• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENEGAKAN SANKSI ZINA DI NAGARI ANDIANG KECAMATAN SULIKI KABUPATEN LIMA PULUH KOTA DI TINJAU DARI HUKUM PIDANA ISLAM SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENEGAKAN SANKSI ZINA DI NAGARI ANDIANG KECAMATAN SULIKI KABUPATEN LIMA PULUH KOTA DI TINJAU DARI HUKUM PIDANA ISLAM SKRIPSI"

Copied!
80
0
0

Teks penuh

(1)

1

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum (SH) pada jurusan Hukum Pidana Islam

Oleh :

SEPTI WITA

Nim: 1415010

PROGRAM STUDI HUKUM PIDANA ISLAM (JINAYAH) FAKULTAS SYARI’AH

INSTITUT AGAM ISLAM NEGERI ( IAIN )BUKITTINGGI TAHUN 2018 M / 1439 H

(2)

Skripsi ini berjudul “Penegakan Sanksi Zina di Nagari Andiang

Kecamatan Suliki, Kabupaten Lima Puluh Kota di Tinjau dari Hukum Pidana Islam”yang disusun oleh Septi Wita, NIM 1415010 Jurusan Hukum

Pidana Islam (Jinayah). Maksud dari judul skripsi ini adalah, bagaimana penegakan sanksi zina di nagari Andiang dan bagaimana pandangan Hukum Pidana Islam terhadap sanksi zina di nagari Andiang.

Latar belakang penulis melakukan penelitian adalah melihat adanya masalah kasus zina yang terjadi di nagari Andiang, dimana terjadinya kasus perzinahan ini disebabkan karena kurang tegasnya pemberian sanksi bagi pelaku zina di nagari tersebut. Padahal di nagari Andiang itu sendiri sudah ada aturan yang mengatur mengenai pelaku zina.

Penelitian ini merupakan penelitian lapangan (field research) yang difokuskan pada penelitian kualitatif. Dalam mengumpulkan data yang dibutuhkan, penulis menggunakan teknik observasi dan wawancara. Adapun yang menjadi informan dalam penelitian ini adalah wali nagari, pemuka agama, niniak mamak, dan Alim ulama yang ada di nagari Andiang.

Dari hasil penelitian diperoleh kesimpulan bahwa dalam penegakan sanksi zina di Nagari Andiang bagi pelaku zina tersebut tidak ada aturan tersendiri yang mengaturnya karena aturan bagi pelaku zina di ketegorikan ke dalam tindak Asusila. Mengenai aturan tindak Asusila tersebut, terdapat di dalam Peraturan Nagari Andiang Nomor 16 Tahun 2012 tentang Keamanan dan Ketertiban Masyarakat. Yang mana bunyi aturan tersebut terdapat dalam Pasal 3 ayat 3 yang berbunyi, setiap penduduk nagari dilarang menyelenggarakan atau melakukan segala permainan yang bersifat Judi, Minuman Keras, Asusila atau Prostitusi, Pornogrfai dan Narkoba. Dan sanksi yang diberikan berupa 10 (sepuluh) sak semen. Namun aturan ini tidak berjalan sebagaiman mestinya, karena ada perbedaan pendapat dikalangan tokoh masyarakat di Nagari Andiang itu sendiri.

Menurut hukum pidana Islam terhadap sanksi zina dinagari Andiang bukanlah termasuk ke dalam hukuman hudud, melainkan termasuak ke dalam hukuman ta’zir. Karena hukuman bagi pelaku zina di dalam hukuman hudud adalah dirajam dan di cambuk (dera). Sedangkan dalam Peraturan Nagari Andiang sanksi yang diberikan berupa 10 (sepuluh) sak semen berdasarkan kewenangan dari Nagari itu sendiri.

(3)

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Semua agama langit mengharamkan perzinaan tidak terkecuali Islam. Seks dalam pandangan islam adalah sesuatu yang suci, harus melewati jalan legal yang telah disyariatkan Allah yaitu melalui institusi perkawinan. Dengan perbuatan zina maka seks menjadi sesuatu yang kotor, menjijikan dan menimbulkan berbagai macam penyakit.

Kata zina dalam bahasa Inggris disebut “adultery“. Pada kamus Besar Bahasa Indonesia kata zina dimuat artinya sebagai berikut “Perbuatan bersenggama antara laki-laki dan perempuan yang tidak terikat oleh hubungan pernikahan ( perkawinan ), perbuatan bersenggama seorang laki-laki yang terikat perkawinan dengan seorang perempuan yang bukan istrinya atau seorang perempuan yang terikat perkawinan dengan seorang laki-laki

yang bukan suaminya”. 1

Anak-anak muda zaman sekarang seakan-akan berlomba dalam hal ini. Begitu banyak gadis-gadis yang mempertontonkan kemolekan tubuhnya secara bebas, hubungan dengan lawan jenis yang melewati batas, dan banyak lagi hal-hal yang membuat perzinahan seakan-akan menjadi sesuatu yang wajar-wajar saja. Ditambah lagi dengan lemahnya iman dan ilmu agama yang dimiliki, membuat perzinahan semakin merajalela.

1Ismu Gunadi dan Jonaedi Efendi, Cepat dan Mudah Memahami Hukum Pidana,( Jakarta

(4)

Padahal, jelas-jelas islam telah melarang kita untuk melakukan perbuatan zina. Jangankan melakukannya, mendekati saja kita sudah tidak boleh. Tentunya perintah untuk tidak mendekati dan melakukan perbuatan zina bukanlah tanpa sebab.

Perbuatan zina merupakan sebuah perbuatan yang keji, yang dapat mendatangkan kemudharatan bukan hanya kepada pelakunya, namun juga kepada orang lain. Beberapa ayat al-Quran secara tegas melarang perbuatan ini, sebagaimana firman Allah dalam QS.al-Isra’ 32 :

◆

❑⧫⬧





⧫

⧫⬧⬧

◆◆





Artinya: “Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu

adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk”. (

QS. al-Isra’ 32 )2

Allah SWT melarang para hamba Nya mendekati perbuatan zina. Yang dimaksud mendekati perbuatan zina ialah melakukan zina itu. Larangan melakukan zina diungkapkan dengan mendekati zina, tetapi termasuk pula semua tindakan yang merangsang seseorang melakukan zina itu.

Ungkapan semacam ini untuk memberikan kesan yang tandas bagi seseorang, bahwa jika mendekati perbuatan zina itu saja sudah terlarang, apa lagi melakukannya. Dengan pengungkapan seperti ini, seseorang akan dapat memahami bahwa larangan melakukan zina adalah larangan yang keras, oleh karenanya zina itu benar-benar harus dijauhi.

(5)

Semua hubungan kelamin yang menyimpang dari ajaran agama Islam dianggap zina yang dengan sendirinya mengundang hukuman yang telah digariskan,karena zina merupakan salah satu diantara perbuatan-perbuatan yang telah digariskan hukumannya. Zina harus dikenakan hukuman maksimal, mengingat akibat yang ditimbulkan sangatlah buruk, lagi mengundang kejahatan dan dosa.

Hukum zina itu ada dua macam tergantung kepada keadaan pelakunya apakah ia belum berkeluarga ( ghairu muhsan ) atau sudah berkeluarga (

muhsan ). Zina ghairu muhsan adalah zina yang dilakukan oleh seorang

laki-laki dan perempuan yang belum berkeluarga. Hukuman untuk ghairu muhsan ini ada dua yaitu di dera seratus kali dan pengasingan selama satu tahun.3 Zina muhsan adalah zina yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan yang sudah menikah ( bersuami atau beristri) Menurut jumhur fuqaha, hukuman mereka itu adalah rajam.

Masalah perzinaan termuat dalam Pasal 284 KUHP. Pasal ini adalah suatu delik aduan absolut artinya tidak dapat dituntut apabila tidak ada

pengaduan dari pihak suami atau isteri yang dirugikan (dipermalukan).4

Selama perkara itu belum diperiksa dimuka sidang pengadilan, maka pengaduan itu senantiasa dapat ditarik kembali. Mengenai aduan ini, maka Pasal 72,73 dan 75 tidak berlaku.

3Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta : Sinar Grafika 2005) , hlm. 33 4Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara

(6)

Pasal tersebut yang diancam dengan pidana hanya laki-laki dan perempuan yang berada dalam ikatan perkawinan, sedangkan untuk laki-laki dan perempuan yang tidak dalam ikatan perkawinan tidak ancam pidana.

Zina dalam perseptif islam didefenisikan oleh beberapa para ahli dan mazhab yaitu Pertama menurut Abdul Halim Hasan zina artinya seorang laki-laki memasukkan kemaluanya ke dalam kemaluan perempuan dengan tidak ada nikah dan terjadinya tidak pula dengan subhat. Kedua Mazhab Hanafi mendefenisikan zina sebagai perbuatan persetubuhan antara laki-laki dengan seorang wanita di faraj yang bukan miliknya dan tanpa keraguan memilki.

Ketiga Mashab syafi’i memberi pengertian sebagai berikut memasukkan dzakat ke dalam faraj yang diharamkan zatnya, bebas dari syubhat dengan

nafsu.

