1
POLEMIK PENGGUNAAN PASAL 71 UNDANG-UNDANG PILKADA UNTUK
MENDISKUALIFIKASI PASANGAN CALON PETAHANA DALAM PILKADA
Oleh:
Achmadudin Rajab*
Diterima : 27 Januari 2021, disetujui : 3 Februari 2020
Terdapat banyak hal dapat diulas dalam pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pilkada) tahun 2020. Selain politik kekerabatan atau dinasti politik yang semakin menggurita, hal yang menarik muncul dalam Pilkada 2020, yakni banyaknya rekomendasi dari Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) untuk
mendiskualifikasi pasangan calon
petahana. Dari beragam rekomendasi diskualifikasi yang diterbitkan oleh Bawaslu, terakhir Penulis menemukannya
di Pilkada Kabupaten Tasikmalaya
(regional.kompas.com).
Rekomendasi Bawaslu Kabupaten
Tasikmalaya untuk melakukan
diskualifikasi terhadap pasangan calon
petahana di Pilkada Kabupaten
Tasikmalaya tahun 2020 ini melengkapi sejumlah rekomendasi Bawaslu lainnya yang sudah ada sebelumnya untuk pasangan calon petahana di Pilkada
Kabupaten Banggai, Kabupaten
Pegunungan Bintang, Kabupaten Kaur,
Kabupaten Ogan Ilir, Kabupaten
Halmahera Utara, Kabupaten Gorontalo
(nasional.kompas.com). Begitu juga
rekomendasi diskualifikasi untuk pasangan calon Petahana di Pilkada Kabupaten Kutai
Kertanegara (regional.kompas.com).
Dengan demikian secara keseluruhan kurang lebih terdapat 8 (delapan)
rekomendasi diskualifikasi atau
pembatalan terhadap pasangan calon petahana yang dikeluarkan oleh Bawaslu. Hal ini tentunya menimbulkan polemik karena kejadian seperti ini baru di Pilkada tahun 2020 ini. Untuk itu Penulis dalam kesempatan kali ini akan mencoba membahas Pasal 71 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU No. 10 Tahun 2016)
yang sering digunakan dalam
pendiskualifikasian pasangan calon petahana dalam Pilkada.
Pasal 71 ayat (2), ayat (3), dan ayat (5) UU No. 10 Tahun 2016 (yang sering
2 digunakan dalam hal ini) berbunyi sebagai
berikut:
(2) Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan Walikota atau Wakil Walikota dilarang melakukan penggantian pejabat 6 (enam) bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan akhir masa jabatan kecuali mendapat persetujuan tertulis dari Menteri.
(3) Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan Walikota atau Wakil Walikota
dilarang menggunakan
kewenangan, program, dan
kegiatan yang menguntungkan
atau merugikan salah satu
pasangan calon baik di daerah sendiri maupun di daerah lain dalam waktu 6 (enam) bulan
sebelum tanggal penetapan
pasangan calon sampai dengan penetapan pasangan calon terpilih. (5) Dalam hal Gubernur atau Wakil
Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan Walikota atau Wakil
Walikota selaku petahana
melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), petahana tersebut dikenai sanksi pembatalan sebagai calon
oleh KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota.
Dari sejumlah rekomendasi yang
dikeluarkan oleh Bawaslu pembatalan pasangan calon yang berasal dari petahana sebagaimana amanat Pasal 71 ayat (5) UU No. 10 Tahun 2016 mayoritas dikenakan melanggar Pasal 71 ayat (3)
terkait dugaan penyalahgunaan
kewenangan, program, dan kegiatan serta Pasal 71 ayat (2) mengenai mutasi pegawai.
