• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERKEMBANGAN STANDAR AKUNTANSI ZAKAT, INFAK, DAN SHODAQOH: TINJAUAN TERHADAP PRINSIP PENGAKUAN, PENGUKURAN, PENYAJIAN, DAN PENGUNGKAPAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERKEMBANGAN STANDAR AKUNTANSI ZAKAT, INFAK, DAN SHODAQOH: TINJAUAN TERHADAP PRINSIP PENGAKUAN, PENGUKURAN, PENYAJIAN, DAN PENGUNGKAPAN"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

PERKEMBANGAN STANDAR AKUNTANSI ZAKAT, INFAK, DAN SHODAQOH: TINJAUAN TERHADAP PRINSIP PENGAKUAN, PENGUKURAN, PENYAJIAN,

DAN PENGUNGKAPAN 1. A. Roisal Afif (1401160026) 2. Moh Abrori Akbar (1401160101) 3. Ryan Ardany Sumarna (1401160049) 7 C Reguler Program DIV Akuntansi

Politeknik Keuangan Negara STAN Abstrak

“Masih menunggu hasil kompilasi dan kesimpulan” Pendahuluan

Zakat sebagai salah satu rukun Islam yang ketiga telah banyak dianggap dapat menjadi instrumen untuk mengentaskan kemiskinan di negara-negara muslim dan dalam rangka mencapai keadilan yang diharapkan terkait pendistribusian pendapatan dan kekayaan. (Abdelbaki, 2013). Zakat tidak hanya dianggap sebagai alat untuk menyantuni orang miskin secara konsumtif, tetapi juga memiliki tujuan permanen, yaitu menuntaskan kemiskinan dan dapat mengangkat derajat fakir miskin dengan membantu keluar dari kesulitan hidup. (Wulansari, 2014). Zakat telah diidentifikasikan sebagai sumber penting bagi perekonomian dan memberikan dampak bagi perkembangan pembangunan sosial-ekonomi bangsa (Ibrahim et.al.,2013), bukan hanya sebagai kewajiban yang harus dipenuhi oleh umat Muslim yang mampu sebagai bentuk ibadah. Akibatnya, pembahasan mengenai zakat tidak hanya menjadi domain ilmu agama atau syariah, tetapi telah meluas dengan memasukkan adanya isu sosial ekonomi. (Adnan, et.al., 2009).

Hampir serupa dengan zakat, infak dan shodaqoh adalah bentuk ibadah dengan menyisihkan sebagian hartanya untuk kepentingan agama sebagai bentuk kecintaan hamba terhadap nikmat dari Allah SWT. Sedikit perbedaan terdapat pada peruntukannya, dimana zakat hanya diperuntukkan untuk orang-orang yang berhak dan jumlahnya pun telah ditentukan. Allah SWT telah menetapkan pihak-pihak yang berhak untuk menerima zakat sebagaimana tertuang di dalam Al-Quran, Surat At-Taubah ayat 60:

Artinya: “Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”

(2)

Sedangkan, definisi infak dan shodaqoh/sedekah sebagaimana dikemukakan oleh Nurhayati (2013, 284), infak adalah mengeluarkan harta karena taat dan patuh kepada Allah SWT dan menurut kebiasaan, yaitu untuk memenuhi kebutuhan. Sedekah adalah segala pemberian/kegiatan untuk mengharapkan pahala dari Allah SWT. Mu’is (2011, 23) mendefinisikan sedekah sebagai pemberian harta pada orang-orang fakir miskin, orang yang membutuhkan, atau pihak-pihak lain yang berhak untuk menerima shodaqoh tanpa disertai imbalan, tanpa paksaan, tanpa batasan jumlah, kapan saja, dan berapa pun jumlahnya.