Adapun menurut ulama fikih pengertian zina adalah memasukkan zakar ke dalam faraj yang haram dengan tidak subhat. Dan menurut Ibnu Rusyd zina adalah persetubuhan yang dilakukan bukan karena nikah/semu nikah dan bukan karena pemilikan hamba sahaya.

Sedangkan menurut hamka berzina adalah segala persetubuhan di luar nikah dan juzu’ yang lain beliau mendefenisikan zina sebagai segala

persetubuhan yang tidak di syahkan dengan nikah atau tidak syah nikahnya. 5

(7)

Melihat kondisi sekarang yang dimana perbuatan zina banyak dijumpai dikalangan masyarakat, terutama bagi para remaja. Oleh karena itu, harus dilakukan upaya untuk menghentikan atau mencegah hal tersebut.

Sebagaimana yang terjadi di Nagari Andiang Kecamatan Suliki Kabupaten Lima Puluh Kota, banyaknya terjadi kasus perzinahan itu disebabkan oleh kurangnya penegakan sanksi yang tegas bagi pelaku zina di nagari Andiang. Padahal di Nagari tersebut sudah ada aturan nagari mengenai pelaku zina.

Dan penulis sudah melakukan observasi awal untuk mengetahui fakta-fakta yang terjadi di Nagari Andiang, ternyata aturan tersebut memang ada, dan sebagaimana aturan tersebut terdapat dalam Peraturan Nagari Andiang Nomor 16 Tahun 2012 yang berbunyi “setiap penduduk nagari dilarang menyelenggarakan atau melakukan segala Permainan yang bersifat Judi,

Minuman Keras, Asusila atau Prostitusi, Pornografi dan Narkoba”.6

Dan sesuai dengan Peraturan yang terdapat di dalam Peraturan Nagari Andiang ini, sanksi yang dikenakan terhadap pelaku zina yaitu “bagi masyarakat yang melakukan segala bentuk perjudian, membawa narkoba dan asusila atau prostitusi akan dikenakan sanksi dengan denda 10 (sepuluh) zak semen”. Dan setelah penulis menanyakan kepada salah satu perangkat nagari disana, bahwasanya memang ada orang-orang yang melakukan perbuatan ( zina ) diantaranya:

(8)

TAHUN TEMPAT JUMLAH

2013 Jorong Siboka 1 Pasang

2014 Jorong Padang Bungo 1 Pasang

Namun sanksi yang telah ditetapkan di Nagari Andiang tidak diterapkan sebagaimana mestinya bagi pelaku zina.

Berdasarkan uraian diatas, kurangnya penegakan sanksi zina di Nagari Andiang menarik minat penulis untuk mengkajinya dalam bentuk karya ilmiah dengan judul “Penegakan Sanksi Zina di Nagari Andiang

Kecamatan Suliki, Kabupaten Lima Puluh Kota di Tinjau dari Hukum Pidana Islam”

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah penulis paparkan diatas, maka permasalahan dalam penelitian ini penulis dapat rumuskan sebagai berikut :

1. Bagaimanakah penegakan sanksi zina di nagari Andiang?

2. Bagaimanakah pandangan Hukum Pidana Islam terhadap sanksi zina di nagari Andiang?

(9)

C. Tujuan Penulisan

Penulis bertujuan dalam penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui bagaimana penegakan sanksi zina di nagari Andiang. 2. Untuk mengetahui bagaimana pandangan Hukum Pidana Islam terhadap

sanksi zina di nagari Andiang.

D. Kegunaan Penulisan

Penulis menggunakan penelitian ini untuk :

1. Untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dalam pengetahuan ilmu hukum dalam masalah upaya penegakan sanksi zina di Nagari Andiang.

2. Untuk menambah bahan referansi bagi masyarakat luas dan mahasiswa. 3. Untuk memenuhi salah satu syarat dalam mencapai gelar Sarjan Hukum

(SH), Jurusan Hukum Pidana Islam, Fakultas Syari’ah, pada Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Bukittinggi.

E. Penjelasan Judul

Untuk menghindari kerancuan dan kesalahan dalam memahami judul ini, maka perlu kiranya penulis menjelaskan maksud kata-kata yang terdapat didalamnya:

Penegakan :Proses pemungsian norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Sanksi :Suatu ganjaran atau balasan yang diberikan kepada seorang pelaku yang melanggar suatu aturan yang

(10)

telah dibuat yang mana sanksi tersebut harus setimpal dengan kesalahan yang dibuat oleh pelaku.7

Zina :Suatu perbuatan persetubuhan yangdiharamkan.8 Hukum Pidana Islam :Ketentuan hukum syara’ yang melarang orang untuk

berbuat atau tidak berbuat sesuatu terhadap pelanggaran ketentuan tersebut dikenakan hukuman

berupa badan atau denda kepada pelanggarnya.9

Nagari Andiang :Nagari Andiang merupakan dengan luas 7.20 km2

yang terdiri dari 4 jorong, yaitu : 1) Siboka, 2) Padang Bungo, 3) Simpang Limo, 4) Kampuang Baru.

Jadi penjelasan judul secara keseluruhan adalah membahas tentang Penegakan sanksi zina di Nagari Andiang, Kecamatan Suliki, Kabupaten Lima Puluh Kota di Tinjau dari Hukum Pidana Islam.

F. Tinjauan Kepustakaan

Tinjauan pustaka adalah gambaran ringkas tentang kajian atau penelitian yang sudah pernah dilakukan diseputar masalah yang akan diteliti sehingga terlihat jelas bahwa kajian yang dilakukan tidak merupakan pengulangan atau duplikasi dari kajian atau penelitian yang telah ada. Untuk menghindari dugaan plagiasi, berikut ini penulis akan memaparkan beberapa

7Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia, ( Jakarta :

Balai Pustaka, 2007 ), hlm 213

8Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia, ...., hlm

245

(11)

penelitian terdahulu yang memiliki kemiripan dengan peneliti yang akan penulis lakukan. Ada beberapa peneliti yang akan membahas tentang Penegakan Sanksi Zina di Nagari Andiang di antaranya :

1. Karya ilmiah yang ditulis oleh Wahyuni Fauziah tahun 2014 yang berjudul “Penerapan Sanksi bagi Pelaku Zina oleh Niniak Mamak di Nagari Sungai Landia di Tinjau dari Hukum Islam”. Dalam karya ilmiah ini penulis membahas bagaimana mekasnisme dan eksistensi dari penerapan sanksi oleh niniak mamak bagi pelaku zina di Nagari Sungai Landia.

2. Karya ilmiah yang ditulis oleh Risma Fitria tahun 2006 yang menulis “Pembuktian Pelaku Zina Relevansi pada masa sekarang”. Dalam karya ilmiah ini penulis membahas pembuktian pidana zina dalam fiqh masih relevan dimasa sekarang atau tidak.

3. Karya ilmiah yang ditulis oleh Safriani Husni yang berjudul “Persepsi Masyarakat terhadap Sanksi Adat bagi Pelaku Zina di Nagari Lasi Menurut Hukum Pidana Islam”

Dari uraian diatas, fokus penelitian ini berbeda dengan yang telah dibahas sebelumnya. Perbedaanya adalah penulis membahas secara khusus tentang Penegakan sanksi zina di Nagari Andiang, Kecamatan Suliki, Kabupaten Lima Puluh Kota di Tinjau dari Hukum Pidana Islam, yaitu sesuai dengan data awal yang penulis cantumkan dilatar belakang masalah maka penulis berkeinginan untuk meneliti lebih lanjut mengenai hal tersebut.

(12)

G. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Dalam penelitian ini penulis menggunakan penelitian lapangan (

field research ) yang difokuskan pada penelitian kualitatif, yaitu sebagai

prosedur yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang atau perilaku yang diamati.10 Dalam penelitian ini penulis memaparkan suatu kejadian atau peristiwa yang mengandung masalah yang terjadi di tengah-tengah masyarakat sesuai dengan kenyataan. Untuk penelitian lapangan ini penulis mengambil lokasi di Nagari Andiang Kecamatan Suliki Kabupaten Lima Puluh Kota.

2. Informan

Informan yaitu orang yang diminta untuk memberikan informasi tentang situasi dan kondisi latar penelitian. Orang yang dijadikan informan adalah orang yang mempunyai banyak pengalaman tentang latar penelitian, ia berkewajiban secara sukarela menjadi anggota tim penelitian walaupun hanya bersifat infornal. Sebagai anggota tim dengan kebaikannya dan kesukarelaannya, ia dapat memberikan pandangan tentang nilai-nilai, sikap, dan bangun proses dan kebudayaan menjadi latar penelitian setempat.

Adapun yang menjadi informan dalam penelitian ini adalah Wali Nagari, Pemuka Agama, Niniak Mamak, Alim Ulama di Nagari Andiang.

10Lexy J. Maelong, Metodologi Penelitian Kualitatif, ( Bandung : PT. Remaja

(13)

3. Teknik Pengumpulan Data

Untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini, penulis menggunakan :

a. Observasi

Observasi adalah pengamatan dan pencatatan yang sistematis terhadap suatu gejala yang diteliti.11 Disini peneliti mengamati secara langsung ke lokasi yang menjadi objek penelitian. Dalam observasi peneliti harus lebih banyak mengandalkan pengamatan dan ingatan si peneliti.

