• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III PERTANGGUNG JAWABAN PIDANA YANG MELIBATKAN PIHAK GEREJA 3.1 Pertanggungjawaban Pidana Badan Hukum 3.1.1 Unsur Pertanggungjawaban Pidana Badan Hukum - PERTANGGUNG JAWABAN PIDANA YANG MELIBATKAN PIHAK GEREJA SEBAGAI BADAN HUKUM Repository - UNAIR RE

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB III PERTANGGUNG JAWABAN PIDANA YANG MELIBATKAN PIHAK GEREJA 3.1 Pertanggungjawaban Pidana Badan Hukum 3.1.1 Unsur Pertanggungjawaban Pidana Badan Hukum - PERTANGGUNG JAWABAN PIDANA YANG MELIBATKAN PIHAK GEREJA SEBAGAI BADAN HUKUM Repository - UNAIR RE"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

BAB III

PERTANGGUNG JAWABAN PIDANA YANG MELIBATKAN PIHAK GEREJA

3.1 Pertanggungjawaban Pidana Badan Hukum

3.1.1 Unsur Pertanggungjawaban Pidana Badan Hukum

Berbicara tentang pertanggung jawaban pidana badan hukum, tidak dapat

dilepaskan dengan tindak pidana. Walaupun dalam pengertian tindak pidana,

pertanggung jawaban tidak termasuk di dalamnya. Tindak pidana hanya

menunjukkan masalah dapat tidak dapatnya dipidana perbuatan pidana atau tindak

pidana. Sedangkan Pertanggungjawaban pidana membahas dapat tidak dapat

dipidana pelaku tindak pidana1.

Pandangan di atas sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh

Moelyatno2, yang membedakan dengan tegas “dapat dipidananya perbuatan” dan

“dapat dipidananya orang”, dan sejalan dengan itu Moelyatno memisahkan antara pengertian “perbuatan pidana” (criminal act) dan “pertanggungan jawab pidana”

(criminal responsibility atau criminal liability).

Asas utama dalam pertanggung jawaban pidana adalah asas kesalahan

(geen straf zonder schuld) pada pelaku. Menurut Didik Endro, unsur kesalahan

meliputi 3:

a. Melakukan Tindak Pidana;

1

Didik Endro P, Hukum Pidana, Airlangga University Press, Surabaya, 2013, h. 63.

2

Sudarto, Hukum Pidana I, Cetakan ke II, Yayasan Sudarto, Semarang, 1990, h. 40.

3

(2)

Yaitu seseorang terbukti melakukan perbuatan atau kegiatan yang

telah diatur oleh peraturan tindak pidana (asas Legalitas).

b. Diatas umur tertentu dan mampu bertanggung jawab;

Yaitu seseorang melakukan tindak pidana ketika berusia > 12 tahun

(lebih atau sama dengan dua belas tahun) (Pasal 21 Undang-undang

No. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak).

c. Dengan Kesengajaan atau kealpaan;

Yaitu seseorang melakukan tindak pidana dengan maksud, dengan

mengetahui, dengan berkehendak, dengan perencanaan, dengan

tujuan, dengan pemaksaan, dengan kekerasan dan dengan

memalsukan (kesengajaan) serta dengan kurang berhati-hati atau

praduga-duga (kealpaan).

d. Tidak ada Alasan Pemaaf.

Yaitu seseorang yang melakukan perbuatan pidana dan perbuatan

tersebut dapat dipidana, misalnya bukan karena pembelaan pada

pasal 49 ayat (2) KUHP.

Pada Bab II telah dijelaskan bahwa badan hukum dapat menjadi subyek

hukum pidana. Dapat dimasukkannya badan hukum sebagai subyek hukum pidana

tidak terlepas dari teori “white-collar crime” dari Sutherland4 . Teori ini

menjelaskan bahwa dalam suatu tindak pidana dapat melibatkan manusia-manusia

terhormat dan terpelajar dalam suatu komunitas atau negara. Dalam suatu badan

hukum, seringkali dipimpin oleh manusia-manusia terhormat dan terpelajar ini

4

(3)

yang bertindak secara kurang atau tidak bermoral bersama dengan para

pengurusnya.

