V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Cakupan Wilayah Kabupaten Bandung Barat
Kabupaten Bandung Barat terdiri dari 13 kecamatan dan 165 desa. Beberapa kecamatan terbentuk melalui proses pemekaran. Kecamatan yang mengalami pemekaran tersebut adalah Kecamatan Cililin dan Gununghalu. Kecamatan Cililin dimekarkan menjadi Kecamatan Cililin dan Cihampelas, sedangkan Kecamatan Gununghalu dimekarkan menjadi Kecamatan Gununghalu dan Rongga. Peta Administrasi Kabupaten Bandung Barat tertera pada Gambar 4. Luas wilayah per kecamatan di Kabupaten Bandung Barat tertera pada Gambar 5.
Gambar 4. Peta Administrasi Kabupaten Bandung Barat
Gambar 5. Luas Kecamatan-kecamatan di Kabupaten Bandung Barat
Kecamatan Gununghalu merupakan kecamatan yang paling luas diantara kecamatan lainnya yaitu 27391.57 ha, sedangkan kecamatan yang memiliki luas paling kecil adalah Kecamatan Ngamprah sebesar 3608.55 ha. Kecamatan- kecamatan lainnya memiliki luasan yang beragam, Kecamatan Batujajar (8368.34 ha), Cikalongwetan (11209.05 ha), Cililin (12817.19 ha), Cipatat (12549.64 ha), Cipeundeuy (10124.69 ha), Cipongkor (7614.7 ha), Cisarua (5543.1 ha), Lembang (9736.65 ha), Padalarang (5157.56 ha), Parongpong (4512.49 ha), dan Sindangkerta (12034.83 ha).
Kabupaten Bandung Barat dilintasi oleh Jalan Tol Cipularang yang menghubungkan Kota Jakarta dan Bandung. Tol ini membentang dari Cikampek- Purwakarta sampai Padalarang. Sesuai dengan kondisi topografi dari Kabupaten Bandung Barat yang berbukit maka kondisi jalannya juga naik turun, namun lintasan dari jalan tol ini hanya mencakup 3 kecamatan saja dari Kabupaten Bandung Barat, yaitu Kecamatan Cikalongwetan, Cipatat, dan Padalarang. Suatu wilayah yang berlokasi dekat atau dilalui sarana transportasi seperti jalan tol atau jalan raya dikhawatirkan akan mengalami peningkatan laju konversi lahan pertanian menjadi lahan terbangun.
0 5000 10000 15000 20000 25000 30000
Luas(ha)
Kecamatan
8368,34 11209,05
12817,19 12549,64
10124,69 7614,7
5543,1 27391,57
9736,65 3608,55
5157,56 4512,49
12034,83
5.2 Laju dan Pola Perubahan Lahan Pertanian
Kabupaten Bandung Barat memiliki sebaran penggunaan lahan yang beragam, namun dalam penelitian ini hanya dianalisis lima jenis penggunaan lahan yaitu badan air, hutan, lahan terbangun, tanaman pertanian lahan basah, dan lahan kering. Hal ini sehubungan dengan data yang digunakan dalam mengidentifikasi jenis penggunaan lahan yaitu Citra Landsat sehingga kelima jenis penggunaan lahan tersebut lebih mudah diidentifikasi kenampakannya. Hasil analisis penggunaan lahan menunjukkan terdapat perubahan penggunaan lahan, salah satunya dari tanaman pertanian lahan basah menjadi lahan terbangun.
Perubahan penggunaan lahan di Kabupaten Bandung Barat memiliki peningkatan dan penurunan luasnya untuk tiap jenis penggunaan lahan pada tahun 1998 dan 2008. Luas tiap penggunaan lahan di Kabupaten Bandung Barat disajikan di Tabel 5.
Tabel 5. Luas Tiap Penggunaan dan Perubahan Lahan di Kabupaten Bandung Barat pada Tahun 1998 dan 2008
Penggunaan lahan Luas (ha) Perubahan (ha per tahun) 1998 2008
Badan air 1081,11 1084,12 0,301
Hutan 14115,92 13722,07 -39,39
Lahan terbangun 27494,48 30134,49 264,01
TPLB 32691,59 29603,21 -308,84
TPLK 48263,76 49102,97 83,92
Lahan Pertanian (TPLB & TPLK) 80955,35 78706,18 -224,91
Pada tahun 1998 jenis penggunaan lahan yang paling besar digunakan untuk tanaman pertanian lahan kering yaitu 48263,76 ha, sedangkan untuk jenis penggunaan lahan terkecil sebesar 1081,11 ha untuk badan air. Demikian juga pada tahun 2008 penggunaan lahan terbesar adalah jenis penggunaan tanaman pertanian lahan kering sebesar 49102,97 ha, dan jenis penggunaan lahan terkecil luasnya adalah badan air sebesar 1084,12 ha.
Peningkatan jenis penggunaan lahan pada tahun 1998 dan 2008 paling besar terjadi pada jenis penggunaan lahan terbangun sebesar 264 ha per tahun. Hal ini mengindikasikan bahwa adanya penambahan pembangunan baik berupa fasilitas- fasilitas umum maupun pemukiman penduduk. Tanaman pertanian lahan kering dan badan air meningkat luas penggunaannya masing-masing sebesar 83,92 ha per
tahun dan 0,301 ha per tahun. Penurunan luas penggunaan lahan terjadi pada jenis penggunaan tanaman pertanian lahan basah dan hutan masing-masing sebesar - 308,84 ha per tahun dan -39,39 ha per tahun. Adapun data luas perubahan penggunaan lahan per kecamatan disajikan pada Tabel 6.
