• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN A. Perlindungan Hukum Terhadap Fotografi yang Diunggah ke Media Sosial

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN A. Perlindungan Hukum Terhadap Fotografi yang Diunggah ke Media Sosial"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

Banyak platform yang disediakan di dunia maya dengan berbagai tujuan dan fungsi untuk dunia fotografi, yakni editing foto, penyimpanan foto, hingga media untuk mengunggah hasil karya yang diciptakan ke dunia maya salah satunya dengan media sosial.

Media sosial banyak diminati oleh fotografer untuk menggungah hasil karyanya untuk dipublikasikan kepada publik. Sampai kepada saat suatu karya yang diunggah ke media sosial digunakan oleh orang lain tanpa seizin pencipta fotografi tersebut, yang tentu menimbulkan suatu kerugian moral dan apalagi jika digunakan untuk kegiatan komersil. Dimana seharusnya Undang – undang hak cipta dapat melindung kedua hak cipta tersebut, namun karena karya cipta tersebut tidak berbentuk nyata, kepastian perlindungan hukum hasil karya cipta yang diupload kedalam media sosial masih tidak dapat dipastikan menurut Pasal 40 Ayat 3 Undang – Undang Hak Cipta.

BAB III

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Perlindungan Hukum Terhadap Fotografi yang Diunggah ke Media Sosial Tanpa Izin Berdasarkan Undang - Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.

1. Kedudukan Hasil Karya Fotografi Sebagai Objek Hak Cipta yang Dilindungi oleh Undang-Undang Hak Cipta

Menurut hasil penelitian yang diadakan di Direktorat Kekayaan Intelektual, didapat data bahwa ada banyak objek hak cipta yang dilindungi oleh Undang-Undang salah satunya fotografi yang merupakan objek yang dilindungi oleh Undang-Undang Hak Cipta dijelaskan dalam Pasal 40 Ayat 1 huruf “Ciptaan yang dilindungi meliputi Ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra, terdiri atas karya fotografi”. Harus dibedakan bahwa Undang-Undang Hak Cipta memberikan perlindungan dalam

(2)

fotografi tidak hanya kepada hasil karya fotografi, tapi juga kepada objek manusia yang difoto oleh fotografer atau disebut potret. Potret dijelaskan dalam Pasal 1 Ayat 10 Undang-Undang Hak Cipta bahwa Potret adalah karya fotografi dengan objek manusia.

Karya fotografi yang merupakan termasuk hasil karya cipta akan langsung mendapatkan perlindungan hukum dari Undang-Undang Hak Cipta begitu karya cipta fotografi tersebut terwujudkan. Seperti sebagaimana diatur dalam Pasal 12 Ayat 1 Undang-Undang Hak Cipta (UUHC) yang berisi “Setiap Orang dilarang melakukan Penggunaan Secara Komersial, Penggandaan, Pengumuman, Pendistribusian, dan/atau Komunikasi atas Potret yang dibuatnya guna kepentingan reklame atau periklanan secara komersial tanpa persetujuan tertulis dari orang yang dipotret atau ahli warisnya.” Jadi, Hak cipta memberikan sejumlah hak ekslusif kepada pencipta gambar atau fotografi untuk melaksanakan perbanyakan, perubahan, dan melarang orang lain melaksanakan tindakan- tindakan tersebut tanpa seizin pemilik karya cipta tersebut. Hak cipta terdiri atas hak ekonomi (economic rights) dan hak moral (moral rights). Hak ekonomi adalah hak untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas ciptaan serta produk hak terkait. Copyright gives a bundle of property rights to the author of a work, but the contents of that bundle continue to change over time. This bundle of rights grants the owner the exclusive right to reproduce copies of, prepare derivative works based on, sell or lease copies of, and publicly display the copyrighted work.(Elizabeth Tao, 2017:620). Hak yang disebutkan dalam jurnal tersebut meliputi hak untuk memperbanyak salinan ciptaan, membuat turunan ciptaan tersebut, menjual atau menyewakan salinan ciptaan dan mempublikasikan ciptaan tersebut.

Hak moral adalah hak yang melekat pada diri pencipta atau pelaku yang tidak dapat dihilangkan atau dihapus tanpa alasan apapun, walaupun Hak Cipta atau Hak Terkait telah dialihkan. (Fajar Alamsyah Akbar, 2016:2).

33

(3)

Sebagaimana yang disebutkan dalam Undang-Undang Hak Cipta Pasal 40 ayat 1 : “Ciptaan yang dilindungi meliputi Ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra, terdiri atas:

a) buku, pamflet, perwajahan karya tulis yang diterbitkan, dan semua hasil karya tulis lainnya;

b) ceramah, kuliah, pidato, dan Ciptaan sejenis lainnya;

c) alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan;

d) lagu dan/atau musik dengan atau tanpa teks;

e) drama, drama musikal, tari, koreografi, pewayangan, dan pantomim;

f) karya seni rupa dalam segala bentuk seperti lukisan, gambar, ukiran, kaligrafi, seni pahat, patung, atau kolase;

g) karya seni terapan;

h) karya arsitektur;

i) peta;

j) karya seni batik atau seni motif lain;

k) karya fotografi;

l) Potret;

m)karya sinematografi;

n) terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, basis data, adaptasi, aransemen, modifikasi dan karya lain dari hasil transformasi;

o) terjemahan, adaptasi, aransemen, transformasi, atau modifikasi ekspresi budaya tradisional;

p) kompilasi Ciptaan atau data, baik dalam format yang dapat dibaca dengan Program Komputer maupun media lainnya;

q) kompilasi ekspresi budaya tradisional selama kompilasi tersebut merupakan karya yang asli;

r) permainan video; dan s) Program Komputer.”

Sebagaimana pernyataan yang disebutkan pada saat penelitian, dalam Undang-Undang Hak Cipta tersebut, fotografi merupakan salah satu objek yang dilindungi. Pada ayat 3 Pasal 40 UUHC juga disebutkan “Pelindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), termasuk pelindungan terhadap Ciptaan yang tidak atau belum dilakukan Pengumuman tetapi sudah diwujudkan dalam bentuk nyata yang memungkinkan Penggandaan

(4)

Ciptaan tersebut.” berarti status dari perlindungan yang berikan Undang- Undang Hak Cipta terhadap suatu karya cipta yakni berstatus langsung setelah atau sebelum dilakukannya pengumuman.

Pada penelitan yang diadakan di Direktorat Kekayaan Intelektual juga menyebutkan mengenai Potret dan pengaturannya di Undang-Undang Hak Cipta. Penulis sependapat dengan narasumber bahwa harus ditegaskan perbedaan potret dengan fotografi. Menurut Undang-Undang Hak Cipta Pasal 1 ayat 10 Potret adalah karya fotografi dengan objek manusia.

Walaupun berbeda, menurut penulis potret tidak bisa dipisahkan dari dunia fotografi, karena foto dengan objek manusia menjadi sangat penting, karena sebuah merek baju bisa kita contohkan, akan membutuhkan foto dengan model manusia sebagai objeknya.

Selanjutnya, pada pembahasan ini penulis menjelaskan mengenai apa itu fotografi menurut Undang-Undang Hak Cipta. Fotografi tidak memiliki penjelasan yang konkrit dalam Undang-Undang Hak Cipta. Penjelasan Pasal 40 Huruf K UUHC menjelaskan bahwa karya fotografi adalah “Yang dimaksud dengan "karya fotografi" meliputi semua foto yang dihasilkan dengan menggunakan kamera.” Penjelasan tersebut menurut penulis masih terlalu singkat dan sangat luas.

2. Konsekuensi yang Diberikan Jika Fotografer Terikat Kontrak

Secara mutlak dan sah pemilik hak cipta dari sebuah fotografi merupakan milik fotografer, tetapi berbeda apabila hak cipta tersebut lahir berdasarkan hubungan kerja yang berdasarkan perjanjian atau kontrak sebuah pesanan. Sebagai contoh, fotografer yang dipekerjakan oleh agensi untuk kegiatan komersil seperti Pre Wedding atau sebuah event tertentu jelas pihak agensi yang mempekerjakan fotografer atau agensi yang memiliki hak cipta foto bukan fotografer yang mengambil dan menghasilkan karya cipta tersebut.

