• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV KONSTRUKSI KONSTITUSIONAL PENGADILAN ADAT DI BAWAH MAHKAMAH AGUNG. pengadilan berdasarkan hukum internasional, hubungan antara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB IV KONSTRUKSI KONSTITUSIONAL PENGADILAN ADAT DI BAWAH MAHKAMAH AGUNG. pengadilan berdasarkan hukum internasional, hubungan antara"

Copied!
75
0
0

Teks penuh

(1)

100

BAB IV

KONSTRUKSI KONSTITUSIONAL PENGADILAN ADAT DI BAWAH MAHKAMAH AGUNG

Bab IV ini menjelaskan konstruksi konstitusional pengadilan adat di bawah Mahkamah Agung yang meliputi sejarah kekuasaan kehakiman di Indonesia, pengakuan pengadilan berdasarkan hukum internasional, hubungan antara Pengadilan Adat dan pengadilan di bawah Mahkamah Agung, kedudukan secara konstitusional terhadap eksistensi pengadilan adat

A. Sejarah Kekuasaan Kehakiman Di Indonesia

1. Kekuasaan Kehakiman pada Masa UUD NRI

Tahun 1945 Pertama (18 Agustus 1945-27 Desember 1949)

Kekuasaan kehakiman pada masa UUD NRI Tahun 1945 periode pertama, yakni dari tanggal 18 Agustus 1945 hingga 27 Desember 1949. Kekuasaan kehakiman sebagaimana tertuang didalam BAB IX

(2)

101

tentang kekuasaan kehakiman, Pasal 24 ayat (1) berbunyi kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut undang-undang. Ayat (2) berbunyi “Susunan dan kekuasaan badan-badan kehakiman itu diatur dengan undang-undang”. Pasal 25 berbunyi syarat-syarat untuk menjadi dan untuk diberhentikan sebagai hakim ditetapkan dalam dengan undang-undang.1

Susunan kekuasaan pada masa periode Undang-Undang 1945 pertama, masih banyak mewarisi susunan kekuasaan kolonial Belanda. Sejarah kekuasaan kehakiman pada masa kolonial Belanda,2 dibedakan seperti lingkungan peradilan umum, yang dibeda-bedakan kedalam lingkungan dan susunan badan peradilan menurut golongan penduduk seperti landraad untuk penduduk asli, atau menurut tata pemerintahan asli seperti pengadilan swapraja untuk daerah-daerah swapraja dan

1

Lihat UUD NRI Tahun 1945 yang disahkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada tanggal 18 Agusutus 1945.

2 Bagir Manan, Organisasi Peradilan di Indonesia, FH Universitas

(3)

102

peradilan adat.3 Untuk golongan penduduk Eropa atau yang dipersamakan atau yang tunduk pada ketentuan hukum untuk golongan Eropa diadakan badan peradilan tersendiri yakni Raad Van Justitie yang sekaligus sebagai badan peradilan banding atas putusan Landraad.

Susunan badan peradilan yang beraneka ragam dipadang sebagai salah satu bentuk politik hukum kolonial yang diskriminatif dengan maksud merendahkan martabat rakyat Indonesia atau penduduk asli (pribumi) di daerah Hindia-Belanda. Logika hukum yang tidak dapat dibenarkan atau diterima yang menadji peradilan Raad Van Justitie, yang merupakan peradilan adat tingkat pertama bagi golongan Eropa dan dipersamakan, menjadi peradilan banding bagi Landraad, yang merupakan tingkat peradilan tingkat pertama dalam golongan pribumi atau Indonesia asli.

Dalam rangka memabgnun kesatuan hukum nasional yang menjamin persamaan didepan hukum harus

3

(4)

103

dibentuk satu kesatuan susunan peradilan yang berlaku bagi seluruh bangsa, rakyat dan siapa saja yang berada di wilayah Republik Indonesia. Selain penyusunan kembali susunan badan peradilan yang diperlukan dalam rangka menata birokrasi peradilan atau administrasi peradilan yang harus disusun sederhana, terpadu agar dapat berjalan secara efektif dan efisien.

Salah satu usaha dalam menyeragamkan dan mengatur sistem peradilan Indonesia seperti terurai di atas, maka dikeluarkanlah Undang-Undang No.19 Tahun 1948. Undang-Undang tersebut mengatur tentang susunan kekuasaan badan-badan kehakiman serta juga kekuasaan kejaksaan, pengaturan kekuasaan kejaksaan masih terlihat rancu dengan dimasukkannya ke dalam lingkup kekuasaan kehakiman padahal jelas didalam UUD NRI Tahun 1945 tidak menyebutkan nama lembaga yang namanya kejaksaan pada BAB IX tentang kekuasaan kehakiman. Memang ahli-ahli hukum yang menafsirkan

(5)

104

bahwa badan-badan hukum yang dimaksudkan dalam Pasal tersebut diantaranya termasuk kejaksaan.

Usaha lain dalam menyeragamkan badan-badan peradilan di Indonesia dengan cara menghapus badan-badan peradilan yang tidak sesuai lagi dengan alam kemerdekaan Indonesia telah dimulai oleh Pemerintah Republik Indonesia Yogyakarta pada tahun 1947, dengan mengeluarkan Undang-Undang No 23 Tahun 1947 tentang penghapusan Pengadilan Raja di Jawa dan Sumatra.4

2. Kekuasaan Kehakiman pada Masa Konstitusi RIS

(27 Desember 1949-17 Agustus 1950)

Kekuasaan kehakiman pada masa konsistusi RIS didasarkan pada Konstitusi Republik Indonesia Serikat. Konstitusi Republik Indoensia Serikat tersebut sesuai dengan namanya adalah konstitusi untuk Negara-negara serikat Indonesia.

4

(6)

105

Bagian-bagian Negara federal dalam konteks kekuasaan kehakiman adalah penting karena dimana letak dan kedudukan kekuasaan lembaga-lemabaga yang menjalankan kekuasaan kehakiman tersebut. Di dalam Konstitusi Republik Indonesia Serikat Tahun 1950 salah satu kewenangan kekuasaan kehakiman dalam hal ini Mahkamah Agung sebagaimana dimuat dalam Pasal 67 yang menyatakan : “perselisihan-perselisihan antara daerah-daerah Swapraja bersangkutan peraturan-peraturan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 65 dan tentang menjalankannya, diputuskan oleh Mahkamah Agung Indonesia baik pada tingkat pertama dan jentang tertinggi juga ataupun pada tingkat apel.5

Dalam Pasal tersebut kekuasaan kehakiman dalam hal ini kekuasaan Mahkamah Agung sebagai salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman disamping mahkamah konstitusi. Sudah dimulai diberikan tugas dan fungsi sbegai salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman Negara

5 Lihat Pasal 67 Konstitusi RIS dan dibandingkan dengan Pasal 31

(7)

106

akan tetapi dalam pelaksanaannya sulit untuk ditelusuri apakah mahkamah agung sudah menjalankan fungsi dan tugas tersebut, sebagai penguji peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang.

Kekuasaan kehakiman didalam Konstitusi RIS, diatur dalam Bab III, di dalam Pasal 113 dinyatakan, “maka adalah suatu Mahkamah Agung Indonesia yang susunan dan kekuasaannya diatur dengan undang-undang federal.” Dapat dipahami bahwa lembaga tertinggi pemegang kekuasaan kehakiman hanya diatur dengan undang-undang federal yang sifatnya terkotak-kotak, sehingga tidak menggambarkan kesatuan payung hukum dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia sehingga tidak berlaku juga di seluruh wilayah Negara Republik Indonesia, padahal sudah merupakan kepastian dan keharusan bahwa sistem peradilan dalam suatu negara tidak hanya berlaku dalam wilayah tertentu saja akan tetapi berlaku bagi seluruh wilayah Negara.

(8)

107

Pada masa konsitusi RIS ada hal yang menarik dimana Mahkamah Agung menjadi pengadilan tingkat pertama dan terakhir. Pengadilan ini bersifat final, tidak dimungkinkan ada upaya hukum kembali. Peradilan semacam ini terdapat pada negara-negara yang menjalankan asas oportunitas. Konstitusi RIS juga memberikan tugas dan wewenang kepada Mahkamah Agung sebagai pengawas teringgi terhadap peradilan-peradilan yang berada dibawahnya, karena Mahkamah Agung sebagai penguasa tertinggi kekuasaan kehakiman.

Konstitusi RIS juga mengatur tentang kekuasaan Pemerintah Negara yang berhubungan langsung dengan kekuasaan kehakiman. Pasal 160 Ayat (1) berbunyi Presiden mempunyai hak memberi ampun dan hukuman-hukuman yang dijatuhkan oleh keputusan kehakiman. Hak itu dilakukannya sesudah meminta nasihat dari Mahkamah Agung, sekedar dengan undang-undang federal tidak ditunjuk pengadilan lain untuk member nasihat.