Dalam observasi ini peneliti akan mengamati langsung tentang penegakan sanksi zina di Nagari Andiang.

b. Wawancara

Wawancara ialah suatu percakapan yang diarahkan pada suatu permasalahan, ini merupakan proses tanya jawab lisan dimana dua orang atau lebih berhadapan secara fisik. Wawancara dapat diartikan juga dengan tanya jawab secara lisan antara dua orang atau lebih secara langsung. Pada penelitian ini penulis secara terstruktur kepada Wali Nagari dan Niniak Mamak.

4. Teknik Pengumpualan Data

a. Reduksi data yaitu memilih data-data yang dibutuhkan. b. Display data yaitu memaparkan data yang telah dikumpulkan.

11Husaini Usman, Metodologi Penelitian Sosial, ( Jakarta : Bumi Aksara, 2006 ), Cet.

(14)

c. Ferifikasi data yaitu mengumpulkan data yang telah di tetapkan.12

H. Sistematika Penulisan

Untuk lebih terarahnya penulisan penelitian ini, maka penulis membuat sistematika penulisan dalam pembahasan ini terdiri dari V bab, yaitu :

BAB I, merupakan pendahuluan yang menjadi acuan penulis dalam menulis karya ilmiah ini, yang terdiri dari latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II, landasan teori yang terdiri hukum adat dan hukum pidana adat. Hukum Pidana Islam dan permasalahannya dan zina permasalahannya. Pada sub bab hukum adat yang terdiri dari pengertian hukum adat dan dasar berlakunya hukum adat dan sifat hukum adat dan pada sub bab hukum pidana adat terdiri dari pengertian hukum pidana adat, sifat dan unsur-unsur hukum pidana adat. Sementara pada sub bab hukum pidana islam terdiri dari pengertian hukum pidana islam, sumber hukum pidana islam, azaz-azaz hukum pidana islam dan pada sub bab zina dan permasalahanya yang mencakup pengertian zina, dasar hukum dilarangnya zina, macam-macam zina dan hukumnya.

BAB III, merupakan monografi nagari andiang yaitu sejarah nagari andiang, jumlah penduduk, mata pencaharian, dan sektor pendidikan dan keagamaan.

(15)

BAB IV, merupakan hasil pelitian yaitu penegakan sanksi zina di nagari Andiang, dan pandangan Hukum Pidana Islam terhadap sanksi zina di nagari Andiang.

BAB V, merupakan akhir dari pembahasan yang memuat kesimpulan dan saran.

(16)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Hukum Adat dan Hukum Pidana Adat

1. Pengertian Hukum Adat

Hukum adat merupakan terjemahan dari bahasa Belanda yaitu adat

recht, yang pertama kali dikemukakan oleh Prof. Dr, Christian Snouck

Hurgronje.13 Dalam bukunya yang berjudul De Atjehers menyebutkan

istilah hukum adat sebagai adat reacht yaitu untuk memberi nama pada suatu sistem penggendalian sosial (sosial control) yang hidup dalam masyarakat Indonesia.

Hukum adat merupakan sistem hukum yang dikenal dalam tatanan

lingkungan sosial, sehingga dapat dikatakan jika sistem sosial merupakan titik tolak dalam membahas hukum adat di Indonesia. Istilah hukum adat ini juga diperkenalkan di kalangan-kalangan banyak orang yang lazimnya mereka sebut “adat” saja. Kata “adat” berasal dari bahasa Arab yang berarti kebiasaan. Berdasarkan hal ini, dapat dilihat dari perkembangan hidup manusia yang diberi akal pikiran oleh Tuhan Yang Maha Esa dalam berperilaku. Perilaku yang secara terus menerus dilakukan perorangan menimbulkan kebiasaan pribadi. Demikian yang dikemukakan oleh Otje Salman Soemadiningrat dalam bukunya

13 Iman Sudiyat, Asas-Asas Hukum Adat Bekal Pengantar, (Yogyakrata: Liberty

(17)

Rekonseptualisasi Hukum, proses kelahiran hukum adat merupakan cikal

bakal dimulai dari kebiasaan pribadi. 14

Soekanto dalam bukunya Meninjau Hukum Adat Indonesia,

mengemukakan bahwa “kompleks adat-adat inilah yang kebanyakan tidak dikitabkan, tidak dikodifikasi (ongecodiceerd), dan bersifat paksaan (dwang), mempunyai sanksi (dari hukum itu), jadi mempunyai akibat hukum (rechtsgevolg), kompleks ini disebut hukum adat (adat recht).

Dengan demikian, hukum adat itu merupakan keseluruhan adat (yang tidak tertulis) dan hidup dalam masyarakat berupa kesusilaan,

kebiasaan dan kelaziman yang mempunyai akibat hukum. 15

Berikut dibawah ini dikemukakan beberapa pengetian Hukum adat menurut para ahli :

a. Prof. Mr. B. Terhaar Bzn

Yang dikatakan dengan hukum adat adalah keseluruhan aturan yang menjelma dari keputusan-keputusan para fungsionaris hukum dalam arti luas yang memiliki kewibawaan serta pengaruh, dan yang dalam pelaksanaannya boleh berlaku serta merta dan ditaati dengan sepenuh hati.

b. Prof. Dr. Cornellis Van Vollen Hoven

Menurut beliau hukum adat adalah himpunan peraturan tentang perilaku yang belaku bagi orang pribumi dan Timur Asing pada satu

14 A. Suriyaman Masturi Pide, Hukum Adat, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2014), hlm 1

– 2

15 Bushar Muhammad, Asas-Asas Hukum Adat, (Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 2006),

(18)

pihak mempunyai sanksi karena bersifat hukum dan pada pihak lain

berada dalam keadaan tidak dikodifikasikan karena adat. 16

c. Roelaf Van Dijk

Didalam bukunya “Pengantar Hukum Adat Indonesia” menyatakan bahwa hukum adat itu adalah istilah untuk menunjukkan hukum yang tidak dikodifikasikan di kalangan orang Indonesia dan kalangan orang Timur Asing (Cina, Arab, Pakistan, Jepang, India). 17

d. Prof. Dr. Soepomo S.H

Yang dikatakan dengan hukum adat adalah hukum tidak tertulis di dalam peraturan tidak tertulis, meliputi peraturan-peraturan hidup yang meskipun tidak ditetapkan oleh yang berwajib tetapi ditaati dan di dukung oleh rakyat berdasarkan atas keyakinan bahwasanya peraturan-peraturan tersebut mempunyai kekuatan hukum.

e. Dr. Sukanto, S.H

Didalam bukunya “Meninjau Hukum Adat Indonesia”

mengemukakan kompleks adat-adat inilah yang kebanyakan tidak dibukukan, tidak dikodifikasikan dan bersifat paksaan, mempunyai akibat hukum. Jadi hukum adat itu merupakan keseluruhan Adat (yang tidak tertulis dan hidup dalam masyarakat berupa kesusilaan, kebiasaan

dan kelaziman) yang mempunyai akibat hukum. 18

16 Erdianto Effendi, Hukum Pidana Adat, (Bandung: PT Refika Aditama, 2018), hlm 5 17 Tolib Setiady dan Riduwan, Intisari Hukum Adat Indonesia, (Bandung: Alfabeta,

2013), hlm 9

(19)

2. Dasar belakunya Hukum Adat

Setelah kita memahami isi pengertian “hukum adat”, maka penting bagi kita untuk menegtahui dasar perundang-undangan (wettelijke

grondslag) dari berlakunya hukum adat itu dalam lingkungan tata tertib

hukum positif negara kita.19

Di dalam Undang-Undang Dasar (UUD 1945), yang dinyatakan berlaku kembali dengan Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, tidak ada satu pasal pun yang memuat dasar (perundang-undangan) berlakunya hukum adat itu. Menurut pasal 11 Aturan Peralihan UUD maka “segala badan negara dan peraturan yang ada, masih langsung berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini.

Sebelum berlakunya kembali Undang-Undang ini, maka berlaku Undang-Undang Dasar Sementara tahun 1950. Dalam Undang-Undang Dasar Sementara pasal 104 ayat 1 mengatakan bahwa “segala keputusan pengadilan harus berisi alasan-alasannya dan dalam perkara hukuman menyebut aturan-aturan Undang-Undang dan aturan-aturan hukum adat

yang dijadikan dasar hukuman itu”.20

Tetapi ketentuan yang memuat dasar konstitusional berlakunya hukum adat itu sampai sekarang belum diberi peraturan atau dasar hukum penyelanggaraannya. Karena sampai sekarang, baik menurut UUD 1945, maupun menurut UUDS 1950, masih belum dibuat suatu peraturan perundang-undangan yang memuat dasar berlakunya hukum adat, maka

19 Bushar Muhammad, Asas-Asas Hukum Adat,..., hlm 33

(20)

masih tetap berlaku peraturan yang dibuat pada zaman kolonial oleh pemerintah Belanda. Dasar perundang-undangan berlakunya hukum adat yang berasal dari zaman kolonial dan yang pada zaman sekarang masih tetap berlaku adalah pasal 131 ayat 2 sub b IS.

