• Tidak ada hasil yang ditemukan

REPRESENTASI KENAKALAN REMAJA DALAM FILM “LIAR”. (Studi Semiologi Tentang Representasi Kenakalan Remaja Dalam Film “Liar” Pada Tokoh Indra dan Bayu).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "REPRESENTASI KENAKALAN REMAJA DALAM FILM “LIAR”. (Studi Semiologi Tentang Representasi Kenakalan Remaja Dalam Film “Liar” Pada Tokoh Indra dan Bayu)."

Copied!
146
0
0

Teks penuh

(1)

S K R I P S I

Diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan memperoleh Gelar Sarjana pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP)

UPN “Veteran” Jawa Timur

Oleh :

DIMAS ARIEF HADIANTO

0543010119

YAYASAN KEJUANGAN PANGLIMA BESAR SUDIRMAN UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL

“VETERAN” JAWA TIMUR

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK JURUSAN ILMU KOMUNIKASI

(2)

S K R I P S I

Diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan memperoleh Gelar Sarjana pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP)

UPN “Veteran” Jawa Timur

Oleh :

DIMAS ARIEF HADIANTO

0543010119

YAYASAN KEJUANGAN PANGLIMA BESAR SUDIRMAN UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL

“VETERAN” JAWA TIMUR

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK JURUSAN ILMU KOMUNIKASI

SURABAYA 2010

(3)

Disusun Oleh :

DIMAS ARIEF HADIANTO

0543010119

Telah disetujui untuk mengikuti Ujian Skripsi

Menyetujui, Dosen Pembimbing

Drs. Kusnarto, M.Si. NIP. 030 176 735

Mengetahui, D E K A N

Dra. Ec. Hj. Suparwati, M.Si. NIP. 030 175 349

(4)

DIMAS ARIEF HADIANTO

0543010119

Telah dipertahankan di hadapan dan diterima oleh Tim Penguji Skripsi Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur Pada Tanggal 15 April 2010

Dosen Pembimbing Tim Penguji :

1.

Drs. Kusnarto, M.Si. Juwito, S.Sos., M.Si. NIP. 030 176 735 NPT. 367.049.500.361.

2.

Drs. Kusnarto, M.Si. NIP. 030 176 735 3.

Zainal Abidin Achmad, M.Si., M.Ed. NPT. 373.039.901.701.

Mengetahui, D E K A N

Dra. Ec. Hj. Suparwati, M.Si. NIP. 030 175 349

(5)

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui representasi kenakalan remaja dalam film “liar” pada tokoh Indra dan Bayu.

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan beberapa teori, antara lain adalah teori kenakalan remaja, teori semiologi Roland Barthes dan teori pendekatan semiotika dalam film milik John Fiske sebagai teori pendukung.

Metodologi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan metode penelitian kualitatif.

Data-data yang dianalisis tersebut dilakukan dengan menggunakan metode semiologi Roland Barthes melalui konsep peta tanda yang melibatkan beberapa hal (subyek), yaitu petanda, penanda, tanda denotatif, penanda konotatif, dan petanda konotatif.

Dari hasil pembahasan dan analisis data yang telah dilakukan, maka peneliti menyimpulkan bahwa film “liar” ini paling banyak merepresentasikan kenakalan remaja tingkat biasa, yaitu perkelahian dan tawuran yang diperankan oleh tokoh Indra dan Bayu.

Kata kunci : Representasi, Semiologi, Kenakalan Remaja, Film, Liar.

ABSTRACT

DIMAS ARIEF HADIANTO. REPRESENTATION OF NAUGTHYNESS TEENANGER IN FILM “LIAR”. (Study Semiology About Representation Of Naugthyness Teenanger In Film “liar”at the figure agreat by Indra and Bayu).

The purpose from this research is for to know representation of naugthyness teenanger in film “liar” at the figure agreat by Indra and Bayu.

In this research, researcher to use several theory, among other things are naugthyness teenanger’s theory, Roland Barthes semiology’s theory, and John Fiske semiotic’s theory.

Method of reseacrh which to use in this research is to use method of research kualitative.

The files which to analisys that to doing with method Roland Barthes semiology to pass trought map sign concept which to involve several case, these are signified, signifier, denotative sign, connotative signifier, and connotative signified.

From product discuss and analisys files which have to doing, therefore researcher to conclussion that, in this film “liar” the most to representation of naugthyness teenanger common (normal) level, that is to fight which to play a role by figure of Indra and Bayu.

Keywords : Representation, Semiology, Naugthyness Teenanger, Film, Wild.

(6)

Bismillahirrohmanirrohim.

Subhanallah Walhamdulillah Walla’illaha’ilallah Huallahu’akbar.

Alhamdulillahirabbil’aalamiin. Segala puji bagi Allah SWT, serta

shalawat dan salam yang senantiasa penulis ucap dan tujukan kepada Baginda Rasul, Nabi Besar Muhammad SAW. Do’a dan harapan selalu penulis panjatkan kepada Allah SWT, Sang Maha Kuasa dan Maha Pemberi Kemudahan atas segala urusan Umat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “REPRESENTASI KENAKALAN REMAJA DALAM FILM LIAR” ini dengan baik.

Sesungguhnya, kebanggaan dalam diri penulis bukanlah terletak pada terselesaikannya skripsi ini, melainkan lebih kepada keberhasilan dalam menundukkan diri sendiri. Rasa syukur, haru, dan bangga berselimutkan kerendahan hati mengiringi sembah sujud penulis atas pengakuan Kebesaran dan Kemulian-Nya yang telah memberikan rahmat dan hidayah kepada penulis.

Fokus, konsentrasi penuh, menjaga kondisi fisik agar tetap fit, sampai pada hal-hal yang sifatnya “sensitif”, seperti kesabaran dan selalu berikhtiar, serta senantiasa bermunajat memohon kemudahan kepada Allah SWT menjadi sangat penting selama proses penyelesaian skripsi ini.

Dari lubuk hati terdalam, penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada pribadi-pribadi yang telah dengan tulus bersedia meluangkan waktu untuk

(7)

seharusnya penulis ucapkan terima kasih pula kepada :

1. Mami dan “Mama” tercinta. Terima kasih atas support-nya, baik secara moril, do’a, maupun materi (finansial). Wabil-khusus untuk almr. Papi dan “Papa” tercinta, penulis yakin bahwa beliau tersenyum bahagia “di sana” karena keinginan beliau melihat putranya lulus dan diwisuda Insya’ Allah akan segera terpenuhi, meskipun beliau hanya bisa melihat dari “alam yang berbeda”. Terima kasih atas ketulusan cinta dan kasih sayang yang tak berkesudahan di sepanjang hidup penulis. “Ma’afkan jika diri ini terlalu sering mengecewakan hati, ma’afkan juga atas ketidakpekaan diri akan tetesan peluh dan air mata sebagai wujud cinta. Semoga diri ini masih diberikan kesempatan untuk berbagi kebahagiaan meski pilar cinta sejati hanya tinggal satu sayap. I love you Mam, I love you Pap.”

2. Ibu Dra. Ec. Hj. Suparwati, M.Si., selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UPN “Veteran” Jawa Timur.

3. Bapak Juwito, S.Sos., M.Si., selaku Kepala Program Studi Ilmu Komunikasi dan Bapak Drs. Saifuddin Zuhri, M.Si., selaku Sekretaris Program Studi Ilmu Komunikasi. Terima kasih atas bimbingan dan arahannya selama ini

(8)

kesabaran dan keikhlasan dalam membimbing serta mengarahkan penulis selama proses bimbingan hingga terselesaikannya skripsi ini dengan baik. Terima kasih juga atas penyegaran rohani yang telah diberikan sehingga penulis tetap sabar dan istiqomah dalam menjalani ujian hidup yang “belum seberapa” ini.

5. Ibu Dra. Dyva Claretta, M.Si., selaku Dosen Wali yang telah dengan sabar bersedia meluangkan waktunya untuk membantu masalah penulis selama kuliah di Jurusan Ilmu Komunikasi tercinta ini. Terima kasih atas “wejangan-wejangan” yang Insya’ Allah sangat bermanfaat dan nantinya dapat menjadi bekal ilmu, serta pegangan hidup penulis ke depan.

6. Tim Penguji, Bapak Juwito, S.Sos., M.Si., Bapak Drs. Kusnarto, M.Si., dan Bapak Zainal Abidin Achmad, M.Si., M.Ed., terutama atas masukan dan diskusinya selama proses sidang skripsi.

7. Seluruh Dosen di jurusan Ilmu Komunikasi, yaitu Bapak Ir. Didiek Tranggono, M.Si., Ibu Dra. Sumardjijati, M.Si., Bapak DR. Catur Suratnoaji, M.Si., Ibu Yuli Candrasari, S.Sos., M.Si., Ibu Dra. Herlina, S., M.Si., Ibu Dra. Yudiana, M.Si., Ibu Dra. Diana Amalia, M.Si., Bapak Irwan, S.Sos., dan Ibu Syafrida, S.Sos. atas bimbingan dan didikannya kepada penulis selama ini.

(9)

yang brillian kepada penulis. “Thank’s for all, bi...”.

9. Teman-teman senasib dan seperjuangan di Jurusan Ilmu Komunikasi. Untuk Indra Mahardika, Bintari Setyorini, Ikrar Garetha alias “gundul”, Nadya, dan Zulfikar Bachtiar. Terima kasih atas segala kritik yang membangun, saran, bantuan, dan support-nya selama ini, baik do’a maupun moril.