(9)

108

Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa Konstitusi RIS juga telah menganut check and balances

sebagaimana ketentuan-ketentuan yang dikehendaki di dalam Negara hukum. Karena meskipun ada pembagian kekuasaan diantara pelaksana kekuasaan Negara secara tradisional yakni kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif yang pada akhirnya teori keseimbangan memang diperlukan.6

Secara umum, Konstitusi RIS telah merumuskan kekuasaan kehakiman di dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Konstitusi sebagaimana aturan main bernegara dan bertujuan membatasi dominasi suatu kekuasaan terhadap kekuasaan lainnya, walaupun masih sengaja dibuat banyak celah untuk tetap melemahkan baik secara langsung atau tidak langusng terhadap kekuasaan kehakiman, seperti dalam pengangkatan Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Agung oleh Presiden. Namun demikian

6

(10)

109

telah diletakkan dalam sendi-sendi bernegara, sebagi sendi Negara hukum.7

3. Kekuasaan Kehakiman Pada Masa UUDS 1950 (17

Agustus 1950-5 Juli 1959)

Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia Tahun 1950, adalah perubahan atas konstitusi sementara RIS dengan dasar perubahan Undang-Undang No. 7 Tahun 1950. Salah satu pertimbangan yang menjadi dasar disahkannya Undang-Undang Dasar 1950 disahkannya Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950 adalah rakyat di daerah-daerah bagian di seluruh Indonesia menhendakai bentuk susunan Negara Republik Indonesia.8

Kekuasaan kehakiman di dalam Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia Tahun 1950, diatur di dalam dua Bab, yakni pada Bab II tentang Alat-Alat Perlengkapan Negara pada bagian III yang mengatur

7 Rimdan, Kekuasaan Kehakiman Amandemen Konstitusi, Kencana , Jakarta,

2012, h. 110.

8

(11)

110

tentang Mahkamah Agung, sedangkan pada Bab III tentang Tugas Alat-Alat Perlengkapan Negara pada bagian III yang mengatur tentang Pengadilan.

Melihat pengaturan tentang kekuasaan kehakiman secara umum tersebut, maka di dalam Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia Tahun 1950 terdapat pengelompokkan yang terpisah antara Mahkamah Agung dengan Pengadilan. Mahkamah Agung dikelompokkan di dalam Alat-Alat Perlengkapan Negara, sedangkan pengadilan dimasukkan di dalam kelompok tugas alat-alat perlengkapan Negara.

Jika dibandingkan dengan UUD NRI Tahun 1945 setelah amandamen, maka kekuasaan Mahkamah Agung dan badan-badan peradilan dibawahnya dimasukkan dalam satu kelompok, yakni pada BAB IX tentang kekuasaan kehakiman. Tidak terpisah-pisah sebagaimana

(12)

111

diatur didalam Undang-Undag Dasar Sementara Republik Indoneisa Tahun 1950.9

Sebagai wujud pelaksanaan kekuasaan kehakiman, maka tugas pengadilan dibawah Mahkamah Agung, telah diatur didalam Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950 secara yakin mengatur tugas dan wewenang pengadilan dan bahkan sampai kepada hukum acara persidangan.

Kekuasaan kehakiman, di dalam Undang-Undang Dasar Sementara Negara Tahun 1950 tersebut, masih berada di bawah kekuasaan pemerintah dengan perpanjangan tangannya melalui Menteri Kehakiman. Saluran ini melemahkan kehendak Pasal 103 dengan menentukan adanya pelarangan bagi kekuasaan lain untuk mencampuri kekuasaan kehakiman dalam hal ini pengadilan.

9 Rimdan, Kekuasaan Kehakiman Amandemen Konstitusi, Kencana,

(13)

112

4. Kekuasaan Kehakiman Pada Masa UUD NRI

Tahun 1945 Ke Dua (5 Juli 1959- Sekarang)

a. Sebelum Perubahan (5 Juli 1959 - 19 Oktober

1999)

Sejarah penting periode ini adalah diawali oleh situasi politik, pada sidang konstituante yang saling tarik ulur kepentingan partai politik sehingga gagal menghasilkan Undang-Undang Dasar baru, maka pada tanggal 5 Juli 1949 Presiden Sukarno mengeluarkan Dekrtir Presiden yang salah satu isinya memberlakukan kembali UUD NRI Tahun 1945 sebagai undang-undang dasar menggantikan Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950 yang masih berlaku pada saat itu.

Kekuasaan kehakiman pada masa berlakunya UUD NRI Tahun 1945 kedua ini didasarkan kepada Undang-Undang No 19 Tahun 1964 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, dicatat dalam Lembaran Negara Tahun 1964 dengan

(14)

113

ditanda tangani oleh Dr Subandrio sebagai Pejabat Presiden Republik Indonesia dan Mohd. Ichsan sebagai Sekretaris Negara.

Ketika Orde Lama kekuasaan berpusat pada Presiden maka situasi politik dan keamanan dalam Negara masih labil. Pengalaman bernegara yang baru dimulai, sehingga walaupun departemen diletakkan sejajar dengan Mahkamah Agung akan tetapi, hambatan tidak ada ahli hukum yang mempersoalkannya, karena sistem pemerintah yang represif dan tetang kemerdekaan kekuasaan kehakiman sendiri diatur di dalam penjelasan UUD NRI Tahun 1945.

Pelaksanaan kekuasaan kehakiman pada masa periode demokrasi terpimpin dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang menyatakan antara lain kembali ke UUD NRI Tahun 1945. Pada masa Demokrasi terpimpin (1959-1965) kepentingan-kepentingan politik rezim sangat mempengaruhi dan

(15)

114

mewarnai pengaturan mengenai kedudukan dan fungsi kekuasaan kehakiman. Pada periode ini pemerintah tampil dengan peran hegemonic sehingga kekuasaan kehakiman sangat rentan terhadap intervensi kekuasaan pemerintah. Kuatnya pengaruh sistem politik terhadap pelaksanaan kekuasaan kehakiman tampak jelas pada peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan pada masa ini.

Komitmen untuk menegakkan Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 diperkukuh dan demokratisasi ditawarkan sebagai babak baru dalam kehidupan bernegara. Sejauh ini menyangkut independensi kekuasaan kehakiman, gugatan-gugatan atas eksistensi Undang No. 19 Tahun 1964 dan Undang-Undang No. 13 Tahun 1965 diteriakkan dengan gencar. Maka Undang-Undang No. 19 Tahun 1964 diperbaiki dengan keseluruhannya Undang-Undang No. 14 Tahunn 1970 tentang Ketentuan Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Pencabutan kedua

(16)

115

Undang-Undang ini dilakukan untuk merespon tuntutan berbagai golongan dalam masyarakat mengenai tegaknya Negara hukum dalam rangka pemurnian pelaksanaan Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945.

Selanjutnya guna mengemban amanat UUD NRI Tahun 1945 dan Undang-Undang No. 14 Tahun 1970, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) telah mengeluarkan ketetapan No. III/MPR/1978 di dalam Pasal 11 Ayat (1) menyebutkan Mahkota Agung adalah badan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman yang dalam melaksanakan tugasnya terlepas dari pengaruh kekuasaan kehakiman.

Akan tetapi jika dilihat dan dipahami Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 pada dasarnya tetap mengukuhkan kenyataan dualisme kekuasaan kehakiman rezim politik demokrasi terpimpin karena pada satu sisi tetap memberikan kepada Pemerintah (Departemen Kehakiman, Departemen Agama, dan

(17)

116

Departemen Hankam) untuk mengurus masalah-masalah administrasi, keorganisasian dan keuangan, dipihak lain memberikan kepada Mahkamah Agung kewenangan mengurus masalah-masalah tehnis yuridis. Dualisme semacam ini membawa konsekuensi bahwa hakim sebagai pegawai departemen kehakiman merupakan aparatur pemerintah yang mempunyai kewajiban dan tanggung jawab untuk mensukseskan program pemerintah. Sehingga hakim menjadi pejabat eksekutif.

b. Setelah Perubahan (19 Oktober

1999-Sekarang)

Pada perubahan pertama UUD NRI Tahun 1945 disahkan pada tanggal 19 Oktober 1999 tidak ada perubahan tetang pengaturan kekuasaan kehakiman. Terjadi perubahan susunan, fungsi, dan wewenang kekuasaan kehakiman pada amandemen ketiga yang disahkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat pada tanggal 9 November 2001.

