• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 13 REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 13 REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 13

REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH

Kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah secara filosofis memiliki dua tujuan utama yaitu: (1) tujuan demokrasi sebagai instrumen pendidikan politik di tingkat lokal; dan (2) tujuan kesejahteraan untuk terus meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal melalui penyediaan pelayanan publik secara efektif, efisien, dan ekonomis. Implementasi kebijakan tersebut dilakukan sesuai amanat Undang-Undang (UU) No. 22 Tahun 1999 yang direvisi menjadi UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 25 Tahun 1999 yang direvisi menjadi UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.

Keberhasilan pelaksanaan kebijakan tersebut setidaknya tergantung kepada beberapa hal, yaitu: (1) desain rencana dan arah kebijakan; (2) keterpaduan dengan Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN); (3) strategi implementasi; (4) proses implementasi; (5) dukungan politis dari semua stakeholders pada tingkat pengambilan keputusan; dan (6) perubahan sistem nilai dan kinerja birokrasi dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.

(2)

Dalam tataran desain rencana dan arah kebijakan, Pemerintah telah mencantumkan agenda tersebut dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004–2009. Sebagai penjabaran visi dan misi Presiden dan Wakil Presiden terpilih, RPJMN 2004– 2009 menempatkan revitalisasi proses desentralisasi dan otonomi daerah sebagai salah satu agenda untuk menciptakan Indonesia yang adil dan demokratis.

Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Tahun 2006 sebagai rencana kerja pemerintah tahunan, pada Bab 12 mengenai Revitalisasi Proses Desentralisasi dan Otonomi Daerah memberikan arah kebijakan serta program dan kegiatannya guna mendukung pelaksanaan kebijakan tersebut agar tetap sesuai dengan maksud dan tujuan otonomi daerah yang diamanatkan kedua perundang-undangan tersebut.

Terkait dengan tataran strategi, saat ini Pemerintah sedang menyusun suatu grand strategy otonomi daerah sebagai panduan dan arahan implementasi kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah, sehingga tujuan filosofis dari kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah dapat tercapai, termasuk keharmonisan hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang tetap terjaga serta keutuhan wilayah negara dan tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia terus terjamin dan terpelihara.

I. PERMASALAHAN YANG DIHADAPI

Implementasi kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah yang telah berjalan selama enam tahun, telah banyak mengalami kemajuan. Namun disadari, bahwa perjalanan untuk mencapai tujuan dari pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah masih mengalami banyak permasalahan. Beberapa permasalahan utama yang dirasakan Pemerintah, antara lain dalam aspek penataan peraturan perundang-undangan, penataan kelembagaan pemerintah daerah, peningkatan kualitas dan kapasitas aparatur pemerintah daerah, pengelolaan keuangan daerah, pelaksanaan kerja sama antar daerah, penataan Daerah Otonom Baru (DOB).

Dalam kaitannya dengan penataan peraturan perundang-undangan, permasalahan mendasar yang dialami adalah belum

(3)

selesainya berbagai peraturan pelaksana dari UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Dari sebanyak 28 (dua puluh delapan) Peraturan Pemerintah (PP), 2 (dua) Peraturan Presiden (Perpres), dan 3 (tiga) Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) yang diamanatkan oleh UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No.33 Tahun 2004, baru selesai disusun dan diterbitkan 18 (delapan belas) PP, 1 (satu) Perpres, dan 2 (dua) Permendagri, serta 6 (enam) Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) sedang difinalisasi oleh Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia. Sisanya 10 (sepuluh) RPP, 1 (satu) Rancangan Peraturan Presiden (Raperpres), dan 1 (satu) Rancangan Permendagri masih dalam pembahasan antara Departemen Dalam Negeri dengan Departemen lainnya/Lembaga Pemerintah Non Departemen dan daerah. PP yang sudah ditetapkanpun masih belum dapat dilaksanakan sepenuhnya, karena belum dilengkapi dengan Perpres, Keputusan Presiden (Keppres), Instruksi Presiden (Inpres) dan Peraturan Menteri (Permen) sebagai petunjuk teknis pelaksanaan dari PP tersebut.

Selain itu pelaksanaan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah belum sepenuhnya dapat berjalan sebagaimana yang diharapkan mengingat masih banyak terjadinya tumpang tindih antara UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dengan berbagai undang-undang sektoral. Kondisi tersebut diperburuk dengan masih banyaknya peraturan daerah yang memberatkan dunia usaha, diskriminatif, dan tidak kondusif terhadap perkembangan dunia usaha. Permasalahan lain dalam pelaksanaan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah adalah belum selesainya penyusunan Rencana Aksi Nasional (RAN) Desentralisasi sebagai penjabaran dari Grand Strategy Penataan Otonomi Daerah yang meliputi urusan pemerintahan, kelembagaan, personil, keuangan daerah, perwakilan, pelayanan publik, dan pengawasan juga mempengaruhi pelaksanaan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah.