Tabel 6. Luas Perubahan Penggunaan Lahan per Kecamatan
No Nama Kecamatan
Hutan - TPLB
Hutan - TPLK
TPLB -LT
TPLB - TPLK
TPLK- Badan air
TPLK -LT
TPLK- TPLB
Total (ha)
1 Batujajar 66,59
823,2 4
799,1
7 1689
2 Cikalongwetan 92,73 19,95 8,15 120,83
3 Cililin 99,63 59,4 159,03
4 Cipatat 78,89 147,63 83,55 47,3 357,37
5 Cipeundeuy 101,26 232,96 334,22
6 Cipongkor 12,9 0,27 13,17
7 Cisarua 122,01 122,01 244,02
8 Gununghalu 25,4 35,34 366,77 427,51
9 Lembang 21,19 91,35 0,15 112,69
10 Ngamprah 26,29 183,05 511,57 720,91
11 Padalarang 130,76 870,46 21,87 1023,09
12 Parongpong 43,66 12,48 56,14
13 Sindangkerta 32,14 32,14
Total 145,48 248,89 1246,82 2122,56 19,95 1384,26 122,16 5290,12
Kecamatan Batujajar merupakan kecamatan yang banyak mengalami perubahan penggunaan lahan dari TPLB menjadi lahan terbangun sebesar 823,24 ha. Kecamatan Batujajar merupakan kecamatan yang dijadikan sebagai pusat pemerintahan sementara untuk Kabupaten Bandung Barat. Selain itu, kecamatan tersebut merupakan kawasan industri sehingga perubahan penggunaan lahan di daerah ini terjadi secara intensif. Perubahan TPLK menjadi lahan terbangun terluas terjadi di Kecamatan Ngamprah dan Gununghalu masing-masing sebesar 511,57 ha dan 366,77 ha. Sebaran perubahan penggunaan lahan tersebut terpusat hanya pada daerah-daerah tertentu dimana lokasi tersebut dekat dengan pusat pertumbuhan serta memiliki akses jalan yang baik.
Hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian Ruswandi et al. (2007) mengenai perubahan penggunaan lahan di Bandung Utara yang menunjukkan bahwa berdasarkan interpretasi Citra Landsat tahun 1992 dan tahun 2002 diketahui luas lahan pertanian tahun 1992 sebesar 12.069 hektar dan tahun 2002
menjadi 8.935 ha dengan demikian telah terjadi konversi lahan pertanian sebesar 3.134 ha (25%), dengan laju konversi 2,96% per tahun. Perbedaan ini terjadi karena Kabupaten Bandung Barat memiliki jarak relatif jauh terhadap pusat Kota Bandung (pusat pertumbuhan).
Perubahan penggunaan lahan mengindikasikan bahwa di daerah tersebut telah terjadi pengalihfungsian lahan akibat perkembangan wilayah yang ditandai dengan pembangunan banyak fasilitas pelayanan bagi masyarakat setempat. Hal ini sejalan dengan pernyataan Rustiadi dan Wafda (2007) bahwa lahan pertanian meskipun lebih lestari kemampuannya, namun memberikan sedikit keuntungan material dibandingkan sektor industri. Akibatnya lahan pertanian sering terkonversi menjadi lahan non-pertanian seperti pemukiman, industri dan lain sebagainya yang memberikan keuntungan lebih besar. Gambar 6 merupakan contoh dokumentasi berupa foto dari beberapa bentuk penggunaan lahan yang berada di Kabupaten Bandung Barat.
a. TPLB (107,49;-6,86) b. TPLK (107,35;-6,87)
c. Hutan (107,32;-6,81) d. Lahan terbangun (107,59;-6,79)
e. Badan Air (107,33;-6,78)
Gambar 6. Beberapa Bentuk Penggunaan Lahan di Kabupaten Bandung Barat
Hasil pengecekan di lapang menunjukkan bahwa perubahan penggunaan lahan terjadi oleh beberapa agen pengubah, yaitu masyarakat, swasta, dan pemerintah. Beberapa jenis penggunaan lahan, misalnya tanaman pertanian lahan basah dan lahan kering biasanya berubah menjadi lahan terbangun berupa perumahan, pertokoan, industri, yang memiliki nilai lebih tinggi dibandingkan dengan lahan pertanian.
5.2.1. Pola Perubahan Penggunaan Lahan
Perubahan penggunaan dapat terjadi karena beberapa faktor yaitu terkait faktor fisik, sosial, ekonomi dan sebagainya. Perubahan penggunaan lahan dapat terjadi pada berbagai macam jenis penggunaan lahan. Di Kabupaten Bandung Barat telah terjadi konversi lahan, misalnya dari tanaman pertanian lahan basah menjadi lahan terbangun, tanaman pertanian lahan kering menjadi lahan terbangun, dan sebagainya. Berikut ini disajikan pola perubahan penggunaan lahan dan luasannya dalam hektar yang terjadi pada tahun 1998 dan 2008 seperti pada Tabel 7.