Permasalahan dalam memasukan badan hukum sebagai subyek hukum

adalah, apakah badan hukum itu mempunyai mulut, mata, pikiran bahkan tangan

dan kaki. Namun . J.E. Sahetapy berpendapat yang dilupakan ialah bahwa sejak

dahulu, terlepas dari kejahatan badan hukum dalam kemasan baru, badan hukum

dalam makna atau pengertian dan dalam konteks pada zaman dahulu, sudah dapat

dipidana. Meskipun waktu berubah dan pandangan beralih, namun esensi

kejahatan korporasi tetap sama yaitu, dapat menimbulkan kerugian yang besar

baik secara fisik, ekonomi maupun biaya sosial, sehingga yang menjadi korban

tidak hanya orang perorangan melainkan juga masyarakat dan negara. Jadi dalam

bidang hukum pidana, badan hukum sebagai subyek hukum pidana berarti dapat

melahirkan pertanggung jawaban pidana5.

Pertanyaannya sekarang, apakah badan hukum dapat memenuhi unsur

pertanggung jawaban pidana yaitu kesalahan? Menurut Barda Nawawi Arief

dalam Badan Hukum unsur kesalahannya adalah kesalahan yang tidak berlaku

mutlak, sehingga pertanggungjawaban pidana mengacu pada doktrin strict

liability dan vicarious liability yang pada prinsipnya merupakan penyimpangan

dari asas kesalahan6.

Strict liability adalah perbuatan seseorang sudah dapat dipidana apabila

ia telah melakukan perbuatan sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang

5 Ibid. 6

(4)

tanpa melihat bagaimana sikap batinnya. Pertanggungjawaban ini sering diartikan

dengan pertanggungjawaban tanpa kesalahan (liability without fault).

Vicarious liability sering diartikan sebagai pertanggungjawaban menurut

hukum seseorang atas perbuatan salah yang dilakukan oleh orang lain, secara

singkat sering diartikan “pertanggungjawaban pengganti”. Pertanggung jawaban

pengganti ini bila dalam badan hukum adalah kesalahan dari pengurus atau

anggota direksi badan hukum yang bertindak atas nama badan hukum.

Persamaan dan perbedaan antara strict liability dan vicarious liability

adalah sebagai berikut : perbedaannya adalah strict liability crimes pertanggung

jawabannya bersifat langsung dikenakan pada pelakunya, sedangkan vicarious

liability pertanggung jawaban pidananya bersifat tidak langsung, sedangkan

persamaannya terletak pada, baik strict liability maupun vicarious liability tidak

mensyaratkan adanya mens rea atau unsur kesalahan pada orang yang dituntut

pidana7.

Sehingga dalam pertanggungjawaban badan hukum, asas kesalahan

bukan suatu hal yang mutlak harus diberlakukan namun juga tetap tidak

ditinggalkan dengan konstruksi kesalahan badan hukum tersebut, karena

kesalahan korporasi dapat berdasarkan kesalahan pengganti berasal dari kesalahan

pengurus atau anggota direksi yang bertindak atas nama atau untuk kepentingan

badan hukum.

Konsekuensi diterimanya asas kesalahan pada badan hukum (meskipun

tidak mutlak berlaku), maka seperti halnya manusia alamiah, badan hukum juga

7Orpa Ganefo Manuain, “Pertanggungjawaban pidana korporasi dalam tiindak pidana

(5)

memiliki kesempatan membuktikan alasan yang dapat menghapuskan kesalahan.

Bila dalam unsur kesalahan manusia alamiah, alasan yang dapat menghapuskan

kesalahannya adalah alasan pemaaf, maka alasan ini tidak selalu bisa menjadi

alasan yang dapat menghapuskan kesalahan dalam badan hukum.

Alasan yang dapat menghapuskan kesalahan badan hukum adalah dengan

mendasarkan pada ketiadaan semua kesalahan (afwezigheid van alle schuld). Hal

ini dikarenakan alasan-alasan pemaaf, seperti daya paksa (overmacht) tidak selalu

bisa diperoleh dari alasan pemaaf manusia alamiah (natuurlijk persoon) yang

bertindak untuk dan atas nama korporasi. Selain itu alasan pemaaf yang berupa

ketidakmampuan bertanggung jawab (pasal 44 KUHP) dan pembelaan terpaksa

yang melampaui batas (pasal 49 ayat 2 KUHP) adalah alasan yang mensyaratkan

keadaan tertentu, yang mutlak hanya dapat terjadi pada diri manusia8.

3.1.2 Tindak Pidana yang Menimbulkan Pertangungjawaban Badan Hukum menurut Peraturan Perundang-Undangan

Pada bab sebelumnya dijelaskan bahwa KUHP (Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana) tidak mengakui Badan Hukum sebagai subyek hukum pidana. Hal

ini ditegaskan dalam Pasal 59 dimana apabila ada tindak pidana yang dilakukan

oleh suatu badan hukum, maka yang harus mempertanggung jawabkan tindak

pidana tersebut adalah pengurus atau komisarisnya. Sehingga para pengurus atau

komisaris badan hukum sebagai subyek hukum menggantikan badan hukum.

