• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab I Pendahuluan Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Bab I Pendahuluan Latar Belakang"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

1

Bab I Pendahuluan 1.1. Latar Belakang

Pada sidang Kabinet Diet bulan Februari tahun 2002, salah satu poin yang diangkat oleh Perdana Menteri (PM) Junichiro Koizumi melalui pidato kebijakannya adalah mengenai pentingnya meningkatkan daya saing perindustrian Jepang di tingkat internasional melalui penciptaan, perlindungan, dan pemanfaatan strategis kekayaan intelektual.1 Menyusul pidato tersebut Koizumi menyusun Dewan Strategis Kekayaan Intelektual yang berfungsi memimpin dan mengkoordinasi Jepang untuk menjadi negara content superpower atau negara berbasis kekayaan intelektual (chiteki zaisan rikkoku / chizai-rikkoku).

Inisiatif tersebut menunjukkan bagaimana pemerintah potensi industri konten kreatif nasional dan produk-produknya sebagai komoditas ekspor yang menguntungkan, selain memiliki daya tarik khusus bagi masyarakat asing. Sebelumnya, sehubungan dengan pembangunan nasional pasca kekalahan di akhir Perang Dunia II, pemerintah Jepang senantiasa membatasi promosi produk kebudayaan Jepang di luar negeri. Kini di awal abad ke-21, meski masih berkutat dengan usaha pemulihan ekonomi dan krisis kepercayaan diri pasca kejatuhan economic bubble di awal tahun 90-an, kesuksesan industri konten dan kreatif di luar negeri memberikan secercah harapan baru bagi pemerintah Jepang.

Faktanya, ekspor komoditas budaya populer (musik, seni, mainan, dan animasi) meningkat tiga kali lipat dari ¥500 trilyun yen di tahun 1992 menjadi ¥1.5 trilyun (US$14 milyar) pada tahun 2002,2 menjadikan industri konten dan kreatif sebagai komponen dengan pertumbuhan tercepat dalam perekonomian Jepang. Sebanyak 60% dari animasi yang ditayangkan di televisi seluruh dunia pada tahun 2002 diproduksi oleh Jepang.3 Di pasar Amerika Serikat saja, figur

1

S. Akutsu, „The Directions and Key Elements of branding Japan‟ dalam K. Dinnie, Nation Branding: Concepts, Issues, Practice, Elsevier, Great Britain, 2008, hal. 211.

2

R.T. Siegers, „Symptomic Transformations‟, dalam Routledge Contemporary Japan Series: A New Japan for the Twenty-First Century: An Inside Overview of Current Fundamental Changes and Problems,Routledge, 2008.

3

Japan Information Network, The Japanimation Phenomenon (online), 2003, <http://web-japan.org/trends01/article/030306fea.html> diakses April 2015.

(2)

2 pendapatan ekspor konten dan kreatif Jepang mencapai US$4.3 milyar, tiga kali lebih menguntungkan dibanding penghasilan dari ekspor industri baja.4

Harapan pada industri konten dan kreatif juga didukung oleh artikel Douglas McGray dalam majalah Foreign Policy edisi Mei 2002 yang berjudul Japan‟s Gross National Cool. Dalam artikel tersebut McGray menekankan kekuatan serta potensi sumber daya soft power Jepang. McGray juga menyatakan bahwa, meski di tingkat domestik Jepang masih berhadapan dengan resesi dan stagnansi ekonomi yang telah berlangsung selama lebih dari satu dekade, dalam periode waktu yang sama Jepang telah sukses mengekspor aset-aset kebudayaan populernya ke berbagai penjuru dunia.

