• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENERAPAN ASAS PERADILAN CEPAT PADA PEMERIKSAAN TINDAK PIDANA KORUPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "PENERAPAN ASAS PERADILAN CEPAT PADA PEMERIKSAAN TINDAK PIDANA KORUPSI"

Copied!
68
0
0

Teks penuh

(1)

PENERAPAN ASAS PERADILAN CEPAT PADA PEMERIKSAAN TINDAK PIDANA KORUPSI

Skripsi

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Serjana Hukum

Oleh :

MUH. FADLY ANSAR 4513060112 HukumPidana

FAKULTAS HUKUM/PROGRAM STUDI ILMU HUKUM UNIVERSITAS BOSOWA

MAKASSAR 2019

(2)
(3)
(4)
(5)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirahim

Alhamdulillahi rabbil ‘alamin, penulis ingin menyampaikan ucapan

terima kasihnya kepada Yang Maha Sempurna, Allah SWT atas bimbingan, berkah dan belas kasihan dalam menyelesaikan skripsinya.

Shalawat dan salam selalu tercurahkan kepada nabi besar Muhammad

SAW keluarganya dan pengikutnya sampai akhir zaman.

Ada beberapa masalah yang dihadapi oleh penulis dalam menyelesaikan penelitian ini. Masalah-masalah itu tidak dapat diselesaikan tanpa bantuan, motivasi, kritik dan bimbingan dari banyak orang. Merupakan suatu kehormatan untuk mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Prof. Dr. Marwan Mas, S.H., M.H. sebagai pembimbing pertama, penulis, sekaligus sebagai guru besar Fakultas Hukum Universitas Bosowa Makassar. Basri Oner, S.H., M.H. sebagai pembimbing kedua yang telah berkali-kali membimbing, memberikan koreksi dan nasihat kepada penulis selama menyelesaikan skripsi ini.

Ucapan terima kasihnya yang besar juga ditujukan kepada penguji, Dr. H.

Abd. Salam Siku, S.H., M.H. dan Hj. Suryana Hamid, S.H., M.H. untuk semua saran dam kritik dalam seminar proposal untuk membuat skripsi ini lebih baik.

Terima kasih penulis tujukan juga kepada Dekan Fakultas Hukum Universitas Bosowa Makassar, Dr. Ruslan Renggong, S.H., M.H., kepada wakil dekan Dr. Yulia A Hasan, S.H., M.H. dan Dr. Almusawir, S.H., M.H.

iv

(6)

selaku ketua program studi Ilmu Hukum atas saran mereka, membantu dan mendukung secara administratif, semua dosen dan staf administrasi Fakultas Hukum yang telah membantu, membimbing dan memberikan pengetahuan yang sangat berguna selama tahun-tahun studinya.

Terima kasih khusus selalu ditujukan kepada ibu tercinta penulis, Hasfina Hammade BSW dan ayah tercintanya, M. Ansar Tasbi untuk semua doa, dukungan, dan kasih sayang mereka sebagai pengaruh terbesar dalam kesuksesan dan kehidupannya yang bahagia. Terima kasih kepada saudara-saudaranya, Hajriati Ansar, S.T., Fitriani Ansar, AMKG, Sri Hastuti Ansar, S.Kep, dan Fitrawan Ansar, S. Sos. untuk hidup yang bahagia dan penuh warna.

Terima kasih kepada pihak Pengadilan Negeri Makassar dan Polrestabes Makassar untuk kebaikan dan kehangatan dalam menjadi subjek penelitian ini. Terima kasih banyak untuk semua teman-temannya, Andriani Latief, S.H., M. Amin Syam B Arsyad, Ali Hanafi, Muh. Arif, Ikrawansyah Lukman dan Kak Aco semua senior dan teman-teman penulis di Fakultas Hukum Universita Bosowa Makssar, terutama untuk Fakultas Hukum kelas B dan semua orang yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Dalam hati yang terdalam, penulis menyadari bahwa skripsinya tidak sempurna dan masih membutuhkan saran dan kritik. Terlepas dari ketidaksempurnaannya, ia berharap skripsi ini bermanfaat bagi mahasiswa, dosen, dan pembaca pada umumnya yang membutuhkannya.

v

(7)

Semoga Allah SWT selalu memberkati kita dalam setiap hal yang kita lakukan.

Makassar, 22 Juli 2019

Penulis

vi

(8)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PERSETUJUAN UJIAN SKRIPSI ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

KATA DAFTAR ISI ... vii

BAB 1 PENDAHULUAN... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 4

1.3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 4

1.4 Metode Penelitian ... 5

A. Lokasi Penelitian ... 6

B. Jenis dan Sumber Data ... 6

C. Teknik Pengumpulan Data ... 7

D. Analisis Data ... 8

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 9

2.1. Pengertian Asas Peradilan Cepat ... 9

2.2. Pengetian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana ... 13

2.3. Pengertian Tindak Pidana Korupsi ... 24

2.4. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi ... 28

2.5. Pengertian Pidana dan Pemidanaan ... 30

BAB 3 PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 39

3.1 Penerapan Asas Peradilan Cepat dalam Menangani Tindak Pidana Korupsi ... 39

3.2 Kendala-Kendala Terhadap Penerapan Asas Peradilan Cepat Dalam Menangani Kasus Tindak Pidana Korupsi ... 47

3.3 Analisis Penulisan ... 52

BAB 4 KESIMPULAN DAN SARAN ... 55

4.1 Kesimpulan ... 55

4.2 Saran ... 55

DAFTAR PUSTAKA ... 57

LAMPIRAN ... 59

vii

(9)

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

Cepat secara harfiah dapat dimaknai sebagai sesuatu yang singkat tidak membutuhkan waktu yang lama atau di artikan sebagai sesuatu yang dilakukan segera yang menjadikan tempo sebagai acuannya. Asas cepat dalam proses peradilan disini artinya penyelesaian perakara memakan waktu tidak terlalu lama, hal ini dapat dilihat dari Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1992 yang memberikan batasan waktu paling lama 6 bulan sejak perkara itu didaftarkan di kepaniteraan, kecuali jika memang menurut ketentuan Hukum tidak mungkin diselesaikan dalam waktu enam bulan. Namun demikian, penyelesaian yang cepat ini senantiasa harus berjalan di atas aturan hukum yang benar, adil dan teliti. Asas cepat ini pada dasarnya tidak menghendaki agar proses perkara di Pengadilan dilakukan secara cepat tanpa memperhatikan kebutuhan terhadap penyelesaian suatu perkara apakah dengan diselesaikan dengan cepat membuat putusan yang dikeluarkan oleh hakim kurang pertimbangan.

Berdasarkan Pasal 18 Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, Pembentukan Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi sejalan dan tidak bertentangan dengan ketentuan umum tentang kekuasaan kehakiman.

(10)

Eksistensi lembaga peradilan sebagai pelaksana kekuasaan yudikatif sangat dibutuhkan dan diperlukan dalam kehidupan manusia. Kedudukan lembaga tersebut sebagai salah satu pranata sosial. Fungsi dan peranannya tetap diharapkan sebagai katup penekan atau pressurevalve terhadap segala pelanggaran hukum dan pelanggaran ketertiban umum demi mencapai ketertiban masyarakat.

Jika dilihat dari kasus-kasus yang ada, setidaknya telah menambah rangkaian lembaran hitam terhadap lembaga pelaksana penegak hukum yang dianggap sebagai benteng terakhir untuk mendapatkan suatu keadilan. Namun demikian, sorotan dan kritik yang ditujukan kepada lembaga peradilan itu ternyata tidak hanya bersifat lokal tetapi juga bersifat nasional dan bahkan mendunia sifatnya.

Keterpurukan hukum yang terjadi disebabkan karena banyak faktor diantaranya sistem hukum itu sendiri dan faktor aparat penegak hukum itu sendiri. Penanganan kasus korupsi tidak menjadi semakin baik dengan hadirnya beberapa lembaga Negara seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) serta produk hukumnya seperti Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 yang mengubah Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Belum lagi dengan adanya Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi.

(11)

Semua itu ternyata belum mampu memberantas dan mencegah tindak pidana korupsi, bahkan makin bertambah banyak kasus korupsi yang terjadi. Berdasarkan Corruption Perception Index ranks 2012 lembaga Transparency International Indonesia (TII) melansir

peringkat korupsi Indonesia berada diangka 32. Indeks persepsi korupsi ini merupakan indikator gabungan yang mengukur tingkat persepsi korupsi dari total 176 negara. Sebelumnya Transparency International menyatakan sejak tahun 1998-2004 Indonesia selalu

berada dalam peringkat negara terkorup di dunia. (Transparency Internasional, 2013, The Corruption Perceptions Index).

Proses peradilan Pidana di Indonesia, terkesan bertele-tele dan sangat rumit. Hal itulah yang diduga sebagai faktor penyebab menurunnya tingkat kepercayaannya masyarakat terhadap kinerja dari badan-badan peradilan itu. Kondisi yang demikian itu, setidaknya dianggap sangat menyeramkan, sebab disamping harus bersedia berkorban secara materil, pencari keadilan juga harus mengorbankan tenaga dan pikirannya serta waktunya dalam proses penyelesaian perkara pidana tersebut.

Melihat kondisi tersebut, mantan Ketua KPK Taufiqurrachman Ruki berpendapat sebagai bentuk keprihatinannya sebagaimana diberitakan dalam harian kompas tahun 2005 bahwa “Indonesia Darurat Korupsi”. Senada dengan pendapat tersebut di atas Hambali Thalib menyatakan bahwa “Korupsi di Indonesia sudah merupakan

(12)

virus kanker yang menyebar ke seluruh tubuh bangsa dan sendi- sendi Pemerintahan”.

Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka penulis tertarik untuk menulis propsal dengan judul “Penerapan Asas Peradilan Cepat Pada Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi”.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, maka penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut, yaitu:

1. Apakah asas peradilan cepat dilaksanakan pada pemeriksaan tindak pidana korupsi ?

2. Apakah kendala dalam melaksanakan asas peradilan cepat pada tindak pidana korupsi ?

1.3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian a. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

1) Untuk mengetahui apakah asas peradilan cepat dilaksanakan pada pemriksaan tindak pidana korupsi.

2) Untuk mengetahui apakah yang menjadi kendala dalam melaksanakan asas peradilan cepat pada tindak pidana korupsi.

(13)

b. Kegunaan Penelitian

Sesuai dengan tujuan penelitian yang telah ditetapkan, maka penelitian ini diharapkan dapat memberikan kegunaan, sebagai berikut :

1) Secara akademis/teoritis diharapkan penulisan ini dapat memberikan ilmu pengetahuan, terutama disiplin ilmu Hukum Pidana.

2) Secara Praktis sebagai sumbangan pemikiran bagi kalangan teoritis dan bagi aparat penegak Hukum (Polisi, Jaksa, Hakim) untuk meningkatkan pengetahuan (Knowledget), keahlian dan Perilaku dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi. Selain itu, untuk melengkapi bahan-bahan kepustakaan yang berkaitan dengan pembahasan tindak pidana korupsi.

1.4 Metode Penelitian

Metode penelitian merupakan cara utama yang digunakan peneliti untuk mencapai tujuan dan menentukan jawaban atas masalah yang diajukan. Metode penelitian berhubungan erat dengan prosedur, teknik, alat, serta desain penelitian yang digunakan.

Desain penelitian harus cocok dengan pendekatan penelitian yang dipilih. Prosedur, teknik, serta alat yang digunakan dalam penelitian harus cocok pula dengan metode penelitian yang ditetapkan.

(14)

a. Lokasi Penelitian

Metode penelitian merupakan cara utama yang digunakan peneliti untuk mencapai tujuan dan menentukan jawaban atas masalah yang diajukan. Metode penelitian berhubungan erat dengan prosedur, teknik, alat, serta desain penelitian yang digunakan. Desain penelitian harus cocok dengan pendekatan penelitian yang dipilih. Prosedur, teknik, serta alat yang digunakan dalam penelitian harus cocok pula dengan metode penelitian yang ditetapkan. Adapun lokasi penelitian dilaksanakan di Pengadilan Negeri Makassar dan Polrestabes Makassar.

b. Jenis Dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

1) Data Primer

Sumber data penelitian yang diperoleh secara langsung dari sumberaslinya yang berupa wawancara, jajak pendapat dari individu atau kelompok (orang) maupun hasil observasi dari suatu objek, kejadian atau hasil pengujian (benda). Dengan kata lain, peneliti membutuhkan pengumpulan data dengan cara menjawab pertanyaan riset (metode survei) atau penelitian benda (metode observasi).

(15)

2) Data Sekunder

Sumber data penelitian yang diperoleh melalui media perantara atau secara tidak langsung yang berupa buku, catatan, bukti yang telah ada, atau arsip baik yang dipublikasikan maupun yang tidak dipublikasikan secara umum. Dengan kata lain, peneliti membutuhkan pengumpulan data dengan cara berkunjung ke perpustakaan, pusat arsip atau literatur-literaturyang berhubungan dengan penelitiannya.

c. Teknik Pengumpulan Data

Sebagai tindak lanjut dalam memperoleh data penelitian sebagaimana yang di harapkan, maka penulis melakukan teknik pengumpulan data sebagai berikut :

1) Studi Pustaka (Library Research)

Studi kepustakaan untuk mengumpulkan data sekunder yang merupakan kerangka dasar yang bersifat teoritis sebagai pendukung data empiris. Peneliti ini dilaksanakan dengan cara menelaah dan mempelajari referensi berupa buku-buku Ilmu Hukum, tulisan-tulisan Ilmu Hukum, majalah laporan media cetak dan perundang-undangan yang relevan dengan permasalahan yang sedang penulis teliti.

2) Studi Lapangan (Field Research)

(16)

Studi lapangan dilakukan dengan melakukan penelitian langsung ke lapangan, dengan cara wawancara di Pegadilan, Kepolisian agar mendapatkan data dan informasi demi kelancaran peneliti.

d. Analisis Data

Analisis data yang telah diperoleh dari hasil penelitian ini, disusun dan di analisis secara kualitatif, kemudian selanjutnya data tersebut diuraikan secara deskriptif guna memperoleh gambaran yang dapat dipahami secara jelas terarah untuk menjawab masalah yang penulis teliti.

(17)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Asas Peradilan Cepat

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dikenal beberapa asas yang menjadi acuan kebenaran atau ajaran dari kaidah-kaidah sebagaimana ditemukan dalam bagian penjelasan umum.

Salah satunya asas yang terdapat dalam KUHAP adalah asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan yang berarti peradilan harus dilakukan dengan cepat, sederhana, dan biaya ringan serta bebas, jujur dan tidak memihak harus diterapkan secara konsekuen dalam seluruh tingkat pengadilan (Luhut M.P. Pangaribuan, 2006 : 3).

Dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman ditegaskan pula bahwa peradilan harus dilakukan dengan cepat, sederhana, dan biaya ringan serta bebas, jujur, dan tidak memihak harus ditetapkan secara konsekuen dalam seluruh tingkat peradilan.

Dari pengertian di atas, kata cepat harus dimaknai sebagai upaya strategis yang menjadikan sistem peradilan sebagai institusi yang dapat menjamin terwujudnya/tercapainya keadilan dalam penegakkan Hukum secara tepat oleh pencari keadilan (Sidik Sunaryo, 2005 : 47).

(18)

Hal ini juga ditentukan dalam Pasal 25 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menetukan bahwa:

“Penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap perkara Tindak Pidana Korupsi harus didahulukan dari perkara lain guna penyelesaian secepatnya”.

Dengan demikian kata cepat juga menunjuk kepada jalannya peradilan. Terlalu banyak formalitas merupakan hambatan bagi jalannya peradilan. Makin cepatnya jalan peradilan akan meningkatkan kewibawaan pengadilan dan menambah kepercayaan masyarakat pencari keadilan kepada pengadilan.

Dalam Pasal 50 KUHAP juga dijelaskan bahwa:

1) Tersangka berhak segera mendapat pemeriksaan oleh penyidik dan selanjutnya dapat diajukan kepada penuntut umum;

2) Tersangka berhak perkaranya segera dimajukan ke Pengadilan oleh penuntut umum; dan

3) Terdakwa berhak segera diadili oleh pengadilan.

Demikian pula Pasal 25 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juga menghendaki agar pelaksanaan peradilan yang cepat, sederhana dan biaya ringan serta jujur dan tidak memihak harus diterapkan secara konsekuen di setiap tingkat peradilan.

Pasal 25 :

“Penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang Pengadilan dalam perkara Tindak Pidana Korupsi harus didahulukan dari perkara yang lain guna penyelesaian secepatnya”.

(19)

Dalam Pasal 24 Undang-undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dijelaskan mengenai trasnparansi dan akuntabilitas.

Pasal 24:

1) Setiap orang berhak memperoleh informasi dari Pengadilan Tindak Pidana Korupsi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

2) Pengadilan Tindak Pidana Korupsi menyediakan informasi yang bersifat terbuka dan dapat diakses oleh public mengenai penyelenggaraan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi

3) Ketentuan lebih lanjut mengenai hak dan informasi yang bersifat terbuka sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) diatur dengan peraturan Mahkamah Agung

Sederhana dimaksud sebagai pemeriksaan dan penyelesaian perkara yang harus dilakukan dengan cara efisien dan efektif (Ketentuan Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang 48 Tahun 2009 tentang Kekusaan Kehakiman yang menentukan bahwa peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan).

Sederhana dapat juga dimaknai sebagai suatu proses yang tidak berbelit-belit, tidak rumit, jelas, lugas, non interpretable, mudah dipahami, mudah dilakukan, mudah diterapkan, sistematis, konkrit baik dalam sudut pandang pencari keadilan, maupun dalam sudut pandang penegak hukum yang mempunyai tingkat kualifikasi yang sangat beragam, baik dalam bidang potensi pendidikan yang dimiliki, kondisi sosial ekonomi, budaya dan lain-lain (Sidik Sunaryo, 2005 : 46).

(20)

Biaya ringan mengandung makna bahwa mencari keadilan melalui lembaga peradilan tidak sekedar orang mempunyai harapan akan jaminan keadilan di dalamnya tetapi harus ada jaminan bahwa keadilan tidak mahal, keadilan tidak dapat dimaterialisasikan dan keadilan yang mandiri serta bebas dari nilai-nilai yang merusak nilai keadilan itu sendiri (Sidik Sunaryo, 2005 : 48).

Biaya ringan dimaksudkan agar terpikul oleh rakyat. Biaya perkara yang tinggi kebanyakan menyebabkan pihak yang berkepentingan enggan untuk mengajukan tuntutan hak kepada pengadilan.

Bebas, jujur dan tidak memihak menunjuk kepada proses jalannya peradilan, mulai dari penyelidikan, penyidikan hingga pemeriksaan didepan Pengadilan. Asas ini menghendaki agar setiap proses peradilan Tindak Pidana Korupsi harus mengedepankan asas peradilan cepat, yang berarti peradilan harus dilakukan dengan cepat, sederhana dan biaya ringan serta bebas, jujur dan tidak memihak harus diterapkan secara konsekuen di seluruh tingkat pengadilan, khususnya di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.

Asas ini menjadi hal mutlak yang harus diterapkan dalam setiap tingkat Pengadilan, khususnya dalam Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Jika asas ini diterapkan secara konsekuen di pengadilan tindak pidana korupsi, maka akan tercipta suatu kepercayaan dari semua masyarakat pencari keadilan terhadap badan Peradilan.

(21)

2.2. Pengetian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana 2.2.1 Pengertian Tindak Pidana

Dalam Hukum Pidana, tindak Pidana dikenal dalam beberapa istilah seperti perbuatan pidana, peristiwa pidana ataupun delik. Menurut kamus hukum Ilham Gunawan (2002:75) bahwa :

“Tindak Pidana adalah perbuatan yang melanggar Undang-Undang Pidana dan karena itu bertentangan dengan Undang-Undang yang dilakukan dengan sengaja oleh orang yang dapat dipertanggung jawabkan".

Pengertian dari staafbaarfeitmenurut pendapat beberapa para ahli adalah :

Menurut Evi Hartanti, (2008 : 5-7) sebagai berikut:

Simons, dalam rumusannya straafbaarfeititu adalah :

“Tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggung jawabkan atas tindakannya dan oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum”.

Alasan dari Simon mengapa straafbaarfeitharus dirumuskan seperti diatas karena:

1) Untuk adanya suatu staafbaarfeit disyaratkan bahwa disitu tempat suatu tindakan yang dilarang ataupun yang diwajibkan dengan undang-undang dimana pelanggaran terhadap larangan atau kewajiban seperti itu telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat di Hukum.

(22)

2) Agar suatu tindakan seperti itu tidak dapat di Hukum maka tindakan itu harus memenuhi semua unsur dari delik seperti yang di rumuskan dengan Undang-Undang.

3) Setiap staafbaarfeit sebagai pelanggaran terhadap suatu larangan atau kewajiban menurut Undang-Undang itu, pada hakikatnya merupakan tindakan melawan Hukum atau suatu onrechtmatigehandeling. Jadi sifat melawan Hukum timbul dari suatu kenyataan bahwa tindakan manusia bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, hingga pada dasarnya sifat tersebut bukan suatu unsur dari delik yang mempunyai arti tersendiri seperti halnya dengan unsur lain.

4) E. Utrecht, menerjemahkan staafbaarfeitdengan istilah:

Peristiwa pidana yang sering juga ia sebut delik, karena peristiwa itu suatu perbutanhandelenatau doen-positif atau suatu melalaikan nalaten-negatif, maupun akibatnya (keadaan yang ditimbulkan karena perbuatan atau melalaikan itu). Peristiwa pidana merupakan suatu perisitiwa hukum (rechtsfeit), yaitu peristiwa kemasyarakatan yang membawa akibat yang diatur oleh Hukum.

5) Pompe, Perkataan straafbaarfeitsecara teoritis dapat dirumuskan sebagai suatu :

(23)

“Pelanggaran norma atau gangguan terhadap tertib hukum yang dengan sengaja atau tidak sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku itu adalah penting demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum”.

6) Moeljatno, perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larang yang mana disertai sanksi berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar aturan tersebut.

dapat juga dikatan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang hukum dan diancam pidana asal saja dalam hal itu diingatkan bahwa larangan ditujukan pada perbuatan (yaitu kejadian atau keadaan yang ditimbulkan oleh kelakuan orang, sedang ancaman pidananya ditujukan pada orang yang menimbulkan kejahatan.

Menurut Mahrus Ali, (2017 : 97) terdapat 3 (tiga) hal yang perlu di perhatikan:

1) Perbuatan pidana adalah perbuatan oleh suatu aturan Hukum dilarang dan diancam Pidana.

2) Larangan ditujukan pada perbuatan (yaitu suatu keadaan dan kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang), sedangkan ancaman pidana ditujukan pada orang yang menimbulkan kejadian itu.

(24)

3) Antara larangan dan ancaman pidana ada hubungan yang erat, oleh karena antara kejadian dan orang yang menimbulkan kejadian itu ada hubungan erat pula.

“kejadian tidak dapat dilarang jika karena kejadian yang ditimbulkan olehnya”.

Menurut Sudarto (Teguh Prasteyo, 2017 : 49) Bahwa:

pembentuk Undang-Undang sudah tepat dalam pemakaian istilah tindak Pidana, dan beliau lebih condong memakai isitlah tindak pidana seperti yang telah dilakukan oleh pembentuk Undang-Undang. Karena pembentuk Undang-Undang sekarang selalu menggunakan istilah tindak Pidana sehingga istilah tindak Pidana itu sudah mempunyai pengertian yang dipahami oleh masyarakat.

Menurut Teguh Prasetyo (2017 : 50)

mengenai kewajiban untuk berbuat menunjukkan pengertian gerak-gerik dan tingkah laku jasmani seseorang. Hal tersebut terdapat juga seseorang untuk tidak berbuat, akan tetapi tidak berbuatnya dia, dia telah melakukan tindak pidana dan dapat diancam pidana.

Oleh karena itu, setelah melihat definisi diatas maka dapat diambil kesimpulan bahwa yang disebut dengan tindak pidana adalah perbuatan yang oleh aturan Hukum dilarang dan diancam dengan pidana, dimana pengertian perbuatan disini selain perbuatan yang bersifat aktif (melakukan sesuatu yang sebenarnya dilarang Hukum) juga perbuatan yang bersifat pasif (tidak berbuat sesuatu yang sebenarnya diharuskan oleh Hukum).

(25)

Menurut Subekti dan Tjitrosoedibyo, (2005 : 35) tindak pidana adalah perbuatan yang diancam dengan Hukuman.

Dalam undang-undang sendiri dikenal beberapa istilah untuk delik seperti peristiwa pidana (Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950), perbuatan pidana (Undang-Undang No. 1 Tahun 1951 Tentang Tindakan Sementara Untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan, Kekuasaan dan Acara Pengadilan-Pengadilan Sipil), perbuatan-perbuatan yang dapat di Hukum (Undang-Undang Darurat No.2 Tahun 1951 Tentang perubahan Ordonantie, Tijdelijke Byzondere, Strafbepalingen, tindak pidana (Undang-Undang Darurat No.7 Tahun 1953 Tentang Pemilihan Umum).

Menurut A. Zainal Abidin Farid (1987 : 33), menyatakan bahwa :

“Tindak pidana sebagai suatu perbuatan atau pengabdian yang melawan hukum yang dilakukan dengan sengaja atau kelalaian oleh seseorang yang dapat dipertanggung jawabkan”.

Lebih lanjut MoeljatnoLeden Marpaung, (2005:7), menyatakan:

“Tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa tertentu bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut”.

Menurut E. Utrecht (Leden Marpaung, 2005 : 7) memakai istilah :

(26)

“Peristiwa Pidana” karena yang ditinjau adalah peristiwa (feit) dari sudut hukum pidana.

Simons (P.A.F. Lamintang, 1997 : 176), merumuskan Strafbaarfeit adalah:

“Suatu tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja maupun tidak sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggung jawabkan atas tindakannya dan yang oleh UndangUndang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat di hukum”.

Menurut Rusli Effendy (1986 : 46) bahwa :

“Dalam pemakain perkataan peristiwa pidana haruslah dijadikan dan diartikan sebagai kata majemuk dan janganlah satu sama lain, sebab kalau dipakai perkataan peristiwa saja maka hal ini dapat mempunyai arti lain umpamanya peristiwa alamiah”.

Para ahli yang menganut pandangan ini antara lain : Simons dan J. Bouman (Adami Chazawi, 2002 : 70), J.Bouman (Adami Chazawi, 2002 : 104). Berpendapat bahwa tindak pidana adalah perbuatan yang memenuhi rumusan delik, bersifat melawan hukum dan dilakukan dengan kesalahan.

Pandangan yang kedua,disebut dengan pandangan dualistik. Pandangan ini berpendapat bahwa antara perbuatan pidana dan pertanggung jawaban pidana harus dipisahkan.

Salah satu ahli berpandangan dualistik adalah :

Menurut Moeljanto (Adami Chazawi, 2002 : 105) yang memberikan rumusan tindak pidana :

1) Adanya perbuatan manusia.

2) Perbuatan tersebut memenuhi rumusan dalam undang- undang.

3) Bersifat melawan.

(27)

2.2.2 Unsur-Unsur Tindak Pidana

Pada hakikatnya, setiap perbuatan pidana harus terdiri dari unsur-unsur lahiriah (fakta) oleh perbuatan, mengandung kelakuan dan akibat yang ditimbulkan karenanya Sebuah perbuatan tidak bisa begitu saja dikatakan perbuatan pidana.

Oleh karena itu, harus diketahui apa saja unsur atau ciri dari perbuatan pidana itu sendiri.

Ada begitu banyak rumusan terkait unsur-unsur dari perbutan pidana. Setiap sarjana memiliki perbedaan dan kesamaan dalam rumusannya. Seperti Lamintang yang merumuskan pokok-pokok perbuatan pidana sejumlah tiga sifat.

Wederrechtjek (melanggar hukum), aan schuld te wijten (telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja), dan strafbaar (dapat dihukum).

Unsur-unsur tindak pidana dikemukakan oleh Evi Hartanti (2008 : 7), sebagi berikut :

1) Unsur Subjektif

a. Kesengajaan atau kelalaian.

b. Maksud dari suatu percobaan atau poging seperti yang dimaksud dalam pasal 53 ayat (1) KUHP.

c. Berbbagai maksud seperti yang terdapat dalam kejahatan pencurian uang, penipuan, pemalsuan, dan lain-lain.

d. Merencanakan terlebih dahulu, seperti yang terdapat dalam kejahatan menurut pasal 340 KUHP.

e. Perasaan takut seperti yang terdapat dalam rumusan tindak pidana menurut pasal 308 KUHP.

2) Unsur Objektif

a. Sifat melawan Hukum

(28)

b. Kualitas dari pelaku, misal seorang Pegawai Negeri Sipil melakukan kejahatan yang diatur dalam pasal 415 KUHP.

c. Kausalitas, yaitu hubungan antara suatu tindakan sebagai penyebab dengan kenyataan sebagai akibat.

Pada hakikatnya setiap perbuatan pidana harus terdiri dari unsur-unsur lahiriah (fakta) perbuatan, mengandung kelakuan dan akibat yang ditimbulkan karenanya. Unsur-unsur tersebut yaitu kelakuan dan akibat, untuk adanya perbuatan pidana biasanya diperlukan pula adanya hal ikhwal atau keadaan tertentu yang menyertai perbuatan, hal ikhwal yang mana oleh Van Hamel dibagi dalam dua golongan, yaitu yang mengenai diri orang yang melakukan perbuatan dan yang mengenai diluar diri si pelaku, terkadang dalam rumusan perbuatan pidana yang tertentu dijumpai pula adanya hal ikhwal tambahan yang tertentu pula, hal ikhwal tambahan yang tertentu dalam buku- buku Belanda dinamakan Bijkomende voorwaarden van strafbaarheid, yaitu syaratsyarat tambahan untuk dapat

dipidananya (strafbaar) seseorang. Keadan yang terjadinya kemudian daripada perbuatan yang bersangkutan dinamakan unsur tambahan karena rasio atau alasannya untuk mengadakan syarat tersebut ialah bahwa tanpa ada keadaan itu, perbuatan yang dilakukan tidak cukup merupakan penggangguan ketertiban masyarakat sehingga diperlukan adanya sanksi pidana.

(29)

Menurut Teguh Prasetyo, (2019 : 218) Unsur-unsur delik sebagai:

1) Aliran monistis:

a. Suatu perbuatan b. Melawan hukum

c. Diancam dengan sanksi d. Dilakukan dengan kesalahan

e. Oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan.

2) Aliran dualistis a. Suatu perbuatan

b. Melawan hukum (dilarang) c. Diancam dengan sanksi pidana.

Selanjutnya menurut Teguh Prasetyo, (2017 : 50-51) unsur-unsur tindak pidana, yaitu :

1) Unsur Objektif

Unsur yang tedapatdiluar pelaku. Unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan, yaitu dalam keadaan- keadaan dimana tindakan-tindakan si pelaku itu harus dilakukan, tediri dari :

a. Sifat melanggar hukum b. Kualitas dari si pelaku.

Misalnya keadaan sebagai pegawai negeri didalam kejahatan jabatan menurut pasal 415 KUHP atau keadaan sebagai pengurus atau komisaris dari suatu perseroan terbatas didalam kejahatan menurut pasal 398 KUHP.

c. Kausalitas

Yakni hubungan antara suatu tindakan sebagaipenyebab dengan suatu kenyataan sebagai akibat.

2) Unsur subjektif

a. Unsur yang terdapat atau melekat pada diri si pelaku, atau yang dihubungkan dengan diri si pelaku termasuk didalamnya segala sesuatu yang terkandung didalam hatinya, unsur itu terdiri dari :

b. Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolusatau culpa) c. Maksud pada suatu percobaan, seperti ditentukan

dalam pasal 53 ayat (1) KUHP.

d. Macam-macam maksud seperti terdapat dalam kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, dan sebagainya.

(30)

e. Merencanakan terlebih dahulu, seperti tecantum dalam pasal 340 KUHP, yaitu pembunuhan yang direncanakan terlebih dahulu.

f. Perasaan takut seperti terdapat di dalam pasal 308 KUHP.

Selain keadaan tambahan lain yang timbulnya sesudah dilakukan perbuatan yang tertentu tetapi tidak merupakan bijkomende voorwaarde van strafbaarheid, ada juga walaupun

tanpa adanya keadaan tambahan tersebut terdakwa tetap melakukan perbuatan pidana, yag dapat dituntut untuk dijatuhi pidana sebagaimana yang diacamkan, tetapi dengan adanya keadaan tambahan tadi, ancaman pidananya diberatkankarena keadaan tambahan tersebut dinamakan unsur-unsur tang memberatkan pidana.

Biasanya dengan adanya perbuatan yang tertentu seperti yang dirumuskan dengan unsur-unsur diatas maka sifat pantang dilakukannya perbuatan itu sudah tampak dengan wajar. Sifat yang demikian ini disebut sebagai sifat melawan hukumnya perbuatan, tidak perlu dirumuskan lagi sebagai elemen atau unsur tersendiri akan tetapi, adakalanya kepantangan perbuatan belum cukup jelas dinyatakan dengan adanya unsur-unsur diatas, perlu ditambah dengan kata-kata tersendiri untuk menyatakan sifat melawan hukumnya suatu perbuatan misalnya dalam Pasal 167 KUHP melarang untuk memaksa masuk kedalam rumah, ruanagan atau perkarangan

(31)

tertutup yang dipakai orang lain dengan melawan hukum.

Rumusan masuk kedalam rumah orang lain saja tidak cukup untuk menyatakan kepantangannya perbuatan harus ditambah dengan unsur secara melawan hukum.

Unsur melawan hukum dalam rumusan delik diatasmenunjukan kepada keadaan lahir atau objektif yang menyertai perbuatan. Disamping itu, ada kalanya sifat melawan hukumnya perbuatan tidak terletak pada keadaan objektif tetapi pada keadaan subjektif, yaitu terletak dalam hati atau pribadi dari terdakwa itu sendiri jadi sifat melawan hukumnya perbuatan tidak dinyatakan dari hal-hal lahir, tetapi digantungkan dari niat atau skap batin yang ada pada diri terdakwa. Dalam teori unsur melawan hukum yang demikian dinamakan subjektif Onrechtselement, yaitu unsue melawan hukum yang subjektif.

Menurut P.A.F Lamintang, (1997 : 184) perbuatan yang dikategorikan sebagai tindak pidana bila memenuhi unsur- unsur sebagai berikut :

1) Harus ada perbuatan manusia;

2) Perbuatan manusia tersebut harus sesuai dengan perumusan pasal dari undang-undang yang bersangkutan;

3) Perbuatan itu melawan hukum (tidak ada alasan pemaaf);

4) Dapat dipertanggungjawabkan.

