22 BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Penelitian Terdahulu
Tidak sedikit penelitian ataupun pengkajian mengenai ekologi dan secara lebih khusus tentang Sekolah Adiwiyata yang telah dilakukan oleh para peneliti terdahulu. Setidaknya ditemukan ada 57 penelitian yang telah dilakukan oleh para peneliti terdahulu.
Arifin (1994) mengemukakan bahwa krisis ekologi pada dasarnya merefleksikan adanya ketidakharmonisan dan ketidakseimbangan hubungan manusia dengan lingkungan alamnya. Hal itu berakar pada persoalan yang bersifat filosofis dan spiritual. Islam mempunyai legitimasi yang kuat jika dikembangkan sebagai ekologi universal. Olah karena itu, bagi umat Islam perlu mengelaborasi kembali pesan-pesan universal Al-Qur’an, di samping perlu membuktikan dengan penciptaan infrastruktur teknologi, ekonomi, politik dan ekologi dengan berdasar pada landasan spiritual yang telah ada.
Iskandar (2004) menemukan bahwa komunitas Baduy mempunyai pengetahuan mendalam tentang penanggalan tradisional (di Jawa Tengah biasa disebut Pranata Mangsa) untuk berladang, padahal di daerah-daerah lainnya di Pulau Jawa, telah hampir punah. Oleh karena itu, pengetahuan tradisional tersebut seyogianya dapat pula dikombinasikan dengan pengetahuan modern, untuk meningkatkan usaha pertanian di Indonesia yang lebih baik. Strategi perladangan tradisional Baduy yang mempunyai kebiasaan menanam keanekaan varietas padi dan keanekaan jenis-jenis tanaman non-padi, secara umum telah mampu bertahan dari berbagai tekanan lingkungan, seperti kekeringan. Oleh karena itu, sistem ladang dapat dipertahankan secara berkelanjutan, kendati kawasan hutan kian berkurang dan penduduk makin bertambah. Petani skala kecil dengan memiliki modal usaha tani terbatas, cenderung lebih sesuai mengupayakan usaha tani polikultur, seperti pekarangan, kebun campuran dan talun, karena sistem pertanian polikultur lebih tahan terhadap berbagai tekanan lingkungan, seperti kekeringan,
23 dibandingkan sistem pertanian monokultur komersil yang padat berbagai asupan dari luar, dan kurang tahan terhadap berbagai tekanan lingkungan.
Muthmainnah (2007) menemukan bahwa pola pengelolaan sampah yang bersifat end of pipe perlu dilakukan secara sinergis dengan pola clean production yang menekankan peran dan partisipasi aktif dari seluruh stakeholders. Sebagai sebuah upaya sinergi, yang perlu dilakukan adalah melengkapi dan memperbaiki pola lama (end of pipe) dengan pola baru (clean production). Upaya ini juga harus mensinergikan ujung pangkal dan ujung akhir masalah sampah. Ujung awal masalah sampah sering ditujukan pada awal proses produksi. Oleh karena itu, konsep sejenis ecodesign muncul dalam rangka mengurangi produksi sampah sejak awal. Maksudnya, bahwa perlunya dilakukan upaya meminimalisasi produksi sampah sejak awal proses produksi dilakukan, seperti design ulang produk-produk yang lebih ramah lingkungan. Sedangkan bidikan terhadap ujung akhir masalah sampah sering ditujukan kepada penikmat barang-barang hasil produksi, yaitu konsumen. Dua hal itulah terdapat korelasi positif terkait dengan pengelolaan sampah. Oleh karena itu, jika akan berikhtiyar untuk menyelesaikan masalah sampah, maka harus membidik dua hal tersebut. Model-model penanganan sampah dengan pola lama (end of pipe), semisal TPA tetap harus dikelola dengan baik dalam rangka mengimbangi kemampuan produsen untuk menghasilkan produk yang ramah lingkungan dan kemampuan masyarakat dalam melakukan swakelola sampah.
Rifardi (2008) menemukan bahwa aktivitas sosial ekonomi, baik dalam skala kecil (masyarakat) maupun skala besar (industri) telah menyebabkan terjadinya tekanan ekologis berupa degradasi hutan dan lahan di kawasan Semenanjung Kampar. Hubungan antara aktivitas ini dengan kondisi hutan dan lahan lingkungan Semenanjung Kampar dapat diungkapkan bahwa (1) pertambahan jumlah penduduk dan peningkatan aktivitas sosial ekonomi mengakibatkan peningkatan ketergantungan terhadap hutan-lahan; dan (2) terjadi deforestasi Semenanjung Kampar sekitar 260,348 ha (34%) dari tahun 1998 – 2005.
Deforestasi terbesar terjadi dalam kurun waktu tahun 2000 – 2005, yaitu sebesar
24 20%. Tingkat pemanfaatan lahan meningkat dari 25.256 ha pada tahun 1990 menjadi 162.413 ha pada tahun 2005.
Rusli (2008) menemukan bahwa kepedulian terhadap lingkungan harus dimulai dari tataran yang paling kecil, yaitu lingkungan rumah, dengan tidak membiarkan lahan begitu saja, dan menanam berbagai pohon untuk penghijauan.
Rasulullah saw. pernah menyatakan, “Seandainya hari ini adalah saat datangnya kiamat, dan di tanganku ada benih yang akan ditanam maka saya akan menanam benih itu.” Aksi ini seharusnya diperluas jangkauannya hingga lingkungan sekitar, masyarakat dan begitu seterusnya dalam tataran yang lebih luas, agar hal itu dapat menjadi tempat penyerapan air. Pembuatan tempat-tempat sampah yang organik dan non-organik, agar yang dapat didaur ulang kembali menjadi hal yang berguna, pun perlu diperhitungkan. Di negara-negara lain, di antaranya Australia, hal itu telah dilakukan. Tentunya pemerintah dan masyarakat harus bergandeng tangan mewujudkan cita-cita ini. Tanpa adanya partisipasi yang tulus dari segenap masyarakat dan political will dari Pemerintah Daerah, pewujudan lahan konservasi (ḥimā) dan pengembangan tanah-tanah tidak produktif (iḥyā’ al-mawāt) tidak akan dapat terwujud.
Blanchard et al. (2008) telah melakukan penelitian dengan tujuan utama untuk menekankan pentingnya kandungan budaya tradisi agama, ditambah dengan fitur struktural ekologi agama, dengan memperkenalkan konsep lingkungan agama.
Pendekatan untuk memahami bagaimana agama mempengaruhi masyarakat sangat berhutang budi pada pernyataan Durkheim yang telah dikutip, bahwa pada intinya, sosiologi adalah studi ilmiah tentang moralitas, dan agama adalah lokus utama moralitas institusi. Studi ini, dan konsep lingkungan agama yang digunakan di dalamnya, mencerminkan upaya untuk melakukan penelitian ekologis yang secara ilmiah ketat dan sensitif terhadap dasar-dasar budaya dari tradisi agama tertentu.
Mereka menghubungkan efek lingkungan agama dengan hasil kesehatan individu, seperti status kesehatan, pencapaian penghasilan, tindakan-tindakan sikap dan integrasi jaringan sosial tingkat-individu jelas merupakan generasi penelitian berikutnya. Hingga saat ini, penelitian sosiologis tentang dampak agama telah berfokus pada efek, baik perilaku keagamaan individu atau tindakan ekologis dari
25 tradisi agama tetapi gagal untuk memeriksanya secara bersama-sama. Meskipun perkembangan teknik statistik yang memungkinkan pemodelan statistik data bertingkat, sosiologi sarjana agama cukup lambat untuk mengeksplorasi masalah ini. Generasi wawasan empiris baru dan pengembangan teori-teori baru kemungkinan akan mengikuti untuk melakukannya.
Ahmad (2010) menemukan bahwa pertama, pendidikan memiliki peran signifikan dalam menanamkan keyakinan dan pemahaman ekologis seseorang.
Melalui wahana pendidikan, seseorang dapat berubah cara pandang, meningkatkan kapasitas wawasan ekologinya sehingga dapat menggerakkan perilaku dan gaya hidup yang ramah lingkungan. Kedua, agama telah memuat ajaran dan seperangkat nilai untuk menjaga, melestarikan dan mengelola sumber daya alam. Nilai-nilai ekologis tersebut perlu ditransformasikan kepada peserta didik agar memiliki pemahaman, keterampilan dan perilaku yang sesuai dengan norma-norma agama dalam konteks relasinya dengan lingkungan sekitar. Dalam konteks itulah, keberadaan pendidikan lingkungan menjadi penting untuk digalakkan. Melalui jalur pendidikan, proses internalisasi dan transformasi nilai ekologis akan terjamin sasaran dan dapat dilaksanakan secara sistematik dan berkesinambungan. Ketiga, pendidikan lingkungan hidup perlu menyentuh aspek kognitif, afektif dan psikomotorik peserta didik. Pada ranah kognitif, peserta didik belajar secara demokratis dan partisipatif untuk membangun kapasitas pemahaman melalui diskusi, kajian, dan dialog interaktif tentang isu dan problem lingkungan. Aspek psikomotorik difokuskan pada pembentukan sikap dan perilaku peserta didik untuk menyelesaikan problem ekologis. Sedang sisi afektifnya, menyentuh pada sisi keyakinan, nilai dan komitmen yang diperlukan untuk membangun berkelanjutan (sustainable) alam. Dengan demikian, melalui pendidikan yang baik dan tepat berarti menunjukkan proses merancang masa dengan ekologi manusia cerah dan berkesimbungan.
Handoyo (2010) menemukan bahwa lahan pertanian selain berfungsi ekonomis, juga ekologis, karena bisa mengendalikan pencemaran di samping mencegah erosi, banjir, juga menyuguhkan keanekaragaman hayati. Namun sejak munculnya paradigma pembangunanisme dan kapitalisme global yang dirangkul
26 pemerintah, eksploitasi terhadap hutan dan tanah pertanian diakselerasi, sehingga terjadi deforestasi, lingkungan rusak, dan bencana alam datang bertubi-tubi.
