• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. cagar budaya perlu mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah untuk menjaga

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. cagar budaya perlu mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah untuk menjaga"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Peninggalan cagar budaya memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama dan kebudayaan. Oleh karena itu peninggalan cagar budaya perlu mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah untuk menjaga kelestariannya. Pemerintah melalui proses pelestarian dan perlidungan cagar budaya tersebut diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya adalah upaya terpadu untuk melindungi, mengembangkan, dan memanfaatkan cagar budaya melalui kebijakan pengaturan perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat.

Jawa Timur merupakan provinsi di ujung timur pulau Jawa dengan 38 kota/kabupaten yang memiliki berbagai peninggalan purbakala dari zaman prasejarah, Hindu-Budha, Islam dan kolonial. Kegiatan inventarisasi yang dilakukan oleh Balai Perlindungan Cagar Budaya (BPCB) Jawa Timur yang mana memiliki kewenangan dalam menyelenggarakan perlindungan cagar budaya, sejak tahun 1988 diperoleh data tinggalan purbakala sebanyak 11.155 cagar budaya yang terdiri dari benda bergerak, koleksi museum, bangunan, struktur, situs dan kawasan di wilayah Jawa Timur.

Terdapat puluhan situs di kawasan Trowulan yang luasnya hampir 100 Km2, yang berupa sisa-sisa bangunan, arca, gerabah, dan makam peninggalan Kerajaan Majapahit. Berbagai artefak dari zaman Majapahit disimpan di Pusat Informasi

(2)

Majapahit (PIM), yang biasa dikenal dengan Museum Trowulan. (Kusumajaya, 2000) Museum Trowulan menyimpan banyak koleksi temuan arkeologi dari seluruh Jawa Timur, dari era Raja Erlangga, era Kediri hingga era Singhasari dan Majapahit. Banyak peneliti percaya bahwa Trowulan adalah ibu kota Majapahit yang terdaftar dalam kakawin Nagarakretagama oleh Prapanca dan beberapa sumber lainnya. (Munandar, 2008)

Kawasan Trowulan sebagai ibukota Majapahit terdapat situs-situs peninggalan yang hingga saat ini dapat dijumpai, seperti Candi Tikus, Candi Brahu, Candi Kedaton, Candi Menak Jingga, Gapura Bajang Ratu, Gapura Wringin Lawang, Makam Putri Cempa, Kolam Segaran, Situs Watu Umpak, Makam Troloyo, Candi Jedong, dan Situs Sentonorejo.(Sani, 2017)

Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 260/M/2013 tentang Penetapan Satuan Ruang Geografis Trowulan sebagai Kawasan Cagar Budaya Peringkat Nasional tertanggal 30 Desember 2013, Benda- benda cagar budaya nasional ditetapkan dengan SK Menteri ada 9 objek, 44 objek diputuskan oleh SK. Menteri, 182 benda ditetapkan oleh SK. Walikota, dan 5 objek ditetapkan dengan SK. Gubernur. (Direktorat Jenderal Kebudayaan Republik Indonesia) SK ini menyebutkan segala bentuk perizinan usaha dan industri di kawasan terkait cagar budaya Trowulan harus melalui Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.

Pemerintah melakukan berbagai macam upaya untuk mempertahankan kelestarian cagar budaya akan tetapi pelestarian cagar budaya, namun saat ini belum membuahkan hasil yang maksimal. Cagar budaya saat ini banyak yang

(3)

belum terjaga, sebagai contoh, di Mojokerto khususnya di daerah Trowulan juga terdapat permasalahan dalam pelestarian cagar budaya seperti, daerah cagar budaya yang saat ini sedang dibangga-banggakan tengah mengalami penyalahgunaan daerah yang merupakan daerah yang dilindungi atau tidak diperbolehkan untuk diadakannya perindustrian, yang ternyata semakin tahun semakin marak bermunculan perkembangan perindustrian.

Perkembangan perindustrian di Mojokerto saat ini mulai berkembang di setiap daerah, khususnya di Kecamatan Trowulan Kabupaten Mojokerto memiliki peran yang sangat penting dalam penyerapan tenaga kerja dan perputaran ekonomi masyarakat Kecamatan Trowulan. Salah satunya adalah industri bata merah, industri batu bata merah ini sendiri merupakan salah satu mata pencaharian masyarakat daerah Kecamatan Trowulan selain menjadi petani atau buruh tani, yang mana di Kecamatan Trowulan sendiri sebagian besar wilayahnya adalah lahan pertanian atau sawah irigasi.

Industri bata merah merupakan penggerak ekonomi pedesaan, dimana sektor ini memainkan peran terbesar dalam menarik tenaga kerja dan mengurangi jumlah pengangguran di Kecamatan Trowulan. Industri bata merah di Kecamatan Trowulan tersebar di area persawahan, ladang atau pekarangan (kebun). Dalam industri bata merah, bahan baku yang diperoleh secara langsung tanpa membeli, akan dilakukan pada lahan persawahan atau lahan kering yang digunakan sebagai lokasi industri batu bata merah tersebut.