10. Yang penulis hormati, Bapak Drs. H. Sugiyarto (Om) dan Ibu Christien Nursihany (Tante), serta Keluarga Besar Soekowirno, khususnya kagem Eyang Putri Soekarmiati. Terima kasih karena selama ini selalu memberikan do’a, semangat, bantuan, dan perhatiannya kepada penulis. Untuk adek Bagus, “Makasih buat do’anya”.

11. Especially for Gita Kristiana Pratiwi, yang Insya’ Allah akan menjadi Pendamping Hidup penulis kelak. Terima kasih atas support-nya selama ini kepada penulis, baik do’a, moril, maupun kesabaran yang tulus ikhlas. Terima kasih juga telah menjadi “malaikat penolong” dari kehidupan hati yang kelam dan hampir tak berguna karena kebodohan yang menyesatkan.

12. Terakhir, kepada seluruh pihak (pribadi-pribadi) yang tidak mungkin penulis sebutkan satu per satu. Terima kasih banyak atas

(10)

berucap “Sukron.. Sukron.. Sukron..”, dan mohon ma’af lahir batin bila diri ini selalu menyakiti atau menyinggung hati.”

Penulis sepenuhnya sangat menyadari, masih banyak sekali terdapat kekurangan dalam penyusunan skripsi ini. Oleh karena itu, segala bentuk saran dan kritik yang membangun sangatlah diharapkan oleh penulis dengan tangan terbuka.

Skripsi ini merupakan wujud dari keyakinan yang kuat, dedikasi yang setinggi-tingginya, dan kecintaan penulis terhadap kemajuan dunia pendidikan serta ilmu pengetahuan. Harapan besar penulis, semoga skripsi ini dapat memberikan partisispasi pengetahuan dan manfaat kepada semua pihak, khususnya di Jurusan Ilmu Komunikasi.

Surabaya, Maret 2010 Penulis,

Dimas Arief Hadianto

(11)

HALAMAN JUDUL…...………i

HALAMAN PERSETUJUAN..………....ii

HALAMAN PENGESAHAN….………..iii

ABSTRAKSI………..iv

KATA PENGANTAR..………..v

DAFTAR ISI.………...x

DAFTAR TABEL………...xiii

DAFTAR LAMPIRAN..………...xiv

BAB I PENDAHULUAN..………1

1.1. Latar Belakang Masalah………...1

1.2. Perumusan Masalah…....………10

1.3. Tujuan Penelitian………11

1.4. Manfaat Penelitian………..11

1.4.1. Manfaat Teoritis………11

1.4.2. Manfaat Praktis……….11

BAB II KAJIAN PUSTAKA……...………....12

2.1. Landasan Teori………...……….12

2.1.1. Film Sebagai Komunikasi Massa.………12

2.1.2. Film Sebagai Realitas Sosial………....13

(12)

2.1.6. Representasi…………...………..17

2.1.7. Respon Psikologi Warna………..20

2.1.8. Semiotika atau Semiologi……….21

2.1.9. Model Semiologi Roland Barthes……….………...24

2.1.10. Pendekatan Semiotika dan Semiologi Dalam Film………....31

2.2. Kerangka Berpikir………...40

BAB III METODOLOGI PENELITIAN.……….42

3.1. Metode Peneltian………...………...42

3.2. Kerangka Konseptual………..44

3.2.1. Korpus………..44

3.3. Definisi Operasional………...45

3.3.1. Representasi………...45

3.3.2. Kenakalan Remaja………...46

3.3.3. Film……….……….48

3.3.4. Liar.………..49

3.4. Unit Analisis………...50

3.5. Teknik Pengumpulan Data……….51

3.6. Teknik Analisis Data………..51

(13)

4.1.2. Penyajian Data……….56

4.2. Analisis Data………...69

4.2.1. Pada Level Realitas dan Level Representasi………...69

4.2.1.1. Analisis Kode Pembacaan Terhadap Representasi Kenakalan Remaja yang Ditampilkan Oleh Tokoh Indra dan Bayu………70

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN……….118

5.1. Kesimpulan………...118

5.2. Saran……….118

DAFTAR PUSTAKA.………119

LAMPIRAN-LAMPIRAN...………...121 – 128

(14)

Tabel 1. Tabel kode pembaca, lexia, scene, dialog, dan sifat dari bentuk kenakalan yang ditampilkan oleh tokoh

Indra dan Bayu………...57 Tabel 2. Tabel gambar atau visualisasi scene dan lexia

sebagai penunjang Tabel 1………....71

(15)

Gambar 1. Representasi Kenakalan Remaja yang Diperankan dan Dilakukan Oleh Indra, Yaitu Balap Motor Liar

di Jalanan (Scene 1)

………...121 Gambar 2. Representasi Kenakalan Remaja yang Diperankan

dan Dilakukan Oleh Indra Dalam Usahanya Menolong Seorang Ibu Bersama dengan Anaknya yang Menjadi Korban Perampokan dari Geng Motor “Macan”

(Scene 5)………...122 Gambar 3. Representasi Kenakalan Remaja yang Diperankan

dan Dilakukan Oleh Indra, yaitu Terlibat Perkelahian serta Pengeroyokan dari Geng Motor “Macan”

(Scene 9)………...122 Gambar 4. Representasi Kenakalan Remaja yang Diperankan dan

Dilakukan Oleh Indra, yakni Indra Menjadi Korban Pengeroyokan dari Geng Motor “Macan” karena Imbas

dari Kekalahan Balap Motor (Scene 19) ……….123 Gambar 5. Representasi Kenakalan Remaja yang Diperankan dan

Dilakukan Oleh Bayu, yaitu Bayu Terlibat Perkelahian dengan Teman Sekolahnya dan Mengakibatkan Bayu

(16)

di Jalanan (Scene 28)……… 124

Gambar 7. Representasi Kenakalan Remaja yang Diperankan dan Dilakukan Oleh Indra Pada Saat Mengantarkan Makanan (Fast-Food), yaitu Mengendarai Motornya dengan Kecepatan Melebihi Batas Paling Tinggi Sehingga Sepeda Motornya Hampir Menabrak Mobil

(Scene 32)……….124 Gambar 8. Representasi Kenakalan Remaja yang Diperankan

dan Dilakukan Oleh Bayu Bersama dengan Teman-temannya, yakni Mengadakan Taruhan Uang Pada Saat

Balapan Motor (Scene 35)……… 125

Gambar 9. Representasi Kenakalan Remaja yang Diperankan dan Dilakukan Oleh Bayu, yaitu Ketika Terlibat Adu Mulut serta Perkelahian (Tawuran) dengan Geng Motor “Macan” karena Memperebutkan Sepeda Motor Milik

Bayu (Scene 38)………...125 Gambar 10. Representasi Kenakalan Remaja yang Diperankan

dan Dilakukan Oleh Bayu, yaitu Kebut-kebutan

(17)

Dilakukan Bayu Bersama Teman-temannya, yakni Terlibat Perkelahian (Tawuran) untuk Balas Dendam kepada Geng

Motor “Macan” (Scene 80)………..126 Gambar 12. Representasi Kenakalan Remaja yang Diperankan

dan Dilakukan Oleh Indra, yaitu Indra Menjadi Korban Pengeroyokan dalam Perkelahian dengan Geng Motor

“Macan” (Scene 84)………...127 Gambar 13. Representasi Kenakalan Remaja yang Diperankan dan

Dilakukan Oleh Indra serta Bayu, Dimana Mereka Berdua Terlibat Perkelahian Sendiri karena Kesalahpahaman

Antara Keduanya (Scene 86)……… 127

Gambar 14. Representasi Kenakalan Remaja yang Diperankan dan Dilakukan Indra Pada Saat Membalas Dendam atas Perlakuan Geng Motor “Macan”, Dimana Perkelahian itu

Menyebabkan atau Berujung Kematiannya (Scene 98)………...128 Gambar 15. Representasi Kenakalan Remaja yang Diperankan

dan Dilakukan Bayu Pada Saat Membela/Membantu Indra dalam Bentrok dengan Geng Motor “Macan”

(Scene 99)………...128

(18)

1.1. Latar Belakang Masalah

Salah satu apresiasi masyarakat terhadap relevansi realitas dalam kehidupan saat ini adalah dalam bentuk film. Film merupakan sekian dari beberapa media untuk menyampaikan pesan. Film adalah salah satu bentuk karya seni yang telah menjadi fenomena dalam kehidupan modern, setelah ditemukan media untuk mengapresiasikannya. Sebagai obyek seni abad ini, film dalam prosesnya berkembang menjadi salah satu bagian dari kehidupan sosial, yang tentunya memiliki pengaruh yang cukup signifikan pada manusia sebagai penonton atau pemirsa.

Film juga merupakan sebuah karya seni mutakhir pada abad 20 yang dapat menghibur, mendidik, melibatkan perasaan, merangsang pikiran, dan memberikan dorongan terhadap penontonnya. Pengaruh terhadap khalayak luas sebagai penonton ini lebih jauh, misalnya sebuah film dapat menjadi media untuk menghibur masyarakat dalam bentuk komedi, atau bisa juga untuk mendidik masyarakat melalui film dokumenter, dan lain sebagainya (Irawanto, 1999 : 45).