Sejarahnya, di negara-negara Islam pada masa-masa terdahulu sebagaimana diungkapkan oleh Hasan dalam Sarea (2013, 23), dana zakat dikumpulkan dan dikelola oleh pemerintah. Hal tersebut juga diungkapkan di dalam Al-Quran, Surat At-Taubah ayat 103:

Artinya: “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketentraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”

Pasca era kolonial, beberapa negara muslim seperti Yaman, Arab Saudi, Libya, Sudan, Pakistan, dan Malaysia telah menetapkan bahwa pengelolaan zakat wajib dilakukan melalui negara/pemerintah. (Hasan dalam Sarea (2013, 24). Negara-negara lain seperti Mesir, Yordania, Kuwait, Iran, Bangladesh, Bahrain, dan Irak telah membentuk suatu lembaga khusus untuk mengelola zakat dan memberi kesempatan kepada masyarakat untuk berpartisipasi secara sukarela. (Hasan dalam Sarea (2013, 24).

Pembentukan pengelola zakat pada dasarnya telah disinggung secara eksplisit di dalam Al-Quran Surat At-Taubah ayat 60 dimana salah satu pihak yang berhak untuk menerima zakat adalah pengurus-pengurus zakat (Amil). Negara/Pemerintah selaku pihak yang mendapat perintah/bertanggung jawab penuh atas pengumpulan, hingga pendistribusian zakat agar sampai kepada mereka yang berhak menerimanya (Qardawi dalam Fitriyah (2008, 77), dapat membentuk lembaga-lembaga khusus untuk membantu pemerintah dalam menjalankan tanggung jawabnya terkait penerapan zakat. Lembaga tersebut diberi kepercayaan untuk mendistribusikan harta yang telah dikeluarkan Muzakki untuk didistribusikan kepada orang-orang yang berhak sesuai dengan yang ditentukan dalam Al-Quran. (Fitriyah, 2008). Dengan demikian, dalam pengelolaan zakat ada tiga pihak yang harus bersinergi, agar fungsi zakat dan pemanfaatannya dapat dioptimalkan yaitu, Muzakki (pembayar zakat), Mustahik (penerima zakat), dan Amil (pengelola zakat). (Puspitasari, et.al., 2013)

Di Indonesia, pengelolaan zakat telah diatur sendiri dalam Undang - Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat. Pemerintah menetapkan bahwa pengelolaan zakat di Indonesia dilakukan oleh badan amil zakat yang dibentuk pemerintah (BAZIS) di tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota, serta lembaga amil zakat yang dapat dibentuk secara swadaya oleh masyarakat (LAZIS). Organisasi Pengelola Zakat (OPZ) ini diberikan amanat

(3)

untuk mengumpulkan, mendistribusikan, dan mendayagunakan zakat sesuai dengan ketentuan agama.

Sebagai lembaga yang diberikan kepercayaan untuk menjalankan amanah umat, yaitu mengelola dan mendistribusikan zakat yang telah dikumpulkan dari para muzakki, tentu perlu adanya suatu proses akuntabilitas publik yang baik dan transparan dengan mengedepankan motivasi melaksanakan amanah umat. Akuntabel disini berkaitan erat dengan laporan kinerja termasuk laporan keuangan. Konsep akuntabilitas menempati posisi yang sangat penting bagi organisasi dalam menyajikan, melaporkan, dan mengungkapkan segala aktivitas kegiatan serta sejauh mana laporan keuangan memuat semua informasi yang relevan yang dibutukan oleh para pengguna dan seberapa mudah informasi tersebut dapat diakses masyarakat. (Puspitasari, et.al., 2013). Tuntutan untuk menyusun laporan sebagai bentuk akuntabilitas publik telah diatur dalam Keputusan Menteri Agama RI Nomor 373 Tahun 1999 tentang pelaksanaan Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, Pasal 31: “Badan Amil Zakat (BAZ) dan Lembaga Amil Zakat (LAZ) memberikan laporan tahunan pelaksanaan tugasnya kepada pemerintah sesuai dengan tingkatannya selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan setelah akhir tahun.” Tidak hanya itu, pada peraturan yang sama, terdapat keharusan bagi Lembaga Amil Zakat untuk menyampaikan laporan keuangan untuk periode dua tahun terakhir yang telah diaudit oleh Akuntan Publik sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan izin pendirian dari pemerintah.

