• Tidak ada hasil yang ditemukan

Putusan Mahkamah Agung Nomor : 1679/B/PK/PJK/2016

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Putusan Mahkamah Agung Nomor : 1679/B/PK/PJK/2016"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

PUTUSAN

Nomor 1679/B/PK/PJK/2016

DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH AGUNG

Memeriksa permohonan peninjauan kembali perkara pajak telah memutuskan sebagai berikut dalam perkara:

DIREKTUR JENDERAL PAJAK, tempat kedudukan di Jalan Jenderal Gatot Subroto Nomor 40-42 Jakarta, dalam hal ini memberikan kuasa kepada:

1. ABC, Direktur Keberatan dan Banding, Direktorat Jenderal Pajak;

2. DEF, Kasubdit Peninjauan Kembali dan Evaluasi, Direktorat Keberatan dan Banding;

3. GHI, Kepala Seksi Peninjauan Kembali, Subdit Peninjauan Kembali dan Evaluasi, Direktorat Keberatan dan Banding;

4. JKL, Penelaah Keberatan, Subdit Peninjauan Kembali dan Evaluasi, Direktorat Keberatan dan Banding;

berdasarkan Surat Kuasa Khusus Nomor SKU-1777/PJ./2014 tanggal 8 Juli 2014;

Pemohon Peninjauan Kembali dahulu Tergugat;

melawan:

PT XXX, tempat kedudukan di Jalan DD Kav.YY, Jakarta Selatan 12xxx;

Termohon Peninjauan Kembali dahulu Penggugat;

Mahkamah Agung tersebut;

Membaca surat-surat yang bersangkutan;

Menimbang, bahwa dari surat-surat yang bersangkutan ternyata Pemohon Peninjauan Kembali dahulu Tergugat, telah mengajukan permohonan peninjauan kembali terhadap Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put-51847/PP/M.IIIB/99/2014, tanggal 10 April 2014 yang telah berkekuatan hukum tetap, dalam perkaranya melawan Termohon Peninjauan Kembali dahulu Penggugat, dengan posita perkara sebagai berikut:

Posita (Objek Gugatan, Fakta Hukum & Dalil/Alasan Gugatan);

A. Objek Gugatan/Pokok Sengketa;

Bahwa pengenaan Sanksi Administrasi Denda Pasal 14 ayat (4) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum Perpajakan Sebesar Rp1.037.597.729,00 yang telah diajukan Permohonan Pengurangan dan Pembatalan atas Ketetapan Pajak Yang Tidak Benar sebagaimana diatur dalam Pasal 36 ayat (1) huruf c Undang- Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum Perpajakan namun telah ditolak sebanyak 2 kali;

B. Dalil/Alasan Gugatan;

Bahwa Penggugat tidak setuju dengan pengenaan sanksi administrasi berupa denda yang dilakukan oleh Tergugat selama Masa Januari 2010 sebesar Rp1.037.597.729,00 atas transaksi sebesar Rp51.879.886.450,00 dengan penjelasan sebagai berikut:

Bahwa Pasal 14 ayat (4) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang- Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan mengatur bahwa “terhadap pengusaha atau Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, huruf e, atau huruf f masing- masing, selain wajib menyetor pajak yang terutang, dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 2% (dua persen) dari Dasar Pengenaan Pajak”;

Pasal 14 ayat (1) huruf d, huruf e, dan huruf f dari Undang-Undang yang sama mengatur bahwa “Direktur Jenderal Pajak, dapat menerbitkan Surat Tagihan Pajak apabila:

a. Pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, tetapi Udak membuat Faktur Pajak atau membuat Faktur Pajak, tetapi tidak tepat waktu;

(2)

b. Pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak yang tidak mengisi Faktur Pajak secara lengkap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya, selain:

1. Identitas pembeli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) huruf b Undang- Undang Pajak Pertambahan Mai 1984 dan perubahannya; atau

2. Identitas pembeli serta nama dan tandatangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) huruf b dan huruf g Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dim perubahannya, dalam hal penyerahan dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak pedagang eceran;

c. Pengusaha Kena Pajak melaporkan Faktur Pajak tidak sesuai dengan masa penerbitan Faktur Pajak;

Bahwa menurut Penggugat, atas transaksi penyerahan barang kena pajak sebesar Rp51.879.886.450,00 yang terkait dengan penerbitan Surat Tagihan Pajak a quo telah Penggugat terbitkan Faktur Pajak dengan tepat waktu. Selain itu, Faktur Pajak a quo telah Penggugat buat dengan lengkap sebagaimana diatur dalam Pasal 13 ayat (5) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai, dan telah dilaporkan pada SPT Masa Pajak Pertambahan Nilai sesuai dengan masa penerbitan Faktur Pajak tersebut.

Sehingga dalam hal ini, Penggugat tidak melanggar ketentuan seperti yang diatur dalam Pasal 14 ayat (1) huruf d, huruf e, dan huruf f Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Dengan demikian, pihak Tergugat tidak bisa

mengenakan sanksi denda sesuai dengan Pasal 14 ayat (4) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Lebih lanjut, tidak terdapat satupun ketentuan dalam Pasal 14 ayat (4) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang menyebutkan bahwa atas penerbitan lebih dari 1 (satu) Faktur Pajak Gabungan dalam 1 (satu) Masa Pajak dapat dikenakan sanksi administrasi berupa denda;

Bahwa dengan demikian, berdasarkan peraturan dan penjelasan di atas, Surat Tagihan Pajak Nomor 00167/107/10/062/12 tanggal 08 Mei 2012 yang diterbitkan Tergugat atas denda Pasal 14 ayat (4) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan adalah tidak benar dan tidak mempunyai dasar hukum karena tidak sesuai dengan peraturan perpajakan yang berlaku dan harus dibatalkan;

Bahwa sementara itu dalam peraturan pelaksanaannya, Tergugat perlu merujuk pada Pasal 14 ayat (1) Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-159/PJ./2006 tentang Saat Pembuatan, Bentuk, Ukuran, Pengadaan, Tata Cara Penyampaian, dan Tata Cara Pembetulan Faktur Pajak Standar yang mengatur bahwa “Pengusaha Kena Pajak dikenakan sanksi sesuai dengan Pasal 14 ayat (4) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 dalam hal:

a. Menerbitkan Faktur Pajak Standar yang tidak memuat keterangan dan/atau tidak mengisi secara lengkap, jelas, benar, dan/atau tidak ditandatangani oleh Pejabat atau Kuasa yang ditunjuk oleh Pengusaha Kena Pajak untuk menandatangani Faktur Pajak Standar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2);

b. Menerbitkan Faktur Pajak Standar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1)”;

Bahwa Pasal 5 ayat (2) dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak yang sama mengatur bahwa “Faktur Pajak Standar yang tidak diisi secara lengkap, jelas, benar, dan/atau tidak ditandatangani sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Faktur Pajak Cacat yaitu Faktur Pajak yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 lentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000”;

Bahwa Pasal 13 ayat (1) dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak yang sama mengatur bahwa “Faktur Pajak Standar yang diterbitkan setelah melewati jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak saat Faktur Pajak Standar seharusnya dibuat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, adalah bukan merupakan Faktur Pajak Standar”;

Bahwa Pasal 2 ayat (2) dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak yang sama mengatur bahwa "Faktur Pajak Gabungan harus dibuat paling lambat:

a. Pada akhir bulan berikutnya setelah bulan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak, dalam hal pembayaran baik sebagian atau seluruhnya terjadi setelah berakhirnya bulan penyerahan Barang Kena Pajak dan/ atau Jasa Kena Pajak; atau

b. Pada akhir bulan penyerahan Barang Kena Pajak dan/ atau Jasa Kena Pajak, dalam hal pembayaran baik sebagian atau seluruhnya terjadi sebelum berakhirnya bulan Penyerahan Barang Kena Pajak dan/ atau penyerahan Jasa Kena Pajak”;

Bahwa sehubungan dengan Peraturan Pelaksanaan tersebut, perlu Penggugat tegaskan bahwa fakta hukum yang ada yaitu penerbitan Faktur Pajak Gabungan a quo jelas tidak melanggar Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-159/PJ./2006 tentang Saat Pembuatan, Bentuk, Ukuran, Pengadaan, Tata Cara Penyampaian, dan Tata Cara Pembetulan Faktur Pajak

(3)

Standar;

