• Tidak ada hasil yang ditemukan

NASKAH MENDONGENG BABAK FINAL OLIMPIADE BAHASA INDONESIA SMA/SMK/MA SE-JAWA TIMUR DAN BALI UNIVERSITAS JEMBER TAHUN 2021

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "NASKAH MENDONGENG BABAK FINAL OLIMPIADE BAHASA INDONESIA SMA/SMK/MA SE-JAWA TIMUR DAN BALI UNIVERSITAS JEMBER TAHUN 2021"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

NASKAH MENDONGENG BABAK FINAL

OLIMPIADE BAHASA INDONESIA SMA/SMK/MA

SE-JAWA TIMUR DAN BALI UNIVERSITAS JEMBER

TAHUN 2021

(2)

GADIS KECIL DAN PENJUAL BERAS

Dahulu kala, di sebuah pasar kecil di sebuah desa, ada seorang penjual beras.

Tubuhnya gemuk, bernama Ming San. Di sebelah kiosnya, ada seorang nenek penjual kue bernama Hau Ma. Warga desa suka berbelanja di tempat Pak Ming San karena ia ramah, suka bergurau, dan murah hati. Setiap orang yang membeli beras selalu ia tambahkan sejumput beras.

Salah satu pelanggan Pak Ming San adalah Ling-Ling, yaitu gadis kecil berusia 9 tahun. Ling-Ling memiliki wajah yang cukup manis untuk gadis seusianya, rambutnya hitam pekat, dan bibirnya mungil. Namun, hidungnya agak pesek. Beberapa hari sekali Ling-Ling datang membeli beras beberapa gram. Karena orang tuanya kurang mampu, Ling-Ling hanya datang membeli sedikit beras. Mereka tak sanggup langsung membeli sekarung beras untuk persediaan selama satu bulan.

Setiap kali Ling-Ling membeli beras, Pak Ming San memberinya tambahan segenggam, bahkan dua genggam beras. Tak lupa, ditariknya hidung Ling Ling sambil bercanda, “Biarlah hidungmu mancung. Kalau hidungmu mancung, kamu pantas menjadi nyonya raja muda.” Ling Ling biasanya cemberut dan berkata “Pak Ming San, jangan kencang-kencang menarik hidungku. Aku akan menangis!.”

Namun Pak Ming San biasanya akan menarik hidung Ling Ling sekali lagi sambil berseru pada Nek Hau Ma di kios sebelah. “ Lekas Hau Ma. Beri dia kue mangkok. Biar aku yang bayar. Aku khawatir dia akan benar-benar menangis.” Maka Ling Ling pun mendapat kue mangkok merah. Ia mengucapkan terima kasih dengan riang, lalu membawa berasnya pulang. Sementara itu Pak Ming San dan Nenek Hau tertawa terbahak.

Jika Ling-Ling bosan dengan kue mangkok, Pak Ming San yang baik hati mengizinkan ia memilih kue apa saja di kios Nenek Hau Ma. Bahkan kalau Ling Ling teringan pada adik laki-lakinya, ia boleh mengambil dua kue. Pak Ming San tahu, orang tua Ling Ling jarang mebelikan kue, ia ingin menyenangkan hati anak itu. Tahun demi tahun berlalu. Ketika Ling-Ling berusia 12 tahun, ia tidak disuruh ke pasar lagi. Adik laki-lakinya menggantikan tugasnya. Ling Ling sibuk belajar memasak, menyulam, dan membaca buku- buku yang berguna. Pokoknya ia mempersiapkan diri menjadi anak gadis yang pintar dan cekatan.

(3)

Walau tak bisa bercanda dengan Ling Ling lagi, Pak Ming San tetap mengingat Ling Ling. Ia sering menanyakan kabar Ling Ling dan menitipkan salam lewat adik Ling Ling.

Terkadang ia mengirimkan kue empat atau lima buah untuk Ling-Ling. Anehnya, semakin besar, hidung Ling-Ling semakin mancung. Saat berusia 17 tahun, Ia tumbuh menjadi gadis cantik, cerdas, dan rajin.

Suatu ketika, tersiar kabar bahwa Pak Walikota mencari asisten untuk membantunya bekerja. Orang tua Ling-Ling mengantar Ling-Ling ke kota. Gadis itu mengikuti berbagai ujian untuk seleksi asisten walikota. Karena pandai, Ling-Ling berhasil lolos ujian dengan nilai tertinggi. Ia pun diangkat menjadi asisten Pak Walikota yang amsih muda. Setelah bekerja beberapa tahun, Pak Walikota dan Ling-Ling akhirnya menikah.

Suami Ling-Ling bekerja berpindah-pindah kota. Jabatanyya terus naik. Ling- Ling terus mendukung pekerjaan suaminya. Sampai akhirnya, saat Ling-Ling berusia 28 tahun, suaminya diangkat menjadi raja muda. Mereka tinggal di rumah besar yang jauh dari desa kelahiran Ling-Ling.

Suatu ketika, Ling-Ling rindu pada desa kelahirannya. Ia ingin berkunjung. Ia teringat akan nenek Hau Ma dan Pak Ming San, tukang beras yang baik hati itu, Ia ingin membalas kebaikan mereka.

Sayangnya nenek Hau Ma ternyata sudah meninggal. Tinggal Pak Ming San yang masih setia berdagang beras di pasar.

Berita kedatangan istri Raja Muda tersuar di desa asal Ling-Ling. Warga desa amat bangga karena nyoya raja adalah warga desa mereka. Juga tersiar berita bahwa nyinya raja akan datang ke pasar mencari Pak Ming San.