Kewajiban untuk melakukan pembukuan pada dasarnya juga telah tercantum di dalam Al-Quran, yaitu di Surat Al-Baqarah ayat 282:

(4)

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang tidak ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis diantara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), sedikit pun daripada hutangnya. Jika orang yang berhutang itu lemah akalnya atau lemah (keadaanya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur, dan periksalah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki diantaramu. Jika tidak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhoi, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil, dan jangalah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya . Yang demikian itu lebih Adil disisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu, (Tulislah mu’amalahmu itu), kecuali jika mu’amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan diantara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) tidak menulisnya . Dan periksalah apabila kamu berjual beli, dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertaqwalah kepada Allah, Allah mengajarmu, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”

(5)

Fakta bahwa zakat adalah bentuk ibadah dalam bentuk finansial mengakibatkan perhitungan zakat menjadi sesuatu yang tidak terelakkan dalam memenuhi kewajiban ini. Akuntansi sebagai media untuk menghitung dan melakukan pencatatan atas zakat mempunyai peran penting dalam menentukan penilaian yang benar dan wajar atas zakat. Pembahasan terkait akuntansi dan zakat telah menghasilkan berbagai penelitian baik di dalam negeri maupun di luar negeri. (Adnan, et.al., 2009).

Untuk dapat memudahkan dan memberikan keseragaman dalam pencatatan zakat, infak/sedekah diperlukan adanya suatu standar akuntansi terkait zakat, infak/sedekah. Standar akuntansi menjadi alat untuk menyeragamkan laporan keuangan, terutama dalam lingkup global. Selain itu, standar akuntansi dapat menjadi instrumen untuk meningkatkan keandalan dalam menyajikan informasi keuangan yang cukup, dapat dipercaya, dan relevan bagi penggunanya, namun tetap dalam konteks syariah Islam. Kepercayaan pembayar zakat (muzakki) menjadi faktor penting. Ketidakpercayaan pembayar zakat (muzakki) disebabkan oleh belum transparannya laporan penggunaan dana zakat untuk publik. (Harianto & Diana, tanpa tahun). Hasil penelitian menunjukkan bahwa kredibilitas lembaga amil zakat berpengaruh positif dan signifikan terhadap motivasi membayar zakat (Kanji, et.al., 2011). Pentingnya suatu standar akuntansi yang mengatur perlakuan untuk zakat, infaq, dan shodaqoh mendorong berbagai institusi di berbagai negara untuk mengembangkan suatu standar akuntansi atau paling tidak suatu pedoman akuntansi. Institusi tersebut antara lain Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institutions (AAOIFI), the Malaysian Accounting Standard Board (MASB) dan Ikatan Akuntan Indonesia (IAI). AAOIFI menerbitkan Financial Accounting Standards (FAS) No. 9 yang spesifik mengatur perlakuan akuntansi untuk zakat. MASB menerbitkan MASB (2006) Technical Release i-1 (TR i-1): “Accounting for Zakat on Business.” Sedangkan Ikatan Akuntan Indonesia menerbitkan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan Nomor 109 tentang Akuntansi Zakat dan Infak/Sedekah.

Di Indonesia sendiri, sebelum berlakunya Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) Nomor 109 yang mengatur secara spesifik mengenai Akuntansi Zakat, dan Infak/Sedekah, Organisasi Pengelola Zakat (OPZ) menggunakan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No. 45 tentang Organisasi Nirlaba. Hal yang mendasari penggunaan standar akuntansi tersebut adalah suatu pemahaman bahwa OPZ adalah salah satu organisasi nirlaba. Namun, banyak pihak menganggap penggunaan PSAK tersebut tidaklah mampu sepenuhnya mengatasi permasalahan standar akuntansi keuangan untuk OPZ.