Selanjutnya menurut Satochid Kartanegara (Leden Marpaung, 2005 : 10) mengemukakan bahwa:

(32)

Unsur tindak pidana terdiri atas unsur objektif dan unsur subjektif. Unsur objektif adalah unsur yang terdapat di luar diri manusia, yaitu berupa:

1. Suatu tindakan;

2. Suatu akibat dan;

3. Keadaan (omstandigheid)

Kesemuanya itu dilarang dan diancam dengan hukuman oleh Undang-Undang. Unsur subjektif adalah unsur-unsur dari perbuatan yang dapat berupa :

1. Kemampuan (toerekeningsvatbaarheid);

2. Kesalahan (schuld).

Menurut Moeljatno (Marpaung,Leden, 2005 : 10)

“Tiap-tiap perbuatan pidana harus terdiri dari unsur-unsur lahir, oleh karena itu perbuatan yang mengandung kelakuan dan akibat yang di timbulkan adalah adanya perbuatan pidana, biasanya diperlukan juga adanya hal ihwal atau keadaan tertentu yang menyertai perbuatan.

2.3. Pengertian Tindak Pidana Korupsi

Korupsi itu sendiri berasal dari kata asal corrumpere, suatu kata latin yang lebih tua yang berarti kerusakan atau kebobrokan.

Disamping itu, juga digunakan untuk menunjukkan keadaan atau perbuatan yang buruk. Dari bahasa latin itulah turun ke banyak bahasa Eropa, seperti Inggris, yaitu corruption, corrupt, sedangkan dalam bahasa Perancis, yaitu, corruption; dan Belanda yaitu

(33)

corruptive, dan dari Bahasa Belanda inilah kata itu turun ke

Indonesia yaitu Korupsi (Andi Hamzah, 2006 : 24)

Menurut Marwan Mas, (2014 : 5) Bahwa Pemberantasan Korupsi merupakan salah satu agenda reformasi di bidang hukum sebagaimana di tegaskan dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (disingkat Tap MPR) Nomor XI/MPR/1998 tentang penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.

Tap MPR sebagai ketentuan yang mengikat para penyelenggara Negara, mestinya dipahami oleh para pelaksana hokum sebagai manifestasi dari keinginan rakyat untuk memberantas secara tuntas para pembuat korupsi yang umumnya yang di lakukan oleh oknum aparat penyelenggara Negara dan kalangan pengusaha. Begitu pula hakim sebahai benteng terakhir penegakan korupsi, diharapkan memerankan fungsinya sebagai pengadil yang betul betul bijak dengan memerhatikan aspirasi warga masyarakat dalam memeriksa dan memutuskan perkara korupsi.

Menurut Marwan Mas, (2014 : 5-6) mengenai pengertian korupsi harus ditinjau terlebih dahulu dari asal katanya yaitu dari kata latin,

“corruption” Yang berarti “perbuatan buruk, tidak jujur, tidak bermoral, atau dapat disuap.”

Baharuddin Lopa (1987:6) mengemukakan dan memandang korupsi dalam bidang materil, bidang politik dan bidang ilmu pengetahuan sebagai berikut:

(34)

“Korupsi adalah suatu tindak pidana yang berhubungan dengan penyuapan, manipulasi dan perbuatan-perbuatan lainnya sebagai perbuatan melawan hukum yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, merugikan kesejahteraan atau kepentingan rakyat/umum”.

Lebih lanjut dijelaskan :

“Perbuatan yang merugikan keuangan atau perekonomian negara adalah korupsi di bidang materil sedangkan korupsi di bidang politik dapat berwujud berupa manipulasi pemungutan suara dengan cara penyuapan, intimidasi, paksaan atau campur tangan yang dapat mempengaruhi kebebasan memilih.

Selanjutnya korupsi ilmu pengetahuan dengan cara antara lain tidak memberikan pelajaran yang wajar sehingga si murid (siswa, mahasiswa) menerima ilmu pengetahuan kurang dari yang seharusnya atau menyatakan (mempublisir) sesuatu karangannya/ciptaan ilmu pengetahuan atas namanya adalah ciptaan orang lain”.

Menurut Syed Hussein Alatas (1980:11), makna korupsi dari sisi sudut pandang sosiologis adalah sebagai berikut: Terjadinya korupsi apabila seseorang pegawai negeri menerima pemberian yang disodorkan oleh seseorang dengan maksud mempengaruhi agar memberikan perhatian istimewa kepada kepentingan- kepentingan si pemberi.

Ditambahkan bahwa:

Yang termasuk pula sebagai korupsi adalah pengangkatan sanak saudara, teman-teman atau kelompok-kelompok politik pada jabatan- jabatan dalam kedinasan aparatur pemerintahan tanpa memandang keahlian mereka, maupun konsekuensinya pada kesejahteraan masyarakat yang dinamakan nepotisme, sehingga dapat diketahui adanya empat jenis perbuatan yang tercakup dalam istilah korupsi, yakni penyuapan, pemeresan, nepotisme dan penggelapan.

(35)

Menurut (Andi Hamzah). Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia yang disusun oleh Poerwadarminta (1976 : 524), Pengertian Korupsi adalah:

“perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogokan, dan sebagainya.”

Oleh karena ruang lingkupnya sangat luas, maka pengertian korupsi lebih di sederhanakan yang secara umum merupakan:

“perbuatan buruk dan dapat di suap” (Andi Hamzah, 1984 : 3).

Menurut Ilham Gunawan (Marwan Mas, 2014 : 11) ada tiga faktor yang menyebabkan terjadinya korupsi di Indonesia, yaitu seperti berikut:

1) Factor politik atau yang berkaitan dengan kekuasaan. Hal ini sesuai dengan rumusan penyelewengan penggunaan uang Negara yang di populerkan oleh E. JohnEmerich Edward DalbergActon (lebih dikenal dengan nama LordActon) yang menyatakan bahwa “powertendtocorrupt, but absolute power corrupts absolutely” atau kekuasaan cenderung korupsi, dan

kekuasaanyangabsolute menyebabkan korupsi secara absolute.

2) Factor yuridis atau yang berkaitan dengan hukum, seperti lemahnya sanksi hukuman. Sanksi hukuman akan menyangkut dua aspek.aspek yang pertma adalah peranan hakim dalam menjatuhkan putusan, di mana hakim dapat keliru dalam

(36)

menjatuhkan putusan. Aspek yang ke dua adalah sanksi yang lemah berdasarkan bunyi pasal pasal dan ayat ayat peraturan perundang undangan tindak pidana korupsi.

3) Factor budaya, karena korupsi merupakan peninggalan pandangan feudal yang kemudian menimbulkan benturan kesetiaan, yaitu antara kewajiban terhadap keuarga dan kewajiban terhadap Negara. Hal tersebut berkaitan denga kepribadian yang meliputi mental dan moral yang dimiliki seseorang.

2.4. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi

Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (tipikor) berada di lingkungan peradilan umum. Pada awalnya, Pengadilan Tipikor dibentuk pada Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat yang wilayah hukumnya meliputi seluruh wilayah negara Republik Indonesia.

Setelah diterbitkannya Undang-undang Nomor 46 Tahun 2009, Pengadilan Tipikor dibentuk pada setiap Pengadilan Negeri di ibu kota provinsi yang meliputi daerah hukum provinsi yang bersangkutan. Untuk provinsi DKI Jakarta, Pengadilan Tipikor dibentuk di PN Jakarta Pusat dan meliputi wilayah hukum DKI Jakarta.

Pengadilan Tipikor di PN Jakarta Pusat berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Warga Negara Indonesia (WNI) di luar wilayah negara

(37)

Republik Indonesia. 19 Agustus 2006, Mahkamah Konstitusi menyatakan keberadaan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi bertentangan dengan UUD 1945 karena menimbulkan dualisme peradilan. Mahkamah Konstitusi memberikan waktu tiga tahun kepada pembuat UU (DPR dan pemerintah) untuk membentuk UU Pengadilan Tipikor yang baru. Undang-undang baru itu harus mengatur Pengadilan Tindak Pidana Korupsi sebagai satu-satunya sistem peradilan tindak pidana korupsi. Apabila pada 19 Desember 2009 DPR belum juga mengesahkan undang-undang baru, maka Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dinilai tidak lagi memiliki kewenangan. Akibatnya, seluruh penanganan perkara tindak pidana korupsi menjadi wewenang pengadilan dalam lingkungan peradilan umum.

Batas waktu tiga tahun yang ditetapkan MK berhasil dipenuhi penyelenggara Negara, yang ditandatangani oleh pengesahan UU No. 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, di Jakarta pada 29 Oktober 2009.

Pengadilan Tindak Pidana Korupsi adalah pengadilan yang khusus menangani perkara korupsi. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus tindak pidana korupsi yang penuntutannya diajukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.

(38)

Peradilan Umum untuk pertama kali Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dibentuk pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang wilayah hukumnya meliputi seluruh wilayah negara Republik Indonesia.

Pengadilan Tindak Pidana Korupsi terdapat pada Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan pada Mahkamah Agung. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi berkedudukan di setiap ibu kota kabupaten/kota yang daerah hukumnya meliputi daerah hukum pengadilan negeri yang bersangkutan.

2.5. Pengertian Pidana dan Pemidanaan 2.5.1 Pidana

Pidana berasal dari kata straf (Belanda), yang pada dasarnya dapat diartikan sebagai suatu penderitaan (nestapa) yang sengaja dikenakan/dijatuhkan kepada seseorang yang telah terbukti bersalah melakukan suatu tindak pidana. Para ahli hukum di Indonesia membedakan istilah hukuman dengan pidana. Istilah hukuman adalah istilah umum yang dipergunakan untuk semua jenis sanksi baik dalam ranah hukum perdata, administratif, disiplin dan pidana, sedangkan istilah pidana diartikan secara sempit yaitu hanya sanksi yang berkaitan dengan hukum pidana. Telah banyak ahli yang memberikan pengertian pidana.

(39)

2.5.2 Pemidanaan

Pemidanaan bisa diartikan sebagai tahap penetapan sanksi dan juga tahap pemberian sanksi dalam hukum pidana. Kata

“pidana” pada umumnya diartikan Sebagai hukuman,sedangkan

“pemidanaan” diartikan sebagai penghukuman. Pemidanaan sebagai suatu tindakan terhadap seorang penjahat, dapat dibenarkan secara normal bukan terutama karena pemidanaan itu mengandung konsekuensi-konsekuensi positif bagi si terpidana, korban dan juga masyarakat. Dalam KUHP, penjatuhan pidana pokok hanya boleh satu macam saja dari tindak pidana yang dilakukan, yaitu salah satu pidana pokok yang diancamkan secara alternatif pada pasal tindak pidana bersangkutan. Tidak dibenarkan penjatuhan pidana pokok yang tidak diancamkan pada pasal tindak pidana yang bersangkutan.Untuk tindak pidana pokok, masih dapat dikenakan satu atau lebih pidana tambahan seperti termasuk dalam Pasal 10b.Dikatakan dapat berarti penambahan pidana tersebut adalah fakultatif. Jadi pada dasarnya dalam sistem KUHP ini tidak diperbolehkan dijatuhi pidana tambahan mandiri tanpa penjatuhan pidana pokok, kecuali dalam Pasal 39 ayat (3) (pendidikan paksa) dan Pasal 40 (pengembalian anak yang belum dewasa tersebut pada orang tuanya).

Pemidanaan bisa diartikan sebagai tahap penetapan sanksi dan juga tahap pemberian sanksi dalam hukum pidana. Kata

(40)

“pidana” pada umumnya diartikan Sebagai hukuman,sedangkan

“pemidanaan” diartikan sebagai penghukuman.

Pemidanaan sebagai suatu tindakan terhadap seorang penjahat, dapat dibenarkan secara normal bukan terutama karena pemidanaan itu mengandung konsekuensi-konsekuensi positif bagi si terpidana, korban dan juga masyarakat. Oleh karena itu, teori ini disebut juga teori konsekuensialisme, sebab dijatuhkan bukan karena telah berbuat jahat tetapi agar pelaku kejahatan tidak lagi berbuat jahat dan orang lain takut melakukan kejahatan serupa (Amir Ilyas, 2012 : 95).

Dalam KUHP, penjatuhan pidana pokok hanya boleh satu macam saja dari tindak pidana yang dilakukan, yaitu salah satu pidana pokok yang diancamkan secara alternatif pada pasal tindak pidana bersangkutan. Tidak dibenarkan penjatuhan pidana pokok yang tidak diancamkan pada pasal tindak pidana yang bersangkutan.Untuk tindak pidana pokok, masih dapat dikenakan satu atau lebih pidana tambahan seperti termasuk dalam Pasal 10b.Dikatakan dapat berarti penambahan pidana tersebut adalah fakultatif.Jadi pada dasarnya dalam sistem KUHP ini tidak diperbolehkan dijatuhi pidana tambahan mandiri tanpa penjatuhan pidana pokok, kecuali dalam Pasal 39 ayat (3) (pendidikan paksa) dan Pasal 40 (pengembalian anak yang belum dewasa tersebut pada orang tuanya).

Mengenai maksimum pidana penjara dalam KUHP adalah lima belas tahun dan hanya boleh dilewati menjadi dua puluh tahun, sedangkan minimum pidana penjara adalah satu hari sebagaimana diatur dalam Pasal 12 KUHP.

(41)

Mengenai maksimum pidana kurungan adalah satu tahun dan hanya boleh dilewati menjadi satu tahun empat bulan, dalam hal ada pemberatan pidana karena pengulangan, perbarengan, atau karena ketentuan Pasal 52-52a KUHP.

Adapun minimum pidana kurungan adalah satu hari sebagaimana yang diatur dalam Pasal 18 KUHP (Amir Ilyas, 2012 : 97).

Ada beberapa teori yang telah dirumuskan oleh para ahli untuk menjelaskan secara mendetail mengenai pemidanaan dan tujuan sebenarnya pemidanaan itu dijatuhkan.

Menurut Adami Chazawi (2005 : 157), teori pemidanaan dapat dikelompokkan dalam 3 golongan besar, yaitu:

1. Teori absolut atau teori pembalasan (vergeldingstheorien).

Aliran ini yang menganggap dasar dari hukum pidana adalah alam pikiran untuk pembalasan (vergeldingatau vergeltung).Teori ini dikenal pada akhir abad 18 yang

mempunyai pengikut-pengikut seperti Immanuel Kant,Hegel, Herbart, Stahl, dan Leo Polka.

Menurut Kant (Amir Ilyas, 2012 : 98)

“bahwa pembalasan atau suatu perbuatan melawan hukum adalah suatu syarat mutlak menurut hukum dan keadilan, hukuman mati terhadap penjahat yang melakukan pembunuhan berencana mutlak dijatuhkan”.

Menurut Stahl (Amir Ilyas, 2012 : 98), mengemukakan bahwa:

“Hukum adalah suatu aturan yang bersumber pada aturan Tuhan yang diturunkan melalui pemerintahan negara sebagai abdi atau wakil Tuhan di dunia ini, karena itu negara wajib memelihara dan melaksanakan hukum dengan cara setiap pelanggaran terhadap hukum wajib dibalas sampai setimpal dengan pidana terhadap pelanggarannya”.

Lebih lanjut Hegel (Amir Ilyas, 2012 : 98) berpendapat:

(42)

“Hukum atau keadilan merupakan suatu kenyataan (sebagai these). Jika seseorang melakukan kejahatan atau penyerangan terhadap keadilan, berarti ia mengingkari kenyataan adanya hukum (anti these), oleh karena itu harus diikuti oleh suatu pidana berupa ketidakadilan bagi pelakunya (synthese) atau mengembalikan suatu keadilan atau kembali tegaknya hukum (these)”.

Pendapat lain dikemukakan oleh Herbart (Amir Ilyas, 2012 : 99) bahwa:

“Apabila kejahatan tidak dibalas maka akan menimbulkanketidakpuasan terhadap masyarakat. Agar kepuasan masyarakat dapatdicapai atau dipulihkan, maka dari sudut aethesthica harus dibalasdengan penjatuhan pidana yang setimpal pada penjahat pelakunya”.

2. Teori relatif atau teori tujuan (doeltheorien).

Teori relatif atau teori tujuan berpokok pangkal pada dasar bahwa pidana adalah alat untuk menegakkan tata tertib (hukum) dalam masyarakat.Tujuan pidana ialah tata tertib masyarakat, dan untuk menegakkan tata tertib itu diperlukan pidana.

Pidana adalah alat untuk mencegah timbulnya suatu kejahatan, dengan tujuan agar tata tertib masyarakat tetap terpelihara. Ditinjau dari sudut masyarakat itu tadi, pidana merupakan suatu yang terpaksa perlu (noodzakelijk) diadakan:

Menurut Adami Chazawi (2005 : 162), untuk mencapai tujuan ketertiban masyarakat tadi, maka pidana itu mempunyai tiga macam sifat, yaitu:

1. Bersifat menakut-nakuti (afschrikking);

2. Bersifat memperbaiki (verbetering/reclasering);

(43)

3. Bersifat membinasakan (onschadelijkmaken).

Sementara itu, sifat pencegahannya dari teori ini ada 2 (dua) macam, yaitu:

1. Pencegahan umum (generalpreventie), dan 2. Pencegahan khusus (specialpreventie).

3. Teori gabungan (verneginstheorien).

Teori gabungan ini mendasarkan pidana pada asas pembalasan dan asas pertahanan tata tertib masyarakat, dengan kata lain dua alasan itu menjadi dasar dari penjatuhan pidana.

Teori gabungan ini dapat dibedakan menjadi dua golongan besar, yaitu sebagai berikut:

a. Teori gabungan yang mengutamakan pembalasan, tetapi pembalasan itu tidak boleh melampaui batas dari hal-hal yang perlu dan cukup untuk dapatnya dipertahankannya tata tertib masyarakat.

b. Menurut Schravendijk (Adami Chazawi, 2005 : 166), teori gabungan yang mengutamakan perlindungan tata tertib masyarakat, tetapi penderitaan atas dijatuhinya pidana tidak boleh lebih berat daripada perbuatan yang dilakukan terpidana.

(44)

1) Teori Gabungan yang pertama

Pendukung teori gabungan yang menitikberatkan pada pembalasan ini didukung oleh Pompe (Adami Chazawi, 2005 : 167), yang berpandangan bahwa:

“pidana tiada lain adalah pembalasan pada penjahat, tetapi juga bertujuan untuk mempertahankan tata tertib hukum agar kepentingan umum dapat diselamatkan dan terjamin dari kejahatan. Pidana yang bersifat pembalasan itu dapat dibenarkan apabila bermanfaat bagi pertahanan tata tertib (hukum) masyarakat.”

Pakar hukum yang juga pendukung teori gabungan pertama ini ialah Zevenbergen (Adami Chazawi, 2005 : 167) yang berpandangan bahwa:

“Makna setiap pidana adalah suatu pembalasan, tetapi mempunyai maksud melindungi tata tertib hukum sebab pidana itu adalah mengembalikan dan mempertahankan ketaatan pada hukum dan pemerintahan.”

Oleh sebab itu, pidana baru dijatuhkan jika memang tidak ada jalan lain untuk mempertahankan tata tertib hukum itu.

2) Teori Gabungan yang kedua

Pendukung teori gabungan yang menitikberatkan pada tata tertib hukum ini antara lain Thomas Aquino dan Vos.

Menurut Simons (Adami Chazawi, 2005 : 167),

“dasar primer pidana adalah pencegahan umum;

dasar sekundernya adalah pencegahan khusus.

Pidana terutama ditujukan pada pencegahan umum yang terletak pada ancaman pidananya dalam undang-undang.Apabila hal ini tidak cukup kuat dan tidak efektif dalam hal pencegahan umum itu, maka

(45)

barulah diadakan pencegahan khusus, yang terletak dalam hal menakut-nakuti, memperbaiki dan membikin tidak berdayanya penjahat.Dalam hal ini harus diingat bahwa pidana yang dijatuhkan harus sesuai dengan atau berdasar atas hukum masyarakat.”

Menurut Thomas Aquino (Adami Chazawi, 2005 : 167)

”dasar pidana itu ialah kesejahteraan umum.Untuk adanya pidana, harus ada kesalahan pada pelaku perbuatan, dan kesalahan (schuld) itu hanya terdapat pada perbuatan-perbuatan yang dilakukan dengan sukarela.Pidana yang dijatuhkan pada orang yang melakukan perbuatan yang dilakukan dengan sukarela inilah bersifat pembalasan.Sifat membalas dari pidana merupakan sifat umum dari pidana, tetapi bukan tujuan dari pidana sebab tujuan pidana pada hakikatnya adalah pertahanan dan perlindungan tata tertib masyarakat.”

Pendukung teori ini yang lain ialah Vos (Adami Chazawi, 2005 : 168).

“yang berpandangan bahwa daya menakut-nakuti dari pidana tidak hanya terletak pada pencegahan umum yaitu tidak hanya pada ancaman pidananya tetapi juga pada penjatuhan pidana secara konkret oleh hakim.

Pencegahan khusus yang berupa memenjarakan terpidana masih disangsikan efektivitasnya untuk menakutnakuti. Alasannya ialah bahwa seseorang yang pernah dipidana penjara tidak lagi takut masuk penjara, sedangkan bagi seseorang yang tidak pernah, telah takut untuk dipenjara.Oleh karena itu, diragukan apakah suatu pidana yang dijatuhkan menurut pencegahan khusus dapat menahan si pernah dipidana untuk tidak melakukan kejahatan lagi.”

Dikatakan pula oleh Vos (Adami Chazawi, 2005 : 168),

“bahwa umum anggota masyarakat memandang bahwa penjatuhan pidana adalah suatu keadilan. Oleh karena itu, dapat membawa kepuasan masyarakat.Mungkin tentang beratnya pidana, ada perselisihan paham, tetapi mengenai faedah atau

(46)

perlunya pidana, tidak ada perbedaan pendapat.Umumnya penjatuhan pidana dapat memuaskan perasaan masyarakat, dan dalam hal-hal tertentu dapat berfaedah yakni terpidana lalu menyegani tata tertib masyarakat.

(47)

BAB 3

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

3.1. Penerapan Asas Peradilan Cepat Tindak Pidana Korupsi

Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 Tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, maka proses pemeriksaan perkara tindak pidana korupsi, diharapkan dapat berjalan dengan cepat sebagaimana dimaksud pada Pasal 29 yang menyatakan: “Perkara tindak pidana korupsi diperiksa, diadili dan diputus oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi tingkat pertama dalam waktu paling lama 120 (seratus dua puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal perkara dilimpahkan ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi”.

Pengadilan Tindak Pidana Korupsi berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara:

1) Tindak pidana korupsi;

2) Tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya adalah tindak pidana korupsi; dan/atau;

3) Tindak pidana yang secara tegas dalam undang-undang lain ditentukan sebagai tindak pidana korupsi.

Susunan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Kota Makassar terdiri atas:

(48)

a. Pimpinan ( Pasal 9 UU No. 46 Tahun 2009 )

1. Pimpinan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi teridir atas seorang Ketua dan seorang wakil ketua.

2. Ketua dan wakil ketua Pengadilan Negeri karena jabatanyya menjadi ketua dan wakil ketua Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.

3. Ketua bertanggung jawab atas administrasi dan pelaksaan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.

4. Dalam hal tertentu ketua dapat mendelegasikan penyelenggaraan administrasi Pengadilan kepada wakil ketua.

b. Hakim ( Pasal 10 UU No. 46 Tahun 2009 )

1. Dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara Tindak Pidana Korupsi, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung terdiri atas Hakim Karier dan Hakim ad hoc.

2. Hakim Karier sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan keputusan ketua Mahkamah Agung.

3. Hakim Karier yang ditetapkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) selama menangani perkara Tindak Pidana Korupsi dibebaskan dari tugasnya

(49)

untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara lain.

4. Hakim ad hoc pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Pengadilan Tingii dan pada Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Ketua Mahkamah Agung.

5. Hakim ad hoc sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diangkat untuk masa jabatan selama (5) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan.

c. Panitera ( Pasal 22 UU No. 46 Tahun 2009 )

1. Pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dapat ditetapkan adanya kepaniteraan khusus yang dipimpin oleh seorang Panitera.

2. Ketentuan mengenai susunan kepaniteraan, persyaratan, pengangkatan dan pemberhentian pada jabatan kepaniteraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

3. Ketentuan lebih lanjut mengenai tugas, tanggung jawab, susunan organisasi dan tata kerja

(50)

kepaniteraan khusus Pengadilan Tindak Pidana Korupsi diatur dengan peraturan Mahkamah Agung.

d. Hukum Acara ( Pasal 25 dan 26 UU No. 46 Tahun 2009 ) 1. Pemeriksaan disidang Pengadilan Tindak Pidana

Korupsi dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam Undang- Undang ini.

2. Dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara Tindak Pidana Korupsi dilakukan dengan Majelis Hakim berjumlah ganjil sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang hakim dan sebanyak-banyaknya 5 (lima) orang hakim, terdiri dari Hakim Karier dan Hakim Ad hoc.

3. Dalam hal majelis hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berjumlah 5 (lima) orang hakim, maka komposisi majelis hakim adalah 3 (tiga) banding 2 (dua) dan dalam hal majelis hakim berjumlah 3 (tiga) orang hakim, maka komposisi majelis hakim adalah 2 (dua) banding 1 (satu).

4. Penentuan mengenai jumlah dan komposisi majelis hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan oleh ketua pengadilan masing- masing atau Ketua Mahkamah Agung sesuai dengan

(51)

tingkatan dan kepentingan pemeriksaasn perkara kasus demi kasus.

5. Ketentuan mengenai kriteria dalam penetuan jumlah dan komposisi majelis hakim dalam memeriksa, mengadil dan memutus perkara tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan peraturan Mahkamah Agung.

e. Penetapan Hari Sidang (Pasal 27 UU No. 46 Tahun 2009) 6. Ketua Pengadilan Tindak Pidana Korupsi

menetapakan susunan majelis hakim sebagaimana dimaksud dalam pasal 26 ayat (3) dalam waktu paling lambat 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak tanggal penerimaan penyerahan berkas perkara.

7. Sidang pertama perkara Tindak Pidana Korupsi wajib dilaksanakan dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak penetapan majelis hakim.

f. Pemeriksaan disidang Pengadilan ( Pasal 28 UU No. 46 Tahun 2009 ).

8. Semua alat bukti yang diajukan di dalam persidangan termasuk alat bukti yang diperoleh dari hasil penyadapan, harus diperoleh secara sah berdasarkan ketentuan peraturan perundang- undangan.

(52)

9. Hakim menetukan sah tidaknya alat bukti yang diajukan di muka persidangan baik yang diajukan oleh penuntut umum maupun oleh terdakwa.

g. Penerapan Asas Peradilan Cepat

Seperti dikemukakan sebelumnya bahwa sesuai ketentuan Pasal 29 UU No 46 Tahun 2009: “perkara tindak pidana korupsi diperiksa, diadili dan diputus oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi tingkat pertama dalam waktu paling lama 120 (seratus dua puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal perkara dilimpahkan ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi”.

(Berdasarkan dari hasil penelitian penulis di Polrestabes Makassar, 18 Juni 2019 ) Tentang Penerapan Asas Peradilan Cepat mengenai Tindak Pidana Korpusi. Adapun hasil penelitian penulis mulai dari Penyidikan Kepolisian hingga P21 Kejaksaan, yaitu :

( Abdul Wahab, Penyidik Pembantu Dit.Reskrimsus Polrestabes Makassar, 18 Juni 2019 ), yaitu :

1. Penyelidikan atas dugaan Tipikor

 Laporan atau aduan Tipikor

Yang dimana salah satu saksi intansi yang melakukan pelaporan kepada pihak kepolisian bahwasanya telah terjadi Tipikor diintansi tersebut. kemudian setelah menerima laporan pihak kepolisian melakukan penyelidikan dengan memeriksa

(53)

saksi, dan mengumpulkan alat bukti. Setelah terkumpulnya alat bukti permulaan yang cukup. Maka pihak kepolisian meningkatkan perkara dari penyelidikan (Lidik) ke Tahap Penyidikan (sidik). Berdasarkan Surat Pemberitahuan Dimualinya Penyidikan (SPDP). Adapun tujuan dari penyidikan itu ialah untuk mengetahui atau menemukan apakah ada atau tidaknya terjadi tindak pidana korupsi diinstansi tersebut.

Adapun langkah-langkah dari penyeldikan tindak pidana korups, yaitu :

1) pemeriksaan Dokumen terhadap saksi-saksi dan buktinya cukup.

2) Dilakukan gelar perkara apakah betul adanya tipikor dan kalau betul adanya di tingkatkan ke tahap penyidikan.

2. Penyidikan Tindak Pidana Korupsi.

Didalam pasal 1 angka 2 Kuhap , penyidikan adalah serangkaian tidakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Adapun dari penyidikan tindak pidana Korupsi, yaitu :

(54)

1) Penyidikan terhadap saksi dengan cara penyitaan barang bukti dan pemeriksaan ahli. (memeriksa keterangan ahli, dan saksi )

2) Perkara siapa yang tersangka tipikor ( meminta keterangan tersangka )

3) Melakukan gelar perkara oleh pimpinan Polda. Adapun peserta dalam Gelar perkara tersebut, yaitu :

a) Ahli Hukum ( Ahli Tindak Pidana Korupsi ) b) Internal Penyidikan

c) Penyidik KPK ( jika diperlukan )

Dari hasil wawancara Penulis dengan Bapak Pudjo Hanggul (salah satu Hakim di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Kota Makassar) diperoleh keterangan bahwa penerapan asas peradilan cepat di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Kota Makassar pada prinsipnya sudah melaksanakan ketentuan Pasal 29 UU No. 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Namun masih ada beberapa perkara Tindak Pidana Korupsi yang baru dapat diputus setelah melampaui batas waktu yang ditentukan yaitu 120 (seratus dua puluh) hari. Dalam hal ini penerapan asas peradilan cepat di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Kota Makassar belum sepenuhnya bias berjalan atau masih belum bisa berjalan secara efisien.

(55)

Hal tersebut memang bukan sepenuhnya tanggung jawab dari pihak Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Kota Makassar, namun menjadi tanggung jawab semua pihak yang berperkara di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Kota Makassar agar terlaksana Asas peradilan cepat dalam penyelesaian Tindak Pidana Korupsi. Seperti Jaksa Penutut Umum, Saksi persidangan, Pelapor dan Terlapor dan pihakpihak lain yang terlibat dalam persidangan.

3.2 Kendala Dalam Melaksanakan Asas Peradilan Cepat Pada Kasus Tindak Pidana Korupsi

Berbagai faktor yang melatarbelakangi sehingga penerapan Asas peradilan cepat belum bisa diterapkan secara efisien di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Kota Makassar yaitu:

a. Faktor Internal

Berbagai kendala dihadapi oleh penegak hukum yang ada di Pengadilan Tindak PIdana Korupsi Kota Makassar dalam hal penerapan asas peradilan cepat.

Sebagaimana telah di undangkan pada Pasal 29 UU No.

46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi bahwa “perkara Tindak Pidana Korupsi diperiksa, diadili dan diputus oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi tingkat pertama dalam waktu paling lama 120 (seratus dua puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal perkara dilimpahkan ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi”.

(56)

Menurut wawancara Penulis dengan Bapak Surhatta, SH (Panitra Muda Tindak Pidana Korupsi Pengadilan Negeri Makassar, 24 Juni 2019) menjelaskan beberapa kendala yang dihadapi oleh Pengadilan Tipikor Kota Makassar dalam hal penerapan Asas peradilan cepat, antara lain yaitu:

1. Banyaknya jumlah perkara yang masuk di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Kota Makassar. Dengan banyaknya jumlah perkara yang masuk di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Kota Makassar maka akan menyusahkan pihak Pengadilan dalam hal penerapan Asas peradilan cepat ini, karena Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Kota Makassar masih berada satu atap dengan Pengadilan Negeri Kota Makassar. Sehingga menyulitkan dalam hala penetapan hari sidang.

2. Kurangnya sumber daya manusia. Dalam hal ini jumlah Hakim di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Kota Makassar masih kurang.

3. Antara jumlah perkara yang masuk dengan jumlah Hakim yang ada di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Kota Makassar tidak sebanding.

4. Kurangnya ruang sidang. Kurangnya ruang sidang dapat mempengaruhi penerapan asas peradilan cepat, karena

(57)

sampai saat ini Pengadilan Tipikor Kota Makassar masih satu atap dengan Pengadilan Negeri Kota Makassar.

5. Adanya salah satu Majelis Hakim yang menangani perkara Tindak Pidana Korupsi yang sakit dan diperkuat dengan surat keterangan dokter.

6. Beberapa Hakim Tipikor Kota Makassar juga masih menangani kasus yang selain dari kasus Tindak Pidana Korupsi. Bebepara Hakim juga biasanya menangani kasus perdata, niaga dan kasus-kasus lainnya. Hal ini dikarenakan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Kota Makassar masih berada satu atap dengan Pengadilan Negeri Makassar.

7. Adanya Majelis Hakim yang cuti atau sedang melaksanakan tugas lain di luar kota. Biasanya beberapa majelis Hakim di pengadilan Tindak Pidana Korupsi Kota Makassar mengambil cuti untuk beberapa hari kerja dengan menyampaikan surat cuti kepada Ketua Pengadilan.

Sehingga menyebabkan terganggunya agenda persidangan yang telah ditetapkan sebelumnya, dan persidangangan pun mengalami penundaan.

b. Faktor Eksternal

Kendala-kendala yang di hadapi oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Kota Makassar dalam hal penerapan asas

Referensi

Dokumen terkait

Rumah sakit menentukan staf yang diharuskan menerima pendidikan berkelanjutan untuk mempertahankan kredibilitasnya. Rumah sakit juga menetapkan keharusan ada

harganya diperkirakan mencapai 20 Miliyar. Dengan besarnya biaya investasi yang dibutuhkan, cukup sulit untuk perusahaan pelayaran dalam negeri untuk melakukan

Seluruh Dosen serta Staf Fakultas Kesehatan M asyarakat USU, khususnya Dosen dan Staf Pendidikan Kesehatan dan Ilmu Perilaku yang telah memberikan bekal ilmu kepada

14 Saya mernceritakan kepada teman atau kerabat saya bahwa makanan di Cafe Indomie Abang Adek itu enak 15 Saya suka menceritkan hal – hal yang positif tentang.

Berdasarkan hasil penelitian dan manfaat yang diperoleh, maka beberapa saran yang dapat diajukan adalah sebagai berikut 1) Perlu dilakukan penelitian lanjutan

Penelitian ini mengambil lokasi di Desa Tambak Tinggi Kecamatan Depati VII dengan rumusan masalah bagaimanakah dampak percepatan pembangunan infrastruktur pasca

Kebutuhan pelaporan keuangan atas laporan keuangan dan faktor pendidikan responden, diidentifikasikan terdapat tiga tabulasi silang yang dinyatakan signifikan yaitu

Hasil kajian yang diperolehi menunjukkan tahap keyakinan diri pelajar, tahap penguasaan kemahiran komunikasi serta persepsi pelajar terhadap penerapan kemahiran komunikasi oleh