• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB VI ANALISIS PROSES PEMBELAJARAN DAN FAKTOR- FAKTOR YANG MEMPENGARUHI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB VI ANALISIS PROSES PEMBELAJARAN DAN FAKTOR- FAKTOR YANG MEMPENGARUHI"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

BAB VI

ANALISIS PROSES PEMBELAJARAN DAN FAKTOR- FAKTOR YANG MEMPENGARUHI

Proses pendidikan melalui pembelajaran menurut Sudjana (2006) adalah interaksi edukatif antara masukan (input) sarana dengan masukan (input) individu melalui kegiatan pembelajaran. Analisis hubungan dilakukan dengan melakukan uji analisis hubungan silang antara proses pembelajaran dengan masukan (input).

Dalam penelitian proses pembelajaran akan dikaji dengan menggunakan peubah kehadiran dan keaktifan. Dari uji hubungan ini terlihat hubungan yang nyata antar satu peubah dengan peubah lainnya.

6.1 Kehadiran dan Faktor yang Mempengaruhinya 6.1.1 Hubungan antara Usia dengan Kehadiran

Hipotesis awal menyatakan bahwa terdapat hubungan yang nyata antara usia dengan kehadiran. Untuk melihat hubungan keduanya, maka dilakukan uji hubungan dengan menggunakan tabulasi silang dan uji statistik Crosstabs- Correlations dengan menggunakan analisis Pearson, antara data ordinal dengan

data rasio. Uji ini dilakukan untuk mengetahui apakah terdapat hubungan antara usia dengan kehadiran. Pengambilan keputusan berdasarkan nilai signifikansi (Asymp. Sig.). Jika Asymp. Sig. lebih besar dari α (0,1) maka H0 diterima, artinya tidak terdapat hubungan antar variabel-variabel yang diuji. Untuk lebih jelasnya, hubungan antara usia dengan kehadiran dapat dilihat pada Tabel 3.

(2)

Tabel 5.Persentase Usia dengan Tingkat Kehadiran di PKBM Negeri 17 Jakarta, 2011

Tingkat Kehadiran

Usia

Rendah (%) Tinggi (%)

Rendah 39,0 50,0

Tinggi 61,0 50,0

Total 100,0

(18)

100,0 (12) Tabel 5 menunjukkan bahwa sebesar 39 persenwarga belajar usia rendah, dalam penelitian ini berumur 20 tahun tahun ke bawah, memiliki tingkat kehadiran yang rendah dan sebesar 61 persen memiliki tingkat kehadiran yang tinggi. Untuk usia dengan kategori tinggi, yaitu berumur 21 tahun ke atas, terdapat 50 persen warga belajar dengan kehadiran rendah dan 50 persen dengan kehadiran tinggi. Angka tersebut menunjukkan kecenderungan yang tidak terlalu berbeda antara usia rendah yang tingkat kehadirannya tinggi dengan usia tinggi dengan tingkat kehadiran yang rendah. Warga belajar yang memiliki usia tinggi yang tingkat kehadirannya tinggi dengan usia tinggi yang memiliki tingkat kehadirannya rendah memiliki jumlah persentasi yang sama yaitu sebesar 50 persen untuk masing-masing kategori. Hal ini disebabkan karena warga belajar dengan usia tinggi sebagian besar sudah memiliki pekerjaan sehingga untuk datang setiap kali ada jadwal pembelajaran di PKBM mereka sudah merasa capek.

Oleh karena itu, frekuensi kedatangan warga belajar ini biasanya hanya dua kali dari 4 kali pertemuan setiap minggunya.

Hasil uji menunjukkan nilai signifikansi (Asymp. Sig.) untuk hubungan antara usia dengan kehadiran sebesar 0,547. Nilai signifikansi 0,547 menunjukkan nilai yang sangat besar, nilai tersebut lebih besar dari α (0,1) maka H0 tidak dapat

(3)

ditolak sehingga berarti tidak terdapat hubungan antara usia dengan kehadiran.

Tidak terdapatnya hubungan nyata antara usia dengan kehadiran dapat disebabkan karena Program Paket C didesain untuk kelompok usia yang beragam mulai dari usia 15-44 tahun dengan karakteristik yang yang sangat beragam. Sasaran Paket C sendiri dari mulai mereka yang lulus Paket B/SMP/MA, belum menempuh pendidikan SMA/setara, putus SMA/setara, tidak menempuh sekolah formal karena pilihan sendiri, tidak dapat bersekolah karena berbagai faktor (potensi, waktu, kondisi geografis, ekonomi, sosial dan hukum, dan keyakinan). Berbagai faktor yang telah disebutkan sebelumnya tersebut menyebabkan aktifitas yang berbeda pula bagi setiap peserta sehingga uji hubungan yang menyatakan faktor umur tidak berhubungan secara nyata dengan kehadiran dapat dipahami.

6.1.2 Hubungan Antara Jenis kelamin dengan Tingkat Kehadiran

Hubungan antara jenis kelamin dengan tingkat kehadiran dilakukan dengan tabulasi silang dan uji korelasi Pearson. Uji ini dilakukan untuk mengetahui apakah ada hubungan antara jenis kelamin dengan tingkat kehadiran.

Hubungan antara jenis kelamin dengan kehadiran diperlihatkan dalam Tabel 6.