“Japan is reinventing superpower again. Instead of collapsing beneath its political and economic misfortunes, Japan‟s global cultural influence has only grown. In fact, from pop music to consumer electronics, architecture to fashion, and food to art, Japan has far greater cultural influence now than it did in the 1980s, when it was an economic superpower.”(McGray, 2002)

Tidak lama setelah artikel tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Jepang, McGray mendapatkan undangan resmi untuk berkunjung ke Jepang dan mengelaborasikan temuan-temuannya ke hadapan para pejabat pemerintah.5 Sejak saat itu tulisan McGray kerap dijadikan sebagai referensi dari kebijakan industri kreatif Kementerian Ekonomi, Perdagangan, dan Industri (METI) yang dikenal sebagai Cool Japan. Baik kebijakan branding chizai-rikkoku maupun kampanye Cool Japan, dengan ambisi masing-masing, menunjukkan pendekatan kebijakan luar negeri Jepang yang tidak hanya soft tetapi juga smart. Melalui Cool Japan, pemerintah Jepang bermaksud mempromosikan dan mengekspor produk-produk budaya dan industri dengan tujuan menjadi negara cultural superpower. Di sisi lain chizai-rikkoku yang memvisikan Jepang sebagai negara adidaya kekayaan intelektual atau content superpower, berurusan dengan masalah legal-formal dalam bisnis penciptaan, pemanfaatan, dan perlindungan hak cipta atas kegiatan dan konten kreatif kekayaan intelektual.

4

J.M. Vardaman dan Higuchi Ken‟ichiro, „Cultural Exports‟ dalam Contemporary Japanese History: since 1945, IBC Publishing, Tokyo, 2013, hal. 211-215.

5

R. Kelts, „Cool Japan: Beginnings‟, The Journal, September 2014, < http://journal.accj.or.jp/cool-japan-beginnings/>, diakses April 2015.

(3)

3 Dalam penelitian ini, penulis akan membahas mengenai strategi nation

branding chizai-rikkoku oleh pemerintah Jepang di bawah PM Junichiro Koizumi dalam rangka mempelajari strategi Jepang untuk mempertahankan daya

saing industri nasionalnya di tingkat internasional. Penulis juga tertarik untuk meneliti mengenai alasan-alasan yang melatari perumusan strategi branding chizai-rikkoku dan kaitannya dengan krisis ekonomi dan sosial yang dialami oleh masyarakat Jepang pada saat itu. Penelitian ini penting karena kini di era global negara-negara tidak lagi mempunyai pilihan selain untuk saling berkompetisi dengan keunikannya masing-masing untuk meningkatkan ekspor, menarik investor, turis, atau sumber daya manusia yang berkualitas. Di samping itu, konsep nation branding atau yang disebut juga sebagai identitas kompetitif saat ini masih belum cukup mendapat perhatian dalam disiplin ilmu hubungan internasional. Terlebih negara yang dibahas adalah Jepang, negara yang senantiasa menjadi salah satu dari tiga negara dengan kekuatan ekonomi terbesar di dunia. Sebagai negara yang sempat menyandang gelar „Macan Asia‟ di era 80-an, tentu sangat menarik untuk membahas bagaimana Jepang berusaha untuk mempertahankan dan meningkatkan daya saingnya terhadap negara lain di abad ke-21.

1.2.Pertanyaan Penelitian

Dalam rangka mempelajari strategi branding chizai-rikkoku, penulis mengajukan dua buah pertanyaan:

1. Mengapa pemerintah Jepang memilih chizai-rikkoku (negara berbasis kekayaan intelektual) sebagai brand/identitas kompetitifnya di era global? 2. Bagaimana implementasi strategi chizai-rikkoku dalam rangka

memulihkan perekonomian nasional dan meningkatkan daya saing industri Jepang di tingkat internasional?

1.3. Landasan Konseptual

Penulis menggunakan dua landasan konseptual utama dalam menjawab pertanyaan penelitian diatas, yaitu nasionalisme budaya dan nation branding.