Secara khusus, permasalahan yang muncul dari proses pelaksanaan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah pada aspek kelembagaan Pemerintah Daerah adalah belum tersusunnya Standar Pelayanan Minimal (SPM) untuk masing-masing sektor oleh kementerian/lembaga yang mengacu terhadap PP No. 65 Tahun 2005

(4)

tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal, sehingga daerah belum memiliki acuan pelaksanaan SPM tersebut. Hal lain adalah masih lemahnya koordinasi antar organisasi perangkat pemerintahan daerah, di masing-masing pemerintah kabupaten/kota maupun koordinasi antara pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota.

Di samping itu, penyelenggaraan kelembagaan pemerintah daerah masih belum berjalan secara efektif dan efisien. Hal ini tercermin dari belum optimalnya kualitas pelayanan umum kepada masyarakat, pengembangan ekonomi lokal yang masih rendah, dan belum baiknya iklim investasi. Semuanya itu disebabkan oleh masih besarnya perangkat organisasi daerah, koordinasi antarperangkat organisasi daerah dan hubungan kerja antara pemerintah daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang belum baik, praktik tata pemerintahan yang baik (good governance), dan kerja sama antarpemerintah daerah yang juga belum optimal.

Sebagai perwujudan demokrasi, pelaksanaan pemilihan kepala daerah (Pilkada) langsung di beberapa daerah telah berjalan dengan baik, meskipun di beberapa daerah terjadi berbagai protes dan ketidakpuasan para pendukung pasangan calon kepala daerah terhadap proses dan hasil Pilkada tersebut.

Permasalahan dan tantangan dalam pengembangan aparatur diantaranya: (1) belum dilakukan penempatan aparatur pemerintah daerah berdasarkan tingkat kompetensi; (2) masih rendahnya kapasitas aparatur pemerintah daerah dalam menjaga keberlanjutan investasi dan kesempatan kerja; (3) rendahnya kinerja aparatur dalam memberikan pelayanan publik serta mitigasi bencana dan penanganan pasca bencana; (4) belum adanya pemisahan antara jabatan negeri dan jabatan negara, sehingga berimplikasi kepada kurang berkembangnya profesionalisme aparatur pemerintah daerah; 5) belum tersusunnya norma, standar, dan prosedur pedoman perencanaan Pegawai Negeri Sipil (PNS); 6) belum berkembangnya budaya penelitian di bidang kepegawaian, termasuk budaya menulis, sehingga mengalami hambatan dalam melaksanakan penelitian; (7) belum optimalnya pemantauan dan evaluasi formasi jabatan secara nasional; (8) belum tersusunnya secara baik pola karier PNS, model pengembangan karier dan diklat PNS secara nasional, serta pedoman pengembangan karier

(5)

PNS dalam jabatan struktural dan fungsional; (9) belum tersusunnya formula gaji yang layak dan formula tunjangan jabatan PNS; dan (10) belum tersusunnya norma, standar, dan prosedur pedoman sistem cuti, sistem asuransi, dan sistem penghargaan PNS. Permasalahan tersebut menyulitkan upaya mempercepat peningkatan pelayanan umum, peningkatan kesejahteraan masyarakat, pelaksanaan demokrasi, dan penciptaan pemerintahan yang baik, sesuai dengan tujuan pelaksanaan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah.

Berkaitan dengan pengelolaan keuangan daerah, permasalahan yang muncul adalah belum mantapnya kinerja lembaga pemerintah daerah, belum optimalnya reformasi administrasi dan proses penganggaran di daerah, belum tersusunnya Sistem Informasi Keuangan Daerah (SIKD) yang baik, dan belum optimalnya pengelolaan pendapatan dan investasi kekayaan daerah. Pengelolaan keuangan daerah juga masih terhambat oleh kapasitas manajerial pengelolaan maupun terbatasnya kemampuan daerah untuk membiayai seluruh urusan yang telah menjadi kewenangan daerah, masih adanya praktek pemanfaatan keuangan daerah yang tidak baik, dan masih didominasinya keuangan daerah untuk membiayai belanja aparatur.

Dalam hal pengelolaan dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan, permasalahan yang ada adalah dana-dana dari kementerian/lembaga yang diserahkelolakan ke pemerintah daerah melalui dinas-dinas terkait, belum melibatkan pemerintah daerah, terutama dalam merencanakan kegiatan pelimpahan wewenang yang akan didekonsentrasikan dan kegiatan pembantuan yang akan diberikan oleh Pemerintah. Selain terkait dengan aspek perencanaan, penentuan pemanfaatan dana dekonsentrasi atau tugas pembantuan selama ini belum terkoordinasi dengan baik, sehingga mengakibatkan tidak terpadunya kegiatan yang dananya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Selain itu, perlu dipahami juga bahwa sebagian dari dana dekonsentrasi tersebut juga digunakan untuk menangani urusan yang telah menjadi urusan pemerintah daerah. Permasalahan ini belum pernah ditemukenali secara jelas dan dituntaskan secara sistematis karena berkaitan juga dengan pengaturan

(6)

kewenangan yang belum tertata antara pusat dan daerah sampai saat ini.