Pada akhirnya, pada tahun 2005, Organisasi Pengelola Zakat berupaya untuk menyusun Pedoman Akuntansi bagi Organisasi Pengelola Zakat (PA-OPZ). Namun pedoman tersebut belum sempat untuk disosialisasikan dan diterapkan. Organisasi Pengelola Zakat dan Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) kemudian bekerja sama untuk menyusun Standar Akuntansi yang khusus mengatur perlakuan akuntansi untuk zakat pada tahun 2007. IAI membutuhkan waktu yang tidak sebentar untuk menyusun standar akuntansi tersebut. IAI berhasil menyelesaikan Exposure Draft PSAK Nomor 109 pada tahun 2008. Namun, penetapan standar akuntansi tersebut baru dapat dilakukan pada tahun 2010 dikarenakan dibutuhkan suatu proses yang panjang setelah melalui dengar pendapat dengan pihak-pihak yang terkait dengan zakat dan

(6)

berbagai perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai zakat. PSAK 109 pada akhirnya berlaku untuk tahun buku yang dimulai pada atau setelah tanggal 1 Januari 2012.

Berbagai macam standar yang pernah diterapkan untuk menjadi acuan terkait perlakuan akuntansi untuk zakat menarik untuk dibahas. Menarik untuk diteliti bagaimana standar akuntansi terkait akuntansi zakat dan infak/sedekah terus mengalami perkembangan sebagai acuan atau pedoman dalam rangka untuk selalu meningkatkan akuntabilitas dan agar selalu sesuai dengan syariat Islam. Dimulai dari Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan Nomor 45 tentang Pelaporan Keuangan untuk Organisasi Nirlaba, Pedoman Akuntansi Organisasi Pengelola Zakat (PA OPZ) 2005, dan yang terakhir Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan Nomor 109 tentang Akuntansi Zakat dan Infak/Sedekah. Menarik juga untuk diteliti bagaimana perlakuan akuntansi untuk zakat dan infak/sedekah yang ditetapkan oleh AAOIFI untuk menyeragamkan standar akuntansi terkait zakat di berbagai negara dengan Standar yang ditetapkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia.

Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini mencoba untuk mengidentifikasi bagaimana standar akuntansi untuk akuntansi zakat dan infak/sedekah terus mengalami perkembangan dari waktu ke waktu, dimulai dari penerapan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan Nomor 45 tentang Akuntansi Organisasi Nirlaba, Pedoman Akuntansi Organisasi Pengelola Zakat 2005 (PA OPZ 2005), dan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan Nomor 109 tentang Akuntansi Zakat dan Infak/Sedekah. Penelitian juga dilakukan untuk mengidentifikasi perbandingan standar akuntansi yang diterapkan di Indonesia terkait zakat dan infak/sedekah dengan standar yang ditetapkan oleh AAOIFI yaitu Financial Accounting Standard (FAS) No.9.

Peneliti ingin mengidentifikasi perkembangan standar akuntansi terkait zakat dan infak/sedekah terbatas pada komponen laporan keuangan dan perlakuan akuntansi terkait prinsip pengakuan (recognition), pengukuran (measurement), penyajian dan pengungkapan (disclosure). Prinsip pengakuan sebagaimana didefinisikan oleh Suwardjono yang dikutip dalam Fitriyah, et.al (2008, 81) adalah penyajian suatu informasi melalui statement keuangan sebagai ciri sentral pelaporan keuangan. Secara teknik, pengakuan berarti pencatatan secara resmi (penjurnalan) suatu kuantitas (jumlah rupiah) hasil pengukuran ke dalam sistem akuntansi sehingga jumlah rupiah tersebut akan mempengaruhi suatu pos dan terefleksi dalam statement keuangan. Suwardjono seperti dikutip oleh Fitriyah (2008, 81) juga mendefinisikan prinsip pengukuran sebagai penentuan jumlah rupiah yang harus dilekatkan pada suatu objek yang terlibat dalam suatu transaksi keuangan. Jumlah rupiah ini akan dicatat untuk dijadikan data dasar dalam penyusunan statement keuangan. Pengukuran lebih berhubungan dengan masalah penentuan jumlah rupiah (kos) yang dicatat pertama kali pada suatu transaksi terjadi (Fitriyah, 2008). Sedangkan prinsip penyajian dan pengungkapan (disclosure) yang didefinisikan oleh Suwardjono sebagaimana dikutip oleh Fitriyah (2008, 82) adalah cara pembeberan melalui statement keuangan.

