• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karel Martinus Siahaya 2020198420

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "Karel Martinus Siahaya 2020198420"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

0 NASKAH PUBLIKASI

TOKI BATU: NYANYIAN DIRI, TUHAN DAN SEMESTA Dalam Kajian Tata Kelola Seni

Karel Martinus Siahaya 2020198420

PROGRAM MAGISTER TATA KELOLA SENI INSTITUT SENI INDONESIA YOGYAKARTA

2023

(2)

1 TOKI BATU: NYANYIAN DIRI, TUHAN DAN SEMESTA

Dalam Kajian Tata Kelola Seni

ABSTRAK

Kehadiran musik BABATU atau Toki Batu di Desa Ulahahan sebagai produk budaya tidak dapat terlepas dari narasi musikalitas masyarakat Maluku yang sejak zaman nenek moyang menjadi bagian kehidupan sosial dan budaya. Seperti diketahui bersama budaya musik telah mendarah daging dalam jiwa masyarakat Ulahahan sebagai bagian dari wilayah Maluku. Toki Batu merupakan permainan batu, kayu dan bambu untuk mengiringi nyanyian. Istilah Toki Batu berasal dari kata toki dan batu yang berarti memukul batu. Masyarakat Ulahahan menggunakan musik BABATU sebagai representasi budaya musik dengan melalui potensi alam di tengah arus modern. Proses praktik dilakukan dengan membentuk kelompok musik BABATU sebagai milik bersama dan menjadi identitas masyarakat. Sehingga budaya merupakan identitas daerah yang mampu merepresentasikan tradisi dan menjadi kearifan lokal.

Tujuan penelitian yaitu menjelaskan pengelolaan dan peran musik Toki Batu sebagai identitas masyarakat Desa Ulahahan dalam relasi pengembangan aktivitasperwujudan Ambon Kota Musik. Metode penelitian menggunakan kualitatif deskriptif dengan pendekatan etnografis. Hasil penelitian menjelaskan bahwa Dalam pengelolaannya, komunitas musik BABATU tidak terlepas dari peran Gereja di Ulahahan. Kelompok musik BABATU adalah kelompok ensambel musik yang terdiri dari; kelompok tiup bambu (kuma tiplam), kelompok Toki Batu (pele vatwam) dan kelompok paduan suara (talioro kumi). Komunitas musik BABATU menganut konsep inklusif yang menerima anggota dari berbagai kalangan. Konsep inklusi berdampak pada membaurnya masyarakat dari berbagai kalangan, baik usia, gender maupun suku sehingga menghindari terjadinya sifat eksklusif. Secara fungsional peran komunitas musik BABATU menghidupkan kreativitas masyarakat dalam dunia pendidikan non formal Secara interaksionis simbolik, peran musik BABATU menghadirkan kebersamaan yang dipersatukan dengan rasa memiliki.

(3)

2 ABSTRACT

The presence of BABATU or Toki Batu music in Ulahahan Village as a cultural product cannot be separated from the musical narrative of the Maluku people, which has been part of social and cultural life since ancient times. As is well known, music culture has been ingrained in the soul of the Ulahahan community as part of the Maluku region. Toki Batu is a game of stone, wood and bamboo to accompany singing.

The term Toki Batu comes from the word toki and batu which means to hit the rock.

The Ulahahan community uses BABATU music as a representation of musical culture through natural potential amidst modern trends. The practice process is carried out by forming the BABATU music group as common property and a community identity.

So that culture is a regional identity that is able to represent tradition and become local wisdom. The aim of the research is to explain the management and role of Toki Batu music as the identity of the people of Ulahahan Village in relation to the development of activities for the realization of Ambon City of Music. The research method uses descriptive qualitative with an ethnographic approach. The results of the study explain that in its management, the BABATU music community is inseparable from the role of the Church in Ulahahan. The BABATU music group is a musical ensemble group consisting of; the kuma tiplam group (bamboo blast), the Toki Batu group (pele vatwam) and the choir group (talioro kumi). The BABATU music community adheres to an inclusive concept that accepts members from all walks of life. The concept of inclusion has an impact on the assimilation of people from various backgrounds, both age, gender and ethnicity so as to avoid exclusivity. Functionally the role of the BABATU music community enlivens the creativity of the community in the world of non-formal education. Symbolically, the role of BABATU music is to bring togetherness which is united by a sense of belonging.

(4)

3 Pendahuluan

Desa Ulahahan merupakan salah satu desa yang terdapat di Kabupaten Maluku Tengah yang terletak di pedalaman Seram Selatan. Dahulu, desa Ulalahan dipenuhi dengan suasana di mana hanya ada keheningan dan kesunyian, aktivitas warga seperti biasa, tanpa ada nyanyian yang berarti, tanpa ada alunan musik-musik kapata, tanpa ada tari-tarian saureka-reka (tarian khas Maluku), di mana kesunyian dalam kehidupan yang tanpa atau hampir kehilangan suatu seni yang sejak dulu sering digunakan masyarakat seketika berubah menjadi desa “musik” yang dipenuhi dengan nyanyian dan permainan musik tradisional Maluku BABATU (bambu, buah, batu dan kayu) yang selanjutnya disebut dengan Musik Batu (Pele Vatwam).

Kehadiran musik Toki Batu di Desa Ulahahan sebagai produk budaya tidak dapat terlepas dari narasi musikalitas masyarakat Maluku yang sejak zaman nenek moyang menjadi bagian kehidupan sosial dan budaya. Seperti diketahui bersama budaya musik telah mendarah daging dalam jiwa masyarakat Ulahahan sebagai bagian dari wilayah Maluku. Melalui musik, manusia mampu mengartikulasikan berbagai pemikiran dan perasaan yang tersimpan di dalam memori sebagai salah satu bagian dari warisan budaya. Manusia dengan mudah mampu mengidentifikasi diri mereka, dan menjadikan musik itu sebagai milik mereka yang diketahui, disenangi, digunakan secara serius, diresapi dan dibagikan setiap makna kehidupan lewat music (Gilbert, 2010). Dengan kata lain, musik merupakan hasil dari kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat pemiliknya

Perjalanan musik Toki Batu yang bermula sebagai nyanyian penghibur diri kemudian di adopsi Gereja dan kini menjadi identitas masyarakat Ulahahan menarik untuk dideskripsikan secara mendalam. Kebudayaan masyarakat Desa Ulahahan memiliki makna tersediri. Kebudayaan yang mengakar kuat dalam praktik kehidupan masyarakat setempat menjadi warisan budaya yang harus dilestarikan (Wildan et al., 2019). Masyarakat Ulahahan menggunakan musik BABATU sebagai representasi budaya musik dengan melalui potensi alam di tengah arus modern. Proses praktik dilakukan dengan membentuk kelompok musik BABATU sebagai milik bersama dan menjadi identitas masyarakat. Sehingga budaya merupakan identitas daerah yang

(5)

4 mampu merepresentasikan tradisi dan menjadi kearifan lokal. Menjadi penting kemudian untuk mengetahui bagaimana pengelolaan musik BABATU ditengah masyarakat hingga memberikan peran dan dampaknya sebagai seni musik yang dapat dinikmati baik oleh kalangan daerah atau kalangan yang lebih luas lagi.

Toki Batu sebagai representasi masyarakat Ulahahan kini menjadi produk kebanggaan masyarakat, tentu beragam cara dilakukan agar musik BABATU tetap hadir di tengah masyarakat untuk memberikan peran dalam kehidupan sosial dan budaya. Perjalanan musik Toki Batu yang bermula sebagai hiburan diri hingga menjadi bagian dari kehidupan sosial juga beragama serta bagaimana pengelolaannya akan dideskripsikan secara mendalam dalam tulisan tesis yang berjudul “Toki Batu:

Nyanyian Diri, Tuhan dan Semesta dalam Kajian Tata Kelola Seni.

Kajian Literatur 1. Musik Liturgi

Musik liturgi merupakan nyanyian Gerejawi yang digunakan sebagai pujian kepada Tuhan di dalam Gereja untuk mendengarkan dan mengalami Tuhan melalui musik (Manafe, 2014). Nyanyian Gerejawi merupakan unsur yang paling penting dalam jemaat Kristen sebagai media untuk mengucap rasa syukur dan puji-pujian atas karya penyelamatan Allah dalam Kristus Yesus (Harianja dan Nibaho, 2010).

Nyanyian liturgi merupakan ekspresi hati seseorang sebagai bentuk pujian dan persembahan kepada Tuhan atas rasa syukur yang telah diberikan melalui pengorbanan Yesus Kristus.