Belum optimalnya kerja sama antarpemerintah daerah khususnya dalam penanganan penyediaan sarana dan prasarana dasar, pengembangan potensi ekonomi daerah, kawasan perbatasan dan pengurangan kesenjangan antarwilayah seperti kawasan kerja sama wilayah JABODETABEKJUR (Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi-Cianjur), kawasan kerja sama wilayah KARTAMANTUL (Kota Yogyakarta-Sleman-Bantul), kawasan kerja sama wilayah BARLINGMASCAKEB (Banjarnegara-Purbalingga-Banyumas-Cilacap-Kebumen), dan kawasan kerjasama wilayah SUBOSUKAWONOSRATEN (Surakarta, Boyolali, Sukoharjo, Karanganyar, Wonogiri, Sragen, dan Klaten), merupakan isu strategis dari proses revitalisasi desentralisasi dan otonomi daerah saat ini. Oleh karena itu, peningkatan kerja sama antardaerah merupakan salah satu hal yang terus didorong untuk mengatasi permasalahan tersebut. Selain itu, masih perlu dilakukan revitalisasi fungsi kerja sama yang strategis dalam usaha menjaga keberlanjutan, efektivitas, dan optimalisasi kemajuan pembangunan di daerah. Dari kerjasama tersebut diharapkan mampu mendatangkan konsep-konsep baru dan inovasi-inovasi bermutu yang menguntungkan tiap pihak, dengan pertimbangan efisiensi, efektivitas, sinergisitas, dan saling menguntungkan.

Dalam kaitannya dengan penataan DOB, permasalahan yang muncul adalah belum optimalnya peran dewan Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD) di dalam proses pembentukan daerah-daerah otonom lainnya. Selain itu, usulan pembentukan DOB masih banyak yang lebih didasarkan pada kepentingan kelompok dan elite tertentu di daerah, daripada didasarkan pada upaya daerah dalam rangka mendekatkan pelayanan dan peningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat. Persyaratan administratif dan politis lebih dominan daripada persyaratan keuangan dan teknis yang dibutuhkan. Masalah lainnya yang terkait dengan pembentukan DOB adalah lemahnya koordinasi antara pemerintah daerah induk dan pemerintah daerah baru dalam pengelolaan aset-aset daerah, aparatur pemerintah daerah, dan batas wilayah.

(7)

Hal terakhir terkait dengan penanganan bencana alam seperti gempa bumi dan tsunami di daerah, seperti bencana alam gempa yang terjadi pada tanggal 27 Mei 2006 di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Provinsi Jawa Tengah, dan Provinsi Jawa Barat telah menimbulkan berbagai permasalahan dan perubahan terhadap penyelenggaraan pemerintahan dan kelembagaan, seperti: (1) kelembagaan Pemerintah yang tidak dapat berfungsi secara optimal; 2) kinerja aparat pemerintah daerah yang menurun akibat dampak psikologis pascabencana; dan (3) banyaknya sarana dan prasarana pemerintahan yang tidak berfungsi dan rusak, sehingga menggangu proses pemerintahan.

II. LANGKAH-LANGKAH KEBIJAKAN DAN HASIL-HASIL YANG DICAPAI

Penyempurnaan kebijakan di bidang desentralisasi dan otonomi daerah telah mulai dilaksanakan, terutama terkait dengan penyusunan perundang-undangan dan perancangan peraturan pelaksanaan (program legislasi) serta dukungan terhadap upaya sosialisasi kebijakan desentralisasi secara sistematis, baik bagi jajaran aparatur (pusat dan daerah), DPRD maupun masyarakat. Saat ini, telah dan sedang disusun berbagai RPP sebagai pelaksana UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 33 Tahun 2004 yang terkait dengan kelembagaan, keuangan daerah, perimbangan keuangan, aparatur pemerintah daerah, perwakilan daerah, pelayanan, sistem pemantauan dan evaluasi penyelenggaraan pemerintahan daerah, serta pembentukan DOB.

Revitalisasi proses kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah pada aspek kelembagaan pemerintah daerah dilakukan dengan mempercepat penyusunan SPM masing-masing sektor terhadap masyarakat. Penguatan koordinasi antarkementerian/lembaga dengan organisasi perangkat pemerintah daerah harus selalu berjalan secara efektif dan efisien untuk melaksanakan hal tersebut.