Dunia film, pada dasarnya juga merupakan sebuah bentuk pemberian informasi kepada masyarakat. Film juga memiliki kebebasan dalam menyampaikan informasi atau pesan dari seorang pembuat sineas kepada penonton. Kebebasan dalam hal ini adalah film seringkali secara

(19)

lugas dan jujur menyampaikan sebuah pesan, informasi, atau suatu karakter tertentu. Sementara itu di pihak lain, film juga terkadang disertai tendensi tertentu, misalnya ingin mendeskripsikan suatu tema sentral.

Secara umum, film dikelompokkan menjadi dua bagian besar, yaitu film cerita dan film non cerita. Film cerita adalah film yang menyajikan kepada public atau khalayak sebuah cerita dan mengandung unsur-unsur yang menyentuh rasa manusia. Film bersifat auditif visual, artinya film tersebut dapat disajikan kepada publik atau khalayak dalam bentuk gambar yang dapat dilihat dan suara yang dapat didengar.

Selain didukung audio, film juga dilengkapi dengan visualisasi gambar sehingga suatu pesan yang disampaikan kepada khalayak luas khususnya penonton dapat benar-benar dipahami. Namun demikian, untuk bisa memahami realitas sosial budaya yang terekam di dalam sebuah film tentu saja memerlukan data yang hanya dapat diperoleh dengan menggunakan metode tertentu. salah satu pengumpulan data yang dapat digunakan adalah observation ex post facto, yakni pengamatan terhadap suatu peristiwa / fenomena / gejala-gejala melalui media perekam jejak-jejak dari peristiwa / fenomena / gejala itu sendiri, baik dalam bentuk rekaman visual berupa gambar atau foto maupun rekaman audio visual berupa film (Irawanto, 1999 : 52).

(20)

dapat memilih fakta-fakta yang relevan dengan masalah penelitian. Oleh karena itu maka ada baiknya jika saat kita menyaksikan untuk pertama kalinya, perhatian lebih diarahkan pada usaha untuk mendapatkan data umum tentang film itu dan sekaligus melakukan kritik terhadap film tersebut.

Peranan media film dengan fasilitas audio visual untuk memaparkan realitas sosial tidak dapat diabaikan. Sebab gambar, apalagi yang didukung dengan suara seperti dalam sebuah film, lebih mampu “berbicara” dan menyatakan banyak hal dibandingkan hanya dengan kata-kata. Keajaiban kedua media tersebut terletak pada kemampuannya untuk mengabadikan yang tidak dapat diucapkan dan yang seharusnya dijaga dalam diam. Film sebagai seni yang sangat kuat pengaruhnya, dapat memperkaya pengalaman hidup seseorang, dan bisa menutupi segi-segi kehidupan yang lebih dalam. Film selalu diwaspasai karena kemungkinan pengaruhnya juga buruk. Pada tahun 1993, dunia perfilman dicemaskan oleh kekerasan yang seringkali ditampilkan dalam film-film di televisi ataupun di bioskop-bioskop secara vulgar. Namun demikian, film-film tersebut tetap disajikan dalam konteks yang fiktif atau karangan skenario belaka (Irawanto, 1999 : 78 – 79).

(21)

menyampaikan suatu pesan atau setidaknya memberikan pengaruh kepada khalayak luas untuk bertindak sesuatu (Effendy, 2003 : 108).

Film itu sendiri mempunyai banyak unsur, yaitu seks, kejahatan atau kriminalitas, roman, kekerasan, rasisme, sejarah, maupun suatu pelanggaran-pelanggan tertentu (Effendy, 2003 : 115 – 116). Pelanggaran-pelanggaran tersebut seringkali terjadi dalam realitas kehidupan masyarakat sekarang ini, seperti geng-geng motor khususnya di Surabaya yang cenderung meresahkan masyarakat. Mulai dari balapan liar atau kebut-kebutan di jalanan, minum minuman keras bahkan menjurus anarkis, seperti perkelahian dan tawuran. Celakanya, pembalap liar di jalanan tersebut banyak didominasi oleh remaja-remaja yang masih duduk di bangku sekolah SMP dan SMA. Dalam konteks kebut-kebutan di jalan raya, gerombolan geng motor tersebut jelas merupakan salah satu dari sekian macam bentuk kenakalan remaja. Hal tersebut jelas melanggar peraturan undang-undang lalu lintas no. 22 tahun 2009 tentang lalu lintas yang mengatur ketentuan-ketentuan atau sanksi bagi pelanggar lalu lintas, khususnya kegiatan-kegiatan yang dapat membahayakan nyawa seseorang atau para pengguna jalan.

(22)

287 ayat 1 yang menyatakan setiap pengendara yang melanggar rambu-rambu lalu lintas, termasuk marka jalan akan dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua) bulan atau denda paling banyak Rp. 500 (http://detik.com/index.php/topik/21/02/2009/).

Sementara itu dilihat dari sudut pandang agama, Islam memang tidak secara khusus mengatur bagaimana seorang muslim berperilaku saat berkendara. Namun, ada prinsip-prinsip dasar dalam Islam yang apabila ditaati akan menimbulkan sikap dan perilaku yang baik dalam berlalu lintas. Sabar dan tidak tergesa-gesa merupakan sifat mulia yang diajarkan Rasulullah SAW. Sebagaimana Beliau pernah bersabda : “Sesunggunya dalam dirimu terdapat dua sifat yang dicintai oleh Allah, yaitu sabar dan tidak tergesa-gesa” (HR. Bukhari dalam al-adabul al-mufrad no. 586, dan Syekh al-albani mengatakan bahwa hadis ini shahih). Akhlak yang sempurna mencerminkan tingginya moral dan nilai-nilai kemanusiaan, termasuk di dalamnya adalah menghormati, menyayangi, dan menghargai orang lain, tidak menindas yang lemah, mendahulukan yang lebih berkepentingan, serta berlaku sopan santun kepada sesama umat manusia (http://www.alifmagz.com/wp/2009/04/30/perilakuberkendaradancitraprib adimuslim/).

(23)

kisah percintaan. Film ini menceritakan tentang perjuangan dua anak muda, yakni Indra yang diperankan Irgi Ahmad Fahrezy sebagai kakak dan Bayu yang diperankan Raffi Ahmad sebagai adik yang ingin mewujudkan cita-cita mereka untuk menjadi seorang pembalap yang sesungguhnya.

Konflik utama pada film yang ditulis Cassandra Massardi ini bermula dari ketertarikan mereka pada dunia balap yang ternyata mendorong mereka untuk mengikuti ajang balapan liar di jalanan, hingga mereka mengalami sebuah konflik rivalitas atau permusuhan dengan sebuah geng motor yang bernama geng motor “macan”. Hal itu pula yang menyebabkan nyawa mereka nyaris terenggut. Meskipun pada akhir cerita dalam film ini, berujung pada kematian Indra, yaitu sang kakak (http://buayafilm.blogspot.com/2008/07/liar-film-apa-film-liar.html/).

Jika diamati, selain kental dengan nuansa kekerasan di dalamnya, film ini juga memperlihatkan sebuah bentuk pelanggaran-pelanggaran tergambar pada tokoh Indra dan Bayu, seperti balap motor liar di jalanan, berkelahi, tawuran, termasuk melawan atau tidak patuh terhadap nasehat orang tua. Hal ini apabila dikorelasikan ke dalam kehidupan sehari-hari, maka akan terlihat dengan sangat jelas bahwa di dalam film ini terdapat relevansi dengan kenakalan remaja pada jaman sekarang ini.

(24)

sosial. Akibatnya, remaja tersebut mengembangkan bentuk perilaku yang menyimpang. Dalam pengertian lain, kenakalan remaja merupakan suatu kumpulan dari berbagai perilaku remaja yang tidak dapat diterima secara sosial sehingga terjadi tindakan kriminal. Sedangkan dalam Bakolak Inpres no. 6/1977 buku pedoman 8, menyatakan bahwa kenakalan remaja adalah kelainan tingkah laku atau tindakan remaja yang bersifat anti sosial, melanggar norma sosial, agama, dan ketentuan hukum yang berlaku di masyarakat.

Singgih D. Gumarso (1988 : 19), mengatakan dari segi hukum, kenakalan remaja digolongkan dalam dua kelompok yang berkaitan dengan norma-norma hukum, yaitu kenakalan yang bersifat amoral atau sosial dan tidak “diantar” dalam undang-undang sehingga tidak dapat atau sulit digolongkan sebagai pelanggaran hukum dan kenakalan yang bersifat melanggar hukum dengan penyelesaian sesuai dengan undang-undang dan hukum yang berlaku sama dengan perbuatan melanggar hukum bila dilakukan.

(25)

penyalahgunaan narkotika, hubungan seks diluar nikah, pemerkosaan dan lain lain. Kategori di atas yang dijadikan ukuran kenakalan remaja dalam penelitian ini.

Dalam KUHP Belanda (WvS) tahun 1886, sebelum sampai ke Indonesia tahun 1918, dikenal 3 macam delik, yaitu: kejahatan (crimes), perbuatan buruk (delits), dan pelanggaran (contravention). Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) negara kita, terbagi kepada 3 bagian, yakni buku kesatu (aturan umum), buku kedua (kejahatan), dan buku ketiga (pelanggaran). Dari pembagian tersebut tentu saja akan menegaskan bahwa kejahatan dan pelanggaran adalah dua hal yang berbeda.