Menurut ketentuan tersebut, maka bagi golongan hukum Indonesia asli dan golongan hukum Timur asing berlaku hukum adat mereka. Tetapi bilamana keperluan sosial mereka memerlukannya, maka pembuat

ordonansi dapat menentukan bagi mereka:21

a. Hukum Eropa

b. Hukum Eropa yang telah diubah (gewijizigd Eruropees recht)

c. Hukum bagi beberapa golongan bersama-sama (gemeenschappelijk

recht), dan apabila kepentingan umum memerlukannnya.

d. Hukum baru (nieuw recht) yaitu hukum yang merupakan “synthese” antara hukum adat dan hukum Eropa (“fantasierecht” menurut Van Vollenhoven atau “ambtenarenrecht” menurut Idsinga).

Mengenai Pasal 131 ayat 2 sub b IS ini, harus dikemukakan dua hal, pertama ketentuan tersebut adalah suatu pasal kodifikasi yaitu ketentuan tersebut memuat suatu tugas kepada pembuat undang-undang. Tetapi hal kedua, selama redaksi Pasal 131 ayat 2 sub b IS ini berlaku redaksi ini berlaku sejak tanggal 1 Januari 1920 (antara tanggal 1 Januari 1920 dan tanggal 1 Januari 1926 redaksi Pasal 131 IS berlaku sebagai

(21)

redaksi yang baru dari Pasal 75 RR 1854), maka kodifikasi yang diperintahkan kepada pembuat ordonasi itu belum terjadi.22

Pasal 131 ayat 6 IS menerangkan bahwa selama hukum perdata serta hukum dagang yang sekarang “thans” berlaku bagi golongan hukum Indonesia asli dan golongan hukum Timur asing belum diganti dengan suatu kodifikasi, seperti yang diperintahkan dalam Pasal 131 ayat 2 sub b IS, maka hukum tersebut berlaku bagi kedua golongan hukum itu.

3. Sifat Hukum Adat

Hukum adat di Indonesia memiliki sifat dan corak khas yang berbeda dari hukum-hukum lainnya. Hukum adat bersifat pragmatisme realisme yang artinya hukum adat mampu memenuhi kebutuhan masyarakat yang bersifat fungsional religius sehingga hukum adat memenuhi suatu fungsi sosial/keadilan sosial. Menurut F. D. Holleman dalam bukunya De Commune Trek in het Indonesisicheven mengatakan ada empat sifat hukum adat: 23

a. Sifat Magis Religius (Megisch-Religieus)

Hukum adat bersifat magis religius dapat diartikan bahwa hukum adat pada dasarnya berkaitan dengan persoalan magis dan spiritualisme (kepercayaan terhadap hal-hal gaib). Sifat magis religius diartikan sebagai suatu pola pikir yang didasarkan pada relegiositas, yakni keyakinan masyarakat tentang adanya suatu yang bersifat sakral.

22 Imam Sudiyat, Asas-Asas Hukum Adat Bekal Pengantar,..., hlm 24 23 A. Suriyaman Masturi Pide, Hukum Adat,..., hlm 11

(22)

Sebelum masyarakat hukum adat bersentuhan dengan hukum agama, masyarakat hukum adat membuktikan keberadaan religiusitas ini dengan cara berpikir yang prelogika, animistis dan kepercayaan kepada alam gaib yang menghuni suatu benda. Masyarakat mewujudkan religiusitas ini dalam bentuk kepercayaan kepada Tuhan, masyarakat memercayai bahwa setiap perbuatan, apa pun bentuknya, akan selalu mendapati imbalan atau hukuman dari Tuhan sesuai dengan kadar perbuatannya. Kepercayaan inilah yang berlangsung, mengkristal dalam kehidupan masyarakat modern dan dalam perundang-undangan serta lembaga-lembaga peradilan di Indonesia. 24

b. Sifat Communal (commuun)

Asas komun dalam hukum adat berarti mendahulukan kepentingan sendiri. Masyarakat hukum adat memiliki pemikiran bahwa setiap individu, anggota masyarakat merupakan bagian integral dari masyarakat secara keseluruhan. Selain itu, diyakini pula bahwa

setiap kepentingan individu sewajarnya disesuaikan dengan

kepentingan-kepentingan masyarakat kerena tidak ada individu yang terlepas dari masyarakat.

c. Sifat Concrete

Sifat concrete diartikan sebagai corak masyarakat hukum adat yang serba jelas atau nyata, menunjukkan bahwa setiap hubungan

(23)

hukum yang terjadi dalam masyarakat tidak dilakukan secara diam-diam atau samar dengan kata lain terbuka.

d. Sifat Contan

Sifat kontan atau tunai ini mengandung arti bahwa dengan suatu perbuatan nyata atau suatu perbuatan simbolis atau suatu pengucapan, tindakan hukum yang dimaksud telah selesai seketika itu juga dengan serentak bersamaan waktunya manakala ia melakukan perbuatan

menurut hukum adat. 25

4. Pengertian Hukum Pidana Adat

Istilah hukum pidana adat merupakan terjemahan dari istilah Belanda yaitu Adat Delicten Recht atau hukum pelanggaran adat. Hukum pidana adat atau hukum pelanggaran adat atau hukum adat delik adalah aturan-aturan hukum adat yang mengatur peristiwa atau perbuatan kesalahan yang berakibat terganggunya keseimbangan masyarakat sehingga perlu diselesaikan (dihukum) agar keseimbangan masyarakat tidak terganggu. 26

Hukum pidana adat merupakan hukum yang hidup (living law). Hukum pidana adat dijiwai oleh Pancasila, dijiwai oleh sifat-sifat kekeluargaan yang magis religius dima diutamakan bukanlah rasa keadilan perorangan melainkan rasa keadilan kekeluargaan sehingga cara penyelesaiannya adalah dengan penyelesaian damai yang membawa kerukunan, keselarasan dan kekeluargaan. Hukum pidana adat tidak

25 Tolib Setiady dan Riduwan, Intisari Hukum Adat Indonesia,..., hlm 40 26 Tolib Setiady dan Riduwan, Intisari Hukum Adat Indonesia,..., hlm 345

(24)

bermaksud menunjukkan hukum dan hukuman apa yang harus dijatuhkan bila terjadi pelanggaran, namun yang menjadi tujuannya adalah memulihkan kembali hukum yang pincang sebagai akibat terjadi pelanggaran.

Berikut di bawah ini dikemukakan beberapa pengertian Hukum Pidana Adat menurut para ahli:

a. Prof. Dr. Mr. Cornelis Van Vollenhoven

Yang dimaksud dengan delik adat adalah perbuatan yang tidak boleh dilakukan, walaupun dalam kenyataannya peristiwa atau perbuatan itu hanya merupakan sumbang yang kecil. Jadi yang dimaksud dengan delik adat itu adalah semua perbuatan atau kejadian yang bertentangan dengan kepatutan, kerukunan, ketertiban, keamanan, rasa keadilan, dan kesadaran hukum masyrakat bersangkutan, baik hal itu akibat perbuatan seseorang maupun perbutan penguasa adat sendiri.

27

b. Prof. Dr. Mr. Barend Ter Haar. B.Zn

Delik (pelanggaran) itu juga adalah setiap gangguan dari suatu pihak terhadap keseimbangan dimana setiap pelanggaran itu dari suatu pihak atau dari sekelompok orang berwujud atau tidak berwujud berakibat menimbulkan reaksi (yang besar kecilnya menurut ketentuan adat) suatu reaksi adat, dan dikarenakan adanya reaksi adat itu maka

(25)

keseimbangan harus dapat dipulihkan kembali (dengan pembayaran uang atau barang).

c. Prof. Bushar Muhammad, S. H

Delik adat adalah suatu perbuatan sepihak dari seseorang atau

kumpulan perseorangan mengancam atau menyimpang atau

mengganggu keseimbangan dan kehidupan persekutuan bersifat material atau immaterial terhadap orang, seorang atau terhadap masyarakat berupa kesatuan.

d. Prof. I Made Widnyana, S. H

Yang dimaksud dengan delik adat adalah hukum yang hidup (livinng law) yang diikuti dan ditaati oleh masyarakat adat secara terus menerus dari satu generasi ke generasi berikutnya. 28

5. Sifat dan Unsur-Unsur Hukum Pidana Adat 1. Unsur-unsur Hukum Pidana Adat

Apabila kita amati beberapa batasan atau pengertian mengenai hukum adat delik (hukum pidana adat) sebagaimana dipaparkan diatas, maka pada pokoknya di dalam hukum pidana adat ada 4 (empat) unsur penting yaitu:

a) Ada perbuatan yang dilakukan oleh perseorangan, kelompok atau pengurus (pimpinan/pejabat) adat sendiri.

b) Perbuatan itu bertentangan dengan norma-norma hukum adat.

(26)

c) Perbuatan itu dipandang dapat menimbulkan kegoncangan karena mengganggu keseimbangan dalam masyarakat.

d) Atas perbuatan itu timbul reaksi dari masyarakat yang berupa sanski adat.

2. Sifat Hukum Pidana Adat

1) Menyeluruh dan menyatukan

Karena dijiwai oleh sifat kosmis yang mana satu sama lain saling berhubungan. Hukum pidana adat tidak membedakan pelanggaran yang bersifat pidana dan pelanggaran yang bersifat perdata.