Melalui musik, makhluk-makhluk Allah mempersembahkan pujian-pujian yang di mana di sekeliling diri-Nya dipenuhi dengan pujian, penyembahan dan kekudusan (Wahyu 4:8-11). Seperti yang dikatakan (Caram, 2004), bahwa segala musik berasal dari Allah dan tidak ada satu alat musik yang jahat jika alat tersebut digunakan dengan benar dan sebagai media untuk memuliakan Allah. Sehingga dalam hal ini, alat musik yang digunakan sebagai media pengiring lagu-lagu pujian tidak memiliki aturan khusus dan manusia bebas melakukan ekspresi mereka untuk menyampaikan rasa syukur kepada Tuhan. Namun, menurut (Prier, 2000) musik liturgi tidak bebas nilai khususnya pada lirik lagu, karena dikhususkan sebagai bagian integral dari ibadah.

Dalam konteks budaya, Gereja dapat menyesuaikan musik liturgi dengan budaya yang disebut inkulturasi agar pewartaan Injil dapat diterima oleh beragam suku

(6)

5 bangsa (Saragih dan Wiharjokusumo, 2022). Proses inkulturasi menjadi salah satu upaya untuk menyelaraskan budaya masyarakat dengan Agama sehingga menciptakan lingkungan dengan identitas yang tetap ada. (Hesselgrave, 1995) proses tersebut sebagai sebuah “pempribumian”, di mana dalam mengkaji musik Gerejawi berkaitan dengan perkembangan jemaat yang tidak dapat dibatasi oleh suatu gaya atau genre musik tertentu karena setiap Gereja memiliki kebutuhan dan potensi yang berbeda- beda. Seperti halnya musik BABATU, yang berperan dalam kehidupan musik Gereja di Desa Ulahahan sebagai iringan lagu-lagu rohani. Kebutuhan akan adanya musik karena keterbatasan alat musik yang modern menjadikan musik BABATU berpotensi sebagai pelengkap ibadah bagi Jemaat Gereja desa Ulahahan.

2. Musik dalam Komunitas

Komunitas pada dasarnya terbentuk untuk menjadi solusi atas sebuah masalah yang muncul di tengah masyarakat. Misalnya seperti ketika seseorang merasa tidak menjadi bagian dari suatu masyarakat, maka orang tersebut akan membentuk sebuah komunitas dengan orang lain yang memiliki masalah yang sama dengan dirinya.

Komunitas bisa dikatakan sebagai solusi yang menjadi masalah baru karena dibentuk oleh orang yang memiliki perasaan yang sama tapi meninggalkan orang lain yang berbeda perasaan (Lee Willingham, 2021).

Dalam bermusik, komunitas dapat dianggap sebagai “act of hospitality”

(Higgins & Lee, 2010). Di mana pemimpin komunitas (facilitator) menyambut seseorang dengan tangan terbuka tanpa melihat atau mengukur kemampuan dan pengalaman bermusiknya. Komunitas ini terbuka untuk siapa saja yang ingin bergabung. Namun, ada konsep lain dari hospitality tersebut, di mana facilitator membuat batasan untuk orang-orang yang dianggap tidak bisa aktif atau serius mengikuti aturan komunitas tersebut yang sebelumnya sudah dibuat (Lee Willingham, 2021). Hal ini dianggap perlu dilakukan karena kegiatan komunitas musik selalu terikat oleh waktu, dan beberapa kegiatan bisa sukses dengan pembatasan tersebut.

Anez sebagai pencipta musik BABATU membuat sebuah komunitas secara inklusif di masa pandemi Covid-19 dengan tujuan untuk menyatukan masyarakat di Desa Ulahahan dengan berbagai latar belakang. Waktu yang tepat bagi Anez dalam membangun komunitas karena dampak pandemi yang memisahkan interaksi antar individu dapat teratasi melalui komunitas tersebut.

Kemudian Small (1998) menyatakan bahwa untuk mendeskripsikan komunitas sosial yang terkait dengan musik yaitu community (masyarakat); scene (tempat kejadian); tribe (suku); subculture (cabang kebudayaan); audience (penonton);

consumer (konsumen). Sebagai kelompok musik yang bersifat Inklusi.Inklusi sendiri adalah sebuah pendekatan yang berguna untuk mengembangkan dan membangun

(7)

6 sebuah lingkungan yang bersifat terbuka. Dalam inklusi, semua orang dari etnik, latar belakang, status, keahlian dan kondisi yang berbeda-berda berkumpul menjadi satu kelompok. Dengan demikian komunitas yang inklusif adalah sebagai sebuah komunitas yang mampu menerima berbagai bentuk keberagaman dan keberbedaan serta mengakomodasinya ke dalam berbagai tatanan maupun infrastruktur yang ada di dalam komunitas tersebut. Beberapa pengelolaan yang dilakukan menurut Yerichuk & Krar (2019) tentang pengelolaan komunitas musik dengan pendekatan sebagai berikut:

a. Mengidentifikasi tujuan. Tujuan dari kegiatan komunitas musik adalah penggerak di balik semua pertanyaan tentang inklusifitas. Tidak ada komunitas yang berhasil menerapkan pendekatan inclusion jika tidak memperhitungkan tujuan dari kegiatan bermusik, dan tujuan itu hanya bisa diperhitungkan dengan mempertimbangkan tempat dan orang-orang yang terlibat.

b. Mengidentifikasi kepemimpinan (leadership) dan kontrol. Menjawab pertanyaan tentang siapa yang mengontrol kegiatan bermusik berhubungan erat dengan tujuan dan sama pentingnya.

c. Struktur dan proses musik yang inklusif. Pertimbangan ini berawal dari akses, misalnya, apakah audisi atau pengalaman bermusik dibutuhkan?

Inklusifitas musik sebaiknya mempertimbangkan bagaimana musik diperdengarkan atau dipelajari untuk menentukan teknik paling cocok yang bisa memberi semangat peserta yang ditargetkan.

d. Struktur dan proses sosial yang inklusif. Struktur yang inklusif secara sosial pertama-tama mengakui bahwa beberapa orang menghadapi hambatan yang lebih besar untuk berpartisipasi daripada yang lain. Selain itu, kegiatan musik dapat menggabungkan proses inklusif sosial yang menimbulkan rasa memiliki di antara para peserta, seperti berbagi tumpangan, berbagi keahlian musik, dan menumbuhkan kepemimpinan di antara para peserta.

3. Musik dan Identitas

Gardiner W Harry (2013) mengatakan bahwa identitas adalah pendefenisian diri seseorang sebagai individu yang berbeda dalam prilaku, keyakinan dan sikap.

Identitas dibagi atas beberapa jenis, salah satunya adalah identitas pribadi. Identitas pribadi adalah karakteristik yang unik yang membedakannya dari orang lain. Setiap individu memiliki identitas yang berbeda sehingga tidak sama satu dengan lainnya.

Karakteristik individu banyak dipengaruhi oleh banyak faktor. Preferensi dalam musik juga dapat menjadi salah satu faktornya, ada sebagian orang menyukai musik yang pelan dan lembut (light music) karena dapat membuat nyaman dan menenangkan

(8)

7 perasaan, tetapi tidak sedikit juga menyukai musik yang keras ( heavy music ) yang dapat membuat semangat ( Schwartz & Fouts 2003).

Shwartz & Fouts (2003) juga mengatakan bahwa kecendrungan mendengarkan salah satu jenis musik ternyata berpengaruh kepada identitas atau karakteristik dan tingkah laku seseorang dalam kehidupan sehari – hari. Hingga saaat ini tidak sedikit orang yang bisa melepaskan diri dari alunan musik apapun jenisnya, entah sebagai permulaan mengawali aktivitas atau bahkan dalam kesedihan yang dialami. Musik menjadi hal yang universal yang tidak memandang latar belakang semua orang yang memiliki musik favoritnya masing-masing.

Jika musik memiliki peran dalam membentuk identitas manusia, bagaimana dengan musik yang membentuk identitas negara kita, Indonesia? Adanya modernisasi dan perkembangan teknologi telah membawa arus musik yang baru dalam kehidupan masyarakat. Musik klasik, musik jazz, musik pop, serta berbagai macam genre musik lainnya telah turut serta dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Bahkan, jika melihat dari pengalaman sehari-hari, musik dari negara lain yang juga dapat dianggap sebagai budaya lain sangat disukai dan laku di Indonesia. Hal yang menjadi persoalan adalah musik Indonesia yang kurang dilirik dan dianggap “tidak keren”. Sudah bukan hal yang baru jika kita menemui anak-anak yang lebih mengetahui musik asing dibanding musik budaya Indonesia.