Metode Penelitian

Penelitian dilakukan dengan pendekatan kualitatif deskriptif yaitu metode yang sifatnya menguraikan, menggambarkan, membandingkan, suatu data dan keadaan serta menerangkan

(7)

suatu keadaan sedemikian rupa sehingga dapatlah ditarik suatu kesimpulan. Peneliti akan melakukan studi kepustakaan untuk mencoba mengidentifikasi perkembangan standar akuntansi zakat dari waktu ke waktu ditinjau dari komponen laporan keuangan, prinsip pengakuan (recognition), pengukuran (measurement), penyajian dan pengungkapan (disclosure).

Pembahasan

1. Financial Accounting Standard No. 9 (AAOIFI)

Beragamnya standar akuntansi yang mengatur mengenai perlakuan akuntansi untuk zakat yang diterapkan oleh Institusi Keuangan Syariah menuntut adanya suatu institusi yang dapat mengembangkan suatu standar akuntansi, auditing, pemerintahan dan etika. Tujuannya adalah untuk meningkatkan keterbandingan dan keandalan informasi akuntansi. Tidak adanya suatu standar yang baku mengakibatkan banyak institusi keuangan syariah menerapkan berbagai standar akuntansi yang berbeda antara satu institusi dengan institusi lainnya yang pada akhirnya menimbulkan berbagai perbedaan dari segala sisi. Lovett (2002) dalam penelitiannya mengungkapkan laporan keuangan yang dipersiapkan dengan menggunakan standar akuntansi yang berbeda akan menghasilkan permasalahan di sisi keterbandingan laporan keuangan yang dipersiapkan secara global dan keandalan serta kredibilitasnya. Aturan akuntansi konvensional seperti International Financial Reporting Standards (IFRS) tentu tidak dapat diterapkan bagi institusi Islam dikarenakan banyaknya transaksi – transaksi unik yang terjadi di Institusi Keuangan Islam. Oleh karena itu, kebutuhan untuk mengembangkan dan menerapkan suatu standar akuntansi terkait dengan zakat dapat mengurangi berbagai perbedaan dalam metode perlakuan yang diterapkan oleh Institusi Keuangan Muslim.

Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institution (AAOIFI) memperoleh mandat untuk mengembangkan standar tersebut. AAOIFI menerbitkan Financial Accounting Standards No. 9 yang mengatur perlakuan akuntansi untuk zakat. Harapannya dari standar tersebut, laporan keuangan yang transparan dapat dihasilkan dan dapat diinterpretasikan secara mudah oleh pengguna.

The Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institution (AAOIFI) adalah lembaga yang didirikan oleh The Islamic Bank (Lembaga Keuangan Syariah) dan pihak-pihak yang berkepentingan untuk menyiapkan dan mempublikasikan permasalahan terkait akuntansi, audit, dan standar tata kelola berdasarkan persepsi syariah untuk lembaga keuangan syariah. AAOIFI mengeluarkan FAS No.9 dengan tujuan untuk memberikan panduan akuntansi untuk perlakuan terkait penentuan dasar zakat. Diharapkan dengan adanya penerapan suatu metode yang standar dapat membantu organisasi dalam menyajikan informasi yang berguna bagi para pengguna laporan keuangan. (Sarea, 2013)

AAOIFI FAS 9 mencakup perlakuan akuntansi terkait zakat dan pengungkapan zakat dalam laporan keuangan (AAOIFI dalam Sarea, 2013). AAOIFI FAS No. 9 terdiri dari 21 paragraf yang menjelaskan prinsip pengukuran (measurement), pengakuan (recognition), dan pengungkapan (disclosure) dengan mengatur prinsip akuntansi untuk perlakuan terkait pengakuan dasar zakat dan pengukuran item yang termasuk dalam zakat dan pengungkapan

(8)

zakat dalam laporan keuangan lembaga keuangan Islam dan institusi keuangan syariah (AAOIFI, dalam Sarea 2013).