(4)

Table 1.1 Data Unit Kerja dan Tenaga Kerja Berdasarkan Jenis Industri di Kecamatan Trowulan

Sumber :BPS Kecamatan Trowulan Dalam Angka 2016

Industri batu bata dapat didirikan di kawasan cagar budaya Majapahit karena industri batu bata selalu dianggap sebagai industri yang dilakukan oleh masyarakat Trowulan sejak dulu (dari generasi ke generasi). Karena tidak ada pajak dan retribusi atas kegiatan industri ini, masyarakat yang memproduksi batu bata hanya diwajibkan membayar kepada kepala desa setempat seribu rupiah (Rp 1000,-) per seratus (100) batu bata. Uang tersebut dimasukkan ke kas desa dan digunakan untuk kebutuhan dan kegiatan desa setempat. Dengan demikian, maka Pemerintah Kabupaten Mojokerto sama sekali tidak memiliki sektor penghasilan yang diperoleh dari adanya industri rumahan tersebut. (Pradana, 2014) Karena masih dianggap industri rumahan yang dilakukan masyarakat Trowulan secara turun- temurun sehingga industri batu bata tersebut tidak berada di dalam naungan dinas perindustrian dan perizinan.

Jenis Industri Unit Usaha Tenaga Kerja

Batu Bata 302 410

Seni Ukir Batu 15 80

Makanan dan Minuman 12 41

Cor Logam 9 31

Industri Sepatu/Sandal 6 15

Las 4 13

Ukir Kayu 2 6

Industri Paving/Batako 2 6

Pengerajin Rotan 1 12

Pande Besi 1 2

Pengerajin Bambu 1 4

Konveksi 1 3

Kerajinan Bordir 1 2

Percetakan 1 2

(5)

Industri batu bata yang tersebar di Trowulan ini seolah menjadi momok bagi peninggalan cagar budaya yang diduga masih belum ditemukan atau terpendam.

Tidak semua pekerja industri batu bata mengerti bahwa dikawasan yang sedang mereka gali untuk mencari bahan-bahan pembuatan batu bara didalamnya terdapat benda cagar budaya. Sehingga hal tersebut dapat mengkhawatirkan keberadaan benda cagar budaya.

Tabel 1.2

Jumlah Industri Batu Bata Merah di Kecamatan Trowulan

Sumber : BPS Kecamatan Trowulan Dalam Angka 2016

Pada 16 desa yang terdapat di Kecamatan Trowulan, ada 5 desa yang memiliki tingkat kerawanan terhadap kelestarian kawasan cagar budaya, hal tersebut dikarenakan desa tersebut terdapat indusri batu bata merah dengan jarak antara industri batu bata dan kawasan persebaran situs cagar budaya sekitar 175–350

No. Desa Jumlah Industri %

1. Pakis - 0

2. Sentonorejo - 0

3. Temon 80 16,40

4. Beloh 28 5,74

5. Domas 41 8,40

6. Jambuwok - 0

7. Watesumpak 33 6,76

8. Jatipasar 43 8,81

9. Trowulan 31 6,35

10. Bejijong 34 6,97

11. Kejagan 54 11,10

12. Wonorejo 66 13,53

13. Panggih 36 7,38

14. Tawangsari 36 7,38

15. Balongwono 42 8,61

16. Bicak - 0

Jumlah 488 100

(6)

meter. Desa tersebut antara lain Desa Bejijong, Desa Watesumpak, Desa Trowulan., Desa Jatipasar, dan Desa Temon. Candi Tikus, Situs Watesumpak dan Candi Brahu merupakan cagar budaya yang memiliki jarak paling dekat dengan industri batu bata merah.

Hal ini sangat berpengaruh dalam pelestarian cagar budaya karena keberadaan industri batu bata terkait penggalian bahan baku dan tempat pendistribusiannya dikhawatirkan akan menyebabkan kerusakan lahan dan mengancam perlindungan kawasan cagar budaya yang belum ditemukan yang masih tersimpan dalam lapisan tanah. Fakta di lapangan juga menunjukkan bahwa perusakan Cagar Budaya Trowulan terus terjadi, dan Lembaga pemerhatii dan peduli budaya dunia, World Monument Fund (WMF) melakukan pemilihan dari 248 nominasi situs purbakala

lebih dari 130 negara. Pada tanggal 8 Oktober 2013, situs Majapahit di Trowulan dinyatakan sebagai situs terancam punah dunia atau situs yang terancam kehancuran atau World Endangered Site. (Sejati, 2017)

Hal tersebut terjadi karena menurunnya kualitas dan fungsi cagar budaya, karena meningkatnya pengunjung yang datang tidak mampu diimbangi dengan pemeliharaan dan pengawasan yang optimal oleh pemerintah. Keterbatasan pengetahuan tentang cagar budaya sekaligus cara melestarikannya menjadi sebab terjadinya hal ini. Selain itu pendanaan yang terbatas dikarenakan minimnya pemasukan juga mengakibatkan peran masyarakat dalam melestarikan warisan cagar budaya ini kurang maksimal. Dengan melihat pentingnya suatu cagar budaya untuk generasi yang akan mendatang, maka sudah menjadi salah satu