(4)

4

A. Nasionalisme Budaya

Terminologi „nasionalisme‟ umumnya menjelaskan mengenai afeksi dan dukungan masyarakat terhadap identitas nasional sebuah negara. Nasionalisme budaya dijelaskan sebagai bentuk nasionalisme yang dibangun di atas budaya bersama, dan bukan institusi ataupun etnisitas. Berada di antara civic (bersifat kewarganegaraan) dan etnik, nasionalisme budaya fokus pada identitas nasional yang dibentuk oleh tradisi kebudayaan seperti bahasa, bukan berdasarkan leluhur ataupun ras. Menurut Kosaku Yoshino (1992) “nasionalisme budaya bertujuan untuk meregenerasi komunitas nasional melalui penciptaan, perlindungan, dan penguatan identitas kebudayaan masyarakat ketika dirasa kurang, tidak cukup, atau terancam. Para nasionalis kebudayaan beranggapan bahwa negara adalah produk dari keunikan sejarah maupun budaya, dan merupakan bentuk solidaritas kolektif yang diberkahi dengan atribut-atribut yang unik.”6 Keanggotaan dari sebuah kelompok masyarakat dengan rasa nasionalisme kebudayaan yang kuat tidak akan dapat secara mudah didapatkan oleh seorang individu tanpa terlebih dahulu mengintegrasikan budaya-budaya serta nilai-nilai yang dimaksud sejak dalam tahap kehidupan awal individu tersebut.

Konsep nasionalisme budaya ini akan digunakan untuk mendukung argumen jawaban dari pertanyaan pertama, yaitu mengapa Jepang memilih „negara berbasis kekayaan intelektual‟ sebagai identitas kompetitifnya di abad ke-21. Dihadapkan dengan situasi krisis ekonomi dan sosial yang mengancam keamanan nasional pada saat itu, pemerintah Jepang pun kemudian memanfaatkan momentum kesuksesan industri konten di luar negeri untuk membangkitkan nasionalisme. Visi untuk menjadi negara adidaya konten bukan hanya berarti merestrukturisasi fondasi perekonomian nasional, tetapi juga repositioning identitas berbasis kebudayaan yang diharapkan akan dapat membangkitkan pride dan rasa nasionalisme masyarakat Jepang.

6

(5)

5 Perwujudan lain dari nasionalisme kebudayaan dalam masyarakat Jepang sebelumnya juga dapat dilihat melalui keberadaan Nihonjinron, yang dapat diterjemahkan sebagai „teori Jepang‟ atau „teori orang-orang Jepang‟. 7 Nihonjinron atau yang disebut juga dengan Nihon Bunkaron, dan Nihon Shakairon, merupakan sebuah dikusi berskala nasional pada tahun 60-an yang mencoba untuk mendefinisikan keunikan-keunikan Jepang seperti karakter dan budaya sehingga menonjol di antara bangsa-negara lain di dunia.8 Dengan kata lain, inisiasi branding chizai-rikkoku bukanlah kali pertama

B. Nation Branding

Terminologi nation branding pertama kali diperkenalkan oleh penasehat kebijakan luar negeri Inggris, Simon Anholt, pada tahun 1996. Anholt mendifinisikan brand sebagai “sebuah produk, servis, atau organisasi yang dinilai melalui nama, identitas, dan reputasi” dan branding sebagai “proses perancangan, perencanaan, dan komunikasi nama dan identitas (sebuah brand) dengan tujuan membangun atau mengelola reputasi (brand tersebut) 9 ”. Keith Dinnie mendefinisikan nation brand sebagai “elemen-elemen yang terpadu secara unik” serta “landasan kultur yang menonjolkan (perbedaan) antara satu negara dengan yang lain.”10

Nation branding oleh Anholt juga dijelaskan sebagai identitas kompetitif, yaitu representasi strategis sebuah negara untuk meningkatkan dan/atau mempertahankan daya saing politik dan ekonominya di era global.11 Definisi inilah yang akan digunakan sebagai acuan penulis dalam penelitian ini.