Tabel 6. Persentase Jenis Kelamin dengan Tingkat Kehadiran di PKBM Negeri 17 Jakarta, 2011

Tingkat Kehadiran

Jenis Kelamin

Laki-laki (%) Perempuan (%)

Rendah 50,0 33,0

Tinggi 50,0 67,0

Total 100,0

(18)

100,0 (12)

(4)

Tabel 6 menunjukkan bahwa laki-laki dengan persentase kehadiran rendah sama dengan yang tingkat kehadirannya tinggi. Sedangkan untuk perempuan, hasil persentase antara yang tingkat kehadirannya tinggi lebih besar daripada yang persentase kehadirannya rendah. Berdasarkan hasil uji Pearson, jenis kelamin tidak berhubungan secara nyata dengan tingkat kehadiran. Hal ini kemungkinan disebabkan karena program Paket C tidak mengklasifikasikan jenis kelamin dalam proses pembelajaran. Tidak ada hari-hari tertentu dalam proses pembelajaran yang mengkhususkan jenis kelamin tertentu untuk hadir pada hari itu sehingga tidak adanya hubungan antara jenis kelamin dengan tingkat kehadiran dapat dipahami.

Namun bila dikaji lebih lanjut, dalam hasil tabulasi silang terlihat bahwa persentase warga belajar yang berjenis kelamin perempuan memiliki tingkat kehadiran yang lebih tinggi bila dibadingkan dengan warga belajar berjenis kelamin laki-laki. Hal tersebut terjadi karena kemungkinan adanya kecenderungan untuk warga belajar berjenis kelamin perempuan untuk lebih rajin karena faktor- faktor biologis tetapi hal tersebut tidak berengaruh bila berdasarkan uji analisis statistik.

6.1.3 Hubungan Antara Sosial Ekonomi dengan Tingkat Kehadiran

Hubungan antara keadaan sosial ekonomi dengan tingkat kehadiran dilakukan dengan melakukan tabulasi silang dan uji korelasi Pearson. Uji ini dilakukan untuk mengetahui apakah terdapat hubungan yang nyata antara keadaan sosial ekonomi dengan tingkat kehadiran.

Hipotesis awal menyatakan bahwa terdapat hubungan antara sosial ekonomi warga belajar dengan tingkat kehadiran. Diduga bahwa semakin tinggi

(5)

keadaan sosial ekonomi warga belajar maka akan semakin tinggi pula tingkat kehadiran warga belajar dalam mengikuti kegiatan pembelajaran di dalam kelas.

Hasil tabulasi silang antara keadaan sosial ekonomi dengan tingkat kehadiran disajikan dalam Tabel 7.

Tabel 7 menunjukkan bahwa sebesar untuk warga belajar dengan tingkat sosial ekonomi yang rendah, 43 persen warga belajar memiliki tingkat kehadiran yang rendah dan 57 persen memiliki tingkat kehadiran yang tinggi. Sedangkan untuk warga belajar dengan keadaan sosial ekonomi tinggi, terdapat 44 persen tingkat kehadiran warga belajar yang rendah dan 56 persen tingkat kehadiran tinggi. Angka persentase di atas menunjukkan bahwa keadaan sosial ekonomi tidak ada hubungannya dengan tingkat kehadiran warga belajar dalam proses pembelajaran. Hal ini diperkuat dengan hasil uji Pearson yang menunjukkan Asymp. Sig. yang sangat tinggi yaitu sebesar 0,961. Angka Asymp. Sig. tersebut

sangat jauh berbeda dengan α yang nilainya 0,1. Nilai tersebut menguatkan H0 yang menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan antara keadaan sosial ekonomi dengan tingkat kehadiran warga belajar dalam proses pembelajaran.

Tabel 7. Persentase Tingkat Sosial Ekonomi dengan Tingkat Kehadiran Warga Belajar di PKBM Negeri 17 Jakarta, 2011

Tingkat Kehadiran

Tingkat Sosial Ekonomi

Rendah (%) Tinggi (%)

Rendah 43,0 44,0

Tinggi 57,0 56,0

Total 100,0

(14)

100,0 (16)

(6)

Hal ini menunjukkan bahwa PKBM Negeri 17 telah menjalankan tugasnya dengan baik, karena tidak membedakan antara keadaan sosial ekonomi rendah maupun keadaan sosial ekonomi tinggi. Seluruh lapisan masyarakat diterima dan diberikan pengajaran yang sama yang dalam prakteknya diserahkan kembali kepada warga belajar untuk rajin dalam setiap pertemuan pembelajaran atau tidak.

6.1.4 Hubungan Antara Motivasi dengan Tingkat Kehadiran

Motivasi berasal dari dua kata “motif” dan “asi” (actio). Motif berarti dorongan dan asi berarti usaha sehingga motivasi bermakna usaha yang dilakukan manusia untuk menimbulkan dorongan melakukan tindakan (Soedijanto, 1994).

Menurut Arden N Frendsen, terdapat beberapa motif yang mendorong orang untuk belajar, diantaranya adalah: sifat ingin tahu, kreatif, keinginan untuk mendapatkan simpati, memperbaiki kegagalan, mendapatkan rasa aman dan ganjaran. Berdasarkan pada beberapa pengertian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa motivasi adalah suatu penggerak atau dorongan-dorongan yang timbul dalam diri manusia yang dapat menimbulkan, mengarahkan dan mengorganisasi tingkah lakunya. Hal ini terkait dengan upaya untuk pemenuhan kebutuhan baik kebutuhan fisik maupun kebutuhan rohani. Tabel 8 menunjukkan persentase warga belajar berdasarkan tingkat motivasi dan tingkat kehadirannya.

Tabel 8. Persentase Motivasi dengan Tingkat Kehadiran di PKBM Negeri 17 Jakarta, 2011

Tingkat Kehadiran Motivasi

Rendah (%) Tinggi (%)

Rendah 41,7 44,4

Tinggi 58,3 55,6

Total 100,0

(12)

100,0 (18)

(7)

Tabel 8 menunjukkan bahwa sebesar 41,7 persen warga belajar yang memiliki motivasi rendah memiliki tingkat kehadiran yang rendah pula.