8

(6)

Tindak pidana yang menimbulkan pertanggungjawaban badan hukum

dapat ditemukan dalam peraturan perundang-undangan di luar KUHP yaitu,

peraturan perundang-undangan pidana khusus (lex specialis) dimana mengakui

Badan Hukum sebagai subyek hukum pidana. Dalam perkembangan hukum

pidana Indonesia, terdapat tiga sistem badan hukum sebagai subyek tindak pidana,

yaitu9 :

1. Pengurus Badan Hukum sebagai pembuat, maka penguruslah yang

bertanggung jawab;

2. Badan Hukum sebagai pembuat, maka pengurus yang bertanggung

jawab;

3. Badan Hukum sebagai pembuat dan yang bertanggung jawab.

A. Pengurus Badan Hukum sebagai pembuat, maka penguruslah yang bertanggung jawab

Sistem pertanggungjawaban ini ditandai dengan usaha-usaha agar sifat

tindak pidana yang dilakukan badan hukum dibatasi pada perorangan (natuurlijk

persoon). Sehingga apabila tindak pidana terjadi dalam lingkungan badan hukum,

maka tindak pidana itu dianggap dilakukan oleh pengurus badan hukum10.

Pada sistem ini, pengurus-pengurus yang tidak memenuhi

kewajiban-kewajiban yang sebenarnya merupakan kewajiban-kewajiban badan hukum dapat dinyatakan

bertanggung jawab. Contoh ketentuan pidana yang menganut sistem ini

sesungguhnya lahir pada Pasal 59 KUHP. Meskipun KUHP tidak menyatakan

9

Ibid, h. 13.

10

(7)

secara tegas bahwa badan hukum sebagai subyek tindak pidana namun, melalui

pasal ini menunjukan bahwa KUHP mengakui adanya pertanggungjawaban

pidana yang dilakukan badan hukum, karena Pasal 59 KUHP memuat alasan

penghapusan pertanggungjawaban pidana bagi pihak-pihak badan hukum yang

tidak ikut campur permasalahan badan hukumnya.

B. Badan Hukum sebagai pembuat, maka pengurus yang bertanggung jawab

Pertanggung jawaban ini merupakan bentuk pertanggung jawaban pengganti

yang dinyatakan tegas oleh peraturan perundang-undangan. Syaratnya, badan

hukum melakukan tindak pidana karena kesengajaan atau kelalaian

pengurus/pemimpin badan hukum dalam mengurus badan hukum secara

sesungguhnya menurut peraturan perundang-undangan.

Contoh undang-undang yang menganut sistem ini antara lain :

Undang-undang No. 22 tahun 1957 tentang penyelesaian Perselisihan Perburuhan (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 1957 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1227)

Pasal 27 ayat 1 :

“Jika sesuatu hal yang diancam dengan

hukuman dalam undang-undang ini dilakukan oleh badan hukum atau perserikatan, maka tuntutan ditujukan atau hukuman dijatuhkan terhadap pengurus atau pemimpin badan hukum

atau perserikatan itu”

Undang-undang Nomor. 38/Prp. tahun 1960 tentang Penggunaan dan Penetapan Luas Tanah untuk tanaman tertentu (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 120 Tahun 1960)

(8)

Undang-undang Nomor 2

Tahun 1981 tentang Metrologi

Legal (Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 11

Tahun 1982)

Pasal 34 yang merumuskan bahwa sekalipun

badan hukum diakui dapat melakukan tindak

pidana, namun yang bertanggungjawab adalah

pengurus dari badan hukum, sekutu aktif,

pengurus yayasan, wakil atau kuasa di

Indonesia dari perusahaan yang berkedudukan

di luar wilayah Indonesia, dan mereka yang

sengaja memimpin perbuatan yang

bersangkutan.

Undang-undang Nomor 3

tahun 1982 tentang Wajib

Daftar Perusahaan (Lembaran

Negara Republik Indonesia

Nomor 51 Tahun 1982 dan

Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor

3234)

Pasal 35 mengakui bahwa badan hukum

sebagai pelaku tindak pidana, namun

pertanggungjwaban pidana tetap dibebankan

kepada pengurus badan hukum tersebut.

