• Tidak ada hasil yang ditemukan

III. METODE PENELITIAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "III. METODE PENELITIAN"

Copied!
39
0
0

Teks penuh

(1)

III. METODE PENELITIAN

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di wilayah Kalimantan Barat yang berbatasan dengan Malaysia Timur dengan mengambil contoh di dua kabupaten yaitu Kabupaten Kapuas Hulu dan Kabupaten Sanggau. Penelitian ini dilaksanakan selama satu tahun yang dimulai pada bulan Februari 2005 sampai dengan bulan Januari 2006.

3.2. Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui survei lapangan, wawancara, dan kuesioner terhadap masyarakat di wilayah perbatasan dan stakeholders dalam pengelolaan sumberdaya hutan untuk menentukan faktor-faktor strategis dalam pengelolaan sumberdaya hutan di wilayah perbatasan Kalimantan Barat secara berkelanjutan. Data sekunder di peroleh melalui studi pustaka dan laopran/dokumen dari berbagai instansi yang terkait dengan topik penelitian Secara rinci jenis dan sumber data yang diperlukan dalam penelitian dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Jenis dan sumber data yang diperlukan dalam penelitian.

Jenis Data Sumber Data

I. Data Primer:

1. Analisis kebutuhan stakeholders 2. Identifikasi faktor strategis (Propektif) 3. Perbandingan antar faktor (Prospektif) II. Data Sekunder:

1. Kondisi kependudukan 2. Kondisi sosial ekonomi

3. Peta kondisi hutan wilayah perbatasan 4. Peta kondisi hutan Kalimantan Barat 5. Topografi

6. Luas areal hutan

7. PDRB sektor kehutanan

8. Kalimanatan Barat dalam angka 9. Struktur kelembagaan.

10. Peraturan Perundang-undangan 11. Penebangan liar (illegal logging)

12. Tingkat kerusakan hutan akiba t penebangan liar

13. Perubahan TGK dan jumlah kayu bulat 14. Harga pasar kayu bulat

15. Jumlah HPH dan PSDH 16. Tenaga kerja

17. Adat-istiadat (budaya masayarkat) 18. Tingkat keanekaragaman hayati 19. Pangsa pasar kayu bulat 20. Industri pengolahan kayu bulat 21. Kelompok adat

22. SDM bidang ke hutanan 23. PAD dari sektor kehutanan

24. Batas wilayah dan dokumen kerjasama

Responden (Stakeholders) Responden (Expert/Pakar) Responden (masyarakat)

• BPS Kalimanatan Barat.

• Bappeda Kalimantan Barat.

• Dinas Kehutanan.

• Dep.artemen Kehutanan

• BPSdan BPN.

• Dispenda Kalmantan Barat

• Sekretariat Pemprov. Kalbar. • BPKH Wil.III Kalbar • Kepolisian Kalbar. • Dinas Kehutanan Kabupaten/Kota

• Dinas Perindustrian dan

Perdagangan

• Dinas Tenaga Kerja

• Dinas Pendidikan, Tokoh

Adat

• Pengusaha IPK

• LSM Kehutanan

• Badan Musyawarah Adat

• Petugas perbatasan

(2)

3.3. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dilakukan dengan cara sebagai berikut: 1. Studi pustaka tentang kondisi sumberdaya hutan di wilayah perbatasan

Kalimantan Barat yang berhubungan dengan aspek ekologi, ekonomi, sosial budaya, teknologi, hukum dan kelembagaan. Data yang di peroleh digolongkan sebagai data sekunder.

2. Stakeholders meeting dilaksanakan untuk mengetahui kelemahan/hambatan yang dihadapi dalam pengelolaan sumberdaya hutan di wilayah perbatasan. 3. Melakukan Focus Group Discussion dari masing-masing kelompok

pemangku kepentingan (stakeholder) untuk mengidentifikasi faktor strategis dalam pengelolaan sumberdaya hutan di wilayah perbatasan.

4. Survei lapangan untuk mengumpulkan data primer dengan teknik wawancara dan penyebaran kuesioner kepada responden

5. Pengumpulan data dengan kuesioner akan dilakukan untuk mendapatkan informasi langsung dari semua pihak. Responden dalam penelitian ini terdiri dari aparat pemerintahan termasuk di dalamnya TNI/POLRI, para pelaku usaha di sektor kehutanan, kelompok masyarakat seperti LSM, Perguruan Tinggi, dan masyarakat adat. Keterwakilan dari setiap unsur merupakan masukan yang akan diolah menjadi sumber informasi.

.

3.4. Metode Analisis Data

Tahapan proses analisis data adalah sebaga i berikut:

3.4.1. Analisis Keberlanjutan Pengelolaan Sumberdaya Hutan

Analisis keberlanjutan pengelolaan sumberdaya hutan dilakukan dengan pendekatan “Rap -INSUSFORMA” melalui beberapa tahapan, yaitu: 1) tahap penentuan atribut pengelolaan sumberdaya hutan secara berkelanjutan untuk masing-masing dimensi (ekologi, ekonomi, sosial budaya, teknologi, hukum dan kelembagaan), 2) tahap penilaian setiap atribut dalam skala ordinal berdasarkan kriteria keberlanjutan untuk setiap faktor dan analisis ordinasi yang berbasis metode “multidimensional scaling” (MDS), dan 3) tahap penyusunan indeks dan status keberlanjutan pengelolaan sumberdaya hutan di wilayah perbatasan Provinsi Kalimantan Barat. Untuk setiap atribut pada masing -masing dimensi diberikan skor yang mencerminkan kondisi keberlanjutan dari dimensi yang dikaji. Rentang skor ditentukan berdasarkan kriteria yang dapat ditemukan dari hasil pengamatan lapangan dan analisis data sekunder. Rentang skor berkisar antara 0 – 3, tergantung pada keadaan masing-masing atribut, yang diartikan

(3)

mulai dari buruk sampai baik. Nilai buruk mencerminkan kondisi paling tidak menguntungkan bagi pengelolaan sumberdaya hutan secara berkelanjutan. Sebaliknya nilai baik mencerminkan kondisi paling menguntungkan.

Tabel 4 menyajikan atribut-atribut dan skor yang akan digunakan untuk menilai keberlanjutan pengelolaan sumberdaya hutan di kawasan perbatasan Kalimantan Barat. Atribut-atribut tersebut diperoleh dari studi pustaka CIFOR dan LEI menyangkut sustainable forest management (SFM), dan para peneliti terdahulu serta berdasarkan pengamatan lapangan sesuai dengan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan

Tabel 4. Atribut-atribut dan skor keberlanjutan pengelolaan sumberdaya hutan

Dimensi dan Atribut Skor Baik Buruk Keterangan Dimensi Ekologi

Ketersediaan zonasi untuk berbagai pengelolaan hutan

0; 1; 2 2 0 (0) tidak tersedia; (1) tersedia tapi belum dipatuhi secara baik; (2) tersedia dan dipatuhi Upaya perlindungan

terhadap tempat-tempat yang rentan ekologis

0; 1; 2 2 0 (0) tidak dilakukan; (1) dilakukan tapi belum secara masksimal; (2) dilakukan secara maksimal. Tingkat kekayaan/keragaman biota

0; 1; 2 2 0 (0) sangat minim; (1) cukup beragam;(2) sangat beragam. Upaya perlindungan

terhadap biota langka

0; 1,2,3 3 0 (0) tidak dilakukan; (1) dilakukan sebatas yang didukung dana

internasional;(2)dilakukan sebatas biota yang memiliki nilai ekonomi;(3) dilakukan terhadap semua biota langka Frekuensi kejadian

kebakaran hutan

0; 1; 2 0 2 (0) tidak pernah; (1) terjadi pada saat musim kemarau panjang; (2) setiap tahun sekali pada musim kemarau. Waktu suksesi hutan 0; 1; 2 2 0 (0) lambat; (1) sedang;

(2) cepat Program reboisasi

hutan

0; 1; 2; 3 3 0 (0) tidak ada; (1) ada sedikit; (2) sedang; (3) banyak Kegiatan ladang

berpindah

0; 1; 2: 3 0 3 (0) tidak ada; (1) ada sedikit; (2) sedang; (3) banyak Diameter tebangan 0; 1; 2 2 0 (0) kecil;(1) sedang; (2) besar Frekuensi kejadian

banjir

0; 1; 2 0 2 (0) tidak pernah terjadi; (1) jarang terjadi; (2) sering Dimensi Ekonomi Tingkat pengembalian dana reboisasi 0; 1; 2 2 0 (0) rendah; (1) sedang; (2) tinggi Kontribusi sektor kehutanan terhadap PDRB Kalimantan Barat 0; 1; 2 2 0 (0) rendah; (1) sedang; (2) tinggi

(4)

Jenis produk hutan yang dipasarkan

0; 1; 2; 3 3 0 (0) bahan mentah; (1) bahan setengah jadi; (2) bahan jadi; (3) produk dengan nilai ekonomi tinggi.

Pasar produk 0; 1; 2 2 0 (0) lokal; (1) nasional; (2) internasional Tingkat ketergantungan konsumen terhadap hasil hutan. 0; 1; 2 0 2 (0) tinggi; (1) seda ng; (2) rendah

Harga komoditi hutan yang dipasarkan.

0; 1; 2 2 0 (0) Rendah; (1) sedang; (2) tinggi

Kelayakan usaha industri kehutanan

0; 1; 2; 3 3 0 Mengacu pada analisis usaha: (0) rugi; (1) kembali modal (2) kuntungan marjinal; (3) untung besar Tingkat pendapatan masyarakat di sekitar hutan 0; 1; 2 2 0 (0) rendah; (1) sedang; (2) tinggi Pemanfaatan

sumberdaya hutan non kayu

0; 1; 2 2 0 (0) rendah; (1) sedang; (2) tinggi

Dimensi Sosial Budaya Akses masyarakat lokal terhadap sumberdaya hutan

0; 1; 2; 3 3 0 (0) tidak punya sama sekali ; (1) rendah; (2) sedang; (3) tinggi Tingkat penyerapan tenaga kerja 0; 1; 2 2 0 (0) rendah; (1) sedang; (2) tinggi Pemahaman, kepedulaian, dan tanggung jawab masayarakat terhadap sumberdaya hutan 0; 1; 2 2 0 (0) rendah; (1) sedang; (2) tinggi

Pola hubungan para stakeholder dalam pemanfaatan sumberdaya hutan 0; 1 1 0 (0) tidak saling menguntungkan; (1) saling menguntungkan Tingkat pendidikan masayarakat di sekitar hutan

0; 1; 2 2 0 (0) dibawah rata -rata nasional; (1) sama dengan rata-rata nasional; (2) di atas rata-rata nasional.

