• Tidak ada hasil yang ditemukan

RESPON MORFOMETRI SEBAGIAN DAS CIBUNI TERHADAP VARIASI LITOLOGI DAN STRUKTUR GEOLOGI DI WILAYAH PAGELARAN, CIANJUR, JAWA BARAT.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "RESPON MORFOMETRI SEBAGIAN DAS CIBUNI TERHADAP VARIASI LITOLOGI DAN STRUKTUR GEOLOGI DI WILAYAH PAGELARAN, CIANJUR, JAWA BARAT."

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Geologi Daerah Penelitian

Geologi daerah penelitian sudah diteliti oleh para peneliti terdahulu. Penelitian yang sudah dilakukan dari mulai skala kecil sampai skala besar yang lebih detail. Secara umum, penelitian yang dilakukan memberikan informasi mengenai geomorfologi, stratigrafi, dan struktur geologi di daerah penelitian dan sekitarnya.

(2)

Gambar 2.1 Pembaguan jalur fisiografi Jawa Barat (Van Bemmelen, 1949)

Berdasarkan Peta Geologi Lembar Sindangbarang dan Bandarwaru (Koesmono dkk, 1996), daerah penelitian tersusun oleh batuan yang berumur Tersier hingga Kuarter. Batuan kemudian dikelompokkan menjadi beberapa formasi berdasarkan kesamaan genetiknya. Formasi batuan yang berumur Tersier terdiri dari Formasi Cimandiri (Tmc) berumur Miosen Tengah, Formasi Bentang (Tmb) berumur Miosen Akhir, Anggota Kadupandak Formasi Bentang (Tmbk) berumur Miosen Akhir, Formasi Koleberes (Tmk) berumur Miosen Akhir sampai Pliosen, Formasi Beser (Tmbe) berumur Miosen Akhir, Anggota Cikondang Formasi Beser (Tmbec) berumur Miosen Akhir, dan Andesit Horenblenda (ha) berumur Pliosen. Litologi penyusun formasi tersebut bervariasi, pada umumnya merupakan batuan sedimen klastik dan batuan vulkanik yang terdiri dari batupasir, batulanau, batulempung, konglomerat, breksi, lava, tuf, batupasir tufan,

Tanpa Skala Rangkasbit ung Jakart a

Indramayu

Sukabum i

(3)

dan tuf lapili, serta terdapat juga batuan terobosan berjenis andesit. Formasi batuan yang berumur Kuarter terdiri dari Endapan-endapan Piroklastika yang Tak Terpisahkan (Qtv) berumur Plistosen, Lahar dan Lava Gunung Kendeng (Ql(k,w)) berumur Plistosen serta Lava dan Lahar Gunung Patuha (Qv(p,l)) berumur Holosen. Litologi penyusun utama formasi tersebut berupa endapan vulkanik hasil letusan gunung api yang terdiri dari breksi, tuf, lahar dan lava.

Secara regional, struktur geologi yang berkembang di daerah penelitian dan sekitarnya berupa sesar, lipatan, kelurusan, dan kekar yang dijumpai pada batuan berumur Oligo–Miosen sampai Kuarter. Sesar terdiri dari sesar geser yang umumnya berarah utara barat laut–selatan tenggara serta utara selatan dan sesar normal berarah utara–selatan/tenggara. Pola lipatan yang dijumpai berupa antiklin dan sinklin yang berarah baratdaya–timurlaut dan barat–timur. Kelurusan yang dijumpai diduga merupakan sesar berarah baratlaut–tenggara dan baratdaya– timurlaut, melibatkan batuan berumur Kuarter. Kekar umumnya dijumpai dan berkembang baik pada batuan andesit yang berumur Oligo Miosen–Kuarter. Tektonika yang terjadi menghasilkan dua pola struktur yang berbeda, melibatkan batuan berumur Miosen Akhir menghasilkan suatu pengangkatan dan kemudian diikuti oleh terobosan batuan andesit berumur Pliosen terhadap Formasi Bentang. Formasi Cimandiri terlipatkan dan membentuk suatu antiklin dan sinklin berarah, sedangkan Formasi Beser, Bentang dan Formasi Koleberes tersesarkan yang membentuk sesar normal dan sesar geser.

(4)

daerah Pagermaneuh dan sekitarnya (Gutiantini, 2002) dan daerah Tanggeung dan sekitarnya (Ijabat, 2011). Daerah tersebut merupakan bagian selatan dan barat daya daerah penelitian.