1. Prinsip Pengakuan Zakat

Paragraf 9, 10, dan 11 AAOIFI FAS 9 mengatur terdapat dua kondisi untuk menjelaskan bagaimana perlakuan akuntansi terkait pembayaran zakat. Kondisi pertama adalah ketika lembaga keuangan Syariah diwajibkan untuk membayar zakat. Sedangkan kondisi kedua adalah ketika lembaga keuangan Syariah tidak diwajibkan untuk membayar zakat.

a. Kondisi Pertama: Lembaga Keuangan Syariah diwajibkan untuk membayar zakat

Zakat akan diakui sebagai beban non operasional bagi lembaga tersebut dan menjadi bagian dalam menghitung laba rugi dalam laporan laba rugi lembaga keuangan jika kondisi berikut ini terpenuhi:

1) Ketika hukum meminta lembaga keuangan Syariah untuk memenuhi kewajiban menunaikan zakat.

2) Ketika lembaga keuangan Syariah diharuskan oleh anggaran dasar lembaga tersebut untuk memenuhi kewajiban menunaikan zakat.

3) Ketika majelis umum pemegang saham telah menyampaikan resolusi yang mengharuskan lembaga keuangan Syariah untuk memenuhi kewajiban menunaikan zakat.

Paragraf 9 AAOIFI FAS No. 9 mengatur bahwa zakat yang belum dibayarkan akan diakui sebagai hutang dan disajikan di bagian kewajiban dalam laporan posisi keuangan lembaga keuangan Syariah.

b. Kondisi Kedua: Lembaga Keuangan Syariah tidak diwajibkan untuk membayar zakat

Ketika lembaga keuangan Syariah bertindak sebagai agen untuk mengumpulkan zakat yang berasal dari para pemegang saham dalam rangka memenuhi kewajibannya untuk menunaikan zakat dengan memotong bagian penghasilan yang diperoleh pemegang saham, maka zakat akan dikurangi dari bagian pemegang saham terhadap keuntungan yang dapat dibagi. (Paragraf 10 AAOIFI FAS No.9).

Ketika lembaga keuangan Syariah ditunjuk sebagai agen untuk mengumpulkan zakat yang berasal dari para pemegang saham dalam rangka memenuhi kewajibannya untuk menunaikan zakat dan lembaga keuangan Syariah bersedia untuk melakukannya, namun pada saat yang sama tidak terdapat keuntungan/profit yang dapat dibagikan kepada pemegang saham, maka zakat akan diakui sebagai piutang yang berasal dari pemegang saham. (Paragraf 11 AAOIFI FAS No. 9)

Paragraf 12 AAOIFI FAS No. 9 mengatur perlakuan akuntansi terkait pencatatan zakat. Zakat yang diterima dari Lembaga Keuangan Syariah atau yang berasal dari sumber dana lain akan disajikan dalam laporan sumber dan penggunaan dana dalam pos zakat dan dana amal.