Menurut sebuah teori klasik, kejahatan adalah suatu perbuatan yang sebelum perbuatan itu diatur dalam undang-undang, telah dipandang sebagai perbuatan yang pantas untuk dipidana atau dikenakan hukuman. Contohnya adalah membunuh, mencuri, dan sebagainya. Sedangkan pelanggaran adalah perbuatan yang dianggap sebagai perbuatan yang pantas dihukum karena telah ada undang-undang yang melarangnya. Contohnya adalah tidak memakai helm ketika berkendaraan. Tentu saja orang-orang tidak akan menganggap hal tersebut sebagai kejahatan yang patut dihukum, namun karena ada undang-undang yang mengaturnya maka perbuatan tersebut dapat dipidana.

(26)

KUHP Indonesia perbedaan antara kejahatan dan pelanggaran terletak pada berat ringannya dampak atau kerusakan yang ditimbulkan sehingga hukumannya pun akan disesuaikan dengan kerusakan yang ditimbulkan. Dengan kata lain, pada umumnya kejahatan diancam dengan hukuman yang lebih berat dari pelanggaran. Hal ini terlihat jelas dalam KUHP, disana terlihat bahwa semua pelanggaran akan dikenakan sanksi denda yang rendah dan hukuman kurungan. Perlu diketahui disini, bahwa hukuman kurungan dan hukuman penjara tidaklah sama. Perbedaannya adalah hukuman penjara maksimal 15-20 tahun atau seumur hidup, sedangkan pidana atau hukuman kurungan lama maksimalnya adalah 1 tahun. Pidana penjara diberlakukan bagi pelaku tindak pidana berat (kejahatan), sedangkan pidana kurungan diberlakukan bagi pelaku tindak pidana ringan (pelanggaran). Pidana penjara tidak dapat diganti dengan denda, sedangkan pidana kurungan dapat diganti dengan denda. Misalnya, jika si pelaku tidak mampu membayar denda, maka si pelaku tersebut dapat diganti dengan hukuman atau pidana kurungan (http://wordpress.com/2009/02/24/perbedaanantarakejahatandenganpelang garan/).

(27)

orang tua kepada anaknya, yang sampai saat ini masih sangat dipercaya oleh masyarakat bahwa nasehat orang tua tersebut adalah merupakan suatu kebenaran atau kebaikan. Namun dengan semakin berkembang dan kritisnya pemikiran anak terhadap dunia luar, maka dari sisi seorang anak, nasehat orang tua tersebut belum tentu semuanya benar. Terbukti, masih banyaknya anak yang menjadi “pemberontak” yang meninggalkan rumah setelah bertengkar dengan orang tua dan mencari kesenangan di luar rumah.

Fenomena keseharian tersebut seringkali luput dari perhatian, meskipun pada dasarnya mitos (myths) yang dibangkitkan oleh sistem tanda yang luas, dapat membentuk budaya atau pola pikir masyarakat (Roland Barthes, 1954 – 1965 dalam Alex Sobur, 2006 : 43 – 44).

Oleh karena itu dari berbagai fenomena yang ada dan telah dijelaskan di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian terhadap film “liar” ini. Penelitian sistem tanda, yang salah satunya adalah untuk melihat bagaimana sang movie maker memberikan makna lewat filmnya. Seperti apa penggambaran fenomena ke dalam sistem tanda komunikasi, dan bagaimana menganalisa sistem tanda komunikasi pada film “liar” ini dengan menggunakan metode semiologi dari Roland Barthes.

1.2. Perumusan Masalah

(28)

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui representasi kenakalan remaja dalam film “liar”.

1.4. Manfaat Penelitian 1.4.1. Manfaat Teoritis

Untuk menambah literatur dalam studi penelitian kualitatif Ilmu Komunikasi, khususnya mengenai analisa atau analisis dengan menggunakan metode pendekatan semiologi Roland Barthes dalam film “liar” ini.

1.4.2. Manfaat Praktis

(29)

2.1. Landasan Teori

2.1.1. Film Sebagai Komunikasi Massa

Pengertian film menurut Undang-Undang nomor 8 tahun 1992, pasal 1 tentang perfilman, adalah sebuah karya cipta dalam bentuk seni dan budaya yang merupakan media komunikasi massa, baik pandang maupun dengar yang dibuat berdasarkan asas sinematografi yang kemudian direkam pada pita seluloid, pita, video, dan/atau bahan hasil penemuan teknologi lainnya dalam segala bentuk, jenis, dan ukuran melalui proses kimiawi, proses elektronik, atau proses lainnya, dengan atau tanpa suara yang dapat dipertunjukkan dan/atau ditayangkan dengan sistem proyeksi mekanik, elektronik, dan/atau lainnya (http://www.theceli.com/dokumen/produk/1992/uu8-1992.htm/).

Film cerita adalah jenis film yang mengandung suatu cerita, yaitu yang lazim dipertunjukkan di gedung-gedung bioskop dengan para bintang filmnya yang tenar (terkenal). Film ini didistribusikan sebagai barang perdagangan dan diperuntukkan bagi masyarakat dimana saja (Effendy, 2003 : 211). Film berperan besar sebagai sarana baru yang digunakan untuk menyebarkan hiburan yang telah menjadi kebiasaan terdahulu, dan menyajikan cerita, peristiwa, musik, drama, lawak, serta sajian teknis lainnya kepada masyarakat umum (McQuail, 1994 : 13).

(30)

2.1.2. Film Sebagai Realitas Sosial

Film adalah potret atau cerminan dari masyarakat tempat film tersebut dibuat. Film selalu merekam realitas yang tumbuh dan berkembang dalam kehidupan masyarakat, yang kemudian diproyeksikan ke dalam layar (Irawanto, 1993 : 13 dalam Alex Sobur, 2001 : 127).

Film adalah dokumen kehidupan sosial sebuah komunitas. Film mewakili realitas kelompok masyarakat pendukungnya, baik realitas dalam bentuk imajinasi maupun realitas dalam arti sebenarnya. Film menunjukkan pada kita jejak-jejak yang ditinggalkan pada masa lampau dan bagaimana cara menghadapi masa kini serta keinginan manusia terhadap masa yang akan datang. Sehingga dalam perkembangannya film bukan lagi sekedar usaha menampilkan “citra bergerak” (moving images), melainkan telah diikuti oleh muatan-muatan kepentingan tertentu seperti politik, kapitalisme, hak asasi manusia atau gaya hidup. Film juga sudah dianggap bisa mewakili citra atau identitas komunitas tertentu, bahkan bisa membentuk komunitas sendiri karena sifatnya yang universal. Meskipun demikian, film juga bukan tidak menimbulkan dampak negatif (http://situskunci.tripod.com/teks/htm/).

2.1.3 Pengertian Kenakalan Remaja

(31)

mengembangkan bentuk perilaku yang menyimpang. Kenakalan remaja juga bisa diartikan sebagai perilaku menyimpang atau tingkah laku yang tidak dapat diterima sosial sampai pelanggaran status hingga tindak kriminal.

Dalam pengertian lain, kenakalan remaja merupakan suatu kumpulan dari berbagai perilaku remaja yang tidak dapat diterima secara sosial sehingga terjadi tindakan kriminal. Kenakalan remaja itu sendiri meliputi semua perilaku yang menyimpang dari norma hukum pidana yang dilakukan oleh seorang anak atau remaja, yang perilaku tersebut akan merugikan dirinya sendiri serta orang-orang sekitarnya (http://www.anneahira.com/narkona.index.htm).

Sementara itu, dalam Bakolak inpres no. 6/1977 buku pedoman 8, dijelaskan bahwa kenakalan remaja adalah kelainan tingkah laku atau tindakan remaja yang bersifat anti sosial, melanggar norma sosial, agama, dan ketentuan hukum yang berlaku dalam masyarakat.

2.1.4. Faktor Pendorong Kenakalan Remaja

(32)

Namun demikian, kenakalan remaja tersebut tidak serta merta dapat dibebankan kepada seorang anak itu sendiri karena terdapat andil beberapa pihak yang juga turut menyebabkan kenakalan remaja itu bisa terjadi.

Beberapa faktor penyebab terjadinya kenakalan remaja, diantaranya faktor internal (dari dalam diri remaja itu sendiri), meliputi krisis identitas, yaitu perubahan biologis dan sosiologis dalam diri remaja tersebut dapat memungkinkan terjadinya dua bentuk integrasi. Pertama, terbentuknya perasaan akan konsistensi dalam kehidupannya. Kedua, kenakalan remaja terjadi karena gagal mencapai integrasi tahap kedua. Serta kontrol diri yang lemah, yakni remaja tersebut tidak dapat mempelajari dan membedakan tingkah laku yang dapat diterima dengan yang tidak dapat diterima akan menyeret mereka pada perilaku “nakal”. Begitupun halnya dengan mereka yang telah mengetahui perbedaan kedua tingkah laku tersebut, namun tidak bisa mengembangkan kontrol diri untuk bertingkah laku dengan baik sesuai dengan pengetahuan yang dimilikinya.

(33)

memberikan pendidikan agama yang cukup, atau penolakan terhadap eksistensi seorang anak juga bisa menjadi penyebab terjadinya kenakalan remaja. Serta faktor lingkungan/tempat tinggal yang kurang baik, dalam hal ini adalah seorang teman atau pergaulan dengan teman sebaya yang kurang baik. Seringkali istilah rasa solidaritas, rasa ingin diterima, atau bahkan hanya dijadikan sebagai “topeng” untuk menghalalkan kenakalan remaja dengan cara-cara atau perilaku yang jelas-jelas menyimpang (http://www.wikimu.com/News/DisplayNews.aspx?id=12915).