Bahwa Pasal 13 ayat (5) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah mengalur bahwa

“dalam Faktur Pajak harus dicantumkan keterangan tentang penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang paling sedikit memuat:

a. Nama, alamat, Nomor Pokok Wajib Pajak yang menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak;

b. Nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak;

c. Jenis barang atau Jasa, jumlah Harga Jual atau Penggantian, dan potongan harga;

d. Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut;

e. Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang dipungut;

f. Kode, nomor seri dan tanggal pembuatan Faktur Pajak; dan

g. Nama, jabatan dan tanda tangan yang berhak menandatangani Faktur Pajak;

Bahwa sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, Penggugat telah menerbitkan Faktur Pajak secara lengkap, jelas, benar, dan ditandatangani oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 13 ayat (5) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai. Selain itu, penerbitan Faktur Pajak a quo telah sesuai dengan jangka waktu yang ditentukan dalam Pasal 2 ayat (2) PER-159/PJ./2006. Dengan demikian, Faktur Pajak Gabungan yang Penggugat terbitkan sesungguhnya bukan merupakan Faktur Pajak cacat menurut Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai, dan telah diterbitkan berdasarkan transaksi yang nyata. Lebih lanjut, atas Pajak Pertambahan Nilai yang terutang tersebut juga telah Penggugat setorkan seluruhnya dan telah Penggugat laporkan di dalam SPT Pajak Pertambahan Nilai Masa Pajak Maret 2010, sehingga tidak merugikan negara;

Bahwa dengan demikian, berdasarkan peraturan dan penjelasan di atas, Surat Tagihan Pajak Nomor 00167/107/10/062/12 tanggal 08 Mei 2012 yang diterbitkan Tergugat atas denda Pasal 14 ayat (4) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan adalah tidak benar, tidak beralasan dan tidak sesuai dengan peraturan perpajakan yang berlaku;

Bahwa Pasal 13 ayat (2) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah mengatur bahwa Pengusaha Kena Pajak dapat membuat satu Faktur Pajak meliputi seluruh penyerahan yang dilakukan kepada pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak yang sama selama sebulan takwim;

Bahwa penjelasan Pasal 13 ayat (2) dari Undang-Undang yang sama mengalur bahwa untuk meringankan beban administrasi, kepada Pengusaha Kena Pajak diperkenankan untuk membuat satu Faktur Pajak yang meliputi semua penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang terjadi selama satu bulan takwim kepada pembeli yang sama atau penerima Jasa Kena Pajak yang sama, yang disebut Faktur Pajak Gabungan;

Bahwa berdasarkan peraturan di atas, Penggugat dapat membuat satu Faktur Pajak meliputi seluruh penyerahan yang

dilakukan kepada pembeli dalam satu masa. Dengan demikian, demi meringankan beban administrasi, sesungguhnya tidak ada larangan untuk menerbitkan Faktur Pajak Gabungan lebih dari 1 (satu) kali dalam 1 (satu) Masa Pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 13 ayat (2) beserta penjelasannya. Apabila Penggugat dilarang membuat lebih dari 1 (satu) Faktur Pajak Gabungan maka sesuai dengan asas “kepastian hukum” maka pasal tersebut harus jelas melarang, sehingga Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai Pasal 13 ayat (2) tersebut harus diubah dari kata “dapat” menjadi “hanya dapat”;

Bahwa berdasarkan penjelasan di atas, Surat Tagihan Pajak Nomor 00168/107/10/062/1 tanggal 08 Mei 2012 yang diterbitkan Tergugat untuk mengenakan denda Pasal 14 ayat (4) Undang- Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan adalah tidak benar karena tidak sesuai dengan peraturan perpajakan yang berlaku;

Bahwa perlu Penggugat informasikan bahwa sampai dengan saat ini, Penggugat memiliki banyak pembeli yang salah satunya merupakan Sub Distributor. Sub Distributor Penggugat adalah perusahaan berskala nasional yang memiliki cabang/ outlet yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Oleh karena itu, untuk memudahkan Penggugat dalam melakukan pengawasan atas penerbitan Invoice dan Faktur Pajak Gabungan, penagihan atas invoice tersebut dan pengiriman barang antara cabang yang satu dengan yang lainnya, maka bagian pembukuan Penggugat mencatat penjualan pada masing-masing buku penjualan dan piutang dagang untuk setiap cabang dan/ atau jenis outlet Sub Distributor dan menerbitkan Faktur Pajak Gabungan per masing- masing Sub Distributor. Hal ini dilakukan agar Penggugat dapat meminimalisasi terjadinya resiko kesalahan dalam pencatatan piutang, penerimaan pembayaran dan pengiriman barang ke masing-masing cabang/ outlet Sub Distributor;

Bahwa disamping itu, dengan diterbitkannya lebih dari 1 (satu) Faktur Pajak Gabungan juga dapat memudahkan Penggugat untuk melakukan rekonsiliasi nilai penjualan dalam Faktur Penjualan yang Penggugat catat di dalam General Ledger dengan

(4)

nilai penjualan dalam Faktur Pajak yang Penggugat laporkan di dalam SPT Masa Pajak Pertambahan Nilai;

Bahwa adapun hal ini sesuai dengan spirit dari Pasal 13 ayat (2) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai Nomor 42 Tahun 2009 dimana Wajib Pajak diberikan kemudahan administratif dalam menerbitkan Faktur Pajak sehingga meringankan beban administrasi. Oleh karena itu, untuk kemudahan administrasi dan internal kontrol, Penggugat menerbitkan lebih dari 1 (satu) Faktur Pajak Gabungan yang ditujukan ke masing-masing cabang Sub Distributor;

Bahwa lebih lanjut, di dalam mekanisme pemungutan Pajak Pertambahan Nilai atas transaksi penyerahan barang kena pajak tersebut di atas, secara substansi tidak menimbulkan kerugian keuangan negara, karena Pajak Pertambahan Nilai atas transaksi penyerahan tersebut telah disetorkan ke kas negara dan dilaporkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku;

Bahwa sebagai tambahan informasi, Tergugat juga telah melakukan pemeriksaan pajak untuk tahun pajak 2006. Di dalam hasil pemeriksaan pajak tersebut, Tergugat tidak melakukan koreksi atas Faktur Pajak Gabungan yang Penggugat terbitkan lebih dari 1 (satu) dalam 1 (satu) Masa Pajak seperti halnya dalam kasus a quo. Oleh karena itu, Tergugat tidak konsisten dan mengada-ada dalam menerbitkan Surat Tagihan Pajak Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa Nomor 00167/107/10/062/12 tanggal 08 Mei 2012 dengan dasar hukum Pasal 14 ayat (4) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan karena tidak terdapat satupun ketentuan di dalam Pasal 14 ayat (4) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang menyebutkan bahwa atas penerbitan Faktur Pajak Gabungan yang lebih dari 1 (satu) dalam 1 (satu) Masa Pajak dapat dikenakan sanksi administrasi berupa denda. Dengan demikian, penerbitan Surat Tagihan Pajak a quo tidak sesuai dengan asas-asas tata cara pemerintahan yang baik;

KESIMPULAN DAN PETITUM (TUNTUTAN):

Bahwa berdasarkan penjelasan di atas, Keputusan Tergugat Nomor KEP-1233/WPJ,04/2013 tanggal 21 Agustus 2013 yang telah diterbitkan Tergugat adalah tidak benar dan harus dibatalkan karena tidak sesuai dengan ketentuan pajak yang berlaku.