(18)

117

Seperti diketahui, UUD NRI Tahun 1945 telah mengalami empat kali perubahan, yaitu perubahan pertama pada tahun 1999, perubahan kedua tahun 2000, perubahan ketiga tahun 2001, dan perubahan keempat tahun 2002. Dalam empat kali perubahan-perubahan itu, materi UUD NRI Tahun 1945 yang asli telah mengalami perubahan besar-besaran dan dengan perubahan materi yang dapat dikatakan sangat mendasar. Secara substantif, perubahannya yang telah terjadi atas UUD NRI Tahun 1945 telah menjadikan konstitusi proklamasi itu menjadi konstitusi yang baru sama sekali, meskipun tetap dinamakan sebagai UUD NRI Tahun 1945.

Kekuasaan kehakiman berubah secara mendasar baik susunan lembaga, kedudukan dan kewenangannya, sebagaimana diatur dalam Bab IX UUD NRI Tahun 1945 setelah amandemen. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan Negara yang merdeka bebas dari segala campur tangan dengan

(19)

118

kekuasaan lainnya. Serta di dalam bab ini juga muncul lembaga kekuasaan kehakiman yang baru, yaitu Mahkamah Konsitusi dan Komisi Yudisial.

B. Pengakuan Internasional Pengadilan Adat di

Indoensia

Dalam perspektif internasional, dimensi ini juga sejalan dengan ketentuan Pasal 5 Declaration on The Rights of Indigenous People (Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak-Hak Masyarakat Sipil), yang disahkan pada tanggal 7 September 2007 menentukan bahwa:

“Masyarakat adat berhak untuk mempertahankan dan memperkukuh lembaga-lembaga politik, hukum, ekonomi, sosial dan budaya mereka, sementara tetap mempertahankan hak mereka untuk mengambil bagian sepenuhnya kalau mereka juga memilih, dalam kehidupan politik, ekonomi, sosial dan budaya dari Negara”.

Berikutnya, dalam Pasal 34 ditentukan pula, “masyarakat adat berhak untuk memajukan, mengembangkan dan memelihara struktur kelembagaan dan adat, kerohanian dan tradisi, prosedur, praktek mereka yang berbeda, dan

(20)

119

dalam kasus jika ada, sistem peradilan mereka atau adat, sesuai dengan standar-standar hak asasi manusia internasional”. Akan tetapi, walaupun demikian konsep ideal pembentukan Peradilan Adat bersifat mandiri ini bukan berarti tidak mempunyai kelemahan, kendala dan menimbulkan pertanyaan serta implikasi yang berkorelasi dengan dasar hukum dan kewenangan pelaksanaan Peradilan Adat, prinsip atau asas Peradilan Adat, fungsionaris Peradilan Adat, proses atau mekanisme Peradilan Adat dan akhirnya administrasi untuk Peradilan Adat.

Dikaji dari perspektif normatif, empiris dan teoretis maka eksistensi institusi peradilan adat menimbulkan pertanyaan dan beberapa keraguan. Lebih lanjut dimensi demikian dielaborasi sebagaimana tercermin dalam pandangan Siclair Dinnen berikut ini, yaitu:10

1. Fakta yang menyatakan bahwa kebanyakan peradilan adat dipegang oleh mereka yang sudah tua, dimana

10

Sinclair Dinnen, Interfaces Between Formal and Informal Justice System To Strengthen Access to Justice By Disadvantaged System, Makalah disampaikan dalam Practice In Action Workshop UNDP Asia-Pasific Rights and Justice Initiative, Ahungala Sri Langka, 19-21 November 2003, h. 2-4.

(21)

120

kerangka berfikir dari mereka kerap kali tidak melihat kepada perkembangan kondisi yang ada pada masyarakat khususnya generasi muda. Hal ini mempengaruhi putusan yang dibuat seperti mendiskriminasi perempuan dan anak-anak (khususnya dalam masyarakat patrilineal)

2. Dugaan bahwa dalam peradilan adat pun budaya nepotisme dan korupsi rentan terjadi

3. Kekuatan memaksa dari putusan peradilan adat kerap kali diragukan

4. Prinsip dan tujuan pemidanaan dari peradilan adat yang berbeda dengan sistem formal yang ada sehingga dampak dari putusan yang dihasilkan pun sangat berbeda (dalam hal ini penulis tidak melihat apakah dampak yang dimaksud merupakan dampak positif ataupun negatif).

5. Bahwa institusi peradilan adat hanya akan efektif dan mengikat dalam masyarakat tradisional yang

(22)

121

homogeen akan tetapi akan sangat berbeda jika diterapkan dalam lingkup urban-area.

Terlepas, dari adanya kelemahan, kendala, pertanyaan dan kelebihan dimensi konteks di atas maka pemilihan atau pembentukan Peradilan Adat bersifat mandiri hakekatnya merupakan suatu pilihan terhadap bagaimana dinamika politik hukum kedepan terhadap eksistensi mengenai cara memandang Peradilan Adat di satu sisi dengan hukum formal di sisi lainnya

C. Hubungan Antara Pengadilan Adat dan Pengadilan di

Bawah Mahkamah Agung

1. Kedudukan Secara Konstitusional Terhadap

Eksistensi Pengadilan Adat

Kedudukan secara konstitusional terhadap eksistensi Pengadilan Adat, idealnya kemudian ditindaklanjuti dengan political will yang kuat, untuk merumuskan posisi Pengadilan Adat dalam sistem peradilan nasional. Kekurangjelasan posisi Pengadilan

(23)

122

Adat dalam sistem peradilan nasional, mengindikasikan bahwa Pengadilan adat belum menjadi prioritas. Di luar hak-hak tradisonal yang dijamin dalam konstitusi, pengadilan adat pada dasarnya merupakan opsi bagi peradilan formal, ketika peradilan formal tidak mampu memberikan akses keadilan subtansial. Kaitan yang erat antara hukum dan nilai-nilai sosial budaya masyarakat itu ternyata bahasa hukum yang baik tidak lain adalah hukum yang mencerminkan nilai-nilai yang ada di dalam masyarakat.11

Dengan demikian, UUD NRI Tahun 1945 (hasil amandemen) telah memberikan (membuka) ruang, untuk diperankan kembali peradilan adat yang pernah ada. Dengan keberadaan peradilan adat, masyarakat tidak asing lagi, karena keberadaannya tidak terlepas dari proses perkembangan peradaban masyarakat itu sendiri.

John Ball dalam buku Rikardo Simarmata menjelaskan, sebelum masuk ke dalam usulan opsi-opsi

11 Lili Rasjidi, Dasar-dasar Filsafat Hukum, Citra Aditya Bakti,

(24)

123

mengenai kedudukan peradilan adat dalam sistem peradilan nasonal, ada baiknya menoleh masa lalu peradilan adat di Nusantara. Lewat kebijakan membiarkan golongan penduduk Hindia-Belanda diatur dengan hukum yang berbeda, hukum adat dan peradilan-peradilan adat diakui. Hukum adat diakui dan dipakai dalam penanganan kasus di pengadilan negara seperti Landraad.12 Hakim pada peradilan Landraad merupakan hakim negara namun menggunakan hukum adat dengan bantuan fungsionaris adat yang diundang resmi dalam persidangan. Formula dalam penempatan posisi peradilan adat dalam rangka menindaklanjuti dasar konstitusional tersebut, hendaknya mengadopsi yang pernah diberlakukan zaman belanda.

Pengakuan secara konstitusional peradilan adat, sebagai peradilan yang sejajar kedudukannya dalam system peradilan nasional, secara mendasar adalah pengakuan terhadap harkat dan martabat bangsa

12 Rikardo simarmata, Merumuskan Peradilan Adat Dalam sistem

Peradilan Nasional Disampaikan pada seminar „Merumuskan Kedudukan Peradilan Adat dalam Sistem Peradilan NasionaDiselenggarakan bersama oleh Perkumpulan HUMA dan Mahkamah Agung Republik Indonesia, Jakarta, 1 Oktober 2013, h. 7.

(25)

124

Indonesia, karena peradilan adat merupakan produk budaya masyarakat yang bersangkutan. Hal ini, sejalan dengan yang diamanatkan UUD NRI Tahun 1945 (hasil amandemen) Pasal 28I ayat 3 “ Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban”, landasan konstitusional tersebut, merupakan wujud pengakuan terhadap hak-hak tradisonal, yang mempertegas kedudukan peradilan adat, yang sejajar dengan peradilan-peradilan lain dalam sistem peradilan-peradilan nasional.