2.1.5. Jenis-jenis atau Bentuk Kenakalan Remaja

Menurut bentuk atau jenis dari kenakalan remaja, Sunarwijati (1985), membagi kenakalan remaja ke dalam tiga tingkatan, yaitu :

1. Kenakalan tingkat biasa, seperti perkelahian, tawuran, suka keluyuran, berbohong, bolos sekolah, dan melawan orang tua.

2. Kenakalan tingkat sedang, menjurus pada pelanggaran, seperti mengendarai kendaraan bermotor melebihi batas kecepatan paling tinggi atau paling rendah (kebut-kebutan), berkendara (sepeda motor atau mobil) tanpa kelengkapan berkendara (SIM, STNK, dan lain-lain), dan segala bentuk perjudian.

(34)

yang dapat menyebabkan hilangnya nyawa seseorang atau pembunuhan.

Kategori-kategori tersebut di atas dapat dijadikan sebagai sebuah ukuran dari kenakalan remaja dalam suatu penelitian atau research (http://helda.info/2009/06/kenakalan-remaja).

Mengenai normal atau tidaknya perilaku kenakalan remaja yang dilakukan tersebut, Soerjono Soekanto dalam bukunya yang berjudul “Rules of Sociological Method” menjelaskan bahwa perilaku menyimpang atau kenakalan dalam batas-batas tertentu dikatakan normal karena tidak mungkin menghapusnya secara tuntas. Artinya, apabila kenakalan tersebut tidak menimbulkan keresahan masyarakat, dan terjadi dalam batas-batas tertentu, dengan melihat pada konteks perbuatan yang tidak disengaja, maka dapat dikatakan perilaku kenakalan tersebut bersifat normal. Jadi, kebalikan dari perilaku yang dianggap normal yaitu perilaku kenakalan atau kejahatan yang disengaja dan meninggalkan atau mengakibatkan keresahan di dalam masyarakat, maka perilaku tersebut bersifat tidak normal (Soekanto, 1985 : 73).

2.1.6. Representasi

(35)

dialog, tulisan, video, film, fotografi, dan sebagainya. Secara ringkas, representasi diartikan sebagai produksi makna melalui tanda atau dalam bentuk bahasa.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, dijelaskan bahwa representasi memiliki arti yaitu perwakilan atau yang mewakili atau yang diwakilkan. Perwakilan atau mewakili sesuatu yang bermakna (Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, Cetakan II, Departemen Pendidikan Nasional, 2002 : 950).

Sementara itu, menurut Stuart Hall (1997), representasi adalah salah satu praktek penting yang memproduksi kebudayaan. Kebudayaan merupakan konsep yang sangat luas dan menyangkut “pengalaman berbagi”. Sedangkan dikatakan berasal dari kebudayaan yang sama jika manusia-manusia yang ada di suatu tempat membagi pengalaman yang sama, membagi kode-kode kebudayaan yang sama, berbicara dalam “bahasa” yang sama, dan saling berbagi konsep-konsep yang sama.

Stuart Hall juga mengemukakan bahwa representasi dibagi menjadi dua proses. Pertama, representasi mental, yaitu konsep tentang “sesuatu” yang ada di kepala kita masing-masing yang sering disebut dengan peta konseptual. Representasi mental ini masih berbentuk sesuatu yang abstrak.

(36)

menghubungkan konsep ide-ide tentang sesuatu dengan tanda dan simbol-simbol tertentu.

Proses pertama memungkinkan kita untuk memaknai dunia dengan mengkonstruksi seperangkat rantai korespondensi antara sesuatu dengan sistem peta konseptual. Sedangkan dalam proses kedua, kita mengkonstrusikan seperangkat rantai korespondensi antara peta konseptual dengan bahasa atau simbol yang berfungsi merepresentasikan konsep-konsep tentang sesuatu. Relasi antara “sesuatu”, “peta konseptual”, dan “bahasa atau simbol” merupakan jantung dari produksi makna melalui bahasa. Proses yang menghubungkan ketiga elemen secara bersama-sama inilah yang kita namakan representasi.

Konsep representasi bisa berubah-ubah dan selalu ada pemaknaan baru serta pandangan baru dari konsep representasi yang sudah pernah ada. Intinya adalah makna yang tidak inheren dalam sesuatu di dunia ini, selalu dikonstruksikan dan diproduksi melalui proses representasi tersebut. Konsep representasi adalah hasil dari praktek penandaan, yang kemudian praktek tersebut dapat membentuk atau membuat sesuatu hal bermakna sesuatu.

(37)

2.1.7. Respon Psikologi Warna

Warna merupakan simbol yang dapat dijadikan sebagai suatu penandaan terhadap sesuatu hal. Warna dapat dianggap pula sebagai suatu fenomena psikologi. Berikut adalah respon psikologi dari masing-masing warna :

1. Merah : Power, energi, kehangatan, cinta, nafsu, agresi, bahaya. Merah jika dikombinasikan dengan putih akan mempunyai arti “bahagia” pada konteks budaya oriental.

2. Biru : Kepercayaan, konservatif, keamanan, teknologi, kebersihan dan keteraturan. 3. Hijau: Alami, sehat, keberuntungan, dan

pembaharuan.

4. Kuning : Optimis, harapan, filosofi, ketidakjujuran, pengecut (pada konteks budaya barat), dan pengkhianatan.

5. Ungu dan Jingga : Spiritual, misteri, kebangsawanan, transformasi, kekerasan, dan keangkuhan.

6. Orange : Energi, keseimbangan, dan kehangatan 7. Coklat : Tanah/bumi, reability, comfort, dan daya

(38)

8. Abu-abu : Intelek, masa depan (seperti warna milenium), kesederhanaan, dan kesedihan,

9. Putih : Kesucian, kebersihan, ketepatan, ketidakbersalahan, steril, dan kematian. 10. Hitam : Power, seksualitas, kecanggihan,

kematian, misteri, ketakutan, kesedihan, dan keanggunan.

(http://www.toekangweb.or.id/07/tipsbentukwarna.html/11/01/2009/12.45 wib/).

2.1.8. Semiotika atau Semiologi

Dilihat dari sudut pandang etimologis, istilah “semiotika” itu sendiri berasal dari bahasa Yunani, “semeion” yang berarti “tanda”. “Tanda” tersebut didefinisikan sebagai sesuatu atas dasar konvensi sosial yang sudah terbangun sebelumnya, dan dapat dianggap mewakili sesuatu yang lainnya (Eco, 1979 : 16 dalam Alex Sobur, 2006 : 95).

Sementara itu secara terminologis, semiotik dapat didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari sederetan luas obyek-obyek, peristiwa-peristiwa, dan seluruh kebudayaan sebagai suatu tanda (Eco, 1976 : 6 dalam Alex Sobur 2001 : 95).

(39)

tanda, meliputi cara berfungsinya, pengirimannya, dan penerimaannya oleh mereka yang mempergunakannya.

Semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda. Tanda-tanda adalah perangkat yang dipakai oleh manusia dalam upaya mencari jalan di dunia ini, di tengah-tengah manusia, dan bersama-sama dengan manusia lainnya. Tanda (sign) adalah basis dari seluruh komunikasi (Littlejohn, 1996 : 64 dalam Alex Sobur, 2006 : 15). Banyak hal yang bisa dikomunikasikan oleh manusia dengan sesamanya melalui perantara tanda-tanda di dunia ini. “Tanda” pada masa itu masih bermakna sesuatu hal yang menunjuk pada adanya hal lain. Jika diterapkan pada tanda-tanda bahasa, maka huruf, kata, dan kalimat tidak memiliki arti pada dirinya sendiri. Tanda-tanda itu hanya mengemban arti (significant) dalam kaitan dengan pembacanya. Pembaca itulah yang menghubungkan tanda dengan apa yang ditandakan (signifie) sesuai dengan konvensi dalam sistem bahasa yang bersangkutan.

(40)

sesungguhnya tidak saling berseteru, dan tidak saling beroposisi, tetapi justru saling mengisi dan melengkapi.

Dewasa ini, kajian semiotika dibedakan menjadi dua jenis, yaitu semiotika komunikasi, yang identik dengan jejak pemikiran Charles Sanders Pierce dan semiotika signifikasi, yang identik dengan pemikiran bahasa Ferdinand de Saussure. Semiotika komunikasi menekankan pada teori tentang produksi tanda yang salah satu di antaranya adalah mengkonsumsi adanya enam faktor dalam konumikasi, yakni pengirim, penerima kode (sistem tanda), pesan, saluran komunikasi, dan acuan hal yang sedang dibicarakan. Sedangkan semiotika signifikasi lebih menekankan pada segi pemahaman suatu tanda sehingga proses kognisinya pada penerima tanda lebih diperhatikan daripada proses komunikasinya (Jakobson, 1963 dalam Alex Sobur, 2006 : 15).

Sementara itu, semiotika atau dalam istilah Roland Barthes, semiologi, pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana manusia (humanity) memaknai sesuatu hal atau hal-hal (things). Memaknai (to sinify), dalam hal ini tidak dapat dicampuradukkan dengan mengkomunikasikan (to communicate). Memaknai berarti bahwa obyek-obyek tidak hanya membawa informasi, dalam hal obyek-obyek-obyek-obyek itu hendak berkomunikasi, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda (Barthes, 1988 : 179 dalam Alex Sobur, 2006 : 15).

(41)

semiotika atau semiologi itu sebagai suatu ilmu atau proses yang berhubungan dengan tanda (sign).