Anholt mengadopsi kerangka pemikiran ilmu marketing ke dalam ilmu hubungan internasional, di mana dunia modern (era global) dilihat sebagai sebuah pasar yang terintegrasi, negara-negara sebagai komoditas, dan masyarakat internasional sebagai konsumer. Berdasarkan kerangka pemikiran tersebut, secara logis persepsi yang positif mengenai sebuah negara akan memberikan keuntungan

7

Yoshino, hal.2. 8

Vardaman dan Ken‟ichiro, hal. 177. 9

S. Anholt, Competitive Identity: The New Brand Management of Nations, Cities, and Regions, 2007, New York: Palgrave Macmillan, hal. 4.

10

K. Dinnie, Nation Branding: Concepts, Issues, Practice, Elsevier, Great Britain, 2008, hal. 15. 11

S. Anholt, „From nation branding to competitive identity – the role of brand management as a component of national policy‟, 2008, dalam Dinnie, Nation Branding: Concepts, Issues, Practice, hal. 22-23.

(6)

6 dalam bentuk kedatangan turis, foreign direct investment, tenaga kerja berkualitas, dan peningkatan volume ekspor, sementara persepsi yang negatif akan berdampak sebaliknya. Selain untuk tujuan-tujuan diatas, nation branding idealnya juga dapat berkontribusi pada proses nation building karena dapat menumbuhkan kebanggaan, kepercayaan diri, harmoni, dan ambisi nasional.12

Dalam disiplin ilmu hubungan internasional, nation branding kerap dihubungkan dengan praktik diplomasi publik karena keduanya memiliki sejumlah kemiripan terutama dalam kaitannya dengan daya tarik dan pengaruh (influence) yang ditargetkan pada objek asing. Gyorgy Szondi dalam analisisnya mengenai persamaan dan perbedaan konsep antara nation branding dan diplomasi publik13 menjelaskan lima probabalitas hubungan antar kedua konsep, yang dapat dijelaskan melalui gambar di bawah ini:

Gambar 1: Probabilitas Hubungan antara Konsep Nation Branding dan Diplomasi Publik

12

P. Temporal, „Nation Branding is Essential but not an Easy Ride‟, Brand Finance: Nation Brands (.pdf), 2014,

<http://www.brandfinance.com/images/upload/brand_finance_nation_brands_report_2014_final_e dition.pdf>, hal. 21, diunduh April 2015.

13

G. Szondi, Public Diplomacy and Nation Branding: Conceptual Similarities and Differences, Discussion Papers In Diplomacy, 2008, hal. 14-15

Nation Branding Diplomasi Publik Nation Branding Diplomasi Publik Nation Branding Diplomasi Publik Nation Branding = Diplomasi Publik (2) (3) (5) Nation Branding Diplomasi Publik (1) (4)

(7)

7 Meski memiliki sejumlah kemiripan karakteristik, nation branding dan diplomasi publik merupakan dua konsep yang berbeda. Perbedaan-perbedaan signifikan antara kedua konsep dapat dilihat melalui empat poin utama yaitu: 1. Fungsi Pemerintah: dalam nation branding peran pemerintah sangat

dibutuhkan untuk mengarahkan, mengelola, dan mengawasi manajemen brand serta perilaku pemangku kepentingan (brand stakeholders) dengan alasan menjaga integritas brand. Dalam diplomasi publik, pemerintah tidak memiliki fungsi pengarahan, pengelolaan, atau pengawasan terhadap siapapun karena pemerintah merupakan satu-satunya pemangku kepentingan (politik).

2. Situasi Domestik: situasi politik domestik yang relatif stabil dibutuhkan untuk kegiatan nation branding yang efektif, namun tidak demikian dengan diplomasi publik yang umumnya bertujuan untuk menjembatani perbedaan dengan membangun kesepahaman, atau rekonsiliasi hubungan antar pemerintah dan atau masyarakat di dua negara atau lebih.