Dengan demikian, Surat Tagihan Pajak Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa Nomor 00167/107/10/062/12 tanggal 08 Mei 2012 untuk Masa Pajak Februari 2010 juga seharusnya dibatalkan sehingga sanksi administrasi berupa denda Pasal 14 ayat (4) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebesar Rp1.037.597.729,00 harus dihitung kembali menjadi Nihil dengan perincian sebagai berikut:

No Uraian Jumlah

1 Pajak harus dibayar/ ditagih kembali

Rp. 0,00

2 Telah dibayar Rp. 0,00

3 Kurang dibayar (1-2) Rp. 0,00 4 Sanksi Administrasi:

Denda Pasal 14 ayat (4) KUP Rp. 0,00 5 Jumlah yang masih harus

dibayar

Nihil

Menimbang, bahwa amar Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put-51847/PP/M.IIIB/99/2014, tanggal 10 April 2014 yang telah berkekuatan hukum tetap tersebut adalah sebagai berikut:

Menyatakan mengabulkan seluruhnya permohonan gugatan Penggugat dengan membatalkan Keputusan Tergugat Nomor KEP- 1233/WPJ.04/2013 tanggal 21 Agustus 2013 tentang Pengurangan Ketetapan Pajak Atas Surat Tagihan Pajak Pajak

Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah Berdasarkan Pasal 36 Ayat (1) Huruf c Karena Permohonan Wajib Pajak dan Surat Tagihan Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa Masa Pajak Februari 2010 Nomor 00167/107/10/062/12 tanggal 08 Mei 2012, atas nama: PT XXX, NPWP: 01.552.xxxx, beralamat di Jalan DD Kav.YY, Jakarta Selatan 12xxx. Menimbang, bahwa sesudah putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap yaitu Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put-51847/PP/M.IIIB/99/2014, tanggal 10 April 2014, diberitahukan kepada Pemohon Peninjauan Kembali pada tanggal 24 April 2014, kemudian terhadapnya oleh Pemohon Peninjauan Kembali dengan perantaraan kuasanya berdasarkan Surat Kuasa Khusus Nomor SKU-1777/PJ./2014 tanggal 8 Juli 2014, diajukan permohonan peninjauan kembali secara tertulis di Kepaniteraan Pengadilan Pajak pada tanggal 16 Juli 2014 sebagaimana ternyata dari Akta Permohonan Peninjauan Kembali Nomor PKA.I-2293/PAN.Wk/2014 yang dibuat oleh Wakil Panitera Pengadilan Pajak, dengan disertai alasan-alasannya yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Pajak tersebut pada tanggal 16 Juli 2014;

Menimbang, bahwa tentang permohonan peninjauan kembali tersebut telah diberitahukan kepada pihak lawan dengan saksama pada tanggal 12 Februari 2016, kemudian terhadapnya oleh pihak lawannya diajukan Jawaban yang diterima di Kepaniteraan

(5)

Pengadilan Pajak tersebut pada tanggal 10 Maret 2016;

Menimbang, bahwa permohonan peninjauan kembali a quo beserta alasan-alasannya telah diberitahukan kepada pihak lawan dengan saksama, diajukan dalam tenggang waktu dan dengan cara yang ditentukan oleh Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009, Juncto Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, maka permohonan peninjauan kembali tersebut secara formal dapat diterima;

ALASAN PENINJAUAN KEMBALI

Menimbang, bahwa Pemohon Peninjauan Kembali telah mengajukan alasan Peninjauan Kembali yang pada pokoknya sebagai berikut:

I. Tentang Alasan Pengajuan Peninjauan Kembali:

Bahwa putusan Pengadilan Pajak Nomor Put.51847/PP/M.IIIB/99/2014 tanggal 10 April 2014 telah dibuat dengan tidak memperhatikan atau mengabaikan fakta yang menjadi dasar pertimbangan dalam koreksi yang dilakukan Pemohon Peninjauan Kembali (semula Tergugat) tersebut, sehingga menghasilkan putusan yang tidak adil dan tidak sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku di Indonesia. Oleh karenanya Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put.

51847/PP/M.IIIB/99/2014 tanggal 10 April 2014 diajukan Peninjauan Kembali berdasarkan ketentuan Pasal 91 huruf e Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak (selanjutnya disebut Undang-Undang Pengadilan Pajak) sebagai berikut:

“Permohonan Peninjauan Kembali dapat diajukan berdasarkan alasan sebagai berikut: e). Apabila terdapat suatu putusan yang nyata-nyata tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku”;

II. Tentang Formal Jangka Waktu Pengajuan Memori Peninjauan Kembali:

1. Bahwa Salinan Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put.51847/PP/M.IIIB/99/2014 tanggal 10 April 2014, atas nama PT XXX (Termohon Peninjauan Kembali/semula Penggugat), telah diberitahukan secara patut dan dikirimkan oleh Pengadilan Pajak kepada Pemohon Peninjauan Kembali (semula Tergugat) pada tanggal 17 April 2014 dan diterima secara langsung oleh Pemohon Peninjauan Kembali (semula Tergugat) pada tanggal 28 April 2014 sesuai dengan surat tanda terima dokumen Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Nomor Dokumen:

201404280485;

2. Bahwa dengan demikian, berdasarkan ketentuan Pasal 91 huruf e dan Pasal 92 ayat (3) juncto Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Pengadilan Pajak, maka pengajuan Memori Peninjauan Kembali atas Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put.51847/PP/M.IIIB/99/2014 tanggal 10 April 2014 ini, masih dalam tenggang waktu yang diijinkan oleh Undang-Undang Pengadilan Pajak atau setidak-tidaknya antara tenggang waktu pengiriman/pemberitahuan Putusan Pengadilan Pajak tersebut dengan Permohonan Peninjauan Kembali ini belum lewat waktu sebagaimana telah ditentukan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku;

3. Bahwa oleh karena itu, sudah sepatutnya-lah Memori Peninjauan Kembali ini diterima oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia;

III. Tentang Pokok Sengketa Pengajuan Memori Peninjauan Kembali;

Bahwa yang menjadi pokok sengketa dalam permohonan Peninjauan Kembali ini adalah:

Sengketa dalam perkara Gugatan atas penerbitan Surat Keputusan Tergugat Nomor KEP-1233/WPJ.04/2013 tanggal 21 Agustus 2013, tentang Pengurangan Ketetapan Pajak atas Surat Tagihan Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa Masa Pajak Februari 2010 Nomor 00167/107/10/062/12 tanggal 08 Mei 2012 berdasarkan Pasal 36 Ayat (1) Huruf c, yang dibatalkan oleh Majelis Hakim Pengadilan Pajak;

IV. Tentang Pembahasan Pokok Sengketa Peninjauan Kembali:

1. Bahwa objek gugatan yang diajukan Peninjauan Kembali oleh Pemohon Peninjauan Kembali (semula Tergugat) dalam sengketa Putusan a quo adalah Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP 1233/WPJ.04/2013 tanggal 21 Agustus 2013 tentang Pengurangan Ketetapan Pajak Atas Surat Tagihan Pajak Masa Pajak Februari 2010 Nomor 00167/107/10/062/12 tanggal 08 Mei 2012 berdasarkan Pasal 36 Ayat (1) Huruf c sebagaimana tersebut di atas;

2. Bahwa Pemohon Peninjauan Kembali (semula Tergugat) sangat keberatan dengan pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Pajak dalam Putusan a quo, yang menyatakan sebagai berikut:

Halaman 26:

Bahwa menurut Majelis, ketentuan tersebut di atas pada intinya adalah untuk memberikan kemudahan

administratif kepada Wajib Pajak yang melakukan transaksi dengan lawan transaksi yang sama, yang dilakukan berulang kali pada masa yang sama;

Bahwa dengan demikian menurut Majelis, Penggugat dalam hal ini telah memenuhi salah satu unsur Dalam

(6)

Pasal 13 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 sebagaimana tersebut di atas, yaitu: Faktur Pajak meliputi seluruh penyerahan yang dilakukan kepada pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak yang sama selama satu bulan kalender;

Bahwa selanjutnya frasa "diperkenankan untuk membuat satu Faktur Pajak" sebagaimana disebutkan dalam Pasal tersebut, menurut Majelis dapat dimaknai bahwa Undang-undang tersebut tidak mengharuskan Pengusaha Kena Pajak yang dalam hal ini adalah Penggugat untuk membuat "satu" Faktur Pajak Gabungan, karena "jiwa"

dari Pasal 13 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 adalah untuk memberikan kemudahan bagi Wajib Pajak dalam menerbitkan Faktur Pajak sehingga meringankan beban administrasinya;

Bahwa dengan demikian menurut Majelis walaupun Penggugat menerbitkan Faktur Pajak Gabungan lebih dari satu kali, namun faktur pajak tersebut telah meliputi seluruh penyerahan yang dilakukan kepada pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak yang sama selama satu bulan kalender;

Bahwa selanjutnya Terbanding telah menerbitkan STP berdasarkan Pasal 14 ayat (4) Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan;