2.1.9. Model Semiologi Roland Barthes

Roland Barthes adalah seorang intelektual dan kritikus sastra asal Perancis yang ternama. Barthes juga seorang pemikir strukturalis yang getol mempraktekkan (lebih menekankan) model linguistik dan semiologi Ferdinand de Saussure atau yang sering disebut Saussurean.

Linguistik merupakan ilmu tentang bahasa yang berkembang dalam menyediakan metode dan peristilahan dasar yang dipakai oleh seorang semiotikus untuk mempelajari semua sistem tanda sosial lainnya. Semiologi adalah ilmu tentang bentuk, sebab ia mempelajari pemaknaan secara terpisah dari kandungannya, dan seseorang diberikan kebebasan untuk memaknai sebuah tanda (Kurniawan, 2001 : 156).

Karya seni menurut Shldosvsky adalah karya-karya yang diciptakan melalui teknik-teknik khas yang dirancang sedemikian rupa sehingga menjadi karya yang seartistik mungkin. Pendekatan karya strukturalis memberikan perhatian terhadap kode-kode yang digunakan untuk menyusun makna. Strukturalisme merupakan suatu pendekatan yang secara khusus memperhatikan struktur karya sastra atau seni. Fenomena kesastraan dan estetika didekati sebagai suatu sistem tanda (Budiman, 2003 : 11).

(42)

kebudayaan Barthes sangat luas, meliputi kesustraan, perfilman, busana, dan berbagai fenomena kebudayaan lainnya. Sedangkan obyek-obyek heterogen meliputi sebuah bahasa isyarat, sebuah film, kepingan musik, sebuah gambar iklan, dan sebagainya.

Signifier atau penanda adalah bunyi yang bermakna atau coretan yang bermakna, yakni apa yang dikatakan dan apa yang ditulis atau dibaca. Sedangkan signified atau petanda adalah gambaran mental, yakni pikiran atau konsep dari bahasa (Kurniawan, 2001 : 30).

Sementara itu, dalam setiap terbitannya, Barthes selalu membahas tentang “Mythology of the Month” atau mitologi bulan ini. Sebagian besar menunjukkan bagaimana aspek denotatif tanda-tanda dalam budaya menyingkap konotasi yang pada dasarnya adalah mitos-mitos (myths) yang dibangkitkan oleh sistem tanda, yang lebih luas dan membentuk masyarakat. Dalam setiap esensinya pun, Barthes membahas fenomena sehari-hari yang memang luput dari perhatian. Ia juga menguraikan dan menunjukkan bahwa konotasi yang terkandung dalam mitologi-mitologi tersebut biasanya merupakan hasil konstruksi yang cermat (Cobley & Jansz, 1999 : 43 – 44 dalam Alex Sobur, 2006 : 68).

(43)

Sistem tersebut dibangun di atas sistem lain yang telah ada sebelumnya, yang secara tegas mitosnya ia bedakan dari “denotatif” atau sistem pemaknaan tataran pertama.

Maka dari itu, Barthes menciptakan peta tentang bagaimana tanda bekerja, yang sering disebut dengan peta tanda Roland Barthes sebagai berikut :

Gambar 2.1. Peta Tanda Roland Barthes

Dari peta tanda Roland Barthes di atas, terlihat bahwa tanda denotatif (3) terdiri dari penanda (1) dan petanda (2). Namun, pada saat bersamaan, tanda denotatif juga merupakan penanda konotatif (4). Dengan kata lain, hal tersebut merupakan unsur material. Jadi dalam konteks Barthes, tanda konotatif tidak sekedar memiliki makna tambahan, tetapi juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaannya (Alex Sobur, 2006 : 69).

Signifier (penanda)

Signified (petanda)

Denotative sign (tanda denotatif)

CONNOTATIVE SIGNIFIED (PENANDA KONOTATIF)

CONNOTATIVE SIGNIFIER (PETANDA KONOTATIF)

(44)

Konotasi identik dengan operasi ideologi yang disebut sebagai “mitos” dan berfungsi untuk mengungkapkan serta memberikan pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu. Di dalam mitos juga terdapat pola tiga dimensi yaitu penanda, petanda, dan tanda. Sebagai suatu sistem yang unik, mitos dibangun oleh suatu rantai pemaknaan yang telah ada sebelumnya. Dengan kata lain, mitos adalah suatu sistem pemaknaan tataran kedua. Di dalam mitos pula, sebuah petanda dapat memiliki beberapa penanda.

Mitos menurut Barthes adalah sebuah sistem komunikasi yang dengan demikian dia adalah sebuah pesan. Mitos kemudian tidak mungkin dapat menjadi sebuah obyek, sebuah konsep, atau sebuah ide, sebab mitos merupakan sebuah mode penindasan berupa sebuah “bentuk”. Mitos sebagai sebuah “bentuk”, tidak dibatasi oleh obyek pesannya, tetapi dengan cara apa mitos menuturkan pesan tersebut. Dengan demikian, ada batas-batas formal dari mitos, tetapi tidak ada batasan yang “substansial” (Kurniawan, 2001 : 183 – 184).

(45)

merasuk ke dalam teks berbentuk penanda-penanda penting, seperti sebuah tokoh, sudut pandang, dan lain-lain (Alex Sobur, 2006 : 71).

Pada dasarnya ada perbedaan antara denotasi dan konotasi dalam pengertian secara umum serta denotasi dan konotasi yang dimengerti oleh Barthes. Dalam pengertian secara umum, denotasi biasanya dipahami sebagai makna harfiah atau makna yang “sesungguhnya”, bahkan dirancukan dengan referensi atau acuan. Proses signifikasi secara tradisional yang disebut sebagai denotasi ini biasanya mengacu kepada penggunaan bahasa dengan arti yang sesuai berdasarkan apa yang terucap. Namun dalam semiologi Roland Barthes dan para pengikutnya, denotasi merupakan sistem signifikasi tingkat pertama dan konotasi sebagai sistem signifikasi tingkat kedua.

(46)

makna dari pembaca itu akan menghasilkan kejamakan. Para semiolog dan pembaca kemudian bertugas menunjukkan sebanyak mungkin makna yang dihasilkan. Barthes menyebut proses ini sebagai semiologi yang memasuki “dapur makna” (Kurniawan, 2001 : 93 – 94).

Dalam bukunya yang terkenal, S / Z (1970), Barthes berupaya mengeksplisitkan kode-kode narasi yang berlaku dalam suatu naskah realis. Barthes berpendapat bahwa Sarrasine ini terangkai dalam kode rasionalisasi, yaitu suatu proses yang mirip dengan retorika tentang lima kode. Dan lima kode yang ditinjau oleh Roland Barthes adalah :

1. Kode hermeneutik atau kode teka-teki

Yaitu berkisar pada harapan pembaca untuk mendapatkan “kebenaran” bagi pertanyaan yang muncul dalam teks. Kode teka-teki merupakan unsur struktur utama dalam narasi tradisional, yang di dalamnya terdapat suatu kesinambungan antara permunculan suatu peristiwa teka-teki dan penyelesaiannya dalam cerita tersebut.

2. Kode semik atau kode konotatif

(47)

pula. Dalam kode ini, Barthes menganggap denotasi sebagai konotasi yang paling kuat dan paling akhir.

3. Kode simbolik

Kode ini merupakan suatu pengkodean fiksi yang paling struktural atau tepatnya menurut konsep Barthes, pasca struktural. Hal ini didasarkan pada gagasan yang menyatakan bahwa makna berasal dari beberapa pembedaan, baik pada taraf bunyi menjadi fonem dalam proses produksi wicara maupun pada taraf oposisi psikoseksual yang melalui proses. Dalam teks verbal, perlawanan yang bersifat simbolik dapat dikodekan melalui istilah-istilah retoris, seperti antitesis yang merupakan hal istimewa dalam sistem simbol Barthes.

4. Kode proaretik atau kode tindakan/lakuan

Barthes menganggap kode ini sebagai perlengkapan utama dalam teks yang dibaca orang. Artinya, semua teks bersifat naratif. Suatu perlawanan yang sifatnya dapat menimbulkan dampak atau akibat, karena semua alur lakuan dapat dikodifikasikan. Kita mengenal kode lakuan atau peristiwa karena kita dapat memahaminya.

5. Kode gnomik atau kode kultural

(48)

tradisional didefinisikan oleh Roland Barthes terhadap acuan apa yang telah diketahui. Rumusan suatu budaya atau sub budaya adalah hal-hal kecil yang telah dikodifikasikan dan di atasnya lah para penulis bertumpu.

Sesungguhnya, inilah sumbangan pemikiran Roland Barthes yang sangat berarti bagi penyempurnaan semiotika Saussure, yang hanya membahas pada penandaan dalam tataran pertama, yaitu denotatif (Alex Sobur, 2006 : 65 – 66).

2.1.10. Pendekatan Semiotika atau Semiologi Dalam Film

Menurut John Fiske, dalam bukunya berjudul “Cultural and Communication Studies”, dijelaskan bahwa terdapat dua perspektif dalam mempelajari ilmu komunikasi. Perspektif pertama yaitu dengan melihat komunikasi sebagai transmisi pesan. Sedangkan perspektif kedua yaitu dengan cara melihat komunikasi sebagai produksi dan pertukaran makna. Khusus bagi perspektif yang kedua, studi komunikasi adalah studi tentang teks dan kebudayaan, dengan menggunakan metode-metode studi yang utama, yaitu semiotika atau ilmu tentang tanda dan makna (John Fiske, 2007 : 9).