C. Badan Hukum sebagai pembuat dan yang bertanggung jawab

Pertanggung jawaban ini merupakan bentuk pertanggung jawaban secara

langsung bagi badan hukum. Pemidanaan dalam sistem pertanggungjawaban ini

harus sesuai dengan sifat badan hukum yang bersangkutan. Tujuan dengan

mempidana badan hukum dengan jenis dan berat sesuai dengan sifat badan hukum

adalah agar badan hukum dapat menaati peraturan yang bersangkutan.

Contoh undang-undang yang menganut sistem ini antara lain :

Undang-undang Nomor. 7/Drt/1995 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi (Lembaran Negara Nomor 27 dan

Pasal 15 ayat 1

(9)

Tambahan Lembaran Negara Nomor 801 Tahun 1955 yang telah dicetak ulang)

hukum, perseroan, suatu perikata orang yang lainnya atau suatu yayasan, maka tuntutan pidana

dilakukan… “

terorisme dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi, maka tuntutan dan penjatuhan pidana dilakukan terhadap korporasi dan/

atau pengurusnya”

Undang-undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian

(Tambahan lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5618)

Pasal 81 ayat (1)

“Dalam hal tindak pidana

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73, Pasal 75, Pasal 76, Pasal 77, Pasal 78 atau Pasal 80 dilakukan oleh korporasi, pidana

dijatuhkan terhadap korporasi …”

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 perubahan atas undang-undang nomor 31 tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 134 Tambahan Lembaran Negara Nomor 4150)

Pasal 20 ayat (1)

“Dalam hal tindak pidana

dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi, maka tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan atau

pengurusnya”

Melihat penjelasan diatas dapat terlihat bahwa tidak semua tindak pidana

bisa dilakukan oleh suatu badan hukum sehingga menimbulkan pertanggung

jawaban. Meskipun pada prinsipnya badan hukum bisa dipertanggungjawabkan

sama dengan orang pribadi, namun ada beberapa pengecualian, yaitu11 :

11

(10)

1. dalam perkara-perkara yang menurut kodratnya tidak dapat

dilakukan oleh badan hukum, misalnya bigami, pemerkosaan,

sumpah palsu, serta;

2. dalam perkara yang pemidanaannya tunggal berupa pidana penjara

atau pidana mati.

Pertanggungjawaban pidana adalah pertanggungjawaban orang terhadap

tindak pidana yang dilakukannya. Jadi, yang dipertanggungjawabkan orang itu

adalah tindak pidana yang dilakukannya12. Pertanggungjawaban pidana terhadap

pelaku perbuatan pidana dalam hal ini adalah berupa sanksi yang merupakan

konsekuensi, karena unsur-unsur/ciri-ciri pidana adalah13 :

1. Pidana pada hakekatnya merupakan satu pengenaan penderitaan atau

nestapa/akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan.

2. Pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang

mempunyai kekuasaan (oleh yang berwenang).

3. Pidana yang dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan

tindak pidana menurut undang-undang.

Sanksi pemidanaan dalam KUHP menganut sistem dua jalur (double

track system), maksudnya disamping pidana dapat pula dikenakan berbagai

tindakan kepada pelaku. Sistem ini dapat juga diterapkan dalam

pertanggungjawaban badan hukum sebagai pelaku tindak pidana. Sehingga sesuai

dengan motif-motif kejahatan badan hukum, sanksi yang bersifat ekonomis dan

12

Chairul Hulda, Dari ‘Tiada Pidana Tanpa Kesalahan’ Menuju Kepada ‘Tiada

Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan’, Prenada Media, Jakarta, 2006, h. 68.

13

(11)

administratif dinilai lebih sesuai apabila diterapkan dalam pertanggungjawaban

badan hukum sebagai pelaku tindak pidana.

Sanksi yang bersifat ekonomi dan administratif tersebut dapat kita

temukan dalam Undang-undang Darurat No. 7 tahun 1995 tentang Pengusutan,

Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi. Dimana di samping pidana

denda, badan hukum dapat pula dijatuhi :

a. Pidana Tambahan seperti penutupan seluruh atau sebagian badan

hukum, pengumuman putusan hakim, perampasan barang-barang

tidak tetap, baik yang berwujud dan tidak berwujud; atau

b. Tindakan tata tertib seperti penempatan badan hukum di bawah

pengampuan atau pengawasan, kewajiban membayar uang

jaminan dan kewajiban membayar sejumlah uang sebagai

pencabutan keuntungan.

