• Tidak ada hasil yang ditemukan

Budaya Organisasi Sebagai Kekuatan dan Perspektif: Kuat dan lemah, Internal dan eksternal serta potensi pada organisasi virtual

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Budaya Organisasi Sebagai Kekuatan dan Perspektif: Kuat dan lemah, Internal dan eksternal serta potensi pada organisasi virtual"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

aProgram Studi Ekonomi Syariah Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Syariah Riyadlul Jannah Mojokerto

*Koresponden penulis: novalnasrudin@gmail.com Abstract

The objectives of this study are: 1) to describe the characteristics of successful and unsuccessful organizations with regard to culture and its changes. 2) Describe the approach to internal and external variables of organizational elements that can be studied and can be used to predict organizational effectiveness. 3) Describe how the new form of organization, with regard to the concept of cultural strength. This study uses a qualitative approach examining cultural phenomena conducted through field studies and literature studies. Data were collected using literature study techniques and documentation studies. Secondary data source used. Data were analyzed using qualitative data analysis approaches and techniques. From the discussion it can be concluded that: 1) The characteristics of a successful organization have a strong and unique culture, including those that can enhance the organizational subculture. Organizations that fail have different work cultures, and past cultures prevent organizations from adapting to changing environments. 2) The internal variable approach assumes that culture is one of the organizational elements that can be studied and can be used to predict organizational effectiveness. Likewise, the external variable approach considers culture as a force outside the organization, such as a larger national cultural norm. 3) In the new organizational form, the concept of cultural power becomes very important. For example, we now see many "virtual" organizations with social networks, whose members rarely interact face-to-face and apply their culture to cyberspace. Even in this virtual organization, when groups make rules about position, or when members of certain organizations develop strength and status through interactions, it is also interesting how to shape the culture of the interactions.

Keywords: Organizational culture, Strong and weak, Internal and external, "virtual" organization

A.Latar Belakang

Organisasi sering dikatakan memiliki budaya, mungkin lebih akurat untuk memahami organisasi sebagai kumpulan subkultur (van Maanen, Barley, & MA., 1983). Pada saat yang sama, nilai-nilai tingkat individu yang penting bagi anggota organisasi mempengaruhi budaya organisasi (Ashkanasy, Wilderom, & Peterson, 2011:515). Rowlinson dan Procter (1999: 369-370) berpendapat bahwa pemanfaatan perspektif budaya organisasi dapat memberikan 'relevansi teoritis untuk sejarah bisnis' tetapi menyimpulkan bahwa potensi ini 'belum terpenuhi' karena, sebagian besar, untuk 'konvensi yang membagi sejarah bisnis dari studi budaya organisasi' (Aaltio & Mills, 2003:115). Smircich (1983) memberikan tempat awal yang baik untuk mendefinisikan budaya dengan mengajukan pertanyaan kunci mengenai organisasi dan budaya: Apakah organisasi memiliki budaya atau apakah itu budaya? Menurut Smircich, ada dua cara utama budaya dipelajari dalam organisasi: sebagai variabel dan sebagai Akar Metafora. Sebagian besar penelitian dan konsultasi terkini tentang budaya mengambil salah satu dari pendekatan ini atau kombinasi keduanya. Kedua pendekatan ini menunjukkan kekayaan dan keragaman cara mempelajari budaya (Driskill & Brenton, 2005:28).

(2)

Smircich (1983a) menekankan perbedaan mendasar antara pandangan bahwa organisasi memiliki budaya sebagai lawan dari gagasan bahwa organisasi adalah budaya. Organisasi yang memiliki budaya dalam budaya itu dipandang sebagai satu variabel di antara beberapa variabel lainnya; c.g. struktur, tugas, aktor, dan teknologi dalam model Leavitt (Leavitt, 1965 dalam (Schultz, 2012:11). Budaya adalah atribut organisasi, biasanya didefinisikan sebagai nilai atau sikap. Smircich membedakan antara budaya sebagai variabel independen yang diberikan organisasi melalui keanggotaan dan konteks budaya, dan budaya organisasi sebagai variabel dependen internal yang dibentuk dalam organisasi. Di sini, budaya dianggap sebagai atribut instrumental yang harus diperoleh dan dimanipulasi oleh anggota organisasi (Schultz, 2012:12). Aspek leadership memegang peranan penting dalam membentuk budaya organisasi yang merupakan pengaruh dari personality pemimpin dan value yang diyakini oleh founder atau leader. Beberapa indikasi yang dapat kita lihat misalnya perusahaan yang memiliki budaya cost sensitive, biasanya pemimpin atau owner-nya memiliki sifat hemat luar biasa. Semakin tinggi kedudukan seseorang akan semakin kuat pengaruhnya dalam membentuk nilai-nilai dan budaya organisasi. Dapat dikatakan leadership behavior akan membangun organizational behavior yang pada akhirnya akan menentukan performance behavior (Steve, 2013:177). Diketemukan secara umum bahwa organisasi-organisasi yang sukses mempunyai budaya yang kuat sekaligus khas, termasuk mitor-mitos yang memperkuat sub-budaya orga¬nisasi. Organisasi yang gagal mempunyai sub-sub-budaya kerja yang berlainan satu-sama lain, atau, jika tidak, mem¬punyai budaya masa lalu yang membuat organisasi terha¬langi dalam melakukan adaptasi terhadap lingkungan yang berubah (Moeljono, 2003:29).

