• Tidak ada hasil yang ditemukan

I NYOMAN JAGAT MAYA PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "I NYOMAN JAGAT MAYA PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR"

Copied!
162
0
0

Teks penuh

(1)

TESIS

PENYUSUNAN BASIS DATA JALAN NASIONAL

BERBASIS SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS

(STUDI KASUS: JALAN NASIONAL PROVINSI BALI

DI BAWAH TANGGUNG JAWAB SNVT P2JJ

METROPOLITAN DENPASAR)

I NYOMAN JAGAT MAYA

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2011

(2)

TESIS

PENYUSUNAN BASIS DATA JALAN NASIONAL

BERBASIS SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS

(STUDI KASUS: JALAN NASIONAL PROPINSI BALI

DI BAWAH TANGGUNG JAWAB SNVT P2JJ

METROPOLITAN DENPASAR)

I NYOMAN JAGAT MAYA NIM 0791561001

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI TEKNIK SIPIL

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2011

(3)

PENYUSUNAN BASIS DATA JALAN NASIONAL

BERBASIS SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS

(STUDI KASUS: JALAN NASIONAL PROPINSI BALI

DI BAWAH TANGGUNG JAWAB SNVT P2JJ

METROPOLITAN DENPASAR)

Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister Teknik pada Program Magister, Program Studi Teknik Sipil,

Program Pascasarjana, Universitas Udayana

I NYOMAN JAGAT MAYA NIM. 0791561001

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI TEKNIK SIPIL

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2011

(4)

iii

Lembar Pengesahan

TESIS INI TELAH DISETUJUI PADA TANGGAL 16 AGUSTUS 2011

Mengetahui, Pembimbing I,

I P. Alit Suthanaya, ST, MEngSc. Ph.D. NIP. 19690805 199503 1 001

Pembimbing II,

Dw. Md. Priyantha Wedagama, ST, MT, MSc, Ph.D. NIP. 19700303 199702 1005

Ketua Program Studi Magister Teknik Sipil Program Pascasarjana

Universitas Udayana,

Prof. Dr. Ir. I Made Alit Karyawan S., DEA NIP. 19620404 199103 1 002

Direktur Program Pascasarjana

Universitas Udayana,

Prof. Dr. dr. A. A. Raka Sudewi, Sp. S (K) NIP. 19590215 198510 2 001

(5)

Tesis ini telah diuji pada Tanggal 16 Agustus 2011

Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana, Nomor : 1455/UN.14.4/HK/2011, Tanggal 10 Agustus 2011

Ketua : Putu Alit Suthanaya, ST, MEngSc, Ph.D

Anggota : 1. Dw. Md. Priyantha Wedagama, ST, MT, MSc, Ph.D. 2. Ir. I Gusti Putu Suparsa, MT.

3. Ir. I Nyoman Arya Thanaya, ME, Ph.D. 4. Ir. Made Sukada Wenten, MT.

(6)

v

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT

NAMA : I NYOMAN JAGAT MAYA

NIM : 0791561001

PROGRAM STUDI : MAGISTER TEKNIK SIPIL

JUDUL TESIS : PENYUSUNAN BASIS DATA JALAN NASIONAL

BERBASIS SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (STUDI KASUS: JALAN NASIONAL PROVINSI BALI DI BAWAH TANGGUNG JAWAB SNVT P2JJ METROPOLITAN DENPASAR)

Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah Tesis ini bebas plagiat.

Apabila dikemudian hari terbukti terdapat plagiat dalam karya ilmiah ini, maka saya bersedia menerima sanksi sesuai peraturan Mendiknas RI No. 17 tahun 2010 dan peraturan perundangan yang berlaku.

Denpasar, 5 September 2011

Hormat saya,

Materai 6000

(I Nyoman Jagat Maya)

(7)

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur penulis panjatkan ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Penulis menyadari bahwa tesis ini tidak akan terwujud tanpa adanya bantuan dari berbagai pihak, baik pada waktu kuliah maupun pada waktu penyusunan.

Pada kesempatan ini perkenankanlah penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak I Putu Alit Suthanaya, ST, MengSc. Ph.D. sebagai pembimbing utama yang telah memberikan dorongan, bimbingan, dan saran kepada penulis dengan penuh kesabaran. Terima kasih yang sebesar-besarnya juga penulis sampaikan kepada Bapak Dewa Made Priyantha Wedagama, ST, MT, MSc, Ph.D. sebagai pembimbing kedua yang selama ini memberikan bimbingan dan saran dengan penuh pengertian kepada penulis.

Ucapan yang sama juga ditujukan kepada segenap staf dan pengajar Program Magister Teknik Sipil atas segala informasi dan dukungannya selama pendidikan maupun selama penyelesaian tesis ini.

Terima kasih juga penulis ucapkan kepada orangtua, keluarga, dan rekan-rekan yang mendukung selama pendidikan ini. Semoga tesis ini dapat memberikan manfaat dan karena keterbatasan penulis, semua kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan oleh penulis demi kesempurnaan tesis ini.

Denpasar, Agustus 2011

(8)

vii

ABSTRAK

PENYUSUNAN BASIS DATA JALAN NASIONAL BERBASIS SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS

(STUDI KASUS: JALAN NASIONAL PROVINSI BALI DI BAWAH TANGGUNG JAWAB SNVT P2JJ METROPOLITAN DENPASAR)

Tersedianya sarana dan prasarana kota yang baik merupakan salah satu langkah fundamental untuk mencapai pencitraan yang baik bagi Propinsi Bali yang terkenal akan daerah wisatanya. Jalan sebagai bagian dari sistem transportasi nasional mempunyai peranan penting mendukung kegiatan perekonomian dan sosial masyarakat. Perlu dilakukan penyusunan suatu basis data jalan nasional berbasis sistem informasi geografis yang mampu mengakomodasi kebutuhan para pemegang kebijakan. Penyusunan basis data berbasis SIG yang dilakukan pada penelitian ini hanya untuk 33 ruas Jalan Nasional di bawah tanggung jawab P2JJ Metropolitan Denpasar, mengingat ruas jalan ini memiliki kepadatan yang relatif lebih besar dari ruas lainnya. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis sistem stasioning, kondisi perkerasan, kondisi geometrik, dan kondisi sosial Jalan Nasional serta menyusun program basis data berbasis Sistem Informasi Geografis untuk Jalan Nasional di bawah tanggung jawab P2JJ Metropolitan Denpasar.

Untuk dapat mencapai hasil yang diinginkan maka langkah yang dilakukan dalam penelitian ini adalah dengan melakukan studi pendahuluan terlebih dahulu, lalu melakukan persiapan survei, kemudian pengumpulan/survei data primer dan sekunder, analisis data survei, baru kemudian dilakukan penyusunan program basis data berbasis Sistem Informasi Geografis. Simpulan dan saran yang baik dapat diperoleh setelah proses tersebut selesai dilakukan.

Hasil yang diperoleh dari penelitian ini untuk kondisi Jalan Nasional di bawah tanggung jawab P2JJ Metropolitan adalah sebesar 83.09% kondisi perkerasan dalam kondisi baik, sebesar 89.37% kondisi geometrik dalam kondisi baik, dan sebesar 68.12% kondisi sosial dalam kondisi cukup.

Penelitian ini telah menghasilkan program basis data berbasis Sistem Informasi Geografis yang berisikan informasi sistem stasioning, kondisi perkerasan, kondisi geometrik, dan kondisi sosial dari Jalan Nasional di bawah tanggung jawab SNVT P2JJ Metropolitan.

Kata kunci : basis data, Sistem Informasi Geografis, Jalan Nasional, P2JJ Metropolitan

(9)

ABSTRACT

DATABASE COMPILATION OF NATIONAL ROAD BASED ON GEOGRAPHIC INFORMATION SYSTEM

(CASE STUDY: NATIONAL ROAD IN BALI PROVINCE UNDER RESPONSIBILITY OF SNVT P2JJ METROPOLITAN DENPASAR)

Availability of good structure and infrastructure in city is one of fundamental step to achievi a good imaging for the Bali Province that has been wellknown as tourism areas. Roads as part of National transportation system plays an important role to support economic activities and social communities. Necessary preparation of a national roads database based on Geographic Information System that able to accommodate the needs of policy holders. Preparation of database based on GIS in this research conducted only for 33 sections of National Roads under responsibility of the P2JJ Metropolitan Denpasar, because this roads has a relatively greater density than others segments. The objective of this study is to analize the system stationing, pavement conditions, geometric conditions, social conditions of National Roads and compiles a database program based on Geographic Information System for National Roads under responsibility of SNVT P2JJ Metropolitan Denpasar.

To achieve the desired results, then the steps must be taken in this study is preliminary study at first, preparing survey, then survey of primary and secondary data, analize survey data, and then do the programming database based on Geographic Information System. Good conclution and advice can be obtained after the process is completed.

Results obtained from this study for the National Roads under responsibility of SNVT P2JJ Metropolitan Denpasar is 83,09% pavements in good condition, amounted 89,37% geometric in good condition, and 68,12% social in sufficient condition.

This study has produced a database program based on Geographic Information System that containing information of stationing system, pavement conditions, geometric conditions, and social conditions for the National Roads under responsibility of SNVT P2JJ Metropolitan Denpasar.