3. Target: diplomasi publik bertujuan untuk mencapai dan mempengaruhi kebijakan pemerintah asing melalui opini warga negaranya (elite oriented), sementara nation branding menganggap baik warga negara maupun warga asing sebagai targat yang sama penting. Hal ini karena warga negara merupakan komponen pemangku kepentingan dalam nation branding yang harus memahami dan ikut menjalankan visi dan misi dari branding yang tengah diinisiasikan pemerintah demi menjaga integritas brand negara tersebut.

4. Tujuan & hasil: tujuan dari aktivitas diplomasi publik cenderung berjangka pendek sehingga pencapaiannya lebih mudah untuk dievaluasi oleh pemerintah (measurable). Di sisi lain objektif dari kegiatan nation branding relatif berjangka panjang dan memerlukan evaluasi yang berkesinambungan. Sejumlah organisasi swasta yang mengevaluasi nation branding saat ini diantaranya adalah Anholt-GfK Roper dengan Nation

(8)

8 Brands Index, FutureBrand dengan Country Brand Index (CBI), Monocle dengan Soft Power Survey, dan Bloom Consulting dengan Country Brand Ranking.

Mengutip pernyataan Jan Melissen (2005), diplomasi publik dan nation branding merupakan dua konsep sisters under the skin14 yang memiliki tujuan umum mempromosikan citra, membangun identitas, budaya, serta nilai-nilai nasional. Kegiatan diplomasi publik dapat berlangsung tanpa adanya nation branding, namun kegiatan nation branding tidak akan sempurna tanpa diiringi praktik diplomasi publik. Hal ini dapat dilihat pada alat evaluasi nation branding oleh Amine & Chao (2005) 15 yang disebut dengan National Brand Pentagon.

Berdasarkan Nation Brand Pentagon, sebuah kegiatan nation branding dapat dikatakan ideal jika memenuhi lima aspek yaitu (1) mempromosikan pariwisata, (2) merepresentasikan budaya, (3) mendorong ekspor, (4) menarik investasi, dan (5) didukung dengan berbagai kebijakan luar negeri, seperti diplomasi publik. Jika sebuah kegiatan nation branding memenuhi kelima aspek tersebut, maka akan terbentuk sebuah pentagon atau segilima sempurna sebagai berikut.

Gambar 2: National Brand Pentagon

14

Szondi, hal. 26. 15

L. S. Amine, & Chao, M. C. H. (2004). Managing country image to long term advantage ,the case of Taiwan and Acer. Place Branding,1(2), 187-204.

Promosi Pariwisata Merepresentasikan Budaya Ekspor Menarik Investasi Kebijakan Luar Negeri NATIONAL BRAND PENTAGON

(9)

9 Jika melihat pada tujuan dari nation branding Jepang sebagaimana dijelaskan di bagian latar belakang, melalui chizai-rikkoku Jepang berambisi untuk menjadi negara adidaya konten. Dalam branding, ambisi ini dapat dijelaskan sebagai tujuan dari setiap upaya branding yaitu untuk menjadi top-of-mind brand. Top-of-top-of-mind menjelaskan sebuah kondisi di mana sebuah brand mempunyai asosiasi yang kuat terhadap kategori pasar tertentu.16 Misalnya, Jepang merupakan negara maju yang kerap diasosiasikan dengan teknologi terdepan. Begitupun sebaliknya, jika seseorang berfikir mengenai teknologi mutakhir, maka seseorang tersebut akan mengingat Jepang. Melalui branding chizai-rikkoku, Jepang bermaksud menjadi top-of-mind dalam kategori konten kekayaan intelektual yang erat diasosiasikan dengan kreativitas dan inovasi. Persepsi yang demikian mengenai Jepang selanjutnya akan mempengaruhi opini konsumen mengenai brand, produk, perusahaan, maupun konten asal Jepang -- efek yang dikenal sebagai country-of-origin atau COO (contoh COO: „jam tangan Swiss‟, „mobil Jerman‟, dan „sepatu kulit Italia‟).17