Dari uraian diatas maka, sanksi yang bisa dijatuhkan pada badan hukum

antara lain pidana denda; pidana tambahan; tindakan tata tertib; tindakan

administratif; ditambah sanksi perdata atau ganti kerugian14. Tentunya sanksi ini

tetap harus menyesuaikan dengan kriteria masing-masing badan hukum.

3. 2 Pertanggung Jawaban Gereja Sebagai Badan Hukum 3.2.1 Pertanggung jawaban pihak Gereja

Pada pembahasan mengenai status badan hukum dalam suatu gereja,

yang menjadi pihak dalam kepengurusan gereja adalah pendeta, penatua dan

14

(12)

majelis (jemaat, klasis, sinode, sinode wilayah) serta dengan anggota yaitu jemaat

itu sendiri. Dalam sebuah AD-ART Gereja, pertanggung jawaban jemaat yang

diatur adalah sebatas pertanggungjawaban tugas dan tanggung jawab pendeta,

penatua dan majelis jemaat, baik itu dalam lingkup jemaat, klasis, sinode wilayah

maupun sinode dalam lingkup pembangunan Gereja15. AD-ART Gereja tidak

membahas terkait pertanggung jawaban pidana dari pihak gereja yang telah

melakukan tindak pidana yang merugikan gereja.

Dalam Bab sebelumnya dijelaskan bahwa Gereja secara yuridis

merupakan sebuah perkumpulan berbentuk badan hukum yang termasuk dalam

Organisasi Kemasyarakatan. Menurut Undang-undang nomor 8 tahun 1985

sebagaimana diubah dengan undang-undang nomor 17 tahun 2013 tentang

Organisasi Kemasyarakatan selanjutnya disingkat Undang-undang Ormas,

memuat beberapa kewajiban dan larangan bagi organisasi masyarakat yang yaitu :

Kewajiban Pasal 21

a. melaksanakan kegiatan sesuai dengan tujuan organisasi;

b. menjaga persatuan dan kesatuan bangsa serta keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;

c. memelihara nilai agama, budaya, moral, etika, dan norma kesusilaan serta memberikan manfaat untuk masyarakat;

d. menjaga ketertiban umum dan terciptanya kedamaian dalam masyarakat;

e. melakukan pengelolaan keuangan secara transparan dan akuntabel; dan

f. berpartisipasi dalam pencapaian tujuan negara.

Larangan Pasal 59

15

Gereja Kristen Indonesia,2003, Tata Dasar Gereja Kristen Indonesia Nomor : 8.

(13)

a. menggunakan bendera atau lambang yang sama dengan bendera atau lambang negara Republik Indonesia menjadi bendera atau lambang Ormas; b. menggunakan nama, lambang, bendera, atau atribut

yang sama dengan nama, lambang, bendera, atau atribut lembaga pemerintahan;

c. menggunakan dengan tanpa izin nama, lambang, bendera negara lain atau lembaga/badan internasional menjadi nama, lambang, atau bendera Ormas;

d. menggunakan nama, lambang, bendera, atau simbol organisasi yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan nama, lambang, bendera, atau simbol organisasi gerakan separatis atau organisasi terlarang; atau

e. menggunakan nama, lambang, bendera, atau tanda gambar yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan nama, lambang, bendera, atau tanda gambar Ormas lain atau partai politik. a. melakukan tindakan permusuhan terhadap suku,

agama, ras, atau golongan;

b. melakukan penyalahgunaan, penistaan, atau penodaan terhadap agama yang dianut di Indonesia;

c. melakukan kegiatan separatis yang mengancam kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia; d. melakukan tindakan kekerasan, mengganggu

ketenteraman dan ketertiban umum, atau merusak fasilitas umum dan fasilitas sosial; atau

e. melakukan kegiatan yang menjadi tugas dan wewenang penegak hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

a. menerima dari atau memberikan kepada pihak mana pun sumbangan dalam bentuk apa pun yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; atau

b. mengumpulkan dana untuk partai politik.

c. Ormas dilarang menganut, mengembangkan, serta menyebarkan ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila.

(14)

a. peringatan tertulis (Kesatu, Kedua dan Ketiga);

b. penghentian bantuan dan/atau hibah;

c. penghentian sementara kegiatan; dan/atau

d. pencabutan surat keterangan terdaftar atau pencabutan status badan hukum. (dijatuhkan setelah adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap mengenai pembubaran Ormas berbadan hukum dan dilaksanakan oleh Menteri Hukum dan HAM) .