Keywords: databased, Geographic Information System, National Roads, P2JJ Metropolitan

(10)

ix

DAFTAR ISI

Halaman

SAMPUL DALAM ... i

PRASYARAT GELAR ... ii

LEMBAR PERSETUJUAN ... iii

PENETAPAN PANITIA PENGUJI ... iv

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT ... v

UCAPAN TERIMA KASIH ... vi

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... viii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR SINGKATAN ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvii

BAB I PENDAHULUAN ... .1 1.1 Latar Belakang ... 1 1.2 Rumusan Masalah ... 3 1.3 Tujuan Penelitian ... 4 1.4 Batasan Masalah ... 4 1.5 Manfaat Penelitian ... 5

BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 6

2.1 Klasifikasi Jalan Umum ... . 6

2.1.1 Klasifikasi menurut fungsi pada sistem jaringan jalan ... 6

2.1.2 Klasifikasi menurut status jalan ... 13

2.1.3 Klasifikasi menurut kelas jalan ... 16

2.2 Bagian - bagian Jalan ... 17

2.2.1 Ruang Manfaat Jalan (RUMAJA) ... 17

2.2.2 Ruang Milik Jalan (RUMIJA) ... 18

2.2.3 Ruang Pengawasan Jalan (RUWASJA) ... 19

2.3 Jalan Nasional di Provinsi Bali ... 21

2.4 Informasi Kondisi Jalan ... 23

2.4.1 Indeks kondisi kekasaran jalan/Road Condition Index (RCI) ... 23

2.4.2 Indeks Internasional kekasaran jalan/International Roughness Index(IRI) .. 24

2.4.3 Jenis – jenis kerusakan perkerasan aspal ... 25

2.4.4 Survei pencacahan lalu lintas terklasifikasi ... 35

(11)

2.5 Basis Data (Data Base) ... 53

2.5.1 Umum ... 53

2.5.2 Sistem Manajemen Basis Data (SMBD) ... 53

2.5.3 Pelaku basis data ... 56

2.6 Sistem Informasi Geografis (SIG) ... 59

2.6.1 Fase perancangan SIG ... 62

2.6.2 Pembentukan data spasial dengan SIG ... 65

2.6.3 Model relasional ... 75

2.6.4 Sistem koordinat... 77

BAB III METODE PENELITIAN ... ...81

3.1 Kerangka Penelitian ... 81

3.2 Lokasi Penelitian ... 83

3.3 Data Primer ... 84

3.3.1 Stasiun Titik Awal (STA) ... 84

3.3.2 Lebar jalur dan bahu jalan ... 85

3.3.3 Indeks kondisi jalan/Road Condition Index (RCI) ... 86

3.3.4 Jenis kerusakan perkerasan ... 86

3.3.5 Kondisi perkerasan ... 87

3.3.6 Kondisi geometrik ... 87

3.3.7 Kondisi sosial ... 88

3.3.7 Foto kondisi jalan ... 89

3.4 Data Sekunder ... 90

3.4.1 Titik pengenal awal dan akhir ruas ... 90

3.4.2 Panjang ruas ... 90

3.4.3 Indeks Internasional kekasaran permukaan/ International Roughness Index(IRI) ... 90

3.4.4 Lalu Lintas Harian Rata-rata Tahunan (LHRT) ... 91

3.5 Penyusunan Basis Data Berbasis SIG ... 92

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... ...93

4.1 Data Primer ... 93

4.1.1 Sistem stasioning ... 93

4.1.2 Lebar jalur dan bahu jalan ... 93

4.1.3 Indeks Kondisi Jalan/Road Condition Index (RCI) ... 93

4.1.4 Jenis kerusakan perkerasan ... 94

4.1.5 Kondisi perkerasan ... 94

4.1.6 Kondisi geometrik ... 95

(12)

xi

4.1.8 Foto kondisi jalan ... 98

4.2 Data Sekunder ... 98

4.3 Analisa ... 99

4.3.1 Lebar Bahu dan Badan Jalan ... 99

4.3.2 Jenis Kerusakan Perkerasan ... 99

4.3.3 Tampilan Antar Muka Program Pada ”Web Map Aset” ... 103

4.3.4 Tampilan Antar Muka Program Pada ”Pengelolaan Aset” ... 108

BAB V SIMPULAN DAN SARAN ... ...109

5.1 Simpulan ... 109

5.2 Saran... 111

(13)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 2.1 Penentuan Nilai RCI Ditinjau Berdasarkan Jenis Permukaan dan

Kondisi Secara Visual... ... 24

Tabel 2.2 Dimensi Dasar Kendaraan Rencana ... 39

Tabel 2.3 Nilai Emp Untuk Jalan Perkotaan Terbagi dan Satu Arah ... 40

Tabel 2.4 Nilai Emp Untuk Jalan Perkotaan Tak Terbagi ... 40

Tabel 2.5 Kecepatan Rencana Sesuai Klasifikasi Fungsi dan Medan Jalan ... 41

Tabel 2.6 Penentuan Lebar Lajur dan Bahu Jalan ... 42

Tabel 2.7 Panjang Bagian Lurus Maksimum ... 44

Tabel 2.8 Panjang Jari – jari Maksimum Suatu Tikungan (Dibulatkan) ... 45

Tabel 2.9 Jari – jari Tikungan yang Tidak Memerlukan Lengkungan Peralihan ... 45

Tabel 2.10 Kelandaian Maksimum yang Diijinkan ... 47

Tabel 2.11 Panjang Kritis Kelandaian Maksimum ... 48

Tabel 2.12 Panjang Minimum Lengkung Vertikal ... 48

Tabel 3.1 Definisi Tiap Kategori Kondisi Perkerasan ... 87

Tabel 3.2 Definisi Tiap Kategori Kondisi Geometrik ... 88

Tabel 3.3 Definisi Tiap Kategori Kondisi Sosial ... 89

Tabel 4.1 Kondisi Perkerasan Segmen Jalan ... 94

Tabel 4.2 Kondisi Geometrik Segmen Jalan ... 96

(14)

xiii

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1 Klasifikasi Jalan Menurut Fungsi ... 12

Gambar 2.2 Klasifikasi Jalan Menurut Wewenang Pembinaan ... 15

Gambar 2.3 Bagian – bagian Jalan ... 20

Gambar 2.4 Peta Ruas Jalan Nasional Provinsi Bali... ... 22

Gambar 2.5 Kerusakan Cacat Permukaan: Deliminasi ... 26

Gambar 2.6 Kerusakan Cacat Permukaan: Bleeding ... 27

Gambar 2.7 Karusakan Cacat Permukaan: Pengausan ... 27

Gambar 2.8 Kerusakan Cacat Permukaan: Pelepasan Butir ... 28

Gambar 2.9 Kerusakan Cacat Permukaan: Lubang ... 29

Gambar 2.10 Kerusakan Retak: Retak selip ... 29

Gambar 2.11 Kerusakan Retak: Retak kulit buaya ... 30

Gambar 2.12 Kerusakan Retak: Retak blok ... 31

Gambar 2.13 Kerusakan Retak: Retak memanjang ... 31

Gambar 2.14 Kerusakan Retak: Retak melintang ... 32

Gambar 2.15 Kerusakan Deformasi: Alur ... 32

Gambar 2.16 Kerusakan Deformasi: Keriting ... 33

Gambar 2.17 Kerusakan Deformasi: Defresi (Amblas) ... 33

Gambar 2.18 Kerusakan Deformasi: Pergeseran (Shoving) ... 34

Gambar 2.19 Deformasi Plastis... 34

Gambar 2.20 Komponen Tikungan Spiral-Circle-Spiral ... 46

Gambar 2.21 Lajur Pendakian... 49

Gambar 2.22 Jarak antara Dua Lajur Pendakian ... 50

Gambar 2.23 Contoh Koordinasi Alinyemen yang Ideal ... 52

Gambar 2.24 Contoh Koordinasi Alinyemen yang Harus Dihindari ... 52

Gambar 2.25 Contoh Beberapa Peta yang Direprensentasikan ke Dalam Layer ... 61

Gambar 2.26 Konsep Strategis Perancangan SIG ... 63

Gambar 2.27 Tahapan Pekerjaan Pembentukan Coverage SIG Berbasis Data Vektor... ... 66

(15)

Gambar 2.28 Konversi dan Pembentukan Topologi pada Arc/Info ... 67

Gambar 2.29 Tampilan Menu Arcedit ... 68

Gambar 2.30 Pemberian ID pada Arcedit ... 69

Gambar 2.31 Keluar dari Menu Arcedit dan Pembentukan Kembali Topologi .... 70

Gambar 2.32 Penambahan Item ‘NAMA’ pada Coverage Evakuasi ... 71

Gambar 2.33 Pemberian Data Atribut pada Field ‘NAMA’ ... 72

Gambar 2.34 ID Coverage (lingkaran titik evakuasi) yang Akan Diberikan Data Atribut... ... 73

Gambar 2.35 ID yang Telah Dipilih untuk Diberikan Data Atribut ... 74

Gambar 2.36 Pemberian Data Atribut dan Keluar dari Menu Arcedit ... 74

Gambar 2.37 Model Relasional... 77

Gambar 2.38 Posisi Garis Lintang, Bujur, dan Lainnya pada Bumi ... 78

Gambar 3.1 Bagan Alir Rancangan Penelitian ... 82

Gambar 3.2 Ilustrasi STA, Ruas, dan Segmen ... 84

Gambar 3.3 Lokasi Titik Nol Kilometer Provinsi Bali ... 85

Gambar 4.1 Grafik Persentase Kondisi Perkerasan Segmen Jalan ... 95

Gambar 4.2 Grafik Persentase Kondisi Geometrik Segmen Jalan ... 96

Gambar 4.3 Grafik Persentase Kondisi Sosial Segmen Jalan ... 97

Gambar 4.4 Grafik Persentase Jenis Kerusakan Perkerasan Jalan Tahun 2009 .. 102

Gambar 4.5 Tampilan Antar Muka Program dalam Web Map Aset ... 103

Gambar 4.6 Ikon dan Nama Toolbar Navigation ... 104

Gambar 4.7 Fasilitas layer yang Tersedia ... 106

Gambar 4.8 Kondisi Tampilan Peta dengan Layer Perkerasan Aktif ... 107

(16)

xv

DAFTAR SINGKATAN

ABD = Administrator Basis Data

BT = Bujur Timur

BMS = Bridge Management System

CAD = Computer Aided Designed

DD = Decimal Degree

DMS = Degree Minute Second

EMP = Ekivalensi Mobil Penumpang

FC = Full Circle

GRS80 = Geodetic Reference System of 1980

ID = Identity

IRI = International Roughness Index

IRMS = Integrated Road Management System

Laston = Lapis Aspal Beton

Lasbutag = Lapis Asbuton Agregat Latasbum = Lapis Tipis Asbuton Murni LHR = Lalu lintas Harian Rata-rata

LHRT = Lalu lintas Harian Rata-rata Tahunan

LS = Lintang Selatan

MKJI = Manual Kapasitas Jalan Indonesia

NAASRA = National Association of Australian State Road Authorities NAD27 = North American Datum of 1927

NAD83 = North American Datum of 1983

PM = Penetrasi Macadam

P2JJ = Perencanaan dan Pengawasan Jalan dan Jembatan

RCI = Road Condition Index

RUMAJA = Ruang Manfaat Jalan

(17)

RUMIJA = Ruang Milik Jalan

SCS = Spiral-Circle-Spiral

SIG = Sistem Informasi Geografis

SMBD = Sistem Manajemen Basis Data

SMP = Satuan Mobil Penumpang

SNVT = Satuan Non Vertikal Tertentu

SS = Spiral-spiral

STA = Stasiun Titik Awal

URMS = Urban Road Management System

(18)

xvii

DAFTAR LAMPIRAN

.. Halaman Lampiran A Tabel Jalan Nasional Provinsi Bali Beserta Penanggung

Jawabnya... ... 114 Lampiran B Tabel Titik Pengenal Awal dan Akhir Ruas Jalan P2JJ