(7)

urusan wajib diperhatikan oleh pemerintah setempat dalam pelestarian cagar budaya. (Abdillah, 2020)

Pemerintah melalui Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB), Dan Dinas Kebudayaan Pemuda Olahraga dan Pariwisata (Disbudporapar) Sangat berperan dalam mengelola cagar budaya yang ada di Kab. Mojokerto. Upaya yang dilakukan dalam pelestarian cagar budaya telah diatur dalam Peraturan Daerah Kabupaten Mojokerto Nomor 11 Tahun 2015 tentang Cagar Budaya. Dalam hal ini yang paling berwenang selain BPCB adalah Disbudporapar karena kawasan cagar budaya berada di wilayah Kabupaten Mojokerto dan sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya di bidang kebudayaan, maka BPCB mengundang Disbudporapar, Disperindag dan Dinas perizinan untuk melakukan sosialisasi kepada masyarakat Trowulan terkait batasan-batasan yang harus di ketahui dalam penggalian tanah sebagai bahan baku pembuatan batu bata, dan juga menetapkan zona-zona batasan yang tidak boleh digali karena berada dalam area cagar budaya.

Apabila lahan yang di gali oleh pihak industri batu bata di dalamnya ada potensi keberadaan cagar budaya maka akan di berhentikan kegiatan industri batu bata tersebut oleh BPCB.

Pelestarian merupakan kegiatan yang meliputi proses penyelamatan, pengamanan, zonasi, pemugaran serta pemeliharaan. Penyelamatan dilakukan pada semua yang ditemui di kawasan cagar budaya, termasuk situs yang mulai mengalami penurunan kualitasnya dan berpotensi mengalami kerusakan.

Kemudian dilakukan pengamanan guna melindungi situs dari ancaman dari luar yang mukin akan menurunkan fungsinya.

(8)

Setelah proses tersebut, dilakukan zonasi guna membatasi area kawasan cagar budaya, sehingga pelestarian yang menjadi titik penting dalam perkembangan adalah pemugaran. Pemugaran merupakan upaya untuk dilakukan dengan tujuan untuk mengembalikan kondisi fisik dan memperpanjang usia benda cagar budaya, bangunan cagar budaya, bangunan cagar budaya dan struktur cagar budaya yang rusak sesuai dengan keaslian bahan, bentuk, tata letak dengan teknik pengerjaan.

Setelah dilakukan pemugaran untuk menjaga kondisi situs, upaya yang dilakukan selanjutnya ialah pemeliharaan dengan cara menunjuk beberapa masyarakat lokal sebagai juru pelihara situs. (Izzah, 2020) Pemerintah yang berperan aktif adalah Pemerintah Kabupaten Mojokerto, Pemerintah Provinsi Jawa Timur, Kementerian Pariwisata, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dan pihak lain yang bekerja sama untuk membangun Trowulan. Pemerintah Kabupaten Mojokerto yang menjadi tuan rumah berhak dalam mengembangkan Trowulan.

Disbudporapar Kabupaten Mojokerto juga merupakan salah satu pihak di wilayah Trowulan yang berperan baik dalam pengembangan produk, event sourcing, promosi, pengembangan fasilitas pariwisata, dan lain-lain. Selain itu,

Disbudporapar Kabupaten Mojokerto juga bertanggung jawab untuk memberikan pendapat atau gagasan terhadap perkembangan pariwisata di daerahnya, kemudian bekerjasama dengan, Dinas Pekerjaan Umum dan Cipta Karya, Dinas Perhubungan, Dinas Perindustrian dan Perdagangan Bina Marga, dan pihak lain untuk melakukan kegiatannya.

(9)

Selain Disbudporapar Kabupaten Mojokerto, ada unsur pemerintah pusat lainnya yang terlibat aktif dalam dalam pengembangan Trowulan sebagai Kawasan Cagar Budaya Tingkat Nasional yaitu Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Timur (BPCB) Jawa Timur, di bawah Direktorat Pendidikan dan Kebudayaan. Peran utama BPCB Jawa Timur adalah untuk lebih fokus pada pelestarian cagar budaya. Di antara pemerintah daerah dan pusat, pihak yang paling berwenang adalah Disbudporapar Kabupaten Mojokerto dan BPCB Jawa Timur. Keduanya bekerja sama untuk mengembangkan kawasan situs Trowulan, terbukti dengan adanya MoU (Memorandum of Understanding) antara kedua pihak, dengan demikian sangat diperlukan kerjasama tata kelola pemerintahan yang baik dalam upaya pelestarian cagar budaya.

Berbagai pemangku kepentingan terlibat dalam pengelolaan dan perlindungan cagar budaya Trowulan yang telah diuraikan. Dalam kegiatan pengelolaan dan perlindungan cagar budaya terdapat stakeholder yang terlibat.

Pertama, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Mojokerto, berperan secara tidak langsung dalam pengelolaan dan perlindungan situs Majapahit Trowulan. Bappeda adalah perencana usulan pengelolaan dan konservasi yang diusulkan oleh Disbudporapar. Namun, Bappeda tidak memiliki peran dalam regulasi dan pengambilan keputusan.