2) Ketentuan yang terbuka

Hal ini didasarkan atas ketidak mampuan meramal apa yang akan terjadi sehingga tidak bersifat pasti sehingga ketentuannya selalu terbuka untuk segala peristiwa atau perbuatan yang mungkin terjadi. 3) Membeda-bedakan permasalahan

Apabila terjadi peristiwa pelanggaran maka yang dilihat bukan semata-mata perbuatan dan akibatnya tetapi dilihat apa yang menjadi latar belakang dan siapa pelakunya. Dengan alam pikiran demikian maka dalam mencari penyelesaian dalam suatu peristiwa menjadi berbeda-beda.

(27)

4) Peradilan dan permintaan

Menyelesaikan pelanggaran adat sebagian besar berdasarkan adanya permintaan atau pengaduan, adanya tuntutan atau gugatan dari pihak yang dirugikan atau diperlakukan tidak adil.29

5) Tindakan reaksi atau koreksi

Tindakan reaksi ini tidak hanya dapat dikenakan pada si pelakunya tetapi dapat juga dikenakan pada kerabatnya atau keluarganya bahkan mungkin juga dibebankan kepada masyarakat yang bersangkutan untuk mengembalikan keseimbangan yang terganggu.

B. Hukum Pidana Islam

1. Pengertian Hukum Pidana Islam

Kata jinayat adalah bentuk jamak. Bentuk tunggalnya adalah

jinayah yang diambil dari kata “jana, yajnii, jinaayatan” yang artinya

mengambil, memetik, dan menimpakan. Dikatakan “janaa al-tsmara” yang artinya bila ia mengambil buah dari pohon. Dikatakan pula “janaa

‘alaa qaumihi jinaayatan” artinya ia telah melakukan tindakan kriminal

terhadap kaumnya, karena itu ia dipidana. Orang yang berbuat kriminal disebut “al-jaani”, sedangkan yang menjadi korban kejahatan dinamakan “majni ‘alaih”. 30

Pengertian jinayah menurut istilah adalah sebuah tindakan atau perbuatan seseorang yang mengancam keselamatan fisik manusia serta berpotensi menimbulkan kerugian pada harga diri dan harta kekkayaan

29 Tolib Setiady dan Riduwan, Intisari Hukum Adat Indonesia,..., hlm 347-349

30 Nuraisyah,Hukum Pidana Islam, (Bukittinggi: STAIN M.DJAMIL DJAMBEK

(28)

manusia sehingga tindakan atau perbuatan itu dianggap haram untuk dilakukan, bahkan pelakunya harus dikenai sanksi hukum di dunia dan di

akhirat sebagai hukuman Tuhan. 31

Hukum Pidana Islam merupakan terjemahan dari kata fiqh jinayah.

Fiqh jinayah adalah segala ketentuan hukum mengenai tindak pidana atau

perbuatan kriminal yang dilakukan oleh orang-orang mukallaf (orang yang dapat dibebani kewajiban), sebagai hasil dari pembahasan atas dalil-dalil hukum yang terperinci dari Alquran dan hadis. Tindakan kriminal yang dimaksud adalah tindakan-tindakan kejahatan yang mengganggu ketentraman umum serta tindakan melawan peraturan perundang-undangan yang bersumber dari Alquran dan hadis.

Hukum Pidana Islam merupakan syariat Allah yang mengandung kemaslahatan bagi kehidupan manusia baik di dunia maupun di akhirat. Syariat Islam dimaksud, secara materil mengandung kewajiban asasi bagi setiap manusia untuk melaksanakannya. Konsep kewajiban asasi syariat, yaitu menempatkan Allah sebagai pemegang segala hak, baik yang ada pada diri sendiri maupun yang ada pada orang lain. Setiap orang hanya

pelaksana yang berkewajiban memenuhi perintah Allah. 32

31 Muhammad Nurul Irfan, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: AMZAH, 2016), hlm 7 32 Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), hlm 1

(29)

2. Sumber Hukum Pidana Islam

Hukum pidana Islam merupakan bagian dari serangkaian risalah Islam.33 Ia memiliki sumber hukum utama yang sama, seperti halnya

sumber dari agama Islam. Adapun sumber-sumber hukum pidana Islam: a. Alquran

Alquran adalah kalam (firman) Allah yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW melalui perantara malaikat Jibril, yang mana setiap kaun muslim wajib mentaatinya dan menjadikannya sebagai pedoman hidup untuk mencapai kebahagian. 34

Alquran merupakan kitab dari Allah SWT yang tidak ada keraguan di dalamnya dan merupakn petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa. Allah SWT berfirman dalam surat Al-baqarah ayat 2:

⬧

⧫



◆



➔

☺



Artinya: “Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk

bagi mereka yang bertaqwa”. (QS. Al-baqarah 2)

Oleh karena itu hukum-hukum Alquran ini bertujuan untuk kepentingan dunia akhirat, maka inilah yang mendorong umat-Nya untuk mentaati hukum-hukum tersebut dalam kondisi bagaimanapun. Ketaatan mengamalkan aturan-aturan hukum tersebut merupakan salah satu macam ibadah dan akan mendapatkan pahala nanti di akhirat.

33 Asadulloh Al Faruk, Hukum Pidana dalam Sitem Hukum Islam, (: Ghalia Indonesia,

2009), hlm 12

(30)

Sebaliknya melanggar aturan hukum yang ada akan mendapatkan ganjaran dan dosa nantinya di akhirat sekalipun di dunia ia lepas dari jeratan hukum. 35

b. Al-Sunnah

Sunnah merupakan sumber kedua (setelah Alquran) dari sumber hukum Islam. Sunnah menjadi sumber hukum Islam berdasarkan firman Allah SWT QS. An-Nisa ayat 59:

⧫

⧫

❑⧫◆

❑➔



❑➔◆

⧫❑▪

◆





⬧

⧫◆⬧





◼⬧

◼



❑▪◆





⧫❑⬧➔



❑◆◆



⬧



◆

⬧



Artinya:” Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan

taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”. (QS. An-Nisa’ 59)36

Dalam kedudukannya sebagai sumber hukum, ada beberapa aspek hukum dari Al-Sunnah:

35Nuraisyah,Hukum Pidana Islam,..., hlm 15-16

(31)

1) Sunnah mendukung atau menegaskan suatu ketentuan Alquran. Dalam hal ini ketentuannya merujuk kepada Alquran dan Al-Sunnah sekaligus. Seperti larangan melakukan zina yang ditegaskan oleh firman Allah dalam surat An-Nur ayat 2.

2) Sunnah menjelaskan ketentuan yang tidak ditemukan ketentuannya di dalam Alquran, dalam bentuk penjelasan, lafzhi, tafshili, khasar ataupun dalam bentuk ziyadah. Pada umumnya penjelasan ini ditetapkan Rasulullah karena firman Allah yang diturunkan dalam bentuk global itu belum dapat di pahami untuk diterapkan sehingga memerlukan penjelasan atau penafsiran. Seperti ketentuan Alquran tentang kewarisan.

3) Sunnah memberikan ketentuan yang tidak ditemukan ketetuannya di dalam Alquran. Seperti larangan Rasulullah tentang beberapa jenis makanan.

c. Ijmak

Ijmak merupakan salah satu bentuk ijtihad dari para mujtahid untuk menemukan hukum yang terdapat dalam Alquran dan Al-Sunnah. Ijtihad bukan berdasarkan kekuasaan yang abstrak, melainkan ia bersumber dari tidak adanya ketentuan yang tegas dari Alquran dan Al-Sunnah. Ia merupakan persepakatan seluruh para fuqaha’ terhadap suatu masalah dengan ketentuan-ketentuan tertentu.

Dari defenisi ini dapat dipahami bahwa ijmak itu merupakan ijtihad para mujtahid. Artinya yang terlibat dalam proses ijmak itu

(32)

adalah umat islam yang telah sampai pada derajat mujtahid, maka dengan sendirinya orang awam tidak diperhitungkan dalam proses penetapan ijmak tersebut. Ijmak itu dilakukan setelah wafatnya Rasulullah hal ini mengandung pengertian bahwa pada masa Rasulullah masih hidup tidak perlu adanya ijmak, karena dalam menghadapi persoalan bisa langsung ke bertanya kepada Rasul.

d. Qiyas

Alquran sebagai kitab suci umat Islam mengandung pokok-pokok

aturan Islam. Aturan pokok itu dijelaskan dan dijabarkan oleh Sunnah Rasul melalui perkataan, perbuatan dan persetujuan. Setelah Nabi wafa, berbagai persoalan baru muncul yang senantiasa membutuhkan jawaban dan solusinya. Salah satu metode untuk mengistimbatkan hukum yang dilakukan oleh para fuqaha’ adalah qiyas.

Qiyas adalah suatu usaha mencari titik dari dua permasalahan, dimana salah satunya telah ditegaskan hukumnya secara tuntas oleh

nash dan yang satunya lagi merupakan masalah baru yang belum ada

ketentuan hukumnya dalam nash.

Kebutuhan pemakaian qiyas dalam menetapkan hukum

dilatarbelakangi oleh kenyataan dalam penerapan hukum. Setiap perbuatan manusia tidak terlepas dari norma hukum yang berpedoman kepada hukum syara’. Dimana hukum syara’ itu bersumber pada

(33)

memberikan juzu’ tertentu secara zhahir pada tindak tanduk perbuatan manusia. 37

Konsepsi qiyas terletak pada asumsi bahwa aturan yang ditetapakn

melalui nash dapat direntangkan pada perbuatan manusia yang tidak ditetapkan secara zhahir ketentuannya dalam nash, karena adanya persamaan hukum. Dalam kenyataannya metode berfikir qiyas dipergunakan oleh mayoritas ulama dalam menetapkan hukum.