Jarak pemukiman dengan kawasan hutan

0; 1; 2 2 0 (0) dekat ; (1) sedang; (2) jauh

Peran masyarakat adat dalam pengelolaan hutan

0;1;2 2 0 (0) rendah; (1) sed ang; (2) tinggi

Pemberdayaan masyarakat di sekitar hutan

0;1;2;3 3 0 (0) tidak ada; (1) ada, tidak berjalan; (2) kurang optimal; (3) berjalan optimal Dimensi Teknologi Tingkat efisiensi industri pengolahan hasil hutan 0; 1; 2 2 0 (0) rendah; (1) sedan g; (2) tinggi Ketersedaiaan teknologi pengolahan hasil hutan. 0; 1; 2 2 0 (0) teknologi sederhana; (1) teknologi sedang; (2) teknologi tinggi

(5)

Ketersediaan teknologi informasi

0; 1; 2; 3 3 0 (0) sangat minim ; (1) cukup tersedia; (2) tersedia memadai; (3) tersedia dengan teknologi tinggi Ketersediaan basis

data (data bases) sumberdaya hutan

0; 1 1 0 (0) tidak tersedia; (1) tersedia

Ketersediaan teknologi mitigasi bencana kebakaran hutan

0; 1 1 0 (0) tidak tersedia; (1) tersedia

Dimensi Teknologi Standarisasi mutu produk hasil hutan

0; 1; 2 2 0 (0) belum diterapkan; (1) diterapkan hanya untuk produk tertentu saja ; (2) diterapkan pada semua produk

Penerapan sertifikasi produk hasil hutan (ekolabel)

0; 1; 2; 2 0 (0) belum diterapkan; (1) diterapkan hanya untuk produk tertentu saja; (2) diterapkan pada semua produk

Pengolahan limbah kayu bekas tebangan

0; 1; 2 2 0 (0) rendah; (1) sedang; (2) tinggi

Hukum dan Kelembagaan Perjanjian kerjasama

dengan negara tetangga Malaysia

0; 1;2 2 0 (0) tidak ada; (1) ada tapi belum secara secara khsusus membahas sumberdaya hutan;

(2) ada secara khusus. Mekanisme kerjasama

lintas sektor dan antar daerah dalam pengelolaan sumberdaya hutan

0; 1 1 0 (0) tidak ada; (1) ada

Frekuensi konflik 0; 1; 2 0 2 (0) tidak pernah ada ; (1) jarang terjadi ; (2) sering terjadi

Intensitas pelanggaran hukum (penebangan liar)

0; 1; 2 0 2 (0) tidak pernah ada ; (1) jarang terjadi ; (2) sering terjadi

Ketersedian peraturan perundang-undangan tentang pengelolaan sumberdaya hutan

0; 1; 2;3 3 0 (0) tidak ada ; (1) ada sedikit ; (2) cukup banyak; (3) banyak

Ketersediaan hukum adat/agama

0; 1; 2 2 0 (0) tidak ada ; (1) cukup tersedia ; (2) sangat lengkap Keberadaan aparat

penegak hukum di lokasi

0; 1; 2 2 0 (0) tidak ada ; (1) cukup tersedia ; (2) sangat lengkap Konsistensi penegakan

hukum

0; 1; 2;3 3 0 (0) tidak konsisten ; (1) cukup konsisten ; (2) konsisten ; (3) sangat konsisten

Sinkronisasi kebijakan pusat dan daerah

0; 1; 2 2 0 (0) tidak sinkron; (1) kurang sinkron; (2) sinkron.

(6)

Selanjutnya, nilai skor dari masing -masing atribut dianalisis secara multi dimensional untuk menentukan posisi keberlanjutan pengelolaan sumberdaya hutan yang dikaji relatif terhadap dua titik acuan yaitu titik “baik” (“good”) dan titik “buruk” (“bad”). Untuk memudahkan visualisasi posisi ini digunakan analisis ordinasi.

Proses ordinasi Rap-INSUSFORMA ini menggunakan perangkat lunak modifikasi Rapfish (Kavanagh, 2001). Proses Algoritma Rap-INSUSFORMA juga pada dasarnya mengikuti proses algoritma Rapfish seperti terlihat pada lampiran 1.

Dalam implemementasinya, Rapfish menggunakan teknik yang disebut Multi Dimensional Scaling atau MDS. Objek atau titik yang diamati dipetakan ke dalam ruang dua atau tiga dimensi, sehingga objek atau titik tersebut diupayakan sedekat mungkin terhadap titik asal. Dengan kata lain, dua titik atau objek yang sama dipetakan dalam satu titik yang saling berdekatan satu sama lain. Sebaliknya objek atau titik yang tidak sama digambarkan dengan titik titik yang berjauhan (Fauzi dan Anna, 2005). Teknik ordinasi (penentuan jarak) di dalam MDS didasarkan pada Euclidian Distance yang dalam ruang yang berdimensi n dapat ditulis sebagai berikut :

(

2 2 2

)

1 2 1 2 1 2 ...

d = xx + yy + −z z + (1)

Konfigurasi atau ordinasi dari suatu objek atau titik di dalam MDS

kemudian diaproksimasi dengan meregresikan jarak Euclidian (

d

ij ) dari titik ike

titik

j

dengan titik asal (

d

ij) dituliskan dalam persamaan berikut:

ij ij

d = a + bd + e (2)

Umumnya terdapat tiga teknik yang digunakan untuk meregresikan persamaan di atas yakni metode least square (KRYST), metoda least squared bergantian yang didasarkan pada akar dari Euclidian distance (squared distance) atau disebut metoda ALSCAL, dan metode yang didasarkan pada Maximum Likelihood . Dari ketiga metode tersebut, Algoritma ALSCAL merupakan metode

(7)

yang paling sesuai untuk Rapfish dan mudah tersedia pada hampir setiap software statistika (SPSS dan SAS). (Alder et.al 2000). Metode ALSCAL

mengoptimisasi jarak kuadrat (squared distance=

d

ijk) terhadap data kuadrat (titik

asal=

o

ijk), yang dalam tiga dimensi ( , , )i j k ditulis dalam formula yang disebut

S-Stress sebagai berikut :

(

2 2

)

2 4 1 1 , ijk ijk m i j k ijk i j d o S m = o    =      

∑∑

∑∑

(3)

Jarak kuadrat merupakan jarak Euclidian yang dibobot, atau ditulis :

(

)

2 2 1 r ijk ka ia ja a d w x x = =

− (4)

Salah satu keunggulan MDS terhadap pendekatan lainnya seperti Multi Atribut Utility Techique (MAUT) atau cluster analisis adalah kemampuan memetakan untuk jarak euclidian dalam ruang spasial. Selain itu, dimensi kordinat dalam MDS bersifat kontinyu sementara dalam cluster analisis bersifat diskrit. Alder et al (2000) juga menyatakan kestabilan ordinasi bila menggunakan pendekatan MDS.

Perangkat lunak Rapfish merupakan pengembangan MDS yang terdapat di dalam perangkat lunak SPSS, untuk proses rotasi, kebalikan posisi (fliping), dan beberapa analisis sensitivitas yang telah dipadukan menjadi satu perangkat lunak. Melalui MDS ini, posisi titik keberlanjutan tersebut dapat divisualisasikan dalam dua dimensi (sumbu horizontal dan vertikal). Untuk memproyeksikan titik-titik tersebut pada garis mendatar dilakukan proses rotasi, dengan titik ekstrem “buruk” yang diberi nilai skor 0% dan titik ekstrem yang “baik” diberi nilai skor 100%. Posisi status keberlanjutan sistem yang dikaji akan berada di antara dua titik ekstrem tersebut. Nilai ini merupakan nilai indeks keberlanjutan pengelolaan sumberdaya hutan di wilayah perbatasan Kalimantan Barat pada saat ini. Ilustrasi hasil ordinasi yang menunjukkan nilai indeks keberlanjutan pengelolaan sumberdaya hutan sebesar 60 % dapat dilihat pada Gambar 2

(8)

Gambar 2. Ilustrasi indeks keberlanjutan pengelolaan sumberdaya hutan sebesar 60 persen.

Analisis ordinasi ini dapat digunakan hanya untuk satu faktor saja dengan memasukkan semua atribut dari dimensi yang dimaksud. Hasil analisis akan mencerminkan status keberlanjutan dimensi yang dimaksud. Jika analisis setiap dimensi telah dilakukan, maka analisis perbandingan keberlanjutan antar dimensi dapat dilakukan dan divisualisasikan dalam bentuk diagram layang-layang (kite diagram) seperti disajikan pada Gambar 3.

Error!

Skala indeks keberlanjutan pengelolaan sumberdaya hutan mempunyai rentang 0% - 100%. Jika sistem yang dikaji mempunyai nilai indeks lebih dari 50%, maka sistem tersebut di kategorikan sustainable, dan sebaliknya jika nilainya kurang dari 50%, maka sistem tersebut digolongkan belum sustainable. Dalam penelitian ini disusun empat kategori status keberlanjutan berdasarkan skala dasar (0 - 100) sebagaimana disajikan pada Tabel 5.

0%

60%

100%

Gambar 3 Ilustrasi indeks keberlanjutan setiap d imensi pengelolaan sumberdaya hutan di wilayah perbatasan Kalimantan

Barat 0 20 40 60 80 100 Ekologi Ekonomi Sosial budaya Teknologi Hukum dan Kelembagaan

(9)

Tabel 5. Kategori status keberlanjutan pengelolaan sumberdaya hutan berdasarkan nilai indeks hasil analisis Rap-INSUSFORMA.

Nilai Indeks Kategori

0 – 25,99 Buruk

26,00– 49,99 Kurang

50 – 74,99 Cukup

75 – 100,00 Baik

Analisis sensitivitas dilakukan dengan tu juan untuk mengidentifikasi atribut yang sensitif dalam memberikan kontribusi terhadap INSUSFORMA di lokasi penelitian. Pengaruh dari setiap atribut dilihat dalam bentuk perubahan “root mean square ” (RMS) ordinasi, khususnya pada sumbu–x atau skala sustainabilitas. Semakin besar nilai perubahan RMS akibat hilangnya suatu atribut tertentu, maka semakin besar pula peranan atribut tersebut dalam pembentukan nilai INSUSFORMA pada skala sustainabilitas, atau dengan kata lain semakin sensitif atribut tersebut dalam keberlanjutan pengelolaan sumberdaya hutan di lokasi penelitian.