Peningkatan kapasitas dan kompetensi aparatur pemerintah daerah akan tetap menjadi kebijakan penting dalam keberhasilan pemerintahan di daerah. Proses optimalisasi pengelolaan sumber daya daerah secara efektif dan efisien untuk kemajuan dan kemandirian daerah merupakan sesuatu yang harus segera direalisasikan. Oleh

(8)

karena itu, pemerintah daerah harus segera melakukan berbagai usaha peningkatan profesionalitas dan kompetensi aparaturnya guna memenuhi tuntutan kebijakan tersebut. Upaya pengelolaan aparatur daerah merupakan permasalahan mendasar yang solusinya menuntut serangkaian kebijakan yang sistematik, pragramatis dan komprehensif agar dapat menyentuh permasalahan yang substansial dalam menerapkan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah .

Pengelolaan keuangan daerah juga menjadi isu penting yang masih harus diperbaiki secara komprehensif dan berkelanjutan. Sudah menjadi keharusan untuk mereformasi dan mengorientasikan kembali semua arah kebijakan dan tujuan pemanfaatan sumber daya keuangan di daerah terhadap sistem penyelenggaraan pemerintahan, agar pelaksanaan otonomi daerah dapat menciptakan hasil pembangunan yang nyata dan dapat dirasakan oleh semua masyarakat.

Kemandirian pemerintah daerah agar lebih kreatif dan inovatif dalam menggali keunggulan komparatif dan kompetitif di daerahnya akan menjadi sumber pendapatan daerah yang penting dan bermanfaat. Upaya pembuatan standar-standar pembiayaan yang baik, efektif, efisien, transparan, dan akuntabel dimaksudkan untuk menjadikan perimbangan keuangan daerah lebih efektif dan efisien. Sehingga sistem perimbangan keuangan tidak selalu bertumpu pada sistem subsidi saja. pemerintah daerah harus terus meningkatkan pemerataan pembangunan di daerahnya. Hal tersebut akan menjadi stimulan untuk tumbuh kembangnya pusat-pusat perekonomian rakyat baru, sehingga proses pemberdayaan ekonomi kerakyatan diharapkan mampu memberikan subsidi berharga bagi peningkatan keuangan daerah.

Selain itu, terus diupayakan langkah-langkah pengalihan bagian anggaran kementerian negara/lembaga yang selama ini di daerah sering dipersepsikan sebagai dana dekonsentrasi dan dana tugas pembantuan, terutama dana-dana yang digunakan untuk menangani urusan yang telah menjadi kewenangan pemerintah daerah ke dalam Dana Alokasi Khusus (DAK). Upaya pengalihan dimaksud dilakukan dengan tetap mempertimbangkan peraturan perundang-undangan sebagai revisi PP No. 25 Tahun 2000 yang mengatur tentang pembagian urusan pemerintahan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

(9)

Untuk mengoptimalkan potensinya dan meningkatkan pelayanan publik, pemerintah daerah diharapkan dapat bekerja sama dan mengeluarkan inovasi-inovasi yang didasarkan pada pertimbangan efisiensi dan efektivitas, sinergis dan saling menguntungkan terutama dalam bidang-bidang yang menyangkut kepentingan lintas wilayah. Perlu sebuah model dan strategi mengenai bentuk kerja sama antardaerah yang efektif, guna meningkatkan kemampuan daerah dalam mengatasi keterbatasan-keterbatasan yang dimilikinya.

RPP tentang Kerja Sama antardaerah sebagai peraturan pelaksana dari UU No. 32 tahun 2004, diharapkan mampu mendorong terciptanya kerja sama antarpemerintah daerah. Kerja sama tersebut sangat penting untuk melakukan proses pembangunan, karena dapat dilakukan dengan cara pembiayaan bagi hasil (cost sharing) sehingga daerah-daerah yang bekerja sama dapat membagi beban biaya yang besar apabila ditanggung secara sendiri. Untuk itu kerjasama daerah perlu menjadi alternatif kegiatan pembangunan terutama untuk daerah-daerah yang tertinggal dan memiliki keterbatasan dalam hal keuangan, namun mempunyai potensi sumberdaya yang besar. Kerja sama antardaerah dilakukan sejalan dan konsisten dengan prinsip-prinsip : (1) transparansi; (2) akuntabilitas; (3) partisipatif; (4) saling menguntungkan dan memajukan; (5) dibangun untuk kepentingan umum, 6) keterkaitan yang dijalin atas dasar saling membutuhkan; (7) keberadaan yang saling memperkuat pihak-pihak yang terlibat; (8) kepastian hukum; dan (9) tertib penyelenggaraan pemerintahan daerah.