Kedua, Sebagai urusan kebudayaan yang menjadi urusan wajib pemerintahan daerah ditangani oleh Disbudporapar. Secara umum, Disbudporapar dalam tugas pengelolaan dan pelestarian adalah melakukan pembenahan sarana

(10)

dan prasarana, promosi situs-situs, dan pemanfaatan yang dilakukan secara tidak langsung pada fisik bangunan cagar budaya.

Ketiga yaitu, BPCB Mojokerto merupakan pelaksana teknis (UPT) dibawah naungan pemerintah pusat di lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, yang bertanggung jawab atas perlindungan, pengembangan dan pemanfaatan cagar budaya. Oleh sebab itu perlu adanya kerjasama antara BPCB dengan Dispobudpar untuk melakukan pelestarian cagar budaya untuk tetap menjaga kelestarian benda-benda cagar budaya sebagai warisan budaya Majapahit.

(Rosyadi, 2014)

1.2 Rumusan Masalah

Dari pemaparan latar belakang diatas, maka rumusan masalah yang menjadi fokus penelitian ini adalah :

1.2.1 Bagaimana kerjasama tata kelola pemerintahan (Network Governance) pada Cagar Budaya Trowulan sebagai upaya pelestarian peninggalan Kerajaan Majapahit?

1.2.2 Apakah permasalahan yang dihadapi oleh pemerintah dalam kerjasama tata kelola pemerintahan (Network Governance) pada Cagar Budaya Trowulan sebagai upaya pelestarian peninggalan Kerajaan Majapahit?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah tersebut di atas, maka tujuan dari penelitian ini yaitu:

(11)

1.3.1 Untuk mengetahui kerjasama tata kelola pemerintahan (Network Governance) pada Cagar Budaya Trowulan sebagai upaya pelestarian

peninggalan Kerajaan Majapahit.

1.3.2 Untuk mengetahui permasalahan dalam kerjasama tata kelola pemerintahan (Network Governance) pada Cagar Budaya Trowulan sebagai upaya pelestarian peninggalan Kerajaan Majapahit.

1.4 Manfaat Penelitian

Adapun hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik bersifat teoritis, praktis maupun akademis seperti yang tercantum di bawah ini, yaitu:

1.4.1 Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini secara teoritis diharapkan dapat berkontribusi dalam mengembangkan ilmu pengetahuan Kerjasama Tata Kelola Network Governance, Kebijakan Publik, Tata Kelola SDM. Adapun secara khusus

yaitu kontribusi bagi pengembangan ilmu pemerintahan tentang bagaimana hasil Kerjasama Dinas Kebudayaan Pemuda Olahraga dan Pariwisata (Disbudporapar) dengan Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) dalam pelestarian cagar budaya di Trowulan, untuk melindungi dan mempertahankan keberadaan Kawasan Cagar Budaya Situs Majapahit.

Sesuai dengan fokus permasalahan dalam penelitian ini, maka kajian ini juga bermanfaat untuk mengembangkan teori tentang kerjasama tata kelola pemerintahan (network governance) dalam pelestarian cagar budaya.

(12)

1.4.2 Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini secara praktis diharapkan dapat digunakan sebagai sumbangsih pemikiran dan referensi bagi Pemerintah Kabupaten Mojokerto, stakeholder, maupun masyarakat dalam pelestarian Kawasan Cagar Budaya Situs Majapahit di Trowulan yang dilakukan oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya untuk melindungi dan mempertahankan keberadaan Kawasan Cagar Budaya Situs Majapahit di Trowulan.

1.5 Definisi Konseptual

1.5.1 Network Governance

Network Governance adalah sebuah metode yang sering dikaitkan

dengan konsep pemerintahan (govenance) yang melibatkan beberapa aktor atau stakeholder dalam sebuah kerjasama untuk mencapai tujuan bersama.

Situasi ini menciptakan hubungan atau interaksi baru antara pemerintah dengan aktor lain di luar pemerintah untuk bertukar sumber daya manusia dan membantu dalam memecahkan masalah publik. (Hans-Klijn dalam Laia Martinez, 2011) sehingga muncul gagasan baru untuk Kolaborasi dan jaringan sebagai alat untuk mencapai tujuan mengatur dan mengelolaan tata kelola pemerintah.

Network governance diterapkan seiring dengan meningkatnya

kesadaran untuk melibakan pihak-pihak selain pemerintah, yaitu pihak swasta, lembaga non-pemerintah (non governmen orgnization), akademisi, dan lembaga internasional dalam upaya pelaksanaan beragam fungsi dari

(13)

pemerintahan. Piere dalam Sjamsuddin mencatat bahwa nework adalah literatur pemerintahan, dan dilanjutkan oleh Rhodes, menandai perubahan makna pemerintahan, yang mengacu pada proses regulasi baru atau mengatur kondisi yang berubah di masyarakat. (Sjamsuddin., 2006)

Pengertian dari network governance dijelaskan oleh Rhode sebagai pengelolaan diri yang sifatnya proaktif dan flaksibel dengan tujuan untuk mendapatkan reputasi, saling ketergantungan yang menguntungkan, timbal balik, dan tingkat kepercayaan tinggi dari para stakeholder (Abdullah, 2017). Menurut Rhodes, terdapat 4 indikator dalam network organization, terdiri dari pertama, interaksi berkesinambungan yang bersifat berkelanjutan atau terus menerus antara pihak terkait. Kedua, pedoman interaksiyang didasarkan dari faktor kepecayaan dan aturan yang berlaku dan ditaati oleh para pihak. Ketiga, kewenangan aktor sesuai dengan kesepakatan pembagian wewenang para aktor. Keempat, keterlibatan para actor meliputi actor dari pihak pemerintahan, swasta maupun masyarakat (Subhan, 2016).