(49)

berkomunikasi karena pemahaman yang berbeda antara pengirim pesan dan penerima pesan. Meskipun demikian, yang ingin dicapai adalah signifikasinya dan bukan kejelasan sebuah pesan yang disampaikan. Untuk itulah pendekatan yang berasal dari perspektif tentang teks dan budaya ini dinamakan pendekatan semiotik.

Definisi semiotik secara umum adalah studi mengenai tanda-tanda. Studi ini tidak hanya mengarah pada “tanda” dalam kehidupan sehari-hari, tetapi juga tujuan dibuatnya tanda-tanda tersebut. Bentuk-bentuk tanda disini antara lain berupa kata-kata, images, suara, gesture, dan obyek. Bila kita pelajari, tanda itu sendiri tidak bisa memisahkan tanda yang satu dengan tanda yang lain, yang membentuk suatu sistem, dan kemudian disebut sistem tanda. Lebih sederhananya, semiotik mempelajari bagaimana sistem tanda membentuk sebuah makna. Menurut John Fiske dan John Hartlye, konsentrasi semiotik adalah pada hubungan yang timbul antara sebuah tanda dan makna yang dikandungnya, juga tentang bagaimana tanda-tanda tersebut dikomunikasikan dalam bentuk kode-kode (Chandler, 2002 : www.aber.ac.uk).

(50)

penandaan. Oleh karena itu, menurut Van Zoest, bersamaan dengan tanda-tanda arsitektur, terutama indeksikal, dalam film digunakan tanda-tanda-tanda-tanda ikonis, yaitu tanda-tanda yang menggambarkan sesuatu (Van Zoest, 1993 : 109 dalam Alex Sobur, 2006 : 128). Ciri-ciri gambar dalam film adalah persamaan dengan realitas yang ditunjukkannya. Gambar-gambar yang dinamis dalam film merupakan ikonis bagi realitas yang dinotasikannya.

Yang penting dalam sebuah film adalah gambar dan suara, yaitu kata-kata atau kalimat yang diucapkan, ditambah dengan suara-suara lain, termasuk di dalamnya adalah musik film yang serentak mengiringi gambar tersebut.

Menurut Fiske, dalam bukunya yang berjudul “Television Cultural”, analisis semiotik pada sinema atau film layar lebar (wide screen) disetarakan dengan analisis film yang ditayangkan di televisi. Selain itu, John Fiske juga mengkategorikan tanda (sign) pada film ke dalam tiga ketegori, yaitu kode-kode sosial (social codes), kode-kode teknis (technical codes), dan kode-kode representasi (representational codes). Kode-kode tersebut bekerja dalam sebuah struktur hierarki yang kompleks (John Fiske, 1990 : 40 dalam Mawardhani, 2006 : 39). Analisis yang dilakukan pada film “liar” ini dibagi menjadi 2 (dua) level, yaitu :

1. Level realitas (reality)

(51)

sebagainya yang dipahami atau dimengerti sebagai kode budaya yang ditangkap secara elektronik melalui kode-kode teknis (John Fiske, 1990 : 40). Kode-kode sosial yang merupakan sebuah realitas dan yang diteliti di dalam penelitian ini dapat berupa :

a. Penampilan kostum dan make-up yang digunakan oleh pemain dalam film “liar”. Dalam penelitian ini, terdapat dua tokoh yang menjadi obyek penelitian, yaitu tokoh Indra dan Bayu. Bagaimana pakaian dan tata rias yang mereka gunakan, apakah kostum dan make-up yang ditampilkan tersebut memberikan signifikasi tertentu menurut kode sosial atau kultural.

b. Lingkungan atau setting yang ditampilkan dari keseluruhan cerita tersebut, yaitu tentang bagaimana simbol-simbol yang ditonjolkan, dan fungsi serta makna di dalamnya.

c. Dialog, yaitu berupa makna dari kata-kata atau kalimat-kalimat yang diucapkan dalam dialog atau percakapan pada film tersebut.

2. Level representasi (representation)

(52)

Bentuk-bentuk representasi dapat berupa cerita, konflik, karakter, action, dialog, setting, casting, dan sebagainya (http://www.questia.com). Level representasi meliputi : a. Teknik pengambilan gambar pada kamera.

Ada empat jenis shot gambar yang paling dasar, yakni : 1. Long shot, yaitu shot gambar yang jika obyeknya

adalah manusia, maka dapat diukur antara lutut kaki hingga sedikit ruang di atas kepala. Dari jenis shot ini dapat dikembangkan lagi menjadi extreme long shot, mulai dari sedikit ruang di bawah kaki hingga ruang tertentu di atas kepala. Pengambilan gambar dengan cara ini menggambarkan dan memberikan informasi kepada penonton tentang penampilan tokoh tertentu termasuk body language, ekspresi tubuh, gerak cara berjalan, dan sebagainya mulai dari ujung rambut sampai kaki yang kemudian mengarah pada karakter serta situasi dan kondisi yang sedang terjadi pada adegan tersebut.

(53)

samping kanan kiri. Pengambilan gambar dengan cara ini menggambarkan dan memberikan informasi kepada penonton tentang ekspresi dan karakter secara lebih dekat dibandingkan long shot.

3. Close-Up, yaitu shot gambar yang jika obyeknya adalah manusia, maka dapat diukur dari bahu hingga sedikit ruang di atas kepala. Pengambilan gambar close-up ini menggambarkan dan memberikan informasi kepada penonton tentang penguatan ekspresi atau emosional serta dialog penting untuk lebih diperhatikan penonton.

4. extreme close-up, yakni menggambarkan secara detail tentang ekspresi pemain dari suatu peristiwa (spesifikasinya pada ekspresi tubuh, contohnya mata, bibir, tangan, dan sebagainya).

b. Pencahayaan

(54)

melukis dengan cahaya. Namun dalam perkembangan bertutur dengan gambar, ternyata fungsinya berkembang semakin banyak dan mampu menjadi informasi waktu, menunjang mood atau atmosphere set, serta mampu untuk menunjang dramatik adegan (Biran, 2006 : 43).

c. Penata suara

Dalam penelitian ini, peneliti hanya akan mambahas lebih lanjut penggunaan voice over yang seringkali dimunculkan dalam beberapa scene pada film “liar”. Voice over adalah suara-suara di luar kamera berupa narasi atau penuturan seorang tokoh (Effendy, 2003 : 155). Voice over sering digunakan sebagai penjelasan suatu cerita yang berasal dari sudut pandang orang pertama.

Terdapat beberapa jenis dalam penataan atau penggunaan suara, yakni :

(55)

tertentu, dan menghubungkan bagian-bagian (sequences), serta program secara bersamaan. 2. Sound effect : untuk memberikan tambahan ilusi

pada suatu kejadian atau peristiwa.

3. Music : untuk mempertahankan kesan dari suatu fase atau bagian untuk mengiringi sebuah adegan, dan warna emosional pada musik, serta turut mendukung keadaan emosional dalam suatu adegan tertentu.

d. Teknik editing

1. Cut : perubahan secara tiba-tiba dari suatu pengambilan sudut pandang atau lokasi yang lainnya. Adapun bermacam-macam cut yang mempunyai efek untuk merubah scene, mempersingkat waktu, memperbanyak point of view, dan membentuk kesan terhadap image atau ide.

2. Jump cut : untuk membuat suatu adegan yang dramatis.

(56)

e. Manipulasi waktu

Macamnya adalah sceen time, subjective time, compresses time, simultaneous time, long take, slow motion, replay, flash back, flash forward, overlaping action, universal time, dan ambiguous time.

f. Teknik perpindahan kamera

1. Zoom : perpindahan tanpa memindahkan kamera dan lensa hanya difokuskan untuk mendekati objek. Biasanya untuk memberikan kejutan kepada penonton.

2. Following pan : kamera berputar untuk mengikuti perpindahan obyek. Kecepatan perpindahan terhadap obyek menghasilkan mood tertentu yang menunjukkan hubungan penonton dengan subyeknya.

(57)

4. Crab : yakni perpindahan kamera dari kiri ke kanan dan sebaliknya.

5. Tilt : yakni naik dan turunnya kamera mengikuti obyek.

g. Gaya bercerita

Macamnya adalah subjective treatment, objective treatment, paralel development, insible editing, mise-en-scene, montage, talk to camera, dan tone.

h. Mise-en-scene

Kode mise-en-scene ialah alat yang digunakan oleh pembuat film untuk merubah dan menyesuaikan pembacaan shot yang akan dilakukan. Mise-En-scene juga digunakan untuk mengungkapkan makna melalui suatu hubungan antara satu adegan yang terlihat dengan adegan lainnya.

Dalam penelitian ini, peneliti tidak membahas lebih lanjut tentang suara dan penataan musik yang ada pada level representasi, karena keduanya dianggap tidak memiliki kaitan langsung terhadap pembahasan representasi kenakalan remaja dalam film “liar”.

2.2. Kerangka Berpikir

(58)

dalam masyarakat masih merupakan realitas kehidupan sosial dengan klasifikasi sifatnya yang berbeda-beda. Mulai dari kenakalan tingkat biasa, kenakalan tingkat sedang, dan tingkat khusus.

Dalam film ini terlihat jelas bahwa representasi kenakalan remaja yang digambarkan pada tokoh Indra dan Bayu tersebut berawal dari ketertarikan dan hobi seorang kakak beradik pada dunia balap. Namun cita-cita mereka tersebut justru merupakan awal dari keseluruhan konflik yang terjadi pada film “liar” ini.