Hanya saja dalam menentukan pidana dan hukumnya ulama

berbeda pendapat untuk menjadi qiyas sebagai sumber hukum, ada yang memakainya dan ada pula yang tidak.38

3. Asas-asas Hukum Pidana Islam

Layaknya hukum pidana dalam sisten hukum manapun, hukum pidana Islam juga memiliki asas-asas dasar. Asas legalitas, asas tidak berlaku surut, asas paraduga tak bersalah dan pertanggung jawaban pidananya merupakan pertanggung jawaban pribadi.

Asas legalitas kejahatan dan hukuman dalam pidana Islam sudah tercantum secara qath’i di dalam nash. Dia menjadi suatu ajaran yang wajib diyakini oleh pemeluknya. Dalam arti aturan pidana Islam itu berlaku dengan sendirinya berdasarkan keyakinan dan keimanan sekalipun tanpa legislasi dari pemerintah. Pentingnya legislasi dari pemerintah dala menjalankan aturan pidana Islam adalah ketika telah terjadi pelanggaran terhadap aturan pidana tersebut yang melahirkan tindak pidana.

37 Nuraisyah,Hukum Pidana Islam,..., hlm 27 38 Nuraisyah,Hukum Pidana Islam,..., hlm 26-28

(34)

Yang berwenang menjalankan hukuman pidana itu adalah aparat pemerintah yang sudah terlatih untuk itu. Bukan individu yang menjadi korban dari kejahatan, karena hal seperti ini bisa menimbulkan hukum rimba, siapa yang berani tentu bisa mendapatkan haknya dan yang lemah akan tertindaslah hak-haknya.

Asas hukum pidana Islam telah dikenal sejak sistem hukum Islam diberlakukan. Diantara asas-asas hukum pidana Islam adalah sebagai berikut:

a. Asas legalitas

Asas legalitas adalah asas yang menyatakan bahwa tidak ada pelanggaran dan tidak ada hukuman sebelum ada Undang-Undang yang mengaturnya. Asas ini merupakan jaminan bagi kebebasan seseorang dalam melakukan aktivitasnya dengan memberikan batas-batas apa yang dilarang secara jelas, sehingga dia tahu mana perbuatan yang tidak boleh dan mana pula perbuatan yang boleh.

Orang yang tidak mengetahui adanya perintah atau larangan, tentu tidak akan bisa bertindak sesuai dengan perintah dan larangan tersebut. Ini berarti, tidak ada sesuatu tindak pidana tanpa ada aturan yang telah diundangkan terlebih dahulu. Bagi yang melanggar aturan tersebut baru bisa dihukum, apabila aturan hukumnya sudah ditentukan di dalam

Undang-Undang. Asas ini bersumber pada surat Al-Isra’ ayat 15:39



⧫

☺⬧

⧫◆

◆

⧫◆

(35)



☺⬧

⧫

◼⧫

◆

⬧

◆◆

◆

⧫

⧫◆



⧫✓➔



➔⧫

❑◆



Artinya: “Barang siapa yang berbuat sesuai dengan hidayah (Allah),

Maka Sesungguhnya Dia berbuat itu untuk (keselamatan) dirinya sendiri; dan Barangsiapa yang sesat Maka Sesungguhnya Dia tersesat bagi (kerugian) dirinya sendiri. dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain, dan Kami tidak akan meng'azab sebelum Kami mengutus seorang rasul”. (QS. Al-Isra’ ayat 15)

Ayat di atas menunjukkan bahwa hukum pidana Islam telah mengenal asas legalitas. Hukum pidana Islam telah mempraktikan bahwa tidak ada kejahatan tanpa pemberitahuan yang jelas, dan tidak ada pidana tanpa aturan sebelumnya.

Asas legalitas dalam hukum pidana Indonesia tercantum dalam pasal 1 ayat (1) yang berbunyi: “tiada suatu perbuatan dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan yang telah ada sebelumnya”.40

b. Asas tidak berlaku surut

Asas ini menetapkan bahwa aturan itu berlaku hanya bagi perbuatan-perbuatan yang dilakukan setelah aturan itu diundangkan. Hal ini berarti, untuk materi dan sanksi pidana hudud, qishash, diyat yang ketentuannya sudah secara qath’i di dalam nash, tidak mejadi persoalan lagi.

(36)

Akan tetapi kaidah ini berlaku pada peraturan-peraturan yang terkait dengan pidana takzir dimana ketentuan hukum materil dan sanksi pidananya diserahkan sepenuhnya pada kebijaksanaan penguasa. Karena itu apabila ada suatu kebijaksanaan baru dalam pemerintahan untuk menetapkan suatu perbuatan, maka peraturan itu hanya berlaku bagi perbuatan pidana yang dilakukan setelah peraturan itu diundangkan.

Ketentuan kaidah ini bersumber pada nash-nash yang menjelaskan tentang adanya suatu perbuatan yang dilarang hanya berlaku untuk masa sekarang dan yang akan datang. Apabila perbuatan yang terlarang itu sudah terlanjur dilakukan sebelumnya, maka pelakunya tidak dihukum berdasarkan aturan yang baru. Sebagai contoh tentang

larangan mengawini dua wanita bersaudara pada saat bersamaan.41

c. Asas praduga tak bersalah

Menurut asas ini, semua perbuatan boleh dilakukan kecuali ada ketentuan yang menunjukkan adanya larangan. Asas praduga tak bersalah ini merupakan salah satu perlindungan bagi tersangka atau terdakwa, ketika tidak dapat dibuktikan bahwa dia bersalah.

Akibat dari kaidah ini, nampak bahwa untuk menghilangkan keraguan (syubhat) dalam masalah pidana membutuhkan pembuktian yang dapat meyakinkan hakim dalam menjatuhkan putusan.

(37)

d. Pertanggung jawaban pidananya merupakan pertanggung jawaban pribadi

Ketentuan ini tergambar dari firman Allah surat Al-An’am ayat 164 berikut:

◆

⬧

→

▪⧫



◼⧫

◆

⬧

◆◆

◆

⧫

Artinya:"...dan tidaklah seorang membuat dosa melainkan

kemudharatannya kembali kepada dirinya sendiri; dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain...” (QS. Al-An’am ayat 164)

Ayat ini menjelaskan bahwa pertanggung jawaban pidana adalah pertanggung jawaban individu, karena kesalahan seseorang tidak dapat dipikulkan kepada orang lain42.

C. Zina dan Permasalahannya

1. Pengertian zina

Zina secara harfiah berarti fahisyah, yaitu perbuatan keji. Zina dalam pengertian istilah adalah hubungan kelamin antara seorang lelaki dengan seorang perempuan yang satu sama lain tidak terikat dalam hubungan perkawinan. Para fuqaha (ahli hukum Islam) mengartikan zina yaitu melakukan hubungan seksual dalam arti memasukkan zakar (kelamin pria) ke dalam vagina wanita yang dinyatakan haram, bukan karena syubhat dan atas dasar syahwat. 43

42 Nuraisyah,Hukum Pidana Islam,..., hlm 108 43 Zainuddin,Ali, Hukum Pidana Islam,..., hlm 37

(38)

Pengertian zina dalam hukum pidana tidak seperti apa yang dikemukakan dalam sistem hukum yang lain. Sistem hukum Barat menyebut zina sebagai perbuatan berhubungan antara laki-laki dan perempuan layaknya suami istri, di mana salah satu atau kedua-duanya sudah menikah. Pengertian tersebut terlalu sempit, sehingga dua orang lawan jenis yang berhubungan badan sementara keduanya belum menikah tidak disebut sebagai zina.

Menurut sistem hukum Islam, zina adalah tindakan melakukan hubungan seksual yang diharamkan di kemaluan atau di dubur oleh dua orang (atau lebih) yang bukan suami istri. Zina dalam pengertian tersebut tidak terbatas pada orang yang sudah menikah saja, tetapi berlaku bagi siapa saja yang berhubungan badan sementara mereka bukan suami istri, baik sudah menikah atau belum. Siapapun yang terbukti secara meyakinkan telah melakukan perzinaan, maka ia terkana had zina. Hanya saja, ada perbedaan hukuman yang dijatuhkan terhadap orang yang telah atau pernah menikah dengan orang yang belum pernah menikah.

Islam mengharamkan segala bentuk perzinaan dan mengharamkan setiap perbuatan yang mendekati zina. Abu Bakr Jabir Al-Jazairi menjelaskan di antara hikmah diharamkannya zina adalah sebagi berikut: a. Untuk menjaga kesucian masyarakat Islam.

(39)

c. Mempertahankan kemulian mereka, menjaga kemudian nasb mereka, dan menjaga jiwa mereka.

