetrasi cahaya yang sangat rendah, yaitu tidak mencapai ke dasar perairan. Kedalaman air >1 meter, namun penetrasi cahaya < 50 cm, sehingga bagian dasar badan air tidak mendapat cahaya, sehingga di tempat ini fotosintesis tidak optimal, sehingga pakan benthos dan ketersediaan oksigen terlarut tidak cukup untuk kebutuhan minimal komunitas benthos. Faktor khemis antara lain, kandungan oksigen terlarut, terutama pada bagian dasar perairan diperkirakan sangat rendah. Hal ini sesuai dengan kondisi bagian dasar perairan adalah gelap sesuai dengan warna air yang relatif keruh dan berwarna kecokelatan.

Sesuai dengan kondisi fisik dan khemis badan air pada ekosistem badan air tergenang, maka jenis-jenis ikan yang mungkin hidup dengan baik adalah jenis-jenis ikan yang adaptif dan tolerans luas terhadap kandungan oksigen terlarut, yakni mampu hidup pada kondisi defisit oksigen. Sehingga jenis-jenis ikan yang mampu pada kondisi defisit oksigen tersebut adalah ikan-ikan berwarna gelap (blackfishes) yang memiliki alat pernapasan tambahan semacam labirin, sehingga kekurangan oksigen terlarut dapat dicukupi dengan mengambil oksigen udara di permukaan air dengan alat labirin yang dimilikinya.

(53)

alaminya. Berdasarkan hasil survai dan jenis-jenis ikan yang tertangkap nelayan yang mencari ikan di Danau Teloko, maka jenis-jenis ikan (nekton) yang dijumpai pada badan air di Lebak atau Danau Teloko disajikan pada Tabel 15.

Tabel 15. Jenis Nekton di Perairan Danau Teloko, Tanjung Serang, Kayuagung

No. Nama lokal Nama Ilmiah Taksiran populasi

1. Sumber: Data Primer, Juni, 2009.

(54)

Kondisi Danau Teloko, Desa Tanjung Serang Kecamatan Kayuagung disajikan pada Gambar 9 dan 10.

Gambar 9. Danau Teloko, cukup luas tampak air bergelombang, Juni 2009.

Gambar

Gambar 2.  Sebaran Kebakaran Gambut Di Propinsi Sumatera Selatan
Tabel   4.  Faktor Penentu Kualitas Lahan
Gambar 3. Lokasi Penelitian di Kecamatan Kayuagung, Pedamaran, Pedamaran
Gambar 4.   Citra landsat Lokasi Penelitian pada Bentang Lahan Gambut di Hutan Produksi Terbatas Kayuagung
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan penelitian ini adalah untuk menentukan formula matematis yang digunakan dalam analisa perhitungan kekuatan pada disain sepeda lipat dengan memperhatikan kondisi dinamis

Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan data verifikasi dan validasi pengolahan/generasi pustaka data nuklir energi kontinu (ACE-file) temperatur tinggi

Ansoft Hfss 13 dapat digunakan untuk membuat rancangan antena yang dikehendaki dengan cara menggambarnya dalam bentuk plot yang ukuranya bisa disesuaikan sesuai

Untuk merealisasikannya Yayasan Dana Sosisl Al-Falah Surabaya memiliki program yang bekerjasama dengan beberapa panti asuhan yang berada di wilayah Surabaya.. Mereka

6 Pada bahasan ini kita akan membicarakan bagaimana agama sebagai fakta sosial berperan dalam membentuk solidaritas waria khususnya yang terjadi di Pondok Pesantren Waria

Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, Maka bagi mereka dua

Untuk mengurangi angka kematian akibat DBD, maka penelitian ini akan memodelkan waktu survival pasien penderita DBD yang dirawat di RSU Haji Surabaya dengan faktor-faktor

Sekolah merupakan tempat menuntut ilmu pengetahuan dan wadah untuk mengembangkan keterampilan dan institusi dalam proses perubahan sikap dan prilaku para peserta didik. Sekolah