B.Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah:

1. Mendiskripsikan Ciri-ciri organisasi yang berhasil dan Organisasi yang gagal berkenaan dengan budaya berikut perubahannya.

2. Mendeskripsikan pendekatan variabel internal dan eksternal elemen organisasi yang dapat dipelajari dan dapat digunakan untuk memprediksi efektivitas organisasi.

3. Mendeksripsikan bagaimana dengan bentuk organisasi baru, bekenaan dengan konsep kekuatan budaya

C.Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif karena relevant digunakan dalam meneliti berbagai fenomena budaya yang dilakukan melalui studi lapangan maupun studi kepustakaan. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif-Induktif (Anggito & Setiawan, 2018:189) deskriptif-analitis (Istijanto, 2005:94). Data dikumpulkan dengan teknik studi literatur dan studi dokumentasi (Aubel, Office, Programme, & Fund, 1994:12), Metode deskriptif analitis digunakan untuk mendeskripsikan dan menganalisis “Preskripsi metodologis pengembangan teori ekonomi Islam dalam menangani kelemahan bawaan dari manusia”. Sumber data sekunder yang digunakan (Bungin, 2017:132). Data dikumpulkan dengan menggunakan teknik studi literatur dan studi dokumentasi. Kemudian, data dianalisis dengan menggunakan pendekatan dan teknik analisis data kualitatif.

D.Pembahasan

1. Budaya sebagai Variabel

(3)

budaya sebagai variabel "X" (nilai, norma, dll.) Yang memengaruhi variabel "Y" (produktivitas ', misalnya). Hubungan ini, seperti yang dapat Anda bayangkan, rumit karena fakta bahwa budaya bukanlah variabel yang dapat didefinisikan dengan mudah. Misalnya, coba jawab pertanyaan, Apa yang membuat suatu budaya “baik” atau“kuat”? dan Anda akan menemukan bahwa jawabannya tidak mudah ditempatkan dalam rumus. Berdasarkan pendekatan variabel, seorang manajer yang tidak memiliki pemahaman yang jelas tentang kompleksitas variabel budaya mungkin mengatakan sesuatu seperti: "Jika kita bisa memperkuat budaya kita, produktivitas kita akan naik." Tantangan atau potensi masalah muncul ketika manajer yang sama ini mencoba memperkuat budaya tanpa pemahaman yang jelas tentang apa yang harus diperkuat dan bagaimana budaya memengaruhi produktivitas. Nilai busur harus diperkuat? Aturan? Norma? Dalam contoh di atas, kompleksitas variabel budaya terlihat jelas. Dalam pendekatan variabel, ada dua baris pertanyaan: variabel internal dan variabel eksternal. Pendekatan variabel dapat berfokus pada variabel internal yang dianggap mempengaruhi budaya. Dalam hal ini, organisasi dipandang sebagai penghasil budaya sebagaimana dibuktikan dalam artefak budaya seperti ritual, pahlawan, dan norma. Oleh karena itu, konsultan dan peneliti tertarik untuk mengeksplorasi aspek budaya (misalnya, nilai kepemimpinan, norma, struktur) yang memprediksi kelangsungan hidup dan efektivitas organisasi (Collins, 2001; Deal & Kennedy, 1982; Peters Sc Waterman, 1982 dalam (Driskill & Brenton, 2005:29).

Pendekatan variabel juga dibuktikan dalam penelitian komparatif atau lintas budaya yang memperhitungkan budaya sebagai variabel eksternal. Sebagai variabel eksternal, budaya dipandang sebagai peta untuk menavigasi perbedaan lintas organisasi dan perbedaan budaya nasional. Misalnya, organisasi Meksiko telah dibandingkan dengan organisasi yang berbasis di AS dalam orientasi mereka pada waktu dan hubungan (Condon, 1997). Dalam contoh ini, nilai-nilai budaya nasional yang lebih besar mempengaruhi organisasi dalam hubungannya dengan komunikasi di sekitar waktu dan hubungan. Pendekatan ini berfokus pada cara-cara untuk memanfaatkan perbedaan budaya nasional untuk memenangkan persaingan (Harris & Moran, 2000; Ouchi, 1981). Hofstcde (2003) telah melakukan penelitian ekstensif tentang asumsi nilai yang mendasari yang membantu membedakan pekerja dalam satu budaya nasional dari yang lain. Jadi, misalnya, budaya A.S. berbagi asumsi umum tentang nilai individualisme berbeda dengan budaya Jepang atau Hispanik yang cenderung lebih kolektivis. Mengingat pengakuan luas atas saling ketergantungan ekonomi internasional, pentingnya memahami pengaruh budaya nasional hanya akan meningkat (Driskill & Brenton, 2005:29).

Memahami pengaruh budaya nasional pada budaya organisasi merupakan aspek penting, dan sering diabaikan, dari analisis budaya organisasi. Banyak dari asumsi bawah sadar terdalam yang kita bawa ke kehidupan kerja sering kali berakar pada sosialisasi budaya kita. Seperti yang ditunjukkan Gambar 3.1, beberapa peneliti berfokus pada studi organisasi lintas budaya. Pendekatan analisis budaya yang kami ambil dalam teks ini, bagaimanapun, melibatkan mempelajari pola unik dari suatu organisasi. Dalam analisis budaya organisasi, kami berusaha mendeskripsikan pola asumsi, keyakinan, praktik, dan artefak yang membuat organisasi unik (Driskill & Brenton, 2005:29).

2.Akar Metafora

Pendekatan utama kedua untuk studi budaya ini berfokus pada pemahaman bagaimana anggota organisasi menciptakan budaya dan bagaimana budaya mempengaruhi anggota yang merupakan bagian darinya. Ini lebih tentang budaya sebagai proses daripada sebagai produk atau variabel. Ide inti dari pendekatan ini adalah bahwa budaya adalah sesuatu yang "ada"

(4)

dalam organisasi versus budaya sebagai sesuatu yang "dimiliki" oleh organisasi. Jadi, misalnya, jika seseorang meneliti atau berkonsultasi dengan Enron, konsultan yang menggunakan pendekatan variabel akan mengeksplorasi hubungan antara budaya dan masalah yang dihadapi Enron. Mereka mungkin berkata, "Untuk memecahkan masalah di Enron, kita harus mengubah nilai inti budaya." Sebaliknya, konsultan yang menggunakan pendekatan Akar Metafora akan mencoba menggambarkan berbagai aspek budaya, termasuk hasil yang dihasilkan. Mereka akan berusaha mendeskripsikan semaksimal mungkin seluruh organisasi Enron karena mereka berasumsi bahwa istilah organisasi dan budaya dapat dipertukarkan. Produk akhir mereka adalah deskripsi, bukan serangkaian variabel sebab-akibat. Namun, seperti yang dapat Anda simpulkan dari contoh Enron, keduanya melihat nilai pragmatis dari pemahaman budaya (Driskill & Brenton, 2005:30).

Ada tiga tradisi penelitian utama dalam pendekatan Akar Metafora. Peneliti dalam tradisi ini merumuskan atau fokus pada aspek budaya yang berbeda.

a. Budaya sebagai kognisi bersama. Dalam tradisi ini, kepercayaan atau asumsi anggota budaya menjadi fokus penyelidikan (Harris, 1979; Schall, 1983). Peneliti memeriksa bagaimana karyawan berpikir dan pola logika apa yang dibagikan di antara anggota organisasi. Peneliti, misalnya, mungkin mendeskripsikan perbedaan asumsi antara anggota organisasi yang sama yang berasal dari budaya nasional yang berbeda (Driskill & Downs, 1995 dalam Driskill & Brenton, 2005:30).

b.Budaya sebagai sistem simbol bersama. Penelitian ini menempatkan fokus pada bahasa aktual, nonverbal, dan simbol organisasi lainnya (Geertz, 1973; Smircich, 1983). Seorang konsultan atau peneliti yang menggunakan pendekatan ini mungkin mengamati dan mencatat pola interaksi untuk memahami dan menggambarkan cara anggota menggunakan bahasa untuk mengelola konflik atau membangun persahabatan (Driskill & Meyer, 1994 dalam Driskill & Brenton, 2005:30)..

c. Budaya sebagai ekspresi dari proses bawah sadar. Fokus ini melibatkan eksplorasi cara simbol mencerminkan keyakinan dan asumsi yang mendasari anggota. Penelitian semacam itu mungkin mengeksplorasi makna bawah sadar yang lebih dalam dari metafora umum yang digunakan dalam organisasi atau pada arketipe yang mendasari yang mendominasi kehidupan anggota (Jung, 1964; Levi-Strauss, 1967 dalam Driskill & Brenton, 2005:30).

Penggambaran visual dari pendekatan ini menangkap perbedaannya. Pendekatan variabel internal mengasumsikan bahwa budaya merupakan salah satu elemen organisasi yang dapat dipelajari dan digunakan untuk membuat prediksi tentang efektivitas organisasi. Dengan nada yang sama, pendekatan variabel eksternal membahas budaya sebagai kekuatan di luar organisasi, seperti norma budaya nasional yang lebih besar (misalnya, budaya Jepang vs. budaya AS). Sebaliknya, pendekatan Akar Metafora mengasumsikan bahwa organisasi adalah budaya dan oleh karena itu, bergantung pada bagaimana budaya didefinisikan, berbagai aspek budaya dapat dieksplorasi.

3. Elemen Kebudayaan

Louis (1985) dalam Driskill & Brenton, (2005:42), mengevaluasi kekuatan subkultur, menggunakan konsep “penetrasi” yang mungkin dapat membantu dalam penilaian kekuatan budaya organisasi juga. Ia menawarkan tiga jenis penetrasi budaya: penetrasi psikologis, sejauh mana individu memiliki makna budaya yang serupa; penetrasi sosiologis, meluasnya pemahaman budaya di antara karyawan; dan penetrasi sejarah, stabilitas nilai dan makna budaya dari waktu ke waktu. Dalam budaya yang kuat, nilai menembus semua tingkatan

(5)

keseluruhan dan metafora dasar yang membimbing. Konsistensi ini menunjukkan dasar yang kuat dari asumsi dan nilai yang menciptakan keteraturan di seluruh karyawan. Namun, dalam budaya yang lemah, Anda mungkin ditekan untuk mengidentifikasi bahkan nilai-nilai yang sama. Anggota organisasi mungkin hanya tahu sedikit tentang sejarah organisasi, misalnya, atau tidak memiliki pahlawan budaya yang jelas. Simbol banyak dan tidak konsisten dan tidak ada norma yang jelas untuk menciptakan kesatuan atau prediktabilitas (Driskill & Brenton, 2005:42).

Memiliki budaya yang kuat tidak serta merta berarti budaya itu positif. Enron memiliki budaya organisasi yang kuat, namun itu adalah budaya di mana nilai-nilai yang tertanam mendorong karyawan untuk mengambil risiko dan menghindari legalitas, dan budaya yang kuat pada akhirnya menjadi bagian dari kehancuran yang kehilangan banyak investor jutaan dolar karena perusahaan itu runtuh (Driskill & Brenton, 2005:43). Tabel 1 membedakan antara budaya kuat dan budaya lemah.

Tabel 1 Perbandingan Budaya Organisasi yang Kuat dan Lemah

Budaya Kuat Budaya Lemah

Nilai menembus seluruh organisasi Nilai terbatas pada manajemen puncak Unsur budaya mengirimkan pesan yang

konsisten

Unsur mengirim pesan yang kontradiktif Sebagian besar karyawan dapat menceritakan

kisah tentang sejarah dan pahlawan.

Sedikit pengetahuan tentang sejarah atau pahlawan ada di antara karyawan biasa Identifikasi dengan budaya di antara semua

karyawan kuat

Karyawan lebih mengidentifikasi dengan subkultur daripada dengan budaya organisasi secara keseluruhan

Elemen budaya permukaan terkait dengan keyakinan dan asumsi karyawan

Hanya sedikit hubungan antara elemen budaya dan keyakinan serta asumsi karyawan Kebudayaan memiliki penetrasi sejarah —

telah ada dalam waktu yang lama

Kebudayaan masih baru dan belum mapan Sumber: (Driskill & Brenton, 2005:43)

Bentuk-bentuk organisasi baru, konsep kekuatan budaya menjadi sangat relevan. Misalnya, sekarang kita melihat banyak sekali organisasi "virtual" dengan jejaring sosial di mana anggotanya jarang berinteraksi tatap muka dan menerapkan budaya mereka di dunia maya. Bahkan dalam organisasi virtual ini, menarik bagaimana budaya muncul dari interaksi ketika kelompok mengembangkan norma tentang posting, atau ketika beberapa anggota organisasi mengembangkan kekuasaan dan status melalui interaksi mereka. Tren terbaru lainnya dalam organisasi adalah mengalihdayakan fungsi-fungsi utama seperti keamanan, pelatihan, katering, akuntansi, atau fungsi lainnya. Fungsi organisasi utama dilakukan oleh karyawan yang bukan anggota perusahaan. Bagaimana nilai-nilai dapat ditransmisikan ke "pekerja semu" seperti itu? Apakah outsourcing seperti itu melemahkan budaya organisasi? Bentuk organisasi hibrida lain yang menarik yang jauh lebih umum adalah organisasi multinasional di mana organisasi menampilkan pengaruh budaya nasional yang berbeda di divisi organisasi yang berbeda. Semua bentuk organisasi seperti itu menyajikan target yang sangat menarik untuk studi budaya (Driskill & Brenton, 2005:43).

E.Kesimpulan

(6)

1. Ciri-ciri organisasi yang berhasil memiliki budaya yang kuat dan unik, termasuk yang dapat meningkatkan subkultur organisasi. Organisasi yang gagal memiliki budaya kerja yang berbeda, dan budaya masa lalu menghalangi organisasi untuk beradaptasi dengan lingkungan yang berubah

2. Pendekatan variabel internal mengasumsikan bahwa budaya merupakan salah satu elemen organisasi yang dapat dipelajari dan dapat digunakan untuk memprediksi efektivitas organisasi. Demikian pula, pendekatan variabel eksternal menganggap budaya sebagai kekuatan di luar organisasi, seperti norma budaya nasional yang lebih besar

3. Dalam bentuk organisasi baru, konsep kekuatan budaya menjadi sangat penting. Misalnya, sekarang kita melihat banyak organisasi "virtual" dengan jaringan sosial, yang anggotanya jarang berinteraksi tatap muka dan menerapkan budaya mereka ke dunia maya. Bahkan dalam organisasi virtual ini, ketika kelompok membuat aturan tentang posisi, atau ketika anggota organisasi tertentu mengembangkan kekuatan dan status melalui interaksi, sangat menarik juga bagaimana membentuk budaya dari interaksi.

F.Daftar Pustaka

Aaltio, I., & Mills, A. J. (2003). Gender, Identity and the Culture of Organizations. Taylor & Francis. Ashkanasy, N. M., Wilderom, C. P. M., & Peterson, M. F. (2011). The Handbook of Organizational

Culture and Climate. SAGE Publications.

Driskill, G. W., & Brenton, A. L. (2005). Organizational Culture in Action: A Cultural Analysis

Workbook. SAGE Publications.

Moeljono, D. (2003). Budaya korporat dan keunggulan korporasi. Elex Media Komputindo.

Schultz, M. (2012). On Studying Organizational Cultures: Diagnosis and Understanding. De Gruyter. Steve, D. (2013). Corporate Culture - Challenge to Excellence. Elex Media Komputindo.

van Maanen, J., Barley, S., & MA., A. P. S. S. O. F. M. C. (1983). Cultural Organization: Fragments of a

Gambar

Tabel 1 Perbandingan Budaya Organisasi yang Kuat dan Lemah

Referensi

Dokumen terkait

Penambahan kitosan berpengaruh terhadap karakteristik vernis, semakin banyak penambahan kitosan pada vernis gelatin akan meningkatkan viskositas, daya rekat dan gloss

Dapat dilihat hasil pengolahan data dengan menggunakan uji chi-square mendapatkan hasil yaitu nilai p = 1,000 dimana p > α (0,05), sehingga hipotesis ditolak

Berdasarkan pusat cluster pada tabel tersebut, dapat disimpulkan Kota/Kabupaten yang termasuk pada cluster 1 adalah Kota/Kabupaten yang tidak mempunyai populasi ternak

Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) Kemampuan berpikir kritis mahasiswa yang diajar dengan model pembelajaran Problem Based Learning berada kategori baik, yang

Jangka waktu RTRW ataupun RZWP-3-K berlaku selama 20 (dua puluh) tahun dan dapat ditinjau kembali sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun sekali, Pasal 9 ayat (2) UU No 14 Tahun

Tugas Biro Komisaris:.. Membantu Dewan Komisaris dalam melaksanakan tugas-tugas pengawasannya di Perseroan. Biro komisaris dipimpin oleh Kepala Biro Komisaris.

laporkan bahwa usia lanjut yang melakukan.. Untuk mengetahui fungsi kognitif responden antara sebelum dan sesudah perlakuan senam vitalisasi otak dilakukan tes