Metropolitan Denpasar Beserta Panjang Ruas... ... 117 Lampiran C Peta Jaringan Jalan P2JJ Metropolitan Denpasar... ... 121 Lampiran D Formulir Survei Ruas Jalan Nasional... ... 122 Lampiran E Tabel Hasil Survei Kondisi Jalan Nasional di bawah

Tanggung Jawab SNVT P2JJ Metropolitan... ... 124 Lampiran F Tabel Hasil Survey Jenis Kerusakan Perkerasan dan RCI ... 132

(19)

 

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bali merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang terkenal sebagai daerah kunjungan wisata dunia. Pencitraan yang baik tentang Bali tentunya akan menjadi magnet dalam menarik wisatawan mancanegara. Salah satu langkah fundamental untuk mencapai pencitraan yang baik adalah dengan tersedianya sarana dan prasarana kota yang baik. Sebagai contoh suatu kota mesti memiliki berbagai aktivitas pokok (rumah sakit, bandara, sekolah, dan sebagainya) dengan aksesibilitas yang memadai, dalam hal ini tersedianya prasarana jalan yang mampu menjangkau berbagai lokasi aktivitas tersebut. Jalan sebagai bagian dari sistem transportasi nasional mempunyai peranan penting mendukung kegiatan perekonomian dan sosial masyarakat. Selain itu jalan juga berperan memfasilitasi upaya pelestarian lingkungan dan pertumbuhan budaya bangsa.

Sesuai peruntukannya, jalan terdiri atas jalan khusus dan jalan umum, dimana jalan umum dapat dibedakan klasifikasinya menurut beberapa hal. Berdasarkan wewenang pembinaannya, jalan dapat diklasifikasikan menjadi 6 (enam) jenis, salah satunya adalah Jalan Nasional yang merupakan jenis jalan dengan tingkat wewenang pembinaan berada pada pemerintah pusat. Apabila mengacu pada klasifikasi jalan berdasarkan fungsinya, yang dimaksud dengan jalan nasional adalah jalan arteri primer, kolektor primer, serta jalan yang

(20)

2  mempunyai nilai strategis terhadap kepentingan Nasional, yakni jalan yang tidak dominan terhadap pengembangan ekonomi, tapi mempunyai peranan menjamin kesatuan dan keutuhan Nasional, serta melayani daerah-daerah yang rawan dan lain-lain. Berdasarkan Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah, Nomor: 376/KPTS/M/2004 bulan Oktober 2004, tentang Penetapan Ruas-ruas Jalan Menurut Statusnya Sebagai Jalan Nasional, maka dapat diketahui bahwa panjang ruas Jalan Nasional di Provinsi Bali adalah 501,64 km dengan 58 ruas jalan. Instansi yang bertanggung jawab secara langsung terhadap Jalan Nasional di provinsi Bali adalah Satuan Non Vertikal Tertentu (SNVT) Perencanaan dan Pengawasan Jalan dan Jembatan (P2JJ) Bali dan SNVT P2JJ Metropolitan Denpasar di bawah Departemen Pekerjaan Umum Direktorat Jenderal Bina Marga. SNVT P2JJ Bali bertanggung jawab terhadap 25 ruas jalan nasional sepanjang 398,34 km, sedangkan P2JJ Metropolitan Denpasar bertanggung jawab terhadap 33 ruas jalan sepanjang 103,30 km. Selama ini, ruas jalan nasional yang menjadi tanggung P2JJ Metropolitan Denpasar memiliki kepadatan yang cenderung lebih besar daripada ruas jalan lainnya.

Secara garis besar bentuk tanggung jawab kedua SNVT tersebut di atas adalah memantau situasi dan kondisi jalan serta jembatan nasional di Provinsi Bali. Apabila terjadi permasalahan ataupun potensi masalah, maka kedua SNVT tersebut akan mengajukan program kegiatan kepada Balai Pengawasan Jalan Nasional VIII (BPJN VIII) selaku penyetuju kegiatan untuk wilayah Bali, NTB, dan NTT. Dalam rangka mempermudah kinerjanya, selama ini SNVT P2JJ sudah memiliki program basis data jalan dan jembatan nasional yang dikembangkan

(21)

sejak tahun 1990-an, yaitu program Integrated Road Management System (IRMS) dan Urban Road Management System (URMS), yang merupakan basis data jalan, dan Bridge Management System (BMS) yang merupakan basis data jembatan. Namun BPJN VIII tentunya juga membutuhkan data kondisi jalan sebagai dasar dalam pengambilan kebijakan atas usulan kedua SNVT tersebut. Menurut tim proyek BPJN VIII, secara umum data yang dibutuhkan dalam sistem informasi adalah sistem stationing, kondisi perkerasan, kondisi geometrik, kondisi sosial, dimana data tersebut belum terangkum dalam IRMS dan URMS.

Berdasarkan hal tersebut di atas, maka perlu dilakukan penyusunan suatu basis data jalan nasional berbasis Sistem Informasi Geografis (SIG) yang mampu mengakomodasi kebutuhan para pemegang kebijakan. Keputusan yang lebih cepat dan akurat diharapkan dapat diambil oleh para pemegang kebijakan dengan terdapatnya basis data berbasis SIG yang informatif. Penyusunan basis data berbasis SIG yang dilakukan pada penelitian ini hanya untuk 33 ruas Jalan Nasional di bawah tanggung jawab P2JJ Metropolitan Denpasar, mengingat ruas jalan ini memiliki kecenderungan lebih padat dari ruas lainnya.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat diuraikan beberapa permasalahan, yaitu:

1. Bagaimanakah sistem stasioning, kondisi perkerasan, kondisi geometrik, dan kondisi sosial Jalan Nasional di bawah tanggung jawab P2JJ Metropolitan Denpasar?

(22)

4  2. Bagaimanakah Basis Data Jalan Nasional Berbasis Sistem Informasi Geografis yang mampu mengakomodasi kebutuhan informasi dari pemegang kebijakan?

1.3 Tujuan Penelitian

1. Untuk menganalisis sistem stasioning, kondisi perkerasan, kondisi geometrik, dan kondisi sosial Jalan Nasional di bawah tanggung jawab P2JJ Metropolitan Denpasar.

2. Untuk menyusun basis data informasi kondisi Jalan Nasional Provinsi Bali di bawah tanggung jawab P2JJ Metropolitan Denpasar yang berupa program berbasis Sistem Informasi Geografis.

1.4 Batasan Masalah

Penyusunan basis data jalan berbasis SIG merupakan sebuah penelitian dengan cakupan yang luas, untuk itu perlu ditetapkan sejumlah batasan masalah dan asumsi, antara lain:

1. Informasi kondisi jalan yang dipertimbangkan setiap 500 meter meliputi sistem stasioning dari titik nol kota Denpasar (STA), lebar jalur lalu lintas, lebar bahu jalan, IRI & RCI (kondisi perkerasan), jenis kerusakan perkerasan, kondisi geometrik, kondisi sosial, dan foto kondisi jalan.

2. Informasi kondisi jalan yang dipertimbangkan setiap ruas jalan meliputi titik pengenal awal dan akhir ruas jalan, panjang ruas, dan nilai LHRT.

3. Data sekunder yang dibutuhkan yaitu titik pengenal awal dan akhir ruas, panjang ruas, IRI, LHRT yang diperoleh dari P2JJ Metropolitan Denpasar.

(23)

4. Survei lapangan yang dilakukan meliputi survei STA, lebar lajur, lebar bahu, RCI, jenis kerusakan perkerasan, kondisi geometrik, kondisi sosial, dan foto kondisi jalan.

5. Pengukuran kondisi geometrik jalan di daerah tikungan dan tanjakan hanya bersifat justifikasi dan tidak dilakukan pengukuran untuk memenuhi kebutuhan informasi awal bagi pemegang kebijakan.

6. Sebagian besar penyusunan program ini menggunakan software Arc Info.

1.5 Manfaat

Secara umum terdapat dua buah manfaat yang diharapkan dari penelitian ini, antara lain:

1. Bagi Departemen Pekerjaan Umum Direktorat Jenderal Bina Marga, khususnya Balai Pelaksanaan Jalan Nasional VIII Denpasar dan P2JJ Metropolitan Denpasar, keberadaan basis data Jalan Nasional berbasis SIG ini diharapkan mempercepat dan meningkatkan akurasi dalam pengambilan kebijakan terkait pemantauan kondisi jalan nasional di Provinsi Bali.

(24)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Klasifikasi Jalan Umum

Sesuai peruntukannya jalan terdiri atas jalan umum dan jalan khusus. Jalan umum merupakan jalan yang diperuntukkan bagi lalu lintas umum, sedangkan jalan khusus merupakan jalan yang bukan diperuntukkan untuk lalu lintas umum dalam rangka distribusi barang dan jasa yang dibutuhkan. Menurut Undang Undang Nomor 38 tahun 2004 dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2006 Tentang Jalan, jalan umum dapat diklasifikasikan dalam sistem jaringan jalan, fungsi jalan, status jalan, dan kelas jalan. Pengetahuan mengenai klasifikasi jalan menjadi penting pada penelitian ini untuk menerangkan definisi Jalan Nasional beserta aturannya.

2.1.1 Klasifikasi menurut fungsi pada sistem jaringan jalan

Klasifikasi jalan berdasarkan fungsi mengacu pada UU No.38 tahun 2004 dan PP No.34 tahun 2006, adalah sebagai berikut:

2.1.1.1. Sistem jaringan jalan primer

Sistem jaringan jalan primer terdiri dari jalan arteri primer, jalan kolektor primer, jalan lokal primer, dan jalan lingkungan primer, dimana disusun berdasarkan rencana tata ruang dan pelayanan distribusi barang dan jasa untuk pengembangan semua wilayah di tingkat nasional, dengan menghubungkan semua simpul jasa distribusi yang berwujud pusat-pusat kegiatan sebagai berikut:

(25)

a) Menghubungkan secara menerus pusat kegiatan nasional, pusat kegiatan wilayah, pusat kegiatan lokal sampai ke pusat kegiatan lingkungan; dan b) Menghubungkan antarpusat kegiatan Nasional.

