C. Hubungan Antara Pengadilan Adat dan Pengadilan di Bawah Mahkamah Agung
2. Pengadilan Adat Sebagai Pengadilan di Bawah Mahkamah Agung
Setiap bangsa dan peradaban memiliki karakter masing-masing yang unik. Karakter ini terbentuk berdasarkan sejarah dan perkembangan budaya masyarakatnya. Bahkan setiap bangsa memiliki karakter dan kualitas tersendiri yang secara intristik tidak bersifat superior satu sama lain.
Hal yang sama terjadi di pembentukan sistem hukum yang memiliki kaitan erat dengan budaya masyarakatnya. Seperti yang dikatakan Von Savigny sistem hukum adalah bagian dari budaya masyarakat. Hukum tidak lahir dari suatu tindakan bebas (arbitrary act
of a legislator), tetapi dapat dibuat dan ditemukan di
127
dikatan berasala dari kebiasaan dan selanjutnya dibuat dari suatu aktifitas hukum (juristic activity)14.
Akar ketatanegaran suatu negara dengan demikian dapat dilacak dari sejarah bangsa itu sendiri. Karakteristik dan identitas suatu bangsa sangat menentukan dasar-dasar kebangsaan dan kenegaraan di dalam konstitusi. Hal ini dapat terlihat dari komponen dasar yang termasuk dalam konstitusi yaitu tentang tujuan dan cita-cita bersama. Oleh karenanya konstitusi selalu dibuat dan berlaku disetiap negara tertentu.15
Konstitusi negara berisikan tujuan dan cita-cita bersama yang mengakui dan menjamin Hak Asasi Manusia baik bersifat individu maupun bersifat kolektif. Jeremmy Bentham mengatakan kepastian yang ditimbulkan oleh hukum bagi individu dan masyarakat adalah tujuan utama dari hukum. Lebih lanjut Bentham merumuskan bahwa tujuan utama dari hukum adalah
14 Moh. Kosnoe dalam Siti Sundari, Hukum Adat Dalam Alam
Kemerdekaan Nasional Dan Segalanya Dalam Persiapan Era Globalisasi,
Ubhara Press, Surabaya, 1996, h. 5.
15 Yanis Maladi, Eksistensi Hukum Adat Dalam Konstitusi Negara
128
menjamin kebahagiaan sebanyak-banyaknya kepada setiap orang.16 Terkait dengan hal ini tugas hukum adalah menengahi, mengatasi, menyelesaikan setiap sengketa atau permasalahan-permasalahan hukum yang ada di masyarakat.
Dalam pengertian normatif kepastian hukum memerlukan suatu perangkat peraturan perundang-undangan dan lembaga yang menangani masalah-masalah hukum. Sehubungan dengan mendorong ketersediannya perangkat hukum yang memadai, prinsip-prinsip dasar terbntuknya perlindungan hukum terhadap masyarakat sangatlah penting mengingat hukum harus memberikan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia.
Tetapi di samping kepastian hukum, untuk dapat tercapainya keadilan tetap juga diperlukan adanya kesebandingan atau kesetaraan hukum, yang pada dasarnya juga telah terkandung dalam peraturan hukum
16
Jeremmy Bentham, Introduction to the principle of morals and
legislation,1983 dalam Yanis Maladi, Eksistensi Hukum Adat Dalam Konstitusi Negara Pasca Amandemen, Mimbar Hukum Jurnal UGM, 2010, h.
129
yang bersangkutan dan dalam hal ini juga harus mampu diwujudkan oleh Peradilan Umum. Anasir kepastian hukum yang bersangkutan secara sama bagi semua orang, tanpa terkecuali, sedangkan anasir kesebandingan atau kesetaraan hukum pada hakikatnya merupakan anasir yang mewarnai keadaan berlakunya hukum itu bagi tiap-tiap pihak yang bersangkutan, sebanding atau setara dengan kasus/keadaan perkara mereka masing-masing.17
Aristoteles mengemukakan bahwa keadilan ialah tindakan yang terletak diantara memberikan terlalu banyak dan juga sedikit yang dapat diartikan ialah memberikan sesuatu kepada setiap orang sesuai dengan memberi apa yang menjadi haknya.
Pengertian keadilan menurut Frans Magnis Suseno yang menggemukakan pendapatnya mengenai pengertian keadilan ialah keadaan antar manusia yang diperlakukan dengan sama, yang sesuai dengan hak serta kewajibannya masing-masing.