Tabel 7. Pola Perubahan Penggunaan Lahan dan Luasnya pada Periode Tahun 1998 dan 2008
Penggunaan Lahan 1998
(ha)
Penggunaan Lahan 2008 (ha) Jumlah (ha)tahun
1998 Badan
air Hutan Lahan
terbangun TPLB TPLK
Badan air 1.081,11 1.081,11
Hutan 13.722,07 145,48 248,37 14.115,92 Lahan
terbangun 27.494,48 27.494,48
TPLB 1.241,56 29.335,57 2.114,46 32.691,59 TPLK 3,01 1.398,45 122,16 46.740,14 48.263,76 Jumlah (ha)
tahun 2008 1.084,12 13.722,07 30.134,49 29.603,21 49.102,97 123.646,86
Penggunaan lahan yang banyak terkonversi adalah lahan pertanian meliputi tanaman pertanian lahan basah dan tanaman pertanian lahan kering. Selama kurun waktu sepuluh tahun yaitu tahun 1998 sampai 2008, tanaman pertanian lahan basah merupakan penggunaan lahan yang paling luas terkonversi yaitu 2.114,46 ha menjadi tanaman pertanian lahan kering. Demikian juga dengan tanaman pertanian lahan basah dan lahan kering yang berubah fungsi menjadi lahan
terbangun. Perubahan ini terkait dengan nilai dari suatu lahan yang diperoleh dari suatu jenis penggunaan tertentu. Lahan pertanian memiliki keuntungan (Land rent) yang lebih rendah dibandingkan dengan lahan non-pertanian. Oleh karena itu, konversi lahan banyak terjadi pada tanaman pertanian lahan basah menjadi tanaman pertanian lahan kering maupun lahan terbangun berupa perumahan, pertokoaan, industri dan sebagainya.
Perubahan penggunaan lahan hutan menjadi TPLB dan TPLK paling banyak terjadi di Kecamatan Sindangkerta, sedangkan untuk TPLB menjadi lahan terbangun banyak terdapat di Kecamatan Sindangkerta dan Batujajar. Perubahan TPLK menjadi lahan terbangun paling luas berada pada Kecamatan Sindangkerta begitu juga dengan luas perubahan TPLB menjadi TPLK. Perubahan jenis penggunaan lahan yang paling kecil terjadi pada TPLK yang berubah menjadi badan air sebesar 3,01 ha. Perubahan tersebut terjadi di daerah sekitar pabrik tambang kapur yang berada di Kecamatan Cipatat. Penurunan atau pencemaran air yang ada di sekitar pabrik tersebut membuat jenis penggunaan lahan di sekitarnya seperti TPLK dibiarkan tergenang sehingga sebagian daerah yang semula TPLK berubah menjadi badan air. Grafik yang menunjukkan perubahan penggunaan lahan disajikan pada Gambar 7.
Gambar 7. Perubahan Penggunaan Lahan Tahun 1998 dan 2008 -4
-3 -2 -1 0 1 2 3
Badan air Hutan Lahan terbangun
TPLB TPLK
0,003 -0,39
2,64
-3,09
0,84
Persentase (%)
Penggunaan Lahan
Penggunaan lahan di Kabupaten Bandung Barat yang mengalami peningkatan adalah lahan terbangun, tanaman pertanian lahan kering, dan badan air masing-masing meningkat sebesar 2,64%, 0,84%, dan 0,003% sedangkan untuk penggunaan lahan seperti hutan dan tanaman pertanian lahan basah mengalami penurunan luas sebesar -0,39% untuk penggunaan hutan dan -3,09%
untuk tanaman pertanian lahan basah.
Persentase perubahan penggunaan lahan pada setiap bentuk penggunaan lahan di Kabupaten Bandung Barat masih kecil. Hal ini berkaitan dengan keadaan di daerah tersebut yang masih belum banyak mengalami perkembangan karena baru pada tahun 2007 Kabupaten Bandung Barat secara resmi berdiri sebagai hasil pemekaran dari Kabupaten Bandung. Berikut ini dikemukakan gambaran secara spasial penggunaan dan perubahan penggunaan lahan (Gambar 8).
Gambar 8. Peta Penggunaan dan Perubahan Lahan Tahun 1998 dan 2008 Keterangan : A) Peta Penggunaan Lahan Tahun 1998
B) Peta Penggunaan Lahan Tahun 2008
C) Peta Perubahan Penggunaan Lahan Tahun 1998 dan 2008
Gambaran secara spasial mengenai jenis penggunaan lahan pada tahun 1998 menunjukkan bahwa luasan lahan terbangun terpusat di daerah yang mendekati pusat kota yaitu Kabupaten Bandung. Oleh karena itu, pemerintah Kabupaten Bandung melakukan pemekaran terhadap daerahnya yang sekarang menjadi Kabupaten Bandung Barat. Melalui pemekaran ini diharapkan dapat memberikan pembangunan yang lebih terarah dan menyebar. Hasil analisis tahun 2008 menunjukkan terdapat penambahan luasan jenis penggunaan lahan terbangun, sehingga mengurangi luas lahan untuk jenis penggunaan lahan lainnya (Gambar 8).
Faktor lain yang menyebabkan terjadinya perkembangan di Kabupaten Bandung Barat adalah akses jalan, topografi dan bentuk lahan di suatu wilayah.
Perubahan persentase luas penggunaan lahan per kecamatan, disajikan dalam bentuk grafik perubahan persentase luas penggunaan lahan per kecamatan seperti pada Gambar 9.
Gambar 9. Perubahan Persentase Luas Penggunaan Lahan per Kecamatan di Kabupaten Bandung Barat Tahun 1998 dan 2008
Persentase perubahan luas penggunaan lahan per kecamatan di Kabupaten Bandung Barat memiliki perubahan yang beragam. Kecamatan Batujajar menunjukkan persentase perubahan yang paling besar sebesar 31,93% dari jumlah perubahan penggunaan lahan kecuali lahan terbangun menjadi lahan terbangun,
31,92
2,28 3,01
6,76 6,32 0,25
4,61 8,08 2,13
13,63 19,34
1,06 0,61 0
5 10 15 20 25 30 35
Persentase (%)
Kecamatan
sedangkan yang terkecil Kecamatan Cipongkor sebesar 0,25%. Adapun persentase perubahan penggunaan lahan untuk masing-masing kecamatan, adalah Kecamatan Gununghalu (8,08%), Cikalongwetan (2,28%), Cililin (3,01%), Cipatat (6,76%), Cipeundeuy (6,32%), Ngamprah (13,63%), Cisarua (4,61%), Lembang (2,13%), Padalarang (19,34%), Parongpong (1,06%), dan Sindangkerta (0,61%).