Sebetulnya Pak Ming San sangat senang. Ling-Ling kecil yang ia candai dulu, kini sudah menjadi orang penting. Namun, orang di pasar berkata, “Pak Ming San ingat- ingatlah., kamu punya salah apa dulu, Nyoya Ling-Ling mungkin datang untuk balas dendam.

Mungkinkamu akan ditangkao dan dimasukkan ke penjara!”

Mendengar ucapan pedagang pasar, Pak Ming San menjadi gelisah. Ia takut.

Maka, saat rombongan istri raja muda datang, Pak Ming San bergegas pulang ke rumahnya.

Dengangembira, Ling-Ling melihat pasar dan menyapa semua orang yang masih dikenalnya.

Namun, ia kecewa saat melihat kios beras pak Ming San di tutup.

(4)

“Dimana pak Ming San? Lekas cari dia. Bawa Pak Ming San ke hadapanku!

Aku tunggu di rumah orang tuaku.” Perintah Ling-Ling pada pengawalnya.

Sementara itu, pak Ming San ketakutan di rumah saat mendengar berita ada pengawal Raja Muda yang mencarinya. Pak Ming San bermaksud melarikan diri ke pantai.

Namun, di ujung jalan, para pengawal Ling-Ling berhasil menangkapnya. Ia pun dibawa menghadap Ling Ling.

“Ampun nyonya! Hamba minta mapun atas semua kesalahan hamba. Mohon jangan hukum hamba…” tangis pak Ming San.

Ling-Ling tertawa geli “Pak Ming San. Bapak sama sekali tidak bersalah.

Saya mencari bapak karena mau membalas budi bapak. Dulu waktu saya kecil, bapak selalu memberikan saya kue. Bapak juga memberikan tambahan berasa setiap kali saya belanja.

Bahkan, bapak selalu berkata saya pantas menjadi istri Raja Muda. Saya belajar dengan rajin dan mengikuti ujian asisten walikota, karena ingin menjadi perempuan cerdas dan terpelajar.

Impian saya dan doa pak Ming San menjadi kenyataan. Sekarang saya menjadi istri Raja Muda” kata Ling-Ling.

Ling-Ling memberikan pak Ming San hadiah sekantong emas. Pak Ming San sangat gembira. Namun, yang paling membuatnya gembira adalah doanya untuk Ling-Ling telah menjadi kenyataan.

(5)

PUTRI TANDAMPALIK

Dahulu, terdapat sebuah negeri yang bernama negeri Luwu, yang terletak di pulau Sulawesi. Negeri Luwu dipimpin oleh seorang raja yang bernama La Busatana Datu Maongge, sering dipanggil Raja atau Datu Luwu. Karena sikapnya yang adil, arif dan bijaksana, maka rakyatnya hidup makmur. Sebagian besar pekerjaan rakyat Luwu adalah petani dan nelayan. Datu Luwu mempunyai seorang anak perempuan yang sangat cantik, namanya Putri Tandampalik. Kecantikan dan perilakunya telah diketahui orang banyak.

Termasuk di antaranya Raja Bone yang tinggalnya sangat jauh dari Luwu. Raja Bone ingin menikahkan anaknya dengan Putri Tandampalik. Ia mengutus beberapa utusannya untuk menemui Datu Luwu untuk melamar Putri Tandampalik. Datu Luwu menjadi bimbang, karena dalam adatnya, seorang gadis Luwu tidak dibenarkan menikah dengan pemuda dari negeri lain. Tetapi, jika lamaran tersebut ditolak, ia khawatir akan terjadi perang dan akan membuat rakyat menderita. Meskipun berat akibat yang akan diterima, Datu Lawu memutuskan untuk menerima pinangan itu.

"Biarlah aku dikutuk asal rakyatku tidak menderita," pikir Datu Luwu.

Beberapa hari kemudian utusan Raja Bone tiba ke negeri Luwu. Mereka sangat sopan dan ramah. Tidak ada iringan pasukan atau armada perang di pelabuhan, seperti yang diperkirakan oleh Datu Luwu. Datu Luwu menerima utusan itu dengan ramah. Saat mereka

mengutarakan maksud kedatangannya, Datu Luwu belum bisa memberikan jawaban menerima atau menolak lamaran tersebut. Utusan Raja Bone memahami dan mengerti keputusan Datu Luwu. Mereka pun pulang kembali ke negerinya. Keesokan harinya, terjadi kegaduhan di negeri Luwu. Putri Tandampalik jatuh sakit. Sekujur tubuhnya mengeluarkan cairan kental yang berbau anyir dan sangat menjijikkan. Para tabib istana mengatakan Putri Tandampalik terserang penyakit menular yang berbahaya. Berita cepat tersebar. Rakyat negeri Luwu dirundung kesedihan. Datu Luwu yang mereka hormati dan Putri Tandampalik yang mereka cintai sedang mendapat musibah. Setelah berpikir dan menimbang-nimbang, Datu Luwu memutuskan untuk mengasingkan anaknya. Karena banyak rakyat yang akan tertular jika Putri Tandampalik tidak diasingkan ke daerah lain. Keputusan itu dipilih Datu Luwu dengan berat hati. Putri Tandampalik tidak berkecil hati atau marah pada ayahandanya.

Lalu ia pergi dengan perahu bersama beberapa pengawal setianya. Sebelum pergi, Datu Luwu

(6)

memberikan sebuah keris pada Putri Tandampalik, sebagai tanda bahwa ia tidak pernah melupakan apalagi membuang anaknya.

Setelah berbulan-bulan berlayar tanpa tujuan, akhirnya mereka menemukan sebuah pulau. Pulau itu berhawa sejuk dengan pepohonan yang tumbuh dengan subur. Seorang pengawal menemukan buah Wajao saat pertama kali menginjakkan kakinya di tempat itu.