Network governance merupakan sebuah metode pemerintah yang

pelaksanaannya memiliki tiga krakteristik khusus, yaitu didasarkan pada aspek kepercayaan, mengedepankan aspek kerjasama, dan memiliki input yang beragam. Dalam metode ini, pemerintah mendapatkan keuntungan karena adanya peningkatan keterlibatan dari beragam stakeholder, sedangkan disisi lain, para stakeholder tersebut juga memeperoleh manfaat karena adanya otoritas atau wewenang yang diberikan dalam pelaksanaan

(14)

fungsi pemerintahan sesuai dengan negosiasi yang disepakati antara stakeholder dengan pemerintahan.

1.5.2 Pelestarian Cagar Budaya

Pelestarian adalah segala upaya untuk memperpanjang umur benda cagar budaya, situs atau kawasan cagar budaya melalui perlindungan dan pemeliharaan, Untuk melindungi benda cagar budaya, situs dan kawasan dari kerusakan yang disebabkan oleh faktor manusia, alam dan biologis melalui Pengelolaan dan pemanfaatan. Pengelolaan adalah semua upaya terpadu untuk melindungi dan memanfaatkan benda cagar budaya, situs dan kawasan melalui kebijakan perencanaan, konservasi, pemeliharaan, restorasi, penggunaan dan pengaturan pengendalian. (Astiana, 2019)

Menurut Undang-undang No.11 tahun 2010 tentang cagar budaya;

Pasal 1 yang menyatakan “Cagar Budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya di darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan. Bangunan Cagar Budaya adalah susunan binaan yang terbuat dari benda alam atau benda buatan manusia untuk memenuhi kebutuhan ruang berdinding dan atau tidak berdinding, dan beratap.”

(15)

1.6 Kerangka Berfikir Balai Pelestarian

Cagar Budaya (BPCB)

Dinas Pemuda Olahraga Kebudayaan dan Pariwisata

(Disporabudpar) Bidang Kebudayaan

Komunitas Peduli Cagar Budaya

Interaksi Bersinambungan

Pedoman Interaksi

Kewenangan Antar Aktor

Keterlibatan Aktor

1. Inventarisasi pengelolaan cagar budaya 2. Perumusan

Kebijakan 3. Sosialisasi 4. Monitoring

dan Evaluasi

1. Perumusan MOU Antar Lembaga 2. SOP

1. Wewenang (BPCB) : Turun langsung terhadap fisik bangunan cagar budaya

2. Wewenang

DISPORABUDPAR : Tidak turun langsung terhadap fisik bangunan cagar budaya

Melakukan pelaporan pada saat penemuan cagar budaya

Model Tata Kelola Pelesatarian Cagar

Budaya

Pelestarian Cagar Budaya Ya

a

Tidak

1.Terpeliharanya Kawasan Cagar Budaya

2.Meningkatkan Daya Tarik Wisatawan

3.Sarana Edukasi

(16)

Secara garis besar maksud dari kerangka berfikir diatas adalah berawal dari pendekatan network governance yang mengarah pada analisis hubungan dengan bentuk interaksi dalam pertukaran dan hubungan arus sumberdaya antar aktor untuk terjadinya network governance yang dapat bekerja dengan baik untuk tata kelola jaringan,

pendekatan ini tepat karena sifatnya yang horizontal, serta setara dalam negoisasi regulasi yang mengatur relasi bersama oleh beberapa aktor yang saling berketergantungan satu sama lain dalam mewujudkan tujuan bersama dengan kemampuan untuk self-organizing atau self-governing.

Dalam kerjasama ini terdapat beberapa aktor yang terlibat dalam mendukung keberhasilan dalam pelestarian cagar budaya. Dalam penelitian ini, indikator-indikator yang relevan digunakan sebagai acuan penelitian untuk dianalisis. Pertama, indikator interaksi yang sedang berlangsung, dimana interaksi tersebut berlangsung terus menerus antar aktor. Indikator ini meliputi : Inventarisasi pengelolaan cagar budaya, Sosialisasi kepada masyarakat tentang pentingnya pelestarian cagar budaya, Monitoring kerjasama tata kelola pemerintahan dalam pelastarian cagar budaya.

Kedua, Indikator Pedoman interaksi tata kelola yang harus dipatuhi oleh siapa saja yang terlibat dalam pelestarian cagar budaya Trowulan. Item di dalamnya antara lain : Regulasi yang mengatur tugas dan fungsi masing-masing aktor, SOP pelestarian cagar budaya.