Bahwa berdasarkan pemeriksaan dan penilaian Majelis atas Faktur Gabungan yang telah diserahkan serta penjelasan Penggugat dalam persidangan dapat diketahui bahwa atas transaksi penyerahan barang kena pajak yang terkait dengan penerbitan Surat Tagihan Pajak a quo, Penggugat telah menerbitkan Faktur Pajak dengan tepat waktu dan lengkap, sesuai dengan syarat standar sebagaimana diatur dalam Pasal 13 ayat (5) Undang- Undang Pajak Pertambahan Nilai, serta telah dilaporkan pada SPT Masa Pajak Pertambahan Nilai sesuai dengan masa penerbitan Faktur Pajak tersebut;

Bahwa disamping itu menurut Majelis, tidak terdapat satupun ketentuan dalam Pasal 14 ayat (4) Undang-undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang menyebutkan bahwa atas penerbitan lebih dari 1 (satu) Faktur Pajak Gabungan dalam 1 (satu) Masa Pajak dapat dikenakan sanksi administrasi berupa denda;

Bahwa dengan demikian menurut Majelis, Penggugat tidak dapat dikenai sanksi denda sesuai dengan Pasal 14 ayat (4) Undang-undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan;

Bahwa berdasarkan Pasal 69 ayat (le) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak dinyatakan: "alat bukti dapat berupa "pengetahuan hakim", yang di Pasal 75 disebutkan "adalah hal yang olehnya diketahui dan diyakini kebenarannya";

Bahwa menurut pasal 78 Undang-Undang Nomor 14 tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak menyatakan bahwa:

"Putusan Pengadilan Pajak diambil berdasarkan hasil penilaian pembuktian, dan berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang bersangkutan, serta berdasarkan keyakinan Hakim";

Bahwa berdasarkan hal-hal tersebut di atas Majelis meyakini, bahwa Faktur Pajak Gabungan yang dibuat oleh Penggugat telah sesuai dengan ketentuan yang berlaku, oleh karena itu Majelis memutuskan untuk mengabulkan gugatan Penggugat;

3. Bahwa berkenaan dengan amar pertimbangan Majelis Hakim dalam Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put.51847/PP/M.IIIB/99/2014 tanggal 10 April 2014 sebagaimana telah tersebut di atas, Pemohon Peninjauan Kembali (semula Tergugat) dengan ini menyatakan bahwa Majelis Hakim Pengadilan Pajak telah salah dan keliru dalam memeriksa dan mengadili sengketa Gugatan tersebut atau setidak-tidaknya telah membuat suatu kekhilafan (error facti) dalam membuat pertimbanganpertimbangan hukumnya dengan telah mengabaikan fakta hukum dan atau prinsip perpajakan yang berlaku, sehingga hal tersebut nyata-nyata telah melanggar asas kepastian hukum dalam bidang perpajakan di Indonesia;

4. Bahwa ketentuan perundang-undangan yang terkait dengan sengketa gugatan a quo adalah sebagai berikut:

Penjelasan Pasal 78:

“Keyakinan Hakim didasarkan pada penilaian pembuktian dan sesuai dengan peraturan perundang- undangan perpajakan”;

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000;

Pasal 4:

Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas:

a. Penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha;

b. Impor Barang Kena Pajak;

c. Penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha;

d. Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;

e. Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean; atau

(7)

f. Ekspor Barang Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak";

Pasal 13 ayat (1) dan (2):

1. Pengusaha Kena Pajak wajib membuat Faktur Pajak untuk setiap penyerahan Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a atau huruf f dan setiap penyerahan Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf c;

2. Menyimpang dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Pengusaha Kena Pajak dapat membuat satu Faktur Pajak meliputi seluruh penyerahan yang dilakukan kepada pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak yang sama selama sebulan takwim;

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007;

Pasal 2:

Ayat (2) : Setiap Wajib Pajak sebagai Pengusaha yang dikenakan pajak berdasarkan Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya, wajib melaporkan usahanya pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Pengusaha, dan tempat kegiatan usaha dilakukan untuk dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak;

Ayat (3): Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan:

a. Tempat pendaftaran dan atau tempat pelaporan usaha selain yang ditetapkan dalam ayat (1) dan ayat (2);

b. Tempat pendaftaran pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat kegiatan usaha dilakukan, di samping tempat mendaftarkan diri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), bagi Wajib Pajak orang pribadi pengusaha tertentu;

Penjelasannya:

Ayat (2):

Setiap Wajib Pajak sebagai Pengusaha yang dikenakan Pajak Pertambahan Nilai berdasarkan Undang- undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya, wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;

Pengusaha orang pribadi berkewajiban melaporkan usahanya pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal Pengusaha dan tempat kegiatan usaha dilakukan;

Sedangkan bagi Pengusaha badan, kewajiban melaporkan usahanya tersebut adalah pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat kedudukan Pengusaha dan tempat kegiatan usaha dilakukan;

Dengan demikian Pengusaha orang pribadi atau badan yang mempunyai tempat kegiatan usaha di

wilayah beberapa kantor Direktorat Jenderal Pajak wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak baik di kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Pengusaha maupun di kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat kegiatan usaha dilakukan;

Fungsi pengukuhan Pengusaha Kena Pajak selain dipergunakan untuk mengetahui identitas Pengusaha Kena Pajak yang sebenarnya, juga berguna untuk melaksanakan hak dan kewajiban di bidang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah serta untuk pengawasan administrasi perpajakan. Terhadap Pengusaha yang telah memenuhi syarat sebagai Pengusaha Kena Pajak tetapi tidak melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dikenakan sanksi sesuai

peraturan perundang-undangan perpajakan;

Ayat (3):

Terhadap Wajib Pajak maupun Pengusaha Kena Pajak tertentu, Direktur Jenderal Pajak dapat

menentukan kantor Direktorat Jenderal Pajak selain yang ditentukan dalam ayat (1) dan ayat (2), sebagai tempat pendaftaran untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak dan atau Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak;

Selain itu bagi Wajib Pajak orang pribadi pengusaha tertentu yaitu Wajib Pajak orang pribadi yang mempunyai tempat usaha tersebar di beberapa tempat, misalnya pedagang elektronik yang mempunyai toko di beberapa pusat perbelanjaan, di samping wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal Wajib Pajak, juga diwajibkan mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat kegiatan usaha Wajib Pajak dilakukan;

Pasal 14 ayat (1) huruf d, huruf e, huruf f;

Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Tagihan Pajak apabila:

d. Pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, tetapi tidak membuat faktur pajak atau membuat faktur pajak, tetapi tidak tepat waktu;

(8)

e. Pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak yang tidak mengisi faktur pajak secara lengkap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) Undang-Undang Pajak

Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya, selain:

1. Identitas pembeli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) huruf b Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya; atau

2. Identitas pembeli serta nama dan tandatangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) huruf b dan huruf g Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya, dalam hat penyerahan dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak pedagang eceran;

f. Pengusaha Kena Pajak melaporkan faktur pajak tidak sesuai dengan masa penerbitan faktur pajak;

atau Pasal 14 ayat (4):

(4) Terhadap pengusaha atau Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, huruf e, atau huruf f masing-masing, selain wajib menyetor pajak yang terutang, dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 2% (dua persen) dari Dasar Pengenaan Pajak;

Pasal 23 ayat (2):

“Gugatan Wajib Pajak atau Penanggung Pajak terhadap:

a. Pelaksanaan Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan, atau Pengumuman Lelang;

b. Keputusan pencegahan dalam rangka penagihan pajak;

c. Keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan perpajakan, selain yang ditetapkan dalam Pasal 25 ayat (1) dan Pasal 26; atau

d. Penerbitan surat ketetapan pajak atau Surat Keputusan Keberatan yang dalam penerbitannya tidak sesuai dengan prosedur atau tata cara yang telah diatur dalam ketentuan peraturan perundang- undangan perpajakan hanya dapat diajukan kepada badan peradilan pajak”;

Pasal 36 ayat (1) huruf c:

“Direktur Jenderal Pajak karena jabatan atau atas permohonan Wajib Pajak dapat mengurangkan atau membatalkan Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 yang tidak benar”;

Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak Dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan (selanjutnya disebut dengan PP Nomor 74 Tahun 2011)

Pasal 37:

“Keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan perpajakan yang diajukan gugatan kepada badan peradilan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) huruf c Undang-Undang meliputi keputusan yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak selain:

a. Surat ketetapan pajak yang penerbitannya telah sesuai dengan prosedur atau tata cara penerbitan;

b. Surat Keputusan Pembetulan;

c. Surat Keputusan Keberatan yang penerbitannya telah sesuai dengan prosedur atau tata cara penerbitan;

d. Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi;

e. Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi;

f. Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak;

g. Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak; dan

h. Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak”;