Sistem jaringan primer disusun mengikuti ketentuan pengaturan tata ruang dan struktur pengembangan wilayah tingkat Nasional yang menghubungkan simpul-simpul jasa distribusi sebagai berikut:

1) Jalan arteri primer

Jalan ini menghubungkan secara berdaya guna antarpusat kegiatan nasional atau antara pusat kegiatan nasional dengan pusat kegiatan wilayah, dengan persyaratan teknis sebagaimana diatur dalam PP No. 34 tahun 2006, sebagai berikut:

a. Didesain paling rendah dengan kecepatan 60 km/jam; b. Lebar badan jalan paling sedikit 11 meter;

c. Kapasitas lebih besar daripada volume lalu lintas rata-rata;

d. Lalu-lintas jarak jauh tidak boleh terganggu oleh lalu lintas ulang-alik, lalu lintas lokal dan kegiatan lokal;

e. Jumlah jalan masuk, ke jalan arteri primer, dibatasi secara effisien sehingga kecepatan 60 km/jam dan kapasitas besar tetap terpenuhi;

f. Jalan arteri primer yang memasuki kawasan perkotaan dan/atau kawasan pengembangan perkotaan tidak boleh terputus.

(26)

8  2) Jalan kolektor primer

Merupakan jalan yang menghubungkan secara berdaya guna antara pusat kegiatan nasional dengan pusat kegiatan lokal, antarpusat kegiatan wilayah, atau antara pusat kegiatan wilayah dengan pusat kegiatan lokal. Adapun persyaratan teknis dari jalan ini, sebagai berikut:

a. Didesain paling rendah dengan kecepatan 40 km/jam; b. Lebar badan jalan paling sedikit 9 meter;

c. Kapasitas lebih besar dari volume lalu-lintas rata-rata;

d. Jumlah jalan masuk dibatasi, dan direncanakan sehingga dapat dipenuhi kecepatan paling rendah 40 km/jam;

e. Jalan kolektor primer yang memasuki kawasan perkotaan tidak boleh terputus.

3) Jalan lokal primer

Merupakan jalan yang menghubungkan secara berdaya guna pusat kegiatan nasional dengan pusat kegiatan lingkungan, pusat kegiatan wilayah dengan pusat kegiatan lingkungan, antarpusat kegiatan lokal, atau pusat kegiatan lokal dengan pusat kegiatan lingkungan, serta antarpusat kegiatan lingkungan. Adapun persyaratan teknis dari jalan ini, sebagai berikut:

a. Didesain paling rendah dengan kecepatan 20 km/jam; b. Lebar badan jalan paling sedikit 7,5 meter;

c. Jalan lokal primer yang memasuki kawasan pedesaan tidak boleh terputus.

(27)

4) Jalan lingkungan primer

Merupakan jalan yang menghubungkan antarpusat kegiatan di dalam kawasan perdesaan dan jalan di dalam lingkungan kawasan perdesaan. Adapun persyaratan teknis dari jalan ini, sebagai berikut:

a. Didesain paling rendah dengan kecepatan 15 km/jam; b. Lebar badan jalan paling sedikit 6,5 meter;

c. Jalan lingkungan primer yang tidak diperuntukkan bagi kendaraan bermotor beroda tiga atau lebih harus memiliki lebar badan jalan paling sedikit 3,5 meter.

2.1.1.2. Sistem jaringan jalan sekunder

Sistem jaringan jalan sekunder disusun berdasarkan rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota dan pelayanan distribusi barang dan jasa untuk masyarakat di dalam kawasan perkotaan yang menghubungkan secara menerus kawasan yang mempunyai fungsi primer, fungsi sekunder kesatu, fungsi sekunder kedua, fungsi sekunder ketiga, dan seterusnya sampai ke persil. Fungsi jalan pada sistem jaringan jalan sekunder terdiri dari:

1) Jalan Arteri Sekunder

Jalan ini menghubungkan menghubungkan kawasan primer dengan kawasan sekunder kesatu, kawasan sekunder kesatu dengan kawasan sekunder kesatu, atau kawasan sekunder kesatu dengan kawasan sekunder kedua. Adapun persyaratan teknisnya, sebagai berikut:

(28)

10  a. Didesain berdasarkan kecepatan paling rendah 30 km/jam;

b. Kapasitas sama atau lebih besar dari volume lalu lintas rata-rata; c. Lebar badan jalan paling sedikit 11 meter;

d. Pada jalan arteri sekunder, lalu-lintas cepat tidak boleh terganggu oleh lalu-lintas lambat;

e. Persimpangan sebidang dengan pengaturan tertentu harus memenuhi kecepatan tidak kurang dari 30 km/jam.

2) Jalan kolektor sekunder

Jalan ini menghubungkan menghubungkan kawasan sekunder kedua dengan kawasan sekunder kedua atau kawasan sekunder kedua dengan kawasan sekunder ketiga. Adapun persyaratan teknisnya, sebagai berikut:

a. Didesain berdasarkan kecepatan paling rendah 20 km/jam; b. Lebar badan jalan paling sedikit 9 meter;

c. Memiliki kapasitas yang lebih besar dari volume lalu lintas rata-rata; d. Lalu lintas cepat tidak boleh terganggu oleh lalu lintas lambat;

e. Persimpangan sebidang dengan pengaturan tertentu harus memenuhi kecepatan tidak kurang dari 20 km/jam.

(29)

3) Jalan lokal sekunder

Jalan ini menghubungkan kawasan sekunder kesatu dengan perumahan, kawasan sekunder kedua dengan perumahan, kawasan sekunder ketiga dan seterusnya sampai ke perumahan. Adapun persyaratan teknisnya, sebagai berikut:

a. Didesain berdasarkan kecepatan paling rendah 10 km/jam; b. Lebar badan jalan tidak kurang dari 7,5 meter.

4) Jalan lingkungan sekunder

Jalan ini menghubungkan antar persil dalam kawasan perkotaan. Adapun persyaratan teknisnya, sebagai berikut:

a. Didesain berdasarkan kecepatan paling rendah 10 km/jam, diperuntukkan bagi kendaraan bermotor beroda tiga atau lebih;

b. Lebar badan jalan tidak kurang dari 6,5 meter;

c. Jalan yang tidak diperuntukkan bagi kendaraan bermotor beroda tiga atau lebih harus mempunyai lebar badan jalan paling sedikit 3,5 meter.

Secara diagramatis penjelasan mengenai klasifikasi jalan menurut fungsi dapat dilihat pada Gambar 2.1, halaman 12.

(30)

12  Keterangan:

Kota Jenjang I (Kota PKN/Pusat Kegiatan Nasional) Kota Jenjang II (Kota PKW/Pusat Kegiatan Wilayah) Kota Jenjang III (Kota PKL/Pusat Kegiatan Lokal) Kota Jenjang dibawahnya, Persil

Arteri Primer Kolektor Primer Lokal Primer

Gambar 2.1 Klasifikasi Jalan Menurut Fungsi Sumber: Saodang, 2004

I

I

II

II

III

III

IV

IV

KP AP AP AP KP KP KP LP LP LP I II III IV AP KP LP

(31)

2.1.2 Klasifikasi menurut status jalan

Berdasarkan PP No. 34 tahun 2006 Pasal 25 sampai 30, jaringan jalan yang diklasifikasikan menurut statusnya dibedakan menjadi 5 (lima) jenis, yaitu sebagai berikut:

2.1.2.1 Jalan Nasional

Jalan yang diklasifikasikan dalam jalan nasional adalah jalan arteri primer; jalan kolektor primer yang menghubungkan antar ibukota provinsi; jalan tol; serta jalan strategis Nasional.

2.1.2.2 Jalan Provinsi

Jalan yang diklasifikasikan dalam jalan provinsi adalah jalan kolektor primer yang menghubungkan ibukota Provinsi dengan ibukota Kabupaten/Kota; jalan kolektor primer yang menghubungkan antar ibukota Kabupaten/Kota; jalan strategis provinsi; serta jalan di Daerah Khusus Ibukota Jakarta, kecuali jalan sebagaimana dimaksud dalam Jalan Nasional.

2.1.2.3 Jalan Kabupaten

Jalan yang diklasifikasikan dalam jalan kabupaten adalah jalan kolektor primer yang tidak termasuk dalam jalan nasional dan kelompok jalan provinsi; jalan lokal primer yang menghubungkan ibukota kabupaten dengan ibukota kecamatan, ibukota kabupaten dengan pusat desa, antar ibukota kecamatan, ibukota kecamatan dengan desa, dan antar desa; jalan sekunder lain, selain

(32)

14  sebagaimana dimaksud sebagai jalan nasional, dan jalan provinsi; serta jalan yang mempunyai nilai strategis terhadap kepentingan Kabupaten.

2.1.2.4 Jalan Kota

Jalan yang diklasifikasikan dalam jalan provinsi kota adalah jaringan jalan sekunder di dalam kota. Penjelasan dalam skema diagram dapat dilihat lebih lanjut pada Gambar 2.2.

2.1.2.5 Jalan Desa

Jalan yang diklasifikasikan dalam jalan desa adalah jalan lingkungan primer dan jalan lokal primer yang tidak termasuk jalan kabupaten di dalam kawasan pedesaan, dan merupakan jalan umum yang menghubungkan kawasan dan/atau antar pemukiman di dalam desa.

Secara diagramatis, klasifikasi jalan menurut status dapat dilihat pada Gambar 2.2, halaman 15

(33)

Keterangan:

Ibukota Provinsi Nasional

Ibukota Kabupaten/Kota Provinsi

Ibukota Kecamatan Kabupaten

Kota Lainnya Strategis Nasional

Strategis Provinsi Strategis Kabupaten

Gambar 2.2 Klasifikasi Jalan Menurut Wewenang Pembinaan Sumber: Saodang, 2004

I

I

II

II

III

III

IV

IV

N N N/P P K K K K K

SN

SP

N P

SK

K N/P I N II III IV P K SN SK SP

(34)

16  2.1.3 Klasifikasi menurut kelas jalan

Kelas jalan dapat dikelompokkan berdasarkan penggunaan jalan dan kelancaran lalu lintas dan angkutan jalan, sebagaimana telah diatur sesuai dengan ketentuan perundang-undangan di bidang lalu lintas dan angkutan jalan; serta spesifikasi penyediaan prasarana jalan. Kelas jalan berdasarkan spesifikasi penyediaan prasarana jalan dibedakan menjadi jalan bebas hambatan, jalan raya, jalan sedang, dan jalan kecil. Maksud dari spesifikasi di sini meliputi pengendalian jalan masuk, persimpangan sebidang, jumlah dan lebar lajur, ketersediaan medan, serta pagar.