(9)

Berdasarkan AAOIFI FAS No. 9 paragraf 2, zakat diukur dengan menggunakan tarif sebesar 2,5% pada kalender lunar year dan tarif 2,5775% pada kalender solar year. Terdapat dua metode yang digunakan untuk mengukur zakat, yaitu metode aset/kekayaan bersih (Net Assets) dan metode dana investasi bersih (Net Invested Funds).

a. Metode Aset/Kekayaan Bersih (Net Assets)

Dalam meotde aset/kekayaan bersih (net assets), zakat diukur dengan menggunakan formula: zakat = Aset yang menjadi subjek zakat - kewajiban yang jatuh tempo dalam tahun berjalan yang berakhir pada tanggal pelaporan laporan posisi keuangan + ekuitas yang tidak dibatasi penggunaannya + bagian pihak non pengendali + ekuitas yang dimiliki oleh pemerintah + ekuitas yang dimiliki oleh dana donasi/endowment + ekuitas yang dimiliki oleh lembaga amal + ekuitas yang merupakan milik organisasi nirlaba, tidak termasuk ekuitas yang dimiliki oleh individual. (Paragraf 3, AAOIFI FAS No.9)

b. Metode Dana Investasi Bersih (Net Invested Funds)

Dalam metode dana investasi bersih (net invested funds), zakat diukur dengan menggunakan formula: Dana yang diinvestasikan + Cadangan + provisi yang tidak dikurangkan dari aset + laba ditahan + laba bersih + kewajiban yang belum jatuh tempo selama tahun berjalan yang berakhir pada tanggal pelaporan posisi keuangan – (aset tetap bersih + investasi yang tidak diperoleh untuk diperdagangkan, seperti real estate untuk disewakan + akumulasi kerugian). (Paragraf 7, AAOIFI FAS No.9) 3. Prinsip Pengungkapan Zakat

AAOIFI FAS No. 9 mengatur prinsip pengungkapan (disclosure) zakat dalam delapan paragraf, yang mengatur bagaimana zakat diungkapkan dalam laporan keuangan institusi keuangan Syariah. Paragraf tersebut juga mengatur ketentuan mengenai pengungkapan metode yang digunakan untuk menentukan dasar perhitungan zakat dan kewajiban mengungkapkan aturan-aturan dari Shari’ah Supervisory Board (SSB). Terdapat ketentuan yang mempersyaratkan institusi keuangan Syariah untuk mengungkapkan apakah institusi tersebut selaku induk/pemegang saham atas anak-anak perusahaannya telah memenuhi kewajiban menunaikan zakat atas bagian penghasilan yang ia peroleh dari anak-anak perusahaan atau bertindak sebagai agen yang bertugas mengumpulkan dan membayar zakat atas bagian penghasilan yang diterima oleh pemilik investasi atau pemegang saham. (Paragraf 15, 16, 17, dan 18 AAOIFI FAS No. 9).

Paragraf 19 AAOIFI FAS No. 9 lebih lanjut mengatur ketentuan pengungkapan untuk menyertakan catatan sebagai pelengkap laporan keuangan institusi keuangan Syariah mengenai batasan-batasan yang diharuskan oleh The Shari’ah Supervisory Board (SSB) untuk Institusi Keuangan Syari’ah terkait penentuan dasar perhitungan zakat. Contoh batasan yang diungkapkan antara lain seperti ketentuan bahwa total aset tetap bersih dan investasi yang diperoleh tidak untuk diperdagangkan tidak boleh melebihi jumlah modal yang diinvestasikan dan cadangan dalam menentukan dasar perhitungan zakat dengan menggunakan metode dana investasi bersih (net invested funds). Sebagai tambahan, ketentuan pengungkapan yang dipersyaratkan dalam Financial Accounting Standard No. 1 tentang General Presentation and Disclosure in the Financial Statements of Islamic Banks

(10)

and Finansial Institutions tetap harus dipenuhi (Paragraf 20 AAOIFI FAS No. 9). Ketentuan mengenai pengungkapan zakat mengindikasikan kebutuhan bagi Institusi Keuangan Syariah untuk lebih transparan dalam mengungkapkan informasi keuangan terkait dasar pengukuran zakat. (Sarea, 2013).

REFERENSI

Al-Quran dan Terjemahannya.

AAOIFI. 2008. Financial Accounting Standards: Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institutions, Manama, Bahrain

Abdelbaki. 2013. The Impact of Zakah on Poverty and Income Inequality in Bahrain. Review of Integrative Business and Economics Research. Vol 2(1), pp 133- 154.