(59)

3.1. Metode Penelitian

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode penelitian kualitatif. Metode penelitian kualitatif ini mempunyai prosedur penelitian yang akan menghasilkan data-data bersifat deskriptif berupa kata-kata lisan, tulisan, dan gambar. Pendekatan dalam metode kualitatif diarahkan pada latar dan individu tersebut secara utuh dan menyeluruh (Moleong, 2005 : 3).

Alasan peneliti menggunakan metode penelitian kualitatif dalam penelitian ini adalah karena penyesuaian atau penerapannya relatif lebih mudah apabila berhadapan dengan kenyataan ganda. Selain itu, metode penelitian kualitatif lebih peka dan lebih dapat menyesuaikan diri dengan banyak penajaman pengaruh bersama serta terhadap pola-pola nilai yang dihadapi (Moleong, 2005 : 5).

Metode penelitian kualitatif lebih banyak digunakan untuk meneliti dokumen yang berupa teks, gambar, simbol, dan sebagainya untuk memahami budaya dari suatu konteks sosial tertentu. Metode penelitian ini merujuk pada metode analisis untuk menanamkan, mengidentifikasi, mengolah, dan menganalisis dokumen-dokumen tersebut sehingga dapat memahami makna serta signifikasinya. Oleh karena itu, dalam merepresentasikan kenakalan remaja dalam film ini, peneliti harus

(60)

benar mengetahui terlebih dahulu tanda-tanda atau simbol-simbol yang terdapat di dalamnya, serta beberapa hal yang harus diperhatikan, yakni pertama adalah konteks atau situasi sosial seputar dokumen (teks) yang diteliti. Dalam hal ini, peneliti diharapkan dapat memahami kealamian (the nature) dan culture meaning atau makna kultural dari sebuah artifak atau teks yang diteliti. Kedua adalah proses tentang bagaimana suatu produksi media atau isi pesannya dikreasikan secara aktual dan diorganisasikan secara bersama. Ketiga adalah emergence, yaitu pembentukan secara gradual atau bertahap dari makna sebuah pesan melalui pemahaman dan interpretasi.

(61)

karena film merupakan bidang kajian yang sangat relevan bagi analisis semiotik atau semiologi.

3.2. Kerangka Konseptual 3.2.1. Korpus

Di dalam penelitian kualitatif, diperlukan adanya suatu pembahasan masalah yang disebut korpus. Korpus adalah sekumpulan bahan terbatas yang ditentukan pada perkembangnnya oleh analisis kesemenaan. Korpus haruslah cukup luas untuk memberikan harapan yang beralasan bahwa unsur-unsur akan memelihara sebuah sistem kemiripan dan perbedaan secara lengkap. Selain itu, korpus juga harus bersifat sehomogen mungkin, khususnya homogen pada taraf waktu atau singkronisasi (Kurniawan, 2001 : 70).

Penelitian kualitatif ini memberikan peluang yang besar bagi dibuatnya interpretasi alternatif. Korpus dalam penelitian pada film “liar” ini dibagi menjadi 2 (dua), yaitu obyek, yang dalam hal ini adalah film “liar” itu sendiri, sedangkan subyeknya adalah scene-scene yang merepresentasikan kenakalan remaja dalam film “liar” tersebut dengan dua tokoh sentralnya, yaitu Indra (kakak) dan Bayu (adik), yang ditonton melalui VCD (Video Compact Disc). Setelah melihat film tersebut secara berulang-ulang, maka peneliti mendapatkan 15 scene yang merepresentasikan kenakalan remaja.

(62)

kehidupan dunia pembalap jalanan yang kental dengan nuansa kekerasan. Jenis film seperti ini sangat berbeda dengan jenis film yang ada di televisi (television film) atau sinetron (sinema elektronik) yang memang dibuat secara khusus untuk siaran televisi. Film “liar” serentak diputar di bioskop-bioskop 21 dan XXI Indonesia pada tanggal 18 Juli 2008.

3.3. Definisi Operasional 3.3.1. Representasi

Representasi berasal dari kata dasar dalam bahasa Inggris “represent” yang bermakna ”stand for”, artinya “berarti” atau ”act as a delegate for”, yang artinya bertindak sebagai perlambang atas sesuatu.

Representasi lebih menekankan pada dua hal, yaitu proses dan produk dari pemaknaan suatu tanda. Representasi juga bisa berarti suatu proses perubahan konsep-konsep ideologi yang abstrak dalam bentuk-bentuk atau rupa yang konkret. Representasi adalah konsep yang digunakan dalam proses sosial pemaknaan melalui sistem penandaan yang tersedia, berupa dialog, tulisan, video, film, fotografi, dan sebagainya.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, dijelaskan bahwa representasi memiliki arti yaitu perwakilan atau yang mewakili atau yang diwakilkan. Perwakilan atau mewakili sesuatu yang bermakna (Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, Cetakan II, Departemen Pendidikan Nasional, 2002 : 950).

(63)

Oleh karena itu, yang dimaksud dengan representasi kenakalan remaja dalam film “liar” melalui kedua tokoh tersebut berarti di dalam film ini terdapat sistem tanda pada kedua tokoh, yakni Indra (kakak) dan Bayu (adik), yang mewakili makna tentang wujud atau bentuk dari kenakalan remaja. Representasi menunjuk pada pemaknaan tanda-tanda yang terdapat dalam film “liar” dengan mengacu pada konsep definisi kenakalan remaja yang hampir semua orang atau manusia pernah mengalaminya, dan pemaknaan simbol-simbol yang terdapat dalam film “liar”.

3.3.2. Kenakalan Remaja

Para ahli pendidikan sependapat bahwa konteks remaja itu sendiri adalah mereka atau seorang anak yang berusia 13 tahun sampai 18 tahun. Sebab pada usia tersebut seorang anak telah melampaui masa kanak-kanak, tetapi mereka masih belum cukup matang untuk dapat dikatakan dewasa. Dengan kata lain, anak-anak seusia mereka bisa dikatakan masih pada tahap atau fase transisi dalam proses pencarian jati diri (identity).

(64)

Kenakalan remaja itu sendiri meliputi semua perilaku yang menyimpang dari norma hukum pidana yang dilakukan oleh anak remaja. Perilaku menyimpang yang dilakukan tersebut akan merugikan dirinya sendiri dan orang-orang di sekitarnya, baik keluarga, teman, dan sebagainya (http://www.anneahira.com/narkona.index.htm).

Dalam Bakolak inpres no. 6/1977 buku pedoman 8, dijelaskan bahwa kenakalan remaja adalah kelainan tingkah laku atau tindakan remaja yang bersifat anti sosial, melanggar norma sosial, agama, dan ketentuan hukum yang berlaku dalam masyarakat.

Sementara itu, ukuran yang digunakan untuk mengetahui kenakalan seperti yang telah disebutkan pada kerangka konsep di atas, Sunarwijati (1985) membedakan ke dalam tiga tingkatan. Pertama, kenakalan tingkat biasa, seperti perkelahian, tawuran, suka keluyuran, dan bolos sekolah, berbohong, dan melawan orang tua.

Kedua, kenakalan yang menjurus kepada pelanggaran atau bisa dikategorikan sebagai kenakalan tingkat sedang, seperti mengendarai kendaraan bermotor (sepeda motor atau mobil) melebihi batas kecepatan paling tinggi atau paling rendah, dan tanpa kelengkapan berkendara (SIM, STNK, dan lain-lain).

(65)

telah diuraikan dapat dijadikan sebagai ukuran kenakalan remaja dalam sebuah penelitian.

Dari penjelasan tersebut, terdapat relevansi dengan implementasinya dalam film “liar”, yaitu perilaku atau tindakan yang dilakukan oleh pemeran tokoh Indra sebagai kakak dan pemeran tokoh Bayu sebagai adik, yaitu balapan motor liar atau kebut-kebutan di jalanan perkelahian, atau bahkan tawuran dapat yang menyebabkan kematian telah dinyatakan dalam film “liar” tersebut pada beberapa scene-nya.

Sementara itu, bicara mengenai normal atau tidaknya perilaku kenakalan remaja yang dilakukan tersebut, Soerjono Soekanto dalam bukunya berjudul “Rules of Sociological Method” menjelaskan bahwa perilaku menyimpang atau kenakalan dalam batas-batas tertentu dikatakan normal karena tidak mungkin menghapusnya secara tuntas. Artinya, apabila kenakalan tersebut tidak menimbulkan keresahan masyarakat, dan terjadi dalam batas-batas tertentu, dengan melihat pada konteks perbuatan yang tidak disengaja, maka dapat dikatakan perilaku kenakalan tersebut bersifat normal. Jadi, kebalikan dari perilaku yang dianggap normal yaitu perilaku kenakalan yang disengaja dan meninggalkan atau mengakibatkan keresahan di dalam masyarakat, maka perilaku tersebut bersifat tidak normal (Soekanto, 1985 : 73).

3.3.3. Film

Gambar

Gambar 2.1.Peta Tanda Roland Barthes
Tabel  2.  Tabel  gambar  atau  visualisasi  scene dan  lexia sebagai
Gambar 4.1. Indra balapan motor liar atau kebut-kebutan di
Gambar  4.2. Indra  terlibat  perkelahian  (tawuran)  dengan
+7

Referensi

Dokumen terkait