Perubahan yang terjadi di Kabupaten Bandung Barat masih belum terlihat pada daerah ibu kota kabupatennya yaitu Kecamatan Ngamprah dibandingkan dengan Kecamatan Batujajar. Hal ini terjadi karena tidak semua desa yang ada di kecamatan tersebut yang akan dijadikan sebagai pusat pemerintahan dan hanya 4 desa yang akan dijadikan sebagai pusat pemerintahan yaitu Desa Mekarsari, Cilame, Pakuhaji, dan Tanimulya, Hal ini berkenaan dengan ketetapan wilayah Kabupaten Bandung Barat yang termasuk ke dalam wilayah konservasi untuk budidaya tanaman pertanian. Selain itu, Kecamatan Ngamprah merupakan kecamatan yang memiliki luasan terkecil dibandingkan kecamatan-kecamatan lainnya di Kabupaten Bandung Barat.
Perubahan yang paling besar terjadi di Kecamatan Batujajar karena kecamatan ini merupakan kawasan industri, selain itu juga dijadikan pusat pemerintahan sementara Kabupaten Bandung Barat sebelum beralih ke Ngamprah. Hal ini menyebabkan banyaknya pembangunan yang terjadi di Kecamatan Batujajar sehingga dapat menjadi pusat pertumbuhan untuk meningkatkan pelayanan masyarakat setempat.
5.3 Sebaran Perubahan Penggunaan Lahan di Berbagai Kelas Kemampuan Lahan
Pembagian kelas kemampuan lahan menunjukkan kesamaan faktor-faktor penghambat. Kelas kemampuan lahan terbagi ke dalam delapan kelas. Semakin besar kelas suatu lahan maka lahan tersebut memiliki faktor penghambat yang semakin besar. Perubahan penggunaan lahan tidak secara langsung dipengaruhi oleh kelas kemampuan lahan tetapi yang lebih berpengaruh adalah aksesibilitas dan pusat pertumbuhan di suatu wilayah. Namun dalam setiap perubahan penggunaan lahan dapat dilihat pula penyebarannya yang terjadi diberbagai kelas kemampuan lahan. Di Kabupaten Bandung Barat perubahan penggunaan lahan
tersebar pada tujuh kelas kemampuan lahan, yaitu Kelas I, II, III, IV,VI,VII, dan VIII, dengan beberapa faktor penghambat di masing-masing kelas. Perubahan penggunaan lahan diberbagai kelas kemampuan lahan disajikan pada Tabel 8.
Tabel 8. Perubahan Luas Penggunaan Lahan pada Berbagai Kelas Kemampuan Lahan
Kelas Kemampuan
Lahan
Hutan- TPLB
Hutan- TPLK
TPLB- LB
TPLB- TPLK
TPLK- LB
TPLK- TPLB
TPLK- Badan air
I 0 0 962,51 1622,22 377,42 4,1 0
II 131,57 0 1,88 0 246,8 0 0
II 13,91 2,47 86,21 379,89 259,52 63,78 0
IV 0 245,52 64,44 45,17 468,44 0 0
VI 0 0 19,42 0 8,15 0 0,9
VII 0 0 70,96 0 29,22 0 2,11
VIII 0 0,11 36,14 67,18 8,9 54,28 0
Perubahan penggunaan lahan terluas berada pada kelas kemampuan lahan kelas I yaitu pada TPLB yang terkonversi menjadi TPLK sebesar 1622,22 ha.
Selain itu, juga TPLB yang terkonversi menjadi lahan terbangun terluas pada kelas I sebesar 962,51 ha. Berikut ini merupakan perubahan penggunaan lahan pada berbagai kelas kemampuan lahan per kecamatan (Tabel 9) dan peta kelas kemampuan lahan Kabupaten Bandung Barat pada Gambar 10.
Tabel 9. Perubahan Luas Penggunaan Lahan pada Berbagai Kelas Kemampuan Lahan
No Nama Kecamatan
Kelas Kemampuan Lahan
I II III IV VI VII VIII
1 Batujajar 2170,1 133,45 188,02 10,29
2 Cikalongwetan 20,21 71,57 12,1
3 Cililin 202,19 33,29 29,72
4 Cipatat 12,63 133,23 27,49 320,61 8,26 0,67 8 5 Cipeundeuy 241,05 2,27 244,99
6 Cipongkor 31,18 12,9
7 Cisarua 8,2 127,26 108,56
8 Gununghalu 19,31 120,68 271,34 0,04 16,15
9 Lembang 69,81 12,87 30,01
10 Ngamprah 868,38 2,6 172,39 11 Padalarang 1808,69 309,9 5,48
12 Parongpong 47,23 8,9
13 Sindangkerta 0,02 32,4
Gambar 10. Kelas Kemampuan Lahan Kabupaten Bandung Barat
Kelas kemampuan lahan memiliki keterkaitan hubungan secara tidak langsung dengan perubahan penggunaan lahan. Secara spasial terlihat bahwa daerah dengan kelas kemampuan lahan I adalah daerah yang berada di sekitar Kecamatan Batujajar dan Padalarang, dimana di daerah tersebut menurut hasil interpretasi banyak terjadi perubahan penggunaan lahan. Namun, perlu diketahui bahwa suatu lahan yang memiliki kelas kemampuan lahan yang sama tetapi berada pada lokasi yang berbeda jarak dengan akses transportasi dan pusat pertumbuhan, maka perubahan penggunaan lahan akan cenderung lebih besar pada lahan yang berada dekat dengan akses transportasi dan pusat pertumbuhan dibandingkan dengan lahan yang berlokasi lebih jauh. Hal ini terjadi sejalan dengan teori lokasi dimana pengaruh yang kuat dari kedua faktor tersebut, yaitu akses jalan dan pusat pertumbuhan mendorong terjadinya perubahan penggunaan lahan dari lahan pertanian ke lahan non-pertanian.
5.4. Perkembangan Wilayah Kabupaten Bandung Barat
Kebutuhan lahan untuk berbagai aktivitas manusia akan meningkat karena adanya perkembangan wilayah yang mengakibatkan pertumbuhan penduduk meningkat pula, sehingga mendorong pertambahan fasilitas dan jenis fasilitas yang ada. Hal ini dapat dilihat dari hasil analisis jumlah dan jenis fasilitas yang ada di 13 kecamatan pada tahun 2003 dan dimekarkan menjadi 15 kecamatan pada tahun 2008 dengan jumlah desa sebanyak 165.
Penentuan hirarki di suatu wilayah dipengaruhi oleh besarnya indeks perkembangan suatu wilayah. Jika wilayah memiliki nilai indeks perkembangan wilayah yang semakin besar maka wilayah tersebut semakin berkembang.
Sebaliknya, wilayah yang memiliki nilai indeks perkembangan wilayah yang lebih kecil maka tingkat perkembangan wilayah tersebut tergolong rendah.
Perkembangan wilayah yang terjadi di Kabupaten Bandung Barat dianalisis berdasarkan data PODES tahun 2003 dan 2008. Hasil analisis skalogram desa- desa di Kabupaten Bandung Barat dapat dilihat pada Tabel 10.
Tabel 10. Hasil Analisis Skalogram Desa-desa di Kabupaten Bandung Barat Tahun 2003 dan 2008
Nama Kecamatan Hirarki 2003 (%) Hirarki 2008 (%) I II III I II III
Batujajar 0 23,08 76,92 0 23,08 76,92
Cikalongwetan 30,77 23,08 46,15 15,38 15,38 69,23
Cililin 17,64 29,41 52,94 19,05 28,57 52,38
Cipatat 8,33 0 91,67 0 16,67 83,33
Cipeundeuy 8,33 16,67 75 8,33 25 66,67
Cipongkor 50 42,86 7,14 21,43 50 28,57
Cisarua 0 12,5 87,5 0 12,5 87,5
Gununghalu 23,53 35,29 41,18 23,53 23,53 52,94
Lembang 6,25 12,5 81,25 6,67 6,67 86,67
Ngamprah 18,18 9,09 72,73 0 38,46 46,15
Padalarang 0 10 90 20 0 80
Parongpong 0 28,57 71,43 0 14,29 85,71
Sindangkerta 27,27 54,54 18,18 27,27 45,45 27,27
Kabupaten Bandung Barat 15,06 20,67 64,27 11,03 23,32 65,65
Desa-desa yang terdapat di Kabupaten Bandung Barat mengalami penurunan dan penambahan tingkatan hirarki. Pada tahun 2003 jumlah desa yang paling banyak adalah desa yang memiliki tingkatan hirarki III sebesar 64,27%,
sedangkan hirarki I dan II lebih sedikit yaitu hirarki I (15,06%) dan hirarki II (20,67%). Selama kurun waktu 5 tahun (tahun 2008) terjadi perubahan tingkatan hirarki. Jumlah desa paling banyak tiap desa yang berhirarki III dan sedikit meningkat menjadi sebesar 65,65%. Demikian juga dengan desa-desa yang berhirarki II meningkat jumlahnya menjadi 23,32%. Sebaliknya, jumlah desa berhirarki I mengalami penurunan menjadi 11,03%.
Pada tahun 2008 desa-desa yang ada di Kecamatan Cikalongwetan mengalami penurunan tingkatan hirarki. Hal ini berkaitan dengan peningkatan indeks perkembangan wilayah yang ada di kecamatan-kecamatan lainnya salah satunya Kecamatan Padalarang yang pada tahun tersebut (2008) mengalami peningkatan jumlah desa yang berhirarki I sebesar 20%. Penurunan hirarki I juga terjadi pada Kecamatan Ngamprah yang merupakan Ibukota Kabupaten Bandung Barat. Hal tersebut terjadi karena penetapan Ngamprah pada tahun 2007 sebagai ibukota dari Kabupaten Bandung Barat hanya berselang satu tahun dari analisis hirarki dilakukan (2008), sehingga waktu yang singkat (1 tahun) belum cukup dalam mempengaruhi perkembangan wilayah berkenaan dengan penetapannya sebagai ibukota kabupaten.
Hasil analisis dengan menggunakan metode skalogram di Kabupaten Bandung Barat tahun 2003 dan 2008 berturut-turut dapat dilihat secara spasial pada Gambar 11 dan 12.