Adapun Pasal 71 bilamana ditelaah dari awal mulanya pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU No. 1 Tahun 2015) berada dalam BAB XI tentang KAMPANYE, Bagian Kelima tentang Larangan dalam Kampanye. Dengan demikian ketika struktur pasal ini sudah ditemukan maka penggunaan ketentuan larangan pada Pasal 71 yakni dalam konteks kampanye. Kerangka berfikirnya seperti itu yang harus dipahami terlebih dahulu menurut Penulis, walaupun Pasal 71 ini selalu diubah sebagaimana bentuk akhirnya seperti yang kerap digunakan saat ini dalam UU No. 10 Tahun 2016. Untuk itu dalam menggunakan Pasal 71
3 UU No. 10 Tahun 2016 sebagai pisau
analisis untuk menyikapi beragam dugaan
penyalahgunaan kewenangan yang
dilakukan oleh pasangan calon yang dilakukan oleh Petahana memang merupakan “bola panas” Bawaslu. Dalam hal ini Bawaslu harus dapat menilai apakah terdapat suatu bentuk kampanye yang terselubung dari tindak tanduk yang dilakukan oleh petahana tersebut.
Tantangan yang dihadapi oleh Bawaslu mengenai definisi kampanye dalam Undang-Undang tentang Pilkada begitu rigid. Untuk memahami hal tersebut dalam Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 angka 21 Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU No. 8 Tahun 2015) memberikan definisi dari kampanye dalam Pilkada. Penulis menggunakan UU No. 8 Tahun 2015 karena Pasal 1 tidak termasuk pasal yang diubah dalam UU No. 10 Tahun 2016. Adapun definisi kampanye tersebut
yakni “Kampanye Pemilihan yang
selanjutnya disebut Kampanye adalah kegiatan untuk meyakinkan Pemilih dengan menawarkan visi, misi, dan
program Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota”.
Mengapa Penulis memandang
penting pendefinisian kampanye? Hal ini dapat dibandingkan dengan definisi kampanye dalam Pemilihan Umum (Pemilu) yang terdapat di Bab I Ketentuan Umum Pasal 2 angka 35 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU No. 7 Tahun 2017) yang menyatakan “Kampanye Pemilu adalah kegiatan Peserta Pemilu atau pihak lain yang ditunjuk oleh Peserta Pemilu untuk meyakinkan Pemilih dengan menawarkan visi, misi, program dan/atau citra diri Peserta Pemilu”. Dalam pengalaman Penulis sebagai perancang undang-undang di dalam pembahasan undang-undang tersebut, definisi kampanye UU No. 7 Tahun 2017 hadir sebagai suatu bentuk perbaikan dari definisi kampanye yang selama ini ada dan dianggap menyulitkan penerapannya ketika muncul dugaan
pelanggaran kampanye. Apakah
maksudnya? Yakni pemaknaan kampanye yang harus kumulatif. Dapat dibandingkan antara Pasal 1 angka 21 UU No. 8 Tahun 2015 pada frasa “visi, misi, dan program” dan Pasal 1 angka 35 UU No. 7 Tahun 2017 yang frasanya menjadi “visi, misi, program
4
dan/atau citra diri”. Perbaikan definisi kampanye dalam UU No. 7 Tahun 2017 yang bermakna kumulatif alternatif lebih menjadi solusi dari kesulitan Bawaslu
mengenakan pelanggaran kampanye
Pemilu/Pilkada ketika terdapat dugaan pelanggaran kampanye.
Dengan memahami ketentuan Pasal 71 UU tentang Pilkada terkait maka
seharusya Bawaslu pun dapat menilai apakah penyalahgunaan kewenangan yang dilakukan oleh Petahana baik mutasi
pegawai ataupun penyalahgunaan
kewenangan, program, kebijakan terbukti unsur kampanye didalamnya definisi kampanye adalah secara kumulatif sesuai UU No. 8 Tahun 2018 bukan UU No. 7 Tahun 2017. Kalau memakai definisi UU No. 7 Tahun 2017 akan lebih mudah karena tidak perlu dibuktikan masing-masing unsur baik itu visi, misi, program, atau citra diri, cukup salah satu saja pun sudah bisa digunakan.