Untuk mengevaluasi pengaruh galat (error) acak pada proses pendugaan nilai ordinasi pengelolaan sumberdaya hutan digunakan analisis “Monte Carlo”. Menurut Kavanagh (2001), analisis “Montecarlo” juga berguna untuk mempelajari hal-hal berikut ini.

1. Pengaruh kesalahan pembuatan skor atribut yang disebabkan oleh pemahaman kondisi lokasi penelitian yang belum sempurna atau kesalahan pemahaman terhadap atribut atau cara pembuatan skor atribut;

2. Pengaruh variasi pemberian skor akibat perbedaan opini atau penilaian oleh peneliti yang berbeda;

3. Stabilitas proses analisis MDS yang berulang-ulang (iterasi);

4. Kesalahan pemasukan data atau adanya data yang hilang (missing data); 5. Tingginya nilai ”stress” hasil analisis Rap-INSUSFORMA ( nilai “stress”dapat

diterima jika < 25%).

Secara lengkap, tahapan analisis Rap- INSUSFORMA menggunakan metode MDS dengan aplikasi modifikasi Rapfish disajikan pada Gambar 4.

(10)

Analisis data dengan menggunakan Rap-Insusforma menyangkut aspek keberlanjutan dari Ekologi, Ekonomi, Sosial, Teknologi, Hukum dan Kelembagaan. Secara umum metode analisis Rap-Insusforma akan dimulai dengan mereview atribut-atribute dan mendefinisikan sumberdaya hutan yang akan dianalisis diwilayah perbatasan kalimantan Barat melalui study literatur serta pengamatan di lapangan. Tahap selanjutnya adalah pemberian skor yang didasarkan pada ketentuan yang sudah ditetapkan dalam Rap-Insusforma. Setelah didapatkan hasil scoring maka setiap atribute dianalisis dengan menggunakan Multidimensional Scaling (MDS) guna menentukan posisi relatif dari sumberdaya hutan terhadap ordinasi good dan bad. Dalam MDS, obyek atau titik yang diamati dipetakan kedalam ruang dua atau tiga dimensi, sehingga obyek atau titik tersebut diupayakan ada sedekat mungkin terhadap titik asal. Dengan kata lain, dua titik atau obyek yang sama dipetakan dalam satu titik yang saling berdekatan satu sama lainnya. Sebaliknya obyek atau titik yang tidak sama digambarkan dengan titik-titik yang berjauhan.

Pada setiap pengukuran, jarak titik pendugaan dengan titik asal menjadi penting. Goodness of fit dalam MDS, dimaksudkan untuk mengukur seberapa tepat (How well) konfigurasi dari suatu titik dapat mencerminkan data aslinya. Goodness of fit dicerminkan dari besaran nilai S-stress yang dihitung berdasarkan nilai S di atas. Nilai stress yang rendah menunjukan good fit, sementara nilai S yang tinggi menunjukan hal sebaliknya. Dalam

Rap-Kondisi pengelolaan sumberdaya hutan saat ini

Mulai

Penentuan Atribut sebagai Kriteria Penilaian

MDS (ordi nasi setiap atribut)

Penilaian (skor) setiap atribut

Analisis Monte Carlo Analisis Sensitivitas

Analisis Keberlanjutan

Gambar 4. Tahapan analisis Rap- INSUSFORMA menggunakan MDS dengan aplikasi Modifikasi Rapfish.

(11)

Insusforma, model yang baik ditunjukkan dengan nilai stress yang lebih kecil dari 0,25 (S <0,25)

Langkah selanjutnya menganalisis nilai stres dengan menggunakan ALSCAL Alogaritme. Dari hasil ordinasi dengan MDS dan nilai stress melalui alogaritme ALSCAL dilakukan “rotasi” untuk menentukan posisi sumberdaya hutan pada ordinasi bad dan good. Langkah selanjutnya adalah menganalisis menggunakan Monte carlo untuk menentukan aspek ketidakpastian dan analisis Leverage untuk menentukan aspek anomali dari atribute yang dianalisis.

3.4.2. Pemodelan Siste m

Pemodelan sistem dilakukan melalui pendekatan sistem. Pada dasarnya pendekatan sistem adalah suatu pendekatan analisis organisatoris yang menggunakan ciri-ciri sistem sebagai titik tolak analisis. Dengan demikian manajemen sistem dapat diterapkan dengan mengarahkan perhatian pada berbagai ciri dasar sistem yang perubahan dan gerakannya akan mempengaruhi keberhasilan suatu sistem (Marimin, 2004). Definisi dari kata sistem itu sendiri adalah kumpulan elemen-elemen yang saling terkait dan terorganisasi dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Menurut Eriyatno (1998), karena pemikiran sistem selalu mencari keterpaduan antarbagian melalui pemahaman yang utuh, maka diperlukan suatu kerangka fikir baru yang terkenal sebagai pendekatan sistem ( system

approach). Pendekatan sistem merupakan cara penyelesaian persoalan yang dimulai

dengan dilakukannya identifikasi terhadap adanya sejumlah kebutuhan – kebutuhan sehingga dapat menghasilkan suatu operasi dari sistem yang dianggap efektif.

Tahapan dalam pendekatan sistem meliputi : (1) Analisis kebutuhan antar pelaku, (2) Formulasi permasalahan, (3) Identifikasi sistem, (4) permodelan sistem, (5) Verifikasi dan Validasi model serta (5) Implementasi model. Analisis kebutuhan merupakan permulaan pengkajian dari suatu sistem. Dalam tahap ini dicari secara selektif apa saja yang dibutuhkan dari masing-masing pelaku yang terlibat dalam sistem. Formulasi permasalahan merupakan tahapan untuk merumuskan permasalahan yang dihadapi berdasarkan kebutuhan-kebutuhan yang telah diidentifikasi dari masing-masing pelaku tersebut. Identifikasi sistem merupakan suatu rantai hubungan antara pernyataan dari kebutuhan-kebutuhan dengan pernyataan khusus dari masalah yang harus dipecahkan untuk mencukupi kebutuhan tersebut. Pemodelan sistem adalah tahapan menemukan hubungan antara masukan dan luaran sistem yang akan diverifikasi dan divalidasi pada tahap selanjutnya. Pada tahap akhir dilakukan rencana implementasi model. Tahapan pendekatan sistem dapat dilihat pada Gambar 5.

(12)

Tahapan dalam membangun model sistem pengelolaan sumberdaya hutan berkelanjutan di wilayah perbatasan Kalimantan Barat adalah sebagai berikut:

a. Analisis kebutuhan

Berdasarkan survey di lapangan, dapat diidentifikasi bahwa stakeholders yang terlibat dalam sistem pengelolaan sumberdaya hutan berkelanjutan di wilayah perbatasan Kalimantan Barat adalah pemerintah yang mewakili kepentingan publik melalui dinas kehutanan Provinsi dan dinas kehutanan di 5 kabupaten yang termasuk dalam wilayah perbatasan, pengusaha industri pengolahan hasil hutan, lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang peduli

T d k T d k Ya Ya T d k T d k Ya Ya T d k Ya

Gambar 2. Tahapan Pendekatan Sistem Mulai

Absah ? Identifikasi Sistem - diagram lingkar sebab akibat - diagram input - output

Pemodelan Sistem

Verifikasi dan validasi model Absah? A b s a h ? A b s a h ? Absah? Analisis Kebutuhan Formulasi permasalahan selesai A A

mulai

Analisis Kebutuhan

absah

Formulasi Permasalahan

absah

Identifikasi Sistem

absah

absah

absah

Pemodelan sistem

Verifikasi dan validasi

selesai

T d k T d k Ya Ya T d k T d k Ya Ya T d k Ya

Gambar 2. Tahapan Pendekatan Sistem Mulai

Absah ? Identifikasi Sistem - diagram lingkar sebab akibat - diagram input - output

Pemodelan Sistem

Verifikasi dan validasi model Absah? A b s a h ? A b s a h ? Absah? Analisis Kebutuhan Formulasi permasalahan selesai A A

mulai

Analisis Kebutuhan

absah

Formulasi Permasalahan

absah

Identifikasi Sistem

absah

absah

absah

Pemodelan sistem

Verifikasi dan validasi

selesai

T d k T d k Ya Ya T d k T d k Ya Ya T d k Ya

Gambar 2. Tahapan Pendekatan Sistem Mulai

Absah ? Identifikasi Sistem - diagram lingkar sebab akibat - diagram input - output

Pemodelan Sistem

Verifikasi dan validasi model Absah? A b s a h ? A b s a h ? Absah? Analisis Kebutuhan Formulasi permasalahan selesai A A

mulai

Analisis Kebutuhan

absah

Formulasi Permasalahan

absah

Identifikasi Sistem

absah

absah

absah

Pemodelan sistem

Verifikasi dan validasi

selesai

T d k T d k Ya Ya T d k T d k Ya Ya T d k Ya

Gambar 2. Tahapan Pendekatan Sistem Mulai

Absah ? Identifikasi Sistem - diagram lingkar sebab akibat - diagram input - output

Pemodelan Sistem

Verifikasi dan validasi model Absah? A b s a h ? A b s a h ? Absah? Analisis Kebutuhan Formulasi permasalahan selesai A A

mulai

Analisis Kebutuhan

absah

Formulasi Permasalahan

absah

Identifikasi Sistem

absah

absah

absah

Pemodelan sistem

Verifikasi dan validasi

selesai

(13)

dengan pelestarian sumberdaya hutan, masyarakat di sekitar hutan yang menggantungkan sumber penghasilannya pada sumberdaya hutan, Perguruan Tinggi, Badan Persiapan Pengelolaan Kawasan Perbatasan (BP2KP) dan petugas di wilayah perbatasan dengan Malaysia. Analisa kebutuhan stakeholders dalam sistem pengelolaan pengelolaan sumberdaya hutan berkelanjutan dapat dilihat pada pada Tabel 6.

Tabel 6 . Analisa kebutuhan stakeholders dalam sistem pengelolaan sumberdaya hutan berkelanjutan di wilayah perbatasan Kalimantan Barat

No. Pelaku Sistem Kebutuhan Pelaku Sistem 1. Pemerintah Provinsi

dan Kabupaten serta dinas intsansi teknis

• Peningkatan pendapatan masyara kat

• Terjaganya kelestarian lingkungan

• Peningkatan devisa negara dan pendapatan asli daerah (PAD)

• Penyerapan tenaga kerja

• Peningkatan dinamika ekonomi daerah

• Terbinanya hubungan yang harmonis dengan negara tetangga.