Gambar 11. Peta Hirarki Kabupaten Bandung Barat Tahun 2003
Gambar 12.Peta Hirarki Kabupaten Bandung Barat Tahun 2008
Secara spasial dapat dilihat bahwa perkembangan wilayah yang terjadi di Kabupaten Bandung Barat cenderung terpusat di lokasi tertentu seperti Kecamatan Batujajar, Ngamprah, dan Padalarang, sehingga kemudahan dalam pelayanan yang didapatkan oleh masyarakat belum merata. Hal ini diduga merupakan salah satu alasan terjadinya pemekaran kabupaten di daerah ini. Selain itu, perkembangan desa-desa yang berhirarki I dan II cenderung terletak di lokasi yang dekat dengan jalan yaitu jalan primer atau jalan kabupaten. Perkembangan wilayah di daerah sekitar jalan tol sendiri tidak mengalami perkembangan dikarenakan kondisi umum dari jalan tol tersebut berada pada daerah yang berbukit-bukit. Perkembangan yang terjadi di suatu wilayah dapat dipengaruhi oleh penambahan fasilitas dan jenis fasilitas, serta aksesibilitas atau jarak yang menghubungkan ke pusat pelayanan tersebut. Hal ini dapat mempengaruhi luas dari lahan pertanian yang beralih fungsi menjadi lahan non-pertanian.
Keterkaitan perkembangan wilayah dengan perubahan penggunaan lahan yang terjadi di Kabupaten Bandung Barat lebih banyak terjadi pada kecamatan yang memiliki peningkatan desa-desa berhirarki II seperti Kecamatan Batujajar dan Ngamprah. Hal ini dikarenakan bahwa pada daerah tersebut telah terjadi pembangunan fisik seperti pemukiman dan fasilitas-fasilitas umum yang mengurangi luasan lahan pertanian.
Perkembangan wilayah di Kabupaten Bandung Barat menjadi daya tarik tersendiri terhadap peningkatan jumlah penduduk yang menjadi salah satu faktor pemicu konversi lahan lebih cepat terjadi. Jumlah penduduk di Kabupaten Bandung Barat setiap tahun mengalami peningkatan. Hal ini terjadi di setiap kecamatan yang ada di kabupaten ini, sehingga berpengaruh terhadap kepadatan jumlah penduduk di Kabupaten Bandung Barat. Berikut ini disajikan grafik jumlah penduduk per kecamatan di Kabupaten Bandung Barat pada tahun 1998 dan 2008 (Gambar 13).
Gambar 13. Jumlah Penduduk per Kecamatan di Kabupaten Bandung Barat pada Tahun 1998 dan 2008
Nilai tengah jumlah penduduk tahun 1998 dan 2008 pada Gambar 13 berturut-turut berada pada Kecamatan Cipatat dan Cikalongwetan. Tahun 1998 nilai tengah jumlah penduduk kecamatan-kecamatan yang memiliki jumlah penduduk lebih besar dari nilai tengah (Kecamatan Cipatat) adalah Kecamatan Padalarang, Lembang, Cililin, Cikalongwetan, Gununghalu, dan Ngamprah.
Sementara itu, Kecamatan Cisarua, Sindangkerta, Batujajar, Cipeundeuy, Parongpong, Cipongkor memiliki jumlah penduduk dibawah atau lebih kecil dari nilai tengah. Tahun 2008 nilai tengah dari jumlah penduduk berada pada Kecamatan Cikalongwetan. Kecamatan-kecamatan yang memiliki jumlah penduduk yang lebih besar dari nilai tengah adalah Cipatat, Padalarang, Lembang, Gununghalu, dan Ngamprah. Sementara itu, kecamatan yang memiliki jumlah penduduk lebih sedikit dari nilai tengah (Kecamatan Cikalongwetan) adalah Kecamatan Cisarua, Sindangkerta, Batujajar, Cipeundeuy, Parongpong, dan Cipongkor. Persentase pertambahan jumlah penduduk selengkapnya disajikan pada Gambar 14.
1998 2008 Rata-rata
Rata-rata
Gambar 14. Persentase Laju Pertambahan Jumlah Penduduk per Kecamatan Tahun 1998 dan 2008
Kecamatan Cikalongwetan memiliki laju pertambahan penduduk kurang lebih sama dengan rata-rata laju pertambahan penduduk di seluruh kecamatan di Bandung Barat. Kecamatan-kecamatan yang memiliki laju pertambahan penduduk lebih besar dari rata-rata kecamatan di Bandung Barat adalah Kecamatan Cipatat, Batujajar, Padalarang, Lembang, Cililin, dan Ngamprah. Kecamatan yang laju pertambahan penduduknya lebih sedikit dari Kecamatan Cikalongwetan adalah Kecamatan Cisarua, Sindangkerta, Cipeundeuy, Parongpong, dan Cipongkor.
Selama kurun waktu sepuluh tahun yaitu tahun 1998 sampai 2008, Kabupaten Bandung Barat mengalami fluktuasi laju pertambahan penduduk. Hal ini terlihat pada Gambar 14 yang menunjukkan bahwa Kecamatan Ngamprah merupakan kecamatan yang memiliki laju pertambahan penduduk yang paling besar yaitu 55,47%, sedangkan kecamatan yang laju pertambahan penduduknya paling kecil adalah Kecamatan Cisarua sebesar 13,95%. Laju pertambahan penduduk yang tinggi merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi perubahan penggunaan lahan, seperti Kecamatan Ngamprah dan Padalarang yang memiliki laju pertambahan jumlah penduduk yang besar seiring dengan hasil
Rata-rata
intepretasi bahwa di daerah tersebut juga telah terjadi perubahan penggunaan lahan yang relatif besar.
Kecamatan Ngamprah merupakan kecamatan yang memiliki pertambahan penduduk paling tinggi. Meskipun demikian, apabila dibandingkan dengan Kecamatan Batujajar, perubahan penggunaan lahan kecamatan ngamprah lebih kecil. Pertambahan penduduk tersebut tidak terlalu berpengaruh terhadap perubahan penggunaan lahan di kecamatan tersebut. Hal ini diduga berkaitan dengan penetapan pemerintah bahwa beberapa desa di Kecamatan Ngamprah termasuk kedalam kawasan konservasi untuk tanaman pertanian. Selain Kecamatan Ngamprah, kecamatan yang memiliki laju pertambahan penduduk yang cukup tinggi adalah Kecamatan Padalarang dan Cililin yaitu sebesar 54,82%
dan 55,35%.
5.5 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perubahan Penggunaan Lahan menjadi Lahan Terbangun
Untuk menganalisis faktor penentu perubahan penggunaan lahan digunakan metode Logistic Regression dengan prinsip Forward Stepwise. Variabel yang digunakan sebagai variabel penduga adalah jenis tanah, kemiringan lereng, curah hujan, tekstur tanah, penggunaan lahan 1998, jarak dari jalan tol dan jalan kabupaten (km2), luas poligon tiap penggunaan lahan (km2) seperti Badan air, TPLK, TPLB, Lahan terbangun, dan Hutan, pertambahan fasilitas pendidikan, ekonomi, dan sosial, serta pertambahan jumlah penduduk, jumlah penduduk, dan kepadatan penduduk. Variabel tujuan yang digunakan adalah variabel binomial dimana nilai 1 (satu) menunjukkan jenis penggunaan lahan terbangun, sedangkan untuk jenis penggunaan lahan yang lainnya bernilai 0 (nol). Tabel 11 menunjukkan ringkasan hasil analisis tersebut.
Tabel 11 menunjukkan bahwa variabel penduga yang berpengaruh sangat nyata terhadap perubahan penggunaan lahan adalah curah hujan pada kelas rendah, sangat rendah, dan tinggi serta penggunaan lahan tahun 1998 (lahan terbangun), pertambahan fasilitas pendidikan, dan kepadatan penduduk.
Berdasarkan Tabel 11 curah hujan pada kelas sangat rendah, rendah, dan sedang, memiliki hubungan yang positif sehingga apabila curah hujan suatu lahan tertentu
termasuk ke dalam kelas tersebut maka akan berpengaruh terhadap peningkatan perubahan penggunaan lahan.
Tabel 11. Hasil Analisis Statistik Metode Logistic Regression Variables terhadap Perubahan Penggunaan Lahan menjadi Lahan Terbangun
Variabel B S.E. Wald Df Sig.
Curah hujan 488,45 5 0,000*
(Sangat rendah) 4,52 0,26 298,70 1 0,000*
(Rendah) 2,63 0,24 112,62 1 0,000*
(Sedang) 1,28 40196,85 0,00 1 1,000
(Tinggi) -1,14 0,47 5,69 1 0,017*
(Sangat tinggi) -2,16 1,42 2,30 1 0,129
Penggunaan lahan tahun
1998 62,46 3 0,000*
(Hutan) 1,47 1669,61 0,00 1 0,999
(Lahan terbangun) -2966289,90 375324,10 62,46 1 0,000*
(TPLB) 18,12 559,10 0,00 1 0,974
Kepadatan penduduk 0,35 0,04 62,46 1 0,000*
Pertambahan fasilitas
pendidikan 6,09 2,90 4,41 1 0,036*
Constant -22,48 559,10 0,002 1 0,968
Keterangan : *) hubungannya sangat nyata secara statistik (p-level<0,05)
Penggunaan lahan tahun 1998 seperti hutan dan TPLB memiliki hubungan positif dengan peningkatan lahan terbangun di tahun 2008. Semakin tinggi luas hutan maupun TPLB di suatu lokasi maka kemungkinan peluang terjadinya perubahan penggunaan lahan menjadi lahan terbangun semakin tinggi sebesar 1,473. Faktor yang lebih besar mempengaruhi perubahan penggunaan lahan menjadi lahan terbangun antara penggunaan hutan, lahan terbangun, dan TPLB, adalah TPLB (tanaman pertanian lahan basah) karena peluang kemungkinan perubahan penggunaan lahan secara statistik memiliki nilai yang lebih besar yaitu 18,127.
Variabel pertambahan fasilitas pendidikan dan kepadatan penduduk memiliki hubungan positif dengan perubahan penggunan lahan. Hal ini dapat diartikan bahwa perubahan penggunaan lahan menjadi lahan terbangun di tahun 2008 terutama karena pembangunan fasilitas pendidikan dan pertumbuhan penduduk. Oleh karena itu, semakin tinggi perubahan fasilitas pendidikan dan kepadatan penduduk maka peluang perubahan penggunaan lahan semakin besar.
5.6 Faktor yang Mempengaruhi Perubahan Lahan Tanaman Pertanian Lahan Kering menjadi Lahan Terbangun
Variabel yang digunakan adalah jenis perubahan penggunaan lahan seperti lahan terbangun-lahan terbangun, TPLB-TPLB, TPLK-TPLK, hutan-hutan, dan TPLK-lahan terbangun, sedangkan untuk perubahan TPLB-lahan terbangun tidak diikutsertakan. Hal ini bertujuan untuk memprediksi variabel-variabel yang diduga berpengaruh terhadap perubahan penggunaan lahan dari TPLK-lahan terbangun. Pada Tabel 12 menunjukkan hasil analisis statistik Logistic Regression Variables.
Tabel 12. Hasil Analisis Logistic Regression Variables Perubahan Lahan Tanaman Pertanian Lahan Kering menjadi Lahan Terbangun
Variabel B S.E. Wald df Sig.
Jenis tanah 0,000 4 1,000
(Aluvial) -0,514 1859,157 0,000 1 1,000
(Andosol) -1,412 1900,896 0,000 1 0,999
(Glei humus) -1,437 1768,302 0,000 1 0,999
(Latosol) 1,969 1717,198 0,000 1 0,999
Kemiringan 0,000 4 1,000
(Agak curam) 3,665 779,002 0,000 1 0,996
(Curam) 3,590 781,382 0,000 1 0,996
(Datar) 2,331 801,465 0,000 1 0,998
(Landai) 2,143 2375,057 0,000 1 0,999
Penggunaan lahan tahun
1998 0,033 2 0,983
(Hutan) -2,449 1418,932 0,000 1 0,999
(Lahan terbangun) -295,074 1616,641 0,033 1 0,855 Pertambahan fasilitas sosial 3,149 17,557 0,032 1 0,858
Jumlah penduduk 0,001 0,009 0,017 1 0,895
Constant -22,031 1881,471 0,000 1 0,991
Secara statistik hasil analisis menunjukkan bahwa variabel yang berpengaruh sangat nyata terhadap perubahan penggunaan lahan TPLK menjadi lahan terbangun tidak ada. Namun variabel yang cenderung berpengaruh terhadap perubahan penggunaan lahan secara statistik, diantaranya jenis tanah, kemiringan, penggunaan lahan tahun 1998, pertambahan fasilitas sosial, dan jumlah penduduk.
Hal ini terkait dengan sedikitnya jumlah data hasil analisis yang digunakan sehingga hasil yang diperoleh belum terlihat nyata pengaruhnya.
Disamping itu, Land rent dari penggunaan lahan TPLK lebih rendah dibandingkan dengan lahan terbangun sehingga masyarakat cenderung mengkonversi lahan. Jumlah penduduk cenderung berpengaruh terhadap perubahan penggunaan lahan dikarenakan semakin banyaknya jumlah penduduk akan mendorong pembangunan baik berupa pemukiman dan pertambahan jumlah dan jenis fasilitas, sehingga luasan lahan pertanian berkurang.
5.7 Faktor yang Mempengaruhi Perubahan Lahan Tanaman Pertanian Lahan Basah menjadi Lahan Terbangun
Analisis faktor yang mempengaruhi perubahan lahan TPLB menjadi lahan terbangun sama halnya seperti analisis perubahan penggunaan lahan TPLB.
Variabel-variabel yang digunakan seperti lahan terbangun-lahan terbangun, TPLB-TPLB, TPLK-TPLK, hutan-hutan, dan TPLB-lahan terbangun dengan menghilangkan variabel TPLK-lahan terbangun. Dari hasil analisis disajikan pada Tabel 13.
Tabel 13. Hasil Analisis Logistic Regression Variables Perubahan Lahan Tanaman Pertanian Lahan Basah menjadi Lahan Terbangun
Variabel B S.E. Wald df Sig.
Penggunaan lahan tahun 1998 3,64E-05 2 1,000
(Hutan) -9,96123 1651,924 3,64E-05 1 0,995
(Lahan terbangun) -29810,2 6,2E+24 2,31E-41 1 1,000 Pertambahan fasilitas ekonomi 38,52727 485773,9 6,29E-09 1 1,000
Constant -11,2417 2,97112 14,31597 1 0,000
Hasil pada Tabel 13 menunjukkan bahwa variabel yang cenderung berpengaruh terhadap perubahan penggunaan lahan TPLB menjadi lahan terbangun adalah penggunaan lahan tahun 1998 dan pertambahan fasilitas ekonomi. Pertambahan fasilitas ekonomi di daerah ini akan mendorong terhadap peluang peningkatan perubahan penggunaan lahan sebesar 38,52. Seiring dengan perkembangan yang terjadi di Kabupaten Bandung Barat terhadap pembangunan fisik seperti pertokoan, industri dan perumahan yang dikhawatirkan akan mengurangi luas dari TPLB menjadi lahan terbangun. Tabel 14 merupakan tabel hasil analisis dari perubahan penggunaan lahan menjadi lahan terbangun, TPLK menjadi lahan terbangun, dan TPLB menjadi lahan terbangun.
Tabel 14. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perubahan Penggunaan Lahan No Perubahan penggunaan lahan Faktor-faktor yang mempengaruhi
1 Lahan pertanian menjadi lahan
terbangun • Curah hujan
• Penggunaan lahan tahun 1998
• Kepadatan penduduk
• Pertambahan fasilitas pendidikan 2 Tanaman pertanian lahan kering
menjadi lahan terbangun • Jenis tanah
• Kemiringan lereng
• Penggunaan lahan tahun 1998
• Pertambahan fasilitas sosial
• Jumlah penduduk 3 Tanaman pertanian lahan basah
menjadi lahan terbangun • Penggunaan lahan tahun 1998
• Pertambahan fasilitas ekonomi
Pengaruh perubahan dari ketiga hasil analisis pada Tabel 14 memiliki perbedaan variabel atau faktor yang mempengaruhi secara statistik. Namun, hanya satu faktor yang sama yang mempengaruhi dari ketiga perubahan penggunaan lahan tersebut yaitu faktor penggunaan lahan tahun 1998. Beberapa faktor yang mempengaruhi perubahan penggunaan lahan pertanian menjadi lahan terbangun secara statistik menunjukkan berpengaruh nyata. Untuk perubahan TPLK menjadi lahan terbangun maupun TPLB menjadi lahan terbangun tidak memiliki faktor-faktor yang berpengaruh nyata secara statistik. Namun, faktor-faktor tersebut merupakan faktor yang memiliki kecenderungan berpengaruh terhadap perubahan penggunaan lahan tersebut.