Amanat Pasal 71 ayat (5) UU No. 10 Tahun 2016 pun masih bersifat umum. Praktis selain UU tentang Pilkada sebagai pedomannya, hanya ada Peraturan Bawaslu Nomor 8 Tahun 2020 tentang
Penanganan Pelanggaran Pemilihan
Gubernur dan Wakill Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota (Perbawaslu No. 8 Tahun
2020). Hal ini menurut Penulis sangat disayangkan karena Perbawaslu No. 8 Tahun 2020 sebenarnya bersifat umum untuk semua penanganan pelanggaran, termasuk diskualifikasi yang sifatnya pelanggaran administrasi. UU No. 10 Tahun 2016 terdapat amanat pelanggaran administrasi yang sanksinya pembatalan lainnya, Pasal 73 UU No. 10 Tahun 2016 bilamana calon terbukti memberikan uang atau materi lainnya yang biasa disebut juga dengan istilah money politic. Bedanya dibanding tindak lanjut Pasal 71 ayat (5) UU No. 10 Tahun 2016, untuk pembatalan
karena money politic ini Bawaslu
membuat peraturan khusus, yaitu Peraturan Bawaslu Nomor 9 Tahun 2020
tentang Tata Cara Penanganan
Pelanggaran Administrasi Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Wali Kota dan Wakil Wali kota Yang Terjadi Secara terstrukur, Sistematis, dan Masif (Perbawaslu No. 9 Tahun 2020).
Menurut Penulis tidak adanya peraturan pelaksana dari Pasal 71 ayat (5) UU No. 10 Tahun 2016 sangat
disayangkan. Diskualifikasi karena
penyalahgunaan kewenangan menurut Pasal 71 ayat (5) UU No. 10 Tahun 2016 dan pembatalan karena money politic
5 keduanya memiliki dampak yang sama
yakni pembatalan/diskualifikasi. Lebih lanjut lagi bahkan, untuk pembatalan karena money politic di Pasal 73 UU No. 10 Tahun 2016 dalam ayat (2), sudah jelas harus dibuktikan apakah si calon tersebut
secara langsung memberikan money
politic.
Penulis memahami diskualifikasi bagi petahana berdasarkan Pasal 71 ayat (5) UU No. 10 Tahun 2016 ini penting karena adanya aturan ini untuk mencegah petahana yang mencalonkan kembali untuk tidak melakukan penyalahgunaan
kewenangan sebagai petahana.
Bagaimanapun ketika petahana yang maju di daerah yang sama, hanya cukup cuti saat kampanye sesuai Pasal 70 ayat (3) UU No. 10 Tahun 2016, maka selamanya sulit dibedakan kapan si calon tersebut sedang menjalankan tugas sebagai kepala daerah atau wakil kepala daerah definitif dan kapan sebagai calon petahana.
Urgensi aturan yang lebih jelas dalam membatasi kewenangan petahana yang maju kembali dalam perhelatan Pilkada ini memang penting, namun menurut Penulis perlu terdapat perbaikan.
Definisi kampanye Pilkada harus
disempurnakan sesuai UU No. 7 Tahun 2017, begitu juga perlunya aturan pelaksana dalam bentuk Peraturan Bawaslu yang lebih operasional seperti Perbawaslu No. 9 Tahun 2020 terkait
pendiskualifikasian atas dasar
penyalahgunaan kewenangan.
Seperti kapan Bawaslu ini dapat
menggunakan kewenangannya
mengeluarkan rekomendasi diskualifikasi, hal ini penting karena berdampak kepastian pasangan calon terpilih, apalagi ketika sudah berlanjut ke Mahkamah Konstitusi (MK). Begitu juga dampak nya bila rekomendasi tersebut ditolak oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota. Apakah ketidaktaatan terhadap rekomendasi ini dapat menjadi alasan pengaduan dugaan pelanggaran kode etik ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum (DKPP)? Untuk itu dibutuhkan segera perbaikan ke depannya agar
rekomendasi pembatalan yang
dikeluarkan oleh Bawaslu di PIlkada 2020 tidak dianggap sebagai hal yang bersifat politis.
* Penulis adalah Tenaga Fungsional Perancang Undang-Undang Pertama dengan pembidangan Politik, Hukum,
dan Hak Asasi Manusia di Pusat Perancangan Undang-Undang dalam Badan Keahlian pada Sekretariat Jenderal Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.