2.1.3.1 Jalan bebas hambatan

Spesifikasi yang diatur untuk jalan bebas hambatan meliputi pengendalian jalan masuk secara penuh, tidak ada persimpangan sebidang, dilengkapi pagar ruang milik jalan, dilengkapi dengan median, paling sedikit mempunyai 2 (dua) lajur setiap arah, dan lebar lajur paling sedikit 3,5 (tiga koma lima) meter.

2.1.3.2 Jalan raya

Spesifikasi untuk jalan raya yang dimaksud adalah jalan umum untuk lalu lintas secara menerus dengan pengendalian jalan masuk secara terbatas dan dilengkapi dengan median, paling sedikit 2 (dua) lajur setiap arah, lebar lajur paling sedikit 3,5 (tiga koma lima) meter.

2.1.3.3 Jalan sedang

Spesifikasi untuk jalan sedang yang dimaksud adalah jalan umum dengan lalu lintas jarak sedang dengan pengendalian jalan masuk tidak dibatasi, paling

(35)

sedikit 2 (dua) lajur untuk 2 (dua) arah dengan lebar jalur paling sedikit 7 (tujuh) meter.

2.1.3.4 Jalan kecil

Spesifikasi untuk jalan kecil yang dimaksud adalah jalan umum untuk melayani lalu lintas setempat, paling sedikit 2 (dua) lajur untuk 2 (dua) arah dengan lebar jalur paling sedikit 5,5 (lima koma lima) meter.

2.2 Bagian-bagian Jalan

Bagian-bagian jalan meliputi ruang manfaat jalan (RUMAJA), ruang milik jalan (RUMIJA), dan ruang pengawasan jalan (RUWASJA). Penjelasan mengenai bagian-bagian jalan menjadi penting pada penelitian ini untuk mengetahui persyaratan ideal bagi ruang jalan, sehingga kriteria pada informasi kondisi sosial dapat didefinisikan. Penjelasan dari masing-masing bagian jalan tersebut dapat dilihat sebagai berikut.

2.2.1 Ruang Manfaat Jalan (RUMAJA)

Ruang manfaat jalan merupakan ruang sepanjang jalan yang dibatasi oleh lebar, tinggi, dan kedalaman tertentu yang ditetapkan oleh penyelenggara jalan yang bersangkutan berdasarkan pedoman yang ditetapkan oleh Menteri, yang meliputi badan jalan, saluran tepi jalan, dan ambang pengamannya. RUMAJA hanya diperuntukkan bagi median, perkerasan jalan, jalur pemisah, bahu jalan, saluran tepi jalan, trotoar, lereng, ambang pengaman, timbunan dan galian, gorong-gorong, perlengkapan jalan, dan bangunan pelengkap lainnya. Dalam rangka menunjang pelayanan lalu lintas dan angkutan jalan serta pengamanan

(36)

18  konstruksi jalan, maka badan jalan dilengkapi dengan ruang bebas, dimana ruang bebas disini maksudnya adanya pembatasan untuk lebar, tinggi, dan kedalaman tertentu. Ruang bebas untuk jalan arteri maupun kolektor adalah dengan tinggi paling rendah 5 (lima) meter serta kedalaman paling rendah 1,5 (satu koma lima) meter dari permukaan jalan.

2.2.2 Ruang Milik Jalan (RUMIJA)

Ruang milik jalan merupakan ruang sepanjang jalan yang dibatasi oleh lebar, kedalaman, dan tinggi tertentu, dimana terdiri dari ruang manfaat jalan dan sejalur tanah tertentu di luar ruang manfaat jalan yang dapat dimanfaatkan sebagai ruang terbuka hijau yang berfungsi sebagai landscape jalan. Ruang milik jalan diperuntukkan bagi ruang manfaat jalan, pelebaran jalan, dan penambahan jalur lalu lintas di masa akan datang serta kebutuhan ruangan untuk pengamanan jalan. Jika mengacu pada PP Nomor 34 Tahun 2006, maka terdapat lebar minimum RUMIJA, seperti sebagai berikut:

a. Jalan Bebas Hambatan : 30 meter b. Jalan Raya : 25 meter c. Jalan Sedang : 15 meter d. Jalan Kecil : 11 meter

(37)

2.2.3 Ruang Pengawasan Jalan (RUWASJA)

Ruang pengawasan jalan merupakan ruang tertentu di luar ruang milik jalan yang penggunaannya ada di bawah pengawasan penyelenggara jalan, dimana diperuntukkan bagi pandangan bebas pengemudi dan pengamanan konstruksi jalan serta pengamanan fungsi jalan. Terdapat lebar ruang pengawasan jalan minimum yang ditentukan dari tepi badan jalan dengan ukuran sebagai berikut: a. Jalan Arteri Primer : 15 meter

b. Jalan Kolektor Primer : 10 meter c. Jalan Lokal Primer : 7 meter d. Jalan Lingkungan Primer : 5 meter e. Jalan Arteri Sekunder : 15 meter f. Jalan Kolektor Sekunder : 5 meter g. Jalan Lokal Sekunder : 3 meter h. Jalan Lingkungan Sekunder: 2 meter i. Jembatan 100 meter kearah hulu dan hilir.

Untuk informasi lebih jelas mengenai bagian-bagian jalan yang tergolong dalam RUMAJA, RUMIJA, dan RUWASJA dapat dilihat pada Gambar 2.3, halaman 20 berikut ini.

(38)

20 

20 

Keterangan:

Ruang Manfaat Jalan (RUMAJA) Ruang Pengawasan Jalan (RUWASJA)

Ruang Milik Jalan (RUMIJA) Bangunan

a = Jalur lalu lintas c = Saluran tepi

b = Bahu jalan d = Ambang pengamanan

x = b + a + a + b = Badan Jalan

Gambar 2.3 Bagian-bagian Jalan Sumber: PP No. 34 Tahun 2006 

(39)

Menurut Penjelasan Pasal 35 PP Nomor 34 tahun 2006, yang dimaksud badan jalan meliputi jalur lalu lintas, dengan atau tanpa jalur pemisah, dan bahu jalan.

2.3 Jalan Nasional di Provinsi Bali

Jalan nasional merupakan jalan arteri primer; jalan kolektor primer yang menghubungkan antar ibukota provinsi; jalan tol; serta jalan yang mempunyai nilai strategis terhadap kepentingan Nasional. Berdasarkan Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah Nomor: 376/KPTS/M/2004, Tentang Penetapan Ruas-ruas Jalan Menurut Statusnya Sebagai Jalan Nasional, tanggal 19 Oktober 2004, maka pemerintah menetapkan sebanyak 58 ruas jalan di provinsi Bali sebagai Jalan Nasional. Selain nama ruas jalan yang ditetapkan, Kepmen tersebut juga menetapkan panjang masing-masing ruas jalan, dimana panjang total ruas jalan tersebut adalah 501,64 km. Pemerintah membentuk dua SNVT yang bertanggung jawab atas kondisi ruas tersebut, yaitu SNVT P2JJ Bali dan SNVT P2JJ Metropolitan Denpasar. Mengingat ruas jalan nasional di bawah tanggung jawab P2JJ Metropolitan Denpasar yang cenderung lebih padat, maka dalam penelitian ini hanya meninjau ruas jalan tersebut. Pada Gambar 2.4 dapat dilihat peta ruas jalan nasional, yangmana ruas jalan nasional ditandakan dengan garis merah tebal. Peta ruas jalan Nasional di bawah tanggung jawab P2JJ Metropolitan Denpasar dapat dilihat pada Lampiran C usulan penelitian ini.

(40)

Gambar 2.4 Pe Sum

eta Ruas Jalan Nasi mber: Hasil Analisa

ional Provinsi Bali a, 2011

22 

(41)

Untuk nama ruas, nomor ruas, dan panjangnya yang bersumber dari Lampiran 20B Kepmen 376/KPTS/M/2004, serta penanggung jawabnya di provinsi berdasarkan data sekunder dari SNVT P2JJ, dapat dilihat pada Lampiran A penelitian ini. Berdasarkan lampiran tersebut, maka ruas jalan nasional yang berada di bawah tanggung jawab SNVT P2JJ Wilayah Bali adalah sepanjang 398,34 km dengan 25 ruas, sedangkan SNVT P2JJ Metropolitan Denpasar sepanjang 103,30 km dengan 33 ruas jalan.

2.4 Informasi Kondisi Jalan

2.4.1 Indeks kondisi kekasaran jalan (RCI)

Road Condition Index (RCI) atau indeks kondisi kekasaran jalan merupakan salah satu parameter yang digunakan untuk menilai suatu kondisi jalan, dimana survei dilakukan secara pengamatan/visualisasi terhadap ruas jalan. Rentangan nilai dari RCI ini adalah dari nol sampai sepuluh, dimana nilai nol mewakili kondisi perkerasan yang paling buruk dan nilai sepuluh mewakili kondisi perkerasan yang paling baik. Selain memperhatikan kondisi perkerasan, RCI juga memperhatikan kondisi dari jenis permukaannya. Tabel 2.1 berikut ini akan menjelaskan mengenai penentuan nilai RCI ditinjau berdasarkan jenis permukaan dan kondisi secara visual.