Berkaitan dengan kebijakan penataan DOB yang lebih komprehensif, Pemerintah sedang menyusun RPP tentang instrumen tata cara pembentukan, penghapusan dan penggabungan daerah. Sejalan dengan hal itu, dilakukan upaya untuk mendorong pemerintah daerah induk untuk melakukan pembinaan serta memfasilitasi kepada pemerintah daerah yang baru menjadi daerah pemekaran di 7 provinsi, 114 Kabupaten, dan 27 Kota baru. Untuk mempercepat pembangunan di DOB, strategi yang akan diambil Pemerintah dengan cara: (1) penataan peraturan perundang-undangan mengenai desentralisasi dan otonomi daerah; (2) peningkatan kapasitas keuangan pemerintah daerah; (3) peningkatan kerja sama antardaerah; (4) peningkatan

(10)

sarana dan prasarana Pemerintah dan pelayanan publik; dan (5) penerapan tata pemerintahan yang baik (good governance). Selain itu strategi pemekaran suatu DOB harus didasarkan pada proses pertimbangan, penilaian, evaluasi, dan penentuan kebijakan yang lebih mengedepankan pertimbangan kelayakan teknis, administratif, ekonomi dan potensi kemandirian dalam penyelenggaraan pemerintahan sebagai daerah otonom, selain pertimbangan politis. Sampai saat ini terdapat 10 (sepuluh) calon daerah otonom yang telah memenuhi persyaratan administratif dan telah dikaji oleh Tim DPOD yang akan segera diajukan Pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia untuk proses pembentukannya.

Beberapa strategi dalam kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana gempa bumi di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Provinsi Jawa Tengah dalam upaya pemulihan sektor pemerintahan dan kelembagaan antara lain: (1) inventarisasi, perbaikan, dan pembangunan kembali fasilitas publik milik pemerintah pusat maupun daerah yang rusak akibat bencana dengan tetap memberikan dukungan rehabilitasi dan rekonstruksi terhadap sektor swasta; (2) mengembalikan fungsi pemerintahan dan pelayanan publik dengan terus mempertahankan ketertiban umum; (3) menata kembali kapasitas kelembagaan Pemerintah dalam melaksanakan tugas dan fungsinya; dan (4) memulihkan hak-hak legal/izin usaha yang hilang melalui prosedur dan mekanisme yang sederhana untuk menjamin kenyamanan dan keamanan masyarakat dalam melakukan usaha. Termasuk melanjutkan proses rehabilitasi dan rekonstruksi Provinsi Nangroe Aceh Darussalam, Kepulauan Nias Provinsi Sumatra Utara, Kabupaten Alor, dan Kabupaten Nabire di bidang kelembagaan pemerintah daerah.

Berbagai hasil yang telah dicapai dalam upaya pelaksanaan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah, tidak lepas dari selesainya penyusunan dan penerbitan beberapa peraturan perundangan sebagai peraturan pelaksanaan dari UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan UU 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Berikut beberapa peraturan pelaksana sebagai turunan dari UU 32 tahun 2004 yang telah selesai disusun dan diterbitkan antara lain: (1) PP No. 54 Tahun 2004 tentang Majelis Rakyat Papua; (2) PP No. 6 Tahun 2005

(11)

tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang kemudian disempurnakan melalui PP No. 17 Tahun 2005; (3) PP No 32 Tahun 2004 tentang Pedoman Pembentukan dan Susunan Organisasi Satuan Polisi Pamong Praja; (4) PP No. 29 Tahun 2005 tentang Bantuan Keuangan Kepada Partai Politik; (5) PP No. 37 tahun 2005 tentang Kedudukan Protokoler, Keuangan Pimpinan dan Anggota DPRD; (6) PP No.53 tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan Peraturan Tatatertib DPRD; (7) PP No. 65 Tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal; (8) PP No. 72 tahun 2005 tentang Desa; (9) PP No. 73 tahun 2005 tentang Kelurahan; dan (10) PP No. 79 Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.

Selain berbagai PP tersebut, pemerintah juga telah menyusun dan menerbitkan: (1) Perpres No. 28 Tahun 2005 tentang Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah; (2) Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 9 dan No. 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dan Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama dan Pendirian Rumah Ibadat; (3) Permendagri No. 32 Tahun 2005 tentang Pedoman Pengajuan, Penyerahan dan Laporan Penggunaan Bantuan Keuangan Kepada Partai Politik; (4) Permendagri No. 1 Tahun 2006 tentang Pedoman Penegasan Batas Daerah; (5) Permendagri No. 11 Tahun 2006 tentang Komunitas Intelijen Daerah; dan (6) Permendagri No. 12 Tahun 2006 tentang Kewaspadaan Dini Masyarakat di Daerah.