Selain itu, diharamkan zina merupakan risalah yang sangat baik dan sesuai dengan kebutuhan di masa sekarang. Ketika hubungan antara lawan jenis sudah tidak lagi mengindahkan aturan-aturan agama dan norma-norma lainnya, maka yang terjadi adalah munculnya berbagai fenomena yang menyedihkan yang akan menghanacurkan landasan keluarga yang sangat mendasar akan mengakibatkan terjadinya banyak perselisihan dan pembunuhan. 44

2. Dasar hukum di larangnya zina

Terdapat beberapa ayat Alquran yang menagharamkan jarimah zina ini, diantaranya sebagai berikut:

a. Qs. Al-Isra’ ayat 32

◆

❑⧫⬧





⧫

⧫⬧⬧

◆◆





Artinya: “dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu

adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk”.

b. Qs.Al-Furqan ayat 68

⧫◆



❑⧫

⧫



⬧

⧫◆

◆

⧫❑➔⧫

▪



⧫▪



44 Abdur Rahman, Tindak Pidana dalam Syariat Islam, (Jakarta: PT RINEKA CIPTA,

(40)



⬧

◆

❑⧫

⧫◆

➔⧫

⬧

⧫⧫





Artinya: “dan orang-orang yang tidak menyembah Tuhan yang lain

beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina, barang siapa yang melakukan yang demikian itu, niscaya Dia mendapat (pembalasan) dosa(nya)”.

3. Macam-macam zina dan hukumannya

Dalam hukum pidana Islam zina ada dua jenis jarimah zina, yaitu

zina muhsan dan ghairu muhsan.45 Zina muhsan ialah zina yang pelakunya

berstatus suami, istri, duda, atau janda. Artinya pelaku adalah orang yang masih dalam status pernikahan atau pernah menikah secara sah. Adapun zina ghairu muhsan ialah zina yang pelakunya masih berstatus pejaka atau gadis. Artinya pelaku belum pernah menikah secara sah dan tidak sedang berada dalam ikatan pernikahan.

Terhadap kedua jenis jarimah zina di atas, syariat Islam memberlakukan dua sanksi yang berlainan. Sanksi bagi pelaku zina

muhsan adalah hukuman rajam, yaitu pelaku dilempari batu hingga

meninggal. 46Adapun sanksi bagi pelaku zina ghairu muhsan adalah

dicambuk sebanyak seratus kali. 1. Eksistensi Sanksi Rajam

Sanksi rajam bagi pelaku zina muhsan tidak secara eksplisit disebutkan di dalam Alquran, tetapi eksistensinya ditetapkan melalui

45 Asep Saepudin Jahar, dkk, Hukum Keluarga, Pidana dan Bisnis, (Jakarta: Kencana

Prenadamedia group, 2013), hlm 181

(41)

ucapan dan perbuatan Rasulullah. Di dalam sebuah riwayat dijelaskan bahwa beliau melaksnakan sanksi rajam terhadap Maiz bin Malik dan Al-Ghamidiyah. Sanksi ini juga diakui oleh ijma’ sahabat dan tablin, serta pernah dilakukan pada zaman Khulafa Al-Rasyidin.

Adapun hadis yang menyebutkan tentang eksistensi sanksi rajam di antaranya sebagi berikut:

َر َِبَْنِم َلَع ٌسِل اَج َوُه َو ِب اهطَْلْ ا ُنْب ُرَمُع َلاَق ُلْوُقَ ي ٍس اهبَع َنْب ِهللَّا َدْبَع

َسَو ِهْيَلَع ُهللَّا هلَص ِهللَّا ِلْوُس

َو ِهْيَلَع ُهللَّا هلَص اًدههَحُه َثَعَ ب ْدَق َهللَّا هنإ َمهل

َمهلَس

اَه اَنْ يَعَوَو اَه َنَْأَرَ ق ِمْجهرلَا ُةَي آ ِهْيَلَع َلِزْنُأ اهِمِ َناَكَف َباَتِكْلا ِهْيَلَع َلَزْ نَأَو هقَْلِْبِ

َع ُهللَّا هلَص ِهللَّا ُلْوُسَر َمَجَرَ ف اَه اَنْلَقَعَو

َلاَط ْنِإ ىَشْخَأَف ُهَدْعَ ب اَنَْجََرَو هلَسَو ِهْيَل

َنََز ْنَم ىَلَع ٌّقَح ِهللَّا ِب اَتِك ِفِ َمْج هرلا ُدَِنَ اَم ٌلِئ اَق َلْوُقَ ي ْنَأ ٌناَمَز ِساهنلِبِ

هرلا ْنِم َنَصْحَأ اَزِإ

ِءاَسهنلاَو ِل اَج

اَذِإ

اَِتِْعِلاَا ْوَأ ُلَبَْلَْا َن اَك ْوَأ ُةَنه يَ بْلَا ْتَم اَق

ُف

Abdullah bin Abbas meriwayatkan bahwa Umar bin Al-Khathathab berada diatas mimbar Rasulullah (dan berpidato), “sesungguhnya Allah mengutus Muhammad dengan membawa kebenaran dan menurunkan Alquran. Di antara ayat yang diturunkan itu ada ayat tentag rajam. Kami membacanya, mempelajarinya dan memahaminya; lalu beliau melaksanakan hukuman rajam dan kami juga melaksanakannya. Aku takut jika telah berlalu masa yang panjang, ada orang yang berkata, kami tidak menemukan rajam di dalam Kitabullah, lalu mereka meninggalkan kewajiban yang diturunkan Allah. Sesungguhnya hukuman rajam itu benar di dalam Kitabullah dan diberlakukan kepada pelaku yang telah beristri atau bersuami laki-laki dan perempuan; apabila telah ada bukti yang kuat, terjadi kehamilan atau pelaku mengaku”. (HR. Muslim)47

(42)

Berdasarkan hadis diatas, ulama sepakat bahwa walaupun di dalam Alquran tidak disebutkan tentang rajam, hukuman ini tetap diakui eksistensinya.

Meskipun demikian, Ibnu Rusyd mengatakan ada kelompok yang menolak hukuman rajam. Ia menyebut kelompok ini sebagai firqah min

ahl al-ahwa’. Menurut mereka, hukuman bagi pelaku jarimah zina

apapun jenisnya adalah cambuk. Al-Shabuni mengatakan bahwa kelompok Khawarij berkeyakinan kalau hukuman rajam tidak termasuk syari’at Islam. Mereka mempunyai tiga alasan yang menurutnya sangat lemah, lebih lemah daripada sarang laba-laba:48

a. Hukuman rajam terlalu sadis. Jika memang disyari’atkan oleh Islam, pasti disebutkan di dalam Alquran. Namun, semua orang mengetahui bahwa tidak ada satu ayat pun di dalam Alquran yang menyebutkan tentang rajam.

b. Zina yang dilakukan oleh hamba sahaya dikenai setangah dari hukuman orang merdeka. Kalau yang dibagi dua ini berkenaan dengan jumlah seratus kali cambuk tidak ada masalah. Akan tetapi, jika kaitanya dengan hukuman rajam yang dilempari batu hingga meninggal, maka tidak dapat dibagi dua. Tidak mungkin ada hukuman setengah mati. Dengan demikian, jenis hukuman ini tidak sah diberlakukan bagi hamba sahaya.

(43)

c. Karena hukuman bagi pelaku zina itu bersifat umum, maka pengkhususan hukuman bagi pezina muhsan menyalahi Alquran.

Ketiga argumnetasi kaum Khawarij diatas dibantah oleh Ahlusunnah. Mereka berpendapat sebagai berikut:

1) Tidak sebutkannya hukuman rajam di dalam Alquran bukan berarti tidak disyari’atkan. Banyak ketetntuan yang tidak disebutkan di dalam Alquran, tetapi diuraikan secara jelas di dalam hadis. Jangan lupa, Allah menyuruh kita untuk selalu mengikuti Rasulullah dan melaksanakan semua perintahnya. Allah berfirman:

⧫◆

⬧◆

❑▪

◼⬧

⧫◆

⧫

⧫

❑⧫⬧



Artinya: ”apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah.

dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanla”. (QS. Al-Hasyr ayat 7)

2) Firman Allah yang berbunyi:

⬧⬧



⬧

✓⬧

⧫⬧

◼➔⬧



⧫

◼⧫

⬧☺



➔



Artinya:“Dan apabila mereka telah menjaga diri dengan kawin,

kemudian mereka melakukan perbuatan yang keji (zina), Maka atas mereka separo hukuman dari hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuami”. (QS. Al-Nisa’ ayat 25). 49

Ayat tersebut bukan merupakan alasan tidak disyari’atkannya

hukuman rajam, sebab yang dimaksud kata

(44)

➔

di atas adalah mengenai hukuman

cambuk.Yang dapat diketahui jumlah setengahnya sebagai hukuman bagi hamba sahaya yang berzina. Adapun mengenai rajam, Allah pasti sudah mengetahui hukuman itu tidak mungkin dibagi dua, sehingga hamba sahaya yang berzina harus dirajam sampai setengah mati. Jadi, ayat ini tidak ada kaitannya dengan rajam, tetapi berkenaan dengan hukuman cambuk.

3) Pendapat kaum Khawarij tentang pengkhususan hukuman rajam dari

ayat tentang zina yang dinilai bertentangan dengan Alquran merupakan kebodohan yang luar biasa.