Jika sudah perjanjian dalam kontrak kerja fotografer dengan agensi tersebut maka fotografer hanya memiliki Hak Moral dari hasil ciptaannya yang diunggah ke media sosial. Hak Moral adalah hak yang bersifat

(5)

manunggal antara ciptaan dan diri pencipta, atau dapat juga dikatakan integritas dari si pencipta. Hak moral suatu hak cipta dapat mencakup hak untuk mencantumkan nama pencipta dalam ciptaannya dan hak untuk mengubah judul dan/atau isi ciptaan. Jadi apabila agensi atau pihak lain yang telah mengadakan perjanjian kontrak dengan fotografer sebagai pencipta karya tersebut berhak untuk memperbanyak termasuk mengunggah ke media sosial dan mendapatkan Hak Ekonomi dari hasil ciptaan Fotografer.

Mengenai kontrak yang diberikan oleh agensi kepada fotografer untuk menggunakan hasil karyanya untuk diunggah ke media sosial yang melahirkan perbuatan komersial atau mendapatkan keuntungan, penulis mewawancarai seorang narasumber bernama Yusuf Yuniarto yang berdomisili di Jakarta. Yusuf sudah satu tahun terikat kontrak dengan suatu perusahaan dibidang Agensi Kreatif dan Branding. Yusuf mengatakan bahwa semua hasil fotografi yang dia ciptakan berhak digunakan Agensi Kreatif dimana Yusuf bekerja. Yusuf merasa hal tersebut sebagai hal yang wajar, karena dari hasil fotografi yang fotografer ciptakan mendapatkan upah kerja atau imbalan dari hasil karya fotografinya yang digunakan.

Berdasarkan hasil penelitian di Direktorat Kekayaan Intelektual, fotografer yang sudah terikat oleh suatu pekerjaan yang mengharuskan menyerahkan hasil karya ciptanya kepada pihak yang mempekerjakannya sesuai kontrak kerja yang ada hanya mendapat hak moral dari hasil ciptaannya. Pengertian kontrak yang disinonimkan dengan perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana seorang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih (1313, KUHPerdata). Menurut Mariam Darus Badrulzaman kontrak adalah sebuat Perbuatan hukum yang menimbulkan perikatan, yaitu hubungan hukum yang terjadi di antara dua orang atau lebih, yang terletak di dalam lapangan kekayaan di mana pihak yang satu berhak atas prestasi dan pihak lainnya wajib memenuhi prestasi (Mariam Darus Badrulzaman; 1980;3).

(6)

Menurut penulis, Undang-Undang Hak Cipta tidak menjelaskan pengalihan hak cipta kekayaan intelektual dari pencipta kepada penerima.

Dalam Undang-Undang Hak Cipta hanya dijelaskan mengenai lisensi yang memiliki pengertian yang berbeda. Pencipta fotografi yang terikat kontrak tidak bisa langsung dilindungi oleh Undang-Undang Hak Cipta, pemilik karya atau pencipta harus terlebih dahulu mengikatkan diri di dalam kontrak yang dibuat bersama dengan agensi atau pihak lain untuk dapat menggunakan karya cipta fotografer salah satunya digunakaan di dalam media sosial. Untuk dapat dijadikan sebuah perjanjian menginkat, kontrak harus memenuhi syarat sahnya perjanjian menurut Pasal 1320 KUHPerdata ada:

a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan c. Suatu hal tertentu

d. Suatu sebab yang diperkenankan

Pembuatan kontrak kerja tersebut juga menurut penulis bisa memberatkan pemilik karya cipta, karena tidak semua fotografer mengerti betul mengenai proses dan syarat pembuatan kontrak yang benar menurut Kitab Undang- Undang Hukum Perdata.

Menurut hasil penelitian yang dilakukan di Direktorat Kekayaan Intelektual dikatakan bahwa setelah adanya kontrak tersebut, pemilik karya hanya memiliki hak moral atas ciptaannya, kecuali diperjanjikan sebaliknya.

Pengertian Hak Moral menurut Pasal 5 UUHC adalah merupakan hak yang melekat secara abadi pada diri Pencipta untuk:

a. Tetap mencantumkan atau tidak mencantumkan namanya pada salinan sehubungan dengan pemakaian Ciptaannya untuk umum;

b. Menggunakan nama aliasnya atau samarannya;

c. Mengubah Ciptaannya sesuai dengan kepatutan dalam masyarakat;

d. Mengubah judul dan anak judul Ciptaan; dan

e. mempertahankan haknya dalam hal terjadi distorsi Ciptaan, mutilasi Ciptaan, modifikasi Ciptaan, atau hal yang bersifat merugikan kehormatan diri atau reputasinya.

(7)

Hak moral inilah yang tidak dapat dialihkan selama pencipta masih hidup.

Jadi pengalihan yang diperbolehkan hanyalah Hak Ekonomi dari ciptaan yang diperjanjikan untuk dapat digunakan oleh pihak lain sesuai kontrak.

Hak Ekonomi adalah hak untuk memperoleh keuntngan ekonomi atas hak cipta, karena suatu hasil karya/ciptaan dapat dinilai dengan uang (Adya Paramita Prabandari, 2011:166). Hak Ekonomi menurut Pasal 8 UUHC adalah eksklusif Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas Ciptaan. Hak ekonomi meliputi hak untuk:

a. Penerbitan ciptaan;

b. Penggandaan Ciptaan dalam segala bentuk;

c. Penerjemahan Ciptaan;

d. Pengadaptasian, pengaransemenan atau pentransformasian Ciptaan;

e. Pendistribusian Ciptaan atau salinannya;

f. Pertunjukan Ciptaan;

g. Pengumuman Ciptaan;

h. Komunikasi Ciptaan; dan i. Penyewaan Ciptaan;

Pasal 9 ayat 2 menjelaskan bahwa setiap orang yang melaksanakan hak ekonomi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mendapatkan izin Pencipta atau Pemegang Hak Cipta. Setiap orang yang tanpa izin Pencipta atau Pemegang Hak Cipta dilarang melakukan Penggandaan dan/atau Penggunaan Secara Komersial Ciptaan.

Pengalihan Hak Ekonomi dalam hal ini mengenai hasil karya cipta fotografi juga diatur dalam Undang-Undang Hak Cipta pada Pasal 16, “Hak Cipta merupakan Benda bergerak tidak berwujud.” Kemudian dalam ayat 2 dijelaskan mengenai cara pengalihan hak cipta tersebut, yakni melalui:

a. Pewarisan;

b. Hibah;

c. Wakaf;

d. Wasiat;

e. Perjanjian tertulis; atau

f. Sebab lain yang dibenarkan sesuai dengan ketentuan perundang- undangan.

(8)

Pada Pasal 16 ayat 2 tersebut dijelaskan bahwa perjanjian tertulis atau kontrak antara fotografer dan agensi atau pihak ketiga memenuhi cara pengalihan hak cipta yang dijelaskan oleh Undang-Undang Hak Cipta.

Fotografer yang melaksanakan perjanjian atau pengikatan kontrak dengan pihak ketiga dengan tujuan mengalihkan hak ekonomi atas ciptaannya tersebut harus mampu merancang kontrak kerja secara detail terkait status pengalihan atas hak ciptanya, karena Pasal 17 ayat 1 UUHC juga mengatur bahwa Hak ekonomi atas suatu Ciptaan tetap berada di tangan Pencipta atau Pemegang Hak Cipta selama Pencipta atau Pemegang Hak Cipta tidak mengalihkan seluruh hak ekonomi dari Pencipta atau Pemegang Hak Cipta tersebut kepada penerima pengalihan hak atas Ciptaan. Melalui Pasal 17 ayat 1 ini, UUHC secara implisit mengatur bahwa pencipta atau dalam hal ini fotografer berhak menerima royalti atau upah atau bayaran dari penggunakan karya cipta untuk kegiatan komersil selama pengalihan hak ekonomi tersebut tidak secara keseluruhan atau penuh.

Perlu diketahui, berdasarkan Pasal 17 ayat 2 UUHC menjelaskan bahwa fotografer dalam mengalihkan Hak Ekonomi mereka tidak dapat diulang atau dialihkan untuk kedua kalinya oleh Pencipta atau dalam hal ini fotografer. Menurut penulis pengaturan tersebut merugikan fotografer, karena pada hakikatnya dalam dua orang atau lebih yang menyatakan perikatan dalam kontrak, maka pada Pasal 1338 KUPerdata menyatakan bahwa semua kontrak (perjanjian) yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Menurut penulis, Pasal 17 ayat 2 UUHC membatasai asas hukum kebebasan berkontrak.

3. Perlindungan Tehadap Ciptaan yang Dilanggar Berdasarkan Undang- Undang Hak Cipta

Ahmad Rifadi selaku Kepala Seksi Pertimbangan Hukum dan Litigasi Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual juga menjelaskan mengenai langkah yang dapat ditempuh apabila terjadi pelanggaran. Karya cipta dilindungi oleh Undang-Undang Hak Cipta dari tindak pidana hak cipta

(9)

apabila telah terpenuhi unsur tindak pidana Hak Cipta, yakni adanya tindakan atau perbuatan Hak Ekonomi dari pelanggar dan menyebabkan sebuah keuntungan komersial.

Memang sulit untuk dapat menentukan atau menemukan adanya pelanggaran hak cipta, namun dapat kita contohkan dengan suatu konten yang diunggah pada sebuah akun Instagram sebagai salah satu media sosial kemudian konten tersebut atau karya cipta tersebut diambil dengan cara diunggah oleh orang lain di akun Instagram miliknya. Jelas pada hal tersebut sudah ada kegiatan pelanggaran Hak Ekonomi, namun juga harus dilihat apakah perbuatan tersebut juga memberikan keuntungan komersial.

Untuk dapat mengetahui apakah hal tersebut dapat memenuhi unsur tindak pidana hak cipta bisa dilihat dari peruntukan konten tersebut diunggah oleh orang lain, apabila digunakan untuk kegiatan komersil seperti beriklan, menawarkan sebuah produk dengan tujuan mendapatkan uang dan keuntungan menggunakan konten atau hasil fotografi milik orang lain jelas sudah dapat dikatakan hal tersebut atau pengunggahan tanpa izin di media sosial tersebut dikatergorikan pelanggaran tindak pidana hak cipta.

Pengunggahan tanpa izin hasil karya cipta fotografi ke media sosial tanpa terdapat unsur yang memenuhi tindak pidana hak cipta menurut Undang-Undang Hak Cipta juga bisa tetap dituntut dengan merujuk Undang-Undang lain seperti Perbuatan Melawan Hukum yang dijelaskan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Kasus tanpa pemenuhan unsur tindak pidana hak cipta tidak ditemukan pelanggaran Hak Ekonomi melainkan melanggar Hak Moral. Diluar Undang-Undang Hak Cipta, Hak Moral ini tidak dapat dipidanakan tetapi dapat digugat dengan gugatan Perbuatan Melawan Hukum. Pada Undang-Undang Hak Cipta dapat dihukum dengan denda dengan mengacu pada Pasal 1365 Kitab Undang- Undang Hukum Perdata tentang Perbuatan Melawan Hukum. Berdasarkan hasil penelitian penulis, pelanggaran hak cipta fotografi yang dilakukan di media sosial dapat digugat melalui dua jalur, yakni melalui jalur pidana dan

(10)

jalur keperdataan. Pada jalur keperdataan, menurut Kepala Seksi Pertimbangan Hukum dan Litigasi Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual Ahmad Rifadi korban atau penggugat dapat mengajukan gugatannya dengan gugatan yang mengacu pada unsur Perbuatan Melawan Hukum yang diatur di Pasal 1365 KUHPerdata. Perbuatan Melawan Hukum atau Onrechtmatige Daad dalam konteks perdata diatur dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata atau Burgerlijk Wetboek (“BW”), dalam Buku III BW, pada bagian “Tentang perikatan-perikatan yang dilahirkan demi Undang-Undang”, yang berbunyi:

“Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.”

Dari bunyi Pasal 1365 tersebut, maka dapat diarik unsur-unsur Perbuatan Melawan Hukum sebagai berikut:

a. Ada perbuatan melawan hukum b. Ada kesalahan

c. Ada hubungan sebab akibat antara kerugian dan perbuatan d. Ada kerugian

Pertama, ada perbuatan melawan hukum. Perbuatan melawan hukum ini menurut Yurisprudensi putusan Mahkamah Agung Belanda dalam kasus Arrest Cohen-Lindenbaum (H.R. 31 Januari 1919), dapat dikategorikan kedalam melanggar Undang-Undang, melanggar hak subjektif orang lain, bertentangan dengan kewajiban si pelaku, bertentangan dengan kesusilaan dan bertentangan dengan sikap kehati-hatian yang sepatutnya dalam masyarakat. Menurut penulis mengunggah karya cipta orang lain ke media sosial tanpa izin sudah dapat dikatakan Perbuatan Melawan Hukum yang dijabarkan dalam kelima kategori tersebut.

Kedua, dalam pengunggahan karya cipta ke media sosial tanpa izin sudah memenuhi unsur adanya kesalahan yang dikategorikan karena kesengajaan atau karena kealpaan. Penggungah karya cipta ke media sosial

(11)

tanpa izin pasti telah sadar dan sengaja mengambil hasil karya cipta orang lain. Sehingga, unsur kedua dalam Perbuatan Melawan Hukum ini dapat terpenuhi.

Ketiga, karya cipta yang diunggah ke media sosial tanpa izin akan menimbulkan hubungan sebab akibat antara kerugian dan perbuatan.

Pengunggahan karya cipta fotografi tanpa izin memberikan kerugian yang nyata bagi pencipta. Jika penggunggah tersebut tidak melakukan perbuatan tersebut tidak akan menyebabkan kerugian yang ditimbulkan bagi pencipta.

Keempat mengenai unsur perbuatan melawan hukum mengenai karya cipta yang diunggah ke media sosial tanpa izin yakni ada unsur kerugian.

Unsur kerugian yang ditimbukan dapat berupa materil maupun immaterial.

Materil berupa apabila hasil karya cipta yang diciptakan akan digunakan untuk keperluan beriklan atau dijual ke orang lain, tapi calon pembeli atau kostumer melihat karya tersebut diunggah di media sosial oleh orang lain dan tidak jadi untuk membeli, maka kerugian tersebut sudah dapat dikatakan kerugian materil. Kemudian imateril, menurut penulis pencipta yang kompeten dan berprestasi mengunggah ke media sosial kemudia diunggah ke media sosial oleh orang lain, akan sangat merasa terpukul dan bahkan cenderung enggan untuk menghasilkan karya cipta yang baru apabila hal tersebut terjadi berulang kali.

Menurut penulis, pengunggahan karya cipta ke media sosial tanpa izin dapat memenuhi syarat gugatan Perbuatan Melawan Hukum. Pengajuan gugatan ini dapat diajukan di Pengadilan Negeri yang berwenang dengan diwakili oleh Penggugat sendiri atau kuasa hukum yang ditunjuk dengan surat suara khusus.

Penyelesaian sengketa atau perkara tindak pidana Hak Cipta diatur secara spesifik didalam Undang-Undang Hak Cipta Pasal 113 ayat 3 dan 4.

Pasal 113 ayat 3 menjelaskan bahwa:

“Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta

(12)

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, dan/atau huruf g untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).” Pasal 9 ayat (1) menjelaskan bawha:

“Pencipta atau Pemegang Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 memiliki hak ekonomi untuk melakukan:

a. Penerbitan ciptaan

b. Penggandaan ciptaan dalam segala bentuknya c. Penerjemahan ciptaan

d. Pengadaptasian, pengaransemenan, atau pentransformasian Ciptaan e. Pendistribusian ciptaan atau salinannya

f. Pertunjukan ciptaan g. Pengumuman ciptaan h. Komunikasi ciptaan dan i. Penyewaan ciptaan

Pasal 113 ayat 1 memberikan perlindungan untuk Penerbitan, Penggandaan ciptaan dalam segala bentuknya, pengadaptasian, pengaransemenan, atau pentransformasian ciptaan, pendistribusian ciptaan atau salinannya, dan pengumuman ciptaan. Menurut penulis perlindungan terhadap pengunggahan karya cipta di media sosial tanpa izin dapat dilindungi dengap Pasal 113 ayat 1 huruf a, huruf b, huruf e, dan/atau huruf g Undang- Undang Hak Cipta.

Fotografer harus mengetahui mengenai perlindungan yang diberikan menurut Pasal 120 Undang-Undang Hak Cipta bersifat delik aduan. Delik aduan adalah delik yang hanya dapat diproses apabila diadukan oleh orang yang merasa dirugikan atau telah menjadi korban. Fotografer yang karyanya diunggah ke media sosial tanpa izin tidak dapat langsung mendapat perlindungan hukum untuk segera diproses, tapi diharuskan untuk melaporkan tindak pidana tersebut.

Selain kedua jalur penyelesaian gugatan atau sengketa hak cipta yakni melalui pasal tindak pidana hak cipta dan tuntutan keperdataan, Undang- Undang Hak Cipta juga mengatur mengenai campur tangan pemerintah

(13)

yang bertujuan untuk mencegah pelanggaran hak cipta melalui saran atau media berbasis teknologi informasi. Pasal 54 UUHC menjelaskan untuk mencegah pelanggaran Hak Cipta dan Hak Terkait melalui sarana berbasis teknologi informasi, Pemerintah berwenang melakukan:

a. Pengawasan terhadap pembuatan dan penyebarluasan konten pelanggaran Hak Cipta dan Hak Terkait;

b. Kerja sama dan koordinasi dengan berbagai pihak, baik dalam maupun luar negeri dalam pencegahan pembuatan dan penyebarluasan konten pelanggaran Hak Cipta dan Hak Terkait; dan

c. Pengawasan terhadap tindakan perekaman dengan menggunakan media apapun terhadap Ciptaan dan produk Hak Terkait di tempat pertunjukan.

Pasal 54 ayat 1 UUHC tersebut menjelaskan partisipasi pemerintah untuk mencegah terjadinya Pelanggaran Hak Cipta dalam kapasitas pengawasan terhadap pembuatan dan penyebarluasan konten pelanggaran Hak Cipta. Menurut penjelasan pasal tersebut, pengertian konten yang dimaksud adalah isi dari hasil Ciptaan yang tersedia dalam media apapun bentuk penyebarluasan konten antara lain mengunggah (upload) konten melalui media internet termasuk karya cipta fotografi yang diunggah ke media sosial.

Pembajakan karya cipta tersebut bisa diancam dengan hukuman yang berlapis apabila pembajakan karya digunakan untuk menyebarkan berita bohong atau hoax. Menurut Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik Pasal 45A ayat 1: “Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”

Pelaksanaan perlindungan hak cipta ini mendapat pengecualian apabila karya cipta itu dibutuhkan untuk kepentingan pendidikan dengan perintah melakukan penerjemahan atau memperbanyak yang diatur dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 1989 tentang

(14)

Penerjemahan/atau Perbanyakan Ciptaan Untuk Kepentingan Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, Penelitian dan Pengembangan ”Untuk kepentingan kemajuan pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kegiatan penelitian dan pengembangan, Pemerintah dapat minta, dan jika tidak bersedia membebankan kewajiban, kepada pemegang Hak Cipta sesuatu ciptaan yang selama 3 (tiga) tahun sejak diumumkan dimanapun juga belum diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia atau diperbanyak di wilayah Negara Republik Indonesia, untuk menerjemahkan ciptaannya tersebut ke dalam bahasa Indonesia dan/atau memperbanyaknya di wilayah Negara Republik Indonesia.”

4. Perlindungan Fotografi dalam Media Sosial yang Berbentuk Maya dengan Ketentuan Berbentuk Nyata yang Disebutkan Dalam Undang- Undang Hak Cipta

Dalam beberapa Pasal pada Undang-Undang Hak Cipta disebutkan bahwa Karya Cipta yang dilindungi adalah karya cipta yang berbentuk nyata. Maksud pengertian nyata dalam Undang-Undang Hak Cipta adalah jika seorang fotografer memiliki imajinasi atau ide, imajinasi dan ide tersebut masih belum berwujud nyata dan tidak dapat dilindungi oleh Undang-Undang Hak Cipta.

Ahmad Rifadi juga menjelaskan bahwa media sosial hanya menjadi sarana untuk menampilkan hasil karya seseorang, sama seperti saat seseorang mengadakan pameran hasil karya fotografi yang telah dicetak.

Tidak ada perbedaan antara media yang nyata dan media sosial yang bersifat maya. Selama karya cipta sudah terwujud nyata maka karya cipta tersebut sudah dilindungi Undang-Undang Hak Cipta.

Beberapa Pasal Undang-Undang Hak Cipta menyebutkan bahwa karya cipta yang dilindungi adalah karya cipta yang berbentuk nyata. Pasal 1 ayat 1 menjelaskan:

“Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam

(15)

bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”. Pasal 40 ayat 3 menjelaskan:

“Pelindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), termasuk pelindungan terhadap Ciptaan yang tidak atau belum dilakukan Pengumuman tetapi sudah diwujudkan dalam bentuk nyata yang memungkinkan Penggandaan Ciptaan tersebut.”

Penulis mengipretasikan “bentuk nyata” yang disebutkan dalam beberapa pasal Undang-Undang Hak Cipta mengacu kepada bentuk ciptaan yang telah direalisasikan dalam bentuk yang bersifat dua dimensi atau tiga dimensi dalam wujud nyata atau hard file. Sedangkan karya cipta fotografi yang diunggah ke media sosial oleh pencipta berbentuk soft file.

Menurut hasil penelitian yang diadakan di Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual dengan Kepala Seksi Pertimbangan Hukum dan Litigasi, Ahmad Rifadi menjelaskan bahwa pengertian “bentuk nyata” yang dimaksudkan dalam beberapa Pasal Undang-Undang Hak Cipta adalah jika seorang fotografer memiliki imajinasi atau ide, imajinasi dan ide tersebut masih belum berwujud nyata dan tidak dapat dilindungi oleh Undang- Undang Hak Cipta. Pengertian bentuk nyata disinggung dalam Pasal 1 ayat 3 UUHC mengenai pengertian Ciptaan, Pasal tersebut menjelaskan “Ciptaan adalah setiap hasil karya cipta di bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra yang dihasilkan atas inspirasi, kemampuan, pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan, atau keahlian yang diekspresikan dalam bentuk nyata.”

Media sosial merupakan sarana untuk menampilkan hasil karya seseorang, media ini sama seperti media yang digunakan pada saat fotografer mengadakan pameran hasil karya fotografi yang telah dicetak.

Tidak ada perbedaan antara media yang nyata dan media sosial yang bersifat maya. Selama karya cipta sudah terwujud nyata dari maka karya cipta tersebut sudah dilindungi Undang-Undang Hak Cipta. Jadi, menurut hasil penelitian penulis, perlindungan karya cipta di media sosial sama dengan perlindungan karya cipta di dunia nyata.

(16)

Penulis beranggapan, Undang-Undang Hak Cipta seharusnya dapat lebih menjabarkan mengenai “Bentuk Nyata” yang disebutkan di dalam beberapa pasal UUHC kedalam bagian Penjelasan.

5. Lisensi Fotografi di Dunia Digital Termasuk Media Sosial Berdasarkan Undang – Undang Hak Cipta

Pada Undang-Undang Hak Cipta juga disebutkan mengenai lisensi, lisensi adalah sebuah izin yang diberikan oleh pemilik hak cipta kepada penerima hak cipta untuk melakukan kegiatan ekonomi atas ciptaan dari pemilik hak cipta. Lisensi ini lah yang nantinya memberikan hubungan timbal balik, penerima lisensi akan mendapat hak menggunakan karya cipta untuk mendapatkan keuntungan ekonomi, sedangkan pemilik hak cipta akan mendapat royalti dari penggunaan karyanya. Sehubung dengan fotografi yang diunggah ke media sosial tanpa izin, ada kaitannya dengan pembubuhan lisensi kepada sebuah karya dalam hal ini fotografi yang berlaku di dunia maya atau internet yang diatur oleh sebuah organisasi bernama Creative Commons.

Kenapa lisensi mejadi penting dalam hak cipta, karena apabila terjadi kasus sengketa hak cipta, kasus perjanjian lisensi termasuk kedalam bentuk sengketa hak cipta bersama dengan perbuatan melawan hukum, dan sengketa mengenai tarif dalam penarikan imbalan atau Royalti. Selain lisensi yang berlaku di internet, media sosial juga memberikan kebijakan dan peraturan pada pengguna mengenai hak cipta sebelum pengguna melakukan kegiatan di media sosial.