Gustiantini (2002) menjelaskan dalam hasil pemetaannya, geomorfologi yang terbentuk adalah pedataran fluvial, perbukitan denudasional, perbukitan struktural, perbukitan rempah gunungapi, dan kerucut intrusi. Stratigrafi dibagi menjadi enam satuan batuan, terurut dari tua ke muda, yaitu Satuan Breksi dari Formasi Jampang, Satuan Batupasir dari Formasi Bentang, Satuan Batupasir Tufan dari Formasi Koleberes, Intrusi Andesit dari Formasi Andesit Horenblenda, Lava Basalt dari Formasi Andesit Horenblenda, dan Satuan Aluvial. Struktur geologi yang berkembang adalah lipatan berarah barat laut–tenggara dan sesar berarah barat laut–tenggara dan barat–timur .

Ijabat (2011) menjelaskan dalam hasil pemetaannya, geomorfologi yang terbentuk adalah perbukitan sedimen agak curam dan perbukitan vulkanik curam. Stratigrafi dibagi menjadi tiga satuan batuan, terurut dari tua ke muda, yaitu Satuan Batupasir dari Formasi Koleberes, Satuan Breksi Vulkanik dan Satuan Tuf yang merupakan bagian dari endapan piroklastik yang tak terpisahkan. Struktur geologi yang berkembang adalah sesar naik yang berarah barat daya–timur laut akibat gaya kompresi berarah relatif barat laut–tenggara pada periode tektonik Pliosen–Plistosen.

(5)
(6)

2.2 Morfometri Daerah Aliran Sungai (DAS)

DAS adalah wilayah yang dibatasi dan dikelilingi oleh topografi berupa pegunungan atau punggungan, dimana presipitasi yang jatuh di atasnya mengalir melalui titik keluar tertentu (outlet) yang akhirnya bermuara ke danau atau laut (Ramdan, 2006). Karakteristik DAS pada umumnya tercermin dari penggunaan lahan, jenis batuan dan tanah, topografi, kemiringan, panjang lereng, serta pola aliran yang ada. DAS terbagi menjadi beberapa sub DAS. Sub Daerah Aliran Sungai (Sub DAS) adalah bagian dari DAS dimana air hujan diterima dan dialirkan melalui anak sungai ke sungai utama. Sub DAS dapat terbagi menjadi beberapa sub DAS, dan apabila diperlukan dapat dipisahkan lagi menjadi sub-sub-sub DAS, dan demikian seterusnya.

Untuk mengetahui karakteristik setiap DAS, diperlukan kajian mengenai karakterisitik morfometri DAS. Morfometri didefinisikan sebagai aspek kuantitatif suatu bentuklahan (Van Zuidam, 1985). Mengacu pada definisi tersebut, maka morfometri DAS dapat diartikan sebagai aspek kuantitatif DAS atau parameter karakteristik DAS yang dapat diukur dan dihitung.

Aspek morfometri DAS dikelompokan ke dalam empat kategori (Morisawa, 1959), yaitu:

- Aspek Panjang atau Ukuran

(7)

- Aspek Luas atau Bentuk

Aspek luas atau bentuk meliputi luas basin yang dinyatakan dalam satuan m2 atau km2, bentuk DAS yang tidak dinyatakan dalam satuan, kerapatan alur dan kerapatan sungai. Bentuk DAS mempunyai arti penting dalam hubungannya dengan aliran sungai, yaitu berpengaruh terhadap kecepatan terpusat aliran. Hal tersebut akan berhubungan dengan kemungkinan banjir yang terjadi di suatu daerah.

Kerapatan pengaliran (Dd) adalah suatu angka indeks yang menunjukkan banyaknya anak sungai di dalam suatu DAS. Kerapatan pengaliran menggambarkan penyimpanan kapasitas air permukaan dalam cekungan yang mengalir di suatu DAS. Nilai Dd mencerminkan hubungan kondisi geologi dengan iklim. Dalam kondisi iklim yang sama, batuan yang kedap air akan menghasilkan nilai Dd yang lebih besar dari nilai Dd pada batuan yang menyerap air.

- Aspek Relief

Aspek relief meliputi kekasaran DAS, kemiringan lereng atau gradien dan kemiringan dasar sungai. Kemiringan lereng merupakan ukuran kemiringan relatif terhadap bidang datar yang secara umum dinyatakan dalam persen atau derajat. Kecuraman lereng akan mempengaruhi besarnya erosi dan aliran permukaan.

- Aspek Non Dimensi

(8)

percabangan alur sungai di dalam urutannya terhadap induk sungai di dalam suatu DAS. Dengan demikian, makin banyak jumlah orde sungai akan semakin luas pula DASnya dan akan semakin panjang pula alur sungainya. Penentuan orde menurut Stahler (1952) (Gambar 2.3) yang merupakan modifikasi dari metode Horton, yaitu orde ke-1 merupakan segmen yang tidak memiliki percabangan. Ketika dua segmen orde ke-1 bergabung, maka akan terbentuk orde ke-2. Dua segmen orde ke-2 akan membentuk orde ke-3. Dua orde ke-3 akan membentuk orde ke-4, dan seterusnya. Setiap segmen dapat ditempel oleh orde dengan nilai yang lebih kecil namun tidak akan merubah atau meningkatkan nilai ordenya.

Gambar 2.3 Sistematika pembagian orde sungai menurut Strahler (1952)

(9)

Pola alur sungai atau pola pengaliran merupakan suatu jaringan yang terbentuk antara anak sungai dengan induk sungai. Pola pengaliran umumnya dikontrol oleh kemiringan lereng, jenis dan ketebalan lapisan batuan penyusun, struktur geologi, jenis dan kerapatan vegetasi, serta kondisi alam.

2.3 Sistem Informasi Geografis (SIG)

Sistem Informasi Geografis (SIG) merupakan sistem informasi yang berbasis komputer yang menggabungkan antara unsur peta (geografis) dan informasinya tentang peta tersebut (data atribut) yang dirancang untuk mendapatkan, mengolah, memanipulasi, analisis, memperagakan dan menampilkan data spasial untuk menyelasaikan perencanaan, mengolah, dan meneliti permasalahan (Agustina, 2007; dalam Hidayah, 2008). Konsep dasar SIG adalah data dikelola dan dihimpun dalam suatu layer (Gambar 2.4). Setiap layer

berisikan data sejenis baik berupa informasi tematik atau objek poligon, garis, dan titik, diikat oleh sistem koordinat yang sama. Masing-masing objek dalam setiap

layer dapat dikaitkan dengan data atribut yang disimpan dan dikelola menggunakan DBMS (Data Base Managament System). Informasi berupa data pokok ataupun data teknis operasional dapat dengan mudah dibangun melalui suatu DBMS. Pengait antara data grafis dengan atribut inilah yang membentuk sebuah Sistem Informasi Geografis.

(10)

Suatu hal yang sangat menguntungkan bahwa data tersimpan sudah dalam bentuk digital dan disusun menurut kaidah serta mekanisme teknis untuk mempermudah dalam pemanggilan kembali atau penyusunan layout kembali guna menghasilkan

output yang diinginkan. Kemudahan ini membuka peluang untuk menggunakan data tersebut dalam berbagai aplikasi, baik sebagai bahan informasi atau untuk kajian – kajian teknis.

Komponen utama Sistem Informasi Geografis dapat dibagi kedalam 4 komponen utama yaitu: perangkat keras (digitizer, scanner, Central Procesing Unit (CPU), hard-disk, dan lain-lain), perangkat lunak (ArcView, Idrisi, ARC/INFO, ILWIS, MapInfo, Global Mapper, dan lain-lain), organisasi (manajemen) dan pemakai (user). Kombinasi yang benar antara keempat komponen utama ini akan menentukan kesuksesan suatu proyek pengembangan Sistem Informasi Geografis.

Gambar 2.4 Konsep overlay data dalam SIG

Layer Struktur

Layer Sungai

Layer Litologi

(11)

2.4 Penelitian Terdahulu

Penelitian mengenai morfometri DAS sudah dilakukan oleh beberapa peneliti terdahulu di berbagai daerah, termasuk disekitar daerah penelitian. Berikut penelitian yang sudah dilakukan, diantaranya:

(12)

2. Peran Morfotektonik DAS dalam Pengembangan Potensi Energi Mikro Hidro di Cianjur-Garut Bagian Selatan (Sukiyah dkk, 2012). Kerangka pemikiran yang menjadi landasan penelitian ini adalah bahwa proses tektonik mengakibatkan potensi sekaligus kendala, menghasilkan karakteristik geomorfologi tertentu. Pemanfaatan lahan yang terkontrol dan iklim yang menunjang dapat mempengaruhi intensitas debit aliran permukaan. Pada intensitas debit aliran permukaan dan morfometri tertentu, aliran air dapat menjadi sumber pembangkit tenaga listrik. Beragam parameter morfotektonik yang digunakan adalah kemiringan lereng dan elevasi, dimensi DAS, panjang segmen sungai (Ls), azimut segmen-segmen sungai, azimut kelurusan morfologi, kerapatan pengaliran (Dd), orde sungai, dan rasio cabang sungai (Rb). DAS yang dikontrol oleh tektonik memiliki bentuk ramping. Jaringan pengaliran berpola menangga, dengan orde sungai 1 dan 2. Kondisi ini memungkinkan debit air permukaan relative besar dengan elevasi jatuhan yang tinggi. Pendekatan probabilistik digunakan dalam analisis data. Hasil analisis data karakteristik geomorfologi antara DAS Cipandak dan Cikaingan menunjukan adanya perbedaan yang signifikan. Fenomena tersebut mengakibatkan perbedaan potensi energi mikro hidro kedua DAS.

(13)
(14)

dari erosi tersbut adalah pendangkalan waduk yang akan menjadi lebih cepat dan mempersingkat umur waduk.

4. Kesamaan Morfometri Akibat Peran Tektonik Aktif Terhadap DAS Cijolang dan Cimuntur Berbatuan Alas Berbeda (Hirnawan, 1998). Daerah penelitian yang tergolong rawan pergerakan tanah akibat kondisi geologi setempat memiliki keterbatasan karakter genesis sebagai kendala lahan bagi keperluan tata ruang untuk pengembangan wilayah daerah ini. Hal ini merupakan permasalahan fisik wilayah setempat, sehingga peran tektonik penting untuk diteliti pengaruhnya. Untuk menguji pengaruh tektonik aktif terhadap sistem pengaliran sungai di Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, dilakukan perbandingan antara analisis morfometri dari DAS Cijolang dan Cimuntur di daerah penyebaran Formasi Halang berusia Tersier dan endapan vulkanik Kuarter dengan analisis multivariat. Hasil uji beda (uji banding) antara dua rata-rata nisbah percabangan (Rb) dan kerapatan pengaliran (Dd) tidak berubah nyata, menunjukan perkembangan DAS itu tidak dipengaruhi oleh perbedaan massa batuan. Tektonik terbukti aktif, ditunjukan oleh morfometri DAS Cimuntur yang tidak berbeda dengan DAS Cijolang, akibat endapan Kuarter di alas ketidakselarasan itu terkekarkan secara intensif melalui reaktivasi sesar-sesar yang telah ada dan retakan-retakan pada batuan dasar.

(15)

tersebut tercermin pada morfometri Daerah Aliran Sungai (DAS) yang terbentuk. Beberapa parameter morfometri yang dapat dijadikan acuan diantaranya adalah dimensi DAS, azimut segmen sungai, azimut kelurusan bentangalam, panjang sungai (Lo), kerapatan pengaliran (Dd), dan rasio cabang sungai (Rb). Penelitian dilakukan pada empat DAS yang terdapat di kawasan hulu Sungai Citarum. Keempat DAS tersebut adalah Cijoho, Cihejo, Cigalugah, dan Barugbug. Pendekatan probabilistik digunakan untuk mengetahui perbedaan dan kesamaan karakteristik morfometri diantara keempat DAS. Hasil penelitian meunjukan bahwa Dd tertinggi dicapai oleh DAS Cijoho, sebaliknya nilai terendah terdapat pada DAS Barugbug. Fenomena tersebut merupakan refleksi dari perbedaan sifat batuan vulkanik yang menyusun kedua DAS. Pada umumnya nilai Rb lebih kecil dari 3, menunjukan bahwa keempat DAS telah mengalami deformasi. Terjadi peningkatan nilai Rb ke arah hilir DAS Cihejo, mengindikasi bahwa deformasi cukup kuat dibagian hilir. Pola sungai di DAS Cijoho, DAS Cihejo, DAS Barugbug, dan DAS Cigalugah secara umum dikontrol oleh tektonik aktif.

Gambar

Gambar 2.1 Pembaguan jalur fisiografi Jawa Barat (Van Bemmelen, 1949)
Gambar 2.2 Peta geologi daerah penelitian (Koesmono dkk (1996), Gustiantini (2002), dan Ijabat (2011))
Gambar 2.3 Sistematika pembagian orde sungai menurut Strahler (1952)
Gambar 2.4 Konsep overlay data dalam SIG

Referensi

Dokumen terkait