Kemudian, Benedict Anderson (2016) mengatakan bahwa kemunculan komunitas membantu dalam menghadirkan identitas dengan ideologinya. Seperti yang terjai pada Ambon sebagai Kota Musik. Identitas yang dicetuskan tersebut terjadi ketika musik dihidupkan oleh berbagai komunitas yang dibentuk di Kota Ambon.

Dengan adanya identitas Ambon sebagai Kota Musik memberikan kebermaknaan dan rasa memiliki dari seluruh masyarakatnya, baik yang terlibat dalam komunitas maupun yang tidak terlibat. Hal ini disebut dengan komunitas terbayang. Masyarakat yang membentuk identitas menjadi pengisi secara menyeluruh yang menghubungkan berbagai masyarakat satu sama lain.(Anderson, 2016).

Metode Penelitian

Perjalanan musik Toki Batu memberikan gagasan dalam konsep penelitian yang dapat diteliti melalui ranah kualitatif dengan pemaparan secara deskriptif.

Metode secara kualitatif berusaha memecahkan permasalahan yang diselidiki dengan menggambarkan keadaan objek/subjek berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya (Nawawi, 2017). Sebagai penelitian yang berusaha melihat kesenian secara budaya di lingkungan masyarakat, maka pendekatan yang dilakukan menggunakan etnografi dengan masuk ke lapangan riset untuk memunculkan sekumpulan representasi. Penelitian etnografi berusaha untuk mendorong peneliti

(9)

8 masuk ke dalam interaksi masyarakat yang akan diteliti melalui perilaku dan persepsi yang terjadi (Reeves et al., 2008).

HASIL DAN PEMBAHASAN

TOKI BATU Sebagai Produk Identitas Budaya Masyarakat Ulahahan

Kehadiran musik Toki Batu ditengah masyarakat Ulahahan mengalami proses yang cukup panjang, dimulai dengan berbagai kebiasaan turun temurun disaat melintasi sungai sehabis bekerja di kebun, biasanya orang tua atau anak – anak akan melepas penat atau lelah dengan duduk di tepi sungai, mengambilesw2 batu yang ada dan mulia memukul (toki) batu-batu tersebut sambil bernyanyi guna menghibur diri mereka sendiri. Kemunculannya diciptakan oleh Anez Latupeirissa seorang seniman musik di Maluku. Sejak dibentuknya komunitas Ulahahan BABATU Orkestra, mereka belum tersentuh dengan keterlibatan pemerintah baik dari segi pendanaan dan bantuan lainnya. Sebagai komunitas yang lahir secara mandiri melalui nilai kearifan lokal, masyarakat Ulahahan dan Gereja menjadi bagian penting dalam keberlangsungannya.

Meskipun di masa yang akan datang adanya keterlibatan pemerintah, hal tersebut menjadi nilai tambah dan kekuatan dalam pertumbuhan komunitas. Namun selama ini, campur tangan pemerintah dalam hal fasilitas pendukung maupun pendanaan belum pernah ada. Meskipun belum ada bantuan dana dan fasilitas, pemerintah sudah mulai memperhatikan potensi musik BABATU, yaitu dengan mengundang mereka untuk melakukan pertunjukan di beberapa acara kegiatan, seperti mengisi upacara di Kabupaten pada 14 Agustus 2020, konser malam sentuhan merah Putih di kabupaten, mengisi Acara TVRI Maluku dan Nasional serta melakukan konser di Taman Budaya Propinsi Maluku.

Pelestarian musik tradisional Toki Batu tidak terlepas dari tanggung jawab pemerintahnya, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah yang memimpin kegiatan berkaitan dengan kebudayaan. Hal itu karena mereka adalah pihak yang paling berkuasa, mereka memiliki masing-masing cara untuk mengatasi fenomena tersebut (Turker & Alaeddinoglu, 2016). Melestarikan berarti berupaya agar tetap panjang umur dan terus berguna bagi kehidupan umat manusia (Gusmanda & Nelisa, 2013). A.W. Widjaja dalam Ranjabar (2019) menjabarkan bahwa pelestarian merupakan kegiatan yang dilakukan secara terus menerus, terarah, dan terpadu guna mewujudkan tujuan tertentu yang mencerminkan adanya suatu yang tetap dan abadi, bersifat luwes dan selektif. Dari data yang dikumpulkan dapat dilihat bahwa masyarakat Ulahahan terdiri dari 3 Etnik yakni NTT, Tionghoa, dan Jawa. Hal ini terjadi karena perkawinan dengan Etnis Seram. Untuk Sub Etnis, yang lebih mendominasi adalah mereka yang berasal dari Seram dengan Jumlah 608 KK, Maluku

(10)

9 Tenggara dengan jumlah 19 KK. TNS 1 KK, Ambon/Lease 4 KK, Buru 2 KK yang terjadi karena proses alkuturasi dalam masyarakat.

Sebagai wilayah dengan multi etnis, tentu perlu adanya aktivitas kelompok yang berperan dalam mempersatukan masyarakat, sehingga pembangunan dan kesejahteraan dapat dijalankan bersama-sama. Wirutomo (2013) mengatakan bahwa bagian terpenting dalam proses pembangunan inklusif untuk mendorong terbentuknya inklusif sosial di dalam masyarakat adalah terbukanya kesempatan bagi semua kalangan untuk dapat berpartisipasi dalam kehidupan sosial. Proses tersebut bukan hanya memenuhi kebutuhan secara fisik, akan tetapi hak-hak dasar seperti pendidikan, kesehatan, politik, pekerjaan, melaksanakan ibadah, menikmati waktu luang, berekspresi diri dan lain-lain. Sejalan dengan pernyataan Wirutomo, bahwa komunitas Ulahahan BABATU Orkestra telah berkontribusi dalam pembangunan inklusif dengan memberikan hak-hak pendidikan, berekspresi, menikmati waktu luang, dan yang terpenting adalah melaksanakan ibadah dalam hubungannya dengan Gereja.

Keterlibatan masyarakat dari berbagai kalangan menjadikan kelompok musik BABATU sebagai kelompok yang bersifat inklusi, Tidak ada aturan spesifik dan batasan dalam mengikuti kelompok musik tersebut, yang terpenting adalah keinginan yang kuat untuk belajar bermain musik BABATU sebagai milik Desa Ulahahan dan menjadi kearifan lokal masyarakat. karena seperti yang dikatakan Nahak (2019), bahwa dalam mendukung kelestarian budaya dan menjaganya dengan melalui culture experience, yaitu dengan terjun langsung belajar dan menguasai budaya tersebut.

Mengelola Toki Batu, Membangun Komunitas Musik

1. Pembentukan dan Tujuan Komunitas Ulahahan BABATU Orkestra Sejak pertama kali tampil sebagai pengisi acara pada ajang pesparawi pada tahun 2018 kelompok Toki Batu ini semakin eksis dan bergiat dalam berbagai pelatihan yang dilakukan dan dijadwalkan oleh Anez. Semula kelompok ini diberi nama yaitu group “Musik BABATU”, kemudian mengalami perubahan nama menjadi

“Beta Ulahahan Musik Etnik”, tetapi sering berjalannya waktu dan dengan berbagai pertimbangan lewat saran dan masukan dari beberapa orang seniman musik, maka pada akhirnya disepakati untuk melakukan perubahan nama dari “Beta Ulahahan Musik Etnik” menjadi “Ulahahan BABATU Orkestra” atau disingkat UBO pada tanggal 07 Oktober 2021. Anez mengambil inisiatif ini atas kesadaran bahwa sangat pentingnya sebuah pengelolaan kelompok musik ini agar semakin profesional dan bahkan dapat dijadikan sebagai musik identitas pada masyarakat Ulahahan.

Masyarakat di Maluku telah lama mengenal musik dan menjadikannya sebuah identitas di dalam kehidupan sehari-hari. Hal tersebut tentu memberikan dampak yang sangat besar dalam perkembangan musik sebagai kesenian yang terus berkembang.

(11)

10 Masyarakat di Maluku telah terbiasa menggunakan musik, nyanyian dan tarian dalam mengubah situasi menjadi sebuah ekspresi yang memberikan kenyamanan. Musik dan nyanyian yang mengalun indah telah masuk ke seluruh wilayah di Maluku, baik di dalam lingkungan kota maupun menerobos masuk hingga ke pedesaan yang belum tersentuh alat musik modern.

Seni dapat terwujud melalui keterampilan dalam memeragakan sesuatu atau kepiawaian multidimensional dalam menciptakan sesuatu secara inventif (Marianto, 2017). Kehadiran musik BABATU mengubah desa yang dahulu hanya memperlihatkan kesunyian, kini menjadi desa “musik” yang dipenuhi dengan nyanyian dan permainan musik teradisional Maluku BABATU (bambu,buah,batu dan kayu) yang selanjutnya disebut dengan Musik Batu (Pele Vatwam). Kemunculan komunitas tentunya didasari dengan tujuan yang ada sebagai konsep komunitas.

Seperti yang dikatakan Siagian (2016), yang menjelaskan bahwa komunitas adalah bentuk kelompok yang saling bekerja sama untuk mencapai tujuan tertentu.

Menjadi sebuah kelompok musik tradisional yang berada di Maluku, tujuan utama mereka adalah untuk membuktikan musik tradisional Maluku mampu bersanding dengan musik terkenal lainnya. Tujuan tersebut disetujui dan diyakini oleh seluruh anggota yang terlibat. Setiap anggota di dalam komunitas memiliki tuntutan untuk mengikuti semua proses dan aturan yang ada dalam mencapai tujuan (Puspawatie, 2019). Membangun sebuah musik merupakan salah satu cara strategi untuk menegaskan identitas diri dan kelompok (Denora, 2004). Identitas dapat digunakan agar masyarakat merasa memiliki dari kelompok tertentu yang dibangun dan dipelihara secara kolektif (Chen, 2014). Kelompok Ulahahan BABATU Orkestra (UBO) berupaya untuk menyatukan masyarakat melalu musik BABATU yang dibangun sebagai identitas. Munculnya Komunitas Ulahahan BABATU Orkestra, memberikan warna baru dalam musik tradisional di Maluku. Komunitas Ulahahan BABATU Orkestra hadir sebagai wadah ekspresi dalam khawatirkan akan situasi pandemi yang dapat menghentikan kreativitas masyarakat, sehingga dibentuklah kelompok musik tersebut di tengah masyarakat.

Konsep edukasi dan pelatihan yang dilakukan dalam komunitas Ulahahan BABATU Orkestra merupakan bentuk pendidikan non-formal. Seperti yang dikatakan Irwan (2017), bahwa pelatihan termasuk ke dalam pendidikan non-formal yang memberikan bekal keterampilan yang praktis, terpakai, terkait kebutuhan, peluang usaha dan potensi ekonomi atau industri bagi masyarakat. kebutuhan akan adanya aktivitas yang bersifat kreatif dan upaya untuk memanfaatkan potensi lokal menjadi pemicu dalam kehadiran kelompok Ulahahan BABATU Orkestra di tengah masyarakat. Pendidikan non-formal merupakan salah satu alternatif dalam melakukan pemberdayaan dan memberikan pelatihan bagi masyarakat di luar

(12)

11 sekolah. Ratnasari dkk (2021) mengatakan bahwa meningkatkan kualitas masyarakat dapat melalui pendidikan non-formal. Sehingga dalam hal ini, komunitas Ulahahan BABATU Orkestra memegang peran dalam meningkatkan kualitas masyarakat dalam konsep edukasi yang bersifat non formal

Dari beberapa tujuan dibentuknya kelompok musik BABATU, bagian terpentingnya adalah bahwa kelompok diciptakan untuk menjadi sebuah konsep pembentukan yang memunculkan sebuah harapan dari kelompok tersebut. Harapan dari kelompok yang ingin memperlihatkan potensi Desa Ulahahan sebagai desa yang memiliki musik BABATU dan memperkenalkan kepada masyarakat luas. Melalui musik BABATU, kelompok ingin mengenalkan Desa Ulahaan sebagai negeri kecil yang menyimpan segudang nilai-nilai budaya berkesenian, serta mengembangkan desa tersebut menjadi ikon sebuah kampung musik tradisional di Maluku Tengah. Harapan tersebut tertuang dalam kelompok musik yang terus dipegang sebagai simbol kekuatan. Sehingga, kelompok Ulahahan BABATU Orkestra berperan sebagai wadah aspirasi masyarakat, khsusnya anggota yang tergabung dan memiliki harapan yang sama. Sebagaimana dikatakan oleh Kay (2000), bahwa melestarikan kegiatan kesenian pada dasarnya secara kolektif melihat diri sendiri tentang citra diri dan citra suatu daerah.

2. Identifikasi Leadership dan Kontrol

Leadership atau kepemimpinan menjadi bagian penting sebagai sifat yang dimiliki seorang pemimpin. Hal ini memberikan peran bagaimana seorang pemimpin mengelola dan mengontrol sebuah komunitas menuju tujuan yang akan dicapai.

Kepemimpinan menjadi salah satu faktor keberhasilan dalam komunitas, semakin baik pola kepemimpinannya maka semakin baik juga kualitas komunitas yang dipimpinnya (Marwan dkk, 2020). Sehingga kebijakan seorang pemimpin memiliki pengaruh yang besar bagi komunitas.

Kelompok musik Ulahahan BABATU Orkestra memiliki pola yang bersifat

“budaya”. Artinya, kepemimpinan didasari dengan siapa yang lebih tua, dia yang harus dihormati. Sebagai komunitas yang lahir di dalam lingkungan dengan tatanan budaya, pulau Seram memiliki budaya yang menjadi pedoman hidup mereka. Masyarakat menjunjung tinggi rasa hormat kepada orang yang lebih tua yang lebih berpengalaman dalam kehidupan. Budaya yang ada di dalam lingkungan tersebut kemudian dibawa ke dalam komunitas dengan mengatur personil berdasarkan atas usia.

Budaya di lingkungan Ulahahan yang diadopsi oleh komunitas Ulahahan BABATU Orkestra memberikan ruang dalam pembentukan perikau individu sebagai anggota, terutama pada anggota yang lebih muda. Menurut Utaminingsih (2014),

(13)

12 lingkungan memberikan pengaruh yang signifikan dalam pembentukan keperibadian seseorang. Sehingga di dalam komunitas, anak-anak akan diajarkan untuk menghormati orang yang lebih tua sebagaimana budaya yang ada di Ulahahan.

Menghormati orang tua menjadi bagian dalam budaya di Ulahahan yang harus dijaga dan dilestarikan. Orang Tua Adat memainkan peran yang cukup penting dalam tatanan masyarakat Ulahahan. Setiap permasalahan yang terjadi, Orang Tua Adat dilibatkan untuk mencari solusi terhadap masalah yang terjadi. Oleh karena itu, kelompok Ulahahan BABATU Orkestra mengajarkan hal tersebut agar generasi yang akan datang masih memegang teguh budaya tersebut sebagai nilai kehidupan sehari- hari di Desa Ulahahan. Sehingga sejalan dengan Soerjono dalam (Kusumastuti, 2014), yang menyatakan bahwa sebuah kelompok memiliki peranan yang meliputi norma- norma yang dihubungkan dengan posisi atau tempat seseorang dalam masyarakat

Untuk usia anak-anak PAUD sampai dengan anak-anak SD kelas 3 akan diberikan tanggung jawab dalam memainkan alat musik yang dimainkan dengan mudah seperti memukul batu dan bambu hanya sebagai ritme saja. Untuk anak-anak SD dari kelas 4 sampai dengan SMA diberikan tanggung jawab untuk memainkan alat musik suling bambu dalam bentuk kelompok paduan suling. Selanjutnya untuk para pemuda lelaki diberikan peran memainkan alat tiup suling Bass atau suling bulu air.

Kelompok ini dikategorikan sebagai kelompok musik kuma tiplam (Tiup Bambu), tetapi di dalam kelompok paduan suling anak-anak mereka juga adalah kelompok paduan suara (talioro kumi). Kelompok Toki Batu (Pele Vatwam) adalah kelompok musik yang beranggotakan para pemain musik orang dewasa, diberikan kepercayaan untuk memainkan alat musik lebih dari satu untuk setiap pemainnya, seperti Toki Batu, gitar, ukulele, kajon, sariki, buah rumba, tabea, tahuri bambu, bass tali satu (string bass).

3. Struktur Musik dan Proses Inklusif

Kelompok musik Ulahahan BABATU Orkestra terlihat mulai diminati oleh masyarakat Ulahahan. Perkembangan jumlah anggota yang pada awal mulanya beranggotakan 29 orang sebagai kelompok paduan suara, kini telah meningkat menjadi 75 orang yang berasal dari berbagai kalangan. Meningkatnya jumlah anggota memperlihatkan bahwa semakin banyak masyarakat yang tertarik dengan keberadaan komunitas Ulahahan BABATU Orkestra. Kelompok tersebut mulai diminati masyarakat Ulahahan dari anak-anak sampai orang dewasa.

Ulahahan BABATU Orkestra yang terdiri dari 75 orang anggota dari masyarakat Ulahahan mereka memiliki semangat besar untuk mengembangkan musik Toki Batu. Jumlah 75 orang tersebut terdiri dari 2 Anak usia PAUD, 38 Anak Sekolah Dasar, 15 anak Sekolah menengah pertama, 6 anak Sekolah menengah atas, 7 orang

(14)

13 usia pemuda dan 7 orang usia dewasa Mereka berlatih bersama dan belajar membaca notasi angka untuk dapat memainkan alat musik ini. Waktu latihan yang dibuat oleh pelatih awalnya hanya seminggu 2 kali yakni hari selasa dan kamis, tetapi dengan sangat antusias yang ditunjukkan oleh semua anggota team, maka proses latihan Ulahahan BABATU Orkestra ditambahkan waktu latihannya menjadi seminggu 4 kali. Sebenarnya ke tujuh puluh lima anggota BABATU orkestra ini pada awalnya tidak bisa memaninkan alat-alat musik ini sama sekali, namun karena semangat dan ketekunan mereka maka proses pelatihan tidak membutuhkan waktu yang lama.

Komposisi Ulahahan BABATU Orkestra terdiri dari anak-anak sekolah minggu dengan peran untuk memainkan alat-alat musik seperti, suling bambu, suling bulu air, tahuri bambu, toki bambu, Toki Batu dan paduan suara. Sedangkan untuk para pemuda dan orang tua memainkan alat musik Toki Batu, suling bambu, tiup bambu, tiup bambu deret, sariki, buah rumba, gitar, ukulele, cajon, string bass dan lain- lain. Kemudian, perincian ansambel kelompok musik UBO sebagai berikut:

Kelompok musik Tiup Bambu “KUMA TIPLAM” terdiri dari alat-lat music:

a. Suling Bambu suara 1, 2, 3, 4 b. Suling bulu air (suling bass) c. Tahuri Bambu

d. Tabea (Tiup Bambu Deret Alifuru) e. Kuma Tiplam (tiup bambu)

Kelompok musik “PELE VATWAM” Toki Batu terdiri dari alat-alat music:

a. Gitar b. Ukulele c. Kajon d. Sariki e. Buah rumba f. Toki bambu

g. Pele Vatwam (Toki Batu)

Kelompok Paduan Suara “TALIORO KUMI”

Tabel 1. Rincian Ansambel Kelompok Musik BABATU 2021

Sifat inklusif dalam komunitas sebagai gaya kepemimpinan, di mana sifat tersebut diadopsi sebagai cara untuk memposisikan semua anggota setara tanpa memandang latar belakang, usia dan gender (Arasli dkk, 2020). konsep inklusif pada Ulahahan BABATU Orkestra dapat diidentifikasi dengan anggota yang beragam dari berbagai kalangan usia dan latar belakang yang berbeda, bahkan beberapa anggota bukan berasal dari dari golongan musisi yang pandai bermain musik. Hal tersebut

(15)

14 sejalan dengan pernyataan Simarmata (2017), yang mengatakan bahwa inklusi sosial merupakan proses yang memberikan daya pada individu atau kelompok tertentu untuk ikut berpartisipasi dalam kehidupan sosial.

Konsep inklusif pada komunitas Ulahahan BABATU Orkestra memberikan peran dalam membangun Desa Ulahahan melalui pemberdayaan, sehingga mencegah terjadinya ekslusif sosial. Kondisi ekslusif sosial (social exclucion) sering muncul sebagai pemicu konflik dan kekerasan, kemiskinan, tidakpedulian terhadap kelompok dan sebagainya (Warsilah, 2015). Eksklusif sosial memisahkan jarak antar masyarakat yang beragam sehingga menyebabkan hilangnya kemampuan untuk saling berbaur (Gutama dan Widiahseno, 2020). Pembangunan bersifat inklusif menjadi penting untuk mencegah terjadinya pemisahan strata sosial masyarakat. Karena pada dasarnya sejarah Ulahahan terbentuk dari beberapa etnik yang tentu saja memberikan banyak persepsi dan warna dalam konsep budaya. Sehingga dapat dikatakan bahwa komunitas Ulahahan BABATU Orkestra memberikan peranan dalam interaksonis simbolik bagi masyarakat untuk saling bersama meskipun berasal dari latar berlakang etnik yang berbeda.

Toki Batu dan Gereja

Awal mula pembentukan sampai dengan perkembangannya Ulahahan BABATU Orkestra dikenal luas oleh masyarakat karena adanya campur tangan pihak Gereja. Dalam hal ini keterlibatan Ketua Majelis Jemaat GPM Ulahahan dan perangkat majelisnya menjadi penting sebagai bagian dari keberlangsungan komunitas.

Sebagaimana awal mula pembentukan Musik BABATU (Bambu dan Batu) yang sebenarnya adalah musik yang lahir dan tumbuh di awal tahun 2018 dengan tujuan untuk mengiringi nyanyian dalam ibadah Jemaat di Gereja.

Hal tersebut menjadi sebuah fungsi sosial musik BABATU yang berperan dalam struktur sosial di dalam Gereja. Selain itu, musik Toki Batu telah ditampilkan dalam beberapa kegiatan di luar Gereja. Sehingga musik BABATU telah menjadi sebuah seni pertunjukan yang ditampilkan dan digunakan dalam situasi umum. Seperti yang dikatakan oleh Anez bahwa selain musik Toki Batu ini menjadi pengiring dalam ibadah minggu di Jemaat GPM Ulahahan, kelompok musik ini juga pernah tgampil pada acara upacara Kemerdekaan 17 Agustus dengan memainkan beberapa lagu nasional dan daerah Maluku. Selain itu pula kelompok Toki Batu ini pernah melakukan kegiatan konser mini yang berlangsung di balai desa Ulahahan yang dihadiri oleh masyarakat di kecamatan Telutih.

Jika menelusuri sejarah panjang perjalanan musik Gereja di Maluku, khususnya di Gereja Protestan Maluku ( GPM) akan ditemukan bahwa pada Abad ke 19 datanglah seorang missionaris Belanda ke Maluku bernama Joseph Kham dan memperkenalkan musik tiup Suling bambu yang selanjutnya dipergunakan untuk kepentingan ibadah atau ritual Gereja. Setelah GPM resmi menjadi sebuah institusi

(16)

15 Gereja pada tahun 1935, musik suling bambu juga terus di gunakan sebagai satu- satunya pengiring nyanyian umat dalam ibadah. Penggunaan musik suling bambu ini terus dipertahankan sampai akhir tahun 1980, kemudian mulai bermunculanlah pada beberapa Gereja musik tiup yang lain seperti, trompet, saxaphone, trombone, tuba yang digabungkan menjadi satu kesatuan guna mengiringi nyanyian umat, walaupun musik suling bambu masih digunakan dan dijadwalkan dalam ibadah minggu sebagai pengiring nyanyian juga.

Fenomena yang menarik adalah ketika Gereja sebagai masyarakat “haus”

mengakui kekuatan pengaruh dari seni-seni musik yang bergaya modern, yang terkadang membuat posisi dan fungsi musik tradisi suling bambu sebagai kebudayaan daerah menjadi kehilangan tempatnya. D.S. Amalorpavadass mengatakan bahwa Injil memiliki merek dagang agama Kristen Barat. Dengan demikian kristianisasi mempunyai andil dalam penghapusan atau pengkerdilan kebudayaan lokal bangsa yang dievangelisasi (Amalorpavadass, 1990:89).

Terhadap maksud ini dapat dikatakan bahwa sesuatu yang misteri dari realitas pemanfaatan suling bambu sebagai pengiring nyanyian Umat di Gereja Protestan Maluku (GPM) mesti dicari pemecahanannya artinya harus direvitalisasi kembali dengan maksud supaya karakteristik budaya Maluku boleh terangkat, selain itu memiliki nilai saing di era pasar global yang sarat dengan politik kapitalisnya.

Perjalanan panjang sejarah musik Gereja di GPM mulai tahun 1980an sampai di era 2000-an selalu diperhadapkan dengan pengaruh musik Barat yang begitu kuat. Oleh karena itu untuk menjaga keseimbangan terhadap pengaruh tersebut maka proses pendidikan dan pembentukan persepsi tentang musik tradisi di GPM sangatlah di butuhkan, dan itulah yang di lakukan oleh salah satu Jemaat Gereja Protestan Maluku di Jemaat Ulahahan.

Peran Gereja terhadap komunitas Ulahahan BABATU Orkestra yaitu dengan memfasilitasi kegiatan anak-anak jemaatnya sendiri, hal ini terlihat dari awal mula persiapan perekrutan anak-anak yang memiliki minat dengan cara diumumkan melalui warta gereja dalam ibadah hari minggu, tetapi juga Gereja menyediakan menyediakan sarana-sarana pendukung lainnya seperti ruangan latihan, alat-alat seperti batu, bambu, kayu yang akan digunakan. Dukungan ini bukan saja dikarenakan semua pemain musik BABATU ini adalah warga jemaat GPM Ulahahan, tetapi juga mengingat Anez adalah suami dari pendeta di jemaat tersebut. Selain itu Semua masyarakat di Ulahahan beragama Kristen Protestan dan tidak ada aliran atau agama lainnya, sehingga relasi yang terbagun dengan baik akan berdampak bagi pengembangan jemaat, sehingga dapat dikatakan bahwa komunitas Ulahahan BABATU Orkestra memiliki hubungan yang erat dengan Gereja dan saling membangun satu sama lain.

Jika melihat hubungan antara komunitas Ulahahan BABATU Orkestra dengan Gereja, maka akan ditemukan bahwa komunitas Ulahahan BABATU Orkestra

(17)

16 menyediakan ilmu dan kesenian yang di transfer kepada anggota sebagai kelompok musik Gereja. Sebaliknya, Gereja menyediakan anggota yang akan dibina sebagai kelompok komunitas Ulahahan BABATU Orkestra. Konsep saling keterkaitan memberikan peran yang baik dalam membina masyarakat khususnya anggota yang tersalurkan dalam Ulahahan BABATU Orkestra ini. Pemberdayaan tersebut menjadi sebuah usaha agar anggota dapat menjadi penyanyi dan pemain musik di Gereja yang berkualitas. Seperti yang dikatakan Karwati dan Mustakim (2018), bahwa pemberdayaan berperan sebagai meningkatkan kemampuan yang bertujuan agar masyarakat mampu melaksanakan berbagai usaha. Fungsi musik BABATU dalam bidang keagamaan terlihat pada hubungannya dengan Gereja, di mana anggota Komunitas Ulahahan BABATU Orkestra berperan dalam struktur Gereja sebagai musik paduan suara yang ditampilkan dalam kegiatan-kegiatan di Gereja, termasuk kegiatan keagamaan. Sehingga, musik BABATU memiliki fungsi sosial dalam keagamaan.

Jika melihat fungsi Ulahahan BABATU Orkestra sebagai musik liturgi dalam pelayanan ibadah di Gereja Protestan Maluku, khususnya di jemaat GPM Ulahahan selama ini, terjadi hanya karena kebiasaan yang sudah berlangsung di dalam jemaat tersebut, dan kebetulan dijadwalkan sebagai musik pengiring berdasarkan inisiatif dari ketua Majelis jemaat GPM Ulahahan sebagai pimpinan di jemaat tersebut, dan biasanya Pendeta jemaat setempat akan mendoakan alat musik tersebut dari mimbar pada saat awal musik pengiring itu masuk ke dalam Gereja untuk mengiringi nyanyian umat. Hal ini semacam tanda disahkannya ( dithabiskan ) alat-lat dan kelompok ini untuk menjadi pengiring tetap dalam dalam ibadah di jemaat GPM Ulahahan.

Sedangkan lagu-lagu yang di gunakan dalam ibadah minggu adalah lagu-lagu yang dikeluarkan oleh yayasan Musik Gereja yang disebut dengan lagu Kidung jemaat, Nyanyian Rohani, Mazmur dan Tahlil dan Dua Sahabat Lama.

Toki Batu Dalam Konteks Ambon Kota Musik

Musik dan kota Ambon tidak dapat dipisahkan. Nusik seakan-akan telah menjadi nadi pergerakan sebuah kota yang dikenal dengan julukan Ambon Manise kareka “institusi bermusik” yang secara lahiriah sudah melekat di dalam nadi dan darah orang Ambon. Selain potensi alamiah yang ada apada masyarakat Ambon, namun juka melihat maraknya pertumbuhan industri musik berskala lokal ( lagu daerah ) dalam bentuk industri rekaman maupun Live Musik yang menghasilkan berbagai prestasi di tingkat Nasional maupun Internasional, maka Pemerintah Kota Ambon pada sebuah even musik di kota Ambon di tahun 2011 mencanangkan Ambon sebagai kota musik. Pencanangan tersebut kemudian ditindak lanjuti oleh Badan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia (BEKRAF RI) bersama – sama dengan

(18)

17 pemerintah kota Ambon dan pemerintah Prosvinsi Maluku. Tepat pada tanggal 29 Oktober 2016

Kehidupan masyarakat Ambon yang telah bersentuhan dengan musik sejak nenek moyang tentu memantik daerah lain di sekitarnya untuk ikut bermusik.

Pengaruh tersebut tidak dapat diatasi, apalagi musik sebagai ekspresi dan ungkapan yang memberikan rasa nyaman bagi mereka yang bermain musik maupun yang mendengarkannya. Didukung dengan kesatuan wilayah yang membentuk persaudaraan antar masyarakat Maluku yang membuat musik semakin kuat dan menyala diberbagai wilayah, bahkan di desa yang kecil seperti Ulahahan. Menurut Ronny Loppies, sebagai direktur Ambon Music Office mengatakan bahwa musik dan kota ambon tidak dapat dipisahkan dan seakan menjadi nadi pergerakan di kota Ambon. Setiap darah di Ambon memiliki kelompok yang menghidupkan musik sebagai ekspresi mereka.

Kemunculan musik Toki Batu di dalam masyarakat Ulahahan adalah keingin pribadi Anez yang ingin mengembangkan musik tersebut untuk menjadi semakin dikenal oleh masyarakat luas. Keinginan Anez ini didukung oleh konteks setempat dan ruang untuk berkarya. Ketika komunitas musik Toki Batu mulai berkembang di Ulahahan, maka komunitas ini menjadi salah satu kontribusi positif dari Anez bagi masyarakat dan jemaat GPM di Ulahahan sendiri, sekaligus merupakan implikasi juga dari peran Ambon sebagai Kota Musik. Pengaruh musik dari Ambon dibawa oleh Anez ketika ia pulang dari Yogyakarta, di mana ia menceritakan bahwa keinginannya membuat alat musik dari batu dan bambu.

Kehidupan Anez yang telah dilalui dengan musik di Kota Ambon kemudian memberikan inspirasi untuk membawa musik ke tanah Ulahahan yang kemudian diterima dengan baik oleh masyarakat dan menciptakan sebuah konsep secara kultur.

Tekad kuat yang dimiliki Anez untuk membangun kelompok musik tersebut merepresentasikan kekhasan dari wilayah Ulahahan. Sebuah kelompok yang memiliki konsep tentunya memberikan sebuah peran dalam kehidupan di masyarakat. seperti yang dikatakan Soerjono (dalam Kusumastuti, 2014) bahwa sebuah kelompok memberikan peranan yang mencangkup norma-norma, konsep individu dan perilaku yang penting bagi struktur sosial.

Sebuah kelompok yang melibatkan berbagai kalangan masyarakat tentu menghadirkan ruang untuk mereka saling berinteraksi. Anggota dari berbagai kalangan dapat saling mengenal satu sama lain dan menjalin kekerabatan. Hubungan tersebut terjalin dalam satu tujuan dan satu konsep sehingga membentuk kelompok yang kuat akan kebersamaan. Komunitas berperan sebagai sarana untuk saling bertukar pikiran, menyelesaikan masalah bersama, saling mengakui dan saling mendukung satu sama lain. Peran dalam komunitas merupakan kombinasi konsep diri dan pengakuan sosial yang ditentukan oleh orang lain (Wehner, 2014).

(19)

18 Konsep seni sebagai fungsi sosial dalam pendapat Hendriani telah teridentifikasi dalam Komunitas Ulahahan BABATU Orkestra, sehingga musik BABATU memiliki peran yang berfungsi di masyarakat baik dalam bidang rekreasi, komunikasi, pendidikan maupun keagamaan. Seperti halnya dengan pendapat Fieldman tentang seni yang memiliki fungsi sosial. Keberfungsian tersebut menjadikan musik BABATU memiliki peran penting dalam kehidupan masyarakat di Desa Ulahahan. Peran tersebut terbentuk karena adanya pengelolaan dalam Komunitas Ulahahan BABATU Orkestra yang mempengaruhi munculnya persepsi tersebut.

Keberhasilan suatu komunitas dalam mencapai tujuannya sangat bergantung pada pengelolaan manajemen yang baik, sehingga hal tersebut ditentukan oleh bagaimana komunitas mengelola seluruh sumber daya yang ada untuk menciptakan aktivitas- aktibitas yang efektif dalam mencapai tujuan (Sabariah, 2017).

Sejak munculnya musik BABATU, masyarakat di Desa Ulahahan telah memahami hal tersebut sebagai fenomena kearifan lokal yang dikelola menjadi sebuah kesenian yang berpotensi, sehingga terbentuknya sebuah komunitas sebagai sarana interaksi. Kemudian, keberadaan komunitas Ulahahan BABATU Orkestra bertransformasi sesuai dengan apa yang dikatakan Ahmadi, di mana komunitas Ulahahan BABATU Orkestra berperan dalam interaksi anggota yang menuntut setiap individu dalam kegiatan kesenian musik BABATU. Anggota dituntut untuk pro aktif, refleksif dan kreatif dalam konsep musik BABATU yang unik dan menjadi kearifan lokal masyarakat di Desa Ulahahan.

KESIMPULAN

Dalam pengelolaannya, komunitas musik BABATU tidak terlepas dari peran Gereja di Ulahahan. Musik yang lahir dan tumbuh di awal tahun 2018 dengan tujuan untuk mengiringi nyanyian dalam ibadah Jemaat di Gereja dan membawa umat berjumpa dengan Tuhan, sekaligus komunitas ini mencoba sesuatu yang baru, menghasilkan sebuah keunikan antara musik BABATU dengan paduan suara Gereja yang dipertunjukan dalam acara-acara tertentu. Kelompok musik BABATU adalah kelompok ensambel musik yang terdiri dari; kelompok tiup bambu (kuma tiplam), kelompok Toki Batu (pele vatwam) dan kelompok paduan suara (talioro kumi).

Komposisi Ulahahan BABATU Orkestra terdiri dari anak-anak yang memainkan alat- alat musik seperti, suling bambu, suling bulu air, tahuri bambu, toki bambu, toki batu dan paduan suara. Sedangkan untuk para pemuda dan orang tua memainkan alat musik Toki Batu, suling bambu, tiup bambu, tiup bambu deret, sariki, buah rumba, gitar, ukulele, cajon, string bass dan lain-lain.

Komunitas musik BABATU menganut konsep inklusif yang menerima

(20)

19 anggota dari berbagai kalangan. Konsep tersebut dihadiri sebagai pemahaman bahwa musik BABATU adalah milik bersama yang semua masyarakat harus memiliki rasa kebanggan terhadap musik tersebut. Konsep inklusi berdampak pada membaurnya masyarakat dari berbagai kalangan, baik usia, gender maupun suku sehingga menghindari terjadinya sifat eksklusif.

Secara fungsional peran komunitas musik BABATU menghidupkan kreativitas masyarakat dalam dunia pendidikan non formal. Anggota dengan mayoritas anak-anak sekolah sebagai generasi muda diajarkan cara bermain musik BABATU agar menjadi penerus tradisi bermain musik BABATU yang telah menjadi sebuah kearifan lokal masyarakat Desa Ulahahan. Komunitas musik BABATU menjadi sebuah ruang interaksi bagi para anggotanya untuk saling bertukar pikiran dan menyatukan tujuan bersama yaitu menjadikan musik BABATU sebagai identitas masyarakat Ulahahan sehingga dapat dikenal lebih oleh masyarakat setempat sekaligus berkontribusi luas dalam perwujudan Ambon sebagai Kota Musik Dunia, inilah semesta yang dimaksudkan dalam tulisan ini. Peran fungsional lainnya yaitu memberdayakan masyarakat sebagai anggota musik BABATU dalam struktur sosial yang menjadi bagian jemaat Gereja.

Secara interaksionis simbolik, peran musik BABATU menghadirkan kebersamaan yang dipersatukan dengan rasa memiliki. Kemudian, musik BABATU juga berperan dalam menjaga budaya dalam sikap dan norma dengan mengajarkan kepada anggota yang lebih muda untuk menghormati yang lebih tua dengan mengatur struktur musik pada rentang usia. Konsep identitas dan harapan bersama juga menjadi sebuah interaksionis simbolik yang dimiliki oleh kelompok musik BABATU sebagai komunitas musik yang bersifat inklusi, di mana anggota kelompok saling membawa harapan mereka untuk membawa musik BABATU sebagai identitas mereka di Desa Ulahahan Maluku Tengah.

Daftar Pustaka

A. Watholy, Abidin Wakano, M. Nour Tawainellla, Fahmi Sallatolohy, J. A. U.

(2012). Menggali Sejarah dan Kearifan Lokal Maluku (H. A. Josep Antonius Ufi (Ed.)). Cahaya Pineleng.

Ahmadi, Dadi. (2008). Interaksi Imbolik: Suatu Pengantar. MediaTor, Volume 9, No.

2

Anderson, B. (2016). Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism. Verso Book.

Arasli, H., dkk. (2020). Constructive Leadership and Employee Innovative Behaviors:

A Serial Mediation Model. Sustainability (Switzerland), 12 (7), 1-17.

Bachri, B. S. (2010). Meyakinkan Validitas Data Melalui Triagulasi pada Penelitian

(21)

20 Kualitatif. Jurnal Teknologi Pendidikan, 10(1), 46–62.

Chen, V. H.-H. (2014). Cultural Identity. Key Concepts in Intercultural Dialogue, 22.

Cynthia, I. & D. A. (2011). Dampak Kekuatan Budaya Indonesia dalam Industri Kreatif. Global Citra Medika, Jakarta.

Fajarini, U. (2014). Sosio-Didaktika : social science education journal. SOSIO- DIDAKTIKA: Social Science Education Journal, 1(2), 123–130.

https://doi.org/10.15408/sd.v1i2.1225

Gilbert, P. (2010). Respons Emosi Musikal. CV Lubuk Agung.

Gusmanda, R., & Nelisa, M. (2013). Pelestarian Naskah-naskah Kuno di Museum Nagari Adityawarman Sumatera Barat. Ilmu Informasi Perpustakaan Dan Kearsipan, 2(1), 573–581. https://doi.org/https://doi.org/10.24036/2449-0934 Gutama, Prima Putra Budi dan Bambang Widiyahseno. (2020). Inklusi Sosial dalam

Pembangunan Desa. REFORMASI, Volume 10 Nomor 1

Hendriani, Dita. (2016). Pengembangan Seni Budaya dan Keterampilan. Yogyakarta:

Ombak

Hennils Tamaela. (2018). Ekspresi Musik Etnis Maluku pada Lagu Toki Gong Sambil Menari, Haleluya Karya Christian Tamaela. ISI Yogyakarta.

Irhandayaningsih, A. (2018). Pelestarian Kesenian Tradisional sebagai Upaya dalam Menumbuhkan Kecintaan Budaya Lokal di Masyarakat Jurang Blimbing Tembalang [Preservation of Traditional Arts as an Effort in Fostering Love for Local Culture in the Jurang Blimbing Tembalang Community]. Anuva, 2(1), 19.

Irwan, Mahfuzi. (2017). Evaluasi Program Pelatihan Keterampilan Mengolah Limbah Kertas Semen Pada PKBM Cahaya Kota Binjai. JPPM (Jurnal Pendidikan dan Pengabdian Masyarakat), 4 (2), 121-132.

Karel Albert Ralahalu. (2012). Berlayar Dalam Ombak, Berkarya Bagi Negeri;

Pemikiran Anak Negeri Untuk Maluku. Ralahuhu Institut.

Karwati, Lilis & Mustakim, (2018). Model Pemberdayaan Masyarakat Terinegrasi dengan Kearifan dan Nilai Budaya Lokal Melalui Pendekatan Sosial Entrepreneurship. VISI: Jurnal Ilmiah PTK PNF, Vol.13, No. 2.

Kay, Alan. (2000). Art and community development: the role the arts have in regenerating communities. Community Development Journal Vol. 35 No. 4.

Kusumastuti, A. (2014). Peran Komunitas dalam Interaksi Sosial Remaja di Komunitas Angklung Yogyakarta. Uiversitas Negeri Yogyakarta.

Latupeirissa, N. A. (2021). BABATU : Musik Tradisional Alifuru di Ulahahan Oleh : Nelsano A. Latupeirissa, M.Sn – Musisi Alifuru Dosen IAKN Ambon.

TerasMaluku.Com. https://terasMaluku.com/headline/2021/03/19/BABATU- musik-tradisional-alifuru-di-Ulahahan-oleh-nelsano-a-latupeirissa-m-sn-musisi- alifuru-dosen-iakn-ambon/

Lemay, Raymond A. (1999). Roles, identities, and expectancies: Positive contributions of role theory to Normalization and Social Role Valorization. In R.

(22)

21 J. Flynn & R. A. Lemay (Eds.), A quarter-century of Normalization and Social Role Valorization: Evolution and impact. Ottawa, ON: University of Ottawa Press.

Lerissa, R.Z, G.A. Ohoirela, D. L. (1999). Sejarah Kebudayaan Maluku. CV. Ilham Bnagun Karya.

Likhamelia, I., & Susetyo, B. (2019). Classical Night: Sebuah Sajian Musik Klasik Oleh Komunitas Himasikstring. Jurnal Seni Musik, 8(1), 22–33.

https://doi.org/10.15294/jsm.v8i1.28368

Liya, D. A., Yuhastina, Y., & Trinugraha, Y. H. (2021). Peran Kegiatan Kreasso sebagai Upaya dalam Mempertahankan Kesenian Tradisional di Era Globalisasi.

Journal of Education, Humaniora and Social Sciences (JEHSS), 4(1), 114–122.

https://doi.org/10.34007/jehss.v4i1.593

Marianto, M Dwi. (2017). Seni dan Daya Hidup Dalam Perspektif Quantum.

Yogyakarta: Scritto Books dan BP ISI Yogyakarta.

Marwan., dkk. (2022). Manajemen Kinerja dan Budaya Komunitas: Suatu Tinjauan Teoritis. Yayasan Kita Menulis.

Marzali, A. (2014). Memajukan Kebudayaan Nasional Indonesia. 26(3), 251–265.

Milles, & Huberman. (1992). Analisis Data Kualitatif. Universitas Indonesia Press.

Musik “BABATU”, Harmoni Dari Pedalaman Seram Selatan – MimbarRakyatNews.com. (n.d.).

Nahak, H. M. . (2019). Upaya Melestarikan Budaya Indonesia Di Era Globalisasi.

Jurnal Sosiologi Nusantara, 5(1), 65–76. https://doi.org/10.33369/jsn.5.1.65-76 Nasution, S. (2003). Metode Research: Penelitian Ilmiah. Bumi Aksara.

Nawawi, H. (2017). Metode Penelitian Bidang Sosial. Gajah Mada University Press.

Nugent, Paul D. & Jennifer Flynn. (2020). Reviving Organizational Culture with the Concept of Tradition: A Symbolic Interactionist Perspective. International Journal of Business & Applied Sciences Vol. 9 No. 1, pp. 54-58.

Peris-Ortiz, M., Gomez, J. A., & López-Sieben, M. (2019). Cultural and Creative Industries: An Overview. Innovation, Technology and Knowledge Management, 1–13. https://doi.org/10.1007/978-3-319-99590-8_1

Prasetya, J. T. (2013). Ilmu Budaya Dasar. PT Rineka Cipta.

Puspawatie, Susiana. (2019). Strategi Pengelolaan Paduan Suara Perguruan Tinggi:

Studi Kasus Paduan Suara Mahasiswa Universitas Palangkaraya. Jurnal of Music Science, Tehnology dan Industry, Vol.2 No. 2.

Ranjabar, J. (2019). Sistem Sosial Budaya Indonesia: Suatu Pengantar. PT Ghalia Indonesia.

Ratnasari, Sri dkk. (2021). Pemberdayaan Perempuan Melalui Pelatihan Kewirausahaan Menjahit di PKBM Bina Swakarya. DIKLUS: Jurnal Pendidikan Luar Sekolah, Number:1, (Volume 5).

(23)

22 Rusmawati. (2013). Peran Public Communication Pt. Kaltim Prima Coal dalam

Melaksanakan Program Corporate Social Responsibility di Sangatta – Kutai Timur. EJournal Ilmu Komunikasi, 1(2), 400–417.

Sabariah, Etika. 2017. Manajemen Strategis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Sahir, Syafrida Hafni., dkk. (2022). Kepemimpinan dan Budaya Komunitas. Yayasan Kita Menulis.

ŞEŞEN, Elif. (2015). Role Theory and Its Usefulness In Public Relations. European Journal of Business and Social Sciences, Vol. 4, No. 01, P.P. 136 – 143.

Siagian, Sondang. (2016). Manajemen Sumber Daya Manusia. Cetakan ke-24. Jakarta:

Bumi Aksara.

Simarmata, R. (2017). Perspektif Inklusi Sosial dalam UU Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa: Kebijakan dan Tantangan Implementasi. Transformasi Sosial, 7 - 27.

Small, C. (1998) Musicking: The Meanings of Performing and Listening. Middletown:

Wesleyan University Press.

Sudaryono. (2016). Metode Penelitian Pendidikan. Kencana.

Sugiyono. (2013). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatifdan R & D. CV Alfabeta.

Suparno., Dkk. 2018. Mempertahankan Eksistensi Budaya Lokal Nusantara di Tengah Arus Globalisasi Melalui Pelestarian Tradisi Gawai Dayak Sintang. Jurnal Pekan, Vol. 3, No. 1.

Tamaela, Izaac, C. (2015). Contextualization of Music in the Moluccan Church. Vrije Universiteit.

Tjahyadi, I., Wafa, H., & Zamroni, M. (2019). Kajian Budaya Lokal (S. Andayani (Ed.)). Pangan Press.

Turker, N., & Alaeddinoglu, F. (2016). The Role of Stakeholders in Sustainable Tourism Development in Safranbolu , WestminsterResearch The Role of Stakeholders in Sustainable Tourism Development in Safranbolu , Turkey Turker , N ., Alaeddinoglu , F . and Can , A . S . This is a copy of a paper. HLST-Summer July 12-14, 2016, Kyto, Japan, November 2020, 415–426.

Utaminingsih, Alifiulahtin. (2014). Perilaku Komunitas. Malang: Universitas Brawijaya Press

Wagiran. (2012). Pengembangan Karakter Berbasis Kearifan Lokal Hamemayu Hayuning Bawana. (Identifikasi Nilai-nilai Karakter Berbasis Budaya). Jurnal Pendidikan Karakter, 3, 120801. https://doi.org/10.21831/jpk.v0i3.1249

Warsilah, Henny. (2015). Pembangunan Inklusi Sebagai Upaya Mereduksi Eksklusi Sosial Perkotaan: Kasus Kelompo Marjinal di Kampung Semanggi, Solo, Jawa Tengah. Jurnal Masyarakat dan Budaya, Volume 17, No.2

Watloly, A. (2012). Memperkuat Falsafah Hidop Orang Basudara (Karel Ralahalu (Ed.); Belayar da). Ralahalu Institute.

(24)

23 Willingham, Lee. (2021). Community Music at the Boundaries. Ontario: Wilfrid

Laurier University Press

Wehner, Leslie E. (2014). Role Theory, Narratives, and Interpretation: The Domestik Contestation of Roles. International Studies Review, 16, 411-436.

Wildan, A. D., Dulkiah, M., & Irwandi, I. (2019). Pemaknaan dan Nilai dalam Upacara Adat Maras Taun di Kabupaten Belitung. Panggung, 29(1).

https://doi.org/10.26742/panggung.v29i1.811

Wirutomo, P. (2013). Mencari Makna Pembangunan Sosial: Studi Kasus Sektor Informal di Kota Solo. Jurnal Sosiologi Masyarakat, 18 (1), 101-120.

Yerichuk, D & Krar, J. (2019). From Inclusion to Inclusivity: A Scoping Review of Community Music Scolarship. Internasional Journal of Community Music, 12(2), 169-188, doi: 10.1386/ijcm.12.2.169_1

Yusuf, A. M. (2014). Metode Penelitian: Kuantitatif, Kualitatif dan Penelitian Gabungan. Kencana.

Referensi

Dokumen terkait

Pola asuh yang lebih berperan pada kenakalan adalah pola asuh Ayah tipe otoritatif yang berhubungan dengan kenakalan ringan dan pengasuhan ibu tidak. berhubungan dengan

Untuk itu koordinasi merupakan hal yang sangat penting dilakukan mengingat dalam pelaksanaan kegiatan job expo ini sedikit lowongan kerja yang tersedia tetapi

Walaupun tidak ada politisi-politisi yang berasal dari Kecamatan Sungai Beremas masa itu yang menjadi anggota legislatif tingkat daerah ataupun tingkat nasional,

Pengamatan dilakukan di wilayah penangkapan cumi-cumi yang tidak terdapat penambangan timah dan terdapat penambangan timah di Kabupaten Bangka Selatan meliputi Pesisir

Dari penelitian mengenai penerapan dan pelaksanaan program Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) terhadap produktivitas tenaga kerja pada proyek konstruksi yang telah

Kadar air, bobot jenis, bilangan peroksida dan asam lemak bebas, VCO dengan penamba- han bawang putih 10% memiliki kualitas yang lebih baik dibandingkan dengan

Latar belakang penelitian ini adalah kurangnya pemahaman dan kurang maksimalnya metode guru SMA dalam penilaian hasil belajar PJOK revisi kurikulum 2013 sesuai

Dengan bantuan salah satu tombol fungsi Anda bisa beralih ke pengukuran kasar antena, pada tampilan yang diperluas yang menunjukkan noise offset, kualitas dan