Ketiga, Indikator Kewenangan antar aktor dalam cagar budaya Trowulan sesuai dengan kesepakatan dalam pembagian wewenang yang harus dicapai oleh para aktor, yang mana di dalamnya terdapat wewenang BPCB sebagai pelaksana perlindungan,

(17)

pengembangan, pemanfaatan dan juga memfasilitasi pelestarian cagar budaya, dan BPCB merupakam teknisi dalam kegiatan pelestarian cagar budaya sehingga turun langsung terhadap fisik bangunan cagar budaya. Selain itu, juga terdapat wewenang DISBUDPORAPAR sebagai pelaksana pengelolaan dan pemanfaatan cagar budaya yang dijadikan sebagai salah satu pariwisata unggulan yang ada di Kabupaten Mojokerto.

Keempat, Indikator keterlibatan aktor dalam tata kelola cagar budaya Trowulan yang item di dalamnya yaitu, sebagai aktor dilapangan untuk merawat cagar budaya secara langsung.

Melihat indikator dan itemnya tersebut akan menghasilkan sebuah proses pencapaian dalam pelestarian cagar budaya. Proses pencapaian tersebut menjadi suatu proses yang dapat menghasilkan jawaban “Ya” atau “Tidak”. Apabila “Ya” maka menghasilkan suatu keberhasilan dalam proses pelestarian cagar budaya yaitu dengan terpeliharanya kawasan cagar budaya, meningkatkan daya tarik wisatawan, dan dapat dijadikan sebagai sarana edukasi bagi masyarakat. Apabila “Tidak” maka kerangka berfikir ini akan kembali kepada aktor yang terlibat yaitu BPCB, Disbudporapar dan Paguyuban juru pelihara. Dengan demikian, apabila kerjasama yang dilakukan tidak berjalan, maka perlu adanya pengkajian ulabg dalam pelaksanaan. Sehingga dapat diketahui apakah pelaksanaan tersebut sudah sesuai dengan kententuan yang ada atau tidak

(18)

1.7 Definisi Operasional

1.7.1 Kerjasama Tata Kelola Pemerintahan (Network Governance) Cagar Budaya Trowulan Sebagai Upaya Pelestarian Peninggalan Kerajaan Majapahit:

a. Interaksi berkesinambungan tata kelola cagar budaya Trowulan dalam pelestarian peninggalan kerajaan majapahit.

1. Inventarisasi pengelolaan cagar budaya Trowulan

2. Sosialisasi pelestarian cagar budaya kepada masyarakat sekitar 3. Monitoring kerjasama tata kelola pemerintahan dalam pelestarian

cagar budaya

b. Pedoman interaksi tata kelola yang harus dipatuhi oleh siapa saja aktor yang terlibat dalam kerjasama tata kelola cagar budaya Trowulan dalam pelestarian peninggalan kerajaan Majapahit.

1. Regulasi yang mengatur tugas dan fungsi aktor yang terlibat 2. SOP Pelestarian cagar budaya Trowulan

c. Kewenangan antar aktor dalam cagar budaya Trowulan sesuai dengan kesepakatan pembagian wewenang yang dicapai oleh para aktor.

1. Wewenang Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB): Melaksanakan perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan serta memfasilitasi pelestarian cagar budaya, dan BPCB merupakan teknisi dalam kegiatan pelestarian cagar budaya sehingga langsung turun langsung terhadap fisik bangunan cagar budaya.

(19)

2. Wewenang Dinas Kebudayaan Pemuda Olahraga dan Pariwisata (DISBUDPORAPAR) : Melakukan pengelolaan dan pemanfaatan cagar budaya yang di jadikan sebagai salah satu pariwisata unggulan yang ada di Kabupaten Mojokerto.

d. Keterlibatan Aktor dalam tata kelola cagar budaya Trowulan dalam pelestarian peninggalan kerajaan Majapahit.

1. Melakukan pelaporan terhadap pihak terkait apabila dilapangan terdapat temuan terkait cagar budaya

2. Menjaga dan Merawat cagar budaya yang ada di lapangan

1.7.2 Kendala Kerjasama Tata Kelola Pemerintahan (Network Governance) Cagar Budaya Trowulan Sebagai Upaya Pelestarian Peninggalan Kerajaan Majapahit.

a. Kurangnya ketersediaan anggaran dalam pelestarian cagar budaya b. Kurangnya SDM dalam kegiatan plestarian cagar budaya

1.8 Metode Penelitian 1.8.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif dengan metode deskriptif. Penelitian ini merupakan penelitian yang menggunakan teknik pengumpulan data secara ilmiah guna menjelaskan suatu fenomena yang terjadi, dimana peneliti adalah sebagai instrumen kunci. (Anggito, A.,

& Setiawan, 2018) Menurut Nana Syaodih Sukmadinata, penelitian deskriptif ditunjukan untuk mendeskripsikan dan menggambarkan kejadian-

(20)

kejadian yang ada, baik bersifat alamiah ataupun rekayasa manusia, yang lebih memperhatikan mengenai karakteristik, kualitas, keterkaitan antar kegiatan. (Nana Syaodih Sukmadinata, 2011)

Metode penelitian tidak menggunakan metode statistika atau hitungan, melainkan menggunakan penjelasan secara spesifik dengan tabel, foto, atau catatan dan dokumen yang ditemukan di lapangan. Oleh karena itu, penelitian kualitatif tersebut tidak menggunakan kuesioner atau data selebaran lainnya, namun hanya melakukan wawancara dengan orang yang telah dipilih sebagai responden dengan persyaratan tertentu yang telah ditentukan sebelumnya.