Sanksi Administratif tersebut dilaksanakan secara bertahap

Dalam penjelasan diatas maka dapat diketahui bahwa sanksi administratif

dapat dienakan kepada Ormas berbadan hukum apabila Ormas tersebut secara

langsung bertindak tidak memenuhi kewajiban dan melakukan larangan

sebagaimana diatur dalam Undang-undang Ormas, Jadi apabila Gereja yang

memiliki status badan hukum tidak memenuhi kewajiban dan melakukan larangan

sebagaimana diatur dalam Undang-undang Ormas, maka Gereja tersebut juga

dapat sepenuhnya dikenakan sanksi administratif.

Lalu bagaimana pertanggungjawaban pidana Gereja sebagai bagian dari

Organisasi masyarakat yang berbadan hukum? Ternyata, dalam undang-undang

Ormas, tidak banyak juga diuraikan mengenai sanksi pemidanaan, namun hal

tersebut bukan berarti tidak ada. Undang-undang Ormas membahas sanksi pidana

pada Pasal 81 ayat (1), yaitu :

“Setiap orang yang merupakan anggota atau pengurus Ormas, atau

anggota atau pengurus ormas yang didirikan oleh warga negara asing, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama melakukan tindak pidana, dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan

(15)

Dari pasal tersebut memberikan titik terang, bahwa organisasi

masyarakat dapat melakukan tindak pidana melalui anggota atau pengurus ormas

itu sendiri, maka sistem pertanggung jawaban pidana pada ormas menganut

sistem Pengurus Badan Hukum sebagai pembuat, maka penguruslah yang

bertanggung jawab. Karena, dalam organisasi masyarakat yang berbentuk badan

hukum dapat sebagai pembuat dan bertanggung jawab penuh, namun hanya dalam

urusan pelanggaran dalam hukum administratif. Hal tersebut juga berlaku bagi

Gereja, yang secara yuridis berdiri sebagai bagian dari organisasi masyarakat

berbentuk perkumpulan yang berbadan hukum.

Pertanggungjawaban pihak Gereja dapat ringkas sebagai berikut menurut

undang-undang Ormas :

Sanksi Administratif, antara lain : (berdasarkan Pasal 61 UU Ormas

dan Surat Pendaftaran Gereja)

a. peringatan tertulis (Kesatu, Kedua dan Ketiga);

b. penghentian bantuan dan/atau hibah;

c. penghentian sementara kegiatan; dan/atau

d. pencabutan surat keterangan terdaftar atau pencabutan status badan hukum. (dijatuhkan setelah adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap mengenai pembubaran Ormas berbadan hukum dan dilaksanakan oleh Menteri Hukum dan HAM dan

(16)

pemidanaan bagi anggota atau pengurus badan hukum).

Jemaat yang merupakan anggota atau pengurus Gereja baik

sendiri-sendiri maupun bersama-sama melakukan tindak pidana yang berkaitan dengan kepentingan

Gereja

Maka, dapat dikenakan Sanksi Pidana (Bagi anggota dan pengurus)

dan Sanksi Administratif (bagi status badan hukum Gereja sesuai Undang-undang ormas)

3.2.2 Pertanggungjawaban pidana yang melibatkan pihak Gereja

Berbicara mengenai pertanggungjawaban pidana yang melibatkan pihak

gereja, berarti berbicara juga mengenai permasalahan di dalam sebuah Gereja.

Mengutip dari pendapat J.E. Sahetaphy, bahwa orang beragama yang melakukan

tindak pidana berarti orang tersebut tidak menjalankan agamanya dan belum

bertobat16. Sehingga Gereja sebagai wujud tempat keagamaan bagi umat Kristiani

seharusnya hadir sebagai suatu subyek yang suci dan bersih dari segala tindak

pidana. Namun dalam perkembangan zaman, misi Gereja yang membawa

umatNya ke jalan kebenaran seringkali diubah oleh para pihaknya menjadi misi

yang mencari keuntungan. Hal inilah yang seharusnya juga dikerjakan oleh Gereja,

Gereja harus tegas terhadap pelaku-pelaku tindak pidana di dalamnya, jangan

diam bahkan disembunyikan dan gampang mewajarkan tindakan-tindakan dosa

hanya karena harta duniawi yang dinilai bisa membantu gereja17.

16

Tabloid Reformata, J.E. Sahetapy, Koruptor itu Orang yang Belum Bertobat, edisi 144 Oktober 2011. h. 19

(17)

Pengaturan pertanggungjawaban pidana terhadap Gereja sebagai badan

hukum yang melakukan tindak pidana sama halnya dengan gereja tersebut telah

melakukan larangan sebagaimana dalam undang-undang ormas sehingga

pengaturan sanksi nya adalah sanksi administratif pada undang-undang ormas.