2. Industri pengolahan

hasil hutan

• Terjamin pasokan bahan baku industri

• Harga produk yang layak

• Keberlanjutan usaha 3. Lembaga Swadaya

Masyarakat (LSM)

• Terjaganya kelestarian sumberdaya hutan

• Terjaminnya hak-hak masyarakat di sekitar hutan

• Penyediaan lapangan kerja. 4 Masyarakat di sekit ar

kawasan hutan

• Tersedianya SDH sebagai sumber pendapatan dan mata pencaharian masyarakat.

• Pengembangan budaya

5 Perguruan tinggi • Sebagai bahan kajian akademis

6. Institusi BP2KP • Mempersiapkan pengelolaan kawasan perbatasan secara komprehensif dan holistik.

7. Petugas di wilayah perbatasan

• Konsistensi penegakan peraturan yang berlaku di bidang kehutanan.

b. Formulasi masalah

Seringkali terjadi konflik kepentingan dari kebutuhan para stakeholder. Sebagai contoh, pemerintah yang mewakili kepentingan publik mempunyai kepentingan untuk melestarikan sumberdaya alam dan lingkungan perlu harus membuat kebijakan yang efektif dan merealisasikannya, sedangkan pengusaha industri pengolahan hasil hutan membutuhkan pasokan bahan baku untuk

(14)

kebutuhan industri sesuai dengan kapasitas mesin yang terpasang sementara daya dukung hutan sudah tidak mencukupi, ditambah lagi masyarakat di sekitar hutan memerlukan lapangan pekerjaan dan memperoleh penghasilan dari kegiatan pemanfaatan sumberdaya hutan dan sebagainya. Konflik kepentingan pada para stakeholder dan keterbatasan sumberdaya yang tersedia untuk memenuhi kebutuhan tersebut menimbulkan masalah dalam sistem. Berdasarkan uraian tersebut permasalahan dalam sistem pengelolaan sumberdaya hutan adalah sebagai berikut:

• Keterbatasan bahan baku terutama kayu untuk memenuhi kebutuhan industri

pengolahan sesuai dengan kapasitas mesin yang terpasang.

• Keterbatasan sarana dan prasarana, kualitas sumberdaya manusia, dan

modal dalam sistem pengelolaan sumberdaya hutan.

• Belum adanya hubungan saling membutuhkan dan mekanisme kerjasama

antara pihak industri pengolahan hasil hutan dengan masyarakat di sekitar hutan.

• Lemahnya tanggung jawab dan kepedulian para stakeholder untuk menjaga

kelestarian lingkungan.

• Peraturan perunda ng-undangan bidang kehutanan dan lingkungan hidup

yang tidak operasional dan penegakan hukum yang tidak konsisten. c. Identifikasi sistem

Identifikasi sistem merupakan suatu rantai hubungan antara pernyataan dari kebutuhan -kebutuhan dengan pernyatan khusus dari masalah yang harus dipecahkan untuk mencukupi kebutuhan tersebut.

Identifikasi sistem dilakukan dengan menghubungkan antara pernyataan-pernyataan maslah dengan kebutuhan-kebutuhan aktor yang terlibat dalam sistem. Identifikasi sistem bertujuan untuk mencari pemecahan terbaik dari permasalahan yang dihadapi. Selanjutnya hasil identifikasi sistem digambarkan dalam sebuah diagram input output. Diagram input output model pengelolaan sumberdaya hutan berkelanjutan digambarkan dalam diagram pada Gambar 6.

(15)

Output dikehendaki merupakan pemecahan dari pemenuhan kebutuhan spesifik yang diperoleh pada tahap analisis kebutuhan. Output tak dikehendaki adalah hasil samping yang dapat timbul bersamaan dengan output yang dikehendaki.

d. Pembuatan model

Model pengelolaan sumberdaya hutan berkelanjutan dibangun berdasarkan hasil identifikasi sistem yang akan diintegrasikan dengan hasil INSUSFORMA.

• Peningkatan devisa negara dan PAD • Kelestarian sumberdaya hutan • Penyerapan tenaga kerja • Peningkatan dinamika ekonomi daerah • Terbinanya hubungan yang harmonis dengan negara tetangga • Bencana alam (banjir, kekeringan, kebakaran hutan) • Penurunan kualitas lingkungan • Terjadi konflik OUTPUT TIDAK DIINGINKAN MODEL PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN berkelanjutan UMPAN BALIK INPUT LINGKUNGAN • Kondisi lahan • Daya dukung lingkungan. • Tingkat keanekaragama -an hayati • Kondisi iklim dan cuaca INPUT TIDAK TERKONTROL • Teknologi • Saranan dan prasarana, SDM, dan Modal. • Kerjasama lintas sektor. • SML Perusahaan • Kuantitas dan kualitas produk • Kapasitas produksi industri • Kegiatan reboisasi INPUT TERKONTROL OUTPUT DIINGINKAN • UU No. 23/1997 • Peraturan perundang-undangn di bidang kehutanan

(16)

e. Simulasi Model

Simulasi model digunakan untuk melihat pola kecenderungan perilaku model berdasarkan hasil simulasi model akan dianalisis dan ditelusuri faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya pola dan kecenderungan tersebut. Tahap berikutnya perlu dijelaskan bagaimana mekanisme kejadian tersebut berdasarkan analisis struktur model. Hasil simulasi model dijadikan dasar untuk merumuskan kebijakan yang diperlukan dalam perbaikan kinerja sistem.

f. Verifikasi dan Validasi Model

Suatu model dikatakan valid jika struktur dasarnya dapat menggambarkan perilaku yang polanya dapat menggambarkan perilaku sistem nyata, atau dapat mewakili dengan cukup akurat, data yang dikumpulkan sehubungan dengan sistem nyata atau asumsi yang dibuat berdasarkan referensi sesuai cara sistem nyata bekerja. Membuktikan validasi sebenarnya suatu hal yang sulit untuk d ilakukan.

Walaupun validasi suatu sistem dibatasi oleh mental model dari penyusun model, namun demikian untuk memenuhi kaidah keilmuan pada model sistem tetap perlu dilakukan uji validasi. Hal ini juga dilakukan untuk menanggapi kritik para ekonom di tahun 1960 -an, yang menyatakan bahwa metode berpikir sistem sebagai model of doom karena saat itu belum dilengkapi dengan teknik-teknik validasi..

3.4.3. Analisis Propektif

Analisis prospektif digunakan untuk memprediksi kemungkinan-kemungkin yang akan terjadi di masa depan. Analisis prospektif tidak sama dengan peramalan karena dari analisis prospektif dapat diprediksi alternatif-alternatif yang akan terjadi dimasa datang baik yang bersifat positif (diinginkan) ataupun yang negatif (tidak diinginkan). Kegunaan analisis prospektif adalah untuk : (1) Mempersiapkan tindakan strategis yang perlu dilakukan dan (2) melihat apakah perubahan dibutuhkan dimasa depan. Analisis prospektif tepat digunakan untuk perancangan strategi kebijakan (Beffa, 1991, Bourgoise, 1999 dan Godet, 2000).

Analisis prospektif merupakan pengembangan dari metoda Delphi yang menggunakan pendapat kelompok pakar untuk pengambilan keputusan. Menurut Hardjomidjodjo (2000), tahapan dalam analisis prospektif terdiri :

(17)

1. Definisi dari tujuan sistem yang dikaji.

Tujuan sistem yang dikaji perlu spesifik dan dimengerti oleh semua pakar yang akan diminta pendapatnya. Hal ini dilakukan agar pakar mengerti ruang lingkup dan kajian penyamaan pandangan tentang sistem yang dikaji.

2. Identifikasi faktor-faktor yang berpengaruh dalam pencapaian tujuan tersebut, yang biasanya merupakan kebutuhan stakeholders sistem yang dikaji. Berdasarkan tujuan studi yang ingin dicapai, pakar diminta mengidentifikasi faktor-faktor yang berpengaruh dalam pencapaian tujuan tersebut. Pakar diharapkan dapat mewakili stakeholders sistem yang dikaji sehingga semua kepentingan elemen sistem dapat terwakili. Pada tahapan ini definisi dari tiap faktor harus jelas dan spesifik. Integrasi pendapat pakar dilaksanakan dengan mengambil nilai modus.

3. Penilaian pengaruh langsung antar faktor

Semua faktor yang teridentifikasi akan dinilai pengaruh langsung antar faktor sebagaimana disajikan pada Tabel 7 dan Tabel 8

Tabel 7. Pedoman penilaian analisis prospektif

Skor Keterangan

0 Tidak ada pengaruh

1 Berpengaruh kecil

2 Berpengaruh sedang

3 Berpengaruh sangat kuat

Tabel 8. Pengaruh langsung antarfaktor dalam pengelolaan sumberdaya hutan berkelanjutan

Dari ? Tehadap ? A B C D E F G A B C D E F G Sumber: Godet (1999).

Hasil matriks gabungan pendapat pakar diolah dengan perangkat lunak analisis prospektif dengan menggunakan teknik statistik untuk menghitung pengaruh langsung global, ketergantungan global, kekuatan global dan kekuatan

(18)

global tertimbang. Hasil perhitungan divisualisasikan dalam Diagram Pengaruh dan Ketergantungan antar faktor seperti terlihat pada Gambar 7.

Gambar 7. Diagram pengaruh dan ketergantungan sistem 4. Penyusunan keadaan yang mungkin terjadi (State) pada kriteria.

Berdasarkan faktor dominan yang didapat pada tahap 3, disusun keadaan yang mungkin terjadi dimasa depan. Untuk setiap faktor dapat dibuat satu atau lebih keadaan dengan ketentuan sebagai berikut : (1) Keadaan harus memiliki peluang sangat besar untuk terjadi pada masa yang akan datang dan (2) keadaan bukanlah tingkatan/ukuran suatu faktor (besar, kecil, sedang), tetapi merupakan deskripsi dari suatu faktor.

5. Penyusunan Skenario .

Skenario merupakan kombinasi dari keadaan faktor secara mutual compatible.

6. Analisis Skenario dan Penyusunan Strategi.

Berdasarkan skenario yang disusun pada tahap sebelumnya didiskusikan strategi yang perlu dila kukan untuk pencapaian skenario yang diinginkan ataupun menghindari skenario yang akan berdampak negatif bagi sistem.