Hadirnya Pasal 24 ayat 3 UUD NRI Tahun 1945, “Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang”, Pasal tersebut lebih mempertegas, untuk diakuinya peradilan adat secara formal dalam undang-undang. Menurut I Ketut Sundantra, dalam makalahnya secara teoritis, dengan dicantumkannya Pasal 18B ayat (2) dan Pasal 28I ayat (3) dalam UUD NRI Tahun 1945 maka pengakuan dan penghormatan terhadap hak-hak

(26)

125

tradisional kesatuan masyarakat hukum adat semestinya diderivasi dalam peraturan perundang-undangan di bawah Undang-undang Dasar, yaitu pada level undang-undang. Sesuai dengan teori hirarki norma, Undang-Undang tidak boleh mengatur hal yang bertentangan dengan jiwa atau prinsip yang dianut dalam Undang-undang Dasar. Dengan diakuinya hak-hak tradisional kesatuan masyarakat hukum adat (termasuk kekuasaan mengadili) dalam UUD NRI Tahun 1945, semestinya eksistensi peradilan adat juga mendapat pengakuan dalam undang-undang. ”Pengakuan” yang dimaksudkan di sini adalah pengesahan formal terhadap suatu entitas (dalam hal ini peradilan adat) yang mempunyai status khusus.13

Politik hukum kekuasaan kehakiman, meniscayakan untuk diperkuat agar kedudukan peradilan adat, memiliki kesejajaran dengan peradilan lain dalam sistem peradilan nasional. Keberadaan peradilan adat,

13 I Ketut Sundantra, Dinamika Pengakuan Peradilan Adat Dalam

Politik Hukum Kekuasaan Kehakiman, (Makalah Tugas S3 Program Doktor Fakultas Hukum Unair), 2013, h.1-2.

(27)

126

lebih memberikan ekspektasi masyarakat untuk mendapatkan keadilan subtantif, karena peradilan adat, keberadaanya berproses dari dinamika masyarakat itu sendiri.

2. Pengadilan Adat Sebagai Pengadilan di Bawah

Mahkamah Agung

Setiap bangsa dan peradaban memiliki karakter masing-masing yang unik. Karakter ini terbentuk berdasarkan sejarah dan perkembangan budaya masyarakatnya. Bahkan setiap bangsa memiliki karakter dan kualitas tersendiri yang secara intristik tidak bersifat superior satu sama lain.

Hal yang sama terjadi di pembentukan sistem hukum yang memiliki kaitan erat dengan budaya masyarakatnya. Seperti yang dikatakan Von Savigny sistem hukum adalah bagian dari budaya masyarakat. Hukum tidak lahir dari suatu tindakan bebas (arbitrary act of a legislator), tetapi dapat dibuat dan ditemukan di dalam jiwa masyarakat. Hukum secara hipotesis dapat

(28)

127

dikatan berasala dari kebiasaan dan selanjutnya dibuat dari suatu aktifitas hukum (juristic activity)14.

Akar ketatanegaran suatu negara dengan demikian dapat dilacak dari sejarah bangsa itu sendiri. Karakteristik dan identitas suatu bangsa sangat menentukan dasar-dasar kebangsaan dan kenegaraan di dalam konstitusi. Hal ini dapat terlihat dari komponen dasar yang termasuk dalam konstitusi yaitu tentang tujuan dan cita-cita bersama. Oleh karenanya konstitusi selalu dibuat dan berlaku disetiap negara tertentu.15

Konstitusi negara berisikan tujuan dan cita-cita bersama yang mengakui dan menjamin Hak Asasi Manusia baik bersifat individu maupun bersifat kolektif. Jeremmy Bentham mengatakan kepastian yang ditimbulkan oleh hukum bagi individu dan masyarakat adalah tujuan utama dari hukum. Lebih lanjut Bentham merumuskan bahwa tujuan utama dari hukum adalah

14 Moh. Kosnoe dalam Siti Sundari, Hukum Adat Dalam Alam

Kemerdekaan Nasional Dan Segalanya Dalam Persiapan Era Globalisasi,

Ubhara Press, Surabaya, 1996, h. 5.

15 Yanis Maladi, Eksistensi Hukum Adat Dalam Konstitusi Negara

(29)

128

menjamin kebahagiaan sebanyak-banyaknya kepada setiap orang.16 Terkait dengan hal ini tugas hukum adalah menengahi, mengatasi, menyelesaikan setiap sengketa atau permasalahan-permasalahan hukum yang ada di masyarakat.

Dalam pengertian normatif kepastian hukum memerlukan suatu perangkat peraturan perundang-undangan dan lembaga yang menangani masalah-masalah hukum. Sehubungan dengan mendorong ketersediannya perangkat hukum yang memadai, prinsip-prinsip dasar terbntuknya perlindungan hukum terhadap masyarakat sangatlah penting mengingat hukum harus memberikan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia.

Tetapi di samping kepastian hukum, untuk dapat tercapainya keadilan tetap juga diperlukan adanya kesebandingan atau kesetaraan hukum, yang pada dasarnya juga telah terkandung dalam peraturan hukum

16

Jeremmy Bentham, Introduction to the principle of morals and legislation,1983 dalam Yanis Maladi, Eksistensi Hukum Adat Dalam Konstitusi Negara Pasca Amandemen, Mimbar Hukum Jurnal UGM, 2010, h. 453.

(30)

129

yang bersangkutan dan dalam hal ini juga harus mampu diwujudkan oleh Peradilan Umum. Anasir kepastian hukum yang bersangkutan secara sama bagi semua orang, tanpa terkecuali, sedangkan anasir kesebandingan atau kesetaraan hukum pada hakikatnya merupakan anasir yang mewarnai keadaan berlakunya hukum itu bagi tiap-tiap pihak yang bersangkutan, sebanding atau setara dengan kasus/keadaan perkara mereka masing-masing.17

Aristoteles mengemukakan bahwa keadilan ialah tindakan yang terletak diantara memberikan terlalu banyak dan juga sedikit yang dapat diartikan ialah memberikan sesuatu kepada setiap orang sesuai dengan memberi apa yang menjadi haknya.

Pengertian keadilan menurut Frans Magnis Suseno yang menggemukakan pendapatnya mengenai pengertian keadilan ialah keadaan antar manusia yang diperlakukan dengan sama, yang sesuai dengan hak serta kewajibannya masing-masing.

17 A. Ridwan Halim, Pokok-pokok Peradilan Umum di Indonesia

(31)

130

Terkait dengan konteks kepastian hukum dan keadilan yang bersumber dari Konstitusi dapat menjamin kedudukan pengadilan adat di lingkungan masyarakat hukum adat dalam menyelesaikan persoalan-persoalan adat. Mengkaji Pengadilan Adat sebagai pengadilan di bawah Mahkmah Agung maka penulis mencoba melihat peluang dari sudut dimana adanya pengakuan negara terhadap Hak Masyarakat Hukum Adat di dalam konstitusi sehingga perlu didorong untuk lembaga pengadilan adat yang berada di lingkungan adat memiliki keputusan bersifat final sehingga tidak ada proses hukum berulang.

Pada hakekatnya, pembentukan Peradilan Adat bersifat mandiri ini bersifat ingin lebih mendudukan posisi hukum adat, institusi adat dan fungsionaris hukum adat secara sosiologis, filosofis, teoretis dan normatif sejajar (selevel) dengan sistem hukum nasional. Tepatnya, kearifan lokal hukum adat sejajar dengan hukum formal in caqu masuk dalam lembaga kekuasaan kehakiman.

(32)

131

Prakteknya, kearifan lokal hukum adat dalam perkara pidana banyak dilakukan di luar sistem peradilan pidana yang diselesaikan lembaga pengadilan adat.

Pasal 18 B Ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 secara eksplisit mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya. Terkait dengan itu, penelitian ini hendak mengkaji tentang eksistensi pengadilan adat di Indonesia secara konsitusional. Persoalan yang muncul terkait dengan eksistensi ini adalah pengakuan negara terhadap pengadilan adat dan hubungannya dengan pengadilan negara, dalam hal ini pengadilan di bawah Mahkamah Agung.

Pengakuan negara terhadap pengadilan adat berdasarkan konstitusi ini penting sehubungan dengan keberlangsungan masyarakat adat dan hukum adat sebagai penghormatan dan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat adat. Pengakuan pengadilan adat berdasarkan konstitusi, dalam hal ini Pasal 18 B UUUD NRI Tahun

(33)

132

1945, hendak memberikan penekanan bahwa pengakuan terhadap hak-hak masyarakat adat tidak cukup apabila tanpa disertai pengakuan atas keberadaan pengadilan adat. Terkait dengan penjelasan diatas maka diperlukan Pengadilan adat yang didorong sejajar dengan Pengadilan Tingkat I yakni Peradilan Umum langsung dibawah Mahkamah Agung sehingga keputusan-keputusan perkara adat bersifat final sehingga tidak ada proses hukum berulang. Seperti kita ketahui bersama bahwa Pengadilan Umum adalah lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung yang menjalankan kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan pada umumnya. Peradilan umum meliputi:

1. Pengadilan Tinggi, berkedudukan di ibukota provinsi, dengan daerah hukum meliputi wilayah provinsi.

2. Pengadilan Negeri, berkedudukan di ibukota kabupaten/kota, dengan daerah hukum meliputi wilayah kabupaten/kota. Pengadilan khusus

(34)

133

lainnya spesialisasi, misalnya: Pengadilan Hubungan Industrial (PHI), Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Pengadilan Ekonomi, Pengadilan Pajak, Pengadilan Lalu Lintas Jalan dan Pengadilan anak.