Namun dimungkinkan pula peraturan sanksi pidana yang diatur untuk badan

hukum murni dalam peraturan pidana secara khusus. Karena beberapa peraturan

pidana yang mengatur pertanggungjawaban bagi badan hukum penjatuhan sanksi

nya adalah menggunakan sanksi administratif.

Sedangkan pengaturan bagi pihak Gereja yaitu anggota dan pengurus

Gereja yang melakukan tindak pidana yang tanpa melibatkan kepentingan Gereja

dikenakan pengaturan sanksi baik yang diatur dalam KUHP maupun yang diatur

secara khusus dalam peraturan perundang-undangan yang lain.Dan

pertanggungjawaban pihak tersebut dilaksanakan atau ditanggung secara pribadi.

Jadi tindakan pidana yang dilakukan oleh pengurus gereja atas nama

kepentingan gereja adalah pertanggung jawaban pidana dari Gereja, namun

apabila tindakan pengurus tersebut tidak atas nama Gereja atau atas nama

pribadinya, maka pertanggung jawaban pidana pengurus tersebut ditanggung

secara pribadi tanpa adanya melibatkan gereja.

Namun ada beberapa Gereja yang mengatur persidangan secara gerejawi

terhadap pengurusnya, apabila pengurusnya melakukan pelanggaran atau

kejahatan dalam suatu tindak pidana. Sehingga pengurus tersebut di jatuhi sanksi

gerejawi (berupa pencopotan jabatan) baru kemudian diserahkan ke aparat

(18)

Berikut adalah contoh kasus-kasus yang terjadi dalam lingkungan gereja.

a. Kasus Pertanggungjawaban pidana pihak Gereja secara Pribadi : Pada tanggal 2 Februari 2010, SH seorang pendeta dari Gereja HKBP

Pematang Siantar, Tobasa, Sumatera Utara dilaporkan oleh 19 orang

mahasiswi calon pendeta yang dibinanya di STT Biblevrow Pematang

Siantar atas kasus pelecehan seksual dengan modus meditasi. Pelecehan

seksual tersebut dilakukannya dilingkungan kampus dan Gereja sejak

November 2009 hingga pertengahan Januari 201018.

Unsur-unsur yang dilakukan oleh Pendeta SH adalah : Pasal 289 KUHP

“Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, diancam karena melakukan perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun.”

Unsur-unsur tindak pidana ini adalah:

a. Barangsiapa : pendeta SH dari Gereja HKBP Pematang Siantar

b. dengan kekerasan atau ancaman kekerasan : pelaku memiliki kuasa sebagai pengajar bagi korban yang merupakan mahasiswi

calon pendeta, sehingga apa yang diajarkan tidak bisa dibantah

oleh para korban.

18

Tabloid Reformata, Paul Mokugoru, Mahasiswi Sekolah Alkitab Dilecehkan Pendeta,

(19)

c. memaksa seorang untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul : dengan modus meditasi yang diajarkan oleh pelaku kepada korban, membuat korban tidak

sadar telah mengalami pelecehan seksual.

Atas perbuatannya Pendeta SH tersebut dapat dikenai Pasal 289 KUHP +

pencopotan Jabatan kependetaan.

Pencopotan Jabatan Kependetaan adalah bentuk sanksi dari Lembaga

Gerejawi dimana mengikuti mekanisme dari gereja tempat pendeta

tersebut dikukuhkan melalui rapat pimpinan dan pengurus Gereja, dalam

kasus ini Gereja HKBP Pematang Siantar, Tobasa, Sumatera Utara yang

berwenang memberikan sanksi berupa pemecatan jabatan Gereja dari

Pendeta SH.

b. Kasus Pertanggungjawaban pidana Gereja yang dilakukan pihak gereja :

Pada tanggal 25 April 2013 Penyidik Subdit II/Hardabangta Direktorat

Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda Jawa Timur menetapkan

Yusak sebagai tersangka kasus dugaan pemalsuan dokumen pengalihan

aset GBI Malang. Pendeta Yusak terbukti telah melakukan pengalihan

(20)

disinyalir atas persetujuan majelis jemaat GBI Malang, akibatnya Gereja

dituduh tidak melakukan keterbukaan informasi aset gerejanya19.

Unsur- unsur tindak pidana yang dilakukan oleh pendeta

Pasal 263 KUHP:

“(1) Barangsiapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu, diancam jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama enam tahun.

(2) Diancam dengan pidana yang sama, barangsiapa dengan sengaja memakai surat palsu atau yang dipalsukan seolah-olah sejati, jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan

kerugian.”

unsur-unsur tindak pidana ini adalah:

1) Barangsiapa : Pendeta Yusak dari GBI Malang

2) Membuat surat palsu atau memalsukan surat : pemalsuan dokumen pengalihan aset GBI Malang

3) Yang menerbitkan suatu hak, suatu perjanjian/kewajiban atau sesuatu pembebasan utang, atau yang boleh dipergunakan sebagai keterangan sesuatu perbuatan : Pendeta Yusak melakukan pemalsuan agar terjadi pengalihan aset gereja kedalam

19

(21)

aset pribadi atas namanya sehingga dapat digunakan untuk

kepentingan pribadinya.

4) Dengan maksud akan menggunakan atau menyuruh orang lain menggunakan surat-surat itu seolah-olah surat itu asli dan tidak dipalsukan : Pemalsuan dokumen pengalihan asset atas persetujuan majelis jemaat gereja.

5) Dapat mendatangkan sesuatu kerugian : Jemaat GBI Malang mengalami kerugian karena aset Gereja dikuasai oleh Pendeta

Yusak.

Unsur- unsur tindakan yang dilakukan oleh Gereja :

Gereja tidak melakukan kewajiban sebagaimana diatur dalam Pasal 21

huruf (e) Undang-undang Organisasi Masyarakat, yaitu “melakukan

pengelolaan keuangan secara transparan dan akuntabel”.

Akibatnya Gereja tersebut dapat dikenai sanksi administratif dalam Pasal 61 Undang-Undang Ormas, yaitu :

a. peringatan tertulis (Kesatu, Kedua dan Ketiga);

b. penghentian bantuan dan/atau hibah;

c. penghentian sementara kegiatan; dan/atau

d. pencabutan surat keterangan terdaftar atau pencabutan status badan

(22)

memperoleh kekuatan hukum tetap mengenai pembubaran Ormas

berbadan hukum dan dilaksanakan oleh Menteri Hukum dan HAM) .

Atas perbuatan pidana yang dilakukan Pendeta Yusak yang mendapat

persetujuan dari Gereja (pengurus gereja), maka pertanggungjawaban

pidana tersebut dapat ditanggung oleh gereja sebagai bagian dari

Organisasi Masyarakat berbentuk Perkumpulan Badan Hukum, namun

pertanggungjawaban yang bisa ditanggung oleh gereja hanya sebatas

pertanggungjawban administrasi sebgaimana diatur dalam

Undang-undang Ormas sedangkan pendeta serta pengurus gereja (apabila terbukti

Gambar

gambar yang mempunyai persamaan pada pokoknya

Referensi

Dokumen terkait

Kedua-dua penapis mi yang dinamakan sebagai penapis Median Pensuisan Statistik Dwi- gelongsor (Dual Sliding Statistics Switching Median filter (MPSDG)) dan penapis Median

Headline yang digunakan detik cenderung menggunakan kata-kata yang lebih formal, beberapa berita dari detik juga ada yang berjudul “3 Menteri KIB Jadi

perencanaan, melaksanakan pengajaran, dan memberi balikan 2 Muhammad Ali, 1992:9) Dalam suatu perencanaan guru diharapkan merumuskan tujuan yang hendak dicapai,

Alat ukur Orientasi Pembelajaran Matematik (OPM) digunakan untuk mengukur tingkah laku individu berdasarkan lima gagasan iaitu sikap pembelajaran, kebimbangan, tabiat

Rifma, Optimalisasi Pembinaan Kompetensi Pedagogik Guru, Jakarta.. bekerjasama antara satu dengan yang lain, diantaranya seperti tujuan, materi, metode, alat dan evaluasi

Guru membagi kelompok-kelompok belajar secara acak, tanpa membedakan ras, suku budaya, agama dan status sosial. Pembentukan kelompok secara heterogen tersebut agar

Pada tanggal 17 Oktober 2003, berdasarkan kesepakatan antara Perusahaan dan YPP pelunasan piutang tersebut dilakukan dengan empat kali angsuran masing-masing sebesar

Pertanyaan penelitian yang dikaji adalah (1) Bagaimana tipologi komunitas penggemar burung; (2) Bagaimana konstruksi sosial dan ruang-ruang interaksi sosial antar