1.4. Argumen Utama

Chizai-rikkoku dipilih oleh pemerintah Jepang sebagai identitas kompetitif di abad ke-21 setelah berkaca pada kesuksesan industri konten dan kebudayaan nasional di tingkat internasional selama lebih dari satu dekade. Di bawah Koizumi, pemerintah Jepang bermaksud memanfaatkan momentum kesuksesan tersebut untuk me-revitalisasi iklim bisnis dan perekonomian Jepang. Melalui chizai-rikkoku, pemerintah juga berusaha untuk membangun kembali kepercayaan diri serta pride masyarakat yang tengah menghadapi dampak dari krisis ekonomi dan sosial yang berkepanjangan, sesuai dengan konsep nasionalisme kebudayaan oleh Kosaku Yoshino. Selain itu, melalui chizai-rikkoku pemerintah Jepang juga menunjukkan ambisinya untuk mempertahankan eksistensi dan daya saing terhadap negara-negara lain dengan mengukuhkan identitasnya sebagai negara

16

Top-of-Mind Branding, Fellows & Associates, LLC., Top-of-Mind Branding (online), <http://www.topofmindbranding.com/>, diakses April 2015.

17

Dinnie, hal. 84.

(10)

10 adidaya di bidang konten dan budaya. Implementasi chizai-rikkoku pada periode tahun 2002-2006 memberikan fondasi yang penting untuk manajemen nation branding Jepang di abad ke-21.

1.5. Metodologi Penelitian

Penelitian yang akan mempelajari mengenai latar belakang dan pelaksanaan strategi branding chizai-rikkoku dan pengaruhnya terhadap eksistensi dan daya saing Jepang ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif dengan data kualitatif sebagai data utama dan data kuantitatif sebagai data pendukung argumen. Penulis menghimpun data-data kualitatif dan kuantitatif dari berbagai sumber, meliputi sumber primer, sekunder, dan tersier. Data-data kualitatif diperoleh melalui studi literatur beberapa buku dan studi online beberapa jurnal, laporan penelitian, dan artikel yang berkaitan dengan manajemen nation branding Jepang. Sedangkan untuk data kuantitatif didapatkan dari laporan pemerintah, jurnal, dan artikel-artikel yang bersangkutan. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif, dengan kata lain penulis melakukan analisis terhadap data-data yang telah diperoleh untuk memperoleh kesimpulan.

1.6. Jangkauan Penelitian

Penelitian ini akan fokus pada strategi dan implementasi manajemen nation branding chizai-rikkoku di bawah kepemimpinan PM Junichiro Koizumi sejak tahun 2002 sampai dengan tahun 2006. Tahun 2002-2006 merupakan periode yang penting dalam upaya re-identifikasi dan rekonstruksi identitas kompetitif Jepang di tengah ajang persaingan internasional. Penulis juga akan menyinggung sedikit mengenai upaya-upaya serupa yang telah dilakukan oleh pemerintah modern Jepang pos-Restorasi Meiji seperti dalam pameran Vienna International Exposition tahun 1873, keberadaan diskusi nasional Nihonjinron pasca PD-II, dan kampanye Cool Japan. Re-positioning identitas nasional Jepang dalam sejarah akan dipandang sebagai catatan upaya pemerintah Jepang dalam kegiatan nation branding, dan selanjutnya akan digunakan sebagai bahan rujukan maupun perbandingan terhadap aktivitas nation branding oleh pemerintah Jepang tahun 2002-2006. Wilayah yang dibahas dalam penelitian termasuk seluruh wilayah nasional Jepang.