Dari penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa hukuman rajam bagi pezina muhsan tetap berlaku walaupun tidak disebutkan di dalam Alquran. Meskipun demikian, ketentuannya sudah ditetapkan secara detail di dalam hadis yang shahih. Kita pun sama-sama mengetahui kalau hadis adalah sumber hukum Islam kedua setelah Alquran.

2. Sanksi cambuk dan pengasingan

Berbeda dengan rajam yang tidak secara tegas disebutkan di dalam Alquran, sanksi cambuk bagi pelaku jarimah zina ghairu muhsan secara eksplisit ditegaskan di dalam firman Allah sebagi berikut:

➔◆

◆

→⬧



◼◆

☺

⬧⬧

⧫



Artinya: “perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka

deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera”. (QS. Al-Nur ayat 2)

(45)

Ayat diatas tidak hanya menyebutkan jumlah cambukkan, tetapi juga larangan untuk berbalas kasih kepada pelaku. Selain itu, proses eksekusi hendaknya disaksikan oleh kaum muslimin agar menimbulkan efek jera dan dapat dijadikan pelajaran berharga. 50

Adapun hadis yang menjelaskan sanksi pengasingan sebagai pelengkapan dari sanksi cambuk adalah sebagai berikut:

َأ ُههنَأ َمهلَس َو ِهْيَلَع ُهللَّا هلَص ِهللَّا ِلوُسَر ْنَع ُهْنَع ُالله َيِض َر ٍدِلاَخ ِنْب ِدْيَز ْنَع

ْنَصُْيُ َْلَ َو َنَ َز ْنَمَيِف َرَم

ٍم َاع ِبِي ِرْغَ ت َو ٍةَئ اِم ِدْلَِبِ

Dari Zaid bin Khalid Al-Juhani, ia meriwayatkan, “aku mendengar Rasulullah memerintahkan agar orang yang berzina gahiru muhsan dicambuk seratus kali dan diasingkan selama satu tahun”. (HR. Al-Bukhari) 51

Selain itu hadis lain yang menerangkan sanksi pengasingan sebagai berikut:

اوُذُخ :َمهلَسَو ِهْيَلَع ُهللَّا ىهلَص ِهللَّا ُلْوُسَر َلاَق :َلاَق ِتِماهصل ا ِنْب َداَبُع ْنَع

،ٍةَنَس ُيْفَ نَو ٍةَئ اِم ُدْلَج ِرْكِبْلِبِ ُرْكِبْلا ،ًلاْيِبَس هنَُلَ ُهللَّا َلَعَج ْدَق ، هنََّع اوُذُخ هنََّع

َئاِم ُدْلَج ِبهيهشلِبِ ُبهيهشلاَو

.ٌمِلْسُم ُهاَوَر .ُمْجهرلاَو ٍة

Dari Ubadah bin Ash-Shamit, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Ambillah hukum dariku”, Ambillah hukum dariku, Allah telah membuat jalan (aturan) untuk mereka (para pezina), bujangan berzina dengan gadis hukumannya 100 cambukan dan diasingkan setahun, duda berzina dengan janda hukumannya 100 cambukan dan rajam. (HR. Muslim).52

50 M. Nurul Irfan, dan Mayrfah, Fiqh Jinayah, ..., hlm 32-33 51 M. Nurul Irfan, dan Mayrofah, Fiqh Jinayah, ..., hlm 33

52 Muhammad bin Ismail Al-Amir Ash-Shan’ani, Subulus Salam Jilid 3, (Jakarta: Darus

(46)

Dari hadis tersebut dapat diketahui bahwa sanksi bagi pelaku jarimah zina ghairu muhsan adalah dicambuk seratus kali dan diasingkan. Adapun mengenai waktu pelaksanaanya, ulama berbeda apakah sanksi cambuk dan pengasingan selama satu tahun diberlakukan beriringan atau tidak: 53

a. Mazhab Maliki

Mazhab ini berpendapat bahwa seorang pejaka merdeka yang melakukan jarimah zina harus dikenai sanksi pengasingan setelah dicambuk seratus kali. Pengasingan harus dilakukan selam satu tahun di tempat yang jauh dari tanah air. Hal ini dimaksud sebagi celaan bagi pelaku dan menjauhkannya dari tempat berlangsungnya perzinaan.

Adapun bagi gadis yang telah melakukan jarimah zina, sanksi pengasingan tidak berlaku. Sebab, kalau gadis dihukum dengan pengasingan dikhawatirkan akan mengakibatkan munculnya fitnah. Disamping itu, syari’at Islam juga melarang perempuan untuk

berpergian sendirian tanpa mahram. 54

b. Mazhab Syafi’i dan Hanbali

Kedua mazhab ini berpendapat bahwa pelaku zina ghairu

muhsan yang kedua-duanya berstatus merdeka dan dewasa,

diberlakukan sanksi cambuk seratus kali dan diasingkan ke tempat

53 M. Nurul Irfan, dan Mayrfah, Fiqh Jinayah, ..., hlm 34

(47)

yang jauh. Selanjutnya, kedua mazhab ini memberlakukan sanksi pengasingan baik terhadap pejaka maupun gadis. Namun, bagi si gadis harus disertai mahram yang akan menemani dan mnegurusinya di tempat pengasingan.

c. Mazhab Hanafi

Ia berpendapat bahwa hukuman bagi pelaku zina ghairu muhsan yang berupa cambuk seratus kali dan pengasingan tidak dapat dicampuradukkan. Sebab hukuman pengasingan sama sekali tidak disebutkan dalam Surat Al-Nur ayat 2. Mazhab ini bertumpu pada pandangan Imam Abu Hanifah yang berpendapat bahwa pengasingan termasuk ta’zir dan erat kaitanya dengan konsep kemaslahatan. Abu Hanifah secara tegas mengatakan bahwa cukuplah pengasingan itu sebagai fitnah. Artinya, fitnah hendaklah

dihindari dengan cara meninggalkan hukuman pengasingan. 55

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa berdasarkan konsensus jumhur ulama pelaku zina ghairu muhsan harus dikenai sanksi berupa hukuman cambuk seratus kali dan hukuman pengasingan selama satu tahun. Hanya saja untuk jenis hukuman pengasingan para mazhab berbeda pendapat.

Menurut fiqh jinayah, zina terdiri dari dua macam yaitu zina

muhsan yang sanksinya rajam dan zina ghairu muhsan yang

(48)

sanksinya berupa hukuman dera, jilid atau dicambuk sebanyak seratus kali bagi masing-masing pelaku dan sanksi pengasingan.

Sementara dalam KUHP, kategori zina muhsan dan ghairu

muhsan tidak dikenal. Dalam Pasal 284, zina hanyalah zina yang

pelakunya terkait akad nikah, yaitu kasus perselingkuhan yang terjadi dalam rumah tangga dan termasuk dalam delik aduan, sehingga disamping KUHP tidak mengenal istilah ghairu muhsan, di dalamnya juga mengandung pengertian bahwa selama para pelaku suami istri yang tetap merasa aman dengan delik perzinaan yang dilakukan pasangannya mak pelaku tidak dapat dituntut karena tidak

diadukan oleh pihak yang merasa diurgikan. 56

BAB III

MONOGRAFI NAGARI ANDIANG

A. Sejarah Nagari Andiang

Menurut buku Nan Taserak Seputar Tambo dan perjuangan Rakyat Limo Puluah Koto karangan Hikmat Israr dari Gonjong Limo Banduang, bisa ditarik suatu kesimpulan bahwa jauh sebelum kedatangan Niniak Nan Limo Puluah dari Pagaruyuang Tanah Datar tiba di Luhak Limo Puluah Koto sudah terdapat penduduk yang menghuninya, yang mana penghuninya berasal dari

Nan Tuo (Dt. Maharajo Indo/ Majo Indo) yang memiliki wilayah Koto

Gambar

Tabel II
Tabel III
Tabel IV
Tabel VI
+2

Referensi

Dokumen terkait

Setalah dilakukan penelitian berdasarkan penilaian risiko bawah laut akibat survey seismic (Perbandingan metode matematis dengan permodelan Geoteknik), maka penulis

Pentingnya ketepatan waktu penyampaian laporan keuangan supaya dapat menimbulkan reaksi bagi para pelaku pasar modal dipengaruhi oleh profitabilitas (Baridwan, 2004:5),

a) Penggilingan padi dan lantai jemur. Penyediaan sarana dan prasarana produksi pertanian meliputi penyediaan benih dan/atau bibit, alat dan mesin pertanian, pupuk

Padi organik varietas mentik susu dibudidayakan petani di Kecamatan Candipuro dengan harapan untuk meningkatkan kualitas beras dan peningkatan pendapatan usahatani

Namun dalam usaha pelesetariannya, sanggar Rengkak Katineung mendapat banyak cobaan sehingga menurutnya untuk melakukan pelestarian budaya kesenian ini

Dari uraian di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa Media Masa Harian Pagi Riau Pos memiliki program dan alat-alat yang baik dan canggih dalam mendukung

Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) Penerapan pembelajaran metode bermain peran dapat meningkatkan aktivitas dan kreativitas siswa dalam proses pembelajaran; (2)

Perihal : Pengesahan Hasil Pelaksanaan Ulang 1 Ujian Tulis Nasional (UTN) Peserta Pendidikan Dan Latihan Profesi Guru (PLPG) Sertifikasi Guru Dalam Jabatan Kuota 2016 Sub Rayon