(42)

24  Tabel 2.1 Penentuan Nilai RCI Ditinjau Berdasarkan Jenis Permukaan dan Kondisi Secara Visual

No. Jenis Permukaan Kondisi ditinjau Secara Visual

Nilai RCI 1. Jalan tanah dengan drainase

yang jelek, dan semua tipe permukaan yang tidak diperhatikan sama sekali

Tidak bisa dilalui 0-2

2. Semua tipe perkerasan yang tidak diperhatikan sejak lama (4-5 tahun atau lebih)

Rusak berat, banyak lubang dan seluruh daerah

perkerasan

2-3

3. PM (Penetrasi Macadam) lama, Latasbum lama, batu kerikil

Rusak bergelombang, banyak lubang

3-4

4. PM setelah pemakaian 2 tahun, Latasbum lama

Agak rusak, kadang-kadang ada lubang, permukaan tidak rata

4-5

5. PM baru, Latasbum baru, Lasbutag setelah pemakaian 2 tahun

Cukup tidak ada atau sedikit sekali lubang, permukaan jalan agak tidak rata

5-6

6. Lapis tipis lama dari Hotmix, Latasbum baru, Lasbutag baru

Baik 6-7

7. Hotmix setelah 2 tahun, Hotmix tipis di atas PM

Sangat baik, umumnya rata 7-8

8. Hotmix baru (Lataston, Laston), peningkatan dengan menggunakan lebih dari 1 lapis

Sangat rata dan teratur 9-10

Sumber: Departemen Pekerjaan Umum, 2007. Panduan Survai Kekasaran Permukaan Jalan

Secara Visual

2.4.2 Indeks Internasional kekasaran jalan (IRI)

International Roughness Index (IRI) atau indeks internasional kekasaran jalan merupakan indeks internasional yang menunjukkan besaran kekasaran permukaan jalan dalam satuan m/km, dimana survei dilakukan dengan

(43)

menggunakan alat ukur kerataan roughometer NAASRA (National Association of Australian State Road Authorities). Tata cara ini berguna untuk menghitung tebal lapis tambahan bila dilihat dari sisi fungsional jalan dan dilengkapi dengan formulir-formulir yang aplikatif dan komunikatif. Dalam survei ketidakrataan permukaan jalan dengan alat ukur roughometer NAASRA diperlukan beberapa alat bantu lainnya, yaitu: Dipstick Floor Profiler yang digunakan sebagai alat ukur elevasi, Odometer sebagai alat pengukur jarak tempuh, dua buah beban masing-masing seberat 50 kg dan alat pengukur tekanan ban.

Berdasarkan buku Panduan Survai Kekasaran Permukaan Jalan Secara Visual yang dikeluarkan oleh Departemen Pekerjaan Umum Direktorat Jenderal Bina Marga pada tahun 2007, terdapat rumusan korelasi RCI dengan IRI, yaitu:

, (1)

Dimana:

RCI = Road Condition Index

IRI = International Roughness Index

2.4.3 Jenis-jenis kerusakan perkerasan aspal

Berdasarkan Modul B.1.1. Prasarana Transportasi, Campuran Beraspal Panas, yang dikeluarkan oleh Departemen Kimpraswil Badan Penelitian dan Pengembangan pada tahun 2003, maka terdapat beberapa kelompok kerusakan yang terjadi pada perkerasan aspal.

(44)

2.4.3.1 C 1) D D d a b c d 2) B diseb terla a b c Cacat permu Deliminasi Deliminasi disebabkan o a. permukaa b. pemasang . pemadata d. rembesan Bleeding, y babkan seb alu banyak. a. pengguna b. pengguna . ekses dari ukaan merupakan oleh : an perkerasa gan lapis pe an saat hujan n air pada re Gambar 2.5 K Sumber: De yaitu merup agian atau Penyebab t aan aspal be aan lapis per

i lapisan ba n suatu jen an lama kot erekat tidak n; etakan. Kerusakan Cac epartemen Kim pakan suat seluruh agr terjadinya b erlebihan; rekat (tack c awahnya yan nis kerusak tor; merata; cat Permukaan mpraswil, 200 tu jenis k egat dalam leeding ada coat) berleb ng bleeding an perkera n: Deliminasi 03 kerusakan y campuran t alah sebagai bihan; g. asan yang yang dipre terselimuti i berikut : 26  dapat ediksi aspal

(45)

S 3) P P a b G umber: Pione content/ Pengausan Penyebab ter a. pengguna b. pengguna Ga Gambar 2.6 Ke eer Valley Plan

/graphics/imag rjadinya pen aan agregat aan agregat ambar 2.7 Ker Sumber: D erusakan Caca nning Commi ges/trans/ pav ngausan ada tidak tahan (kerikil) su rusakan Cacat Departemen K at Permukaan: ssion. t.t. http ve_gif/bleed.gi alah sebaga aus; ngai. t Permukaan: P Kimpraswil, 2 Bleeding p://www.pvpc. if, Maret 2010 ai berikut : Pengausan 2003 .org/web-0

(46)

4) P P a b c d e f. 5) L P a b c d Pelepasan bu Penyebab ter a. pengguna b. pengguna . pengguna d. pelapukan . pemadata . temperatu Gamb Lubang Penyebab ter a. pengguna b. pengguna . pengguna d. rembesan utir rjadinya pel aan agregat aan agregat aan aspal ku n (aging) as an lintasanny ur pemadata bar 2.8 Kerus Sumber: D rjadinya lub aan aspal ku aan agregat aan agregat n para retaka lepasan but kotor; pipih (mud urang; spal; ya kurang; an rendah. akan Cacat Pe Departemen K bang adalah urang; kotor; pipih (mud an. ir adalah se ah pecah); ermukaan: Pel Kimpraswil, 2 h sebagai be ah pecah); ebagai berik lepasan Butir 2003 erikut : kut : 28 

(47)

2.4.3.2 R 1) R P a b G Retak Retak selip Penyebab ter a. pengguna b. pengaruh rendah. Gambar 2.9 Ke Sumber: D rjadinya ret aan tack coa

terdorong/

Gambar 2.1 Sumber: D

erusakan Caca Departemen K

tak selip ada at kurang; /terseret ole 10 Kerusakan Departemen K at Permukaan Kimpraswil, 2 alah sebaga eh paver dim n Retak: Retak Kimpraswil, 2 n: Lubang 2003 i berikut : mana temp k selip 2003

(48)

2) R P a b c 3) R P a b c Retak kulit b Penyebab ter a. pelapukan b. pengguna . ketebalan G Retak blok Penyebab ter a. pelapukan b. pengguna . ketebalan buaya rjadinya ret n aspal; aan aspal ku n kurang. Gambar 2.11 K Sumber: D rjadinya ret n aspal; aan aspal ku n kurang.

tak kulit bua

urang;

Kerusakan Re Departemen K

tak blok ada

urang; aya adalah s etak: Retak ku Kimpraswil, 2 alah sebagai sebagai beri ulit buaya 2003 i berikut : ikut : 30 

(49)

4) R P a b c Retak mema Penyebab ter a. refleksi d b. sambunga . tanah das G Gambar 2. Sumber: D anjang rjadinya ret dari retak da an pelaksan ar ekspansi Gambar 2.13 K Sumber: D 12 Kerusakan Departemen K tak memanj ari lapisan b naan kurang f. Kerusakan Re Departemen K n Retak: Retak Kimpraswil, 2 ang adalah awah; baik; tak: Retak me Kimpraswil, 2 k blok 2003 sebagai ber emanjang 2003 rikut :

(50)

5) R P a b 2.4.3.3 D 1) A P a b Retak Melin Penyebab ter a. sambunga b. retak refle G Deformasi Alur Penyebab ter a. daya duku b. pemadata ntang rjadinya ret an pelaksan eksi atau su Gambar 2.14 Sumber: D rjadinya alu ung tanah d an rendah. Gambar 2 Sumber: D tak melintan naan kurang usut pada lap

Kerusakan Re Departemen K ur adalah se dasar rendah .15 Kerusakan Departemen K ng adalah se baik; pisan bawah etak: Retak m Kimpraswil, 2 bagai beriku h; n Deformasi: Kimpraswil, 2 ebagai berik h. melintang 2003 ut : Alur 2003 kut : 32 

(51)

2) K P a b 3) D P dukung lap Keriting Penyebab ter a. pengguna b. pemadata Depresi/amb Penyebab te pisan ponda Ga rjadinya ker aan aspal be an tidak baik Gambar 2.1 Sumber: D blas erjadinya d asi dan tana

ambar 2.17 Ke Sumber: D riting adalah erlebih; k. 6 Kerusakan D Departemen K depresi/amb ah dasar tida erusakan defor Departemen K h sebagai b Deformasi: K Kimpraswil, 2 blas adalah ak seragam. rmasi: Depres Kimpraswil, 2 erikut : eriting 2003 h pemadata . si (Amblas) 2003 an rendah, daya

(52)

4) P P a b 5) D P atau kualit Pergeseran ( Penyebab ter a. stabilitas b. pemasang Gamb Deformasi p Penyebab te tasnya rend (shoving) rjadinya per lapisan bera gan tack coa

bar 2.18 Keru Sumber: (D plastis rjadinya de dah (penetra Gamb Sumber: (D rgeseran (sh aspal renda at tidak baik usakan Deform Departemen K eformasi pla asi tinggi). bar 2.19 Defo Departemen K hoving) ada h; k. masi: Pergeser Kimpraswil, 2 astis adalah ormasi Plastis Kimpraswil, 2 alah sebagai ran (Shoving) 2003) h penggunaa 2003) berikut : an aspal ber 34  rlebih

(53)

Mengingat penelitian ini lebih terkait pada penanganan kerusakan, maka jenis kerusakan yang akan disurvei dapat digolongkan menjadi 5 jenis, yaitu bleeding, pengausan dan atau pelepasan butir, lubang dan atau deliminasi, retak, dan deformasi.

2.4.4 Survei pencacahan lalu lintas terklasifikasi

2.4.4.1 Maksud dan tujuan

Tujuan survei adalah untuk memperoleh jumlah volume pengguna prasarana (jalan) terklasifikasi, dalam satuan tertentu serta pada selang waktu tertentu. Survei ini bermaksud untuk mendapatkan data yang berguna dalam perencanaan maupun rekayasa lalu lintas. Berdasarkan data ini, nanti dapat diperoleh nilai LHR (Lintas Harian Rata-rata) maupun LHRT (Lintas Harain Rata-rata Tahunan). LHR merupakan jumlah rata-rata kendaraan yang melewati suatu titik pengamatan pada suatu ruas jalan dalam waktu 1 hari (24 jam), sedangkan LHRT merupakan jumlah rata-rata kendaraan yang melewati suatu titik pengamatan pada suatu ruas jalan dalam waktu 1 hari (24 jam), selama setahun (365 hari) atau jumlah lalu lintas setahun yang dibagi 365.

LHRT = LHR x Fkh x Fkb (2)

Fkh : Faktor koreksi variasi arus lalu lintas harian (bisa didapat di PU) Fkb : Faktor koreksi variasi arus lalu lintas bulanan (bisa didapat di PU) 2.4.4.2 Ruang lingkup

Panduan ini meliputi persiapan, pelaksanaan dan pengolahan data yang biasa dilakukan untuk survei pencacahan lalu lintas dengan metoda manual, yaitu dengan mencatat jumlah kendaraan menurut klasifikasinya secara manual.

(54)

36  2.4.4.3 Persiapan

Surveyor harus diberi informasi pada saat pengarahan mengemai bagaimana berbagai kelas kendaraan dapat dikenali. Untuk itu, ilustrasi dengan menggunakan gambar perlu diusahakan. Surveyor menempati suatu titik yang tetap di tepi jalan, sedemikian sehingga diperoleh pandangan yang jelas dan sedapat mungkin agar petugas terhindar dari panas dan hujan. Surveyor mencatat setiap kendaraan yang melewati titik yang telah ditentukan pada formulir lapangan.