"Pulau ini kuberi nama Pulau Wajo," kata Putri Tandampalik.

Sejak saat itu, Putri Tandampalik dan pengikutnya memulai kehidupan baru. Mereka mulai dengan segala kesederhanaan. Mereka terus bekerja keras, penuh dengan semangat dan gembira. Pada suatu hari Putri Tandampalik duduk di tepi danau. Tiba-tiba seekor kerbau putih menghampirinya. Kerbau bule itu menjilatinya dengan lembut. Semula, Putri Tandampalik hendak mengusirnya. Tapi, hewan itu tampak jinak dan terus menjilatinya.

Akhirnya ia diamkan saja. Ajaib! Setelah berkali-kali dijilati, luka berair di tubuh Putri Tandampalik hilang tanpa bekas. Kulitnya kembali halus dan bersih seperti semula. Putri Tandampalik terharu dan bersyukur pada Tuhan, penyakitnya telah sembuh.

"Sejak saat ini kuminta kalian jangan menyembelih atau memakan kerbau bule, karena hewan ini telah membuatku sembuh," kata Putri Tandampalik pada para pengawalnya.

Permintaan Putri Tandampalik itu langsung dipenuhi oleh semua orang di Pulau Wajo hingga sekarang. Kerbau bule yang berada di Pulau Wajo dibiarkan hidup bebas dan beranak pinak. Di suatu malam, Putri Tandampalik bermimpi didatangi oleh seorang pemuda yang tampan.

"Siapakah namamu dan mengapa putri secantik dirimu bisa berada di tempat seperti ini?" tanya pemuda itu dengan lembut.

Lalu Putri Tandampalik menceritakan semuanya.

"Wahai pemuda, siapa dirimu dan dari mana asalmu ?" tanya Putri Tandampalik.

Pemuda itu tidak menjawab, tapi justru balik bertanya, "Putri Tandampalik maukah engkau menjadi istriku?" Sebelum Putri Tandampalik sempat menjawab, ia terbangun dari tidurnya.

Putri Tandampalik merasa mimpinya merupakan tanda baik baginya. Sementara, nun jauh di Bone, Putra Mahkota Kerajaan Bone sedang asyik berburu. Ia ditemani oleh Anre Guru Pakanyareng Panglima Kerajaan Bone dan beberapa pengawalnya. Saking asyiknya berburu, Putra Mahkota tidak sadar kalau ia sudah terpisah dari rombongan dan tersesat di hutan.

(7)

Malam semakin larut, Putra Mahkota tidak dapat memejamkan matanya. Suara-suara hewan malam membuatnya terus terjaga dan gelisah. Di kejauhan, ia melihat seberkas cahaya. Ia memberanikan diri untuk mencari dari mana asal cahaya itu. Ternyata cahaya itu berasal dari sebuah perkampungan yang letaknya sangat jauh. Sesampainya di sana, Putra Mahkota memasuki sebuah rumah yang nampak kosong. Betapa terkejutnya ia ketika melihat seorang gadis cantik sedang menjerang air di dalam rumah itu. Gadis cantik itu tidak lain adalah Putri

Tandampalik.

"Mungkinkah ada bidadari di tempat asing begini ?" pikir putra Mahkota.

Merasa ada yang mengawasi, Putri Tandampalik menoleh. Sang Putri tergagap,"

rasanya dialah pemuda yang ada dalam mimpiku," pikirnya. Kemudian mereka berdua berkenalan.

Dalam waktu singkat, keduanya sudah akrab. Putri Tandampalik merasa pemuda yang kini berada di hadapannya adalah seorang pemuda yang halus tutur bahasanya. Meski ia seorang calon raja, ia sangat sopan dan rendah hati. Sebaliknya, bagi Putra Mahkota, Putri Tandampalik adalah seorang gadis yang anggun tetapi tidak sombong. Kecantikan dan penampilannya yang sederhana membuat Putra Mahkota kagum dan langsung menaruh hati.

Setelah beberapa hari tinggal di desa tersebut, Putra Mahkota kembali ke negerinya karena banyak kewajiban yang harus diselesaikan di Istana Bone. Sejak berpisah dengan Putri Tandampalik, ingatan sang Pangeran selalu tertuju pada wajah cantik itu. Ingin rasanya Putra Mahkota tinggal di Pulau Wajo. Anre Guru Pakanyareng, Panglima Perang Kerajaan Bone yang ikut serta menemani Putra Mahkota berburu, mengetahui apa yang dirasakan oleh anak rajanya itu. Anre Guru Pakanyareng sering melihat Putra Mahkota duduk berlama-lama di tepi telaga. Maka Anre Guru Pakanyareng segera menghadap Raja Bone dan menceritakan semua kejadian yang mereka alami di pulau Wajo.

"Hamba mengusulkan Paduka segera melamar Putri Tandampalik," kata Anre Guru Pakanyareng.

Raja Bone setuju dan segera mengirim utusan untuk meminang Putri Tandampalik.

Ketika utusan Raja Bone tiba di Pulau Wajo, Putri Tandampalik tidak langsung menerima lamaran Putra Mahkota. Ia hanya memberikan keris pusaka Kerajaan Luwu yang diberikan ayahandanya ketika ia diasingkan. Putri Tandampalik mengatakan bila keris itu diterima

(8)

dengan baik oleh Datu Luwu berarti pinangan diterima. Putra Mahkota segera berangkat ke Kerajaan Luwu sendirian. Perjalanan berhari-hari dijalani oleh Putra Mahkota dengan penuh semangat. Setelah sampai di Kerajaan Luwu, Putra Mahkota menceritakan pertemuannya dengan Putri Tandampalik dan menyerahkan keris pusaka itu pada Datu Luwu. Datu Luwu dan permaisuri sangat gembira mendengar berita baik tersebut. Datu Luwu merasa Putra Mahkota adalah seorang pemuda yang gigih, bertutur kata lembut, sopan dan penuh semangat. Maka ia pun menerima keris pusaka itu dengan tulus. Tanpa menunggu lama, Datu Luwu dan permaisuri datang mengunjungi pulau Wajo untuk bertemu dengan anaknya.