Sedangkan untuk 58,3 persen warga belajar yang memiliki motivasi rendah memiliki tingkat kehadiran yang tinggi. Untuk warga belajar yang memiliki motivasi tinggi terdapat 44,4 warga belajar yang memiliki tingkat kehadiran yang rendah pula. Sebesar 55,6 persen warga belajar yang memiliki motivasi tinggi memiliki yang memiliki tingkat kehadiran yang tinggi pula. Hal ini terlihat agak ganjil karena orang dengan motivasi yang rendah justru memiliki tingkat kehadiran yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan warga belajar yang memiliki motivasi tinggi. Hal itu bisa saja terjadi karena adanya peraturan pada PKBM Negeri 17 ini yang menyebutkan bahwa jika warga belajar tidak hadir tanpa keterangan selama 4 kali berturut-turut maka warga belajar tersebut akan dikenakan sanksi berupa daftar ulang dengan biaya sebesar 25 ribu Rupiah.

Hasil uji Pearson menunjukkan bahwa nilai signifikansi (Asymp. Sig.) untuk hubungan antara motivasi dengan tingkat kehadiran adalah sebesar 0,880.

Nilai tersebut lebih besar bila dibandingkan dengan α (0,1) maka H0 tidak dapat ditolak. Nilai signifikansi tersebut menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara motivasi dengan tingkat kehadiran. walaupun secara teoritis seharusnya terdapat hubungan antara motivasi dengan kehadiran. Secara teoritis, semakin tinggi motivasi yang dimiliki oleh warga belajar maka akan semakin sering warga belajar hadir dalam setiap pertemuan pembelajaran. Namun dalam penelitian ini hal tersebut dibantah dan hasil uji menunjukkan sebaliknya.

Penulis memperkirakan bahwa tingginya motivasi warga belajar untuk belajar dan mengikuti pertemuan pembelajaran harus dikesampingkan oleh warga

(8)

belajar karena sebagian besar warga belajar telah bekerja sehingga warga belajar terikat dengan kewajiban untuk lebih dulu menyelesaikan tugas mereka sebagai pekerja. Sehingga, dorongan besar yang dirasakan oleh warga belajar untuk mengikuti pertemuan pembelajaran harus kalah karena adanya kewajiban mereka untuk bekerja.

6.1.5 Hubungan Antara Tingkat Dukungan Keluarga dengan Tingkat Kehadiran

Hubungan antara dukungan keluarga dengan tingkat kehadiran dilakukan dengan tabulasi silang dan uji statistik Pearson. Uji ini dilakukan untuk mengetahui apakah terdapat hubungan antara dukungan keluarga dengan tingkat kehadiran. Hasil persentase tabulasi silang digambarkan dalam Tabel 9.

Tabel 9 menunjukkan bahwa sebesar 47 persen warga belajar dengan tingkat dukungan keluarga rendah memiliki tingkat kehadiran yang tinggi dan 53 persen warga belajar dukungan keluarga rendah memiliki tingkat kehadiran tinggi.

Sedangkan untuk 60 persen warga belajar dengan dukungan keluarga yang tinggi memiliki tingkat kehadiran yang tinggi pula. Hal tersebut membuktikan bahwa dukungan keluarga merupakan salah satu faktor penting yang dapat mempengaruhi tingkat kerajinan warga belajar dalam menghadiri kegiatan

Tabel 9. Persentase Tingkat Dukungan Keluarga dengan Tingkat Kehadiran Warga Belajar di PKBM Negeri 17 Jakarta, 2011

Tingkat Kehadiran

Tingkat Dukungan Keluarga

Rendah (%) Tinggi (%)

Rendah 47,0 40,0

Tinggi 53,0 60,0

Total 100,0

(15)

100,0 (15)

(9)

pembelajaran. Hal tersebut sangat masuk akal terutama mengingat bahwa sebagian besar warga belajar belum menikah sehingga masih di bawah pengawasan orang tua. Walaupun begitu, bagi warga belajar yang telah berkeluarga dukungan keluarga seperti suami dan anak juga merupakan faktor yang dapat menambah semangat mereka untuk menghadiri proses pembelajaran.

Walaupun begitu, hasil uji Pearson menunjukkan nilai signifikansi (Asymp. Sig.) sebesar 0,713. Nilai signifikansi tersebut menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara dukungan keluarga dengan tingkat kehadiran.

6.1.6 Hubungan antara Tingkat Dukungan Lingkungan Pergaulan dengan Tingkat Kehadiran

Uji hubungan antara kehadiran dengan lingkungan pergaulan dilakukan dengan tabulasi silang dan uji statistik Pearson. Uji ini dilakukan untuk mengetahui apakah terdapat hubungan antara kehadiran dengan lingkungan pergaulan. Hubungan antara kehadiran dan lingkungan pergaulan tersebut dinyatakan dalam Tabel 10.

Tabel 10. Persentase Tingkat Dukungan Lingkungan Pergaulan dengan Tingkat Kehadiran pada PKBM Negeri 17 Jakarta, 2011

Tingkat Kehadiran

Dukungan Lingkungan Pergaulan

Rendah (%) Tinggi (%)

Rendah 40,0 47,0

Tinggi 60,0 53,0

Total 100,0

(15)

100,0 (15) Tabel 10 di atas menunjukkan bahwa sebesar 40 persen warga belajar dengan tingkat dukungan lingkungan pergaulan yang rendah memiliki tingkat kehadiran rendah dan 60 persen warga belajar dengan dukungan pergaulan yang

(10)

rendah memiliki tingkat kehadiran yang tinggi. Untuk warga belajar dengan dukungan pergaulan yang tinggi sebesar 47 persen memiliki tingkat kehadiran yang rendah dan 53 persen memiliki tingkat kehadiran yang tinggi. Angka tersebut menunjukkan bahwa dalam penelitian ini, khususnya warga belajar di PKBM Negeri 17 Penjaringan, Jakarta ini dukungan pergaulan tidak terlalu berpengaruh terhadap kehadiran warga belajar. Hal ini juga dapat menunjukkan bahwa para warga belajar tidak malu untuk mengakui kepada teman-teman sepergaulannya bahwa mereka sedang belajar di Paket C.

Hasil uji dengan menggunakan korelasi Pearson menunjukkan bahwa nilai signifikansi (Asymp. Sig.) untuk hubungan antara dukungan pergaulan dengan tingkat kehadiran adalah sebesar 0,713. Nilai signifikansi 0,713 menunjukkan tidak adanya hubungan antara dukungan pergaulan dengan tingkat kehadiran secara statistik.

6.1.7 Hubungan antara Jarak Lokasi Pembelajaran dengan Tingkat Kehadiran

Uji hubungan antara lokasi pembelajaran dengan tingkat kehadiran dilakukan dengan menggunakan tabulasi silang dan uji korelasi statistik Pearson.

Uji ini dilakukan untuk mengetahui apakah terdapat hubungan antara lokasi pembelajaran dengan tingkat kehadiran. Hasil tabulasi silang antara loasi pembelajaran dengan tingkat kehadiran disajikan pada Tabel 11.

(11)

Tabel 11. Persentase Hubungan Lokasi Pembelajaran dengan Tingkat Kehadiran pada PKBM Negeri 17 Jakarta, 2011

Tingkat kehadiran

Lokasi Pembelajaran

Dekat (%) Jauh (%)

Rendah 38,0 47,0

Tinggi 62,0 53,0

Total 100,0

(13)

100,0 (17) Tabel 11 menunjukkan bahwa sebesar 38 persen warga belajar dengan anggapan lokasi pembelajaran dekat memiliki tingkat kehadiran yang rendah dan 62 persen warga belajar dengan anggapan lokasi pembelajaran dekat memiliki tingkat kehadiran yang tinggi. Untuk 47 persen warga belajar dengan anggapan lokasi pembelajaran yang ditempuh adalah jauh memiliki tingkat kehadiran yang rendah dan terdapat 53 persen warga belajar yang beranggapan bahwa lokasi pembelajaran jauh memiliki tingkat kehadiran yang tinggi. Angka tersebut memiliki kecenderungan bahwa semakin dekat jarak antara tempat tinggal warga belajar dengan lokasi pembelajaran maka tingkat kehadiran yang dimiliki oleh warga belajar pun akan semakin tinggi. Hal ini mungkin disebabkan karena sebagian besar warga belajar sudah bekerja sehingga jika lokasi pembelajaran jauh dari tempat tinggal mereka, warga belajar akan semakin malas untuk menghadiri proses pembelajaran karena sudah merasa lelah akibat seharian bekerja. Akan tetapi, berdasarkan hasil uji statistik Pearson lokasi pembelajaran dengan tingkat kehadiran tidak memiliki hubungan secara statistik. Hal ini ditunjukkan dengan nilai signifikansi (Asymp. Sig.) yang cukup besar yaitu 0,638.

(12)

6.1.8 Hubungan antara Kualitas Pengajar dengan Tingkat Kehadiran Uji hubungan antara kualitas pengajar dengan tingkat kehadiran akan diuji menggunakan tabulasi silang dan uji korelasi statistik Pearson. Uji ini dilakukan untuk melihat apakah terdapat hubungan nyata antara kualitas pengajar dengan tingkat kehadiran. Hasil tabulasi silang antara tingkat kualitas pengajar dengan tingkat kehadiran akan disajikan pada Tabel 12 di bawah ini.

Tabel 12. Persentase Kualitas Pengajar dengan Tingkat Kehadiran di PKBM Negeri 17 Jakarta, 2011

Kualitas Pengajar

Kehadiran Rendah (%) Tinggi (%)

Rendah 26,7 60,0

Tinggi 73,3 40,0

Total 100,0

(15)

100,0 (15) Tabel 12 menunjukkan bahwa sebesar 73,3 persen warga belajar yang beranggapan kualitas pengajar rendah memiliki tingkat kehadiran yang tinggi sedangkan 60 persen yang menganggap kualitas pengajar tinggi memiliki tingkat kehadiran yang rendah. Angka tersebut menunjukkan kecenderungan bahwa semakin rendah anggapan tentang kualitas pengajar maka akan semakin tinggi tingkat kehadiran warga belajar dalam proses pembelajaran. Hal ini memang cenderung tidak wajar, dimana yang terjadi pada umumnya adalah semakin tinggi kualitas pengajar maka akan semakin tinggi pula tingkat kehadiran mereka.

Kondisi yang tidak biasa ini, bila ditelaah lebih lanjut dapat disebabkan karena anggapan tentang kualitas pengajar yang baik adalah pengajar yang memiliki disiplin tinggi, penguasaan materi yang baik, penampilan yang baik, serta pembawaan mengajar yang baik pula. Anggapan warga belajar tentang pengajar yang baik ini, membuat mereka untuk segan bila tidak dapat hadir secara

(13)

rutin dalam setiap kegiatan pembelajaran karena bertolak belakang dengan kemampuan mereka untuk dapat hadir secara rutin karena tuntutan pekerjaan.

oleh karena itu semakin rendah anggapan warga belajar tentang kualitas pengajar maka akan semakin tinggi kehadiran mereka.

Hasil uji korelasi statistik Pearson menunjukkan angka signifikansi sebesar 0,065. Angka tersebut menunjukkan angka yang lebih besar daripada α (0,1) sehingga H0 dapat ditolak dan itu berarti terdapat hubungan nyata antara Kualitas Pengajar dengan Tingkat kehadiran warga belajar. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi kualitas pengajar maka tingkat kehadiran warga belajar dalam proses pembelajaran pun akan semakin tinggi.

6.2 Keaktifan dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya 6.2.1 Hubungan antara Usia dengan Keaktifan

Hipotesis awal menyatakan bahwa terdapat hubungan yang nyata antara usia dengan tingkat keaktifan. Untuk itu, agar dapat melihat hubungan antar keduanya maka dilakukan uji hubungan dengan menggunakan tabulasi silang dan analisis Pearson. Paket C adalah salah satu program pemerintah yang tidak menggunakan batasan usia kepada siapapun yang ingin mengikutinya. Oleh karena itu, penulis ingin melihat apakah terdapat hubungan yang nyata antara usia dengan tingkat keaktifan yang dimiliki warga belajar. Pengambilan keputusan berdasarkan nilai signifikansi (Asymp. Sig.), jika Asymp. Sig. lebih besar dari α (0,1) maka H0 diterima, yang artinya tidak terdapat hubungan antara variabel- variabel yang diuji.

(14)

Tabel 13. Persentase Usia dengan Keaktifan Warga Belajar di PKBM Negeri 17 Jakarta, 2011

Keaktifan Usia

Rendah (%) Tinggi (%)

Rendah 38,9 41,7

Tinggi 61,1 58,3

Total 100,0

(18) 100,0

(12) Tabel 13 menunjukkan sebesar 61,1 persen warga belajar yang memiliki usia yang tinggi memiliki tingkat keaktifan yang rendah. Sebesar 38,9 persen warga belajar dengan usia rendah memiliki keaktifan yang rendah pula. Untuk warga belajar dengan usia tinggi dan tingkat keaktifan yang tingkat keaktifannya tinggi terdapat sebanyak 58,3 persen. Dan terdapat sebanyak 41,7 persen warga belajar dengan usia tinggi yang memiliki tingkat keaktifan yang rendah.

Persentase tersebut menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara warga belajar dengan usia tinggi yang memiliki tingkat keaktifan tinggi dengan warga belajar usia rendah yang memiliki tingkat keaktifan yang tinggi ataupun sebaliknya. Hasil uji menunjukkan, nilai signifikansi untuk hubungan antara usia dengan tingkat keaktifan adalah 0,879. Hal ini berarti bahwa tidak terdapat hubungan antara usia dengan tingkat keaktifan warga belajar. Nilai signifikansi yang lebih besar daripada α (0,1) menunjukkan bahwa hipotesis yang menyatakan bahwa terdapat hubungan antara usia dengan tingkat keaktifan ditolak.

6.2.2 Hubungan antara Jenis Kelamin dengan Tingkat Keaktifan

Hubungan antara jenis kelamin dengan tingkat keaktifan akan diuji menggunakan tabulasi silang dan uji korelasi Pearson. Uji ini dilakukan untuk

(15)

mengetahui ada tidaknya hubungan antara jenis kelamin dengan tingkat keaktifan warga belajar. Hipotesis awal menyatakan bahwa terdapat hubungan yang nyata antara jenis kelamin dengan tingkat keaktifan. Yaitu, bahwa kemungkinan adanya kecenderungan jenis kelamin tertentu untuk lebih aktif. Hasil tabulasi silang akan disajikan pada Tabel 14.

Tabel 14. Persentase Jenis Kelamin dengan Keaktifan Warga Belajar di PKBM Negeri 17 Jakarta, 2011

Keaktifan Jenis Kelamin

Laki-laki (%) Perempuan (%)

Rendah 38,9 41,7

Tinggi 61,1 58,3

Total 100,0

(18) 100,0

(12) Tabel 14 menunjukkan bahwa sebesar 38,9 persen warga belajar laki-laki memiliki keaktifan yang rendah dan sebesar 41,7 persen warga belajar perempuan memiliki keaktifan yang rendah pula. Pada tingkat keaktifan tinggi, terdapat sebanyak 61,1 persen warga belajar laki-laki dan 58,3 persen warga belajar perempuan. Angka tersebut menunjukkan bahwa untuk variabel jenis kelamin baik laki-laki maupun perempuan memiliki keaktifan yang sama-sama tinggi. Dari tabel silang tersebut terlihat bahwa jenis kelamin tidak ada pengaruhnya terhadap keaktifan warga belajar dalam bertanya atau proaktif untuk setiap kegiatan yang ada hubungannya dengan peningkatan kualitas pengetahuan akademis mereka.

Hal tersebut diperkuat oleh hasil uji korelasi Pearson yang menunjukkan angka Asymp. Sig. sebesar 0,879 yang berarti bahwa secara statistik tidak terhadap hubungan antara jenis kelamin dengan usia karena nilainya yang jauh di atas α (0,1). Hasil uji menunjukkan bahwa kondisi pada Paket C di PKBM Negeri 17 Penjaringan, Jakarta dapat dikatakan telah cukup memiliki kesadaran akan

(16)

pendidikan sehingga tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan yang jika terjadi mungkin saja akan menyebabkan adanya isu gender.

6.2.3 Hubungan antara Sosial Ekonomi dengan Tingkat Keaktifan

Hipotesis awal untuk variabel ini menyatakan bahwa terdapat hubungan antara keadaan sosial ekonomi dengan keaktifan warga belajar. Untuk menguji hipotesis ini akan dilakukan tabulasi silang dan uji korelasi Pearson. Tabel 15 akan memuat hasil tabulasi silang.

Tabel 15. Persentase Sosial Ekonomi dengan Tingkat Keaktifan Warga Belajar di PKBM Negeri 17 Jakarta, 2011

Keaktifan Sosial Ekonomi

Rendah (%) Tinggi (%)

Rendah 42,9 37,5

Tinggi 57,1 62,5

Total 100,0

(14)

100,0 (16) Berdasarkan hasil penelitian ini, umumnya kategori sosial ekonomi warga belajar adalah dari keluarga menengah ke bawah dan keluarga kurang mampu yang telah bekerja atau memiliki penghasilan sendiri sehingga kategori tinggi didominasi oleh warga belajar yang telah bekerja, sedangkan kategori rendah adalah warga belajar yang belum bekerja. Pengkategorian ini didapatkan dari hasil jumlah rata-rata pendapatan mereka sebulan. Warga belajar yang pendapatannya berada di bawah rata-rata akan masuk ke dalam kategori rendah dan warga belajar yang memiliki pendapatan di atas rata-rata akan masuk ke dalam kategori tinggi.

Pada Tabel 15 di atas, terdapat sebanyak 42,9 persen warga belajar dengan sosial ekonomi rendah memiliki keaktifan yang juga rendah dan sebesar 37,5 persen warga belajar dengan keaktifan rendah yang memiliki keadaan sosial

(17)

ekonomi tinggi. Terdapat 57,1 persen warga belajar dengan keadaan sosial ekonomi rendah namun memiliki keaktifan yang tinggi dan sebesar 62,5 persen warga belajar dengan keadaan sosial ekonomi tinggi yang memiliki keaktifan yang tinggi pula.

Hasil uji menunjukkan, nilai signifikansi untuk hubungan antara sosial ekonomi dengan keaktifan adalah 0,765. Hal ini berarti tidak terdapat hubungan antara sosial ekonomi dengan keaktifan warga belajar. Nilai signifikansi yang menunjuk pada angka 0,765 menunjukkan angka yang lebih besar daripada α (0,1) sehingga hal ini menyimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan yang nyata antara dua variabel yang diuji.

Haryati (2007) menyatakan bahwa variabel sosial ekonomi memiliki hubungan sangat nyata dan negatif terhadap keefektifan total. Keefektifan total dalam penelitian Haryati (2007) tersebut adalah gabungan skor dari variabel pengetahuan, sikap dan keterampilan. Pada penelitian tersebut, faktor sosial ekonomi sangat berhubungan nyata dengan keterampilan. Jadi dikatakan bahwa dengan semakin tingginya status sosial, keefektifannya justru semakin rendah.

dengan kata lain, responden yang berlatar belakang status sosial tinggi tidak cocok sebagai peserta Paket B. Penelitian Haryati (2007) tersebut bertolak belakang dengan hasil penelitian ini yang menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara keadaan sosial ekonomi dengan tingkat keaktifan.

6.2.4 Hubungan antara Motivasi dengan Tingkat Keaktifan

Hubungan antara Motivasi dan Keaktifan akan diukur dengan menggunakan tabulasi silang dan uji korelasi Pearson. Uji ini dilakukan untuk

(18)

melihat apakah terdapat hubungan yang nyata antara motivasi dengan keaktifan warga belajar. Hasil tabulasi silang untuk variabel motivasi dengan keaktifan akan disajikan pada Tabel 16 di bawah ini.

Tabel 16. Persentase Motivasi dengan Tingkat Keaktifan Warga Belajar di PKBM Negeri 17 Jakarta, 2011

Keaktifan Motivasi

Rendah (%) Tinggi (%)

Rendah 66,7 22,2

Tinggi 33,3 77,8

Total 100,0

(12) 100,0

(18) Tabel 16 di atas menunjukkan bahwa 66,7 persen warga belajar dengan motivasi rendah memiliki keaktifan yang rendah pula sedangkan sebanyak 77,8 persen warga belajar dengan motivasi tinggi memiliki keaktifan yang tinggi pula.

Persentase tersebut menunjukkan adanya kecenderungan bahwa semakin tinggi motivasi yang dimiliki oleh warga belajar maka akan semakin tinggi pula keaktifannya. Motivasi tinggi yang dimiliki oleh warga belajar akan membuat warga belajar akan semakin bersemangat untuk mengikuti pembelajaran, sehingga dengan sendirinya warga belajar akan semakin proaktif untuk bertanya, dan berusaha untuk mencari tahu tentang hal-hal yang mendukung kemajuan akademis mereka.

Hasil uji menunjukkan nilai signifikansi (Asymp. Sig) untuk hubungan antara motivasi dengan keaktifan adalah sebesar 0,015. Hal ini berarti terdapat hubungan yang nyata antara motivasi dengan keaktifan. Nilai signifikansi sebesar 0,015 merupakan nilai yang signifikan, yang menunjukkan bahwa semakin tinggi motivasi yang dimiliki oleh warga belajar maka akan semakin tinggi pula kekatifan warga belajar dalam mengerjakan tugas dan bertanya pada guru.

(19)

Terdapatnya hubungan yang nyata antara motivasi dengan keaktifan berbanding terbalik dengan penelitian yang dilakukan oleh Haryati (2007) tentang faktor-faktor yang mempengaruhi keefektifan pembelajaran Paket B setara SLTP.

Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa pada kasus pada Paket B di PKBM Citra Pakuan Bogor, motivasi tidak memiliki hubungan nyata dengan keefektifan pembelajaran. Haryati (2007) mengatakan bahwa tidak terdapatnya hubungan antara motivasi dengan keefektifan disebabkan karena program Paket B adalah satu-satunya alternatif pendidikan di jalur pendidikan nonformal yang diselenggarakan setara SLTP, sehingga warga belajar yang tidak dapat masuk pada jalur pendidikan formal mendapatkan peluang untuk terus melanjutkan sekolah dan mendapat peluang untuk mendapatkan ijasah untuk bekal mencari kerja.

6.2.5 Hubungan antara Dukungan Keluarga dengan Keaktifan

Hipotesis awal menyatakan bahwa terdapat hubungan yang nyata antara dukungan keluarga dengan keaktifan warga belajar. Untuk mengukur hubungan tersebut maka penulis menggunakan tabulasi silang dan uji korelasi Pearson. Uji ini dilakukan untuk melihat apakah memang terdapat hubungan antara dukungan keluarga terhadap keaktifan warga belajar. Hasil tabulasi silang akan ditunjukkan pada Tabel 17 di bawah ini.

Tabel 17. Persentase Dukungan Keluarga dengan Keaktifan Warga Belajar di PKBM Negeri 17 Jakarta, 2011

Keaktifan Dukungan Keluarga

Rendah (%) Tinggi (%)

Rendah 60,0 20,0

Tinggi 40,0 80,0

Total 100,0

(15) 100,0

(15)

(20)

Tabel 17 di atas menunjukkan bahwa sebesar 60 persen warga belajar dengan dukungan keluarga yang rendah cenderung memiliki keaktifan yang rendah pula, dan sebanyak 80 persen warga belajar yang memiliki dukungan keluarga yang tinggi memiliki keaktifan yang tinggi pula. Dukungan keluarga yang tinggi menambah semangat warga belajar untuk belajar lebih baik sehingga mempengaruhi peningkatan keaktifan warga belajar dalam pembelajaran.

Hasil uji menunjukkan nilai signifikansi (Asymp. Sig.) untuk hubungan antara dukungan keluarga dengan keaktifan warga belajar adalah 0,025. Hal ini berarti terdapat hubungan antara dukungan keluarga dengan keaktifan warga belajar. Nilai signifikansi sebesar 0,025 merupakan nilai yang signifikan karena berada di bawah α (0,1) yang menunjukkan bahwa semakin tinggi dukungan yang diberikan keluarga terhadap warga belajar maka akan semakin tinggi pula keaktifan warga belajar dalam mengikuti pembelajaran. Hubungan yang signifikan ini menguatkan hipotesis awal yang menyatakan bahwa terdapat hubungan yang nyata antara dukungan keluarga dengan keaktifan. Dukungan keluarga merupakan faktor pendukung yang sangat dibutuhkan oleh warga belajar yang sedang mengikuti pendidikan baik di pendidikan maupun nonformal. Oleh karena itu, dorongan keluarga akan menambah semangat belajar yang baik pada warga belajar.

6.2.6 Hubungan antara Dukungan Lingkungan Pergaulan dengan Keaktifan

Hubungan antara lingkungan pergaulan dengan keaktifan akan diuji dengan menggunakan tabulasi silang dan uji korelasi statistik Pearson. Uji hubungan ini dilakukan untuk menguji hipotesis awal yang menyatakan bahwa

(21)

terdapat hubungan yang nyata antara lingkungan pergaulan dengan keaktifan.

Tabulasi silang akan disajikan pada Tabel 18 di bawah ini.

Tabel 18. Persentase Tingkat Dukungan Lingkungan Pergaulan dengan Keaktifan Warga Belajar di PKBM Negeri 17 Jakarta, 2011

Keaktifan Dukungan Lingkungan Pergaulan

Rendah (%) Tinggi (%)

Rendah 46,7 33,3

Tinggi 53,3 66,7

Total 100,0

(15) 100,0

(15) Berdasarkan hasil pada Tabel 18 di atas, dapat dilihat bahwa sebesar 46,7 persen warga belajar yang memiliki dukungan dari lingkungan pergaulannya rendah memiliki keaktifan yang rendah pula dan sebesar 66,7 persen warga belajar dengan dukungan lingkungan pergaulan tinggi memiliki keaktifan yang tinggi pula.

Hasil uji menunjukkan nilai signifkansi untuk hubungan antara dukungan pergaulan lingkungan dengan keaktifan adalah 0,456. Hal ini berarti bahwa tidak terdapat hubungan nyata antara dukungan lingkungan pergaulan dengan keaktifan.

Nilai signifikansi sebesar 0,456 merupakan nilai yang lebih besar dari α (0,1) sehingga dapat disimpulkan bahwa secara statistik tidak terdapat hubungan yang nyata antara dukungan lingkungan pergaulan dengan keaktifan.

Dukungan dari lingkungan pergaulan yang diidentifikasi adalah bagaimana tanggapan teman-teman warga belajar tentang keikutsertaan para warga belajar dalam Paket C, dan apakah yang diperbuat oleh para teman dan lingkungan tempat warga belajar bergaul ketika mereka mengetahui keikutsertaan para warga belajar di Paket C. Jawaban yang beragam membuat kesimpulan akhir

(22)

bahwa sebanyak 50 persen lingkungan para warga belajar kurang mendukung keikutsertaan warga belajar pada Paket C.

6.2.7 Hubungan antara Lokasi Pembelajaran dengan Keaktifan

Hipotesis awal yang menyatakan bahwa terdapat hubungan yang nyata antara lokasi pembelajaran dengan keaktifan akan diuji menggunakan tabulasi silang dan uji korelasi Pearson. Hasil tabulasi silang untuk menguji dua variabel di atas akan disajikan pada Tabel 19 di bawah ini.

Tabel 19. Persentase Jarak Lokasi Pembelajaran dengan Tingkat Keaktifan Warga Belajar di PKBM Negeri 17 Jakarta, 2011

Keaktifan Lokasi Pembelajaran

Dekat (%) Jauh (%)

Rendah 30,8 47,0

Tinggi 69,2 53,0

Total 100,0

(13)

100,0 (17) Berdasarkan hasil pada Tabel 19 di atas, terdapat sebanyak 69,2 persen warga belajar dengan lokasi belajar dekat memiliki keaktifan yang tinggi dan sebanyak 47 persen warga belajar dengan lokasi pembelajaran jauh memiliki keaktifan yang tinggi. lokasi pembelajaran adalah jarak yang harus ditempuh oleh warga belajar untuk dapat sampai ke lokasi pembelajaran. Berdasarkan hasil penelitian, sebagian besar warga belajar bertempat tinggal di daerah sekitar Paket C didirikan, namun para warga belajar datang ke tempat pembelajaran Paket C bukan dari rumah melainkan dari tempat mereka bekerja sehingga jarak yang mereka tempuh berbeda jika mereka berangkat dari rumah ke tempat pembelajaran Paket C.