Penjelasan Pasal 22 ayat (1):

Yang dimaksud dengan ketetapan dan/atau keputusan yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak dalam melaksanakan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan meliputi:

a. Surat Tagihan Pajak;

b. Surat Ketetapan Pajak;

c. Surat Keputusan Pembetulan;

d. Surat Keputusan Keberatan;

e. Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi;

f. Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi;

g. Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak;

h. Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak; dan

i. Surat Ketetapan atau keputusan lain yang berhubungan dengan pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak;

Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 21/PMK.03/2008 tanggal 06 Februari 2008 tentang Tata Cara Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi, Pengurangan atau Pembatalan Surat Ketetapan Pajak atau Surat Tagihan Pajak Yang Tidak Benar, Dan Pembatalan Hasil Pemeriksaan;

(9)

Pasal 4 ayat (1):

“Surat ketetapan pajak, Surat Tagihan Pajak, dan hasil pemeriksaan yang dapat dikurangkan atau dibatalkan oleh Direktur Jenderal Pajak baik secara jabatan atau berdasarkan permohonan Wajib Pajak meliputi:

a. Pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar;

b. Pengurangan atau pembatalan Surat Tagihan Pajak yang tidak benar; atau

c. Pembatalan surat ketetapan pajak dari hasil pemeriksaan yang dilaksanakan tanpa:

1. penyampaian surat pemberitahuan hasil pemeriksaan; atau 2. pembahasan akhir hasil pemeriksaan”;

Pasal 6 ayat (1):

“Permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan Pasal 4 ayat (1) huruf a dan huruf b hanya dapat diajukan oleh Wajib Pajak paling banyak 2 (dua) kali”;

5. Bahwa Pemohon Peninjauan Kembali (semula Tergugat) sangat keberatan atas pertimbangan Majelis Hakim yang mengabulkan gugatan Termohon Peninjauan Kembali (semula Penggugat) atas sengketa a quo dan mengajukan Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung RI karena pertimbangan dan putusan Majelis Hakim tersebut nyata-nyata bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

6. Bahwa atas pertimbangan Majelis Hakim dalam persidangan a quo yang mengabulkan gugatan Termohon Peninjauan Kembali (semula Penggugat) atas Surat Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-

1233/WPJ.04/2013 tanggal 21 Agustus 2013 tentang Pengurangan Ketetapan Pajak Atas Surat Tagihan Pajak Masa Pajak Februari 2010 Nomor 00167/107/10/062/12 tanggal 08 Mei 2012 berdasarkan Pasal 36 Ayat (1) Huruf c sebagai objek gugatan, Pemohon Peninjauan Kembali (semula Tergugat) menyatakan sangat keberatan dengan argumentasi hukum sebagai berikut:

(10)
(11)

A. Formal:

1. Tergugat mengajukan permohonan gugatan kepada Pengadilan Pajak terkait dengan diterbitkannya Keputusan Direktur Jenderal Pajak nomor: KEP-1233/WPJ.04/2013 tanggal 21 Agustus 2013 tentang Pengurangan Ketetapan Pajak atas Surat Tagihan Pajak berdasarkan Pasal 36 ayat (1) huruf c karena PermohonanWajib Pajak;

2. Terkait dengan keputusan yang diajukan gugatan:

Bahwa terkait dengan pertimbangan Majelis Hakim (halaman 23-24 Putusan) dengan ini disampaikan hal-hal sebagai berikut:

a. Bahwa dalam Pasal 1 angka 5 dan angka 7 serta Pasal 31 ayat (3) Undang-Undang Pengadilan Pajak disebutkan:

5. Sengketa Pajak adalah sengketa yang timbul dalam bidang perpajakan antara Wajib Pajak atau penanggung Pajak dengan pejabat yang berwenang sebagai akibat dikeluarkannya keputusan yang dapat diajukan Banding atau Gugatan kepada Pengadilan Pajak berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan, termasuk Gugatan atas pelaksanaan penagihan berdasarkan Undang-undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa;

6. ….

7. Gugatan adalah upaya hukum yang dapat dilakukan oleh Wajib Pajak atau penanggung Pajak terhadap pelaksanaan penagihan Pajak atau terhadap keputusan yang dapat diajukan Gugatan berdasarkan peraturan perundangundangan perpajakan yang berlaku;

Pasal 31 ayat (3):

Pengadilan Pajak dalam hal Gugatan memeriksa dan memutus sengketa atas pelaksanaan penagihan Pajak atau Keputusan pembetulan atau Keputusan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 dan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku;

b. Bahwa dalam Pasal 23 ayat (2) UU KUP:

Gugatan Wajib Pajak atau Penanggung Pajak terhadap:

...

c. keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan perpajakan, selain yang ditetapkan dalam Pasal 25 ayat (1) dan Pasal 26; atau

c. Bahwa dalam Pasal 37 huruf f PP Nomor 74 Tahun 2011 disebutkan:

Keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan perpajakan yang diajukan gugatan kepada badan peradilan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) huruf c Undang-Undang meliputi keputusan yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak selain:

f. Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak;

g. Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak;

d. Bahwa dalam Pasal 1 angka 5 dan 7 dan Pasal 31 ayat (3) Undang-Undang Pengadilan Pajak secara jelas dan tegas disebutkan bahwa Pengadilan Pajak dalam hal gugatan memeriksa dan memutus sengketa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) Undang- Undang KUP dan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku;

e. Bahwa dengan demikian sesuai dengan peraturan perundangundangan perpajakan yang berlaku, Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-1233/WPJ.04/2013 tanggal 21 Agustus 2013 tentang Pengurangan Ketetapan Pajak atas Surat Tagihan Pajak berdasarkan Pasal 36 ayat (1) huruf c karena Permohonan Wajib Pajak, bukan merupakan surat keputusan yang dapat digugat di Pengadilan Pajak;

3. Terkait dengan kewenangan:

Bahwa sesuai Pasal 78 Undang-Undang Nomor 14 tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak yang menyatakan bahwa:

"Putusan Pengadilan Pajak diambil berdasarkan hasil penilaian pembuktian, dan berdasarkan peraturan perundangundangan perpajakan yang bersangkutan, serta berdasarkan keyakinan Hakim"

kemudian dalam penjelasannya disebutkan;

"Keyakinan Hakim didasarkan pada penilaian pembuktian dan sesuai dengan peraturan perundang- undangan perpajakan";

Bahwa Pasal 36 ayat (1) huruf c Undang-Undang KUP memberikan kewenangan kepada Direktur Jenderal Pajak, baik karena permohonan atau karena jabatan, dapat “mengurangkan atau membatalkan Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 yang tidak benar”;

Bahwa kewenangan dalam Pasal 36 tersebut hanya diberikan kepada Direktur Jenderal Pajak. Hal ini diperkuat dengan ketentuan dalam Pasal 37 PP Nomor 74 Tahun 2011 yang menyatakan bahwa Wajib Pajak dapat mengajukan gugatan selain atas Surat Keputusan Pengurangan dan/atau Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak;

Bahwa menurut Penjelasan Pasal 22 ayat (1) huruf a PP Nomor 74 Tahun 2011, Yang dimaksud dengan "ketetapan dan/atau keputusan yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak dalam melaksanakan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan" meliputi: Surat Tagihan Pajak;

Bahwa Majelis Hakim telah mengabaikan ketentuan dalam Pasal 37 PP Nomor 74 Tahun 2011 sebagai peraturan perundang-undangan yang sampai dengan saat ini masih berlaku dan belum pernah diajukan uji materiil (judicial review) ke Mahkamah Agung;

Bahwa sebagai informasi dan bahan pertimbangan kepada Majelis Hakim Mahkamah Agung, pendapat tersebut di atas juga sama dengan pendapat Majelis Hakim Pengadilan Pajak yang lain sebagai berikut:

Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put.28158/PP/M.IX/99/2010 tanggal 21 Desember 2010:

Dalam amar pertimbangan pada halaman 19 alinea ke-4 Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put.28158/PP/M.IX/99/2010 tanggal 21 Desember 2010 menyangkut sengketa antara Tergugat dengan PT. Nittsu Lemo Indonesia Logistik yang menyatakan sebagai berikut:

“Bahwa sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, Majelis Hakim tidak berwenang membatalkan Surat Tagihan Pajak a quo.