Undang-Undang Hak Cipta mengatur mengenai lisensi pada karya cipta yang dilindungi, yakni lisensi dan lisensi wajib. Lisensi menurut Pasal 1 ayat 20 Undang-Undang Hak Cipta Lisensi adalah izin tertulis yang diberikan oleh Pemegang Hak Cipta atau Pemilik Hak Terkait kepada pihak lain untuk melaksanakan hak ekonomi atas Ciptaannya atau produk Hak Terkait dengan syarat tertentu. Sedangkan Lisensi Wajib merupakan merupakan Lisensi untuk melaksanakan penerjemahan dan/atau Penggandaan Ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan dan sastra yang

(17)

diberikan berdasarkan keputusan Menteri atas dasar permohonan untuk kepentingan pendidikan dan/atau ilmu pengetahuan serta kegiatan penelitian dan pengembangan.

Secara yuridis lisensi berarti suatu perjanjian antara pemberi lisensi (licencor) dalam hal ini fotografer dan penerima lisensi (licencee) pihak penerima karya fotografi, di mana licencor dengan pembayaran dan kondisi tertentu memberikan izin kepada licencee untuk menggunakan hak atas kekayaan intelektualnya (intellectual property rights) (Retna Gumanti, 2016:251).

Berdasarkan pengertian lisensi menurut Undang-Undang Hak Cipta, lisensi diberikan melalui sebuah perjanjian lisensi dengan timbal balik berupa penyerahan hak ekonomi dan royalti. Menurut penulis Undang- Undang Hak Cipta sudah mengatur mengenai perlindungan terhadap hak cipta. Bentuk perlindungan mengenai lisensi hak cipta ini dapat dilihat dalam Pasal 80 Ayat 2 dan Ayat 3. Pasal 80 Ayat 2 UUHC menjelaskan

“Perjanjian Lisensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku selama jangka waktu tertentu dan tidak melebihi masa berlaku Hak Cipta dan Hak Terkait.” Ayat tersebut dimaksudkan untuk melindungi pencipta berkaitan dengan jangka waktu pemberian lisensi yang tidak melekat selamanya kepada pemegang lisensi. Pasal 80 Ayat 2 ini juga menurut penulis melindungi dan berpihak kepada pencipta, karena pencipta pasti akan memiliki hak cipta lebih lama dari penerima lisensi tersebut. Kemudian, Pasal 80 Ayat 3 menjelaskan “Kecuali diperjanjikan lain, pelaksanaan perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai kewajiban penerima Lisensi untuk memberikan Royalti kepada Pemegang Hak Cipta atau pemilik Hak Terkait selama jangka waktu Lisensi.” Pada ayat ini, menurut penulis UUHC melindungi pencipta mengenai lisensi dalam segi pemberian timbal balik dari penerima, UUHC mewajibkan adanya pemberian royalti atau imbalan atas perjanjian lisensi kepada pemilik hak cipta.

Lisensi merupakan sebuah sarana atau alat yang sangat berguna untuk pencipta. Selain lisensi yang diatur dalam Undang-Undang Hak Cipta,

(18)

terdapat sistem pengaturan lisensi fotografi yang digunakan di dunia internet yakni Creative Commons. Secara harafiah, Creative Commons bisa diartikan sebagai suatu organisasi non profit yang memiliki tujuan untuk memperluas cakupan karya kreatif sehingga karya tersebut legal untuk digunakan orang lain secara gratis tanpa mengurangi esensi hak cipta bagi sang pencipta karya tersebut. Dalam hal ini lisensi Creative Commons akan menyediakan standar bagi pemegang hak cipta (copyright) untuk memberikan izin pada orang lain yang ingin menggunakan hasil karyanya (https://www.maxmanroe.com/pengertian-lisensi-creative-commons.html, diakses pada tanggal 13 April 2019, pukul 17:07). Menurut penulis, sistem perlindungan karya fotografi yang diunggah ke meda sosial berbasis lesensi dengan Creative Commons memberikan tambahan perlindungan hak cipta selain UUHC.

Creative Commons secara sederhana adalah sebuah organisasi yang mengatur dan mengurus perjanjian lisensi dari pemberi lisensi kepada pengguna atau penerima lisensi. Terdapat beberapa jenis lisensi yang diatur oleh Creative Commons, yakni:

a. Public Domain atau dikenal dengan CC0

Lisensi ini mengijinkan pengguna karya cipta untuk mengunduh, menyebar dan bahkan mengubah hasil karya cipta yang dilindungi dengan lisensi CC0 dan menggunakannya untuk kepentingan komersial tanpa harus memberikan kredit kepada pemilik karya cipta. “CC0 enables scientists, educators, artists and other creators and owners of copyright- or database-protected content to waive those interests in their works and thereby place them as completely as possible in the public domain, so that others may freely build upon, enhance and reuse the works for any purposes without restriction under copyright or database law (https://creativecommons.org/share-your-work/public-domain/cc0/, diakses pada tanggal 14 April 2019, Pukul 18:31). Menurut penulis, lisensi CC0 ini akan memberikan perlindungan bukan hanya kepada pemilik hak cipta, namun juga kepada pengguna karya cipta di internet.

(19)

b. CC BY

Pengguna karya bebas untuk mendownload, mengubah bahkan untuk tujuan komersil karya dengan atribut lisensi ini. Tetapi pengguna karya cipta harus memberikan kredit kepada pemilik asli karya cipta ini, link terhadap lisensi dan info terkait jika pengguna karya cipta sudah melakukan perubahan terhadap karya tersebut. Pada lisensi CC BY ini, pengaturannya lebih ketat dibanding dengan lisensi CC0 yang bebas

untuk menggunakan karya cipta orang lain.

(http://www.saveseva.com/hak-cipta-dan-lisensi-foto-media-sosial/, diakses pada tanggal 14 April 2019, Pukul 19:07)

c. Lisensi CC-BY-SA

Serupa dengan lisensi CC-BY tetapi apabila kamu melakukan editing pada karya tersebut dan menyebarluaskannya, karya turunan tersebut harus diberi lisensi yang sama dengan karya aslinya. Pengguna karya harus mencantumkan nama yang sesuai, mencantumkan tautan terhadap lisensi, dan menyatakan bahwa telah ada perubahan yang dilakukan.

Pengguna karya cipta dapat melakukan hal ini dengan cara yang sesuai, namun tidak mengisyaratkan bahwa pemberi lisensi mendukung pengguna karya cipta atau penggunaan pengguna (https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/deed.id, diakses pada tanggal 14 April 2019, Pukul 19:10).

d. Lisensi CC-BY-ND

Atribusi lisensi ini mengijinkan kamu untuk mendownload, serta menggunakannya guna keperluan apapun termasuk komersial serupa atribusi CC-BY. Hanya saja kamu tak diizinkan memublikasikan jika sudah melakukan perubahan apapun terhadap karya tersebut.

e. CC-BY-NC

Aturan atribusi sama dengan CC-BY hanya kamu tak diizinkan untuk mengkomersialkan karya cipta di bawah lisensi ini. Ubahan atau editing diperbolehkan serta bisa disebarluaskan tanpa aturan lisensi yang serupa.

Menurut penulis, pengaturan lisensi diinternet dengan metode CC-BY-NC

(20)

sudah memikirkan perlindungan karya cipta dalam segi hak ekonomi yang disebutkan dalam Undang-Undang Hak Cipta.

f. CC-BY-NC-SA

Serupa dengan lisensi CC-BY-NC, hanya saja setiap turunan atau ubahan dari karya tersebut harus disebarluaskan dengan atribut lisensi yang sama dengan karya aslinya. Pada lisensi ini, pengaturan penyebarluasan karya sudah lebih ketat dan berat dengan harus memberikan atribut atau menyebutan nama pencipta karya yang digunakan.

g. CC-BY-NC-ND

Atribusi lisensi paling ketat dari semuanya. Kamu boleh menyebarluaskan tapi untuk tujuan non komersil, serta jika kamu melakukan editing atau perubahan, kamu tak boleh menyebarluaskannya.

Perlindungan lisensi yang terakhir dari Creative Commons menurut penulis merupakan perlindungan yang paling aman yang bisa diberikan untuk pemilik karya cipta, namum menurut penulis juga pemberian atribut lisensi CC-BY-NC-ND ini akan sulit untuk mengembangkan nama fotografer karena tidak diperizinkannya penyebar luasan tersebut.

Menrurut penulis, pengembangan atribut pemberian lisensi di internet dan media sosial dengan system yang diakomodasi oleh Creative Commons bisa menjadi alternatif perlindungan diluar perlindungan yang diberikan Undang-Undang Hak Cipta untuk fotografi. Pemberian lisensi Creative Commons menurut penulis dapat menjadi sebuah kekuatan hukum bagi pemilik karya cipta fotografi yang menggunakannya, serta bisa dijadikan bukti penguat untuk fotografer di media sosial yang karyanya diambil tanpa izin apabila terjadi sengketa. Penggunaan atribut lisensi Creative Commons juga memberikan kemudahan untuk pengguna atau pemilik karya cipta untuk mendapatkan lisensi terbuka atau bebas pakai, karena lisensi CC pada dasarnya bersifat sama seperti lisensi yang diberikan secara tertulis sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Hak Cipta.

Pemberian atribut lisensi Creative Commons menurut penulis juga berfungsi sebagai penyederhana pengaturan lisensi dari peraturan mengenai

(21)

lisensi yang diatur Undang-Undang Hak Cipta Pasal 83 UUHC mengenai prosedur penerapan lisensi, yakni :

a. Perjanjian Lisensi harus dicatatkan oleh Menteri dalam daftar umum perjanjian Lisensi Hak Cipta dengan dikenai biaya.

b. Perjanjian Lisensi yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 tidak dapat dicatat dalam daftar umum perjanjian Lisensi.

c. Jika perjanjian Lisensi tidak dicatat dalam daftar umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1), perjanjian Lisensi tersebut tidak mempunyai akibat hukum terhadap pihak ketiga.

d. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pencatatan perjanjian Lisensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 83 UUHC tersebut menurut penurut penulis akan menjadi penghambat minat fotografer untuk mencatatkan lisensi karya ciptanya tersebut, dengan adanya pemberian atribut lisensi terbuka dengan cara Creative Commons secara langsung akan memberikan keuntungan berupa kepraktisan pembentukan perjanjian lisensi dari pemilik karya cipta dan penerima lisensi.

Apabila melihat pembahasan lisensi di internet khususnya media sosial, penulis akan membahas mengenai perjanjian lisensi yang diberikan oleh perusahaan aplikasi media sosial Instagram dan Twitter dengan fotografer sebagai pengguna media sosial tersebut. Just looking at copyright (trademarks are another subject of dispute, one this brief paper will not address), we see social media sites laying expansive claim to the copyrights of their users (Diane Leenheer Zimmerman, 2014:260) dengan menyetujui Term and Condition pada awal mulai penggunaan media sosial, beberapa media sosial mengklaim hak cipta yang dimilki para penggunanya.

Sebelum memulai menggunakan apliaksi tersebut, pihak media sosial akan menyuguhkan banyak sekali persayaratan dan perjanjian sebelum fotografer atau pengguna menggunakan aplikasi tersebut. Pada media sosial

(22)

Instagram, merujuk perjanjian mengenai hak cipta data foto atau video Instagram mengatur hal tersebut secara rinci, yakni:

“Tidak ada yang berubah pada hak Anda atas konten Anda. Kami tidak mengklaim hak milik atas konten Anda yang dikirim di atau melalui Layanan. Sebagai gantinya, saat Anda membagikan, membuat postingan, atau mengunggah konten yang berada dalam cakupan hak kekayaan intelektual (seperti foto atau video) di dalam maupun yang berkaitan dengan Layanan kami, Anda memberi lisensi kepada kami yang bersifat non- eksklusif, bebas royalti, dapat dipindahkan, dapat disublisensikan, dan berlaku di seluruh dunia untuk menghosting, menggunakan, mendistribusikan, mengubah, menjalankan, menyalin, menayangkan secara publik, menerjemahkan, dan membuat karya turunan dari konten Anda (selaras dengan pengaturan privasi dan aplikasi Anda) (https://help.instagram.com/478745558852511, diakses pada Tanggal 14 April 2019, Pukul 20:26).“

Pada ketentuan ini, Instagram tidak mengklaim konten apapun yang pencipta unggah di media sosial sebagai milik Instagram, tapi dengan setuju dan melanjutkan penggunaan Instagram maka pencipta dianggap memberikan lisensi kepada Instagram untuk melakukan banyak hal yang menurut penulis berkaitan erat dengan esensi konten yang diunggah ke Instagram, seperti mengubah, menggunakan bahkan membuat karya tiruan konten yang diunggah fotografer. Ketentuan selanjutnya:

“Anda dapat mengakhiri lisensi ini kapan saja dengan menghapus konten atau akun Anda. Akan tetapi, konten akan dapat terus muncul jika Anda membagikannya dengan orang lain dan orang tersebut masih belum menghapusnya.” Pada ketentuan ini, Instagram memberikan alternatif untuk fotografer dan pencipta untuk mengakhiri lisensi yang diberikan kepada Instagram, namun menurut penulis Instagram seolah lepas tangan apabila ada karya cipta fotografer yang disebar luaskan orang lain setelah lisensi berhenti diberikan oleh pencipta, tidak ada ketentuan lebih lanjut mengenai

(23)

penghapusan karya cipta yang disebar luaskan apabila karya cipta tersebut sudah disebar di Instagram.

Pada media sosial Twitter, penulis menemukan bahwa Twitter menggunakan pengaturan dari negara asal media sosial tersebut, yakni Amerika Serikat, dapat dilihat dari pernyataan Twitter di situs resmi bagian bantuan dengan menyatakan “Mohon diperhatikan bahwa Twitter merespons keluhan hak cipta yang dikirim berdasarkan Digital Millennium Copyright Act ("DMCA"). Bagian 512 DMCA menjelaskan ketentuan perundang- undangan yang diperlukan untuk melaporkan secara formal pelanggaran hak cipta, serta menyediakan instruksi tentang cara pihak yang terkena dampak dapat mengajukan banding dengan menyerahkan kontra-pemberitahuan yang memenuhi syarat.” (https://help.twitter.com/id/rules-and- policies/copyright-policy, diakses pada Tanggal 14 April 2019, pada Pukul 21:17) .

Perlindungan hak cipta dari segi pembimbingan keluhan di Twitter menurut penulis lebih diperhatikan jika dibandingkan dengan Instagram, namun perlindungan yang diberikan juga tidak spesifik bahkan cenderung sangat longgar. Twitter menganut prinsip hukum Amerika Serikat yakni Kebijakan Penggunaan yang Wajar atau Fair Use Policy, dapat dilihat pada halaman bantuan yang disediakan di website resmi Twitter, yakni

“Penggunaan materi berhak cipta tertentu mungkin tidak memerlukan izin dari pemilik hak cipta. Di Amerika Serikat, konsep ini dikenal sebagai penggunaan yang wajar. Beberapa negara lain memiliki konsep yang serupa,

yang dikenal sebagai penggunaan yang

diperkenankan.”(https://help.twitter.com/id/rules-and-policies/fair-use- policy, diakses pada tanggal 14 April 2019, Pukul 21:04). Kebijakan tersebut berisi mengenai faktor apa saja yang dianggap sebagai pengecualian hak ekslusif pencipta dalam hak cipta yang terdiri dari empat faktor:

1. Tujuan dan karakter penggunaan 2. Sifat dari karya yang disalin

(24)

3. Porsi dan substansi dari karya yang disalin 4. Pengaruhnya pada nilai karya yang disalin

Twitter tidak dapat menilai apakah penggunaan tanpa izin di Twitter oleh kasus yang bersengketa dan merujuk penilaian tersebut kepada ahli yang lebih kompeten. Menurut penulis, pembatasan hak ekslusif dari karya cipta yang dihasilkan dengan penerapan Kebijakan Pemakaian yang Wajar tersebut dapat merugikan pencipta karena terlalu luasnya jangkauan Kebijakan Pemakaian yang Wajar tersebut. Penerapan hukum Amerika pada kebijakan dan pengaturan penggunaan media sosial dalam hal ini hak cipta di Twitter menurut penulis tidak benar dan tidak tepat, karena bagaimanapun perlindungan terhadap pencipta dalam penelitian ini fotografer yang berwarga negara Indonesia tidak mampu menjamin perlindungan karya cipta tersebut.

Ketentuan yang diberikan oleh kedua platform media sosial Instagram dan Twitter menurut penulis masih berbentuk klausula baku yang menurut Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dilarang keberadaannya. Klausa baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.

B. Faktor Penghambat Penerapan Perlindungan Hukum Terhadap Hasil Karya Cipta Fotografi yang Diunggah ke Media Sosial Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.

1. Faktor Penyebab Terjadinya Pengunggahan Karya Cipta Fotografi Tanpa Izin di Media Sosial

Penyebab terjadinya pembajakan atau pengunggahan karya cipta di media sosial tanpa izin mempunyai berbagai macam faktor penyebab.

Menurut hasil penelitian penulis dengan teknik wawancara yang dilakukan dengan Saudara Janu (nama samaran), seorang fotografer yang berdomisili di Bali yang sudah aktif melakukan profesi sebagai fotografer sejak tahun 2011 dan aktif mengunggah hasil karya cipta fotografinya di media sosial

(25)

Instagram pada 2014, faktor penyebab maraknya pembajakan atau pengunggahan karya cipta di media sosial tanpa izin adalah kurangnya pengetahuan dasar masyarakat atas sosial media, kurangnya kesadaran dan kehati-hatian hukum, serta kaget akan perkembangan teknologi. Masyarakat cenderung untuk menggunakan sosial media tanpa mempertimbangkan hak dan kewajiban mereka sebagai pengguna, yang mana disebutkan di dalam Term and Condition sebelum penggunaan sosial media. Selain itu, menurut Janu, jika dibandingkan dengan masyarakat di luar Indonesia, masyarakat Indonesia cenderung kurang berhati – hati dalam penggunaan karya cipta orang lain yang dilindungi oleh Undang-Undang.

Menurut Yusuf Yuniarto, seorang fotografer yang berdomisili di Solo mengatakan, faktor yang menyebabkan adanya pembajakan di media sosial adalah karena karya yang diunggah ke media sosial sangat mudah untuk dilihat dan disebar luaskan dengan fitur yang ada berkat teknologi, yakni Screenshot atau Save picture pada smartphone. Fitur yang disediakan oleh smartphone ini memudahkan pengguna untuk menyimpan karya cipa fotografi orang lain. Selain itu, masyarakat cenderung apatis dan tidak mempunyai keingnan untuk mencaritahu tentang apa itu pelanggaran hak cipta, apa perbuatan mereka ini melanggar hukum dan bagaimana perlindungan hak cipta di media sosial.

Pada kesempatan wawancara dengan saudari Nyimas, seorang fotografer yang berdomisili di Bali dan telah aktif mengunggah karya cipta fotografi di media sosial sejak tahun 2011 mengatakan faktor penyebab maraknya pembajakan di media sosial merupakan domino effect dari pemakluman budaya pengunggahan kembali atau repost yang dilakukan akun kumpulan fotografi, yang pada awalnya hanya mengunggah kembali secara kesepakatan bersama, namun lama kelamaan akun ini mengunggah ulang tanpa seizing fotografer yang bersangkutan, bahkan mengharuskan fotografer yang karya ciptanya ingin diunggah harus membayar pada akun tersebut. Selain itu, faktor selanjutnya adalah pengetahuan fotografer dan

(26)

masyarakat umum mengenai hak cipta fotografi di media sosial yang masih sangat kurang. Saudari Nyimas mengatakan, fotografer bahkan banyak yang belum mengerti mengenai hak-hak mereka sebagai warga negara yang mempunyai karya cipta yang dilindungi oleh undang-undang.

Hak pencipta fotografi di media sosial terbagi atas hak moral dan hak ekonomi. Hak Cipta memberikan perlindungan bagi pencipta dalam hubungan pribadi dan intelektual dari ciptaannya dan juga untuk memanfaatkan Ciptaannya. Hal ini berarti perlindungan hak cipta berdimensi Hak Moral (moral right) yang ditimbulkan dari hubungan pribadi intelektual Pencipta dengan ciptaannnya, dan dimensi Hak ekonomi (economic right). (Rahmi Jened, 2014:123).

Dari hasil penelitian dengan beberapa fotografer, penulis mendapatkan jawaban bahwa faktor penyebab terjadinya pengunggahan karya cipta fotografi di media sosial tanpa izin atau pembajakan adalah sebagian besar bukan dari alat penegakan hukum atau undang-undang, namun faktor utama terjadinya pembajakan lebih kepada faktor manusia. Hasil penelitian menujukan bahwa fotografer-fotografer beranggapan bahwa ketidak tahuan masyarakat dan fotografer itu sendiri akan undang-undang yang mengatur dalam hal ini UUHC yang masih menjadi penyebab maraknya terjadi pembajakan.

Hasil penelitian menjelaskan, bahwa banyak fotografer lain yang bahkan belum tau mengenai hasil karya cipta mereka dilindungi oleh undang-undang. Fotografer cenderung tidak mengerti bagaimana hak dan kewajiban mereka, bagaimana karya cipta mereka dapat dilindungi, dan bagaimana cara mengajukan gugatan apabila kerya cipta mereka dibajak di media sosial.

Faktor kepekaan dan kesadaran hukum masyarakat sebagai pengguna media sosial juga menurut fotografer sebagai salah satu faktor turut andil dalam maraknya pembajakan karya cipta fotografi di media sosial.

Masyarakat sebagai pengguna media sosial menurut fotografer dinilai masih belum bijak dalam menggunakan kecanggihan teknologi yang ada.

(27)

Pengguna media sosial dianggap tidak mengerti sepenuhnya mengenai peraturan penggunaan media sosial yang tercantum pada kolom Persyaratan dan Ketentuan atau kolom Term and Condition.

2. Kendala Pengimplementasian Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta dalam Perlindungan Fotografi di Media Sosial

Menurut Saudara Janu, kendala dalam pengimplementasian Undang- Undang Hak Cipta disebabkan berbagai penyebab, kendala yang pertama adalah kurangnya pengetahuan fotografer itu sendiri mengenai keberaadaan Undang-Undang Hak Cipta dan bagaimana cara menyelesaikan masalah yang terjadi mengenai pelanggaran hak cipta di media sosial. Saudara Janu pribadi mengatakan dirinya baru kembali membaca dan mempelajari mengenai Undang-Undang Hak Cipta dalam perlindungan fotografi setelah adanya kasus pelanggaran hak cipta dengan yang menimpa saudara Janu.

Selain itu, saudara Janu juga mengatakan banyak fotografer yang aktif di media sosial enggan untuk memperkarakan kasus pelanggaran hak cipta di media sosial tersebut karena merasa kasus yang menimpanya bukan kasus besar dan merasa materi karya cipta yang diunggah ke media sosial tidak harus sampai diperkarakan di pengadilan.

Pada kesempatan wawancara oleh Yusuf Yuniarto, Yusuf menyatakan bahwa Yusuf mengetahui mengenai adanya Undang-Undang Hak Cipta yang melindungi karya cipta fotografi, tetapi karya cipta tersebut harus terlebih dahulu didaftarkan pada direktorat kekayaan intelektual kementerian hukum dan hak asasi manusia. Padahal, berdasarkan hasil penelitian penulis di Direktorat Kekayaan Intelektual, perlindungan yang diberikan UUHC terhadap karya cipta fotografi adalah secara langsung dan seketika setelah hasil karya diciptakan dalam bentuk nyata. Pasal 1 Ayat 1 Undang-Undang Hak Cipta juga menjelaskan : ”Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

(28)

undangan.” Hasil wawancara dengan saudara Yusuf menjelaskan bahwa saudara Yusuf Yuniarto dan kebanyakan fotografer kurang paham mengenai perlindungan karya cipta fotografi di media sosial. Ketidak tahuan mengenai isi dan ketentuan Undang-Undang Hak Cipta menurut penulis juga menjadi salah satu faktor kendala pengimplementasian Undang-Undang Hak Cipta.

Karena agar Undang-Undang Hak Cipta bisa mejalankan peran sebagai alat perlindungan, dugaan pelanggaran hak cipta harus dilaporkan kepada pihak kepolisian atau mengajukan gugatan atas pelanggaran perdata.

Saudari Nyimas mengatakan bahwa saudari belum pernah mengajukan tuntutan hukum terkait pelanggaran yang didapati oleh saudari Nyimas. Selama pelanggar masih bersifat kooperatif, Saudari Nyimas lebih memilih untuk mengedukasi pelanggar bahwa perbuatan yang dilakukan pembajakan merupakan perbuatan melawan hukum dan dapat dikatgeorikan sebagai tindak pidana hak cipta. Saudari Nyimas merasa juga kendala pengimplementasian Undang-Undang Hak Cipta terletak pada ketidaktahuan masyarakat, baik fotografer maupun klien mengenai Undang- Undang Hak Cipta. Saudari Nyimas juga mengatakan bahwa banyak dari pelanggar hak cipta yang baru mengetahui bahwa perbuatan yang dilakukan olehnya merupakan tindakan yang melawan hukum.