Pengadilan Tinggi juga merupakan Pengadilan tingkat pertama dan terakhir mengenai sengketa kewenangan mengadili antar Pengadilan Negeri di daerah hukumnya. Susunan Pengadilan Tinggi dibentuk berdasarkan Undang-Undang dengan daerah hukum meliputi wilayah Provinsi. Pengadilan Tinggi terdiri atas Pimpinan (seorang Ketua PT dan seorang Wakil Ketua PT), Hakim Tinggi, Panitera, Sekretaris dan Staf.

Terkait dengan penjelasan di atas Penulis berdasarkan Pasal 18 B UUD NRI Tahun 1945 mengkontruksikan konstitusi bahwa adanya Pengadilan Adat adalah hak masyarakat hukum adat untuk memiliki lembaga atau institusi adat yang paham terkait aturan-aturan hukum adat dalam menyelesaikan

(35)

permasalahan-134

permasalahan adat di lingkungan masyarakat hukum adat, maka Pengadilan Adat harus berada sejajar dengan Peradilan Umum di bawah Mahkamah Agung layaknya Pengadilan Tinggi yang merupakan Pengadilan Tingkat I di lingkungan Peradilan Umum sehingga keputusan-keputusan dari Pengadilan Adat bersifat final sehingga tidak ada proses hukum berulang sehubungan dengan permasalahan-permasalahan adat.

Dengan demikian maka terlihat bahwa ada jaminan dan perlindungan yang dilakukan oleh Negara terkait Masyarakat Hukum Adat yang memiliki hak atas keberadaan Pengadilan Adat yang dapat menyelesaikan persoalan-persoalan adat dibawah Mahkamah Agung.

(36)

135

D. Konstruksi Konstitusional Pengadilan Adat

1. Mendudukkan Pengadilan Adat ke Dalam

Kekuasaan Kehakiman Indonesia 1.1 Kekuasaan Kehakiman Indonesia.

Kekuasaan kehakiman (judicial power)

adalah salah satu cabang dari kekuasaan pemerintah dalam arti luas sebagai representasi Negara. Secara konstitusional eksistensi kekuasaan kehakiman tersebut harus di tetapkan dalam konstitusi. Hal yang sama berlaku dalam konsteks kekuasaan kehakiman di Indonesia. Secara konstitusional kekuasaan kehakiman Indonesia di jamin dalam Pasal 24 UUD NRI Tahun 1945. Untuk itu, dalam membahas isu mengenai mendudukkan Pengadilan Adat dalam kekuasaan kehakiman Indonesia, maka yang harus dibahas terlebih dahulu adalah kedudukan konstititusional kekuasaan kehakiman Indonesia.

(37)

136

Perubahan Ketiga UUD NRI Tahun 1945, yakni ketentuan Pasal 24 Ayat (1) berbunyi: Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.

Terkait dengan asas atau prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka dalam menjalankan fungsinya penyelengaaran peradilan dimana terdapat asas atau prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka menghendaki agar hakim terbebas dari campur tangan, tekanan atau paksaan, baik langsung maupun tidak langsung dari kekuasaan lembaga lain, teman sejawat, atasan, serta pihak-pihak lain di luar peradilan. Sehingga Hakim dalam memutus perkara hanya demi kadilan berdasarkan hukum dan hati nurani.

Dalam pandangan Hakim Agung Artidjo Alkostar, tidak ada bangsa yang beradab tanpa adanya pengadilan yang merdeka dan bermartabat. Fungsi pengadilan merupakan salah satu tiang

(38)

137

tegaknya negara yang berdaulat. Salah satu elemen pengadilan adalah menyangkut faktor adanya pengadilan yang merdeka.18

Sehubungan dengan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009, tentang Kekuasaan Kehakiman, memberikan batasan mengenai ruang lingkup „merdeka‟, yaitu bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya negara hukum Republik Indonesia. Kebebasan dalam melaksanakan wewenang yudisial bersifat tidak mutlak, karena tugas hakim adalah untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, sehingga putusannya mencerminkan rasa keadilan rakyat Indonesia.

18 Artidjo Alcostar, Membangun Peradilan Berarti Membangun

(39)

138

Ketentuan Pasal ini mau menjelaskan tentang The principle of judicial independence

yang adalah prinsip terkait dengan kekuasaan kehakiman sebagai kekuasaan yang merdeka, berarti bebas dan lepas dari campur tangan pemerintah atau badan negara yang lain atau dari pihak manapun yang akan mempengaruhi penyelenggaraan tugas serta kewenangannya. Jika frase kata independen atau kemandirian dilekatkan dengan kekuasaan Kehakiman, maka yang dimaksudkan adalah suatu kondisi yang menunjukan suatu kehendak yang bebas terhadap lembaga kekuasaan kehakiman yang merdeka, dimana makna merdeka adalah berdiri sendiri; bebas dari penghambatan; penjajahan dan sebagainya, tidak terkena tuntutan; leluasa; tidak terikat; tidak tergantung pada pihak tertentu atau

freedom of independency judiciary yang tidak terbatas dalam organ struktural dan fungsional

(40)

139

didalam kekuasaan kehakiman yang merdeka atau independen yang bersifat universal.

Pasal 24 Ayat (2) Perubahan Ketiga UUD NRI Tahun 1945 yang berbunyi :

Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi

Klausula Pasal 24 Ayat (2) ini menggunakan asas atau prinsip kekuasaan kehakiman satu atap (one roof system). Munculnya ide one roof system menurut Montesquieu untuk mencegah munculnya kekuasaan atau pemerintahan yang sewenang-wenang. Montesquieu berpendapat setiap percampuran di satu tangan antara legislatif, eksekutif, dan yudisial dipastikan akan menimbulkan kekuasaan

(41)

140

atau pemerintahan yang sewenang-wenang19. Untuk mencegah kesewenang-wenangan, badan (alat kelengkapan) organisasi negara harus dipisahkan satu sama lain. Yang satu independen terhadap yang lain. Implikasi yuridis pembentukan “Kekuasaan kehakiman satu atap” adalah adanya borders (tapalbatas) terhadap wewenang cabang kekuasaan, oleh karena itu, hanya organ-organ kekuasaan kehakiman sajalah yang berhak melakukan tindakan-tindakan untuk menegakkan hukum dan keadilan. Terkait dengan penjelasan diatas maka Pasal 24 Ayat (2) mau mengatakan walaupun dalam satu atap kekuasaan kehakiman namun dalam melaksanakan fungsi dan tugas dan wewenang dan tujuan memiliki kewenangan yang berbeda antara Mahkamah Agung dan Mahkamah konstitusi.

19 Bagir Manan, 2007, Sistem Peradilan Berwibawa (Suatu

(42)

141

Pasal 24 Ayat (2) mau menjelaskan penyelenggaraan Kekuasaan kehakiman terkait dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung yang telah diubah pertama kali dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan kedua kali dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009. Adapun Peran Mahkamah Agung dapat kita temukan dalam Pasal 2 Undang – Undang No. 14 Tahun 1985 yang berbunyi:

“Mahkamah Agung adalah Pengadilan Negara Tertinggi dari semua Lingkungan Peradilan, yang dalam melaksanakan tugasnya terlepas dari pengaruh pemerintah dan pengaruh-pengaruh lain.”

Di dalam penjelasan umum Undang-Undang Tahun 2009 dikatakan bahwa MA adalah pengadilan negara tertinggi dari semua lingkungan peradilan yang berada di bawahnya. Oleh karena itu, MA melakukan pengawasan tertinggi terhadap badan peradilan dalam lingkungan peradilan

(43)

142

umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, dan lingkungan peradilan tata usaha negara.

Sedangkan Mahkamah Konstitusi yang pengaturannya dapat kita temui dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 Peran Mahkamah Konstitusi dapat kita temukan dalam Pasal 1 UU 8/2011 yang berbunyi:

“Mahkamah Konstitusi adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.”

Berdirinya Mahkamah Konstitusi merupakan bagian dari lembaga kekuasaan kehakiman, Mahkamah Konstitusi sebagai tribunal secara terpisah dari Mahkamah Agung yang mengemban tugas khusus merupakan konsepsi yang dapat ditelusuri jauh sebelum negara

(44)

143

kebangsaan modern (modern state) yang pada dasarnya menguji keserasian norma hukum yang lebih rendah dengan norma hukum yang lebih tinggi. Mahkamah Konstitusi dibentuk atas dasar asumsi adanya supremasi konstitusi, dimana Mahkamah Konstitusi memiliki tugas utama sebagai pengawal konstitusi, yaitu menjaga agar tidak terjadi penyimpangan-penyimpangan konstitusi dalam penyelenggaraan negara. Asumsi berpandangan bahwa “konstitusi adalah hukum tertinggi yang mendasari atau melandasi kegiatan negara serta sebagai parameter untuk mencegah negara bertindak secara tidak konstitusional” 20

.