Sedangkan beberapa peraturan perundangan yang telah diterbitkan sebagai peraturan pelaksana dari UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, antara lain: (1) PP No. 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum; (2) PP No. 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan; (3) PP No. 54 Tahun 2005 tentang Pinjaman Daerah; (4) PP No. 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan; (5) PP No. 56 Tahun 2005 tentang Sistem Informasi Keuangan Daerah; (6) PP No. 57 Tahun 2005 tentang Hibah ke Daerah; (7) PP No. 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah; (8) PP No. 6 Tahun 2006 Pedoman Pengelolaan Barang Milik

(12)

Negara/Daerah; (9) Permendagri No. 16 Tahun 2005 tentang Perhitungan Dasar Pengenaan Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor Tahun 2005; (10) Permendagri No. 17 Tahun 2005 tentang Perhitungan Dasar Pengenaan Pajak Kendaraan di atas Air dan Bea Balik Nama Kendaraan di atas Air; (11) Permendagri No. 21 Tahun 2005 tentang Perubahan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 12 Tahun 2005 tentang Pedoman Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Belanja Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala daerah; (12) Permendagri No. 7 Tahun 2006 tentang Standarisasi Sarana dan Prasarana Kerja Pemerintahan Daerah; dan (13) Permendagri No. 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan daerah.

Beberapa pencapaian pada tahun 2006 mengenai penguatan keuangan daerah dan DOB, diantaranya: (1) terselesaikannya Rencana Aksi Nasional Desentralisasi Fiskal (RAN DF), termasuk pemantauan dan pengendalian pelaksanaan RAN DF; (2) terlaksananya Sistem Informasi Bina Administrasi Keuangan Daerah (SIBAKD) dan Sistem Informasi Pengelolaan Keuangan Daerah (SIPKD) inkubator di 12 provinsi dan 59 kabupaten/kota; (3) terselesaikannya beberapa masalah perebutan aset daerah dan kasus batas administrasi daerah di DOB; dan (4) terselesaikannya dukungan peraturan perundangan dalam rangka penanggulangan bencana, seperti pada Surat Edaran Menteri Dalam Negeri (SE Mendagri) No. 061/2143/SJ Tahun 2006 tentang Antisipasi Bencana di Daerah kepada seluruh Pemerintah Provinsi, Kabupaten, dan Kota serta SE Mendagri No. 443/2738/SJ tanggal 25 Oktober 2005 kepada Gubernur Seluruh Indonesia perihal Antisipasi Terhadap Virus Flu Burung.

Pada aspek aparatur pemerintah daerah, beberapa pencapaian pada tahun 2006 antara lain: (1) terselesaikannya kajian mengenai standar kompetensi aparatur pemerintah daerah; (2) tersusunnya rencana pengelolaan aparatur pemerintah daerah; (3) terselenggaranya fasilitasi diklat kepada pemerintah daerah; (4) review dan perbaikan pedoman, kurikulum dan modul; dan (5) meningkatnya kemampuan aparatur dalam mitigasi bencana dan penanganan pascabencana.

Pada aspek kelembagaan daerah dalam mendukung demokrasi di tingkat lokal adalah suksesnya pelaksanaan Pilkada langsung selama Juni 2005 hingga Juni 2006 pada 252 Pilkada dan wakil kepala

(13)

daerah (gubernur, bupati, dan walikota), yaitu: pemilihan gubernur dan wakil gubernur sebanyak 10 Provinsi, pemilihan bupati dan wakil bupati sebanyak 204 kabupaten, dan pemilihan walikota dan wakil walikota sebanyak 38 kota.

Pada aspek kerja sama antarpemerintah daerah, beberapa pencapaian pada tahun 2006 adalah terbentuknya forum-forum kerja sama antarpemerintah daerah dalam bidang sosial, ekonomi dan pelayanan publik dasar seperti: (1) terbentuknya forum-forum kerja sama antarpemerintah daerah dalam bidang ekonomi dan keamanan di wilayah perbatasan; dan (2) terbentuknya pelaksanaan pelayanan satu atap bagi perizinan investasi dan pelayanan publik dasar.

Selain itu, dalam kaitannya dengan proses rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana gempa bumi dan tsunami bidang kelembagaan adalah terbangunnya beberapa bangunan pemerintahan yang hancur serta terlengkapinya peralatan kantor dan peralatan manajemen bencana di wilayah Aceh, Nias, Alor, dan Nabire.

III. TINDAK LANJUT YANG DIPERLUKAN

Menyadari masih banyaknya permasalahan yang muncul dalam proses desentralisasi dan otonomi daerah, maka diperlukan perbaikan dari aspek-aspek: (1) peraturan perundang-undangan; (2) grand strategy otonomi daerah; (3) kelembagaan pemerintah daerah; (4) pemilihan kepala daerah; (5) peningkatan kapasitas aparatur pemerintah daerah; (6) keuangan daerah; (7) kerja sama antardaerah; (8) DOB; (9) pembangunan kapasitas; dan (10) pengendalian dan evaluasi, dengan rincian sebagai berikut.