Sesuai ketentuan Pasal 36 ayat (1) huruf b KUP wewenang untuk pembatalan yang dimaksud berada pada Direktur Jenderal Pajak”;

Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put.37034/PP/M.XVI/99/2012 tanggal 6 Maret 2012:

Dalam amar pertimbangan pada halaman 31 angka 8 Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put.37034/PP/M.XVI/99/2012 tanggal 6 Maret 2012 menyangkut sengketa antara Tergugat dengan BUT ConocoPhilips Indonesia Inc. Ltd. yang menyatakan sebagai berikut:

“Bahwa menurut pendapat Majelis, wewenang untuk mengurangkan atau menghapuskan sanksi sebagaimana dimaksud oleh Penggugat sesuai ketentuan Pasal 36 Undang-Undang nomor 16 Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan berada pada Direktur Jenderal Pajak”;

Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put.37035/PP/M.XVI/99/2012 tanggal 6 Maret 2012:

Dalam amar pertimbangan pada halaman 31 angka 8 Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put.37035/PP/M.XVI/99/2012 tanggal 6 Maret 2012 menyangkut sengketa antara Tergugat dengan BUT ConocoPhilips Indonesia Inc. Ltd. yang menyatakan sebagai berikut:

“Bahwa menurut pendapat Majelis, wewenang untuk mengurangkan atau menghapuskan sanksi sebagaimana dimaksud oleh Penggugat sesuai ketentuan Pasal 36 Undang-Undang nomor 16 Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan berada pada Direktur Jenderal Pajak”;

Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put.38409/PP/M.XII/99/2012 tanggal 30 Mei 2012:

Dalam amar pertimbangan pada halaman 19 alinea ke-2 dan 3 Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put.38409/PP/M.XII/99/2012 tanggal 30 Mei 2012 menyangkut sengketa antara Tergugat dengan PT Jateng Sinar Agung Sentosa yang menyatakan sebagai berikut:

“bahwa Majelis berpendapat berdasarkan Pasal 36 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan diketahui bahwa wewenang untuk memberikan pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak yang tidak benar adalah kewenangan Direktur Jenderal Pajak;

Bahwa berdasarkan penjelasan Pasal 36 Undang-undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, diketahui bahwa Pasal 36 ini merupakan ranah kebaikan hati (azas clemency) dari Tergugat yang harus dilaksanakan dengan berlandaskan unsur keadilan”;

Dalam amar pertimbangan pada halaman 20 alinea ke-1 dan 2 Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put.38409/PP/M.XII/99/2012 tanggal 30 Mei 2012 menyangkut sengketa antara Tergugat dengan PT Jateng Sinar Agung Sentosa yang menyatakan sebagai berikut:

“Bahwa ketentuan perpajakan yang ada telah jelas mengatur proses penyelesaian pengajuan permohonan pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak yang tidak benar sesuai dengan Pasal 36 Undang-undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sepenuhnya merupakan wewenang Tergugat sehingga tidak dapat dilimpahkan ke pihak lain;

Dokumen ini diketik ulang dan diperuntukan secara eksklusif untuk www.ortax.org dan TaxBase, 2022

(12)

B. Material:

1. Bahwa terhadap Termohon Peninjauan Kembali (semula Penggugat) diterbitkan Surat Tagihan Pajak berdasarkan ketentuan dalam Pasal 14 ayat (4) Undang-Undang KUP dengan alasan:

Termohon Peninjauan Kembali (semula Penggugat) menerbitkan Faktur Pajak gabungan sampai 21 lembar Faktur kepada pembeli yang sama, yang menyalahi ketentuan dalam Pasal 13 ayat (2) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai;

Termohon Peninjauan Kembali (semula Penggugat) tidak mengisi secara benar atas Faktur Pajak Standar (Faktur Pajak Gabungan adalah Faktur Pajak Standar). Termohon Peninjauan Kembali (semula Penggugat) telah menerbitkan Faktur Pajak tepat waktu akan tetapi Termohon Peninjauan Kembali (semula Penggugat) dalam menerbitkan Faktur Pajak Gabungan tidak sesuai ketentuan Pasal 13 ayat (2) Undang-Undang PPN, sehingga atas penerbitan Faktur tersebut dapat dikategorikan tidak benar, serta Pasal 5 ayat (2) PER- 159/PJ./2006 sehingga melanggar ketentuan Pasal 14 ayat (1) huruf e Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang menyatakan bahwa "Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Tagihan Pajak apabila e.Pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak yang tidak mengisi Faktur Pajak secara lengkap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5)";

2. Dalam surat gugatannya Termohon Peninjauan Kembali (semula Penggugat) menyampaikan bahwa Termohon Peninjauan Kembali (semula Penggugat) membuat Faktur Pajak Gabungan per masing-masing cabang/outlet sub distributor (halaman 7 putusan);

3. Bahwa terkait dengan materi gugatan Majelis Hakim berpendapat (halaman 26-27 putusan):

Bahwa menurut Majelis, Termohon Peninjauan Kembali (semula Penggugat) dalam hal ini telah memenuhi salah satu unsur Dalam Pasal 13 ayat (2) Undang-Undang PPN yaitu:

Faktur Pajak meliputi seluruh penyerahan yang dilakukan kepada pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak yang sama selama satu bulan kalender;

Bahwa selanjutnya frasa "diperkenankan untuk membuat satu Faktur Pajak" sebagaimana disebutkan dalam Pasal 13 ayat (2) Undang-Undang PPN, menurut Majelis dapat dimaknai bahwa Undang-undang tersebut tidak mengharuskan Pengusaha Kena Pajak yang dalam hal ini adalah Termohon Peninjauan Kembali (semula Penggugat) untuk membuat "satu" Faktur Pajak Gabungan, karena "jiwa" dari Pasal 13 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 adalah untuk memberikan kemudahan bagi Wajib Pajak dalam menerbitkan Faktur Pajak sehingga meringankan beban administrasinya;

Bahwa dengan demikian menurut Majelis walaupun Termohon Peninjauan Kembali (semula Penggugat) menerbitkan Faktur Pajak Gabungan lebih dari satu kali, namun faktur pajak tersebut telah meliputi seluruh penyerahan yang dilakukan kepada pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak yang sama selama satu bulan kalender;

Bahwa berdasarkan pemeriksaan dan penilaian Majelis atas Faktur Gabungan yang telah diserahkan serta penjelasan Termohon Peninjauan Kembali (semula Penggugat) dalam persidangan dapat diketahui bahwa atas transaksi penyerahan barang kena pajak yang terkait dengan penerbitan Surat Tagihan Pajak a quo, Termohon Peninjauan Kembali (semula Penggugat) telah menerbitkan Faktur Pajak dengan tepat waktu dan lengkap, sesuai dengan syarat standar sebagaimana diatur dalam Pasal 13 ayat (5) Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai, serta telah dilaporkan pada SPT Masa Pajak Pertambahan Nilai sesuai dengan masa penerbitan Faktur Pajak tersebut;

Bahwa disamping itu menurut Majelis, tidak terdapat satupun ketentuan dalam Pasal 14 ayat (4) Undang-undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang menyebutkan bahwa atas penerbitan lebih dari 1 (satu) Faktur Pajak Gabungan dalam 1 (satu) Masa Pajak dapat dikenakan sanksi administrasi berupa denda;

4. Bahwa terkait dengan uraian tersebut di atas, dengan ini disampaikan hal-hal sebagai berikut:

a. Bahwa dalam Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang PPN disebutkan “Pengusaha Kena Pajak wajib membuat Faktur Pajak”;

Bahwa Faktur Pajak harus dibuat pada saat penyerahan BKP/JKP atau dalam hal pembayaran diterima diterima sebelum penyerahan maka Faktur Pajak dibuat pada saat pembayaran sebagaimana diatur dalam Pasal 13 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang PPN;

b. b. Bahwa terdapat pengecualian terkait dengan kapan Faktur Pajak dibuat dalam Undang- Undang PPN yakni sebagaimana diatur dalam Pasal 13 ayat (2). Dalam Penjelasan Pasal 13 ayat (2) disebutkan:

Menyimpang dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), untuk meringankan beban administrasi, kepada Pengusaha Kena Pajak diperkenankan untuk membuat satu Faktur Pajak yang meliputi semua penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang terjadi selama satu bulan takwim kepada pembeli yang sama atau penerima Jasa Kena Pajak yang sama, yang disebut Faktur Pajak Gabungan;