17 A. Ridwan Halim, Pokok-pokok Peradilan Umum di Indonesia
130
Terkait dengan konteks kepastian hukum dan keadilan yang bersumber dari Konstitusi dapat menjamin kedudukan pengadilan adat di lingkungan masyarakat hukum adat dalam menyelesaikan persoalan-persoalan adat. Mengkaji Pengadilan Adat sebagai pengadilan di bawah Mahkmah Agung maka penulis mencoba melihat peluang dari sudut dimana adanya pengakuan negara terhadap Hak Masyarakat Hukum Adat di dalam konstitusi sehingga perlu didorong untuk lembaga pengadilan adat yang berada di lingkungan adat memiliki keputusan bersifat final sehingga tidak ada proses hukum berulang.
Pada hakekatnya, pembentukan Peradilan Adat bersifat mandiri ini bersifat ingin lebih mendudukan posisi hukum adat, institusi adat dan fungsionaris hukum adat secara sosiologis, filosofis, teoretis dan normatif sejajar (selevel) dengan sistem hukum nasional. Tepatnya, kearifan lokal hukum adat sejajar dengan hukum formal in
131
Prakteknya, kearifan lokal hukum adat dalam perkara pidana banyak dilakukan di luar sistem peradilan pidana yang diselesaikan lembaga pengadilan adat.
Pasal 18 B Ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 secara eksplisit mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya. Terkait dengan itu, penelitian ini hendak mengkaji tentang eksistensi pengadilan adat di Indonesia secara konsitusional. Persoalan yang muncul terkait dengan eksistensi ini adalah pengakuan negara terhadap pengadilan adat dan hubungannya dengan pengadilan negara, dalam hal ini pengadilan di bawah Mahkamah Agung.
Pengakuan negara terhadap pengadilan adat berdasarkan konstitusi ini penting sehubungan dengan keberlangsungan masyarakat adat dan hukum adat sebagai penghormatan dan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat adat. Pengakuan pengadilan adat berdasarkan konstitusi, dalam hal ini Pasal 18 B UUUD NRI Tahun
132
1945, hendak memberikan penekanan bahwa pengakuan terhadap hak-hak masyarakat adat tidak cukup apabila tanpa disertai pengakuan atas keberadaan pengadilan adat. Terkait dengan penjelasan diatas maka diperlukan Pengadilan adat yang didorong sejajar dengan Pengadilan Tingkat I yakni Peradilan Umum langsung dibawah Mahkamah Agung sehingga keputusan-keputusan perkara adat bersifat final sehingga tidak ada proses hukum berulang. Seperti kita ketahui bersama bahwa Pengadilan Umum adalah lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung yang menjalankan kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan pada umumnya. Peradilan umum meliputi:
1. Pengadilan Tinggi, berkedudukan di ibukota provinsi, dengan daerah hukum meliputi wilayah provinsi.
2. Pengadilan Negeri, berkedudukan di ibukota kabupaten/kota, dengan daerah hukum meliputi wilayah kabupaten/kota. Pengadilan khusus
133
lainnya spesialisasi, misalnya: Pengadilan Hubungan Industrial (PHI), Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Pengadilan Ekonomi, Pengadilan Pajak, Pengadilan Lalu Lintas Jalan dan Pengadilan anak.
Pengadilan Tinggi juga merupakan Pengadilan tingkat pertama dan terakhir mengenai sengketa kewenangan mengadili antar Pengadilan Negeri di daerah hukumnya. Susunan Pengadilan Tinggi dibentuk berdasarkan Undang-Undang dengan daerah hukum meliputi wilayah Provinsi. Pengadilan Tinggi terdiri atas Pimpinan (seorang Ketua PT dan seorang Wakil Ketua PT), Hakim Tinggi, Panitera, Sekretaris dan Staf.
Terkait dengan penjelasan di atas Penulis berdasarkan Pasal 18 B UUD NRI Tahun 1945 mengkontruksikan konstitusi bahwa adanya Pengadilan Adat adalah hak masyarakat hukum adat untuk memiliki lembaga atau institusi adat yang paham terkait aturan-aturan hukum adat dalam menyelesaikan
permasalahan-134
permasalahan adat di lingkungan masyarakat hukum adat, maka Pengadilan Adat harus berada sejajar dengan Peradilan Umum di bawah Mahkamah Agung layaknya Pengadilan Tinggi yang merupakan Pengadilan Tingkat I di lingkungan Peradilan Umum sehingga keputusan-keputusan dari Pengadilan Adat bersifat final sehingga tidak ada proses hukum berulang sehubungan dengan permasalahan-permasalahan adat.
Dengan demikian maka terlihat bahwa ada jaminan dan perlindungan yang dilakukan oleh Negara terkait Masyarakat Hukum Adat yang memiliki hak atas keberadaan Pengadilan Adat yang dapat menyelesaikan persoalan-persoalan adat dibawah Mahkamah Agung.
135