Terkait dengan peraturan-perundang-undangan beberapa hal yang harus dilakukan adalah menyelesaikan dan memantapkan peraturan pelaksanaan mengenai peraturan perundang-undangan yang mengatur otonomi khusus (Provinsi Nangroe Aceh Darussalam, Provinsi Papua, dan Provinsi Irian Jaya Barat). Selain itu hal lain yang harus dilakukan adalah melakukan penyelarasan dan harmonisasi peraturan perundang-undangan sektoral yang bertentangan dengan UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 33 Tahun 2004 khususnya untuk mendukung penciptaan iklim yang kondusif bagi kegiatan investasi,

(14)

kegiatan berusaha, dan penciptaan lapangan kerja, serta mantapnya pelaksanaan urusan kepemerintahan.

Peraturan pelaksana dari UU No. 32 dan UU No. 33 yang saat ini sedang dalam proses penyusunan adalah: (1) PP tentang Pedoman Pengelolaan Kawasan Perkotaan; (2) PP tentang Pengangkatan Sekretaris Desa menjadi PNS; (3) PP tentang Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah; (4) PP tentang Tatacara Pembentukan, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah; (5) PP tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Kabupaten/Kota; (6) PP tentang Belanja Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah; (7) PP tentang Pelaporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Kepala Daerah dan Informasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah; (8) PP tentang Hubungan Pelayanan Umum Antara Pemerintah dengan Pemerintahan Daerah dan Antar Pemerintah Daerah; (9) PP tentang Perubahan Batas, Perubahan Nama dan Pemindahan Ibukota; (10) PP tentang Fungsi Pemerintahan Tertentu; (11) PP tentang Tatacara Penetapan Kawasan Khusus; (12) PP tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerjasama Antar Daerah; (13) PP tentang Penegasan Batas Daerah; (14) PP tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah; (15) PP tentang Tahapan, Tatacara Penyusunan, Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah; (16) PP tentang Kedudukan Keuangan Gubernur Selaku Wakil Pemerintah; (17) PP tentang Tatacara Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Gubernur selaku Wakil Pemerintah; (18) PP tentang Tatacara Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Penggunaan Dana Darurat; (19) PP tentang Insentif dan/atau Kemudahan Kepada Masyarakat/Investor; (20) PP tentang Pedoman Standar, Norma dan Prosedur Pembinaan dan Pengawasan Manajemen PNS Daerah; (21) PP tentang Pengelolaan Dana Darurat; dan (22) PP tentang Pengelolaan Dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan.

Sedangkan peraturan pelaksana lainnya yang saat ini sedang dalam proses penyusunan adalah: (1) Perpres tentang Tatacara Mempersiapkan Rancangan Peraturan Daerah; (2) Permendagri tentang Perpindahan Menjadi Pegawai Negeri Sipil Pusat dan Pegawai

(15)

Negeri Sipil Daerah; dan (3) Permendagri tentang Tata Cara Perubahan Batas, Perubahan Nama dan Pemindahan Ibukota.

Dalam kaitannya dengan grand strategy mengenai pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah, yang akan dilakukan adalah menyelesaikan grand strategy otonomi daerah sebagai kerangka besar pelaksanaan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah, termasuk penjabaran masing-masing elemen di dalam grand strategy tersebut menjadi Rencana Aksi Nasional (RAN).

Dalam kaitannya dengan kelembagaan pemerintah daerah yang perlu dilakukan adalah mendorong terbentuknya kelembagaan pemerintah daerah yang efektif, efisien dan akuntabel sesuai prinsip-prinsip tata pemerintahan yang baik (good governance), termasuk dalam hal reformasi birokrasi dan pembenahan struktur kelembagaan pemerintah daerah agar sesuai dengan PP sebagai revisi PP No. 8 Tahun 2003.

Dalam kaitannya dengan pelaksanaan pemilihan kepada daerah, tindak lanjut yang dilakukan adalah mendukung pemilihan kepala daerah langsung yang aman, tertib dan lancar dengan melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan Pilkada langsung tahun sebelumnya untuk mendukung keamanan, ketertiban dan kelancaran pelaksanaan pemilihan kepala daerah saat ini dan tahun berikutnya.

Dalam kaitannya dengan peningkatan kualitas dan kapasitas aparatur pemerintah daerah, tindak lanjut yang perlu dilakukan adalah meningkatkan kapasitas aparatur pemerintah daerah yang profesional dan kompeten dalam pelayanan publik dan mendukung peningkatan iklim berusaha dan investasi. Hal ini terutama pada daerah-daerah hasil pemekaran dengan mengikuti pendidikan dan pelatihan yang bertujuan membentuk kompetensi substansial dalam penyelenggaraan pemerintah daerah sesuai jalur karir (career path). Hal yang sama juga dibutuhkan bagi aparatur pemerintah daerah tertentu, seperti Provinsi Nangroe Aceh Darussalam, Kepulauan Nias, Kabupaten Alor, Kabupaten Nabire, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Provinsi Jawa Tengah, dan Provinsi Jawa Barat perlu peningkatan kapabilitas dalam mitigasi bencana dan penanganan pascabencana.