Pertemuan Datu Luwu dan anak tunggal kesayangannya sangat mengharukan. Datu Luwu merasa bersalah telah mengasingkan anaknya. Tetapi sebaliknya, Putri Tandampalik bersyukur karena rakyat Luwu terhindar dari penyakit menular yang dideritanya. Akhirnya Putri Tandampalik menikah dengan Putra Mahkota Bone dan dilangsungkan di Pulau Wajo.

Beberapa tahun kemudian, Putra Mahkota naik tahta. Beliau menjadi raja yang arif dan bijaksana.

(9)

MEDUNDE

Tersebutlah dalam suatu kisah, sepasang suami istri di Pulau Sangi, bernama Hangsalangi dan Giangdempel. Mereka berputra seorang anak laki-laki yang diberi nama medunde.

Suami istri tersebut menginginkan agar kelak putranya menjadi seorang anak yang baik, berbakti kepada orang tua dan berguna bagi masyarakat. Karena itu, mereka berdua berusaha mendidik putranya dengan sebaik-baiknya.

Menginjak usia dewasa, Medunde diminta orang tuanya segera menikah. Hangsalangi dan Giangdempel ingin segera menimang cucu.

Namun, Medunde meminta agar kedua orang tuanya sabar. Karena saat itu ia belum ingin menikah. Ia masih ingin menimba ilmu dan bermain dengan teman-temannya. Namun, saat sedang tidur, Medunde bermimpi bertemu dengan seorang gadis yang cantik jelita. Hati Medunde menjadi gelisah. Ingin rasanya bertemu putri dalam mimpinya.

Setelah berpikir lama dan minta pertimbangan orang tuanya, Medunde memutuskan untuk pergi merantau. Siapa tahu di perantauannya nanti berteu dengan putri dalam mimpinya. Dengan menggunakan perahu kecil, Medunde pergi mengarungi lautan lepas.

Dengan harapan ia bisa sampai di suatu pulau, dimana ia bisa bermukim. Setelah mengayuh perahunya beberapa hari, sampailah di sebuah pulau yang indah.

“Senang rasanya aku tinggal di pulau ini. Pemandangannya sangat memesona.

Sayang, tempat ini demikian sepi. Tidak nampak seorang pun disini, kecuali aku,” kata Medunde kepada dirinya sendiri sambil tertawa lirih.

“Mungkin pulau ini belum berpenghuni.”

Belum semenit berkata, tiba-tiba ia mendengar sesuatu.

“Suara apa itu?” pikirnya.

“Seperti suara orang berbicara dan tertawa.”

Pelan-pelan Medunde berjalan mencari arah suara. Dibawah sebuah pohon yang besar dan rimbun berhenti dan bersembunyi. Rasanya tak pecaya dengan apa yang dilihatnya. Di

(10)

depannya ada beberapa buah kolam terbuat dari batu pualam yang sangat indah. Berisi air jernih bagai kaca. Di kiri-kanan kolam tersebut terdapat tumbuhan bermacam bunga. Ada yang berwarna merah, nila, kuning, oranye, ungu, dan lain sebagainya. Dan yang lebih mengejutkan, di situ tampak beberapa gadis yang sedang mandi sambil bermain air. Mereka bersendau gura dan tertawa bahagia.

“Siapa mereka?” pikir Medunde. “Mengapa berada di sini? Apakah mereka bidadari dari kahyangan ? Atau mereka itu peri ? atau mungkin sebangsa jin?”

Ketika berpikir tentang jin, bulu kuduk Medunde langsung merinding. Hatinya kecut, timbul rasa takut. Namun, tiba-tiba salah seorang gadis tersebut menoreh sehingga tampak raut wajahnya. Medunde terkejut, karena wajah gadis itu persis dengan gadis yang ditemui dalam mimpinya. Lalu Medunde mencari akal agar bisa berkenalan dengannya.

“Bagaimana caranya, ya?” batinnya.

Saat sedang mencari akal, ia melihat beberapa lembar pakaian tergeletak tak jauh dari tempatnya bersembunyi. Tiba-tiba terdengar suara, entah itu suara siapa, “Mereka adalah para bidadari. Ambillah salah satu pakaiannya.”

Medunde segera mengeluarkan sumpit pusaka. Lalu ditiupnya sumpit tersebut.

Sumpit pun mengenai salah satu pakaian yang tergeletak. Lalu kembali kepada Medunde dengan membawa pakaian tersebut. Pakaian segera disembunyikan.

“Pakaianku hilang! Kata bidadari yang tak menemukan pakaiannya. Bidadari tersebut bernama Lumbungkati. Ketika bidadari yang lain terbang ke negeri asalnya, Lumbungkati menangis sedih. Tanpa pakaian khusus tersebut, ia tidak bisa terbang seperti yang lainnya.

Bidadari yang malang itu harus menerima nasibnya. Tinggal seorang diri di pulau yang sunyi dan terpencil . tak henti-hentinyaair mata mengalir membasahi kedua pipinya.

Waktu itu telah menjelang senja. Suasana mulai temaram, membuat kedukaannya semakin mencekam, Lumbungkati hanya bisa berdoa, pasrah sambil tersedu-sedu.

Tiba-tiba Medunde memperlihatkan diri. Sang bidadari terperanjat, mengira yang berada di hadapannya tersebut seorang jin. Karena selama ini, tak pernah ada manusia yang sampai ke tempat tersebut. Pulau ini sungguh sangat terpencil sehingga oleh para dewa

(11)

dibangun taman yang indah dengan beberapa kolam dari batu pualam untuk bersenang- senang.

“Siapakah Tuan ?” tanya Lumbungkati. “Apakah jin atau manusia?”

“Aku seorang manusia asalku dari pulau Sangi,” jaab Medunde.

“mungkin telah menjadi suratan takdir, kita akan bertemu.”

“Apa maksud Tuan ?” tanya Lumbungkati.

“Aku ingin menikah denganmu,” jawab Medunde.

Pulanglah bidadari itu bersama Medunde, dan menurut kisah, mereka menjadi suami istri. Pulang ke Pulau Sangi dan berputra seorang anak laki-laki yang tampan bernama pahaung.

Suatu ketika Lumbungkati berkata kepada suaminya, “jika engkau ingin hidup kita tetap rukun, tidak bercerai berai, ingatlah selalu pesanku.”

“katakanlah segera pesanmu. Aku akan selalu mengingatnya,” sahut Medunde.

“Jangan sekali-kali engka membakar bulu burung,” Lumbungkati berpesan.

“Jangan khawatir, akan kulaksanakan pesanmu tersebut.”

“sekali lagi ingatlah, jangan melanggar pantanganku itu.”

“Ya aku tidak akan melanggar pantangan itu,” Medunde menegaskan

Suatu ketika Medunde dan putranya Pahaung bermaksud membersihkan taman dimana mereka tinggal. Rumput-rumput liar disiangi, dikumpulkan dengan sampah yang lain.

Lalu dibakar. Tanpa disengaja dan tak diketahuinya, ada beberapa lembar bulu burung ikut terbakar.

Lumbungkati yang sedang sibuk melakukan sesuatu, tiba-tiba mencium bau bulu burung yang terbakar. Ia sangat terkejut. Dengan serta merta larilah ia ke tengah hutan. Di tempat itu, ia menemukan pohon rotan yang menjulang tinggi. Sangat tinggi sehingga tidak nampak bagian pucuknya. Konon kabarnya, saking tingginya, pucuk rotan tersebut mencapai kahyangan tempat tinggal para dewa.

(12)

Lumbungkati segera memanjat pohon rotan itu. Dengan tangkas dan cekatan terus naik hingga tak kelihatan dari bawah.

Medunde dan putranya mengetahui Lumbungkati lari ke hutan. Mereka pun segera mengejarnya, dan ikut naik memanjat pohon rotan tersebut. Mungkin telah menjadi kehendak-Nya, tiba-tiba langit menjadi gelap gulita. Badai yang amat dahsyat mengamuk.

Pepohonan di hutan tersebut banyak yang tumbang. Gunung dan bukit longsor. Rotan yang menjulang tinggi pun roboh. Medunde dan putranya terpental dan terpisah.

Pahaung jatuh di sebuah pulau yang dikenal dengan nama Pulau Sulu. Medunde sendiri terpental sampai di sebuah pulau, lalu pulau tersebut diberi nama Siu. Lama-kelamaan namanya berubah menjadi Pulau Siau.

(13)

ARYO MENAK DAN TUNJUNG WULAN

Ada seorang pemuda bernama Aryo Menak, ia gemar berkelana sehingga luas pergaulannya dan banyak pengalamannya.

Pada suatu malam, waktu bulan sedang purnama, ia duduk di serambi rumahnya.

Dipandanginya bulan bundar yang bersinar terang.

“Alangkah indahnya bulan itu,” bisiknya kepada dirinya sendiri.

Tiba-tiba dari kejauhan terdengar suara.

“Suara apa gerangan?” tanyany dalam hati. “seperti suara orang sedang bersendau gurau. Rupanya suara itu datang dari telaga tengah hutan,. Siapa yang bersendau gurau di tengah hutan malam hari begini? Lagi pula sepertinya suara perempuan.”

Aryo Menak berdiri, lalu memperhatikan suara tersebut agar lebih jelas. Karena ingin tahu , pemuda tersebut melangkahkan kaki menuju asal suara.

Pelan-pelan berjalan diantara pepohonan yang tinggi menjulang. Menerobos perdu yang tumbuh lebat.

Akhirnya, ia sampai di tempat yang dituju. Dari balik batang pohon yang besar, Aryo Menak melihat arah telaga. Di tengah telaga tampak beberapa orang bidadari yang amat cantik. Mereka sedang asyik bermainair sambil bersendau gurau dan tertawa.

“Hem, apakah aku sedang bermimpi? Atau sedang melihat sesuatu yang betul terjadi?” pikirnya. Lalu pemuda tersebut mencubit lengannya, ternyata terasa sakit.

Kemudian mencubit pipinya sendiri, juga terasa sakit.

“Berarti, aku tidak sedang bermimpi,” bisiknya.

Beberapa saat Aryo Menak memperhatikan bidadari-bidadari tersebut. Sementara itu para bidadari tidak tahu jika ada sepasang mata memperhatikannya. Mereka terus bermain air, bersuka ria.

Kemudian pemuda tampan tersebut berpindah tempat persembunyian. Ingin melihat lebih dekat. Tiba-tiba, ia melihat beberapa lembar kain tergeletak di tanah. Kain tersebut

(14)

ternyata pakaian bidadari. Tanpa pakaian tersebut bidadari tidak bisa terbang, karena pakaian tersebut pengganti sayap mereka.

Timbul pikiran kurang baik. Aryo Menak mengambil salah satu pakaian bidadari.

Lalu segera berlari pulang. Disimpannya pakaian itu di bawah tumpukan padi di lumbung.

“Nah, salah satu pkaian mereka telah kusembunyikan. Mereak pasti didak tahu, jika aku telah mengambilnya,” bisiknya pelan.

Tidak lama kemudian, Aryo Menak kembali masuk hutan. Menuju telaga tempat bidadari bermain air. Namun, suasan di telaga tidak seramai tadi. Kini sepi, tak ada suara sendau gurau dan tawa ria. Hanya ada suara tangis memilukan. Tangis salah seorang bidadari yang kehilangan pakaiannya. Berarti semua bidadari sudah pulang ke kahyangan tempat asal mereka, kecuali satu bidadari yang tak bisa terbang karena pakaiannya hilang.

Pelan-pelan Aryo Menak mendekat dan menyapa lembut, “Siapakah engkau?

Mengapa berada disini seorang diri dan menangis ?”

Begitu mendengar sapaan tersbut, sang bidadari sangat terkejut. Setelah redam rasa takutnya, lalu ia menceritakan nasibnya.

“Mungkin sudah menjadi kehendak Yang Maha Kuasa, kamu harus tinggal di mayapada ini. Jika kamu tak keberatan, ayolah ikut aku. Pulang ke rumahku. Kita hidup bersama bergotong-royong. Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing,” ujar Aryo Menak.

Sang bidadari merasa tak punya harapan bisa pulang ke temoat asalnya. Walau dengan berat, tawaran tersebut diterima, mereka lalu berjalan bersama menuju rumah Aryo Menak.

Bidadari itu bernama Tunjung Wulan. Ia akhirnya menjadi istri Aryo Menak. Setahun kemudian, mereka mendapat karunia seorang bayi laki-laki yang tampan. Menurut kisah, bayi laki-laki yang tampan tersebut yang kemudian menurunkan Raja-raja Madura.

Mereka sekeluaraga hidup tenteram dan sejahtera. Sandang maupun pangan tercukupi. Tidak kurang suatu apa pun.

“Dulu sebelum aku beristri, lumbung padi kadang kosong, menjadi penuh lagi setelah jika musim panen tiba,” pikir Aryo Menak pada suatu hari. “Namun setelah aku beristri, lumbung padi tak pernah kosong. Selalu penuh. Sungguh mengherankan. Lebih aneh lagi aku

(15)

tidak pernah melihat istriku menumbuk padi. Sedangkan setiap hari istriku menanak nasi.

Kapan ia menumbuk padi ? jika tidak menumbuk padi, dari mana ia mendapat beras?”

Pertanyaan-pertanyaan tersebut mengganggu pikirannya. Lama-kelamaan rasa ingin tahunya semakin menjadi-jadi.

“Rahasia ini harus kubongkar. Masa dengan suami sendiri main rahasia,” kata Aryo Menak.

Suatu hari Tunjung Wulan menanak nasi, karena ia ada keperluan, ia lalu menemui suaminya dan berpesan,”Aku akan ke kebun sebentar. Aku sedang menanak masi. Tolong jangan sekali-kali dibuka tutupnya ya.”

“Baiklah,” jawab Aryo Menak.

Setelah pamit, Tunjung Wulan pergi.

Aryo Menak tidak memenuhi janjinya. Ia masuk ke dapur. Ingin rasanya segera mengetahui rahasia yang selama ini mengganggu pikirannya.

“Mengapa aku tidak boleh membuka tutup dandang untuk menanak nasi? Rahasia apa di balik ini semua? “ batinnya. “Mumpung istriku tidak ada. Aku akan membukanya. Tidak mungkin ia mengetahuinya.”

Pelan-pelan dan hati-hati tutup dandang dibuka. Begitu melihat isi dandang Aryo Menak terkejut, karena didalam dandang hanya ada satu butir beras.

“Oh, jadi istriku hanya membutuhkan sebutir beras untuk menghasilkan sebakul nasi.

Makanya istriku tidak pernah menumbuk padi dan padi di lumbung tidak pernah berkurang.”

Dandang yang berisi sebutir beras ditutup kembali, lalu ia meninggalkan tempat itu.

Beberapa waktu kemudian, Tunjung Wulan datang. Langsung menuju dapur dan membuka dandang yang dipakainya menanak nasi. Ia ingin tahu apakah nasi telah matang atau belum, tetapi apa yang terjadi? Biasanya sebutir padi jika telah matang akan menjadi nasi sebakul, tetapi kali ini tidak. Sebutir padi tetap sebutir padi.

“Suamiku telah melanggar pesanku,” batin Tunjung Wulan. “Ia telah membuka tutup dandang ini.”

(16)

Sejak peristiwa itu, Tunjung Wulan tidak bisa menanak nasi hanya dengan sebutir beras. Ia harus menanak nasi seperti halnya orang biasa menanak nasi. Memerlukan seliter atu dua liter beras, karena itu butuh persediaan beras yang banyak. Setiap hari harus mengambil padi dari lumbung dan harus menumbuknya.

Lama-kelamaan persediaan padi berkurang. Isi lumbung semakin menipis dan ternyata dibawah tumpukn padi paling bawah terlihat sesuatu yang gemerlapan.

“Apa ini?” tanya Tunjung Wulan kepada dirinya sendiri.

Setelah diperhatikan, ternyata pakaian yang selama ini disembunyikan Aryo Menak berada dibawah butir-butir padi.

“Ini adalah pakaianku yang selama ini telah hilang. Ternyata dicuri oleh Aryo Menak,” batinnya, seraya mengambil semua pakaian yang ditemukan di lumbung. Pakaian itu segera ia kenakan.

Dengan mengenakan pakaian bidadari, maka terlihat kecantikkannya yang tiada tara.

Tunjung Wulan segera menemui Aryo Mneak dan berkata, “Pakaianku yang hilang telah kutemukan. Maafkan, aku harus segera pergi, pulang ketempat asalku.”

Aryo Menak sangat kaget mengetahui hal ini, dengan berltutut memohon kepada Tunjung Wulan, ia berkata, “Dinda, jangan kau tinggalkan aku dan putramu. Maafkan, aku telah mengabaikan pesanmu.”

“Maafkan Kanda , aku tidak bisa meluluskan permintaanmu. Aku harus pulang.

Tolong asuhlah anak kita dengan baik,” sahut Tunjung Wulan sambil melambaikan tangan, kemudian terbang menuju kahyangan.

Aryo Menak tak bisa berbuat apa-apa. Hanya bisa menyesal dan menangis sedih. Jika bisa menahan diri untuk melanggar pesan istrinya, tidak membuka tutup dandang, mungkin peristiwa ini tidak terjadi. Tunjung Wulan tidak akan meninggalkan dirinya secepat ini.

Tiba-tiba terdengar anaknya menangis. Segera ia berlari mendapatkannya. Lalu digendong dan dininabobokan, namun tetap terus menangis. Kemudian dibawa ke luar rumah. Diajaknya melihat ke atas melihat langit biru. Anehny,a begitu melihat langit, si anak berhenti menangis. Malah tersenyum sambil melambai-lambaikan tangannya. Mungkinkah si anak melihat ibunya di langit sana, tersenyum sambil melambaikan tangannya juga ?.

(17)

BATU MENANGIS

Alkisah, di sebuah desa terpencil di daerah Kalimantan Barat, Indonesia, hiduplah seorang janda tua dengan seorang putrinya yang cantik jelita bernama Darmi. Mereka tinggal di sebuah gubuk yang terletak di ujung desa. Sejak ayah Darmi meninggal, kehidupan mereka menjadi susah. Ayah Darmi tidak meninggalkan harta warisan sedikitpun. Untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka, ibu Darmi bekerja di sawah atau ladang orang lain sebagai buruh upahan.

Sementara putrinya, Darmi, seorang gadis yang manja. Apapun yang dimintanya harus dikabulkan. Selain manja, ia juga seorang gadis yang malas. Kerjanya hsnys bersolek dan mengagumi kecantikannya di depan cermin. Setiap sore ia selalu hilir mudik di kampungnya tanpa tujuan yang jelas, kecuali hanya untuk mempertontonkan kecantikannya.

Ia sama sekali tidak mau membantu ibunya mencari nafkah. Setiap kali ibuya mengajaknya pergi ke sawah, ia selalu menolak.

“Nak! Ayo bantu Ibu bekerja di sawah,” ajak sang ibu.

“Tidak, Bu! Aku tidak mau pergi ke sawah. Nanti kuku dan kulitku kotor terkena lumpur,” jawab Darmi menolak.

“Apakah kamu tidak kasihan melihat ibu, Nak?” tanya sang Ibu mengiba.

“Tidak! Ibu saja yang sudah tua bekerja di sawah, karena tidak mungkin lagi ada laki- laki yang tertarik pada wajah Ibu yang sudah keriput itu,” jawab Darmi dengan ketus.

Mendengar jawaban anaknya itu, sang Ibu tidak dapat berkata-kata lagi dengan perasaan sedih, ia pun berangkat ke sawah untuk bekerja. Sementara si Darmi tetap saja tinggal di gubuk, terus bersolek untuk mempercantik dirinya. Setelah Ibunya pulang dari sawah, Darmi meminta uang upah yang diperoleh Ibunya untuk dibelikan alat-alat kecantikan.

“Bu! Mana uang upahnya itu!” seru Darmi kepada Ibunya.

“Jangan, Nak! Uang ini untuk membeli kebutuhan hidup kita hari ini,” ujar sang Ibu.

“Tapi, Bu! Bedakku sudah habis. Saya harus beli yang baru,” kata Darmi.

(18)

“Kamu memang anak tidak tahu diri! Tahunya menghabiskan uang saja, tapi tidak mau bekerja,” kata sang Ibu kesal.

Meskipun marah, sang Ibu tetap memberikan uang itu kepada Darmi. Keesokan harinya, ketika ibunya pulang dari bekerja, si Darmi meminta lagi uang upah yang diperoleh Ibunya untuk membeli alat kecantikannya yang lain. Keadaan demikian terjadi hampir setiap hari.

Pada suatu hari ketika Ibunya hendak ke pasar, Darmi berpesan agar dibelikan sebuah alat kecantikan. Tapi, Ibunya tidak tahu alat kecantikan yang dia maksud. Kemudian Ibunya mengajaknya ikut ke pasar.

“Kalau begitu, ayo temani Ibu ke pasar!” ajak Ibunya.

“Aku tidak mau pergi ke pasar bersama Ibu!” jawab Darmi menolak ajakan Ibunya.

Namun setelah didesak, Darmi pun bersedia menemani Ibunya ke Pasar.

“Aku mau ikut Ibu ke pasar, tapi dengan syarat Ibu harus berjalan di belakangku,”

kata Darmi kepada Ibunya.

“Memang kenapa, Nak!” tanya Ibu penasaran.

“Aku malu kepada orang-orang kampung jika berjalan berdampingan dengan Ibu,”

jawab Darmi.

“Kenapa harus malu, Nak? Bukankah aku ini Ibu kandungmu?” tanya sang Ibu.