Ketergantungan Pengaruh Faktor Penentu INPUT Faktor Penghubung STAKE Faktor Bebas UNUSED Faktor Terikat OUPUT

(19)

Tabel 2. Lanjutan

No. Nama Peneliti Judul Penelitian Waktu

Penelitian

Metode Penelitian Kesimpulan

3. Mersyah Desian sistem budidaya

sapi potong berkelanjutan untuk mendukung pelaksanaan otonomi daerah di Kabupaten Bengkulu Selatan 2005 Pendekatan sistem dengan menggunakan analisis non parametrik, multidimensional scaling aplikasi Rafish, Prospektif

dan sistem dinamis

Sistem budidaya sapi potong di Kabupaten Bengkulu Selatan pada saat ini termasuk kategori cukup berkelanjutan. Dari lima dimensi yang dikaji yaitu; ekologi, ekonomi, sosial, teknologi, hukum dan kelembagaan didapatkan bahwa dimensi ekonomi memiliki nilai keberlanjutan paling tinggi dan yang terendah adalah dimensi sosial. Untuk meningkatkan status keberlanjutan sistem budidaya sapi potong tersebut pada masa yang akan datang dapat dilakukan melalui “Moderat Optimistik”. 4. Balai Pemantapan

Kawasan Hutan Wilayah III

Rancangan pengelolaan kawasan hutan wilayah perbatasan Indonesia-Malaysia di Kalimantan Barat 2004 Focus Group Discussion (FGD) dan stakeholder meeting

Ada beberapa rancangan pengelolan kawasan hutan di wilayah perbatasan yang di kelompokkan ke dalam tiga jenis kawasan yaitu; 1. Pengelolaan kawasan hutan produksi dengan cara: melakukan koordinasi penataan kawasan, pemantapan kawasan, pemetaan potensi dan penyusunan basis data, penetapan Taman Nasional, pengelolaan sub DAS paloh, dan studi AMDAL kawasan Paloh Sajingan; 2). Pengelolaan kawasan hutan lindung dengan cara: penyelesaian penataan batas kawasan, penyusunan Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL), dan pemanfaatan hutan bakau; 3. Pengelolaan kawasan hutan prosukdi dengan cara: penataan batas kawasan hutan produksi, identifikasi perizinan, efektifitas dan efisiensi pemanfaatan kayu, pembagian rencana kerja tahunan (RKT), dan penerbitan SKSHH.

(20)

IV. KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

4.1. Kondisi Geografis Wilayah Perbatasan 4.1.1. Letak dan Luas

Menurut Badan Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) Wilayah III Pontianak (2003), secara geografis wilayah perbatasan yang berhadapan langsung dengan Negara Bagian Serawak (Malaysia) terletak antara

00° 30’ - 02° 05’ Lintang Utara dan antara 109° 16’ - 114° 12’ Bujur Timur.

Wilayah perbatasan Kalimantan Barat – Malaysia terbentang dari Tanjung Datuk di Kabupaten Sambas sampai dengan Gunung Cemaru di Kabupaten Kapuas Hulu sepanjang 847 km melintasi 97 Desa, 16 wilayah kecamatan di enam Kabupaten yaitu Sambas, Bengkayang, Sanggau, Sintang dan Kapuas Hulu ditambah dengan Kabupaten Landak (khususnya kawasan hutan Cagar Alam Nyiut – Penrissen). Wilayah perbatasan mempunyai luas keseluruhan 2.490.491 Ha, yang terdiri dari Kawasan Konservasi (Taman Nasional/TN, Cagar Alam/CA, Taman Wisata Alam/TWA) seluas 846.422 Ha, Kawasan Lindung seluas 599.571 Ha, Kawasan Budidaya (Hutan Produksi/HP, Hutan Produksi Terbatas/HPT, Hutan Produksi yang dapat di Konversi/HPK) seluas 492.533 Ha, dan Areal Penggunaan Lain (APL) seluas 551.965 Ha.

4.1.2. Tanah dan Topografi Wilayah

Jenis tanah wilayah perbatasan didominasi oleh podsolik merah kuning (PMK), sebagian be rupa brown forest litosol dan organosol. Tingkat kepekaan terhadap erosi berkisar antara sangat peka sampai dengan cukup peka

Topografi di Kabupaten Sambas dan Bengkayang pada umumnya landai hingga datar, Kabupaten Sanggau bertopografi cukup curam, membujur dari utara ke selatan, Kabupaten Sintang dan Kapuas Hulu bertopografi landai hingga datar. Kawasan hutan Taman Nasional Betung Kerihun di Kabupaten Kapuas Hulu pada umumnya memiliki topografi yang curam(Kalimantan Barat Dalam Angka, 2004). Dengan demikian, sebagian besar wilayah perbatasan berupa daerah berlereng yang berada di antara bukit, dengan topografi curam, berbukit hingga datar.

(21)

4.1.3. Iklim

Iklim termasuk ke dalam tipe A berdasarkan klasifikasi Schmidt-Fergusson, dengan rata-rata curah hujan tahunan berkisar 2.437 mm per tahun. Musim hujan terjadi hampir setiap bulan sepanjang tahun dengan curah hujan rata-rata tertinggi pada Bulan Juli dan terendah pada bulan Oktober (Kalimantan Barat Dalam Angka, 2004).

4.1.4. Aksesibilitas

Dari 5 kabupa ten yang ada di wilayah perbatasan Kalimantan Barat hanya Kecamatan Entikong, Kabupaten Sanggau yang mempunyai akses jalan darat resmi yang menghubungkan antara Kalimantan Barat dan daerah Serawak-Malaysia. Secara umum, terdapat beberapa desa yang tingkat aksesibilitasnya sangat buruk, dengan hanya terdapat jalan setapak (tanah) yang menghubungkan desa tersebut dengan ibukota kecamatan. Aksesibilitasnya ke Serawak. Aksesibiltas beberapa desa di wilayah perbatasan justru relatif lebih mudah dicapai dengan me lalui jalur Serawak (dari negara tetangga) dari pada ditempuh melalui jalan darat dari sesama wilayah di perbatasan Kalimantan Barat. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi pembangunan infrastruktur jalan sebagai sarana yang vital untuk perkembangan suatu wilayah masih relatif minim dan menyebabkan ekonomi biaya tinggi (high cost economics) karena faktor transportasi.

Data akhir tahun 2001 menyebutkan, terdapat 50 jalur jalan setapak yang menghubungkan 55 desa di Provinsi Kalimantan Barat dengan 32 kampung di Serawak. Secara formal, kesepakatan jalur jalan setapak sebanyak 10 Desa di Provinsi Kalimantan Barat dengan 7 kampung di Serawak. Terdapat satu Pos Pemeriksaan Lintas Batas (PPLB) resmi yaitu di Entikong (Kalimantan Barat) – Tebedu (Serawak). Saat ini telah mulai dirintis pembukaan Pos Pemeriksaan Lintas Batas (PPLB) di Nanga Badau (Kapuas Hulu) – Lubuk Antu (Serawak) dan Aruk (Sambas) – Biawak (Serawak). Panjang jalan darat yang menghubungkan antar daerah di wilayah perbatasan sepanjang 872,14 km dengan kondisi 23,7 km baik, 312,64 km sedang, 244,38 km rusak, 203,92 rusak berat, dan 88,50 km belum terbuka (Kalimantan Barat Dalam Angka, 2004).

Berdasarkan rancangan KEPPRES Tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perbatasan Kalimantan – Sarawak – Sabah (RTRKP KASABA), di Provinsi Kalimantan Barat direncanakan adanya jalan arteri primer (jalan negara), yakni:

(22)

• Jalur Singkawang – Sambas – Liku – Aruk – Jagoi Babang – Entikong – Jasa – Nanga Badau – Putussibau – Tiongohang – Long Pahangai – Long Boh – Maha Baru – Long Nawang – Long Alango – Tanjung Nanga – Pulau Sapi – Malinau – Mensalong – Simanggis – Nunukan;

• Singkawang – Bengkayang – Jagoi Babang; Tanjung – Entikong; Sintang –

Simpang Merakai - Jasa; Simpang Merakai – Nanga Badau.

Berdasarkan kajian terhadap rencana jaringan jalan pemerintah daerah provinsi dan kabupaten, terdapat usulan rencana pembangunan infrastruktur kewilayahan berupa jalan yang sejajar dengan batas negara dengan status jalan negara, dengan pertimbangan nilai strategis ketahanan negara dan percepatan peningkatan kesejahteraan masyarakat serta membuka keterisolasian. Jalur transportasi laut umumnya baik, karena terdapat pelabuhan yang menghubungkan Paloh (Kabupaten Sambas) dengan Lundu (Serawak). Meskipun demikian yang diminati. Sebagian besar masyarakat memilih menggunakan transportasi darat karena lebih murah dan lebih cepat.

4.1.5. Flora dan Fauna

Berdasarkan hasil Borneo Biodiversity Expedition to the Transboundary Conservation Area of Betung Kerihun National Park (Kapuas Hulu) and Lanjak Kentimau Wildlife Sanctuary (Sarawak) Tahun 2003, yang didanai ITTO terlihat bahwa wilayah perbatasan memiliki keanekaragaman hayati yang cukup tinggi baik berupa tumbuhan (flora) maupun hewan (fauna ). Tingginya tingkat keanekaragaman hayati di suatu wilayah mencerminkan bahwa ekosistem di wilayah tersebut memiliki kestabilan yang cukup tinggi dan memiliki nilai ekonomi untuk dikelola sebagai sumber pendapatan masyarakat. Jenis keanekaragaman hayati yang ditemukan di wilayah perbatasan adalah sebagai berikut:

• Pada kedua kawasan lindung tersebut ditemukan sejumlah tumbuhan yaitu

genera Laxocarpus, Ardisa, Lepisanthes, Microtopis dan Jarandersonia .

• Terdapat tumbuhan langka di taman nasional Betung Kerihun yakni

Cyrtranda mirabilis.

• Diidentifikasi 62 jenis palem, 2 diantaranya jenis baru.

Kaya akan jenis Dipterocarpaceae, terutama Lanjak Ketimau.

• Tercatat 125 jenis ikan dari 12 famili (91 jenis ditemukan di Kalimantan Barat

61 jenis di Sarawak), juga 2 jenis ikan dari genus Glaniopsis dan sejenis ikan gastromyzon ditemukan pertama kali di Kalimantan.

(23)

• Ditemukan 291 jenis burung dari 39 famili, dengan 20 jenis endemic dan 17

jenis migran, yang mewakili ± 70% avifauna hutan dataran rendah

Kalimantan.

• Terdapat 41 jenis tumbuhan obat-obatan, 144 jenis tumbuhan yang

menghasilkan bahan makanan, 38 jenis tumbuhan untuk upacara, 30 jenis tumbuhan untuk bahan bangunan dan 60 jenis tumbuhan untuk berbagai macam bangunan.