1.8.2 Sumber Data

Sumber data sebagai penunjang penelitian untuk mengetahui bagaimana Kerjasama Tata Kelola Pemerintahan (Network Governance) Cagar Budaya Trowulan Sebagai Upaya Pelestarian Peninggalan Kerajaan Majapahit.

Dalam hal ini, peneliti memerlukan data yang didapatkan dari instansi terkait ataupun dari sumber-sumber sekunder lainnya yang dapat membantu.

Adapun data yang digunakan sebagai sumber data dibagi menjadi 2 macam, (Manzilati, 2017) yakni :

a. Data primer

Data primer merupakan sumber data yang diperoleh peneliti melalui wawancara secara langsung dengan subjek penelitian yang diambil dari beberapa instansi dan pihak-pihak terkait dalam kerjasama tata kelola pemerintahan (Network Governance) Cagar Budaya Trowulan Sebagai

(21)

Upaya Pelestarian Peninggalan Kerajaan Majapahit. Selain melakukan wawancara, peneliti juga melakukan observasi mengenai tema penelitian yang diambil, sehingga diharapkan peneliti dapat mengetahui kondisi yang ada sebagai hasil akhir.

b. Data Sekunder

Data sekunder merupakan data yang diperoleh dalam melalui bentuk data yang sudah dikelola oleh lembaga, instansi, peraturan perundang- undangan, dokumen resmi oleh pemerintahan yang relevan dengan topik yang dibahas. Peneliti juga mendapatkan referensi melalui telusur jurnal- jurnal penelitian terdahulu terkait dengan penelitian yang akan diakukan.

Sebagai contoh yakni jurnal yang membahas tentang pelestarian cagar budaya ataupun jurnal yang membahas tentnag tata kelola pemerintahan secara spesifik.

1.8.3 Subjek Penelitian

Subjek penelitian merupakan salah satu instrumen penulisan ilmiah yang dibutuhkan oleh seorang peneliti untuk dapat memperoleh data. Subjek penelitian seringkali disebut sebagai narasumber atau seorang individu yang dapat memberikan informasi secara faktual. Subjek penelitian adalah orang yang memiliki informasi tentang situasi dan kodisi latar belakang penelitian, karena sebagai subyek yang mampu memberikan informasi. Adapun subjek dalam penelitian ini adalah :

(22)

1. Bapak Kuswanto selaku Kepala Tata Usaha BPCB

2. Ibu Nonuk Kristina, S.S. selaku Ka. Sub Unit Pengamanan Cagar Budaya 3. Ibu Ning Suryati, S.S. selaku Ka. Sub Unit Pemeliharaan dan Pertamanan 4. Bapak Soni Hermawan selaku Staff di Unit Dokumentasi Publikasi 5. Ibu Eni bagian Kegiatan Publikasi Cagar Budaya

6. Bapak Riedy Prastowo, S.TP, M.Si selaku Kasi Kesejarahan dan Kepurbakalaan Disbudporapar

7. Bapak Sopo Nyono selaku Juru Pelihara di Candi Bajangratu 8. Purposive Sampling

1.8.4 Teknik Pengumpulan Data a. Dokumentasi

Dokumentasi merupakan teknik pengumpulan data tertulis, dapat berupa dokumen yang berkaitan dengan observasi secara langsung terhadap arsip-arsip atau dokumen yang memiliki keterkaitan dengan objek penelitian. Untuk mendapatkan arsip atau dokumen yang berkaitan tersebut, peneliti berkunjung ke kantor instansi pemerintah yang memiliki kewenangan. Dokumentasi yang dikumpulkan oleh peneliti dapat berupa risalah rapat, jumlah penyebaran benda dan situs cagar budaya, dan data lain yang terkait.

b. Wawancara

Wawancara dilakukan untuk memudahkan peneliti dalam mendapatkan informasi secara langsung dari responden terkait untuk mendapatkan

(23)

informasi yang kejelasannya terjamin, peneliti juga melakukan face to face interview dengan subjek penelitian. Wawancara yang dilakukan

tidak terikat pada pedoman pertanyaan tertentu, melainkan mengeksplorasi gagasan-gagasan yang muncul selama proses wawancara. Data yang diperoleh sebagai hasil wawancata akan ditulis dan direkam guna memudahkan peneliti untuk dapat mengingat apa saja yang telah didapatkan dari hasil wawancara.

c. Observasi

Obersvasi yang dimaksud dalam penelitian ini ialah metode pengumpulan data yang mana peneliti langsung mendatangi tempat yang akan diamati dan diteliti untuk melihat secara langsung keadaan lapangan dan mengetahui hal-hal yang didapat dari subyek penelitian terkait Kerjasama Tata Kelola Pemerintahan (Network Governance) Cagar Budaya Trowulan Sebagai Upaya Pelestarian Peninggalan Kerajaan Majapahit sebagai data yang kemudian akan dijadikan bahan analisa. Observasi ini dilakukan agar peneliti dapat melihat bagaimana kerjasama pemerintahan, dan pelestarian cagar budaya yang ada di Trowulan Mojokerto.