Pengendalian alih fungsi tanah tidak menjamin laju alih fungsi tanah bisa terhenti karena ada anggapan juga bahwa praktik pertanian sering menyebabkan degradasi lingkungan. Selama economic greed kapitalisme digunakan sebagai sistem ekonomi di Indonesia dan check mechanism yang berupa moral values yang digali dari hazanah lokal Indonesia tidak dilakukan, maka alih fungsi lahan pertanian akan sulit dikendalikan meskipun sudah tersedia undang-undang dan peraturan yang banyak. Pendekatan regulation, acquisition and management, dan incentive and charge, sebagaimana diintroduksi Pearce dan Turner, bisa dijadikan sebagai alternatif bagi pengambil kebijakan. Dengan pendekatan holistik tersebut diharapkan laju alih fungsi tanah pertanian dapat dikendalikan, sehingga kepentingan ekologi tidak dikorbankan di samping para petani dapat menikmati hak-haknya dan kesejahteraan masyarakat terjamin secara berkelanjutan. Dalam hal ini, pandangan Kevin Hagen yang mengatakan, “lakukan sedikit keburukan untuk melakukan lebih banyak kebaikan” sangat relevan. Demikian pula, pandangan yang mengharapkan manusia untuk melakukan hal-hal yang bermanfaat (doing good) sambil bekerja dengan baik (doing well) bisa menjadi landasan etika bagi pengambil keputusan untuk merancang pembangunan pertanian secara bijak demi kepentingan manusia, khususnya para petani dan kelestarian lingkungan.
Lestari & Dharmawan (2011) menemukan bahwa konversi lahan pertanian adalah perubahan peruntukan lahan pertanian menjadi peruntukan lahan non pertanian. Lahan potensial yang banyak terkonversi di Desa Tugu Utara selama sepuluh tahun terakhir (2000-2010) adalah lahan sawah dan lahan kering yang mengalami perubahan peruntukan lahan menjadi rumah, villa, hotel, restoran, toko, dan sebagainya. Terdapat perbedaan tipe konversi lahan antara Kampung Sampay yang lokasinya dekat dengan jalan raya dan Kampung Sukatani yang lokasinya jauh dari jalan raya. Kampung Sampay mengalami konversi lahan pertanian Tipe I, sementara Kampung Sukatani mengalami konversi lahan pertanian Tipe II. Secara umum, konversi lahan pertanian di Desa Tugu Utara, baik di Kampung Sampay maupun Kampung Sukatani memberikan dampak negatif pada aspek sosio-
27 ekonomis seperti perubahan penguasaan lahan, kesempatan kerja, perubahan pola kerja, kondisi tempat tinggal, dan hubungan antar warga (konflik dan prostitusi), serta memberikan dampak negatif pada aspek sosio-ekologis seperti akses terhadap sumberdaya air, cara warga membuang limbah rumah tangga yang merupakan dampak tidak langsung akibat konversi lahan pertanian, dan terjadinya degradasi lingkungan seperti banjir, longsor dan kebisingan.
Rianingrum & Sachari (2011) menemukan bahwa lingkungan dan manusia melakukan hubungan timbal balik yang mana membuat interaksi antar keduanya menjadi saling tergantung, memengaruhi dan saling bersinggungan. Pola interaksi manusia dengan lingkungannya tergantung pada etika lingkungan apa yang dipakai, bagaimana kesadaran ekologisnya serta bagaimana pengetahuan yang dimiliki keterkaitannya dengan lingkungan pengetahuan. Pengetahuan manusialah yang memengaruhi etika lingkungan dan kesadaran ekologisnya, karena pengetahuan manusia merupakan sebuah konstruk sosial yang terbentuk selama proses kehidupannya. Walaupun masa kini bentuk rumah Jawa dan lingkungan sudah mengalami banyak perubahan mengikuti perkembangan jaman dan perkembangan kebutuhan manusia dan kemajuan teknologi, namun diharapkan konsep dasar tradisi tidak ditinggalkan. Misalkan tetap memanfaatkan halaman yang tersedia dengan menanam berbagai tumbuhan yang dapat berfungsi sebagai penghijauan, penangkal polusi udara, dan resapan air, pemakaian material alami atau yang mudah didaur ulang, adanya ruang terbuka dan jendela-jendela besar untuk memaksimalkan sirkulasi udara alami dan dapat memaksimalkan cahaya alami masuk ke dalam rumah.
Azizah et al. (2013) menemukan bahwa Sanimas (sanitasi berbasis masyarakat) sebagai langkah penanganan untuk sanitasi yang buruk telah berhasil diterapkan di Kampung Joyotakan. Sistim Dewats (decentralized wastewater treatment system) yang diterapkan sangat sesuai untuk memudahkan pengelolaan dan pemeliharaan kebersihan MCK (mandi-cuci-kakus) secara komunal pada Sanimas. Lokasi Sanimas yang berada di ruang publik dan dekat Mushalla sangat menguntungkan warga karena dengan adanya IPAL digester yang menghasilkan biogas dapat dimanfaatkan oleh masyarakat untuk memasak khusus hari besar
28 Islam Idul Adha. Untuk pengolahan limbah grey water (buangan dari tempat cuci dan kamar mandi) belum dimanfaatkan oleh warga. Padahal hasil pengolahan limbah grey water dapat dimanfaatkan untuk budidaya tanaman air atau budidaya ikan yang dapat meningkatkan nilai ekonomi dengan menjual hasil tanaman air atau ikan. Selain itu dengan adanya tanaman air dapat meningkatkan nilai estetika kampung Joyotakan. Untuk itu perlu pengembangan desain Sanimas dengan memanfaatkan pengolahan limbah grey water.
Suhendra (2013) telah menelisik nilai-nilai ekologis dalam Al-Qur’an, menemukakan bahwa alam raya ini diciptakan Allah dengan sistem yang sangat serasi dan sesuai dengan kehidupan manusia. Akan tetapi, justru manusia yang melakukan kerusakan dengan kegiatan buruk yang merusak keseimbangan tersebut.
Dengan demikian, banyaknya bencana alam yang terjadi tidak hanya menjadi sebuah takdir Ilahi semata, tetapi hal itu lebih banyak disebabkan hukum keseimbangan alam yang tidak terjaga. Kehidupan alam dalam pandangan Islam berjalan di atas prinsip keselarasan dan keseimbangan. Konsep lingkungan diperkenalkan oleh al-Qur’an dengan beragam bentuk dan model kata, yaitu kata al-‘ālamin, as-samā`, al-ardh, dan al-bī’ah. Beberapa ayat yang menerangkan masalah ekologi, dapat dijadikan sebagai rumusan ‘Agama Hijau’. ‘Agama Hijau’
(greendeen) adalah agama yang menuntut manusia untuk menerapkan Islam seraya menegaskan hubungan integral antara keimanan dan lingkungan (seluruh semesta).
‘Agama Hijau’ (greendeen) dibangun atas enam prinsip yang saling berkaitan.
Tindakan moral-etik tidak hanya berkaitan dengan relasi antar manusia, tetapi juga dengan alam. Oleh karena itu, hak manusia untuk memanfaatkan alam tidak berarti membolehkannya mengganggu, merusak, dan bahkan menghancurkan keseimbangan ekologinya yang memang sudah ditetapkan Tuhan. Karena persoalan lingkungan hidup bukan sekadar masalah sampah, pencemaran, pengrusakan hutan, atau pelestarian alam dan sejenisnya, melainkan sebagai bagian dari suatu pandangan hidup itu sendiri.
Mohamed (2014) menemukan bahwa etika ekologi teosentris Islam menyajikan imajinasi lingkungan yang mempromosikan interaksi yang adil, penuh hormat dan bertanggung jawab antara manusia dan alam. Proses pendidikan
29 perawatan lingkungan seharusnya tidak hanya memberi pengetahuan tentang cara kerja alam, tetapi juga tentang bagaimana berinteraksi dengan alam. Gerakan ekologi Islam yang berkembang adalah memanfaatkan institusi pendidikan Islam, baik tradisional maupun modern, sebagai pusat pembelajaran dan pengajaran lingkungan. Hal itu dilakukan sebagai upaya untuk mengenalkan sebuah etika yang mengakui bahwa hidup dalam keadilan dengan orang-orang dan dengan planet ini merupakan kewajiban bagi setiap Muslim yang menerima mandat untuk hidup sebagai khalifah Allah di bumi. Hal itu perlu ditunjukkan dalam kata-kata dan perbuatan, bahwa lanskap pendidikan Islam tetap menjadi sumber penting dalam menyiarkan narasi lingkungan yang menghadirkan visi etis dan pendidikan yang relevan dengan gerakan lingkungan kontemporer.
O’Brien (2014) mengungkap bahwa ada tiga panduan untuk menyeimbangkan advokasi lingkungan dan pemikiran kritis tentang environmentalisme. Pertama, profesor harus membuat tujuan kursus secara eksplisit dan memberikan ruang bagi peserta didik untuk mengartikulasikan tujuan pembelajaran mereka. Kedua, mengembangkan dan memperdalam komitmen peserta didik tepat di ruang kelas perguruan tinggi asalkan komitmen tersebut dipahami sebagai proses yang tunduk pada refleksi kritis. Kedua, mengembangkan dan memperdalam komitmen peserta didik saat mereka berada di perguruan tinggi dengan komitmen bahwa hal tersebut dipahami sebagai proses yang tunduk pada refleksi kritis. Ketiga, seorang profesor yang dapat dipercaya harus mengakui komitmennya sendiri dan memberi peserta didik ruang untuk membawa mereka sendiri ke dalam diskusi kelas. Panduan ini akan membantu guru agama dan lingkungan untuk serius menanggapi problem lingkungan, melatih peserta didik untuk bertanggung jawab, dan meningkatkan keterampilan mereka sebagai pemikir kritis.
Ayres (2014) menemukan bahwa dalam pendidikan teologis sangat jarang bagi mahasiswa untuk mengungkapkan rasa syukur dalam pengalaman belajar.
Namun demikian, pernah terjadi saat dalam perjalanan di Lullwater Park, saat matahari mulai terbenam dan para mahasiswa menarik kerah jaket mereka melawan dinginnya malam hari, namun semua mahasiswa bersama pendamping berlama-
30 lama di dalam menara yang menaungi sumur di Lullwater Park tersebut, bersandar pada batu-batu pengikat, dan merenungkan lebih banyak lagi. Ketika rombongan berangkat dari hutan, seorang mahasiswa berbicara: “Terima kasih telah membawa kami ke sini,” komentar sederhana yang disambut dengan suara kawan-kawannya.
Beberapa mahasiswa bersemangat untuk membuat koneksi pedagogis antara apa yang telah dibaca dan apa yang telah dilakukan hari itu. Sebagian mahasiswa yang lain hanya ingin mencatat bahwa waktu yang dihabiskan di hutan dirasakan secara pribadi bermakna. Dalam kedua kasus, sulit untuk melewatkan signifikansi melibatkan narasi, pertanyaan, dan bahkan emosi mahasiswa, serta tubuh mereka dalam sesi kelas. Dalam praktik pembelajaran di lapangan semacam itu, seluruh diri mahasiswa terbangunkan rasa teologisnya, terlibat, dan terpanggil. Pada akhir pembelajaran pendidikan agama dan ekologi, mahasiswa kadang-kadang bercanda mengekspresikan kemarahan tiruan mereka: “Saya bahkan tidak bisa pergi ke McDonald lagi tanpa memikirkan kelas itu!” (atau film itu, atau buku itu). Mungkin cara lain untuk mengatakannya adalah bahwa melalui praktik pembelajaran yang terlibat dan terwujudkan di lapangan, para mahasiswa teologis semakin sadar akan
“membumi,” dan ketertarikan terhadap komitmen ekologis bahwa “hidup sesuai dengan itu” yang menghasilkan ketegangan kreatif. Tinggal dengan ketegangan kreatif adalah pekerjaan dari kehidupan yang berkomitmen, di mana seseorang mengenali tantangan, merangkul ambiguitas, dan mencari keterlibatan yang lebih dalam di dunia dan dalam misteri suci. Jika pendidikan teologi adalah untuk memelihara di antara kemampuan mahasiswa untuk bekerja di ruang ketegangan kreatif ini. Hal itu diperkuat dengan marshaling (serialisasi) sebanyak mungkin dimensi pengalaman manusia - emosi, ingatan, perwujudan, analisis, dan imajinasi.
Pekerjaan ini tidak dapat diselesaikan hanya dengan mendapatkan data yang benar.
Hal ini menuntut praktik pendidikan yang menghormati bumi yang mempertemukan keterlibatan dan analisis kritis yang diwujudkan. Temuan ini telah menyajikan beberapa praktik yang memenuhi kriteria ini; dan bidang praktik pedagogis ekologi terbuka lebar untuk budidaya pendidik teologis. Dengan demikian, pendidikan teologi memperluas model paideia untuk memasukkan komitmen ekologis sebagai dimensi kepemimpinan agama dan publik di mana
31 mahasiswa sedang dipersiapkan untuk menjadi sosok pemimpin yang sangat dibutuhkan dunia.
Clingerman (2014) merespon temuan dan ungkapan dua peneliti dan penulis sebelumnya (O'Brien dan Ayres), bahwa perlu dimunculkan sejumlah pertanyaan lebih lanjut tentang situasi ekologi ini. Kedua penulis melihat ekologi kelas sebagai salah satu yang mempertanyakan pemisahan antara keyakinan versus tindakan, kecerdasan versus perwujudan, peserta didik dan guru. Penerapan wawasan yang ditawarkan oleh kedua penulis itu, guru agama, teologi, dan etika diberi sejumlah pertanyaan untuk direnungkan, di antaranya adalah (a) bagaimana guru dapat secara efektif mempraktikkan pedagogi sintetis yang reflektif di kelas- kelas agama?; (b) apa yang diperlukan untuk mempromosikan keterlibatan ekologi yang diwujudkan di luar dinding kelas? Dalam beberapa tahun terakhir, kelas agama telah memasukkan pembelajaran layanan, keterlibatan sipil, kunjungan lapangan, etnografi, dan cara-cara lain memasuki ruang komitmen religius yang dijalani. Keterlibatan semacam itu dapat - dan harus - dikembangkan lebih lanjut dengan mempertimbangkan keprihatinan-keprihatinan kontemporer; dan (c) apa alat dan praktik yang berguna dalam mengarahkan refleksi kritis, dan bagaimana lokasi fisik dapat memengaruhi upaya intelektual seseorang? Oleh karena studi agama dan teologi berupaya mengatasi “krisis kemanusiaan,” maka guru harus lebih eksplisit membahas bagaimana salah satu kekuatan terbesar di lapangan - promosi pemikiran kritis dan analisis - dapat diajarkan secara lebih efektif, terutama mengingat keragaman dunia global. Pertanyaan-pertanyaan yang diangkat oleh wawasan O'Brien dan Ayres, dapat digunakan sebagai panduan lapangan untuk mengembangkan teks, tugas, ceramah, dan diskusi individu yang menyediakan sarana untuk mengidentifikasi intelektual peserta didik dan kehadiran fisik di kelas.
Mukminin (2014) menemukan bahwa strategi pembentukan karakter peduli lingkungan di SDN Tunjungsekar I dan SDN Tulungrejo 4 Malang dapat diklasifikasikan menjadi empat pilar, yaitu melalui proses belajar mengajar, budaya sekolah, kegiatan ekstrakurikuler, dan penguatan dari orang tua. Perilaku peduli lingkungan di kedua sekolah di antaranya ditemukan seperti membuang sampah di tempat sampah, buang air kecil dan besar di toilet, program piket harian, sikap
32 peduli dengan semua tanaman di sekitar sekolah dengan mengurus semuanya, dan ada usaha untuk mengingatkan orang di sekitar mereka agar kebersihan lingkungan tetap terjaga. Juga menggunakan air secukupnya dengan mematikan kran air setelah menggunakannya sebagai bentuk perilaku hemat air.
Hidayati, Taruna dan Purnaweni (2014) menemukan bahwa implementasi program Adiwiyata di SMKN 2 Semarang sudah berjalan cukup baik, dibuktikan dengan telah diterapkannya kebijakan berwawasan lingkungan yang menerapkan 3R (Reduce, Reuse, dan Recycle) dan hasilnya dapat dinikmati oleh warga sekolah dan bisa menambah pendapatan dari hasil penjualan karya seni berbahan baku sampah; RKAS yang disusun telah merencanakan anggaran kurang lebih 20%
untuk lingkungan; kurikulum yang mengintegrasikan lingkungan pada mata pelajaran yang membahas isu lokal dan isu global, meski belum ada muatan lokal khusus pendidikan lingkungan hidup (PLH); kegiatan lingkungan berbasis partisipatif dengan melibatkan warga dalam kegiatan kebersihan, penghijauan, serta kegiatan lingkungan di dalam maupun di luar sekolah; juga adanya pemenuhan sarana pendukung yang ramah lingkungan berupa kondisi fisik sekolah yang aman, nyaman dengan pemanfaatan dan penghematan SDA secara bijaksana. Sekolah ini juga berhasil menularkan ilmu Adiwiyata kepada tiga belas sekolah dan satu desa binaan untuk peduli dan berbudaya lingkungan. Program Adiwiyata di sekolah ini sudah membudaya pada warga, meski masih ada guru, peserta didik ataupun karyawan yang belum memahami pentingnya lingkungan, sehingga masih sering membuang sampah sembarangan, menggunakan plastik dan cup sebagai bungkus dan belum melakukan penghematan listrik, air, dan kertas. Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) yang ada di sekolah ini juga belum difungsikan secara maksimal karena air limbah yang mengalir tidak semuanya sampai ke IPAL, juga produk air yang dihasilkan kurang jernih. Setelah mengimplementasikan program Adiwiyata, sekolah ini menjadi lebih bersih, sejuk, asri, aktif, kreatif dan inovatif, jika dibandingkan dengan sebelumnya.
Landriany (2014) mengemukakan bahwa kebijakan lingkungan hidup di Sekolah Menengah Atas Negeri 8 dan 10 di Kota Malang sudah dituangkan dalam surat keputusan dan terintegrasi dalam masing-masing mata pelajaran. Kedua
33 sekolah tersebut kemudian mensosialisasikan beberapa kegiatan utama dengan pendekatan pada peserta didik guna mendapatkan dukungan yang sempurna sehingga menciptakan kesepakatan yang mutlak bahwa sekolah tersebut benar- benar sekolah berwawasan lingkungan. Selanjutnya masih dijumpai berbagai situasi permasalahan yang menghambat pelaksanaan Adiwiyata, seperti satuan tugas yang tidak tepat waktu serta ada sekelompok peserta didik yang masih belum sadar dalam memahami konsep sekolah berwawasan lingkungan hidup, masalah pendanaan, dan dukungan masyarakat serta instansi lain yang masih rendah.
Sekolah tersebut sudah melakukan langkah-langkah strategis guna mengatasi hambatan yang ada.
Febriani (2014a dan 2015) dalam dua tulisannya menemukan, pertama, bahwa deskripsi Al-Qur’an tentang konsep etika ekologis setidaknya terangkum dalam sebuah teori ekohumanis-teosentris, yaitu sebuah teori yang meniscayakan interkoneksi dan interaksi harmonis antara manusia dengan dirinya sendiri (ḥabl ma’a nafsihi), manusia dengan sesama manusia (ḥabl ma’a ikhwānihi), manusia dengan alam raya (ḥabl ma’a bī’atihi), dan manusia dengan Allah (ḥabl ma’a khāliqihi). Kedua, bahwa dalam ekologi alam terdapat keseimbangan karakter feminin dan maskulin dalam setiap entitas makhluk. Hanya saja, alam raya tidak memiliki sisi negatif dalam karakternya. Artinya, keseluruhan alam raya patuh pada ketentuan Allah Swt. dalam menjalankan fungsi dan perannya tanpa membelot sedikitpun. Keseimbangan karakter feminin dan maskulin yang memiliki nilai dan sisi positif dalam setiap makhluk di alam raya ini dapat menjadi pelajaran bagi manusia untuk dapat menyeimbangkan karakter feminin dan maskulin yang memiliki nilai positif dalam dirinya. Selain itu, tentu saja manusia juga dapat belajar memiliki keseimbangan karakter feminin dan maskulin yang diajarkan Rasulullah saw., karena tujuan diutusnya Rasulullah saw. adalah untuk menyempurnakan akhlak. Kesempurnaan akhlak dan integritas karakter Rasulullah saw. sebagai al- insān al-kāmil (the perfect human), adalah ajaran universal yang dapat diteladani oleh umat manusia dengan berbagai macam background. Stereotip karakter laki- laki dan perempuan seharusnya tidak lagi menjadi penyebab bagi manusia untuk
34 saling menyalahkan dan merasa lebih dominan dalam berbagai pola interaksi sosialnya termasuk dalam upaya konservasi lingkungan.
Desfandi (2015) menemukan bahwa tujuan Program Adiwiyata adalah mendorong dan membentuk sekolah peduli dan berbudaya lingkungan yang mampu berpartisipasi dan melaksanakan upaya pelestarian lingkungan dan pembangunan berkelanjutan bagi kepentingan generasi sekarang maupun yang akan datang.
Melalui Program Adiwiyata diharapkan setiap warga sekolah ikut terlibat dalam kegiatan sekolah menuju lingkungan yang sehat dan menghindari dampak lingkungan yang negatif. Warga sekolah selanjutnya harus dapat menjadi model/contoh bagi masyarakat guna mewujudkan masyarakat yang berkarakter peduli lingkungan. Guna mencapai tujuan program Adiwiyata, diperlukan partisipasi semua pihak, mulai dari pemerintah dari tingkat pusat hingga daerah, seluruh warga sekolah, serta masyarakat, baik orang tua peserta didik maupun tokoh masyarakat.
Karmanto, Makmur dan Hayat (2015) mengungkapkan bahwa kebijakan pengintegrasian pendidikan lingkungan hidup di SMAN 1 Puncu diwujudkan dalam bentuk pengimplementasian program yang dibuat oleh pemerintah dan dijalankan oleh pihak sekolah. Dengan perwujudan kebijakan pengintegrasian pendidikan lingkungan hidup di sekolah tersebut, maka sekolah terbukti bergegas menuju ke sekolah yang mampu membangun jiwa cinta lingkungan hidup, yaitu dengan cara menjaga dan melestarikan lingkungan. Namun demikian, program yang diimplementasikan belum berjalan dengan maksimal, di antaranya terkendala oleh sisa-sisa erupsi dan adanya pelanggaran, di samping dukungan yang diperoleh belum memenuhi kebutuhan.
Amirullah (2015) mengemukakan bahwa krisis ekologi yang terjadi dewasa ini merupakan dampak yang nyata dan tak terelakkan dari pandangan dunia barat (world view) dan peradaban modern yang parsial dan reduksionis terhadap alam, seperti budaya materialisme, antroposentrisme, utilitarianisme dan kapitalisme. Hal ini tidak dapat dilepaskan dari krisis spiritualitas yang menggerogoti manusia modern yang telah memberhalakan dirinya dan mengingkari realitas Tuhan. Krisis ini adalah bukti nyata dari refleksi krisis spiritual paling
35 dalam umat manusia. Problem filosofis ini membutuhkan keterlibatan semua pihak.
Keterlibatan dalam wacana penyelamatan ekosistem bumi adalah merupakan bentuk keharusan setiap individu. Dengan cara bersikap kritis dalam melihat pandangan dunia.
Asmanto (2015) menemukan bahwa pandangan teosentris spiritual ekologi Islam menyajikan sebuah imajinasi ekologi yang adil, hormat, dan tanggung jawab dalam interaksi dan keterkaitannya dengan manusia dan alam.
Sementara pendidikan lingkungan turut membantu aktualisasi amanah dan mandat sebagai khalifah Allah bagi tiap manusia, yang disempurnakan dengan pengetahuan seorang Muslim terhadap kewajiban syariat agamanya untuk menyelamatkan alam.
Proses edukasi demikian bukanlah sekedar bagian dari pengetahuan, namun lebih menitikberatkan pada proses aksi terhadap alam sebagai bentuk etika manusia terhadap seluruh ciptaan Allah Swt. Adapun gerakan eco-Islam pada sebuah komunitas memberikan kontribusi positif bagi pembelajaran dan pengajaran aktualisasi nilai-nilai ekologis. Gerakan tersebut menitikberatkan pada kesadaran beretika untuk hidup secara adil dengan siapapun, dan itu adalah kewajiban dari Tuhan yang dititipkan pada manusia sebagai khalifah Allah. Manusia wajib mempertemukan antara visi edukasi dan visi etika spiritual ekologis guna menjawab problematika gerakan ekologi kontemporer.
Murdiati (2015) menemukan bahwa masyarakat memiliki adat istiadat, nilai-nilai sosial maupun kebiasaan yang berbeda dari satu dengan lainnya.
Perbedaan dalam hal-hal tersebut menyebabkan terdapatnya perbedaan pula dalam praktek-praktek pengelolaan lingkungan. Oleh karena itu, dalam proses pengelolaan lingkungan perlu memperhatikan masyarakat dan kebudayaannya, baik sebagai bagian dari subjek maupun objek pengelolaan tersebut. Oleh sebab itu, pengetahuan ekologi lokal petani dalam pengelolaan sumberdaya alam yang masih mengikuti kaidah konservasi patut untuk dipertahankan. Praktek pengelolaan lahan dapat berubah seiring dengan pertambahan kebutuhan hidup dan perubahan sosial budaya. Upaya penggalian pengetahuan lokal dalam pengelolaan sumber daya alam harus terus dikaji dan dipraktekkan.
36 Ahmad (2015) menemukan bahwa pemikiran ekologi Mudhofir dapat dipilahkan dalam tiga hal, yaitu krisis lingkungan yang dirasakan saat ini dipengaruhi oleh positivistik-developmentalisme yang telah melahirkan modernitas yang mengacu pada perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan industrialisasi di samping menguatnya kapitalisme global yang menyebabkan krisis alamiah, krisis spiritual dan muldimensional; umat Islam tidak dapat lepas dari ajaran yang berasal dari Al-Qur’an dan teks keagamaan lainnya karena jawaban fikih tidak mampu menyelesaikan semua problem lingkungan; dan isu lingkungan yang dilihat dari perspektif dalil-dalil naṣ Al-Qur’an yang dapat dipahami melalui ayat-ayat lingkungan dengan eko-ushul fikih bahwa menjaga lingkungan sama dengan menjaga tujuan tertinggi syariah, yaitu menjaga agama, jiwa, keturunan, harta benda, dan kehormatan melalui terjaganya kesatuan ekosistem.
Sefriyani (2015) menemukan bahwa bangunan dari sistem-sitem epistemologi dalam tafsir al-Mishbah yang ditulis oleh Quraish Shihab, menunjukkan terbangunnnya sistem yang kuat dan menyatu antara konsep-kosep keilmiahan, hukuman, nilai-nilai ke-tawāḍu’-an, yang dibangun atas dasar pondasi keimanan dan keyakinan yang kuat kepada Allah Swt. Jadi, dalam hal ini sama sekali tidak terpisah antara keyakinan atau keimanan kepada Allah terhadap bagaimana memahami alam dengan kadar ukurannya dan bagaimana merusak alam mendapat sindiran dan teguran serta hukuman yang keras dari Allah. Dengan demikian, dalam konteks pemeliharaan alam, sangat terkait dengan nilai-nilai keimanan dan ibadah kepada Allah. Keyakinan itu ditunjang dengan pemahaman yang baik, bahwa antara alam, manusia dan ciptaan Allah yang lainnya saling terkait, sebagaimana ekosistem raksasa yang ada di alam lingkungan manusia.
Dapat dikatakan bahwa alam, penjagaan, kelestarian, merusaknya ada ganjaran hukuman, penggunaan alam sesuai kebutuhan, kemudian pemahaman itu dibangun dengan dasar-dasar ilmiah, dan dengan pondasi iman, menunjukkan bahwa tafsir ini melihat cara pandang itu dari segala sisi penjurunya.
Jusnaidi dan Marsuki (2015) mengungkapkan bahwa ekologi teologi Islam telah mengenal adanya empat prinsip yang melibatkan alam (fiṭrah), interkoneksi (takāful), pengetahuan (‘ilm) dan khalifah (khalīfah) dalam melestarikan
37 lingkungan. Hal itu serupa dengan prinsip-prinsip dalam Ekologi Dalam yang menekankan pada aksiologi, hukum alam, simbiosis dan peran manusia. Namun demikian, perbedaan konsep peran manusia telah digambarkan oleh Eco-Teologi Islam di mana hubungan antara manusia dan alam telah dikategorikan hirarki.
Meskipun Ekologi Dalam memiliki beberapa keunikan dengan Ekosistem Islam, namun Ekologi Dalam memusatkan fondasi ekosentris, sementara eko-teologi Islam dipusatkan dengan konsep tawḥīd yang membuatnya berbeda dalam hal spiritualitas. Agama berperan lebih besar pada abad ke-21, karena dunia dan umat manusia terus menghadapi krisis moral, sosial, lingkungan, ekonomi dan politik yang serius. Oleh karena itu, tugas mempraktikkan sains adalah suatu sikap religius.
Reuter (2015) menemukan bahwa program dari beberapa kelompok agama dan spiritual saat ini menfokuskan seputar komitmen bersama untuk mengatasi krisis ekologis global yang akan datang. Islam dan Kristen saat ini secara resmi menerima bahwa bentuk kehidupan lainnya memiliki hak untuk eksis dan bahwa manusia memiliki kewajiban untuk melindungi alam. Pandangan baru ini memperbaiki kecenderungan sebelumnya dalam dua agama tersebut yang memandang bahwa alam sebagai hal yang jauh lebih rendah dan bertugas melayani manusia. Dengan demikian, ada kecendungan pergeseran mendasar menuju kosmologi eko-spiritual yang lebih banyak terjadi di seluruh dunia. Pergeseran ini pada akhirnya dapat berujung pada aliansi antar agama global untuk tindakan yang kuat dalam masalah paling mendesak pada saat ini.
Rahmawati (2015) menemukan bahwa komunitas asli masyarakat Benuaq tinggal di sekitar hutan Kalimantan Timur khususnya area Kutai Kertanegara (Barat) selama ini memiliki kekuatan menjaga kelestarian hutan Kalimantan, namun upaya subkultur yang mereka lakukan harus berhadapan langsung dengan fenomena penebangan liar yang mengancam, konsesi lahan lewat perusahaan timber (kayu) dan mining (pertambangan), dan potensi konflik antara masyarakat lokal pendatang –pemegang konsesi lahan dan pemerintah. Kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat Dayak Benuaq berupa Umaq, Simpuk dan Bengkar telah terbukti berhasil menjaga kelestarian ekosistem hutan Kalimantan. Pemberdayaan potensi masyarakat lokal memerlukan sinkronisasi dan perlindungan tata hukum
38 lokal dan pranata adat agar sistem diharapkan masih berfungsi dalam mengatur perilaku masyarakat lokal, khususnya sebagai penguat dan kontrol perilaku ekologis.
Muhaimin (2015b) menemukan bahwa model pembelajaran berbasis masalah lokal efektif meningkatkan kompetensi ekologis peserta didik. Ada perbedaan yang signifikan antara pengetahuan, sikap, dan keterampilan lingkungan hidup sebelum dan sesudah implementasi model berbasis masalah lokal. Lokalitas juga memberikan masalah esensial dan aktual tentang permasalahan lingkungan.
Dalam konteks tersebut peserta didik memahami secara lebih jelas masalah yang akan dikaji, karena terjadi dalam lingkungannya dan dekat, baik secara geografis maupun psikologis. Muatan materi yang bersumber dari realitas dan fenomena lokal dapat mempermudah pemahaman peserta didik dan efektif meningkatkan kompetensi ekologis yang diharapkan.
Suwandi et al. (2016) menemukan bahwa pertama, kecerdasan ekologis adalah kemampuan manusia dalam berinteraksi dengan lingkungan serta kemampuan beradaptasi, mengontrol, mengatur, mempeduli, menjaga, melestarikan, dan memanfaatkan lingkungannya demi kelangsungan hidup manusia. Komponen yang tercakup dalam kecerdasan ekologis meliputi (1) mengidentifikasi komponen-komponen ekosistem; (2) memahami fungsi dan kegunaan komponen ekosistem; (3) memahami sistem pengelolaan alam dan lingkungan; (4) memahami tata nilai lingkungan, yang meliputi nilai kearifan lokal, nilai religius, dan nilai normatif; (5) menunjukkan keprihatinan atas kerusakan lingkungan atau pencemaran lingkungan; (6) melakukan adaptasi tingkah laku terhadap lingkungan; (7) memecahkan masalah yang timbul dari dampak lingkungan; (8) mengelola/melestarikan sumber daya alam; dan (9) memanfaatkan lingkungan secara positif. Kedua, komponen-komponen kecerdasan ekologis di atas tersaji secara variatif dalam buku pelajaran bahasa Indonesia untuk siswa SMP;
dari buku yang hanya memuat tiga komponen kecerdasan ekologis sampai dengan buku yang memuat semua komponen kecerdasan ekologis. Buku pelajaran bahasa Indonesia untuk SMP pada umumnya masih lebih dominan menyajikan hal-hal yang bersifat pengetahuan dan belum menekankan pada internalisasi nilai
39 kecerdasan ekologis serta penerapannya, baik berupa adaptasi tingkah laku terhadap lingkungan, pemecahan masalah yang timbul dari dampak lingkungan, pengelolaan/pelestarian sumber daya alam, dan pemanfaatan lingkungan secara positif.
Jatmiko (2016) menemukan bahwa realisasi nilai-nilai ekologis dalam kurikulum PAI di sekolah belum terwujud secara eksplisit, meskipun terdapat dua tema lingkungan yang dibahas (0,42%), namun proporsinya belum memadai.
Secara implisit terdapat 10 tema yang dapat dikembangkan (2,11%) dalam rangka internalisasi nilai-nilai ekologis. Nilai-nilai ekologis pada Kurikulum PAI aspek Al- Qur’an Hadits terdiri dari 29 tema dalam Standar Kompetensi (SK) dan 76 tema dalam Kompetensi Dasar (KD). Secara eksplisit, nilai-nilai ekologis terwujud dalam satu tema (0,95%); dan secara implisit, nilai-nilai ekologis terwujud dalam lima tema (4,76%). Aspek Aqidah terdiri dari 24 tema dalam SK dan 66 tema dalam KD. Baik eksplisit maupun implisit nilai-nilai ekologis tidak ditemukan. Aspek Akhlak terdiri dari 28 tema dalam SK dan 82 tema dalam KD. Secara eksplisit, nilai-nilai ekologis terwujud dalam satu tema (0,90%) dan secara implisit berjumlah dua tema (1,81%). Aspek Fiqih terdiri dari 33 tema dalam SK dan 77 tema dalam KD. Secara eksplisit nilai-nilai ekologis tidak ditemukan, dan secara implisit berjumlah dua tema (1,81%). Aspek Tarikh dan Kebudayaan Islam terdiri dari 18 tema dalam SK dan 41 tema dalam KD. Secara eksplisit, nilai-nilai ekologis tidak ditemukan; dan secara implisit berjumlah satu tema (1,69%). Secara keseluruhan diketahui bahwa nilai-nilai ekologis pada Kurikulum PAI SD, SMP dan SMA secara eksplisit berjumlah dua (0,42%), dan secara implisit berjumlah 10 (2,11%).
Saragih (2016) mengungkapkan bahwa kebijakan politik ekologi tidak lepas dari peran stakeholder. Dengan demikian, model penanggulangan bencana di kawasan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) tidak hanya bersifat topdown (dari atas ke bawah), namun dibutuhkan koordinasi dan kolaborasi antara pemangku kepentingan seperti pemerintah pusat, pemerintah daerah, pengusaha, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan masyarakat. Kolaborasi tersebut diperlukan agar setiap kebijakan yang terkait masalah penanggulangan bencana berbasis politik ekologi bisa dilaksanakan secepatnya. Model penanggulangan
40 bencana yang selama ini dilakukan oleh pemerintah Sumatera Utara melalui Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) terbukti tidak efektif dalam menanggulangi bencana rutin di Kabupaten Langkat. Perlunya sebuah model penanggulangan bencana baru yang berbasis kepada politik ekologi dalam mengatasi bencana banjir di Kabupaten Langkat tersebut.
Shobahiya (2017) mengungkapkan bahwa pesan-pesan ajaran Islam yang dapat digunakan untuk pengembangan materi pendidikan agama Islam berbasis ekologi antara lain meliputi (1) pentingnya menghindari penebangan hutan tanpa diiringi reboisasi yang akan menghadirkan banjir, tanah longsor, dan kepunahan flora serta fauna (QS. Ar-Rūm/30: 41); (2) pentingnya menghindari kepunahan fauna (QS. Hūd/11: 40); (3) pentingnya menghindari kepunahan flora dengan memberi kesempatan segala tanaman di darat dan laut untuk hidup dengan sehat (QS. Qāf/50: 6-8); dan (4) perlunya menjaga keseimbangan ekosistem yang serasi (QS. Al-Furqān/25: 2, QS. Luqmān/31: 29, dan QS. Az-Zumar/39: 5).
Sulistyowati et al. (2017) menemukan bahwa model pembinaan sekolah imbas Adiwiyata yang selama ini dijalankan di Salatiga belum baik. Hal ini ditunjukkan dengan: (1) belum adanya perencanaan pembinaan yang disusun dengan matang; (2) tidak ada analisis kebutuhan yang mendasari kegiatan pembinaan; (3) tidak ada rumusan tujuan pembinaan yang dibuat; dan (4) belum pernah dilakukan evaluasi program pembinaan. Berdasarkan hal tersebut, maka kemudian disusun desain model pembinaan sekolah imbas Adiwiyata berbasis partisipasi yang layak diterapkan, meliputi: (1) perencanaan pembinaan yang terdiri dari tiga kegiatan utama, yaitu: analisis kebutuhan, perumusan tujuan, dan penyusunan materi pembinaan, kemudian pemaparan tujuan, manfaat, dan materi pembinaan Adiwiyata secara umum, mengembangkan materi berbasis partisipasi, media dan perangkat evaluasi, mengembangkan buku panduan bagi pembina sekolah imbas, panduan monitoring dan evaluasi, serta merencanakan konsep pelaksanaan; (2) pengorganisasian struktur pengurus pembinaan, syarat personil dan tugas personil yang terlibat dalam pembinaan; (3) pelaksanaan pembinaan yang terdiri dari kegiatan persiapan, pra-pembinaan, pelaksanaan pembinaan, dan kegiatan akhir; dan (4) evaluasi pembinaan yang terdiri dari evaluasi proses,
41 evaluasi hasil, evaluasi program, evaluasi sekolah imbas, dan evaluasi sekolah induk/pembina. Model pembinaan sekolah imbas Adiwiyata berbasis partisipasi adalah model yang didapatkan setelah dilakukan uji kelayakan oleh ahli secara teoritis dan ahli implementasi atau praktisi di lapangan. Hasil uji coba kelayakan menunjukkan bahwa model layak untuk diujicobakan.
Santika dan Arjani (2019) menemukan bahwa ada tiga faktor yang melatarbelakangi pelaksanaan ritual Mungkah Wali, yaitu (1) sebagai pemujaan terhadap Dewa; (2) melaksanakan ritual yang berlatar mitos; dan (3) berhubungan dengan sejarah pembentukan Desa tambakan. Adapun fungsi dari ritual Mungkah Wali adalah fungsi persembahan untuk memperoleh anugrah berupa keselamatan, kesejahteraan, serta kemakmuran bagi Desa Tambakan. Sedangkan makna dari ritual Mungkah Wali yaitu: (1) memiliki fungsi pemersatu atau solidaritas antar masyarakat Tambakan; (2) memiliki fungsi pelestarian terhadap kawasan hutan di Desa Tambakan; (3) memiliki fungsi dalam menjaga ketersediaan air di Desa Tambakan; (4) memiliki fungsi pelestarian populasi sapi; dan (5) memiliki fungsi ekonomis bagi masyarakat Desa Tambakan.
Munawar et al. (2019) menemukan bahwa terdapat hubungan positif dan signifikan antara pengetahuan lingkungan hidup dengan kesadaran lingkungan siswa SMAN 26 dan SMAN 65 Jakarta pada Semester I Tahun Pelajaran 2018/2019 dengan koefisien korelasi sebesar 0,298. Hal tersebut berarti jika skor pengetahuan lingkungan hidup tinggi, maka skor kesadaran lingkungan juga tinggi. Di samping itu, ditemukan pula bahwa pengetahuan lingkungan hidup memberikan kontribusi terhadap kesadaran lingkungan peserta didik sebesar 8,89%.
Pramesiana et al. (2020) menemukan bahwa sikap kedisiplinan dalam mencintai lingkungan bagi peserta didik di SMPN 2 Gatak menuju sekolah Adiwiyata masih kurang. Faktor penyebab kurangnya kedisiplinan dalam mencintai lingkungan bagi peserta didik menuju sekolah Adiwiyata karena kurangnya kesadaran peserta didik. Cara mengatasi kurangnya kedisiplinan dalam mencintai lingkungan bagi peserta didik dilakukan dalam bentuk menerapkan kegiatan rutin dan spontan serta budaya sekolah oleh peserta didik dengan arahan guru dan kepala sekolah. Dari sisi lain, Pratiwi et al. (2020) menemukan bahwa SMPN 2 Gatak
42 menanamkan karakter peduli lingkungan pada peserta didik dengan cara mewajibkan peserta didik membawa dan merawat tanaman di sekolah, membuat kerajinan dari barang bekas, dan melaksanakan proses pembelajaran IPA di luar ruangan dalam rangka mengenalkan peserta didik dengan lingkungan sekitar.
Penanaman karakter ini terus ditingkatkan seiring berjalannya persiapan SMPN 2 Gatak menuju sekolah Adiwiyata. Dengan adanya program Adiwiyata, sekolah lebih bersemangat dalam melakukan penanaman karakter peduli lingkungan kepada peserta didik. Kegiatan peduli lingkungan yang dilaksanakan di SMPN 2 Gatak dapat meningkatkan kepekaan peserta didik terhadap lingkungan.
Indriyana & Tjahyono (2020) menemukan bahwa warga sekolah SMPN 31 Semarang sudah berperan dengan baik dalam menerapkan pendidikan lingkungan hidup. Peserta didik juga memiliki kepedulian lingkungan yang tergolong sangat tinggi, yaitu sebesar 65,64. Peserta didik melakukan pengelolaan sarana prasarana yang ramah lingkungan dengan baik, berpartisipasi aktif dalam kegiatan lingkungan dan melaksanakan seluruh kegiatan pembelajaran dalam kurikulum berbasis lingkungan. Sedangkan di sekolah lain, Diana & Mubarak (2020) menemukan bahwa pelaksanaan Program Sekolah Adiwiyata di SMA Negeri 15 Padang melibatkan seluruh warga sekolah. Sektor-sektor yang dilakukan dalam pelaksanaan ini berupa pembenahan taman hijau menjadi lebih tertata rapi, pengolahan sampah, pengaplikasian sikap peduli lingkungan oleh peserta didik yang diterapkan selama belajar di kelas. Namun untuk sektor pengolahan sampah belum terlaksana dengan baik, serta kurangnya penjelasan mengenai laporan secara tertulis mengenai pencapaian yang telah didapatkan oleh SMA Negeri 15 Padang pada Program Sekolah Adiwiyata. Berdasarkan pelaksanaan Program Sekolah Adiwiyata yang dilaksanakan di SMA Negeri 15 Padang sudah cukup efektif namun belum 100% dalam mewujudkan kepedulian peserta didik terhadap lingkungan. Hal ini dibuktikan dengan kurangnya kejelasan secara tertulis maupun praktek mengenai kelanjutan program ini untuk ke depannya.
Khalim (2020) menemukan bahwa (1) implementasi Sekolah Adiwiyata di MAN 1 Gresik berjalan dengan baik dan lancar, karena semua warga sekolah sangat antusias dalam berpartisipasi; (2) peran Kepala Madrasah dalam pelaksanaan
43 Adiwiyata di MAN 1 Gresik adalah sebagai edukator, manajer, supervisor, inovator, dan motivator; serta (3) pengembangan manajemen pendidikan Islam dalam Sekolah Adiwiyata sangatlah penting, karena MAN 1 Gresik dalam mengadakan Program Adiwiyata menerapkan fungsi-fungsi manajemen pendidikan Islam mulai dari perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengendalian.
Hakim & Munawir (2020) menemukan bahwa (1) makna kerusakan ditunjukkan oleh kata al-fasad, al-Razi berpendapat bahwa yang dimaksud dengan segala kerusakan yang terjadi sebab ulah tangan manusia adalah akibat kesyirikan manusia, baik dalam bentuk fāsiq maupun ma’ṣiyyah; dan (2) relevansi penafsiran al-Razi terhadap fenomena kerusakan lingkungan di Indonesia diakibatkan oleh angin topan, rusaknya lahan hijau, keasinan dan keasaman air laut semakin tinggi, dan rusaknya sumber air di area perkotaan.
Surip (2020) menemukan bahwa Kej 1: 28 memaparkan berkat Allah kepada manusia yang berupa prokreasi/perkembangbiakan, penaklukan alam dan penguasaan makhluk-makhluk ciptaan lainnya. Tafsir ḥarfiah atas berkat ini sering dijadikan alasan untuk menuduh orang Kristen sebagai biang keladi eksploitasi alam. Tafsir eksploitatif seperti itu tidak selaras dengan maksud penulisan Kej 1:
28 yang justru mengajak manusia untuk mengelola bumi peduli ekologi. Oleh karena itu, Kej 1: 28 harus ditafsir berdasarkan konteksnya dalam penciptaan manusia sebagai gambar dan rupa Allah (Kej 1: 26-27) sehingga menjadi rekan kerja-Nya dalam mengolah alam dan menggembalakan segenap makhluk ciptaan- Nya (Kej 1: 28). Atas dasar dan tujuan itulah Allah menempatkan manusia di taman Eden dan memberi tugas untuk mengusahakan dan memeliharanya (Kej 2: 4-8, 15).
Sabat Allah yang menjadi mahkota karya penciptaan-Nya pun dieksplor sebagai model bagi manusia dalam menjalani karya misinya (Kej 2: 1-3). Sebagaimana Allah beristirahat setelah enam hari berkarya; demikianlah manusia harus tahu batas dalam mengolah alam dan menguasai makhluk ciptaan lainnya sehingga terhindar dari kerakusan yang eksploitatif. Malapetaka Air Bah adalah dampak dari gagalnya manusia menjadi rekan kerja Allah dan kehadiran figur Nuh menyingkapkan secara simbolis upaya pemeliharaan lingkungan atau peduli ekologi (Kej: 6-9). Bahtera yang dibuat Nuh ibarat sebuah rumah, tempat
44 perlindungan dan pemeliharaan segala makhluk yang hidup dan keberadaannya terancam kemusnahan. Dalam konteksnya Kej 1: 28 menginspirasi manusia untuk peduli ekologi.
Yuanjaya (2021) menemukan bahwa pengembangan ekowisata di Taman Nasional Alas Purwo Banyuwangi merupakan hasil dari kerjasama lintas sektoral yang didasarkan pada perencanaan dan pelaksanaan program yang searah, sejalan dan berkesinambungan. Terdapat perbedaan sudut pandang pengembangan ekowisata, yaitu Pemerintah Kabupaten berharap menjadikan Taman Nasional Alas Purwo sebagai salah satu atraksi wisata yang dapat meningkatkan kunjungan wisatawan, sedangkan Balai Taman Nasional Alas Purwo berkonsentrasi dalam menjaga fungsi taman nasional sebagai kawasan konservasi. Oleh karena itu, melalui berbagai usaha mensinergikan kebijakan dari seluruh stakeholder, menjadikan pengembangan ekowisata didasarkan pada tiga fokus kebijakan yaitu manajemen ekowisata, pengembangan infrastruktur dan pengembangan sumber daya manusia. Ketiga kebijakan tersebut mampu menciptakan ekowisata dengan jumlah kunjungan wisatawan yang meningkat setiap tahunnya, namun tetap menjaga nilai-nilai konservasi.
Andryanto, Amiruddin, Habum & Iskandar (2021) menghasilkan aplikasi pembelajaran konsep ekologi dengan teknologi Augmented Reality yang dapat berjalan pada perangkat yang sistem operasinya Android 6.0 (marshmallow) hingga Android 10. Aplikasi ini memuat materi pelajaran seperti pengertian ekologi, pengertian dan komponen ekosistem, satuan makhluk hidup, interaksi antar makhluk hidup, aliran energi, gejala dan dampak krisis ekologi, dan terakhir adalah siklus biogeokimia. Sedangkan Utama, Rahmawat, Niamulla & Jamil (2021) menemukan bahwa media ekologis pembelajaran yang digunakan di SMP Alam Banyuwangi Islamic School yaitu media grafis, media teks, teknologi, media lingkungan, dan media manusia. Interaksi ekologis peserta didik dengan media pembelajaran di SMP Alam Banyuwangi Islamic School yaitu interaksi yang berfungsi untuk menarik perhatian (atensi), interaksi yang berfungsi untuk merubah sikap (afektif), interaksi yang berfungsi untuk merubah pengetahuan (kognitif),
45 interaksi yang berfungsi untuk kompensatoris, dan interaksi yang berfungsi untuk sustainability.
Marlianingrum et al. (2021) mengungkapkan bahwa ancaman yang dihadapi masyarakat Kabupaten Tangerang adalah penyusutan luas mangrove karena dikonversi menjadi tambak, pemukiman, pertanian, dan perkebunan. Sistem Sosial-Ekologi (SSE) mangrove di Kabupaten dikembangkan berdasarkan jasa ekosistem mangrove dalam empat layanan jasa ekosistem, yaitu jasa penyediaan, jasa pengaturan, jasa pendukung dan jasa budaya.
Sholehuddin (2021) mengungkapkan bahwa kerusakan lingkungan hidup terjadi akibat adanya tindakan segelintir manusia tak bermoral, serakah, egois dan tamak. Mengeksploitasi kekayaan alam sebanyak-banyaknya di luar batas kewajaran, tanpa memperhatikan sistem ekosistem dan hukum lingkungan hidup, dan berdampak negatif secara multidimensional terhadap kehidupan manusia dan makhluk lainnya yang berujung pada kehancuran dan kepunahan (fasād). Al- Qur’an secara detail menjelaskan terkait kata fasād dalam bentuk maṣdar yang menunjukkan kerusakan bersifat ḥissi/fisik, seperti banjir dan pencemaran udara.
Akan tetapi jika kata fasād berupa ism maṣdar, bermakna kerusakan yang bersifat nonfisik, seperti kafir, syirik, munafik, dan semisalnya. Dengan demikian, kerusakan yang bersifat fisik pada hakikatnya merupakan akibat kerusakan bersifat non-fisik atau mental spiritual. Kehadiran revolusi spiritual berbasis Al-Qur’an sebagai solusi menumbuhkan kesadaran makhluk manusia untuk menjaga alam lingkungan sebagai tempat dan sumber kehidupan; yaitu tidak dicemari, dikotori dan dirusak, melainkan dirawat, dikelola dan dilestarikan serta dimanfaatkan secara patut sesuai aturan ekosistem dan hukum lingkungan hidup disertai internalisasi nilai-nilai tauhid (spiritualitas) berbasis akhlak karimah yang rahmat dan humanis.
Surahman (2021) mengemukakan bahwa ekologi alam sama dengan ekologi manusia, ia juga mahluk hidup. Perspektif ini menjadi argumentasi penting, bagaimana alam dan manusia merupakan satu kesatuan yang terintegrasi, perpaduan tak terpisahkan, sebab ia manifestasi wujud ke-Esa-an Tuhan, wujud tauhid. Konsep tauhid tidak hanya terrepresentasi pada kepercayaan terhadap Pencipta, yaitu Tuhan. Keyakinan tentang ciptaan-Nya menjadi unsur utama ajaran
46 ke-Esa-an Tuhan. Transformasi pengetahuan tauhid yang meyakini Tuhan Maha Pencipta, diterjemahkan pada kesadaran mentransendensikan ciptaan-Nya, alam semesta dan manusia sebagai wujud tauhid. Bahwa daun yang jatuh dari ranting pohon itu diyakini atas izin Tuhan, namun selembar daun yang jatuh tersebut memiliki pengaruh terhadap keseimbangan ekologi manusia.
Hadibowo (2021) menemukan bahwa pengalaman gerakan menanam telah mengajak setiap orang untuk keluar dari zona nyaman untuk berdamai dengan alam maupun ciptaan Tuhan. Hal ini nampak dari perubahan cara hidup untuk lebih peduli pada perawatan alam. Ada yang memulai untuk menanam tananam dan pohon-pohon pelindung air, ada yang mengurangi penggunaan sampah plastik, termasuk penggunaan bunga potong sebagai dekorasi gereja. Usaha pribadi untuk mengubah pola hidup ini mendapat apresiasi dalam perayaan liturgi Gereja di Baturetno Wonogiri. Salah satu yang menonjol adalah dimasukkannya janji untuk menanam dan merawat air serta udara segar dalam janji baptis pada malam Paskah.
Tidak hanya berhenti sampai di situ, gerakan menanam ini juga masuk dalam tema pertemuan bulanan di lingkungan atau wilayah. Hal ini menunjukkan bahwa gerakan menanam telah menyatu dengan kehidupan bersama di dalam kegiatan rohani umat yang sekaligus menunjukkan keberpihakan pada yang miskin.
Cahyono (2021) menemukan bahwa krisis ekologi juga merupakan krisis teologi, karena krisis ekologi juga bersumber kepada pemahaman yang salah terhadap mandat budaya. Kesalahan tersebut antara lain karena manusia merasa sebagai penguasa, subjek dan pemilik atas alam dan sebagai berkat-Nya. Sikap egois, tamak dan tidak bertanggung jawab menunjukkan bahwa manusia sudah salah mengartikan Mandat Budaya, bukan bagi manusia semata, tetapi kembali kepada Tuhan Pencipta dan Pemelihara. Alam ciptaan adalah cerminan dari kebaikan dan keagungan Tuhan, dan dipancarkan lewat manusia sebagai image of God. Calvin menekankan bahwa manusia adalah penatalayanan (mengelola, mengusahakan, menjaga dan melestarikan) atas alam ciptaan-Nya untuk kesejahteraan manusia dan anak cucunya, sebagai bukti memuliakan Allah.
Fitriani et al. (2021) menemukan bahwa yang melatarbelakangi pesan dakwah ekologis di Pesantren Ath-Thaariq adalah (1) adanya konflik agrarian; (2)
47 adanya revolusi hijau; dan (3) kurangnya pengetahuan dan pemahaman masyarakat mengenai lingkungan. Di samping itu, ditemukan pula bahwa aktivitas dakwah ekologis yang dilakukan di pesantren tersebut melalui konsep penanaman, pemeliharaan serta pemanfaatan lingkungan. Makna dakwah ekologis dapat ditinjau dari segi motif yang mendasari dan dasar tujuan yang diharapkan.
Pesantren Ath-Thaariq dalam melakukan aktivitas dakwahnya melalui pendekatan ekologi. Dakwah dalam pendekatan ekologi ini sangat diterima, baik itu oleh santri Ath-Thaariq maupun masyarakat sekitar.
Bahri, Heri, Fredrik dan Ardian (2021) menemukan bahwa berkurangnya luas hutan menjadi problem yang serius dalam rangka kelestarian lingkungan.
Kasus di Kabupaten Rokan Hilir merupakan kasus perambahan yang berakibat pada berkurangnya luas hutan yang terjadi setiap tahun. Penyebab utama berkurangnya luas hutan tersebut ada tiga hal, yaitu (1) lemahnya penegakan hukum; (2) tarik ulur kepentingan yang sangat tinggi antara penguasa dan pengusaha akibat dari tukar guling kepentingan Pemilukada; dan (3) fenomena kemiskinan dan apatisme masyarakat dari akibat gagalnya program yang dijalankan oleh pemerintah daerah Kabupaten Rokan Hilir. Ketiga faktor tersebut sebagai dampak dari tidak berjalannya Peraturan Daerah No. 41 Tahun 2017 sebagi salah satu langkah politik ekologi di daerah.
Wahyuni (2021) menemukan bahwa secara umum Manajemen Sekolah Adiwiyata di SMA Negeri 1 Cangkringan yang dilaksanakan dengan empat komponen Adiwiyata, yaitu kebijakan berwawasan lingkungan, pelaksanaan kurikulum berbasis lingkungan, kegiatan lingkungan berbasis partisipatif, dan pengelolaan sarana pendukung ramah lingkungan melalui fungsi manajemen perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan pengawasan berjalan dengan baik.
Oleh karena itu, dalam program kelanjutan menuju Sekolah Adiwiyata Mandiri, sekolah hanya perlu memenuhi persyaratan yang diperlukan sebagai Sekolah Adiwiyata Mandiri tanpa mengalami hambatan yang berarti. Sedangkan penanaman karakter kewirausahaan siswa berbasis lingkungan dilaksanakan dengan program-program yang terrencana dan berhasil dengan baik yang dibuktikan dengan kerjasama dan pameran-pameran yang diikuti oleh siswa SMA
48 Negeri 1 Cangkringan. Program pengembangan dalam penanaman karakter kewirausahaan siswa telah dirancang dan direncanakan oleh sekolah secara matang.
Hal ini menunjukkan bahwa Program Sekolah Adiwiyata di SMA Negeri 1 Cangkringan ini dikelola dengan baik dan merupakan program yang berkelanjutan.
Penelitian-penelitian di atas dapat dipetakan dalam empat ragam temuan sebagaimana terlihat pada Gambar 2. di bawah ini.