Menurut penulis berdasarkan data hasil penelitian, kendala pengimplementasian perlindungan hak cipta fotografi berdasarkan Undang- Undang Hak Cipta sebagian besar terdapat pada fotografer sendiri selaku pencipta dan pemilik dari karya cipta tersebut.

Kendala pertama terdapat pada kurang sadarnya fotografer terhadap peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai hak cipta fotografi di media sosial. Beberapa fotografer yang penulis wawancarai tidak tahu mengenai hak-hak fotografer sebagai subjek hak cipta yang dilindungi oleh Undang-Undang. Setiap warga negara atau khususnya pada penelitian ini fotografer dapat melihat dan mempelajari peraturan perundang-undangan dalam Lembaran Berita Negara. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 1 Tahun 2007

(29)

tentang Pengesahan, Pengundangan, dan Penyebarluasan Peraturan Perundang-undangan berwenang melakukan pengundangan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia, Berita Negara Republik Indonesia, dan Tambahan

Berita Negara Republik Indonesia.

(http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/pengundangan-dan-

penyebarluasan.html, diakses pada tanggal 1 Mei 2019, pukul 20:21 WIB).

Undang-Undang Hak Cipta menegaskan hal tersebut dalam Pasal 126, yakni : “Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang- Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.”. Menurut penulis, sebagai fotografer yang merupakan sebuah profesi sudah seharusnya fotografer mengetahui hak dan kewajiban sebagai fotografer, apabila terjadi pembajakan atau pelanggaran hukum fotografer dapat dengan mudah menuntut kerugian atau bahkan mengajukan laporan pelanggaran tindak pidana hak cipta.

Perlu diketahui bahwa secara umum pelanggaran Hak Cipta dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian pokok, yakni pelanggaran Hak Cipta dari aspek keperdataan dan pelanggaran Hak Cipta dari aspek pidana.

Pelanggaran Hak Cipta dari aspek pidana mengandung arti adanya suatu pelanggaran hukum yang dapat berdampak pada kepentingan negara, sementara pelanggaran Hak Cipta dari aspek keperdataan mengandung arti adanya suatu pelanggaran hukum yang mengakibatkan kerugian kepada pemegang Hak Cipta. (Henry Soelistyo, 2011:hlm.23)

Kedua, menurut hasil wawancara penulis kendala pengimplementasian Undang-Undang Hak Cipta adalah prilaku pembiaran yang dilakukan oleh fotografer sebagai subjek hukum yang dilanggar. Fotografer yang dilanggar merasa perbuatan pembajakan yang dilakukan pelanggar adalah hal yang lumrah dan tidak merasa dirugikan, padahal menurut penulis jika

(30)

hal kecil terus dibiarkan akan menuntun pada perbuatan melanggar hukum yang lebih besar.

Penegakan hukum menjadi hal yang harus dilakukan apabila tidak ingin adanya perbuatan melanggar hukum di kemudian hari. Menurut penulis efek jera dari pelanggar hak cipta diharapkan lewat penegakan hukum yang baik. Soerjono Soekanto mengatakan bahwa penegakan hukum adalah kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah/pandangan-pandangan nilai yang mantap dan mengejewantah dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara, dan mempertahankan kedamaian hidup. (Soerjono Soekanto, 2010:hlm.5). Secara umum, sebagaimana dikemukakan oleh Soerjono Soekanto, ada lima faktor yang mempengaruhi penegakan hukum, yaitu: faktor hukumnya sendiri, penegak hukum, sarana atau fasilitas, masyarakat, dan kebudayaan. Kelima faktor tersebut saling berkaitan dengan eratnya, oleh karena merupakan esensi dari penegakan hukum, juga merupakan tolok ukur daripada efektivitas penegakan hukum.

(Soerjono Soekanto, 2010:hlm.9). Dari klasifikasi yang dikemukakan Soerjono Soekanto penegakan hukum mengenai hak cipta fotografi tidak berjalan baik karena faktor masyarakat dan kebudayaan yang cenderung membiarkan praktik pelanggaran Hak Cipta terjadi.

3. Peran Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta dalam Pengimplementasian Perlindungan Fotografi di Media Sosial menurut Fotografer

Dalam kesempatan wawancara, saudara Janu mengatakan Undang- Undang Hak Cipta belum dirasa berperan melindungi karya cipta di media sosial. Pemerintah dianggap tidak memandang masalah mengenai pelanggaran hak cipta di media sosial adalah hal penting. Profesi fotografer dianggap tidak menjadi konsentrasi utama negara dan pemerintah. Janu sebagai fotografer yang aktif di media sosial berharap untuk pemerintah lebih menganggap keberadaan fotografer menjadi sebuah profesi yang tidak kalah penting dengan pegawai negeri sipil atau profesi lainnya dengan

(31)

pembentukan Undang-Undang yang lebih mengatur dan memperhatikan profesi fotografer yang aktif di media sosial.

Yusuf menjelaskan, menurutnya Undang-Undang Hak Cipta belum berperan melindungi karya cipta fotografi lewat pasal-pasal yang ada, karena belum adanya pengaturan rinci mengenai permasalahan fotografi di media online khususnya media sosial. Selain itu, terdapat kesulitan pada saat terjadi pelanggaran hak cipta, menurut Yusuf, kewenangan Pengadilan Niaga dalam menangani perkara Hak Cipta membuat fotografer atau pencipta yang dibajak karyanya menjadi terhambat karena persyaratan acara peradilan niaga yang berbeda dan lebih rumit dengan pengadilan negeri yang lebih umum dalam menangani perkara-perkara yang ada. Menurut penulis pendapat Yusuf dapat dimengerti, mengenai perbedaan yang ada pada pengadilan niaga

Menurut Saudari Nyimas, Undang-Undang Hak Cipta sudah berperan melindungi Fotografer yang aktif di Instagram. Permasalahannya terletak pada pengimplementasian yang tidak efektif karena kurangnya pengetahuan fotografer dan masyarakat yang kurang baik mengenai Undang-Undang Hak Cipta yang membuat UUHC terasa tidak efektif berperan dalam melindungi hak cipta di media sosial. Pada hakikatnya, Undang-Undang diciptakan untuk mengatur suatu hal atau suatu permasalahan yang ada. Undang- Undang Hak Cipta diciptakan untuk mengatur serta melindungi perihal hak cipta di Indonesia. Mengenai perihal peran Undang-Undang Hak Cipta dalam praktiknya bisa diketahui dari para subjek hukum Undang-Undang Hak Cipta, salah satunya fotografer. Menurut penulis, peran Undang- Undang Hak Cipta dirasa belum maksimal dikarenakan masih banyaknya fotografer yang merasa belum dilindungi oleh Undang-Undang Hak Cipta.

Dari tiga fotografer yang penulis wawancarai, dua fotografer mengatakan belum merasakan Undang-Undang Hak Cipta berperan melindungi hak cipta fotografi di media sosial.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada pengaruh penerapan model pembelajaran Student Teams Achievement Divisions ( STAD ) terhadap keaktifan dan hasil belajar

Gambar 5 merupakan grafik perbandingan performansi dengan mode pengujian pembagian prosentase menggunakan tools Orange yang menunjukkan bahwa algoritma NN

Pupuk anorganik (X 4 ) diperoleh nilai elastisitasnya dalam budidaya usahatani cabai rawit sebesar 2 0,096, hal ini berarti bahwa apa bila pupuk anorganik mengalami

Serapan hara K pada perlakuan petani (tanpa pupuk N+30 kg/ha SP-36 + 30 kg/ha KCl +1 t/ha pukan-petani, dan tanpa N, P, K+Nodulin+P-alam (setara ½ takaran

Hasil penelitian (1) rerata N-Gain kelas eksperimen adalah 60 dengan kategori sedang dan kelas kontrol adalah 20 dengan kategori rendah, (2) hasil belajar berbeda

Prodi Perpajakan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sultan Ageng

Pilih “soft file Proposal Bantuan Stimulus (file format PDF) dengan ukuran maksimal 5 (lima) Mega Byte”→ (“klik tombol Upload”) → lihat status dokumen.. Jika seluruh

[r]