(11)

11

1.7. Sistematika Penulisan

Penelitian ini akan dibagi ke dalam empat bab utama. Bab pertama merupakan pendahuluan yang membahas mengenai latar belakang inisiasi dan manajemen branding chizai-rikkoku sejak tahun 2002. Bagian ini juga memuat pertanyaan penelitian dan penjelasan mengenai landasan konseptual berupa definisi dari konsep nation branding dan teori nasionalisme budaya. Bahasan pada bagian pertama ini diakhiri dengan uraian argumen utama, metodologi penelitian, jangkauan penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab kedua yang berjudul Latar Belakang Inisiasi Nation Branding

Chizai-rikkoku akan berisi analisis mengenai alasan dari pemilihan “negara berbasis

kekayaan intelektual” sebagai idetitas kompetitif Jepang di era global. Pembahasan mengenai latar belakang inisiasi branding chizai-rikkoku akan dibagi ke dalam dua sub-bab yang akan membedakan antara enabling conditions dan causes. Dalam bab ini juga akan disinggung mengenai upaya-upaya re-identifikasi dan rekonstruksi identitas kompetitif nasional Jepang sebelumnya dengan menengok pada sejarah yaitu pasca Restorasi Meiji dan pasca PD-II.

Bab ketiga yang berjudul Strategi dan Implementasi Chizai-rikkoku akan mengulas mengenai strategi dan kegiatan-kegiatan dari upaya nation branding tersebut. Pembahasan dalam bab ini akan fokus pada kegiatan-kegiatan utama dalam rangkaian program branding chizai-rikkoku, terhitung sejak pidato kebijakan oleh PM Koizumi pada tahun 2002 hingga berakhirnya kepemimpinan PM Koizumi di bulan September tahun 2006. Dalam bab ini juga akan dijelaskan mengenai pengaruh struktur Japan Incorporated, serta fakta-fakta pencapaian pemerintah Jepang terkait branding di tingkat domestik maupun internasional sampai pada tahun 2006.

Bab keempat merupakan bagian penutup yang berisi kesimpulan dan kritik terhadap upaya nation branding Jepang sejak awal implementasinya. Dalam bab ini juga akan dimuat sedikit mengenai perkembangan manajemen nation branding Jepang, termasuk tantangan-tantangan serta pencapaian-pencapaian terkini Jepang yang berkaitan dengan upaya nation branding setelah tahun 2006.

Gambar

Gambar 1: Probabilitas Hubungan antara Konsep Nation Branding dan Diplomasi Publik
Gambar 2: National Brand Pentagon

Referensi

Dokumen terkait

Latar Belakang: Persiapan mental merupakan hal yang tidak kalah pentingnya dalam proses persiapan operasi karena mental pasien yang tidak siap atau labil dapat

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, diketahui pada hari pertama efisiensi teoritis alat destilasi air jenis vertikal dengan menggunakan solar tracker efisiensi

Ketiga tesis di atas secara substantif memang meneliti tentang pemasaran pendidikan di sebuah lembaga, baik pada sekolah tingkat menengah maupun sekolah tinggi. Akan

Berdasarkan mutu kualitas air untuk biota laut menurut Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : 51 Tahun 2004 nilai salinitas untuk kawasan mangrove masih

Achsan Isa Al Anshori Kalimalang Malam achsan@staff.gunadarma.ac.id 1ID13 Maria Chrisnatalia Karawaci maria_c@staff.gunadarma.ac.id 1KA01 Ety Sutanty Depok

Mesin Finger Print adalah sebuat mesin yang berfungsi sebagai alat absensi Mesin Finger Print adalah sebuat mesin yang berfungsi sebagai alat absensi berbasis

Validasi metode cara uji merkuri (Hg) dalam air laut telah dilakukan oleh 4 (empat) orang analis dengan alat spektrofotometer serapan atom yang memberikan

Struktur pasar monopolistik terjadi manakala jumlah produsen atau penjual banyak dengan produk yang serupa/sejenis, namun di mana konsumen produk tersebut