Adnan, Muhammad Akhyar & Nur Barizah Abu Bakar. 2009. Accounting treatment for corporate zakat: a critical review. Internasional Journal of Islamic and Middle Eastern Finance and Management. Vol. 2 No.1, pp. 32-45. Emerald Group Publishing Limited Fitriyah, dkk. 2008. Analisis Perlakuan Akuntansi pada Lembaga Amil Zakat berdasarkan

PSAK No. 45 tentang Pelaporan Keuangan Organisasi Nirlaba (Studi Kasus pada Baitul Maal Hidayatullah Surabaya). Jurnal Infestasi Vol. 4 No.1, Juni 2008. Hal. 75-94.

Harianto, Syawal & Diana. Tanpa Tahun. Analisis Penerapan Akuntansi Zakat, Infaq, dan Sedekah pada Baitul Mal Kota Lhokseumawe. Tanpa Kota: Tanpa Penerbit.

Ibrahim, A. Rizuan, M. & Abdullah. A. 2013. Perception of Accounting Practitioners on MASB Tri. International Journal of Humanities and Social Science, Vol. 3 No. 2, pp 247-253.

Kanji, L., dan Abd. Hamid Habbe, Mediaty. 2011. Faktor Determinan Motivasi Membayar Zakat, (http://pasca.unhas.ac.id/jurnal/file/387a71645e06a7998e64844810f877d1f.pdf) Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 373Tahun 1999 tentang Pelaksanaan

Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat.

Lovett, R. 2002. The adoption of international accounting standards: A diffusion of an innovation (PhD thesis). Nova Southeastern University. USA.

Mu’is, fahrur. 2011. Zakat A-Z Panduan Mudah, Lengkap, dan Praktis tentang Zakat. Solo: Tinta Medina.

Nurhayati, Sri & Wasilah. 2013. Akuntansi Syariah di Indonesia. Edisi Ketiga. Jakarta: Salemba Empat.

(11)

Puspitasari, Yulifa & Habiburrochman. 2013. Penerapan PSAK No. 109 atas Pengungkapan Wajib dan Sukarela. Jurnal Akuntansi Multiparadigma. Vol. 4 (3), Desember 2013, pp 479-494.

Sarea, Adel Mohammed. 2013. Accounting Treatment of Zakah: Additional Evidence from AAOIFI. Journal of Islamic Banking and Finance, Vol 1 (1), pp 23-28.

Referensi

Dokumen terkait

Orang pertama yang memasuki pelataran Kabah sejak saat itu, tidak peduli dari kabilah mana , harus memutuskan siapa yang akan mengangkat baru itu. Begitu keputusan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengembangkan dan memperoleh desain pembelajaran pada materi fungsi kuadrat dengan visual scaffolding untuk dapat mengembangkan kemampuan

Dari hasil uji chi square menunjukkan nilai signifikansi 0.305 >0.05, sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan untuk pernah/tidak pernah melakukan perawatan tali

Dan jajaran Bawaslu Provinsi serta Bawaslu Kabupaten/Kota yang juga diamanatkan dalam penyelesaian sengketa perlu mengoptimalkan proses pembelajaran untuk meningkatkan

7.1 Partisipasi aktif dalam perencanaan, implementasi, dan peningkatan mutu penelitian, pelayanan/pengabdian kepada masyarakat, dan kerjasama yang mendukung

Tujuan karya tulis ilmiah ini mengetahui dan mampu menerapkan teori ke dalam praktik asuhan keperawatan pada klien dengan kegawat daruratan cidera kepala berat di

Peralatan P3K dan cara penggunaannya Disajikan wacana tentang P3K, peserta didik dapat menjelaskan pengertian Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan (P3K) dengan benar C2

Penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Saputra (2009) menunjukkan Variabel kualitas produk atas harga memiliki pengaruh yang signifikan terhadap keputusan