(23)

Hasil uji korelasi menunjukkan angka signifikansi 0,367. Nilai signifikansi sebesar 0,367 tersebut menunjukkan nilai yang lebih besar daripada α (0,1). Hal itu berarti tidak terdapat hubungan yang nyata secara statistik antara lokasi pembelajaran dengan keaktifan.

Pengelola Paket C memang memprioritaskan warga belajar tidak mampu yang bertempat tinggal disekitar lokasi pembelajaran, walaupun tidak menutup kesempatan bagi yang bertempat tinggal jauh dari lokasi, agar tidak terlalu memberatkan warga belajar kurang mampu dalam hal biaya transport yang harus dikeluarkan. Lokasi pembelajaran bukan merupakan hal yang berhubungan dengan keaktifan warga belajar. Baik bagi mereka yang menganggap lokasi pembelajaran Paket C jauh atau dekat sama-sama memiliki keaktifan yang cukup tinggi.

6.2.8 Hubungan antara Kualitas Pengajar dengan Keaktifan

Hipotesis awal menyatakan bahwa terdapat hubungan secara nyata antara kualitas pengajar dengan keaktifan. Untuk menguji hipotesis tersebut digunakan tabulasi silang dan uji korelasi Pearson. Hasil tabulasi silang akan disajikan pada Tabel 20 di bawah ini.

Tabel 20. Persentase Kualitas Pengajar dengan Tingkat Keaktifan Warga Belajar di PKBM Negeri 17 Jakarta, 2011

Keaktifan

Kualitas Pengajar

Rendah (%) Tinggi (%)

Rendah 60,0 20,0

Tinggi 40,0 80,0

Total 100,0

(15)

100,0 (15)

(24)

Berdasarkan pada Tabel 20 di atas, terdapat sebanyak 60 persen warga belajar yang menganggap kualitas pengajar rendah memiliki keaktifan yang rendah pula, dan sebanyak 80 persen warga belajar yang memiliki anggapan kualitas pengajar tinggi memiliki keaktifan yang tinggi pula.

Uji korelasi Pearson juga menunjukkan angka signifikansi (Asymp. Sig. ) sebesar 0,025. Angka signifikansi sebesar 0,025 tersebut merupakan angka yang signifikan sehingga diambil kesimpulan bahwa terdapat hubungan yang nyata antara kualitas pengajar dengan keaktifan warga belajar. Terdapatnya hubungan antara dua variabel tersebut menunjukkan bahwa semakin tinggi anggapan warga belajar terhadap kualitas tutor atau pengajarnya, maka akan semakin tinggi pula keaktifan mereka dalam mengerjakan tugas, bertanya, dan menjawab pertanyaan yang diberikan. Pendidik dalam Paket C memang diharapkan memiliki kompetensi profesional yang baik agar dapat mengarahkan warga belajar untuk selalu bersemangat dalam mengikuti setiap kegiatan pembelajaran.

Gambar

Tabel 5. Persentase  Usia dengan Tingkat Kehadiran di PKBM Negeri 17 Jakarta, 2011     Tingkat Kehadiran  Usia  Rendah (%)  Tinggi (%)  Rendah  39,0 50,0 Tinggi  61,0 50,0 Total  100,0  (18) 100,0 (12) Tabel 5 menunjukkan bahwa sebesar 39 persenwarga belaj
Tabel 8. Persentase Motivasi dengan Tingkat Kehadiran di PKBM Negeri 17 Jakarta, 2011
Tabel 17. Persentase Dukungan Keluarga dengan Keaktifan Warga Belajar di  PKBM Negeri 17 Jakarta, 2011
Tabel 19. Persentase Jarak Lokasi Pembelajaran dengan Tingkat Keaktifan Warga  Belajar di PKBM Negeri 17 Jakarta, 2011
+2

Referensi

Dokumen terkait

Disahkan dalam rapat Pleno PPS tanggal 26 Februari 2013 PANITIA PEMUNGUTAN SUARA. Nama

Metabolit sekunder berukuran molekul dengan < C40, menyusun 1-5% dari kayu, dan sangat ditentukan secara genetika oleh spesies tumbuhan yang bersangkutan, juga bergantung

Oleh karena itu bagi lembaga pendidikan yang mengembangkan pendidikan vokasi tidak perlu minder dan kemudian mengubah menjadi pendidikan akademik, karena akan

Dengan mempertimbangkan pilihan-pilihan adaptasi yang dikembangkan PDAM dan pemangku kepentingan, IUWASH juga merekomendasikan untuk mempertimbangkan aksi-aksi adaptasi

The cost of land under development consists of the cost of land for development, direct and indirect real estate development costs and capitalized borrowing

Hasil dari penelitian ini yaitu; (1) menghasilkan komik yang memiliki karakteristik berbasis desain grafis, dan berisi materi Besaran dan Satuan SMP kelas VII SMP, dan

Tujuan penelitian peng- embangan ini adalah menghasilkan modul interaktif dengan menggunakan learning content development system pada materi pokok usaha dan energi untuk

Sedangkan pada opsi put Eropa, writer juga dapat mengalami kerugian jika yang terjadi pada saat maturity time adalah strike price lebih besar dibanding harga