Ditemukan tumbuhan Hornstedtia spp yang digunakan untuk indikator bahwa

areal bekas perladangan sudah bisa ditanami kembali. 4.2 Kondisi Permasalahan Pengelolaan Wilayah Perbatasan.

Selama beberapa puluh tahun ke belakang, masalah perbatasan masih belum mendapat perhatian yang cukup dari pemerintah. Hal ini tercermin dari kebijakan pembangunan yang kurang memperhatikan wilayah perbatasan. Pembangunan lebih mengarah kepada wilayah-wilayah yang padat penduduk, aksesnya mudah dan potensial. Kebijakan pembangunan di wilayah perbatasan masih belum diprioritaskan. Sampai saat ini belum ada aturan yang jelas yang dapat dijadikan acuan dalam pengelolaan wilayah perbatasan secara komprehensif dan terpadu. Kondisi tersebut mengakibatkan antara lain; terjadinya kesenjangan pembangunan di wilayah perbatasan, rendahnya ketersediaan sarana dan prasarana, tingg inya angka kemiskinan, rendahnya aksesbilitas menuju wilayah perbatasan, dan rendahnya kualitas SDM,

4.3. Kondisi Sosial, Ekonomi, dan Budaya di wilayah Perbatasan

Paradigma pengelolaan kawasan perbatasan di masa lampau sebagai ”halaman belakang” wilayah NKRI membawa implikasi terhadap kondisi wilayah perbatasan saat ini yang terisolir dan tertinggal dari sisi sosial dan ekonomi. Munculnya paradigma ini disebabkan oleh sistem politik di masa lampau yang sentralistik dan menekankan pada stabilitas keamanan. Konsekwensinya, persepsi penanganqan wilayah perbatasan lebih didominasi pandangan untuk mengamankan perbatasan terhadap potensi ancaman dari luar (external threat) dan cenderung memposisikan kawasan perbatasan beserta potensinya sebagai sabuk keamanan (security belt). Hal ini telah mengakibatkan kurangnya pengelolaan wilayah perbatasan dengan pendekatan kesejahteraan melalui optimalisasi potensi sumberdaya alam khususnya sumberdaya hutan, khususnya yang dilakukan oleh investor.

(24)

Kehidupan masyarakat di wilayah perbatasan relatif miskin. Kurangnya infrastruktur menyebabkan masyarakat tidak memiliki aksesibilitas yang baik. Tingginya angka kemiskinan dan jumlah keluarga pra-sejahtera, rendahnya mutu sumberdaya manusia serta belum optimalnya pemanfaatan sumberdaya alam mendorong masyarakat terlibat dalam kegiatan ekonomi illegal guna pemenuhan kebutuhan hidupnya. Di samping itu, kehidupan sosial ekonomi masyarakat pada umumnya berkiblat ke wilayah negara tetangga, karena ketersediaan fasilitas infrastruktur ya ng lebih baik serta pengaruh sosial ekonomi yang lebih kuat dari wilayah tetangga.

Dari aspek budaya, terdapat kesamaan adat istiadat dan keturunan (suku melayu dan dayak) di wilayah perbatasan Kalimantan Barat., Sebagian besar masyarakat yang tinggal di wilayah perbatasan adalah Suku Dayak. Secara umum, suku dayak yang tinggal di kawasan ini memiliki kaitan historis/kekerabatan dengan suku dayak di Serawak. Bahkan pada beberapa sub suku, batas negara ternyata tidak memisahkan sistem kekerabatan/adat. Pang lima yang tinggal di wilayah Serawak memiliki daerah kekuasaan sampai negara Indonesia, demikian juga sebaliknya. Sebagian besar (96%) mata pencaharian penduduknya adalah petani tradisional (peladang atau pekebun), sedangkan sisanya berada pada sektor jasa/perdagangan.

Ketersediaan fasilitas infrastruktur dan sarana prasarana perekonomian yang lebih baik serta kuatnya pengaruh sosial ekonomi negara tetangga mengakibatkan kehidupan sosial ekonomi masyarakat pada umumnya berkiblat ke wilayah negara tetangga.

Tabel.8. Beberapa perbedaan keadaan antara wilayah Kalimantan Barat – Serawak Malaysia

Indikator (Indonesia) Kalimantan Barat (Malaysia) Serawak • Luas wilayah • Jumlah Penduduk • PDB

• Upah rata -rata buruh

• Kondisi infrastruktur jalan. • Energi (tenaga Listrik) • Harga kayu • Jarak perbatasan

dari ibu kota Provinsi

146.897 Km² 3,9 Juta US $ 856 RM 36 (Rp.100.000) Jelek Besar Rendah Jauh 124.449 Km² 2,01 juta US $ 4.135 Rm 200 Baik Kecil Tinggi Dekat

(25)

Kondisi sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat di wilayah perbatasan berbeda dengan kondisi di wilayah perkotaan (Kota Pontianak). Rendahnya aksesibilitas dari dan keluar wilayah perbatasan menuju pusat-pusat pertumbuhan memunculkan kecenderungan masyarakat untuk berinteraksi dengan masyarakat di wilayah Serawak. Secara lebih rinci kondisi sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat di wilayah perbatasan dijelaskan sebagai berikut.

a. Kependudukan.

Kepadatan penduduk antar kecamatan di wilayah perbatasan terlihat cukup bervariasi. Kepadatan penduduk tertinggi te rdapat di Kecamatan

Sekayam, Kabupaten Sanggau yaitu sekitar 28,31 jiwa per Km2, sedangkan

kepadatan terendah terdapat di Kecamatan Embaloh Hulu, Kabupaten Kapuas

Hulu yaitu hanya 1,30 jiwa per Km2. Secara keseluruhan kepadatan penduduk di

tiap kecamatan di wilayah perbatasan masih sangat jarang penduduknya jika dibandingkan dengan rata-rata kepadatan penduduk di Provinsi Kalimantan Barat

yang mencapai 25,43 per Km2, sedangkan di wilayah perbatasan hanya

mencapai 7,88 jiwa per Km2 (Kalimantan Barat Dalam Angka Tahun 2002).

Rincian jumlah penduduk dan luas wilayah tiap kecamatan di wilayah perbatasan dapat dilihat pada Tabel 9

Tabel 9. Jumlah penduduk wilayah perbatasan Indonesia–Malaysia Tahun 2002

No Kabupaten Kecamatan Jumlah

Desa Jumlah Penduduk Luas (Ha) Paloh 6 20.409 78.670 1. Sambas Sajingan Besar 5 7.525 61.978 Jagoi Babang 5 19.177 50.525 2. Bengkayang Seluas 6 13.369 57.000 Sekayam 10 44.318 59.233 3. Sanggau Entikong 5 12.337 60.000 Ketungau Tengah 13 23.894 221.500 4. Sintang Ketungau Hulu 9 17.595 189.000 Putussibau 8 31.026 418.423 Embaloh Hulu 8 4.668 147.559 Batang Lupar 7 4.375 147.276 Empanang 5 2.575 41.769 Badau 6 4.686 68.334 Puring Kencana 5 2.991 30.000 5. Kapuas Hulu Kedamin 13 2.012 613.011 J U M L A H 97 210.957 2.244.278

(26)

b. Institusi Sosial Kemasyarakatan.

Sebagai pendukung aktivitas pemerintahan, di masing-masing desa di wilayah perbatasan terdapat beberapa jenis kelembagaan sosial kemasyarakatan seperti Karang Taruna, organisasi PKK, arisan keluarga atau desa, dan kelompok adat. Berbagai aktivitas organisasi sosial kemasyarakatan tersebut dapat dijadikan wadah bagi pengembangan kualitas sumberdaya manusia dalam rangka dan mempererat hubungan sosial antar sesama warga masyarakat. Bukti yang menunjukkan masih begitu kuatnya hubungan sosial kemasayarakatan di wilayah perbatasan adalah kegiatan gotong -royong yang dilakukan oleh masyarakat untuk berbagai kegiatan. Dari 98 desa, sebanyak 86 desa (87,76%) masih melakukan gotong-royong dalam berbagai kegiatan. c. Ketenagakerjaan.

Berdasarkan hasil sensus penduduk tahun 2000, jumlah penduduk usia kerja ( > 15 tahun) yang tersebar di 14 kecamatan diperkirakan sebanyak 102.157 jiwa dengan rincian 85.897 jiwa termasuk kategori angkatan kerja. Dengan demikian Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) di wilayah perbatasan sebesar 84,08 persen. Jumlah ini relatif lebih besar jika dibandingkan dengan TPAK di Provinsi Kalimantan Barat (75,92%). Kondisi ini menjadi tan tangan bagi masing-masing pemerintah kabupaten di wilayah perbatasan untuk dapat menyalurkan tenaga kerja yang tersedia atau penciptaan lapangan kerja baru sehingga terjadi peningkatan dinamika ekonomi di wilayah perbatasan.

Sektor pertanian masih mendominasi sebagai mata pencaharian sebagian besar penduduk di wilayah perbatasan. Hampir 80 persen usia kerja, bekerja pada sektor pertanian, khususnya sub sektor tanaman pangan yang mencapai 53,08 persen. Kegiatan usaha tani yang dilakukan oleh masyarakat di wilayah perbatasan masih berorientasi pada pemenuhan kebutuhan masing-masing keluarga petani itu sendiri (Bappeda dan BPS Kalimantan Barat, 2004). d. Pendidikan.

Sarana dan prasarana pendidikan di wilayah perbatasan masih relatif minim. Fasilitas pendidikan formal berupa bangunan gedung sekolah untuk tingkat Sekolah Dasar (SD) memang sudah tersebar pada setiap desa, namun untuk jenjang pendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA) apalagi Peruguruan Tinggi (PT), akses penduduk usia sekolah terhadap fasilitas pendidikan formal masih cukup sulit.

(27)

Rendahnya tingkat partisipasi sekolah masyarakat di wilayah perbatasan dipicu oleh peluang pekerjaan dari negara tetangga Malaysia sebagai buruh tani, buruh kasar atau pembantu rumah tangga. Dengan pekerjaan tersebut diperoleh penghasilan berkisar antara 150 – 400 Ringgit Malaysia atau setara dengan Rp. 350.000-, - Rp. 950.000 -, per bulan. Gaji yang cukup besar tersebut menjadi daya tarik bagi anak usia sekolah lebih memilih bekerja dari pada melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi, karena kondisi ekonomi keluarga yang tidak memungkinkan untuk membiayai pendidikan. Di beberapa desa seperti Desa Jagoibabang, Pala Pisang, dan Bengkarung, terdapat orangtua yang menyekolahkan anaknya ke Malaysia. Alasan orang tua menyekolahkan anaknya ke Malaysia karena akses yang lebih mudah ke Malaysia dari pada ke daerah lain di dalam negeri, ada keluarga yang sudah menetap di Malaysia, dan masyarakat beranggapan kualitas pendidikan di Malaysia lebih baik dari pada dalam negeri.

e. Pariwisata.