2.4.4.4 Alat yang digunakan

Alat yang diperlukan untuk survei pencacahan lalu lintas manual terklasifikasi adalah :

a. handy tally counter; b. formulir survei; c. alat tulis; d. jam/stop watch.

2.4.4.5 Pengambilan contoh/sampling

Dari jenis/klasifikasi kendaraan yang disurvei biasanya diusahakan agar semua kendaraan yang lewat dihitung. Jadi, diusahakan 100% kendaraan tercacah. Pencatatan data umumnya dilakukan secara terpisah untuk masing-masing arah lalu lintas, dan kemudian menjumlahkannya pada tahap analisis untuk memperoleh volume total 2 arah.

Jangka waktu pelaksanaan survei tergantung dari maksud pelaksanaan survei dan kondisi lalu lintas yang dipecahkan. Survei dapat berlangsung mulai

(55)

dari 1 jam hingga satu hari penuh atau bahkan untuk beberapa hari. Jika menjadi masalah adalah kemacetan pada saat jam sibuk, maka pencacahan volume lalu lintas pada jam sibuk perlu dilakukan survei yang lebih rinci, yaitu dengan melakukan pencacahan volume dengan interval waktu 5 menit, selain itu juga diperlukan data volume selama sehari.

Dalam rangka survei untuk memperoleh suatu arus lalu lintas sehari penuh, maka survei harus dilakukan selama 24 jam. Akan tetapi, porsi terbesar arus lalu lintas terjadi antara jam 06.00 pagi hingga jam 22.00 malam. Oleh karena itu untuk keperluan desain, biasanya waktu pelaksanaan survei dibatasi hanya pada jam-jam tersebut saja (16 jam).

2.4.4.6 Organisasi Survei

Secara umum, penentuan jumlah surveyor dan organisasi pelaksana survei pencacahan lalu lintas sangat dipengaruhi oleh :

1) Tingkat volume ruas

Untuk volume ruas yang cukup tinggi, dengan kecepatan yang tinggi pula, akan menyulitkan surveyor untuk menghitung semua klasifikasi kendaraan yang lewat. Sehingga pencacahan dapat dilakukan oleh lebih dari satu surveyor, yang masing-masing bertanggung jawab mencacah suatu jenis klasifikasi kendaraan tertentu.

2) Rentang waktu survei

Umumnya surveyor dapat melakukan pencacahan secara non stop tidak lebih dari 4 jam (juga tergantung tingkat volume dan kecepatan lalu lintas),

(56)

38  sehingga bila dilakukan pencacahan yang lebih dari 4 jam dari sehari, maka perlu dilakukan penggantian surveyor (dengan sistem shift).

3) Jumlah ruas (cakupan survei)

Seringkali pencacahan lalu lintas diusahakan agar dapat dilakukan secara serentak (kecuali dengan pertimbangan lain), sehingga jumlah surveyor yang dibutuhkan sebanding dengan jumlah ruas yang akan di-survei.

2.4.5 Dasar-dasar perencanaan geometrik jalan

Pengetahuan mengenai dasar-dasar perencanaan geometrik jalan dibutuhkan pada penelitian ini untuk dapat mendefinisikan kriteria penilaian pada informasi kondisi geometrik. Dasar-dasar tersebut seperti sebagai berikut:

2.4.5.1 Kendaraan rencana

Kendaraan rencana adalah kendaraan yang dimensi dan radius putarnya dipakai sebagai acuan dalam perencanaan geometrik. Kendaraan rencana dikelompokkan ke dalam 3 kategori, yaitu:

a. Kendaraan kecil, diwakili oleh mobil penumpang;

b. Kendaraan sedang, diwakili oleh truk 3 as tandem atau oleh bus besar 2 as; c. Kendaraan besar, diwakili oleh truk-semi-trailer.

Dimensi dasar untuk masing-masing kategori Kendaraan Rencana dapat dilihat pada Tabel 2.2 berikut ini.

(57)

Tabel 2.2 Dimensi Dasar Kendaraan Rencana Kategori Kendaraan Rencana Dimensi Kendaraan (cm)

Tonjolan (cm) Radius Putar Radius Tonjolan

(cm) Tinggi Lebar Panjang Depan Belakang Minimum Maksimum Kendaraan Kecil 130 210 580 90 150 420 730 780 Kendaraan Sedang 410 260 1210 210 240 740 1280 1410 Kendaraan Besar 410 260 2100 120 90 290 1400 1370

Sumber: Dirjen Bina Marga. 1997. Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota No.

038/TBM/1997

2.4.5.2 Satuan Mobil Penumpang (SMP)

SMP adalah angka satuan kendaraan dalam hal kapasitas jalan, dimana mobil penumpang ditetapkan memiliki 1 (satu) SMP. Terdapat suatu nilai konversi untuk berbagai tipe kendaraan dibandingkan kendaraan ringan sehubungan dengan pengaruhnya terhadap kecepatan kendaraan ringan dalam arus lalu lintas, yang disebut dengan Ekivalen Mobil Penumpang (emp). Menurut Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI) Nomor: 036/TBM/1997, terdapat sedikit perbedaan nilai emp untuk tiap tipe/jenis perencanaan. Berikut akan ditampilkan tabel nilai emp untuk perencanaan jenis Perencanaan Jalan Perkotaan, baik yang terbagi (pada Tabel 2.3) maupun yang tak terbagi (pada Tabel 2.4).

(58)

40  Tabel 2.3 Nilai Emp Untuk Jalan Perkotaan Terbagi dan Satu Arah

Tipe Jalan:

Jalan satu arah dan jalan terbagi

Arus lalu lintas per lajur

(kend/jam) Emp HV MC Dua-lajur satu-arah (2/1) dan Empat-lajur terbagi (4/2D) 0 ≥1050 1,3 1,2 0,40 0,25 Tiga-lajur satu-arah (3/1) dan Enam-lajur terbagi (6/2D) 0 ≥1100 1,3 1,2 0,40 0,25

Sumber: Dirjen Bina Marga. 1997. MKJI 1997

Tabel 2.4 Nilai Emp Untuk Jalan Perkotaan Tak Terbagi Tipe Jalan:

Jalan tak terbagi

Arus lalu lintas total dua

arah (kend/jam)

emp

HV MC Lebar jalur lalu lintas Wc

(m) ≤ 6 > 6 Dua-lajur tak-terbagi (2/2 UD) 0 ≥1800 1,3 1,2 0,50 0,35 0,40 0,25 Empat-lajur tak-terbagi (4/2 UD) 0 ≥3700 1,3 1,2 0,40 0,25

Sumber: Dirjen Bina Marga. 1997. MKJI 1997

2.4.5.3 Kecepatan rencana

Kecepatan rencana (VR) pada suatu ruas jalan adalah kecepatan yang

dipilih sebagai dasar perencanaan geometrik jalan yang memungkinkan kendaraan-kendaraan bergerak dengan aman dan nyaman dalam kondisi cuaca yang cerah, lalu lintas yang lengang, dan pengaruh samping jalan yang tidak

(59)

berarti. Kecepatan rencana untuk masing-masing fungsi jalan dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 2.5 Kecepatan Rencana Sesuai Klasifikasi Fungsi dan Medan Jalan

Fungsi Kecepatan Rencana, VR (km/jam)

Datar Bukit Pegunungan

Arteri 70-120 60-80 40-70

Kolektor 60-90 50-60 30-50

Lokal 40-70 30-50 20-30

Sumber: Dirjen Bina Marga. 1997. Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota No.

038/TBM/1997

Untuk kondisi medan yang sulit (VR) suatu segmen jalan dapat diturunkan

dengan syarat bahwa penurunan tersebut tidak lebih dari 20 km/jam.

2.4.5.4 Jalur lalu lintas

Jalur lalu lintas adalah bagian jalan yang dipergunakan untuk lalu lintas kendaraan yang secara fisik berupa perkerasan jalan, dimana jalur dapat terdiri atas beberapa lajur. Batas jalur lalu lintas dapat berupa median, bahu, trotoar, pulau jalan, dan separator. Lebar jalur sangat ditentukan oleh jumlah dan lebar jalur peruntukkannya. Lebar jalur minimum untuk jalan umum adalah 4,5 meter, sehingga memungkinkan 2 kendaraan besar yang terjadi sewaktu-waktu dapat menggunakan bahu jalan. Jalur lalu lintas terdiri atas beberapa tipe, yaitu:

a. 1 jalur-2 lajur-2 arah (2/2 UD); b. 1 jalur-2 lajur-1 arah (2/1 UD); c. 2 jalur-4 lajur-2 arah (4/2 D);

(60)

42 

42 

Berikut ini terdapat informasi lebar jalur dan bahu minimum, seperti pada Tabel 2.6 di bawah ini. Tabel 2.6 Penentuan Lebar Jalur dan Bahu Jalan

Keterangan:

**) = Mengacu pada persyaratan ideal

*) = 2 jalur terbagi, masing-masing n x 3,5m, dimana n=jumlah lajur per jalur - = tidak ditentukan

Sumber: Dirjen Bina Marga. 1997. Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota No. 038/TBM/1997

VLHR (smp/hari)

ARTERI KOLEKTOR LOKAL Ideal Minimum Ideal Minimum Ideal Minimum Lebar jalur (m) Lebar bahu (m) Lebar jalur (m) Lebar bahu (m) Lebar jalur (m) Lebar bahu (m) Lebar jalur (m) Lebar bahu (m) Lebar jalur (m) Lebar bahu (m) Lebar jalur (m) Lebar bahu (m) < 3.000 6,0 1,5 4,5 1,0 6,0 1,5 4,5 1,0 6,0 1,0 4,5 1,0 3.000-10.000 7,0 2,0 6,0 1,5 7,0 1,5 6,0 1,5 7,0 1,5 6,0 1,0 10.001-25.000 7,0 2,0 7,0 2,0 7,0 2,0 **) **) - - - - > 25.000 2nx3,5*) 2,5 2x7,0*) 2,0 2nx3,5*) 2,0 **) **) - - - - 42

(61)

2.4.5.5 Lajur lalu lintas

Lajur adalah bagian jalur lalu lintas yang memanjang, dibatasi oleh marka lajur jalan, memiliki lebar yang cukup untuk dilewati suatu kendaraan bermotor sesuai kendaraan rencana. Jumlah lajur ditetapkan dengan mengacu kepada MKJI berdasarkan tingkat kinerja yang direncanakan, di mana untuk suatu ruas jalan dinyatakan oleh nilai rasio antara volume terhadap kapasitas yang nilainya tidak lebih dari 0.80. Untuk kelancaran drainase permukaan, lajur lalu lintas pada alinyemen horizontal memerlukan kemiringan melintang normal. Besaran kemiringan untuk perkerasan aspal dan beton sebaiknya 2-3%, sedangkan untuk perkerasan kerikil sebesar 4-5%. Pada tabel berikut dapat dilihat lebar lajur yang tergantung pada kecepatan dan kendaraan rencana, dimana dalam hal ini dinyatakan dengan fungsi jalan.

