KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT KABUPATEN PACITAN, JAWA TIMUR DALAM MENJAGA KELESTARIAN LINGKUNGAN LOCAL WISDOM OF THE SOCIETY OF PACITAN REGENCY, EAST JAVA
IN PRESERVING THE ENVIRONMENT CONSERVATION
Priyaji Agung Pambudi
Sekolah Ilmu Lingkungan, Universitas Indonesia
Kampus UI Salemba Jl. Salemba Raya No. 4, Gd. SIL lt. 1 dan 2 Jakarta Pusat Pos-el: [email protected]
DOI: 10.36869/wjsb.v12i2.227 ABSTRACT
Environmental damage caused by exceeding the carrying capacity of the environment was increasingly massive and became the biggest challenge in the 21st century. This study aimed to understand the local wisdom of the society of Pacitan Regency to the environmental conservation. This research applied qualitative approach through physical, social observation, and in-depth interviews, then exploratory descriptive analysis was used to answer the research questions. The people of Pacitan faced severe life pressures due to the dry and arid natural conditions. These pressures encouraged the people various activities that growth and developed into the local wisdom values. There were 14 activities containing the values of local wisdom in managing the environment for the sustainability and fairness of life across generations. The wise environmental management was carried out from generation to generation and passed down through a system of social institutions. The efforts to preserve the local wisdom was used to face the increasingly challenges due to the development era and modernity. The values of local wisdom were firmly held by the community, especially those who live around forest areas. It has become a part of their lives and formed an inseparable socio-ecological system, and forming a pattern of interdependence and mutual benefit. To preserve the local wisdom which played an important role in preserving the environment and encouraged the realization of sustainable development, people participation through non-formal education in daily social interactions was needed.
Keywords: people interaction, local wisdom, environmental conservation, socio-ecology.
ABSTRAK
Kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh terlampauinya daya dukung lingkungan semakin masif dan menjadi tantangan terbesar pada abad ke-21. Penelitian ini bertujuan memahami kearifan lokal masyarakat di Kabupaten Pacitan untuk mengonservasi lingkungan. Penelitian ini menerapkan pendekatan kualitatif melalui observasi fisik, sosial, dan wawancara mendalam, kemudian analisis deksriptif eksploratif digunakan untuk menjawab tujuan penelitian. Masyarakat Pacitan menghadapi tekanan yang berat, karena kondisi alam yang kering dan gersang. Tekanan yang dihadapi mendorong munculnya berbagai kegiatan masyarakat yang tumbuh dan berkembang menjadi nilai-nilai kearifan lokal. Terdapat 14 kegiatan yang mengandung nilai-nilai kearifan lokal dalam mengelola lingkungan demi kelestarian dan keadilan hidup lintas generasi. Pengelolaan lingkungan secara arif dan bijak dilakukan secara turun temurun dan diwariskan melalui sistem pranata sosial. Upaya pelestarian nilai-nilai kearifan lokal diterapkan dalam rangka menghadapi tantangan yang semakin berat, karena perkembangan zaman dan modernitas. Nilai- nilai kearifan lokal dipegang teguh oleh masyarakat hingga saat ini, khususnya mereka yang tinggal di sekitar kawasan hutan. Hal tersebut sudah menjadi bagian dari kehidupan mereka dan membentuk satu kesatuan sistem sosio-ekologi yang tidak terpisahkan, serta membentuk pola saling kebergantungan dan saling menguntungkan. Untuk melestarikan nilai-nilai kearifan lokal yang berperan penting menjaga
PENDAHULUAN
Kerusakan lingkungan menjadi tantangan terbesar bagi kehidupan manusia di abad ke- 21 (Miller dan Spoolman 2016). Tingginya laju kerusakan lingkungan sebanding dengan pertumbuhan populasi penduduk yang terus membutuhkan sumber daya alam hayati dan nonhayati untuk keperluan sehari-harinya (Sze, Jefferson, dan Lee 2019). Pertumbuhan populasi penduduk yang tidak diimbangi dengan pengetahuan lingkungan secara baik dan benar berisiko mempercepat laju kerusakan lingkungan (Karuniasa dan Pambudi 2019).
Kerusakan lingkungan dapat terjadi apabila kemampuan untuk mendukung dan menampung komponen yang ada di dalamnya telah terlampaui (Miller dan Spoolman 2016).
Daya dukung dan daya tampung lingkungan menjadi parameter dasar yang harus dipahami untuk menjaga kelestarian lingkungan (Hui 2015). Pemahaman mengenai hal tersebut harus dimiliki oleh semua orang agar sikap dan perilaku pada kesehariannya mencerminkan kecintaan lingkungan (prolingkungan) dan berkomitmen untuk melestarikannya (Grilli dan Curtis 2019).
Perilaku pro-lingkungan dapat dilahirkan melalui pengetahuan yang didapatkan dari pendidikan formal dan non-formal (Dearing et al. 2006). Di Indonesia pada sektor formal hingga saat ini masih belum sepenuhnya memasukkan pendidikan lingkungan hidup ke dalam kurikulum sistem pendidikan nasional, melainkan hanya sebagai muatan lokal di beberapa sekolah saja (Alpusari 2014). Pendidikan lingkungan hidup idealnya diintegrasikan ke dalam kurikulum jenjang pendidikan dasar hingga menengah untuk
membentuk pengetahuan, sikap, dan perilaku generasi muda yang pro-lingkungan.
Kekosongan pendidikan lingkungan lingkungan hidup di dalam kurikulum pendidikan nasional dapat dimaknai sebagai kesempatan bagi masyarakat untuk menanamkan pengetahuan, sikap, dan perilaku prolingkungan kepada anak-anak (Rees 2009). Masyarakat di dalam kehidupan sosial memiliki peran penting sebagai lingkungan belajar generasi muda, sehingga banyak hal dapat dipelajari melalui proses interaksi sosial di tengah kehidupan bermasyarakat (Kristiyanto 2017). Kondisi ini didukung oleh adanya kearifan lokal yang dipegang teguh oleh masyarakat di beberapa daerah demi menjaga kelestarian lingkungan (Arif 2015). Salah satu daerah yang memiliki kearifan lokal untuk menjaga kelestarian lingkungan adalah di Kabupaten Pacitan, Jawa Timur. Masyarakat di lokasi ini mewariskan beberapa konsep melalui pesan-pesan tutur kata, cerita rakyat, dan penggunaan bahasa simbol untuk menanamkan karakter dan nilai- nilai kepedulian lingkungan pada generasi muda (Setyawan dkk., 2017). Pangestu dan Hilman (2020) yang meneliti tentang kajian budaya dan potensi kearifan lokal di Kabupaten Pacitan membuktikan bahwa kawasan Gunung Limo yang masih memegang teguh kearifan lokal memiliki kondisi lingkungan yang asri, sejuk, damai, dan tentram.
Martini dkk. (2017) juga melakukan penelitian tentang konservasi kebudayaan lokal masyarakat di Kabupaten Pacitan, diperoleh hasil bahwa masyarakat memiliki keyakinan terhadap nilai-nilai budaya dan hal tersebut selalu dilakukan demi kemakmuran dan keselamatan hidup masyarakat. Oleh karena itu, penelitian ini penting untuk memahami kelestarian lingkungan dan mendorong terwujudnya pembangunan yang berkelanjutan diperlukan peran serta masyarakat melalui pendidikan nonformal dalam interaksi masyarakat sehari-hari.
Kata kunci: interaksi manusia, kearifan lokal, konservasi lingkungan, sosio-ekologi.
kearifan lokal masyarakat Kabupaten Pacitan dalam rangka melestarikan lingkungan, sehingga dapat dimaknai oleh masyarakat luas dan berpotensi dijadikan sebagai role model untuk melestarikan lingkungan.
METODE
Penelitian ini dilakukan pada Juli 2018 sampai dengan Juli 2021 atau selama 3 tahun menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode observasi fisik pengamatan kondisi sumber air, kondisi lereng sekitar sumber air, kondisi aliran air dan badan- badan air seperti parit, sungai, dan telaga/
embung alami; observasi sosial mengamati aktivitas masyarakat disekitar sumber air, lahan pertanian, sungai, dan dikawasan hutan masyarakat; serta wawancara mendalam secara langsung (tatap muka) mendatangi rumah tokoh masyarakat yakni kepala desa, pemuka agama, ketua karang taruna, dan kepala dusun.
Di dalam proses pengambilan data, peneliti bertindak sebagai participant observation atau peneliti ikut melebur di dalam kehidupan masyarakat lokal untuk mendapatkan data dan menggali informasi sedalam-dalamnya.
Data dan informasi yang didapatkan dianalisis dengan menggunakan teknik deskriptif eksploratif. Teknik ini dipilih karena sesuai dengan tujuan penelitian untuk memahami kearifan lokal yang dilakukan dan mengeksplorasinya melalui deskripsi di dalam penelitian ini untuk memberikan informasi yang mendalam dan komprehensif.
PEMBAHASAN Rona Lingkungan
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Kabupaten Pacitan (2013) wilayah ini memiliki luas wilayah 138.987,16 hektar yang terdiri atas 90,64% lahan kering dan 9,36% lahan sawah dan terbagi menjadi 12 kecamatan dan 171 desa/kelurahan. Secara geografis Kabupaten Pacitan terletak pada 110,55o – 11,25o BT dan
7,55o – 8,17o LS. Kabupaten Pacitan memiliki kondisi alam yang eksotis terdiri atas wilayah pantai, dataran rendah, dan perbukitan dengan dominasi topografi pegunungan dan perbukitan mencapai 85% dari luas total wilayah.
Kabupaten Pacitan berada pada ketinggian 0-946 mdpl dengan tinggi rata-rata wilayahnya rata-rata 307,83 mdpl. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Kabupaten Pacitan (2020) wilayah ini memiliki suhu rata-rata 28oC, kelembaban udara rata-rata 26,4%, dan kecepatan angin rata-rata 38 m/detik. Kawasan ini memiliki hujan tahunan sebesar 2.177 mm dengan curah hujan tertinggi di bulan Maret mencapai 706,3 mm dan di bulan Oktober tidak terjadi hujan sama sekali. Iklim mikro di Kabupaten Pacitan kering dengan jumlah hari hujan dalam satu tahun hanya 88 hari atau hanya 24,1% dalam satu tahun terjadi hujan dan rata-rata dalam satu tahun penyinaran matahari mencapai 67,41%.
Kondisi iklim mikro yang terdapat di Pacitan menunjukkan bahwa wilayah ini memiliki curah hujan relatif sedang, tetapi jumlah hari hujan sedikit artinya bahwa hujan jarang terjadi namun intensitasnya sangat tinggi. Kondisi inilah yang mengakibatkan Pacitan sering mengalami bencana alam tanah longsor dan angin ribut. Terhitung sejak Januari 2020-Januari 2021 terjadi 9 kali bencana tanah longsor yang mengakibatkan kerusakan infrastruktur, permukiman, lahan pertanian, dan korban jiwa.
Kondisi alam dan kerentanan terhadap bencana alam tersebut membentuk struktur komunitas masyarakat yang majemuk baik pada aspek adat maupun kebudayaan. Kemajemukan yang ada memunculkan keaneka-ragaman budaya termasuk pada aspek pengelolaan lingkungan.
Pada aspek lingkungan, tantangan terbesar dan terberat yang dihadapi masyarakat Kabupaten Pacitan adalah terkait dengan ketersediaan sumber daya air, kesuburan lahan, topografi, dan aksesibilitas. Sumber daya air
di kawasan ini menjadi isu yang sangat serius, karena setiap tahun masyarakat Pacitan selalu menghadapi persoalan kekeringan dan krisis air bersih. Kondisi tersebut telah dihadapi masyarakat Pacitan secara turun temurun sejak ratusan bahkan ribuan tahun lalu.
Selain bencana tanah longsor, Pacitan juga memiliki kerentanan yang sangat tinggi pada kekeringan dan krisis air bersih.
Berdasarkan laporan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Pacitan (2020) pada tahun 2019 terdapat 174 wilayah di 54 desa mengalami kekeringan dan krisis air bersih, wilayah yang mengalami krisis air bersih mencapai 31,58% dari wilayah Pacitan secara keseluruhan. Tingginya kerentanan pada kekeringan dan krisis air bersih pada dasarnya sudah menjadi faktor alamiah sebagai bentuk pemberian alam. Secara alamiah wilayah ini didominasi oleh pegunungan karst, ekositem karst memiliki keunikan sebagaimana disampai- kan oleh Mijiarto et al. (2014) ekosistem karst secara alamiah memiliki karakteristik kering dan gersang sehingga masyarakat di kawasan ini cenderung kesulitan mendapatkan air bersih.
Kondisi Sosial Masyarakat
Merujuk pada data yang dipublikasikan oleh Badan Pusat Statistik Kabupaten Pacitan (2020) diketahui bahwa Pacitan memiliki jumlah penduduk 595.550 jiwa dengan laju pertumbuhan penduduk 0,51% per tahun.
Jumlah Angkatan kerja mencapai 356.302 jiwa dengan angka pengangguran terbuka sebesar 0,95%. Nilai tersebut jauh di bawah angka pengangguran nasional di tahun yang sama yakni sebesar 7,07%. Merujuk pada nilai tersebut sebenarnya kesempatan kerja di Pacitan yang paling tinggi didominasi sektor pertanian dan perikanan. Hal tersebut sesuai dengan penelitian Martilova et al. (2013) yang menyatakan bahwa sektor pertanian dan perikanan memberikan kesempatan kerja yang terbuka tanpa memandang latar belakang
pendidikan, sehingga sektor ini menjadi pilihan bagi masyarakat yang umumnya tinggal di pedesaan.
Proses peningkatan kualitas sumber daya manusia melalui pendidikan di Kabupaten Pacitan didukung oleh keberadaan 528 Sekolah Dasar/sederajat, 122 Sekolah Menengah Pertama/sederajat, 67 Sekolah Menengah Atas/sederajat, dan 5 perguruan tinggi. Dengan adanya lembaga pendidikan dasar hingga tinggi di Kabupaten Pacitan proses pembangunan sumber daya manusia dapat dilakukan secara optimal, terlebih banyak putra putri daerah yang merantau di dalam dan luar negeri untuk menempuh pendidikan tinggi juga turut memperkuat upaya tersebut.
Proses yang dilakukan untuk memperkuat sumber daya manusia secara mendasar tidak hanya melalui pendidikan formal, tetapi juga melalui pendidikan non formal, hal ini didukung oleh penelitian Setyaningsih (2017) yang menyatakan bahwa sentralisasi-desentralisasi pendidikan diterapkan untuk mendukung pembangunan daerah melalui optimalisasi keunikan dan potensi yang dimiliki dengan cara menginternalisasikannya ke dalam kurikulum pendidikan. Setiap daerah memiliki potensi khas yang harus dikelola secara tepat dan pada konteks ini pendidikan formal saja tidak cukup, diperlukan pendidikan non-formal melalui peran serta masyarakat.
Kearifan Lokal Konservasi Lingkungan Masyarakat Pacitan memiliki kearifan lokal untuk menjaga kelestarian lingkungan.
Kearifan lokal yang dilakukan secara turun-temurun ini terus ditransfer kepada generasi muda agar tetap bisa dikonservasi dan memberikan manfaat bagi lingkungan.
Sebagaimana yang dikemukakan oleh Hidayati (2016) bahwa kearifan lokal adalah tatanan sosial budaya dalam bentuk pengetahuan, norma, peraturan, dan ketrampilan masyarakat di suatu wilayah untuk memenuhi kebutuhan
hidup bersama yang diwariskan secara turun temurun. Kearifan lokal menjadi modal sosial bagi masyarakat untuk mengelola lingkungan termasuk seluruh sumber daya alam yang ada didalamnya secara bijak dan penuh
tanggung jawab agar dapat digunakan oleh generasi berikutnya (lintas generasi) secara berkelanjutan. Kearifan lokal masyarakat Pacitan dalam rangka melestarikan lingkungan dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Kearifan Lokal Masyarakat Pacitan dalam Rangka Konservasi Lingkungan No Kegiatan Makna bagi masyarakat Makna konservasi lingkungan
1 Tidak boleh menebang pohon sembarangan
Kepercayaan masyarakat bahwa pohon yang tumbuh liar berasosiasi dengan kekuatan gaib
Perlindungan vegetasi sebagai habitat organisme, penyerap air, penjerap polutan, dan reduksi emisi
2 Tidak boleh
mengam-bil dan/atau merusak tumbuhan di sekitar mata air
Kepercayaan masyarakat perihal
adanya danyang Perlindungan pada ekosistem mata air agar debit airnya terjaga guna menghidupi manusia dan organisme lainnya
3 Tidak boleh mengambil ikan di mata air dan di aliran air sekitarnya
Kepercayaan masyarakat perihal adanya danyang
Menjaga kelestarian ikan air tawar yang semakin terancam karena pencemaran dan penangkapan secara tidak ramah lingkungan
4 Tidak boleh membunuh ular
Berisiko mengundang datangnya kawanan ular ke rumah
pembunuhnya
Menjaga stabilitas jaring-jaring makanan agar tidak terjadi ledakan populasi tikus sebagai hama pertanian dan kepunahan konsumen atas (elang, burung hantu, dan garangan)
5 Tidak boleh menem- bak dan menangkap burung hantu
Berisiko memicu datangnya kesi- alan bagi pelaku dan keluarganya termasuk didatangi oleh makhluk halus
Menjaga stabilitas jarring-jaring makanan akan tidak menimbulkan ledakan populasi hama tikus 6 Tidak boleh
menangkap ikan sidat dan ikan gabus
Kepercayaan masyarakat perihal kekuatan gaib yang dimiliki ikan sidat dan ikan gabus
Menjaga kelestarian ikan sidat dan ikan gabus yang semakin langka, padahal manfaat bagi kesehatan sangat tinggi 7 Tidak boleh me-
nyumbat aliran air yang mengalir lang- sung dari mata air
Kepercayaan masyarakat perihal aliran mata air yang dijadikan sebagai jalur transportasi gaib dan akan mengganggu masyara- kat sekitar jika disumbat
Memberikan ruang habitat yang baik dan optimal bagi organisme air tawar agar leluasa mencari makan, tumbuh, dan berkembangbiak
8 Tidak boleh membawa pulang tanaman dari hutan
Kepercayaan masyarakat bahwa tanaman yang tumbuh liar ber- asosiasi dengan kekuatan gaib dan bisa mengganggu siapa saja yang mengambilnya
Menjaga kelestarian ekosistem, stabilitas tutupan vegetasi, dan optimalisasi resapan air untuk mengoptimalkan jasa lingkungan ekosistem hutan
9 Tidak boleh
mengotori aliran air dengan sampah atau apapun
Kepercayaan masyarakat perihal aliran air dijadikan sebagai jalur transportasi gaib dan menimbulkan gangguan bagi masyarakat sekitar jika dikotori dengan sampah dan lainnya
Menjaga kualitas air tawar dari berbagai komponen beban pencemaran agar sum- ber daya air dapat dimanfaatkan bagi kepentingan masyarakat dan menjadi habitat yang baik bagi organisme air tawar 10 Tidak boleh
menanam pohon beringin, koang, kipik, pule, dan bendo di halaman rumah
Kepercayaan masyarakat bahwa pepohonan tersebut mampu berasosiasi dengan makhluk halus
Berbagai jenis pepohonan tersebut memiliki kemampuan serapan air, daya rosot karbon, dan habitat yang sangat baik dan kelestarian di ekosistem alam dapat memberikan jasa lingkungan yang lebih besar
11 Tidak boleh memelihara burung Penthet
Kepercayaan masyarakat bahwa burung Penthet adalah jelmaan jin pembawa api
Menjaga stabilitas jaring-jaring makanan karena burung ini pemakan serangga yang ulung, sehingga membantu petani untuk mengurangi serangan hama pertanian melalui kompetitor biologis 12 Tidak boleh
memelihara burung elang
Kepercayaan masyarakat jika memelihara elang keluarganya akan dirundung kesialan
Menjaga stabilitas jaring-jaring makanan dan mendukung upaya pelestarian satwa dilindungi
13 Menanam 2 bibit pohon sebelum prosesi akad nikah
Sebagai wujud rasa syukur atas menyatunya 2 insan dalam ikatan pernikahan dan membawa kedamaian
Meningkatkan stabilitas ekosistem dan mitigasi perubahan iklim global
14 Tidak boleh
mengambil bebatuan dari bukit/hutan
Kepercayaan masyarakat perihal
adanya danyang Menjaga stabilitas struktur tanah lereng agar tidak memicu terjadinya tanah longsor
Sumber: data primer penelitian, 2021
Tabel 1 menunjukkan adanya 14 kegiatan masyarakat Pacitan yang dilakukan secara turun temurun dan sudah menjadi cara pandang terhadap kehidupan dan berperan sebagai kearifan lokal. Sebanyak 14 kegiatan tersebut dijadikan sebagai pedoman oleh masyarakat untuk berinteraksi dengan lingkungan di sekitarnya. Temuan 14 kearifan lokal ini sesuai dengan penelitian Setyowati dkk. (2017) yang menyebutkan bahwa peran masyarakat dalam memanfaatkan sumber daya alam dapat dilihat dari perilaku interaksinya dengan lingkungan sekitar dan hal tersebut tidak dapat dipisahkan dengan sistem religiusitas masyarakat.
Di lokasi riset, sistem religiusitas masyarakat berjalan beriringan dengan kearifan lokal. Dalam proses perkembangan
zaman nilai-nilai kearifan lokal di beberapa tempat mulai mengalami pelunturan dan bahkan hilang tidak lagi dianggap sebagai bagian dari norma kehidupan. Hal ini diperkuat oleh Hidayati (2016) yang meneliti mengenai memudarnya kearifan lokal masyarakat dalam mengelola sumber daya air. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa telah terjadi pergeseran fungsi kearifan lokal dalam menjaga sumber air karena pengaruh pertumbuhan populasi penduduk, modernisasi, dan kegiatan pembangunan. Penelitian yang dilakukan di Kabupaten Pacitan ini membantah temuan Hidayati (2016) karena nilai-nilai kearifan lokal dalam menjaga kelestarian lingkungan masih dipegang teguh oleh masyarakat, khususnya yang tinggal di sekitar kawasan hutan.
Masyarakat yang tinggal disekitar kawasan hutan memiliki pemaknaan yang lebih mendalam terhadap nilai-nilai kearifan lokal. Mereka berinteraksi dengan sangat dekat bahkan tidak dapat dipisahkan dengan seluruh komponen alam baik, biotik maupun abiotik.
Interaksi yang terbentuk secara turun temurun dan pewarisan nilai-nilai kearifan lokal lintas generasi yang berhasil dilakukan membentuk satu kesatuan yang utuh interaksi sistem sosio- ekologi. Hal tersebut muncul karena adanya rasa kepemilikan yang sangat tinggi dan interaksi harmonis yang terjalin membentuk suatu hubungan timbal balik yang saling mempengaruhi satu sama lain, dan juga saling menguntungkan, serta berkelanjutan. Temuan ini mendukung penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Kristiyanto (2017) yang menyimpulkan bahwa masyarakat beserta kearifan lokalnya telah diakui eksistensinya dan diakomodir perannya dalam produk hukum peraturan penrundang- undangan. Oleh karenanya nilai-nilai kearifan lokal harus dilestarikan kepada generasi muda agar tetap terjaga eksistensinya dan memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kehidupan.
Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk menjaga eksistensi tersebut adalah melalui peran komunitas masyarakat sebagai tempat pendidikan non-formal.
Peran Komunitas Masyarakat dalam Melestarikan Kearifan Lokal
Masyarakat memiliki peran penting untuk mewariskan nilai-nilai kearifan lokal kepada generasi muda. Pewarisan nilai-nilai kearifan lokal pada zaman modern seperti saat ini menghadapi persoalan yang berat, karena modernitas menuntut kehidupan yang luwes, fleksibel, dan terlepas dari nilai-nilai yang dianggap tradisional. Tantangan yang berat harus dijawab oleh kehadiran komunitas masyarakat yang solid dan memiliki identitas budaya, melalui hal tersebut lingkungan sosial sebagai bagian dari proses pembelajaran dapat
menjadi wahana untuk mempelajari nilai-nilai yang arif dan luhur sebagai pedoman dalam berinteraksi dengan lingkungan alam.
Interaksi di dalam lingkungan sosial menjadi ruang belajar yang sangat luas bagi generasi muda, terutama terkait dengan nilai- nilai kepedulian lingkungan. Nilai-nilai tersebut di dalam kurikulum pendidikan formal hanya menjadi bagian dari subbab materi pelajaran tertentu, bukan menjadi satu mata pelajaran khusus, misalnya pendidikan lingkungan hidup.
Kekosongan pendidikan lingkungan di dalam kurikulum pendidikan nasional menjadi salah satu kelemahan yang berpotensi mendegradasi etika dan moral lingkungan generasi muda, sehingga mereka cenderung acuh tak acuh pada lingkungan dan berisiko memperburuk kerusakan lingkungan di masa depan.
Langkah strategis yang dapat dilakukan untuk melestarikan nilai-nilai kearifan lokal harus diintegrasikan melalui klaster penta heliks meliputi akademisi, swasta, pemerintah, masyarakat, dan media. Cara yang dapat diterapkan untuk mewujudkan hal tersebut adalah internalisasi pendidikan lingkungan melalui mata pelajaran muatan lokal, dengan adanya guru atau fasilitator dari praktisi dan akademisi di bidang lingkungan dan kearifan lokal. Kemudian pihak swasta bisa memberikan dukungan pendidikan nonformal melalui pembangunan rumah belajar dan sejenisnya yang diberikan legalitas oleh pemerintah dan juga penyebar luasan informasi perihal konservasi lingkungan melalui media.
Peran serta klaster penta heliks memberikan pengaruh yang sangat besar pada upaya pelestarian nilai-nilai kearifan lokal dan hal ini menjadi modal penting untuk menanamkan etika dan moral lingkungan kepada generasi muda. Pemahaman etika dan moral lingkungan yang terinternalisasi di dalam setiap individu akan menuntun sikap dan perilakunya untuk menghargai keberadaan komponen lingkungan baik biotik maupun abiotik.
Di Kabupaten Pacitan transfer ilmu dan peletarian kearifan lokal dari 14 butir tersebut tidak cukup mudah dilakukan. Kearifan yang secara umum masih dipegang teguh adalah nomor 7, 12, dan 13. Ketiga kearifan lokal tersebut dapat terus eksis karena didukung oleh kebijakan pemerintah baik dalam bentuk undang-undang maupun peraturan daerah.
Sementara itu, 11 butir lainnya masih dipegang teguh oleh sebagian komunitas masyarakat, tetapi pada daerah tertentu sudah mulai ditinggalkan karena dianggap tidak relevan dengan kondisi terkini. Oleh karena itu, dalam rangka melestarikan kearifan lokal diperlukan dukungan pemerintah melalui instrumen kebijakan karena nilai-nilai yang tidak tertulis lebih mudah luntur seiring dengan masifnya arus globalisasi dan digitalisasi.
Melalui penelitian ini ditemukan kebaruan bahwa masifnya globalisasi dan digitalisasi membentuk generasi muda yang lebih banyak ingin tahu tentang suatu hal dan berusaha mencari tahu dari sumber digital terutama google, youtube, dan platform sejenis lainnya. Fatalnya nilai-nilai kearifan lokal tersebut belum seluruhnya didukung oleh kebijakan pemerintah dan belum banyak ditulis, sehingga para generasi muda tidak menemukan jawaban yang konkrit dan rasional atas keberadaan 14 butir kearifan lokal di Pacitan. Kondisi ini semakin mendorong rasa ingin tahu mereka untuk mencoba melanggar kegiatan yang semestinya tidak boleh dilakukan misalnya mengambil tumbuhan dari hutan, membuang sampah ke anak sungai, dan mengambil ikan di sekitar mata air. Mereka merasa tidak mendapatkan dampak langsung, sehingga terus mengulanginya dan semakin memperburuk keadaan lingkungan di Pacitan menjadi lebih rentan terkena bencana alam terutama banjir, tanah longsor, dan kekeringan.
Namun demikian, pelestarian nilai-nilai kearifan lokal harus tetap diupayakan. Terutama penguatan kelembagaan komunitas masyarakat yang menjadi sentra pendidikan nonformal
untuk melestarikan kearifan lokal dan pelibatan media untuk mengarusutamakan informasi seputar kearifan lokal. Hal tersebut jika dilakukan secara optimal berpotensi menjadi faktor pendorong terwujudnya pengelolaan sumber daya alam secara arif dan bijak, demi kelestarian lingkungan untuk mencapai tujuan pembangunan yang berkelanjutan.
PENUTUP
Kearifan lokal di Kabupaten Pacitan terus terancam eksistensinya karena lemahnya upaya pelestarian melalui internalisasi ke dalam pendidikan formal dan kebijakan pemerintah.
Pelibatan media untuk mengarustamakan informasi perihal kearifan lokal menjadi salah satu faktor penting guna menjaga eksistensi pada konteks hari ini yang semakin berat menghadapi tekanan globalisasi dan digitalisasi kehidupan. Generasi muda cenderung mencari tahu kebenaran suatu hal melalui dunia digital, sehingga para pihak perlu menyadari pentingnya penulisan nilai-nilai kearifan lokal agar tidak sebatas tutur kata turun-temurun.
Dampak dari lemahnya transfer nilai-nilai kearifan lokal adalah memburuknya kondisi lingkungan di Pacitan yang diikuti dengan semakin meningkatnya kerentanan wilayah terhadap bencana alam khususnya banjir, tanah longsor, dan kekeringan.
Sehubungan dengan hal tersebut peneliti merekomendasi upaya penguatan nilai-nilai kearifan lokal sebagai berikut.
1. Memasukkan mata pelajaran pendidikan lingkungan dan kearifan lokal ke dalam muatan lokal.
2. Penguatan kelembagaan sosial sebagai pendukung pelestarian pendidikan lingkungan dan kearifan lokal.
3. Mengajak para pihak untuk lebih banyak dan lebih sering mempublikasikan tulisan dan hasil penelitian mengenai kearifan lokal sebagai rujukan informasi generasi muda.
4. Mendorong pemerintah daerah menerbitkan peraturan daerah untuk melindungi eksistensi kearifan lokal dan arusutama konservasi lingkungan.
DAFTAR PUSTAKA
Alpusari, Mahmud. 2014. “Analisis Kurikulum Pendidikan Lingkungan Hidup Pada Sekolah Dasar Pekanbaru.” Primary:
Jurnal Pendidikan Guru Sekolah Dasar 2(02):10–17.
Arif, Mahmud. 2015. “Islam, Kearifan Lokal, dan Kontekstualisasi Pendidikan:
Kelenturan, Signifikansi, Dan Implikasi Edukatifnya.” Al-Tahrir: Jurnal Pemiki- ran Islam 15(1): 67–90.
Badan Pusat Statistik Kabupaten Pacitan.
2020. Kabupaten Pacitan Dalam Angka 2020. Pacitan.
Badan Pusat StatistiK Kabupaten Pacitan.
2013. Kabupaten Pacitan. Pacitan.
Dearing, J. A., R. W. Battarbee, R. Dikau, I.
Larocque, and F. Oldfield. 2006. “Human- Environment Interactions: Learning from the Past.” Regional Environmental Change 6(1–2):1–16.
Grilli, Gianluca, and John Curtis. 2019.
Encouraging Pro-Environmental Beha- viours: A Review of Methods and Approaches.
Hidayati, Deny. 2016. “Memudarnya Nilai Kearifan Lokal Masyarakat Dalam Pengelolaan Sumber Daya Air (Waning Value Of Local Wisdom In The Management Of Water Resources).” 11 (1): 39–48.
Hui, Cang. 2015. Carrying Capacity of the Environment. Vol. 10. Second Edi.
Elsevier.
Karuniasa, Mahawan, and Priyaji Agung Pambudi. 2019. “Transition of Primary Forest To Secondary Forest and the Impact for Water Resources Conservation.”
Journal of Environmental Science and Sustainable Development 2 (1):15–25.
Kristiyanto, Eko Noer. 2017. “Kedudukan Kearifan Lokal Dan Peranan Masyarakat Dalam Penataan Ruang Di Daerah (Local Wisdom Position and Role of Society in Spatial Planning in the Region).” Jurnal Rechts Vinding: Media Pembinaan Hukum Nasional 6(2):159–77.
Martilova, N., H. Aimon, and E. Syofyan. 2013.
“Analisis Serta Perencanaan Output Dan Kesempatan Kerja Di Provinsi Sumatera Barat.” Jurnal Kajian Ekonomi 2(03):7085.
Martini, Sri Dwi Ratnasari, and Urip Trisngati.
2017. “Kebudayaan Lokal Pacitan:
Analisis Historis, Nilai-Nilai Dan Sikap Konservasi Masyarakat.” Pp. 247–57 in Seminar Nasional Hasil Penelitian Universitas Kanjuruhan Malang. Vol. 5.
Mijiarto, Joko, Tutut Sunarminto, and Rachmad Hermawan. 2014. “Potensi Dan Pemanfaatan Jasa Lingkungan Kawasan Karst Gua Gudawang.” Media Konservasi 19(1):57–66.
Miller, G. Tyler, and Scott Spoolman. 2016.
Living in the Environment, 15th Edition.
Boston, Massachusetts, United States:
Cengage Learning.
Pacitan, Pemerintah Kabupaten. 2020.
“Melihat Pacitan Lebih Dekat Saat Musim Kemarau.” Pacitankab.Go.Id.
Rees, William E. 2009. “The Ecological Crisis and Self-Delusion: Implications for the Building Sector.” Building Research and Information 37(3):300–311.
Setyaningsih, Kris. 2017. “Esensi Tranformasi Sistem Sentralisasi-Desentralisasi Pendi- dikan Dalam Pembangunan Masyarakat.”
El-Idare: Jurnal Manajemen Pendidikan Islam 3(1):76–94.
Setyawan, Arief, Sarwiji Suwandi, St Y.
Slamet, Fakultas Keguruan, Pendidikan Universitas, and Sebelas Maret. 2017.
“Muatan Pendidikan Karakter Dalam Cerita Rakyat Di Pacitan.” Jurnal Pendidikan Karakter 7(2):199–211.
Setyowati, Dewi Liesnoor, Juhadi, and Umi Kiptida’iyah. 2017. “Konservasi Mata Air Senjoyo Melalui Peran Serta Masyarakat Dalam Melestarikan Nilai Kearifan Lokal.” Indonesia Journal of
Conservation 6(1):36–43.
Sze, Jocelyne Shimin, Jefferson, and Janice Ser Huay Lee. 2019. “Evaluating the Social and Environmental Factors behind the 2015 Extreme Fire Event in Sumatra, Indonesia.” Environmental Research Letters 14(1).