Sektor pariwisata memiliki potensi besar untuk dikembangkan di wilayah perbatasan. Jumlah wisatawan terus meningkat dari tahun ke tahun yang berkunjung ke Pontianak melalui Pos Lintas Batas (PLB) Entikong. Ada beberapa objek pariwisata di wilayah perbatasan seperti sumber air panas di Jagoibabang, air terjun di Semanget, dan Sungai Seria, serta wisata pegunungan di Desa Janting. Namun kondisi objek pariwisata tersebut masih relatif minim fasilitasnya dan akses jalan untuk menuju lokasi wisata juga relatif sulit. Di Negara Malaysia, sebagai contoh kawasan perbatasan Lubuk Antu yang berjarak sekitar sembilan kilometer dari Kecamatan Badau Kabupaten Kapuas Hulu, sudah memiliki hotel yang menyediakan air panas dan dingin untuk mandi serta pesawat televisi. Bahkan sekitar 30 kilometer dari Kabupaten Kapuas Hulu di Desa Batang Ai terdapat sebuah hotel berbintang lima yang dibangun menyerupai “Rumah Betang” atau rumah panjang suku Dayak. Obyek wisata yang ditawarkan adalah sumberdaya hutan baik hutan alam dan konservasi yang disulap menjadi hutan wisata, selain tradisi dan kebudayaan suku dayak (Bappeda dan BPS Kalimantan Barat, 2004).

f. Perdagangan.

Minimnya infrastruktur perdagangan di wilayah perbatasan antara lain sarana transportasi dan pasar mengakibatkan orientasi ekonomi dan perdagangan masyarakat cenderung terfokus ke daerah terdekat di Negara

(28)

tetangga. Kondisi ini memicu munculnya kegiatan-kegiatan ilegal di sektor perdagangan yang merugikan negara dari sisi pemasukan retribusi jasa dan cukai barang masuk. Ketersediaan fasilitas infrastruktur perdagangan di wilayah perbatasan Serawak seperti pasar dan Gudang di Tebedu, Lubok hantu, dan Biawak, telah menjadi pintu perdagangan berbagai komoditas dari wilayah perbatasan Kalimantan Barat seperti kayu, rotan, dan ikan segar. Komoditas tersebut setelah melalui proses pengelolahan lebih lanjut di Serawak Malaysia kemudian diekspor ke Singapura, Hongkong, dan Korea, sedangkan komoditas yang masuk ke wilayah perbatasan dari Serawak Malaysia antara lain gula, pupuk, produk pertanian (tanaman pangan dan holtikultura), baju bekas, biskuit, elektronik dan lain-lain. Hal ini antara lain disebabkan harga lebih murah dan suplay dalam negeri tidak memenuhi kebutuhan masyarakat.

Mata uang yang dipergunakan dalam transaksi perdagangan di wilayah perbatasan hampir seluruhnya adalah mata uang Ringgit Malaysia. Keuntungan dipergunakannnya mata uang Ringgit oleh masyarakat di wilayah perbatasan adalah nilai kurs yang cukup tinggi dan relatif stabil (relatif tidak berfluktuasi) terhadap dolar Amerika Serikat (USD).

Berdasarkan Rancangan KEPPRES tentang RTRKP KASABA (Rencana Tata Ruang Kawasan Perbatasan Kalimantan – Sarawak – Sabah), direncanakan terdapat 5 (lima) Kabupaten di sepanjang perbatasan Kalimantan Barat sebagai Pusat Kegiatan Nasional (PKN) yang memiliki Pos Pemeriksaan Lintas Batas (PLB), yakni Aruk di Kabupaten Sambas), Jagoi Babang di Kabupaten Bengkayang, Jasa di kabupaten Sintang, Entikong di kabupaten Sanggau, dan Nanga badau di Kabupaten Kapuas Hulu.

4.4. Kondisi Tata Guna Lahan di Wilayah Perbatasan.

Kondisi lahan di wilayah perbatasan hampir sama dengan kondisi lahan di daerah pedalaman Kalimantan pada umumnya, yaitu berupa hutan belantara. Hampir 50 % lebih wilayah perbatasan berupa hutan, baik hutan negara maupun hutan rakyat. Kabupaten Kapuas Hulu merupakan salah satu kabupaten yang berbatasan langsung dengan negara tetangga Serawak-Malaysia, memiliki potensi hutan paling luas dibandingkan dengan lima kabupaten lainnya di wilayah perbatasan Kalimantan Barat, yaitu sekitar 687. 000 hektar (Bappeda dan BPS Kalimantan Barat, 2004).

Lahan sawah di wilayah perbatasan hanya sekitar 14.425 hektar atau sekitar 0,71 % dari luas wilayah perbatasan secara keseluruahn (2.490.491 Ha).

(29)

Dari luas tersebut hanya 3.210 hektar yang memiliki sarana irigasi (semi teknis, sederhana, dan irigasi desa), sedangkan 11.215 hektar masih mengandalkan curah hujan sebagai sumber airnya. Sawah yang memiliki sarana irigasi belum dimanfaatkan secara optimal oleh masyarakat. Data statistik menunjukkan bahwa hanya 46,39 persen dari lahan sawah beririgasi yang dimanfaatkan untuk kegiatan usahatani padi dan palawija. Belum optimalnya pemanfaatan lahan di wilayah perbatasan juga tercermin dari luasnya lahan yang belum dimanfaatkan oleh masyarakat (lahan tidur). Dari 2.490.491 hektar luas lahan di wilayah perbatasan, ada sekitar 402 hektar (19,75%) berupa lahan tidur, yang terdiri atas 6.000 hektar lahan sawah dan 396.000 hektar bukan lahan sawah (BPS Kalimantan Barat, 2004).

Masih luasnya lahan produktif yang belum dimanfaatkan oleh masyarakat untuk kegiatan usahatani menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah daerah di masing-masing kabupaten di wilayah perbatasan. Dampak dari rendahnya produktivitas lahan akan bermuara pada rendahnya tingkat pendapatan masyarakat. Masyarakat yang berpenghasilan rendah dan tidak memiliki kegiatan usahatani tetap akan memiliki kecenderungan untuk mencari sumber penghasilan dari sumberdaya hutan terutama kayu secara ilegal.

4.5. Kondisi Kawasan Hutan di Wilayah Perbatasan.

Luas wilayah Kalimantan Barat adalah 14.680.700 hektar. Kalimantan barat memiliki sumberdaya hutan seluas 9.178.760 hektar. (Kalimantan Barat Dalam Angka, 2004). Menurut data Badan Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) wilayah III Kalimantan Barat, luas wilayah Provinsi Kalimantan Barat berdasarkan status kawasan terdiri dari kawasan konservasi seluas 1.459.603 Ha, kawasan lindung seluas 2.436.925 Ha, dan kawasan produksi seluas 5.140.396 Ha, sedangkan luas kawasan non hutan yang dimanfaatkan sebagai areal penggunaan lain seluas 5.502.000 Ha. Sebagian besar wilayah perbatasan Kalimantan Barat merupakan kawasan hutan dengan prosentase 77% dari total wilayah darat yang ada.

Berdasarkan Peta Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan Wilayah Provinsi Kalimantan Barat luas kawasan hutan di wilayah perbatasan seluas 5.103.343 hektar dengan rincian, kawasan hutan produksi (HP) seluas 1.089.856 hektar , hutan produksi terbatas (HPT) 1.260.481 hektar, hutan lindung seluas 1.491.619 hektar, hutan lindung yang dapat dikonversi seluas 173.217 hektar,

(30)

cagar alam seluas 91.074 hektar, taman nasional seluas 960.199 hektar, dan taman wisata alam seluas 26.996 hektar (Tabel 10).

Tabel 10. Luas wilayah kawasan hutan berdasarkan fungsi/penggunaan berdasarkan SK. Menteri Kehutanan No. 259/Kpts-II/2000.

No. Peruntukan Kawasan Luas Kawasan

Hutan Kalimantan Barat

(Ha)

Luas Kawasan Hutan Wilayah Perbatasan (Ha) A. B. C. D. E

Kawasan suaka alam 1. Cagar Alam

2. Taman Nasional 3. Taman Wisata Alam Hutan Lindung

Hutan Produksi

Hutan Produksi Terbatas Hutan Produksi yang dapat di Konversi 153.275 1.252.895 29.310 2.307.045 2.265.800 2.445.985 514.350 91.074 960.199 26.996 1.491.619 1.089.856 1.260.481 173.217 Jumlah 9.178.760 5.103.343 Persentase 100% 55,61%

Sumber: Statistik Kehutanan Provinsi Kalimantan Barat, 2003

Dari lima Kabupaten di Provinsi Kalimantan Barat yang memiliki wilayah yang berbatasan langsung dengan Serawak Malaysia Timur, terdapat dua kabupaten yaitu Kabupaten Kapuashulu yang letaknya paling hulu, dan Kabupaten Sanggau yang letaknya di hilir dari ibukota Provinsi Kalimantan Barat. Kabupaten Kapuas Hulu yang terletak dihulu sungai Kapuas merupakan salah satu kabupaten yang memiliki hutan yang luas. Luas wilayah Kabupaten Kapuas Hulu adalah 3.118.413 Ha atau 21,24 % dari luas Provinsi Kalimantan Barat (14.680.760Ha). Dari luas tersebut 774.569 Ha (24,84%) dari luas wilayah merupakan hutan produksi dan 832.612 Ha atau 26,69 % merupakan kawasan lindung serta kawasan konservasi sebesar 936.105 Ha (30,01 %.) (BPKH Wilayah III Provinsi Kalimantan Barat, 2004).

Luas kawasan hutan di wilayah perbatasan antara Kabupaten Kapuas Hulu dengan Malaysia Timur terdiri dari Taman Nasional 930.940 Ha (76,31 %), hutan lindung 103.173 Ha (8,43 %), Hutan produksi terbatas 38.440 Ha (3,15 %), hutan produksi 136.829 Ha (11,21%) dan hutan produksi konversi 10.624 Ha (9,87 %). (BPKH Wilayah III, 2004)

Sejak tahun 2003, Kabupaten Kapuas Hulu telah mencanangkan diri sebagai Kabupaten Konservasi. Luasnya wilayah yang dicanangkan sebagai kawasan konservasi menyebabkan terbatasnya wilayah yang

(31)

dapat dikembangkan untuk pembangunan daerah. Hal ini menjadi beban tersendiri bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Kapuas Hulu karena hingga saat ini kondisi perekonomian masyarakat Kapuas Hulu, khususnya yang tinggal di sekitar wilayah hutan masih rendah dan tingkat ketergantungan mereka terhadap sumberdaya hutan sebagai sumber kehidupan sangat tinggi. Hal ini menjadi pendorong meningkatnya eksploitasi sumberdaya hutan. Akibatnya, berbagai macam kerusakan lingkungan terjadi. (Kabri, 2004).