Berkaitan dengan peningkatan kapasitas keuangan daerah, hal yang perlu dilakukan adalah meningkatkan kapasitas pengelolaan dan

(16)

kemampuan keuangan pemerintah daerah agar lebih profesional, tertib, transparan, dan akuntabel. Selain itu perlu dilakukan pemantapan pelaksanaan perimbangan keuangan pusat dan daerah yang menganut prinsip money follows function yang mengacu kepada revisi PP mengenai pembagian urusan pemerintahan, termasuk peningkatan koordinasi pelaksanaan dana dekonsentrasi melalui gubernur provinsi sebagai kepala wilayah.

Dengan berbagai pencapaian di bidang kerja sama antarpemerintah daerah, berbagai kegiatan yang perlu dilakukan adalah meningkatkan kerja sama antarpemerintah daerah melalui sosialisasi dan diseminasi PP mengenai kerja sama antardaerah, fasilitasi forum-forum kerjasama antardaerah dalam hal penyediaan pelayanan publik dasar, peningkatan iklim usaha dan investasi, penanganan disparitas antarwilayah, serta penanganan kawasan perbatasan, termasuk melalui fasilitasi peran pemerintah provinsi.

Dalam kaitannya dengan penataan DOB, tindak lanjut yang diperlukan adalah melakukan evaluasi dan penataan terhadap DOB dengan memperhatikan pertimbangan kelayakan teknis, administratif, politis, dan potensi daerah dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Selain itu hal lain yang perlu dilakukan adalah mempercepat pembangunan DOB dengan upaya penataan peraturan perundangan, peningkatan iklim investasi, peningkatan kapasitas keuangan pemerintah daerah, pemberdayaan usaha skala mikro, pengembangan ekonomi lokal, peningkatan infrastruktur pedesaan, kerja sama antardaerah, peningkatan sarana prasarana pemerintahan dan pelayanan publik, penerapan good governance, dan penataan ruang yang baik.

Terkait dengan pembangunan kapasitas (capacity building), hal yang perlu dilakukan adalah meningkatkan pemahaman masyarakat akan potensi manfaat dari desentralisasi dan otonomi daerah. Oleh karena itu, direncanakan untuk mengkaji ulang dan memperbaharui kerangka kerja nasional dalam pembangunan kapasitas untuk mendukung desentralisasi. Selain itu, saat ini sedang dipersiapkan rancangan Keppres tentang pembangunan kapasitas dalam mendukung desentralisasi. Kedua instrumen ini diharapkan dapat menjadi referensi dalam menyiapkan program dan kegiatan proses penguatan

(17)

kapasitas institusi-institusi yang terlibat dalam desentralisasi dan pemerintahan daerah.

Terkait dengan pengendalian dan evaluasi penyelenggaraan pemerintahan daerah, saat ini telah diterbitkan PP No. 79 Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, yang menyediakan instrumen dan prosedur yang diperlukan. Akan tetapi, upaya lebih lanjut tetap diperlukan untuk membuat pengaturan ini operasional dan bisa menciptakan sistem supervisi yang efektif. Oleh sebab itu, saat ini sedang disusun Peraturan Pemerintah mengenai evaluasi penyelenggaraan pemerintahan daerah termasuk pedoman teknis pelaksanaannya.

Referensi

Dokumen terkait

dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Keputusan Menteri Sosial tentang Penetapan Desa Dalam Program Pengembangan Model Desa Sejahtera Mandiri

Dari penelitian Greenberg dan Baron (Priansa, 2014, h.306) terlihat bahwa banyak faktor yang menentukan kepuasan karyawan dalam melakukan pekerjaan, salah satu

Guru merupakan kunci utama keberhasilan proses pembelajaran di sekolah. Guru diharapkan bisa menyiapkan dan membuka diri terhadap beberapa kemungkinan terjadinya perubahan,

Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa, para remaja di Gampong Air Pinang, merokok sudah hal biasa akan tetapi jika minum tuak para remaja melakukan hal

Berdasarkan uraian di atas maka kadar glukosa darah terendah pada interaksi setiap perlakuan dari yang tertinggi hingga terendah perlakuan adalah kontrol menit ke-60, jus lidah buaya

Pada tanggal laporan posisi keuangan konsolidasian, aset dan liabilitas moneter dalam mata uang asing dijabarkan sesuai dengan kurs tengah Bank Indonesia yang

Misalnya data tentang tingkat pola penyebab dan trend angka kematian (khususnya ibu dan anak) secara metodologis tidak dapat mewakili angka pada tingkat Kabupaten. Begitu juga

Struktur sosial dalam hal ini meliputi tingkat pendidikan, jenis pekejaan serta usia pemil~h, sedangkan perilaku pemberian suara adalah tindakan memilih