Perbedaan Mahkamah Agung dengan Mahkamah Konstitusi dapat dilihat dalam tabel berikut ini.

20 A. Fickar Hadjar Ed. Al, Pokok-Pokok Pikiran Dan Rancangan

Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, KRHN Dan Kemitraan, Jakarta, 2003. h, 5

(45)

144

Perbedaan Mahkamah Agung Mahkamah

Konstitusi Kewenangan Menurut UUD NRI Tahun 1945 1.mengadili pada tingkat kasasi 2.menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang 3.mempunyai kewenangan lain yang diberikan undang-undang

(Pasal 24A ayat

[1] UUD NRI Tahun 1945) 1. mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 2. memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 3. memutus pembubaran partai politik 4. memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum (Pasal 24C ayat [1] UUD NRI Tahun 1945)

(46)

145

Sementara Pasal 24 Ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 berbunyi :

Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman

Pasal 24 Ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 tentang Kekuasaan Kehakiman mesikipun didalam bab kekuasaan kehakiman mengatru badan-badan lain tetapi itu bukan kekuasaan kehakiman. Berdasarkan Pasal 24 Ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 dan Penjelasan Pasal 38 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi :

(1) Selain Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya serta Mahkamah Konstitusi, terdapat badan- badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasan kehakiman.

(2) Fungsi yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a. penyelidikan dan penyidikan; b. penuntutan;

c. pelaksanaan putusan; d. pemberian jasa hukum; dan

(47)

146

Pasal ini ingin menyatakan yang dimaksud dengan badan-badan lain antara lain kepolisian, kejaksaan, advokat, dan lembaga serta lembaga-lembaga penyelesaian sengketa diluar pengadilan secara langsung maupun tidak langsung bahwa Pasal 24 Ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 dan Pasal 38 Ayat (1) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menutup kemungkinan peluang pengadilan-pengadilan lain dibentuk. Namun dalam Pasal 38 Ayat (1) Undang-Undang 48 Tahun 2009 didalam bab kekuasaan kehakiman mengatur badan-badan lain tetapi itu bukan kekuasaan kehakiman.

Berbeda dengan keadaan di Amerika Serikat dimana The Contitution of The United State Article III Section 1 :

The judicial Power of the United States, shall be vested in one supreme Court, and in such inferior

(48)

147

Courts as the Congress may from time to time ordain and establish.

Konstitusi Amerika Serikat ini mau menerangkan bahwa Kongres dapat membentuk Pengadilan dibawah Mahkamah Agung dari waktu ke waktu dimana Kongres dapat membentuk dengan menggunakan Undang-Undang.

Ketentuan tersebut menyangkut makna dasar konstitusional batas-batas pengadilan dibawah Mahkamah Agung oleh Kongres Amerikan Serikat itu artinya pembentukan badan peradilan atau pengadilan harus dilakukan oleh Undang-Undang. Ini mau menyatakan bahwa Amerika Serikat dengan demikian lebih terbuka terhadap fenomena-fenomena hukum terkait yang menuntut Pengadilan-Pengadilan baru sesuai kebutuhan dari waktu ke waktu.

Terkait dengan Pembentukan Badan Pengadilan baru seperti pengadilan khusus maka

(49)

148

Pasal 8 Undang- Undang No. 49 tahun 2009 Undang-Undang Nomor 49 tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum yang berbunyi : di lingkungan peradilan umum dapat dibentuk pengadilan khusus yang diatur dengan menggunakan Undang-Undang.

Pasal 8 yang dimaksud dengan "diadakan pengkhususan" ialah adanya diferensiasi atau spesialisasi di lingkungan peradilan umum, misalnya pengadilan lalu lintas jalan, pengadilan anak, pengadilan ekonomi, sedangkan yang dimaksud dengan "yang diatur dengan undang-undang" adalah susunan, kekuasaan, dan hukum acaranya.

UUD NRI Tahun 1945 mensyaratkan bahwa pembentukan semua badan peradilan, in casu pengadilan khusus, harus diatur dengan

(50)

149

undang-undang (bij de wet geregeld). Pasal 24A Ayat (5) UUD NRI Tahun 1945 berbunyi, “Susunan, kedudukan, keanggotaan, dan hukum acara Mahkamah Agung serta badan peradilan dibawahnya diatur dengan undang-undang”. Hal dimaksud bermakna bahwasanya hal susunan, kedudukan, keanggotaan, dan hukum acara badan-badan peradilan dalam lingkungan peradilan umum, in casu pengadilan khusus, harus diatur pula dengan undang-undang (bij de wet geregeld). Pasal 2 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman berbunyi, ”Semua peradilan di seluruh wilayah negara Republik Indonesia adalah peradilan negara dan ditetapkan dengan undang-undang”. Pasal 8 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Peradilan Umum, yang berisikan “Di lingkungan Peradilan Umum dapat diadakan

(51)

150

pengkhususan yang diatur dengan Undang-undang”.

Berdasarkan pertimbangan di atas, maka hal pembentukan Pengadilan Adat dibawah Mahkamah Agung selaku pengadilan khusus dalam lingkungan Peradilan Umum, harus diatur berdasarkan Undang-Undang. Asas legalitas atau kepastian hukum ini tersirat dan tersurat didalam Pasal 24 UUD NRI Tahun 1945 dalam menjelaskan perihal kekuasaan kehakiman didalam konstitusi negara Republik Indonesia, asas yang sebenarnya terkait erat dengan ajaran legisme yang memandang peraturan tertulis (undang-undang) sebagai satu-satunya sumber hukum. Adapun tujuan yang dikehendaki asas ini adalah tercapainya kepastian hukum yang dapat dimengerti oleh setiap orang dan menjamin kepentingan setiap orang untuk mendapatkan

(52)

151

jaminan dalam memperoleh keadilan yang diatur dalam undang-undang.

1.2 Pengadilan Adat Dalam Kekuasaan

Kehakiman Indonesia.

Secara hukum berdasarkan konstitusi dan Undang-Undang dapat dibentuk suatu Pengadilan Adat didalam sistem kekuasaan Indonesia untuk menyelesaikan pemasalahan-permasalahan hukum adat yang berada dilingkungan masyarakat adat. Pembentukan suatu pengadilan khusus bukan sesuatu yang dilarang oleh Undang-undang. Akan tetapi Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman menentukan, pengadilan khusus hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan peradilan.

Kebutuhan hukum di lingkungan pengadilan Negara seperti pengadilan-pengadilan khusus contohnya pengadilan tindak pindana korupsi, pengadilan niaga, pengadilan HAM yang dibentuk sesuai kebutuhan kekhususannya dan

(53)

152

badan lain yang memang sudah ada jauh sebelum Negara ini berdiri yakni Pengadilan Adat. Penjelasan terkait Pasal 24 di atas juga memiliki hubungan dengan Pasal 27 Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 bahwa : Pengadilan khusus hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung.

Maka secara langsung atau tidak langsung dapat menjelaskan bahwa peluang pengadilan khusus dapat dibentuk didalam lingkungan peradilan umum dibawah Mahkamah Agung. Hal ini juga menjelaskan bahwa ada pengakuan atau jaminan dari Negara terkait berdirinya pengadilan-pengadilan khusus seperti pengadilan-pengadilan niaga, pengadilan hubungan industrial, pengadilan tindak pidana korupsi, dan Pengadilan Adat sesuai kebutuhan hukum.

(54)

153

Pembentukan suatu pengadilan khusus bukan sesuatu yang dilarang oleh Undang-undang. Akan tetapi Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman menentukan, pengadilan khusus hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan peradilan. Dalam sistem peradilan di Indonesia ditentukan adanya empat lingkungan peradilan, yaitu Lingkungan Peradilan Umum, Lingkungan Peradilan Agama, Lingkungan Peradilan Militer dan Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara. Empat lingkungan peradilan ini bersifat limitatif, artinya Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman tidak membuka kemungkinan adanya penambahan lingkungan peradilan lain.

Dengan demikian, Pengadilan Pajak harus dikhususkan atau dikategorikan sebagai Pengadilan Khusus di bawah salah satu dari empat lingkungan Peradilan Peradilan yang ada. Misalnya terkait dengan permasalahan hukum

(55)

154

perpajakan berdasarkan karakteristik dan sifat dari sengketa perpajakan, memiliki sesamaan dengan senketa tata usaha negara, dengan demikian kedudukan Pengadilan Pajak lebih tepat untuk ditempatkan pada lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara.

UUD NRI Tahun 1945 menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Sejalan dengan ketentuan tersebut maka salah satu prinsip penting negara hukum adalah adanya jaminan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.