1.8.5 Lokasi Penelitian

Penelitian ini bertempat di Balai Pelestarian Cagar Buadaya (BPCB) di Jl.

Majapahit No. 141-143, Tegalor, Trowulan, Kec. Trowulan, Mojokerto, Jawa Timur dan Kantor Dinas Pemuda Olah Raga Kebudayaan dan

(24)

Pariwisata (Disbudporapar) terletak di Jl. Jayanegara No.4, Gatul, Banjaragung, Kec. Puri, Mojokerto, Jawa Timur.

1.8.6 Teknik Analisis Data

Teknik analisis data merupakan tahapan pengklasifikasian data yang diperoleh dari proses dokumentasi, wawancara dan observasi. Dalam analisis teknikal, data ini juga dibagi menjadi data yang perlu digunakan dan data yang tidak digunakan. Untuk menganalisis data dalam penelitian ini digunakan tahapan atau proses yang bersamaan, yaitu pengumpulan data, reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. (Miles, M. B., &

Huberman, 2005) a. Pengumpulan Data

Tahap pengumpulan data dalam penelitian ini adalah kegiatan pengumpulan data dengan menggunakan hasil wawancara dan studi pustaka (dokumentasi), yaitu melalui observasi langsung pada pihak Balai Pelestarian Cagar Buadaya (BPCB) dan Dinas Pemuda Olahraga Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudporapar). Setelah memperoleh data dalam penelitian, data tersebut disaring dan diolah, dan data wawancara terhadap responden yang telah dijelaskan diolah secara deskriptif. Dengan menganalisa.

b. Reduksi Data

Tahap reduksi data meliputi kegiatan meringkas, memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, mencari tema dan pola

(25)

yang diperoleh dari tahap pengumpulan data, menajamkan, mengklasifikasikan, membimbing, membuang data yang tidak perlu, merangkum data yang diperoleh menjadi suatu keseluruhan. Ide Hal ini akan memperjelas topik penelitian berupa data terkait kerjasama, MoU, regulasi, tanggung jawab dan kewenangan.

c. Penyajian Data

Dalam penelitian kulitatif ini penyajian data yang dilakukan menggunakan bentuk kutipan maupun olahan data secara singkat, bagan, hubungan antar kategori untuk dijadikan teks naratif. Penyajian data dilakukan untuk menjawab mengenai rumusan masalah tentang Kerjasama Tata Kelola Pemerintahan (Network Governance) Cagar Budaya Trowulan Sebagai Upaya Pelestarian Peninggalan Kerajaan Majapahit.

d. Penarikan Kesimpulan

Penarikan kesimpulan meliputi proses validasi data, diklasifikasikan sebelumnya, dan kemudian penarikan kesimpulan untuk menjawab pertanyaan penelitian yang mengungkapkan fakta dari pernyataan penelitian sebelumnya tentang masalah pelestarian cagar budaya. Dalam penelitian ini, semua data yang diperoleh akan dijabarkan menjadi sebuah karya ilmiah.

Gambar

Table 1.1 Data Unit Kerja dan Tenaga Kerja Berdasarkan Jenis Industri di  Kecamatan Trowulan

Referensi

Dokumen terkait

JENIS DAN TARIF ATAS JENIS PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK YANG BERLAKU PADA KEMENTERIAN NEGARA PEMUDA DAN OLAHRAGA.. JENIS PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SATUAN

Pada tahap ini guru: (1) mengkondisikan siswa agar siap melaksanakan proses pembelajaran, (2) merangsang dan mengajak siswa untuk berpikir memecahkan masalah dengan

Demam tifoid pada anak biasanya memberikan gambaran klinis yang ringan bahkan asimtomatik. Timbulnya gejala klinis biasanya bertahap dengan manifestasi demam

Rancangan layar ini dibuat sebagai layar beranda pada admin dimana di layar ini ada terdapat pilihan menu yang di fasilitasi untuk admin dapat melihat segala

Adapun judul tesis adalah “ Perbedaan Pengaruh Pemberian Infus HES dengan Berat Molekul 40 kD dan 200 kD Terhadap Plasma Prothrombin Time dan Partial Thromboplastin Time : Kajian

Adanya kesenjangan antara peraturan yang berlaku mengenai pendaftaran harta tanah wakaf di Indonesia dengan kenyataan yang terjadi di lapangan, maka penulis

A. Investor wajib memiliki Rekening Efek sebelum bertransaksi Obligasi. Apabila Investor belum memiliki Rekening Efek maka Investor wajib membubuhkan tanda centang

Dalam hal putusnya perkawinan atas perceraian, suami dan isteri tidak leluasa penuh untuk menentukan sendiri syarat-syarat untuk memutuskan hubungan perkawinan tersebut,