Gambar 2. Peta Penelitian Terdahulu (Model peta kepustakaan hierarkis Creswell (2015b)
Gambar di atas menunjukkan bahwa telah ada minimal 57 penelitian yang mengkaji atau meneliti terkait ekologi. Dari 57 penelitian di atas dapat dikemukakan bahwa (1) terdapat enam penelitian yang mengungkap mengenai kebijakan Sekolah Adiwiyata dan implementasinya, baik yang ditemukan di SMKN 2 Semarang (Hidayati, Taruna dan Purnaweni, 2014) , SMAN 8 dan 10 Malang (Landriany, 2014), SMAN Puncu Kediri (Karmanto, Makmur dan Hayat, 2015), beberapa
49 sekolah di Salatiga (Sulistyowati et al., 2017), MAN 1 Gresik (Khalim, 2020), dan SMAN 1 Cangkringan Yogyakarta (Wahyuni, 2021); (2) terdapat 19 penelitian yang menemukan tentang ragam kegiatan berbasis partisipatif yang menunjukkan sebagai perilaku ekologis, baik yang terjadi di tengah-tengah masyarakat, di antaranya di komunitas Badui (Iskandar, 2004), Surakarta (Azizah et al., 2013), Yogyakarta (Muthmainnah, 2007), Bogor (Lestari et al., 2011), Taman Nasional Gunung Leuser (Saragih, 2016), Riau (Rifardi, 2008), Kutai Kertanegara (Rahmawati, 2015), Buleleng (Santika dan Arjani, 2019), Banyuwangi (Yuanjaya, 2021), Tangerang (Marlianingrum et al., 2021), Wonogiri (Hadibowo, 2021) dan Rokan Hilir (Bahri, Kusmanto, Broven, Fredrik dan Ardian, 2021), maupun secara spesifik di Sekolah-sekolah Adiwiyata, seperti di SDN Tunjungsekar 1 dan SDN Tulungrejo 4 Malang (Mukminin, 2014), SMAN 26 dan SMAN 65 Jakarta (Munawar et al., 2019), SMPN 2 Gatak Sukoharjo (Pramesiana et al., 2020 dan Pratiwi et al., 2020), dan Pesantren Ath-Thariq Garut (Fitriani et al., 2021); (3) terdapat dua penelitian yang secara spesifik mengungkap mengenai sarana dan prasarana yang mendukung perilaku dan budaya peduli lingkungan, di antaranya ditemukan di SMA Negeri 15 Kota Padang (Diana dan Mubarak, 2020) dan SMPN 31 Semarang (Indriyana dan Tjahyono, 2020); dan (4) terdapat 30 penelitian yang mengungkap terkait kurikulum, baik dari sisi materi, metode, maupun media pembelajaran yang berorientasi ekologi. Kajian ataupun penelitian mengenai materi pembelajaran atau norma-norma ekologis ditemukan 20 dari 30 penelitian di atas, antara lain adalah kajian dan penelitian nilai-nilai pendidikan ekologis (Arifin, 1994; Rusli, 2008; Blanchard et al., 2008; Suhendra, 2013; Mohamed, 2014;
Asmanto, 2015; Reuter, 2015; Shobahiya, 2017; Surip, 2020; Sholehuddin, 2021;
Cahyono, 2021; dan Surahman, 2021). Sedangkan 10 penelitian lainnya mengungkap tentang metode pembelajaran ekologis (O’Brien, 2014; Ayres, 2014;
Clingerman, 2014 dan Muhaimin, 2015b) dan media pembelajaran ekologis (Andryanto, Amiruddin, Habum & Iskandar, 2021 dan Utama, Rahmawaty, Niamullah & Jamil, 2021)
Empat kelompok penelitian di atas menunjukkan bahwa belum ada peneliti yang mengkaji ataupun meneliti mengenai konstruksi Pendidikan Agama Islam
50 yang berorientasi ekologi. Oleh karena itu, penelitian ini memenuhi kriteria kebaruan.
A. Kajian Teoritik 1. Ekologi dalam Islam a. Konsep Ekologi
Ekologi dimaknai pertama kali oleh Ernest Haeckel (zoologiwan asal Jerman, 1834-1914) (dalam A.R., Achmad Mufid dan Thalhah (2008) sebagai ilmu yang mempelajari interaksi antara organisme (makhluk hidup) dengan sesama organisme lainnya atau dengan lingkungannya. Hal senada diungkap oleh Soemarwoto (1989), bahwa ekologi adalah ilmu yang mempelajari tentang hubungan antara satu organisme dengan yang lain, dan antara organisme tersebut dengan lingkungannya. Sarwono (1995) juga mengungkapkan bahwa ekologi merupakan ilmu yang mempelajari tentang hubungan antar makhluk hidup dalam alam ini dan hubungan antara makhluk-makhluk hidup itu dengan lingkungannya yang disebut sebagai ekosistem. Hal itu sebagaimana ungkapan Febriani (2014a), bahwa salah satu konsep inti dalam ekologi adalah ekosistem, yaitu suatu sistem ekologi yang terbentuk oleh hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya. Lingkungan dibedakan dalam lingkungan dinamis (hidup) dan statis (mati) (Al-Qaradhawi, 2001; 2002).
Lingkungan mati meliputi alam (ṭabī’ah) yang diciptakan Allah dan industri (ṣhinā’iyah) yang diciptakan manusia. Sedangkan lingkungan dinamis meliputi wilayah manusia, hewan dan tumbuhan.
Manik (2016) memaknai ekosistem sebagai sistem ekologi, yang merupakan satu kesatuan tatanan yang terbentuk oleh hubungan timbal balik antara makhluk hidup (hayati) dengan unsur-unsur non-hayati (abiotik) dalam suatu wilayah. Dengan demikian, ekosistem terdiri dari unsur-unsur hayati dan non-hayati. Unsur-unsur hayati meliputi manusia, hewan, tumbuhan dan mikro- organisme. Adapun unsur-unsur non-hayati antara lain meliputi unsur fisik dan kimia, seperti tanah, air, udara, batu, curah hujan, sinar matahari, temperatur udara dan faktor iklim lainnya, bahan organik (lemak, protein, karbohidrat), serta bahan-
51 bahan an-organik (karbon, fosfat, nitrogen). Manik (2016) juga mengungkap perbedaan antara ekologi dan ekosistem; bahwa ekologi dimaknai sebagai ilmu tentang tempat tinggal makhluk hidup atau ilmu yang mempelajari hubungan makhluk hidup dengan lingkungannya. Oleh karena itu, fokus kajian ekologi adalah hubungan makhluk hidup dengan lingkungannya; sedangkan bahasan ekosistem lebih luas, yaitu hubungan timbal balik antar-komponen suatu ekosistem sehingga terbentuk suatu keadaan yang stabil.
Ada beberapa istilah yang berkaitan dengan ekologi (Manik, 2016), yaitu (1) organisme, yaitu makhluk hidup, seperti manusia, burung, dan organisme bakteri; (2) populasi, yaitu kumpulan organisme yang sejenis, yang hidup dan berbiak di suatu wilayah tertentu, seperti populasi manusia di Jawa dan populasi kelapa di Sulawesi Utara; (3) komunitas, yaitu kumpulan beberapa populasi yang menempati suatu wilayah tertentu, seperti komunitas masyarakat di Jakarta yang terdiri dari beberapa suku, seperti Betawi, Jawa, Sunda, dan Padang; (4) habitat, yaitu tempat suatu organisme ditemukan, seperti ikan bandeng hidup di air laut dan gajah hidup di hutan; (5) relung, yaitu status atau profesi suatu organisme di lingkungannya, seperti bagaimana organisme mencari makan dan bagaimana berkembang biak; (6) entropi, yaitu bagian energi yang tidak dapat digunakan untuk melakukan kerja, yang berkaitan dengan hukum Termodinamika II, yang menyatakan bahwa tidak semua energi (100%) dapat digunakan untuk berbagai kegiatan; (7) daya lenting, yaitu kemampuan suatu ekosistem untuk menahan berbagai perubahan atau memulihkan diri dari suatu gangguan; (8) biomassa, yaitu bahan organik yang berasal dari tumbuhan dan/atau hewan yang telah mati;
(9) rantai pangan, yaitu perubahan materi dan energi dari tumbuh-tumbuhan melalui organisme; (10) piramida makanan, yaitu menunjukkan besarnya metabolisme suatu organisme; dan (11) piramida energi, menunjukkan tingkat efisiensi pemanfaatan energi.
Beberapa istilah yang berkaitan dengan ekologi di atas menjadikan ekologi dapat dipilahkan ke dalam dua jenis, yaitu ekologi manusia dan ekologi alam. Ekologi manusia dimaknai sebagai suatu ilmu yang mengkaji pola interaksi antara manusia dan lingkungan yang mengitarinya, yaitu menfokuskan kajian
52 terhadap interaksi sosial antara manusia dengan sesama manusia, dan interaksi manusia dengan lingkungan alam sekitarnya. Sedangkan ekologi alam adalah interaksi dan interkoneksi antara seluruh makhluk di alam raya ini yang eksistensinya untuk saling memberi manfaat sesuai dengan potensi dan ketentuan yang diberikan Allah kepadanya sebagai bentuk ibadah kepada Allah Swt.
(Febriani, 2014).
Alam dan seluruh isinya diciptakan untuk kemaslahatan manusia, membantu dan memenuhi kebutuhan mereka. Hal itu sebagaimana diungkap dalam QS. Al-Ḥijr (15): 19-21 dan ‘Abasa (80): 24-32 (Indonesia, 2012).
QS. ‘Abasa (80): 24-32 menunjukkan hubungan adanya interaksi antara manusia, tumbuhan dan hewan yang saling menyempurnakan. Hubungan tumbuhan dan hewan ibarat hubungan dua kerajaan, salah satu menjadi sumber kebutuhan bagi yang lain, seperti tetumbuhan dalam posisi sebagai pemberi oksigen yang menjadi sumber kehidupan bagi hewan (Al-Qaradhawi, 2001;
2002). Seandainya semua membutuhkan oksigen, tentu akan habis kualitas penciptaan tumbuhan, dan menjadi rusaklah dua kerajaan tersebut. Proses interaksi antar keduanya telah diatur dalam sebuah prosesi yang amat menggugah dan menarik, yaitu saling melengkapi dan menyempurnakan, serta masing-masing bagian dari komponen tersebut melaksanakan perannya tanpa melampaui batas peran yang lain, saling memberi dan menerima serta saling melaksanakan kewajiban dan mengambil haknya.
b. Konsep Islam dalam Menjaga Lingkungan
Islam menunjukkan bahwa diciptakannya manusia di muka bumi sebagai khalifah (pengganti atau wakil) Allah yang salah satu tugasnya adalah membuat bumi ini makmur. Hal itu menunjukkan bahwa kelestarian dan kerusakan alam berada di tangan manusia (Ramly, 2007). Oleh karena itu, menjadi sebuah keniscayaan adanya hubungan antara manusia dengan lingkungan.
Keterhubungan, keterlibatan, dan keterjalinan manusia dengan lingkungan bersifat dinamis, bukan bersifat statis (Abdillah, 2001). Artinya, bahwa keterjalinan manusia dengan lingkungan bukan bersifat deterministis yang harus