Dalam konteks tersebut, maka ketentuan Pasal 24 Ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 berbunyi Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang- undang.

(56)

155

Mengenai adanya kekuasaan kehakiman menjadi relevan. Salah satu konsekuensi Pasal 24 Ayat (3) adalah munculnya berbagai lembaga peradilan, diantaranya adalah Lembaga Pengadilan Adat. Keberadaan lembaga Pengadilan Adat sangat penting apabila dikaitkan dengan konsep negara hukum, yang menghendaki adanya penegakan hukum oleh lembaga peradilan. Hukum yang ditegakkan disini adalah hukum adat yang terkait dengan penegakan aturan-aturan adat di lingkungan masyarakat adat.

Dengan hadirnya Pasal 24 Ayat (3) UUD NRI Tahun ini lebih mempertegas untuk diakuinya Pengadilan Adat secara formal dalam undang-undang karena sifatnya terbuka. Adanya sifat terbuka didalam Pasal 24 Ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 ini juga memberikan peluang untuk membentuk lembaga pengadilan lain yang bersifat khusus dibawah lingkungan peradilan umum,

(57)

156

peradilan tata usaha Negara, peradilan agama, ataupun peradilan militer.

Sehubungan dengan adanya kekuasaan untuk mengadili suatu perkara seperti Pengadilan Adat diakui secara formal dengan cara mendorong Pengadilan Adat menjadi pengadilan khusus dalam lingkungan peradilan umum, sehingga Pengadilan Adat diakui kedudukannya pada tingkat Pengadilan Negeri.

Pengadilan Adat yang memiliki kekhususan tersendiri karena merupakan warisan budaya dari nenek moyang dan memiliki ciri khas tersendiri dilihat dari struktur pengorganisasian atau lembaganya yang biasa dipimpin oleh hakim adat yang adalah mereka yang mempunyai garis keturunan menjadi pimpinan adat, adanya aturan-aturan hukum adat yang mengatur kehidupan masyarakat hukum adat terkait larangan-larangan yang tidak boleh dilakukan serta hukuman apa

(58)

157

yang diberikan kepada anggota masyarakat hukum adat. Ini sangat berbeda dengan Pengadilan Negeri karna sifat, bentuk dan sistem yang berlaku di Pengadilan Adat masih sangat tradisional.

Pengadilan Adat dapat dibentuk dan tidak bertentangan dengan Pasal 24 UUD NRI Tahun 1945, dikarenakan Pasal 24 Ayat (3) memperbolehkan badan-badan lain dalam hal ini termasuk Pengadilan Adat dapat dikontruksikan berada didalam kekuasaan kehakiman di Indonesia. Pengadilan Adat di dalam kekuasaan kehakiman sudah sepatutunya didorong atau diperbolehkan berada dibawa Peradilan Umum sebagai bagian dari penghormatan dan pengakuan terhadap masyarakat hukum adat berdasarkan Pasal 18 b UUD NRI Tahun 1945. Sehubungan dengan penjelelasan di atas Pemerintah juga perlu untuk membuat Undang-Undang Pengadilan Adat

(59)

158

seperti beberapa Pengadilan Khusus yang telah terbentuk.

Terkait dengan putusan Pengadilan Adat yang dianggap tidak memuaskan hati korban yang merupakan anggota masyarakat hukum adat ,dan mereka melaporkan kembali ke kepolisian dan hinngga proses ke Pengadilan Negeri atau melakukan gugatan di pengadilan negeri maka putusan hukuman dan denda yang telah dilakukan oleh pelaku akan berpotensi untuk terjadi proses hukum untuk kedua kalinya atau proses hukum berulang di Pengadilan Negeri sehingga sangat merugikan pelaku.

Dengan demikian untuk menghindari proses hukum berulang maka perlu diakuinya kedudukan Pengadilan Adat untuk didorong satu kamar di Pengadilan Negeri dalam lingkup Peradilan Umum mengingat ada peluang berdasarkan konstitusi yakni Pasal 24 Ayat (3 )

(60)

159

UUD NRI Tahun 1945 dan penjelasan terkait Pasal 24 diatas juga memiliki hubungan dengan Pasal 27 Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 bahwa :

Pengadilan khusus hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung .

2. Yuridiksi Pengadilan Adat

Pengadilan adat memiliki basis konstitusional. Oleh karena itu pembentukan pengadilan adat di bawah Mahkamah Agung tidak bertentangan dengan hukum yaitu Konstitusi dan Undang-Undang. Namun demikian masih ada persoalan lain yang perlu di diskusikan yaitu mengenai yuridiksi pengadilan adat tersebut. Hal ini supaya pembentukan Pengadilan Adat yang telah memliki basis konstitusional tetap dilakukan berdasarkan hukum yaitu kontitusi dan Undang-Undang.

2.1 Pengadilan Adat Ditingkat Pengadilan Negeri Pembentukan Pengadilan Adat berada dibawah Mahkamah Agung menjadi lembaga atau institusi yang

(61)

160

dapat menyelesaikan permasalahan-permasalahan atau perkara adat. Terkait dengan pembentukan Pengadilan Adat tersebut, maka upaya hukum dalam menyelesaikan permasalahan-permasalahan adat didorong berada pada

Judex Factie Tingkat I yakni Pengadilan Negeri.

Proses mendudukkan Pengadilan Adat berada ditingkat Pengadilan Negeri dapat dijustifikasi secara analogi dengan melihat bagaimana proses atau cara mendudukkan mediasi dapat berada ditingkat Pengadilan Negeri. Mediasi dan Pengadilan Adat memiliki esensi yang sama yakni mengurangi beban kewenangan hakim dalam menyelesaikan perkara. Dalam Mediasi peran hakim diambil oleh pihak-pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan perkara sesuai dengan kesepakatan bersama. Sementara hal yang sama juga terjadi pada Pengadilan Adat ditingkat Pengadilan Negeri dengan mengurangi beban hakim Pengadilan Negeri dikarenakan penyelesaian permasalahan-permasalahan atau perkara adat dialihkan menjadi kewenangan hakim adat.

(62)

161

Sehubungan dengan penjelasan diatas maka alasan Pengadilan Adat didorong berada ditingkat Pengadilan Negeri dikarenakan hanya Pengadilan Adat sebagai institusi atau lembaga adat yang dapat menyelesaikan permasalahan-permasalahan hukum adat dilingkungan masyarakat hukum adat.

2.2Yurisdiksi Ratione Loci Pengadilan Adat

Persoalan yang dihadapi dalam pembentukan Pengadilan Adat yakni Pertama adalah persoalan

Juridiction Ratione Loci, dimana terlihat dari Pengadilan Negara pada tingkat paling rendah memiliki strukur formal yang setara dengan Kabupaten / Kota yaitu Pengadilan Negeri, namun itu belum tentu sama dengan wilayah berlakunya hukum adat.

Yurisdiksi ini adalah Yurisdiksi terkait dengan lingkungan atau wilayah untuk mengadili. Yurisdiksi ini juga menjelaskan wilayah kewenangan Pengadilan dalam menyelesaikan perkara berdasarkan wilayah atau tempat

(63)

162

perkara itu berlangsung atau dapat diasumsikan sebagai yuridiksi yang terkait dengan wilayah kerja atau wilayah kewenangan mengadili.

Masyarakat hukum adat adalah kelompok-kelompok masyarakat yang tetap dan teratur dengan mempunyai kekuasaan sendiri dan kekayaan sendiri baik yang berwujud maupun tidak berwujud. Susunan dan bentuk seluruh anggota persekutuan masyarakat tersebut terikat atas faktor yang bersifat teritorial dan genealogis. Secara teoritis pembentukan masyarakat hukum adat disebabkan adanya faktor ikatan yang mengikat masing-masing anggota masyarakat hukum adat tersebut. Faktor ikatan yang membentuk masyarakat hukum adat secara teoritis adalah faktor genealogis (keturunan) dan faktor teritorial (wilayah).21 Hal ini menyebabkan berlakunya territorial wilayah hukum adat juga berlaku pada wilayah teritorial Pengadilan Adat.