Pada tahun 2002, luas lahan kritis mencapai 461.063 ha atau 15,5 % dari luas kabupaten. Sebesar 361.856 ha luas lahan kritis berada di dalam kawasan hutan, sedangkan 90.207 ha ada di luar kawasan hutan. Berdasarkan data dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan Putussibau, kerusakan sumberdaya hutan pada tahun 2003 terutama disebabkan oleh aktivitas penebangan liar (illegal logging). (Kabri, 2004). Pada tahun 2002, kerusakan sumberdaya hutan telah mengakibatkan bencana tanah longsor di 5 kecamatan dan bencana banjir di 14 kecamatan. Kerusakan di daerah hulu akan berdampak pada daerah hilir.

Kabupaten Sanggau yang juga berbatasan langsung dengan Serawak Malasia Timur letaknya mendekati hilir dari Ibukota Provinsi Kalimantan Barat. Luas wilayah Kabupaten Sanggau 1.262.476 Ha atau 8,60 % dari total luas Provinsi Kalimantan Barat. Dari luas tersebut kawasan konservasi seluas 1.214 Ha (0,10 %), kawasan lindung 93.929 Ha (7,44 %), kawasan produksi 483.094 Ha (38,26%) dan luas kawasan non hutan yang digunakan untuk areal lain seluas 684.239 Ha (54,20%). (BPKH Wilayah III Provinsi Kalimantan Barat, 2004).

Luas kawasan hutan di wilayah perbatasan Kabupaten Sanggau terdiri dari cagar alam 592 Ha (0,59 %), hutan lindung 35.984 (35,99 %), hutan produksi terbatas 22.063 Ha (22,07 %) dan hutan produksi 41.338 (41,35%).(BPKH wilayah III, 2004)

Keberadaan pintu gerbang (border gate) resmi dan aksesbilitas infrastruktur jalan yang dimiliki kabupaten ini untuk menuju border Entikong relatif baik. Penjualan kayu ilegal melalui wilayah perbatasan ini juga terus meningkat karena masih lemahnya penegakan hukum di wilayah perbatasan. Setiap harinya rata-rata terdapat 50 truk yang mengangkut kayu melintasi jalur Entikong untuk menuju Tebedu Serawak (Kusmayadi, 2003).

(32)

4.6. Kondisi Daerah Aliran Sungai (DAS) di Wilayah Perbatasan.

Berdasarkan konsep perwilayahan, Daerah Aliran Sungai (DAS) yang terbentuk dari hulu-hulu sungai yang mengalir di wilayah perbatasan Kalimantan Barat – Serawak Malaysia terdiri dari dua DAS besar yakni DAS Kapuas dan DAS Sambas. DAS Sambas terdiri dari Sub DAS Sambas yang meliputi wilayah Kabupaten Sambas dan Bengkayang dan Sub DAS Paloh. DAS Kapuas terdiri dari Sub DAS Seka yam di wilayah Kabupaten Sanggau, Sub DAS Ketungau di Kabupaten Sintang, Sub DAS Kapuas Hulu, Sub DAS Ambalau dan Sub DAS Mandai.

Pengelolaan wilayah dengan pendekatan ekosistem akan mempermudah dalam melakukan pencegahan dan pengendalian dampak yang mungkin ditimbulkan dari berbagai macam kegiatan pembangunan yang dilakukan di wilayah tersebut, sehingga sumberdaya alam dan lingkungan di sekitar wilayah DAS dapat dimanfaatkan secara optimal dengan tetap memperhatikan kaidah-kaidah konservasi sumberdaya alam dan lingkungan. Pembagian luas wilayah berdasarkan luas Sub Das dari kedua DAS yang ada di wilayah perbatasan dapat dilihat pada Tabel 11.

Tabel 11. Luas wilayah perbatasan (ha) berdasarkan Sub DAS

No. Kabupaten

(DAS) Nama Sub DAS

Luas per Sub DAS (Ha) Total Luas Kabupaten (Ha) 1 2 3 4 5

1 Sambas a. Sub DAS Paloh 81.530

(DAS SAMBAS ) b. Sub DAS Sambas 360.140

c. Sub DAS Sebangkau 81.580 523.250

2 Bengkayang a. Sub DAS Sambas 272.340

(DAS Sambas & b. Sub DAS Sebangkau 218.410

DAS Kapuas ) c. Sub Das Landak 11.830 502.580

3 Landak a. Sub DAS Landak 497.790

(DAS KAPUAS ) b. Sub DAS Mempawah 101.670 599.460

4 Sanggau a. Sub DAS Sekayam 912.670

(DAS KAPUAS ) b. Sub DAS Sekadau 396.580

c. Sub DAS Sepauk 193.970

d. Sub DAS Ketungau Hilir 89.730 1.592.950

5 Sintang a. Sub DAS Sepauk 295.080

(DAS KAPUAS ) b. Sub DAS Melawi 1.229.500

c. Sub DAS Ketungau 415.990 1.940.570

6 Kapuas Hulu a. Sub DAS Ambalau 483.440

(DAS KAPUAS ) b. Sub DAS Mandai 811.050

c. Sub DAS Kapuas Hulu 107.450 1.401.940

Total 4.620.180

(33)

4.7. Kondisi Pemanfaatan ruang Wilayah Perbatasan

Pemanfaatan ruang di wilayah perbatasan dibagi menjadi lima kawasan pemanfaatan, yaitu: 1. Kawasan konservasi, 2). Kawasan Hak Pengusahaan Hutan ((HPH) / Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK), 3). Kawasan Hutan Kawasan Industri (HTI), 4). Kawasan Perkebunan, dan 5). Kawasan Transmigrasi. Penjelasan pemanfaatan masing-masing kawasan tersebut adalah sebagai berikut:

a. Kawasan konservasi

Kawasan konservasi di wilayah perbatasan terdiri dari Taman Nasional (TN), Cagar Alam (CA), dan Taman Wisata Alam (TWA). Luas keseluruhan kawasan konservasi yang ada di wilayah perbatasan adalah seluas 1.080.550 Ha terletak di sebagian Kabupaten Sambas, Landak ,dan Kapuas Hulu. Rincian luas kawasan konservasi di wilayah perbatasan dan potensi keanekaragaman hayati yang terdapat di dalamnya dapat di lihat pada Tabel 12

Tabe l 12. Kawasan konservasi wilayah perbatasan Indonesia – Malaysia di Provinsi Kalimantan Barat

Surat Keputusan No Nama, luas kawasan

konservasi Pejabat No. dan Tanggal Potensi

1. TN Betung Kerihun, luas = 800.000 Ha.

Menhut 467/Kpts-II/1999 5 September 1999

Owa, beruang madu, orang utan, panorama bentang alam 2. TN D. Sentarum, luas = 130.940 Ha. Menhut 059/Kpts-II/1988 4 Februari 1988 Orang utan, bekantan, owa 3. CA G. Nyiut – Penrissen, luas = 124.500 Ha. Menhut 34/Kpts-II/1999 4 Februari 1999

Ikan arwana, orang utan, bekantan, beruang masu, buaya. 4. Usulan TWA Asuansang, luas = 6.331 hektar Menhut 259/Kpts-II/2000 23 Agustus 2000 Koridor lintasan satwa dengan CA Samun Serawak 5. TWA Tj. Belimbing, luas = 1.290 Ha. Menhut 259/Kpts-II/2000 23 Agustus 2000 Punai, imbuk, beruang madu, bekantan, flora-fauna. 6. TWA Dungan, luas =

1.142 Ha. Menhut 259/Kpts-II/2000 23 Agustus 2000 Punai, imbuk, beruang madu, bekantan, flora-fauna. 7. TWA G. Melintang, luas = 16.347 Ha. Menhut 259/Kpts-II/2000 23 Agustus 2000 Punai, imbuk, beruang madu, bekantan, flora-fauna. Sumber : Laporan Tahunan Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah III

Gambar

Tabel  3. Jenis dan sumber data yang diperlukan dalam penelitian.
Tabel 4 menyajikan atribut-atribut dan skor yang akan digunakan untuk  menilai keberlanjutan pengelolaan sumberdaya hutan   di kawasan perbatasan  Kalimantan Barat
Gambar 2. Ilustrasi indeks keberlanjutan pengelolaan   sumberdaya hutan sebesar 60 persen
Tabel 5. Kategori status keberlanjutan pengelolaan sumberdaya hutan  berdasarkan nilai indeks hasil analisis Rap-INSUSFORMA
+7

Referensi

Dokumen terkait

Gambar- gambar menjadi faktor utama dalam proses pembelajaran, sehingga guru harus menyiapkan gambar dalam berbagai bentuk, baik bentuk kartu maupun bentuk cetakan gambar yang

Respon Stres Oksidatif Senyawa Isoflavon Ekstrak Daun Gedi Terhadap Aktivitas Enzim Superoksida Dismutase dan Glutation Peroksidase pada Tikus Wistar Diabetes..

Penomoran halaman berkala ilmiah dilakukan secara berkesinambungan dari 1-n dalam suatu jilid yang belum ditutup dengan indeks isi, dan bukan mulai lagi dari halaman 1 untuk

Sistem tersebut bertujuan untuk mendistribusikan elemen kerja pada operasi produksi yang diatur secara berurutan dan material bergerak secara seimbang agar mencapai

Hal ini terlihat hasil survey, dari 57 negara di dunia Indonesia hanya menduduki urutan ke-37 (The World Economic Forum Swedia Report, 2000). Predikat Indonesia pun hanya

Bagi sebagian orang awam di Jawa mengartikan nasihat tersebut sebagai sikap “menerima keadaan”, dengan kata lain terdapat sikap tidak berusaha untuk berubah atau atau

Deferred tax assets and liabilities are measured at the tax rates that are expected to apply to the period when the asset is realized or the liability is settled, based on tax

Karena waktu yang dibutuhkan untuk memperbaiki pompa hanya sebentar + 15 menit, Masinis jaga dan Juru Minyak jaga yang pada saat itu berada dalam kamar mesin