2.4.5.6 Alinyemen horisontal

Merupakan proyeksi sumbu jalan pada bidang horizontal, dimana dikenal juga dengan nama “situasi jalan” atau “trase jalan”. Alinyemen horizontal terdiri dari garis-garis lurus (biasa disebut tangen), yang dihubungkan dengan garis-garis lengkung (tikungan). Garis lengkung tersebut dapat terdiri dari busur lingkaran ditambah dengan lengkung peralihan atau busur-busur peralihan ataupun busur lingkaran saja.

1) Bagian garis lurus (tangen)

Dengan mempertimbangkan faktor keselamatan pemakai jalan, ditinjau dari segi kelelahan pengemudi, maka panjang maksimum bagian jalan yang lurus

(62)

  harus ditempuh dalam waktu tidak lebih dari 2,5 menit (sesuai VR). Panjang

bagian lurus untuk setiap fungsi jalan dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 2.7 Panjang Bagian Lurus Maksimum

Fungsi Panjang Bagian Lurus Maksimum (m)

Datar Perbukitan Pegunungan

Arteri 3.000 2.500 2.000

Kolektor 2.000 1.750 1.500

Sumber: Dirjen Bina Marga. 1997. Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota No.

038/TBM/1997

2) Bagian garis lengkung (tikungan)

Bentuk bagian garis lengkung dapat berupa Spiral-Circle-Spiral (SCS); Full Circle (FC); dan Spiral-Spiral (SS). Diantara bagian lurus jalan dan bagian lengkungjalan berjari-jari tetap R terdapat lengkung yang disebut dengan Lengkung Peralihan. Lengkung ini berfungsi berfungsi mengantisipasi perubahan alinemen jalan dari bentuk lurus (R tak terhingga) sampai bagian lengkung jalan berjari jari tetap R sehingga gaya sentrifugal yang bekerja pada kendaraan saat berjalan di tikungan berubah secara berangsur-angsur, baik ketika kendaraan mendekati tikungan maupun meninggalkan tikungan.

(63)

Pada Tabel 2.8 terdapat pangjang jari-jari minimum (dibulatkan) yang harus dipenuhi oleh suatu tikungan sesuai dengan kecepatan rencananya dan pada Tabel 2.9 akan ditampilkan mengenai tikungan dengan jari-jari tertentu yang tidak memerlukan lengkung peralihan.

Tabel 2.8 Panjang Jari-jari Minimum Suatu Tikungan (Dibulatkan) VR (km/jam) 120 100 80 60 50 40 30 20 Jari-jari minimum, Rmin (m) 600 370 210 110 80 50 30 15

Sumber: Dirjen Bina Marga. 1997. Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota No.

038/TBM/1997

Tabel 2.9 Jari-jari Tikungan yang Tidak Memerlukan Lengkungan Peralihan VR (km/jam) 120 100 80 60 50 40 30 20 Jari-jari minimum, Rmin (m) 600 370 210 110 80 50 30 15

Sumber: Dirjen Bina Marga. 1997. Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota No.

038/TBM/1997

Untuk dapat memahami komponen tikungan, maka berikut ini terdapat contoh gambar komponen tikungan Spiral-Circle-Spiral.

(64)

2.4.5.7 A A lengkung dapat beru nol (datar lengkung Gam Alinyemen V Alinyemen vertikal. D upa landai r). Bagian cembung. Circle Spiral Tangen  mbar 2.20 Kom S Vertikal vertikal te Ditinjau dar positif (tanj lengkung mponen Tikun Sumber: Saoda erdiri atas ri titik awa njakan), atau vertikal d ngan Spiral-C ang, 2004 bagian la al perencana u landai ne dapat berup Circle-Spiral andai vertik aan, bagian egatif (turun pa lengkun kal dan b n landai ve nan), atau l ng cekung   bagian ertikal landai atau

(65)

1) Landai maksimum

Kelandaian maksimum dimaksudkan untuk memungkinkan kendaraan bergerak terus tanpa kehilangan kecepatan yang berarti. Kelandaian maksimum didasarkan pada kecepatan truk yang bermuatan penuh yang mampu bergerak dengan penurunan kecepatan tidak lebih dari separuh kecepatan semula tanpa harus menggunakan gigi rendah. Kelandaian maksimum untuk berbagai VR

ditetapkan dapat dilihat dalam Tabel 2.11.

Tabel 2.10 Kelandaian Maksimum yang Diijinkan

Sumber: Dirjen Bina Marga. 1997. Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota No.

038/TBM/1997

Panjang kritis yaitu panjang landai maksimum yang harus disediakan agar kendaraan dapat mempertahankan kecepatannya sedemikian sehingga penurunan kecepatan tidak lebih dari separuh VR. Lama perjalanan tersebut

ditetapkan tidak lebih dari satu menit. Panjang kritis dapat ditetapkan dari Tabel 2.11. VR (km/jam) 120 110 100 80 60 50 40 <40 Kelandaian maksimum (%) 3 3 4 5 8 9 10 10

(66)

  Tabel 2.11 Panjang Kritis Kelandaian Maksimum

Kecepatan pada awal tanjakan (km/jam)

Panjang Kritis Untuk Kelandaian (m)

4% 5% 6% 7% 8% 9% 10%

80 630 460 360 270 230 230 200

60 320 210 160 120 110 90 80

Sumber: Dirjen Bina Marga. 1997. Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota No.

038/TBM/1997

2) Lengkung vertikal

Lengkung vertikal harus disediakan pada setiap lokasi yang mengalami perubahan kelandaian dengan tujuan mengurangi goncangan akibat perubahan kelandaian dan menyediakan jarak pandang henti. Panjang lengkung vertikal bisa ditentukan langsung sesuai Tabel 2.12 yang didasarkan pada penampilan, kenyamanan, dan jarak pandang.

Tabel 2.12 Panjang Minimum Lengkung Vertikal Kecepatan Rencana (km/jam) Perbedaan Kelandaian Memanjang (%) Panjang Lengkung (m) <40 1 20-30 40-60 0,6 40-80 >60 0,4 80-150

Sumber: Dirjen Bina Marga. 1997. Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota No.

(67)

3) L L bermuatan kendaraan kendaraan arah berl mempuny padat. Pen berikut: d terlampau Lajur pen serongan dengan se Gambar 2 Sumber: Lajur pendak Lajur pend n berat atau n lain pada n lambat ter awanan. L yai kelandai nempatan l disediakan ui, jalan mem

ndakian dim sepanjang 4 erongan sep .21. Dirjen Bina M kian (climbi dakian dim u kendaraa umumnya, rsebut tanp Lajur penda ian yang be lajur penda pada jalan miliki LHR mulai 30 m 45 meter da panjang 45 Gam Marga. 1997. T ing lane) maksudkan an lain yang agar kenda pa harus ber akian haru esar, mener akian harus n arteri ata R > 15.000 S meter dari an berakhir meter. Un mbar 2.21 Laju Tata Cara Per 038/TBM/ untuk me g berjalan le araan kenda rpindah laju us disediak rus, dan vo dilakukan au kolektor SMP/hari, d awal peru r 50 meter ntuk lebih j ur Pendakian rencanaan Ge /1997 enampung ebih lamba araan lain d ur atau me an pada r olume lalu dengan ke r; apabila dan persenta ubahan kel sesudah pu jelasnya da eometrik Jalan truk-truk at dari kend apat menda enggunakan ruas jalan lintasnya r etentuan se a panjang ase truk > 1 landaian de uncak kelan apat dilihat n Antar Kota N yang daraan ahului lajur yang relatif ebagai kritis 15 %. engan ndaian pada No.

Gambar

Gambar 2.1 Klasifikasi Jalan Menurut Fungsi  Sumber: Saodang, 2004 I  I II  II III III IV IV KP AP AP AP KP KP KP LP LP LP I II III IV AP KP LP
Gambar 2.2 Klasifikasi Jalan Menurut Wewenang Pembinaan  Sumber: Saodang, 2004 I  I II  II III III IV IV N N N/P P K K K K K SN SP N P SK K N/P I N II III IV P K SN SK SP
Gambar  2.3 Bagian-bagian Jalan  Sumber: PP No. 34 Tahun 2006 
Gambar  2.4 Pe Sum
+7

Referensi

Dokumen terkait

Menurut Subani (1984), udang karang atau lobster memiliki ciri-ciri yaitu badan besar dan dilindungi kulit keras yang berzat kapur, mempunyai duri-duri keras dan tajam,

Oleh karena itu tujuan penelitian adalah membuat diskripsi ilmiah kadar aflatoksin pada jagung dari tingkat petani, pedagang pengumpul dan pedagang besar dan mempelajari

Rakitlah rangkaian motor DC Seri untuk penyalaan dengan resistor starter seperti pada Lampiran 6. Atur Resistor Starter pada posisi

Produksi varietas unggul baru bawang merah Super Philips memperoleh hasil tertinggi sebesar 116,04 persen dibandingkan tanaman varietas lokal Bantaeng, sedangkan varietas

Telah dilakukan penelitian dengan judul “Penerapan Model Pembelajaran Guided Discovery dengan Teknik Bertukar Tempat pada Materi Kalor untuk Meningkatkan Hasil

Sebagaimana hasil penelitian terdahulu, bahwa pada jarak tanam yang lebih lebar, yaitu pada jarak tanam berbasis 30 cm, ternyata Varietas Pandan Wangi memberikan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak terdapat interaksi yang nyata antara kedua faktor perlakuan, tetapi faktor umur bibit memberikan lebih banyak pengaruh

Tabel 2 menunjukkan bahwa berdasarkan hasil uji BNT (0,05) ternyata secara faktor tunggal pengaruh Phosfat dan sulfur berpengaruh nyata akibat pemberian pemupukan