21

(64)

163

Bentuk dan susunan masyarakat hukum yang merupakan persekutuan hukum adat itu, para anggotanya terikat oleh faktor yang bersifat territorial dan geneologis. Menurut pengertian yang dikemukakan para ahli hukum di zaman Hindia Belanda, yang dimaksud dengan masyarakat hukum atau persekutuan hukum yang

territorial adalah masyarakat yang tetap dan teratur, yang anggota –anggota masyarakatnya terikat pada suatu daerah kediaman tertentu, baik dalam kaitan duniawi sebagai tempat kehidupan maupun dalam kaitan rohani sebagai tempat pemujaan terhadap roh-roh leluhur.22 Sedangkan, masyarakat atau persekutuan hukum yang bersifat geneologis adalah suatu kesatuan masyarakat yang teratur, di mana para anggotanya terikat pada suatu garis keturunan yang sama dari satu leluhur, baik secara tidak langsung karena pertalian perkawinan atau pertalian adat23

22 Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia

(Bandung: CV Mandar Maju, 2003), h, 108

23

(65)

164

Pengadilan adat sehubungan dengan yuridiksi ini dapat di jelaskan berdasarkan wilayah terjadinya permasalahan-permasalahan adat yang berlaku di lingkungan masyarakat hukum adat. Hukum adat bergantung pada wilayah hukum dari masyarakat hukum adat karena menganut asas relativisme dimana masing-masing masyarakat hukum adat memiliki hukum adat masing-masing. Juridiksi Pengadilan Adat berada di dalam wilayah kesatuan masyarakat hukum adat yang berbeda atau tidak sebangun persis dengan wilayah teritorial Pemerintah, dengan kata lain wilayah berlakunya hukum adat tidak sama dengan wilayah administrasi Pemerintahan.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Pengadilan Adat boleh jadi akan memiliki yuridiksi yang lebih luas daripada Pengadilan Negeri setempat, karena memiliki susunan masyarakat adat yang teritorinya belum tentu sama dengan susunan pemerintahan kita yang paling bawah yaitu Kabupaten/Kota. Sehubungan dengan itu

(66)

165

dapat ditentukan bentuk Pengadilan Adat yang paling tepat adalah berdasarkan teritorial mengingat luasnya wilayah hukum adat sehingga Pengadilan Adat tersebut bisa berada di Ibu Kota Propinsi atau Kota/ Kabupaten yang ditentukan. Namun bisa juga misalnya dengan cara menentukan Pengadilan Adat berada didalam salah satu Kota/Kabupaten yang telah ditentukan dengan membawahi beberapa Kabupaten yang didalamnya dimungkinkan terdapat beberapa kesatuan masyarakat adat untuk mengadili permasalahan-permasalahan hukum adat tersebut.

Maka dalam hal ini diperlukan peraturan yang mengatur kedudukan, susunan dan yuridiksi kewenangan Pengadilan Adat yang berlaku di wilayah teritorial Pemerintahan paling rendah Kabupaten/Kota, atau ditentukan pada berada di Pengadilan Negeri tertentu mengingat wilayah berlakunya hukum adat bisa lebih luas dari wilayah hukum Pengadilan Negeri.

(67)

166

2.3Yurisdiksi Ratione Materie Pengadilan Adat

Yurisdiksi ini adalah Yuridiksi yang berkaitan dengan pokok perkara dalam hal ini pokok perkara yang lazim adalah perkara pidana atau perkara perdata. Sehubungan dengan yuridiksi mengenai pokok perkara dalam pembentukan Pengadilan Adat maka persoalan yang timbul adalah persoalan kompetensi dimana Pengadilan Negeri memiliki kompetensi Absolut yakni perkara pidana dan perdata. Perkara pidana adalah perkara yang memiliki sifat yakni Negara dengan alat perlengkapan atau hubungan antar Negara dengan warga Negara. Sedangkan perkara perdata mengatur hubungan orang yang satu dengan orang yang lain dengan menitikberatkan pada kepentingan perorangan. Berdasarkan sifat atau karakter dari perkara pidana yang bersifat nasional dan perdata bersifat kepentingan orang perorang atau pihak-pihak bersengketa, dengan demikian maka perkara perdata yang dapat diselesaikan dengan cara mediasi sebelum masuk ke persidangan.

(68)

167

Sehubungan dengan penjelasan diatas maka kompetesi absolut dari Pengadilan adat adalah menyelesaikan perkara-perkara perdata ini dikarenakan Pengadilan adat secara prinsip tidak boleh mengadili perkara hukum yang bersifat nasional seperti perkara hukum pidana yang bersumber dari KUHP. Hukum pidana berlaku berdasarkan yuridiksi teritorial yang mempunyai jangkauan keberlakuan secara nasional dan berlaku sama bagi setiap individu yang melakukan pelanggaran hukum khususnya hukum pidana. Sehingga jika diperhadapkan dengan hukum adat memang ada persoalan yang perlu dipikirkan secara mendalam karena berkaitan dengan yurisdiksi pokok perkara. Alasan hukum pidana bersifat nasional ini menjawab Pengadilan adat tidak dapat memproses perkara sehubungan dengan perkara pidana kecuali hukum pidana tersebut dijadikan delik pidana adat dengan menetapkanya dengan peraturan daerah sehingga ada sanksi-sanksi yang berlaku.

(69)

168

2.4Upaya Hukum Atas Putusan Pengadilan Adat

Mendudukan Pengadilan Adat berada di Pengadilan Tingkat I memiliki point penting, sehubungan dengan penyelesaian permasalahan atau perkara hukum adat terkait putusan-putusan Pengadilan Adat yang memiliki upaya hukum selanjutnya apabila para pihak tidak menerima putusan-putusan tersebut.

Putusan yang dikeluarkan Pengadilan tidak selalu memuaskan para pihak yang berperkara termasuk kemungkinannya dengan putusan Pengadilan Adat, sehingga para pihak yang tidak menerima dapat mengajukan upaya hukum banding pada Pengadilan di tingkat Banding yakni di Pengadilan Tinggi. Alasan hasil putusan Pengadilan Adat diajukan ke Pengadilan Tinggi mengingat semua perkara yang telah diputuskan oleh Pengadilan Adat tidak boleh diuji kembali pada tingkat yang sama mengingat Pengadilan Adat berada satu tingkat dengan Pengadilan Negeri pada Pengadilan Tingkat I. Apabila diuji kembali pada Pengadilan Negeri maka hal

(70)

169

ini akan bertentangan dengan asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan yang terdapat pada Pasal 4 (2) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Asas peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan merupakan asas yang tidak kalah pentingnya dengan asas- asas lain yang terdapat dalam Pasal 4 ayat (2) Undang- Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Menurut Sudikno Mertokusumo pengertian asas sederhana, cepat, dan biaya ringan, yaitu:

Pengadilan membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan

Penjelasan Pasal 4 ayat (2) ada pada Undang-Undang No 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi

Ketentuan ini dimaksudkan untuk memenuhi harapan para pencari keadilan.

(71)

170

Yang dimaksud dengan ”sederhana” adalah pemeriksaan dan penyelesaian perkara dilakukan dengan acara yang efisien dan efektif.

Yang dimaksud dengan ”biaya ringan” adalah biaya perkara yang dapat terpikul oleh rakyat.

Namun demikian, dalam pemeriksaan dan penyelesaian perkara tidak mengorbankan ketelitian dalam mencari kebenaran dan keadilan

Pengadilan membantu para pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan. Di bawah ini secara singkat diuraikan satu persatu mengenai asas sederhana, cepat, dan biaya ringan sebagai berikut24 :

a. Asas sederhana Sederhana secara umum dapat diartikan sebagai suatu kondisi yang tidak kompleks atau tidak terlalu sulit, asass sederhana artinya caranya yang jelas, mudah dipahami dan tidak berbelit, yang penting disini ialah agar para pihak dapat mengemukakan kehendaknya dengan jelas dan

24 A. Mukti Arto, Mencari Keadilan (Kritik Dan Solusi Terhadap

Praktik Peradilan Perdata Di Indonesia), Pustaka Pelajar Offset, Yogyakarta, 2001, h, 64

Referensi

Dokumen terkait

Oleh karena data yang tidak lengkap atau tidak ada sama sekali klasifikasi tidak mungkin.

Pengujian yang dilakukan adalah pengujian terhadap daftar fungsi aplikasi yang telah dijabarkan pada Bab III dan terhadap tujuan dibuatnya aplikasi ini, yakni melakukan

〔商法二〇二〕約束手形の支払期日の変造と手形法二〇条一項但書 の適用東京地裁昭和五〇年六月二五日判決 米津, 昭子Yonetsu, Teruko

menggunakan sumber data primer yang berasal dari literatur-literatur bacaan antara lain dari kitab-kitab, buku bacaan, naskah sejarah, sumber bacaan media

Skripsi berjudul “Penerapan Pembelajaran Kooperatif Tipe Make A Match untuk Meningkatkan Hasil Belajar pada Sub Pokok Bahasan Operasi Hitung Bentuk Pecahan Aljabar Siswa

Jadi definisi umum dari sistem informasi adalah sebuah sistem yang terdiri atas rangkaian subsistem informasi terhadap pengolahan data untuk menghasilkan informasi yang berguna

Penelitian ini bertujuan untuk menentukan pemanfaatan energi pada kambing Kacang yang diberi pakan dengan imbangan protein- energi berbeda, dengan harapan mampu

II/491 Tahun 2009 Tentang SUSCATIN adalah materi-materi yang berkaitan dengan kehidupan rumah tangga seperti tata cara prosedur perkawinan dan pengetahuan agama