Bahwa saat pembuatan Faktur Pajak Gabungan lebih lanjut diatur dalam Pasal 2 ayat (2) Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-159/PL/2006 tentang Saat Pembuatan, Bentuk, Ukuran, Pengadaan, Tata Cara Penyampaian, dan Tata Cara Pembetulan Faktur Pajak Standar yakni:

Faktur Pajak Gabungan harus dibuat paling lambat:

a. pada akhir bulan berikutnya setelah bulan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak, dalam hal pembayaran baik sebagian atau seluruhnya terjadi setelah berakhirnya bulan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak; atau b. pada akhir bulan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak, dalam

hal pembayaran baik sebagian atau seluruhnya terjadi sebelum berakhirnya bulan Penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak;

c. Bahwa secara prinsip Faktur Pajak harus dibuat pada saat penyerahan atau pada saat pembayaran. Namun demikian, dalam suatu peraturan dimungkinkan terdapat suatu pengecualian, yang dikenal dengan asas de uitzonderingen bevestigen de regel, yakni pengecualian memastikan peraturan yang ada. Mengutip pendapat Prof. J.E Sahetappy yakni dalam hukum selain memiliki asas positif juga dikenal dengan asas de uitzonderingen bevestigen de regel (pengecualian memastikan aturan yang ada).

Artinya dalam ranah regulasi ada pula kajian atas sebuah pengecualian terhadap norma, sepanjang dikecualikan atas kebutuhan masyarakat menuju perbaikan permasalahan;

d. Terkait pendapat Majelis (halaman 26 paragraf 4) yang menyatakan bahwa frasa

"diperkenankan untuk membuat satu Faktur Pajak" sebagaimana disebutkan dalam Pasal 13 ayat (2) Undang-Undang PPN, menurut Majelis dapat dimaknai bahwa Undang-undang tersebut tidak mengharuskan Pengusaha Kena Pajak yang dalam hal ini adalah Penggugat untuk membuat "satu" Faktur Pajak Gabungan”, Pemohon Peninjauan Kembali (semula Tergugat) tidak sependapat dengan alasan:

Bahwa Undang-Undang PPN memberikan pengecualian dalam Pasal 13 ayat (2) yang bertujuan untuk meringankan beban administrasi bagi PKP, yakni dalam hal terdapat penyerahan kepada Pembeli yang sama dalam satu bulan kalender, maka diperkenankan membuat satu Faktur Pajak Gabungan;

Bahwa frase “diperkenankan membuat satu Faktur Pajak” dalam Undang- undang ini bermakna sebagai satu Faktur Pajak Gabungan pada akhir bulan, yang didalamnya memuat seluruh transaksi dengan Pembeli yang sama, yang mengecualikan prinsip dasar bahwa Faktur Pajak harus dibuat pada saat penyerahan atau pada saat pembayaran;

Bahwa dengan kata lain, Termohon Peninjauan Kembali (semula Penggugat) memang dapat membuat lebih dari satu Faktur Pajak Gabungan dengan syarat Faktur Pajak Gabungan tersebut memuat seluruh penyerahan dalam 1 bulan takwim kepada Pembeli BKP yang berbeda;

Dengan demikian, Majelis Hakim telah keliru dalam menafsirkan bunyi Pasal 13 ayat (2) Undang-Undang PPN tersebut;

e. Bahwa dalam Pasal 2 ayat (2) Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor PER- 159/PL/2006 tentang Saat Pembuatan, Bentuk, Ukuran, Pengadaan, Tata Cara Penyampaian, dan Tata Cara Pembetulan Faktur Pajak Standar, Faktur Pajak Gabungan harus dibuat paling lambat pada akhir bulan berikutnya setelah bulan penyerahan atau pada akhir bulan penyerahan dalam hal terdapat pembayaran;

f. Bahwa berdasarkan ketentuan dalam Pasal 12 Undang-Undang PPN Juncto Pasal 2 danPasal (3) UU KUP, Wajib Pajak dikenai Pajak, wajib melaporkan usahanya pada kantor Direktorat Jenderal Pajak, dimana tempat pelaporan tersebut dapat melalui pemberitahuan atau penetapan secara jabatan;

g. Bahwa dalam Pasal 2 ayat (2) Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor PER- 159/PL/2006 tentang Saat Pembuatan, Bentuk, Ukuran, Pengadaan, Tata Cara Penyampaian, dan Tata Cara Pembetulan Faktur Pajak Standar, Faktur Pajak Gabungan harus dibuat paling lambat pada akhir bulan berikutnya setelah bulan penyerahan atau pada akhir bulan penyerahan dalam hal terdapat pembayaran;

h. Bahwa berdasarkan penelusuran pada Sistem Informasi Direktorat Jenderal Pajak, diketahui dalam SPT-nya atas penyerahan kepada PT Arta Boga Cemerlang seluruhnya dengan NPWP 01.244.124.2-091.000. Dengan kata lain, Termohon Peninjauan Kembali (semula Penggugat) melakukan penyerahan kepada satu Pembeli yang sama, namun membuat Faktur Pajak Gabungan lebih dari satu, yakni sebanyak 21 Faktur Pajak Gabungan. Hal ini tentu saja menyalahi ketentuan dalam Pasal 13 ayat (2) Undang-Undang PPN yang mengatur satu Faktur Pajak untuk seluruh penyerahan dalam satu bulan kalender. Pembuatan 21 Faktur Pajak Gabungan tersebut tidak sesuai dengan tujuan adanya pengecualian dalam Pasal 13 ayat (2) Undang-Undang PPN yakni “untuk meringankan beban administrasi”, mengingat dalam Undang-Undang PPN telah memberikan keringanan berupa satu Faktur Pajak Gabungan namun Termohon Peninjauan Kembali (semula Penggugat) membuat sampai dengan 21 Faktur Pajak Gabungan;

i. Bahwa Faktur Pajak Gabungan yang diterbitkan harus memuat semua penyerahan yang terjadi dalam 1 (satu) bulan takwim. Dengan demikian, apabila Termohon Peninjauan Kembali (semula Penggugat) membuat 21 Faktur Pajak Gabungan untuk Pembeli yang sama (yang dapat dibuktikan dengan NPWP lawan transaksinya) maka Faktur Pajak Termohon Peninjauan Kembali (semula Penggugat) tersebut tidak sesuai ketentuan Pasal 13 ayat (2) Undang-Undang PPN, sehingga atas penerbitan Faktur tersebut dapat dikategorikan tidak benar, serta Pasal 5 ayat (2) PER- 159/PJ./2006 sehingga melanggar ketentuan Pasal 14 ayat (1) huruf e Undang- Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang menyatakan bahwa

"Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Tagihan Pajak apabila e.

Pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak yang tidak mengisi Faktur Pajak secara lengkap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5)";

j. Bahwa Termohon Peninjauan Kembali (semula Penggugat) menyampaikan alasan pembuatan 21 Faktur Pajak Gabungan tersebut untuk memudahkan proses administrasi dan meringankan beban administrasi, maka Faktur Pajak dibuat dan ditujukan untuk masing-masing kantor pusat dan cabang PT Arta Boga Cemerlang;

k. Bahwa alasan Termohon Peninjauan Kembali (semula Penggugat) tersebut tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Undang-Undang PPN telah memberikan pengecualian untuk meringankan beban administrasi yang telah ditentukan dalam Undang-undang, sehingga cara apapun yang dilakukan oleh Termohon Peninjauan Kembali (semula Penggugat) untuk tujuan memudahkan administrasi dan meringankan beban administrasi harus dilakukan sesuai dengan koridor Undang- undang;

l. Bahwa Termohon Peninjauan Kembali (semula Penggugat) telah membuat satu Faktur Pajak Gabungan untuk seluruh penyerahan kepada PT Arta Boga Cemerlang pada Masa Pajak Mei 2010, sehingga pada dasarnya tidak ada alasan bagi Termohon Peninjauan Kembali (semula Penggugat) untuk tidak membuat satu Faktur Pajak Gabungan untuk Masa Pajak lainnya;