“Ibu seharusnya berkaca. Lihat wajah Ibu yang sudah keriput dan pakaian ibu sangat kotor itu! Aku malu punya Ibu berantakan seperti itu!” seru Darmi dengan nada merendahkan Ibunya.

Walaupun sedih, sang Ibu pun menuruti permintaan putrinya. Setelah itu, berangkatlah mereka ke pasar secara beriringan. Si Darmi berjalan di depan, sedangkan Ibunya mengikuti dari belakang dengan membawa keranjang. Meskipun keduanya ibu dan anak, penampilan mereka kelihatan sangat berbeda. Seolah-olah mereka bukan keluarga yang sama. Sang anak terlihat cantik dengan pakaian yang bagus, sedangkan sang ibu kelihatan sangat tua dengan pakaian yang sangat kotor dan penuh tambalan.

Di tengah perjalanan, Darmi bertemu dengan temannya yang tinggal di kampung lain.

(19)

“Hei, Darmi! Hendak ke mana kamu ?” tanya temannya itu.

“ke pasar!” jawab Darmi dengan pelan.

“Lalu siapa orang di belakangmu itu ? apakah dia ibumu ?” tanya lagi sambil menunjuk orang tua yang membawa keranjang.

“tentu saja bukan ibuku! Dia adalah pembantuku,” jawab Darmi dengan nada sinis.

Laksana disambar petir orang tua itu mendengar ucapan putrinya. Tapi dia hanya terdiam sambil menahan rasa sedih. Setelah itu, keduanya pun melanjutkan perjalananmenuju ke pasar. Tidak berapa lama berjalan, mereka bertemu lagi dengan seseorang.

“Hei Darmi! Hendak ke mana kamu?” tanya orang itu.

“Hendak ke pasar,” jawab Darmi singkat.

“Siapa yang di belakangmu itu?” tanya lagi orang itu.

“Dia pembantuku,” jawab Darmi mulai kesal dengan pertanyaan-pertanyaan itu.

Jawaban yang dilontarka Darmi itu membuat hati ibunya semakin sedih. Tapi, sang ibu masih kuat menahan rasa sedihnya. Begitulah yang terjadi terus-menerus selama dalam perjalanan menuju ke pasar. Akhirnya sang ibu berhenti, lalu duduk di pinggir jalan.

“Bu! kenapa berhenti ?” tanya Darmi heran.

Beberapa kali Darmi bertanya, namun sang ibu tetap saja tidak menjawab pertanyaannya. Sesaat kemudian, darmi melihat mulut ibunya komat-kamit sambil menengadahkan kedua tangannya ke atas.

“Hei, ibu sedang apa?” tanya Darmi dengan nada membentak.

Sang ibu tetap saja tidak menjawab pertanyaan anaknya. Ia tetap berdoa kepada Tuhan agar menghukum anaknya yang durhaka itu.

“Ya Tuhan! ampunilah hambamu yang lemah ini, hamba sudah tidak sanggup lagi menghadapi sikap anak hamba yang durhaka ini. Berikanlah hukuman yang setimpal kepadanya!” doa sang ibu.

(20)

Beberapa saat kemudian, tiba-tiba langit menjadi mendung. Petir menyambar- nyambar dan suara guntur bergemuruh memekakkan telinga. Hujan deras pun turun. Pelan- pelan kaki Darmi berubah menjadi batu. Darmi pun mulai panik.

“Ibu...! Ibu... ! apa yang terjadi dengan kakiku, Bu?” tanya Darmi sambil berteriak.

“Maafkan Darmi! Maafkan Darmi, Bu! Darmi tidak akan mengulanginya lagi, Bu!”

seru Darmi semakin panik.

Namun apa hendak dibuat, nasi sudah menjadi bubur. Hukuman itu tidak dapat lagi dihindari. Perlahan-lahan, seluruh tubuh Darmi berubah menjadi batu. Gadis durhaka itu hanya bisa menangis dan menangis menyesali perbuatannya. Sebelum kepala anaknya berubah menjadi batu, sang ibu masih melihat air menetes dari kedua mata anaknya. Semua orang yang lewat ditempat itu juga ikut menyaksikan peristiwa itu. Tidak berapa lama, cuaca pun kembali terang seperti sedia kala seluruh tubub Darmi telah menjadi batu. Batu itu kemudian mereka letakkan dipinggir jalan bersandar ke tebing. Oleh masyarakat setempat, batu itu mereka beri nama Batu menangis.

Referensi

Dokumen terkait

Penyusunan Rencana Kerja (Renja) Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Luwu Timur Tahun Anggaran 2021 erat kaitannya dengan dokumen – dokumen lain yang

Oleh karena itu, HMPS Tadris Matematika IAIN Jember bermaksud mengadakan Olimpiade Matematika Tingkat SD/MI Sederajat se-Karisidenan Besuki, Lumajang dan SMA/MA/SMK

4 (a) 1 Inference : The brightness of the bulb depend on the speed of blade rotation// The brightness of the bulb depend on the speed of magnet (b) 1 Hypothesis : If the

Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya yang telah.. memberikan kesempatan belajar dan mencari pengalaman

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: 1) Bentuk interaksi siswa suku Jawa dan Bali di SMA Negeri 1 Sukamaju Kecamatan Sukamaju Kabupaten Luwu Utara. 2)

Penyerbukan yang terjadi jika serbuk sari yang jatuh di kepala putik yang berasal dari tumbuhan lain yang berbeda, tetapi masih dalam satu jenis

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan evaluasi dan masukan bagi perusahaan e-commerce khususnya Lazada untuk mengetahui pengaruh dari kualitas

Produk usaha TehMu belum banyak dikenal dan baru akan dikembangkan maka perlu strategi branding dan packaging yang tepat sehingga menarik konsumen karena branding pada sebuah