Bahwa dalam Tanggapan atas Gugatan (halaman 14 Putusan paragraf 2), Tergugat menyatakan “Penggugat telah menerbitkan Faktur Pajak tepat waktu akan tetapi Penggugat dalam menerbitkan Faktur Pajak Gabungan tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 5 ayat (2) PER- 159/PJ/2006 sehingga melanggar ketentuan Pasal 14 ayat (1) huruf e Undang-Undang KUP”;

Bahwa pendapat Pemohon Peninjauan Kembali (semula Tergugat) tersebut perlu ditambahkan,mengenai ketentuan Pasal 14 ayat (1) huruf d Undang-Undang KUP dengan penjelasan bahwa sebagaimana diatur dalam Pasal 13 ayat (2) Undang- Undang PPN, Faktur Pajak Gabungan adalah satu Faktur Pajak yang dibuat meliputi seluruh penyerahan dalam satu bulan kalender kepada Pembeli yang sama, namun Penggugat membuat 21 Faktur Pajak Gabungan, maka atas 20 Faktur Pajak Gabungan tidak dapat diakui sehingga atas penyerahan yang dilakukan oleh Penggugat pada dasarnya belum dibuat, sehingga tidak sesuai dengan Pasal 14 ayat

Dokumen ini diketik ulang dan diperuntukan secara eksklusif untuk www.ortax.org dan TaxBase, 2022

(13)

7. Berdasarkan fakta-fakta hukum (fundamentum petendi) tersebut di atas secara keseluruhan telah membuktikan secara jelas dan nyata-nyata bahwa Majelis Hakim Pengadilan Pajak telah memutus perkara a quo tidak berdasarkan pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan tidak berdasarkan hasil penilaian pembuktian, sehingga pertimbangan dan amar putusan Majelis Hakim pada pemeriksaan sengketa gugatan di Pengadilan Pajak nyata-nyata telah salah dan keliru, sehingga Putusan Pengadilan Pajak Nomor

Put.51847/PP/M.IIIB/99/2014 tanggal 10 April 2014, terkait dengan sengketa gugatan, harus dibatalkan;

V. Bahwa dengan demikian, putusan Majelis Hakim Pengadilan Pajak Nomor Put. 51847/PP/M.IIIB/99/2014 tanggal 10 April 2014 yang menyatakan:

Menyatakan mengabulkan seluruhnya permohonan gugatan Penggugat dengan membatalkan Keputusan Tergugat Nomor KEP-1233/WPJ.04/2013 tanggal 21 Agustus 2013 tentang Pengurangan Ketetapan Pajak Atas Surat Tagihan Pajak Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah Berdasarkan Pasal 36 Ayat (1) Huruf c Karena Permohonan Wajib Pajak dan Surat Tagihan Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa Masa Pajak Februari 2010 Nomor 00167/107/10/062/12 tanggal 08 Mei 2012, atas nama: PT XXX, NPWP: 01.552.xxxx, beralamat di: Jalan DD Kav.YY, Jakarta Selatan 12xxx;

adalah tidak benar serta telah nyata-nyata bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku;

PERTIMBANGAN HUKUM

Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan peninjauan kembali tersebut, Mahkamah Agung berpendapat:

Bahwa yang menjadi pokok permasalahan dalam sengketa ini adalah:

Apakah Keputusan Tata Usaha Negara Objek Sengketa merupakan kewenangan Pengadilan Pajak untuk mengadilinya?

Apakah penerbitan lebih 1 (satu) faktur pajak dalam 1 (satu) bulan takwin pajak harus dikenakan sanksi administrasi menurut Pasal 14 ayat (4) Undang-Undang KUP?

Bawa Judex Facti sudah tepat dan tidak terdapat kekhilafan atau kekeliruan yang nyata dengan pertimbangan:

Bahwa Pasal 25 dan Pasal 26 KUP tidak menyebutkan secara eksplisit pembatasan objek gugatan hanya pada hal-hal yang telah disebutkan secara tegas, oleh karena itu untuk keadilan di bidang perpajakan, hal-hal lain yang berhubungan dengan beban pajak bagi para wajib pajak, walaupun tidak diatur dalam Pasal 25 dan 26 Undang-Undang KUP, Keputusan Tata Usaha Negara objek sengketa yang terkait dengan tagihan pajak dapat diajukan keberatan dan/atau banding sesuai dengan aturan perpajakan, sehingga sesuai dengan Pasal 23 ayat (2) huruf c Undangundang KUP dapat digugat di Pengadilan Pajak;

Bahwa Pasal 13 ayat (2) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai Barang Mewah, PKP dapat membuat 1 (satu) Faktur Pajak meliputi seluruh penyerahan yang dilakukan kepada pembeli yang sama dalam 1 (satu) bulan kalender, sehingga tidak terdapat pelanggaran yang dilakukan oleh Termohon Peninjauan Kembali, oleh karena itu tidak tepat kepadanya dijatuhi sanksi

administrasi sesuai Pasal 14 ayat (1) huruf c Undang-Undang KUP;

Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, maka permohonan peninjauan kembali yang diajukan oleh Pemohon Peninjauan Kembali: DIREKTUR JENDERAL PAJAK, tersebut tidak beralasan sehingga harus ditolak;

Menimbang, bahwa dengan ditolaknya permohonan peninjauan kembali, maka Pemohon Peninjauan Kembali dinyatakan sebagai pihak yang kalah, dan karenanya dihukum untuk membayar biaya perkara dalam peninjauan kembali;

Memperhatikan pasal-pasal dari Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak serta peraturan perundang-undangan lainnya yang terkait;

MENGADILI,

Menolak permohonan peninjauan kembali dari Pemohon Peninjauan Kembali : DIREKTUR JENDERAL PAJAK tersebut;

Menghukum Pemohon Peninjauan Kembali untuk membayar biaya perkara dalam pemeriksaan peninjauan kembali ini sebesar

(14)

Rp2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu Rupiah);

Demikianlah diputuskan dalam rapat permusyawaratan Mahkamah Agung pada hari Kamis, tanggal 12 Januari 2017 oleh Dr.

CCC, S.H., C.N., Hakim Agung yang ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung sebagai Ketua Majelis, AAA, S.H., M.Hum.

dan BBB, S.H. M.H. Hakim-Hakim Agung sebagai Anggota Majelis, dan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada hari itu juga oleh Ketua Majelis beserta Hakim-Hakim Anggota Majelis tersebut dan dibantu oleh DDD, S.H. M.H., Panitera Pengganti dengan tidak dihadiri oleh para pihak.

Anggota Majelis : ttd.

AAA, S.H., M.Hum.

ttd.

BBB, S.H. M.H.

Ketua Majelis, ttd.

Dr. CCC, S.H., C.N.

Biaya - biaya : 1.

Meterai...

Rp 6.000,00 2. Redaksi ... Rp 5.000,00

3. Administrasi ... Rp 2.489.000,00

Jumlah ... Rp 2.500.000,00

Panitera Pengganti, ttd.

DDD, S.H. M.H.

Untuk salinan MAHKAMAH AGUNG R.I.

a.n. Panitera

Panitera Muda Tata Usaha Negara,

(NN, S.H.) NIP xxxxxxxx

Referensi

Dokumen terkait

Bahwa selanjutnya, berdasarkan Pasal 91 huruf e Undang-Undang Pengadilan Pajak, pengajuan Peninjauan Kembali atas Putusan Pengadilan Pajak ke Mahkamah Agung Republik Indonesia,

Bahwa terhadap permasalahan eksportasi yang melampaui tanggal perkiraan ekspor dan barang ekspor dimuat diluar kawasan pabean berdasarkan ketentuan Pasal 8 ayat (1) huruf c dan Pasal

1) Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai. 2) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (duapuluh satu) tahun

Bahwa putusan Majelis tersebut tidak sesuai dengan peraturan perpajakan yang berlaku yang mengatur bahwa Surat Keterangan Domisili sudah harus dimiliki oleh Termohon Peninjauan

Surat bantahan dari Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) Nomor GB-COJF-VEN-L-00444 tanggal 25 Januari 2012 menyatakan “Dengan demikian seharusya Terbanding

Bahwa pokok sengketa banding adalah koreksi Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) atas Pajak Masukan sebesar Rp171.497.554,00 yang digunakan untuk menghasilkan Tandan

Bahwa terkait perbedaan pendapat antara Pemohon Peninjauan Kembali dan Termohon Peninjauan Kembali yaitu apakah Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak

Dalam Pasal 15 ayat (2) Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia sebagaimana telah dimaknai oleh Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor