• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERAN PENYIDIK DALAM MELAKSANAKAN DIVERSI TERHADAP TINDAK PIDANA ANAK DI POLRES METRO JAKARTA SELATAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERAN PENYIDIK DALAM MELAKSANAKAN DIVERSI TERHADAP TINDAK PIDANA ANAK DI POLRES METRO JAKARTA SELATAN"

Copied!
82
0
0

Teks penuh

(1)

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh :

SITI ANIZA RAHMAH NIM : 11150480000116

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

(2)

i

TINDAK PIDANA ANAK DI POLRES METRO JAKARTA SELATAN

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh :

SITI ANIZA RAHMAH NIM : 11150480000116

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

(3)

ii

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh:

Siti Aniza Rahmah NIM 11150480000116

Pembimbing I Pembimbing II

Kamarusdiana, M.H. NIP. 197202241998031003

Mara Sutan Rambe, M.H. NIDN. 3175102405850011

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

(4)
(5)

iv

Nama : Siti Aniza Rahmah

Tempat, Tanggal Lahir : Jakarta, 17 Juni 1998

NIM : 11150480000116

Program Studi : Ilmu Hukum

Alamat : Jalan Haji Salihun Nomor 06; RT 006/01

Kelurahan Grogol Selatan, Kebayoran Lama Jakarta Selatan 12220, 0812992259958

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H.) di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Sumber-sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 10 April 2020

(6)

v

ABSTRAK

Siti Aniza Rahmah. NIM 11150480000116. Peran Penyidik Dalam Melaksanakan Diversi Terhadap Tindak Pidana Anak di Polres Metro Jakarta Selatan. Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1441 H/ 2020M. Ix

+ 80 halaman

Studi ini bertujuan untuk menjelaskan penerapan diversi dan peran penyidik pada kurun waktu 2018-2019 dalam kasus tindak pidana yang dilakukan anak, dengan mengacu pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem peradilan Pidana Anak. Serta faktor pendukung dan penghambat dalam penerapan diversi pada tahap penyidikan di Polres Metro Jakarta Selatan.

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian normatif empiris. Penelitian yang dilakukakan dengan melakukan pengkajian bahan primer yaitu peraturan perundang-undangan dan penelitian di Polres Metro Jakarta Selatan, pengkajian bahan sekunder yaitu dengan buku-buku, jurnal, dan literasi yang berhubungan dengan skripsi ini. Peneliti juga meneliti mengenai implementasi ketentuan hukum (normatif) dalam kenyataan.

Hasil penelitian menunjukan bahwa penyidik di Polres Metro Jakarta Selatan dalam proses diversi pelaksanaan yang dilakukan dalam peran penyidik belum sesuai dengan aturan yang mengatur yaitu Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak pada Pasal 27 dan Pasal 29 dalam Sistem Peradilan Pidana Anak. Mengenai hasil penelitian terdapat faktor penghambat, dimana faktor penghambat terbagi menjadi dua yaitu internal dan eksternal. Dalam penelitian yang menjadi faktor eksternal adalah adanya tokoh masyarakat yang membantu dalam musyawarah dan pelaksanaan diversi. Dalam faktor penghambat yaitu adanya intervensi atau paksaan dari pihak korban untuk tidak adanya proses diversi.

Kata Kunci : Penyidikan, Diversi, Tindak pidana Anak Pembimbing Skripsi : Dr. Kamarusdiana, M.H.

Mara Sutan Rambe, M.H. Daftar Pustaka : Tahun 1986 s.d. 2018

(7)

vi

Segala puji dan syukur peneliti panjatkan kehadirat Allah S.W.T atas berkat dan rahmat Nya yang telah memberikan kemudahan kepada peneliti, sehingga dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Peran Penyidik Dalam

Melaksanakan Diversi Terhadap Tindak Pidana Anak di Polres Metro Jakarta Selatan”. Sholawat serta salam peneliti panjatkan kepada Nabi

Muhammad Shallallahu ‘Alayhi wa Sallam, yang telah membawa umat manusia dari zaman kegelapan ke zaman yang terang benderang ini .

Selanjutnya dalam penulisan skripsi ini, berbagai hambatan, rintangan, ujian, dan tantangan telah dilewati peneliti selama proses penyelesaian studi. Peneliti banyak mendapatkan bimbingan, arahan, serta bantuan dari berbagai pihak, sehingga dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat:

1. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., M.H., M.A. Dekan Fakultas Syariah Dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Dr. Muhammad Ali Hanafiah Selian, S.H., M.H. Ketua Program Studi Ilmu Hukum dan Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum. Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah berkontribusi dalam pembuatan skripsi ini.

3. Ali Mansur, M.A. Pembimbing Akademik yang telah mendukung dan memberi dukungan kepada peneliti.

4. Dr. Kamarusdiana, M.H. dan Mara Sutan Rambe, M.H. Pembimbing Skirpsi I dan II yang telah bersedia menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran untuk membimbing peneliti dalam menyelesaikan skripsi, sehingga dapat terselesaikan dengan baik.

5. Kepala Pusat Perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah membantu dalam menyediakan fasilitas yang memadai untuk peneliti mengadakan studi kepustakaan guna menyelesaikan skripsi ini.

6. Kedua Orang tua yang sangat saya cintai dan sayangi, Ayah Yanuar Akbar Syahputra dan Ibu Nuraini yang telah mendoakan, mendukung, dan menjadi motivasi untuk menyelesaikan skripsi ini.

(8)

vii

yang dapat peneliti berikan untuk membalas jasa-jasa kalian, kecuali dengan doa dan ucapan terima kasih.

Peneliti menyadari dalam penelitian skripsi ini banyak terdapat kekurangan dan perbaikan. Namun, peneliti tetap berharap agar karya ilmiah ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca. Kritik dan saran sangat diharapkan untuk perbaikan dan penyempurnaan karya ilmiah ini di masa mendatang. Sekian dan terima kasih.

Jakarta, 10 April 2020 Peneliti

(9)

viii

LEMBAR PENGESAHAN PANITA UJIAN……….iii

LEMBAR PERNYATAAN………...iv

ABSTRAK………..v

KATA PENGANTAR………...vi

DAFTAR ISI………..vii

BAB I PENDAHULUAN……….1

A. Latar Belakang Masalah...1

B. Identifikasi, Pembatasan dan Rumusan Masalah………...5

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian………...6

D. Metode Penelitian………7

E. Sistematika Pembahasan………...9

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG DIVERSI……….10

A. Kerangka Konseptual………..10

1. Diversi dan Keadilan Restoratif……….10

2. Prinsip dan Tujuan Diversi……….14

3. Anak Berkonflik Dengan Hukum………...19

4. Perlindungan Hukum Bagi Anak di Indonesia...21

B. Kerangka Teori………...24

1. Teori Hukum Progresif………...24

2. Teori Keadilan………26

3. Teori Tujuan Hukum………...27

(10)

ix

BAB III PROFIL POLRES METRO JAKARTA SELATAN……….30

A. Kepolisian Republik Indonesia………...30

B. Fungsi dan Peran Kepolisian………...42

C. Profil Polres Jakarta Selatan………43

D. Kewenangan Penyidik Kepolisian………...45

BAB IV PENERAPAN DIVERSI OLEH PENYIDIK DALAM TINDAK PIDANA ANAK DIPOLRES METRO JAKARTA SELATAN………...…47

A. Peran Penyidik dalam Pelaksanaan Diversi Tindak Pidana Anak di Polres Metro Jakarta Selatan………...47

B. Faktor Penghambat dalam Penerapan Diversi di Polres Metro Jakarta Selatan……….59

BAB V PENUTUP………...66

A. Kesimpulan……….66

B. Rekomendasi………..67

(11)

1

Hukum pidana merupakan salah satu penegakan hukum yang ada di Indonesia yang dalam arti luas terbagi menjadi dua yaitu hukum pidana materiil dan hukum pidana formil. Proses penegakkan hukum ini dimulai dari kepolisian, kejaksaan dan pengadilan. Di dalam sistem peradilan pidana setiap institusi penegak hukum memiliki keterkaitan satu sama lain, sehingga pekerjaan aparatur hukum yang satu akan berdampak pada pekerjaan aparatur hukum yang lain, mereka terpadu dan tidak dapat dipisahkan dalam proses

penegakkan hukum pidana.1 Dalam hukum pidana memiliki beberapa

kumpulan ketentuan-ketentuan cara menyilidik, menyidik, menuntut, dan mengadili seseorang yang dianggap bersalah dan melakukan pelanggaran hukum pidana.

Hukum pidana memiliki perspektif dalam kewenangan penegakan hukum pidana yang dijalankan oleh Kepolisian yang merupakan salah satu lembaga penegak hukum di Indonesia, seperti yang terdapat dalam pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia menyebutkan Kepolisian adalah segala hal-ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Yang memiliki tugas memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, dan memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Tugas Kepolisian termasuk salah satunya adalah melakukan penyidikan terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh masyarakat, tak terkecuali seorang anak yang berkonflik dengan hukum dan dilindungi oleh keluarga.

Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami istri dan anaknya atau ayah dan anaknya atau ibu dan anaknya atau ayah dan anaknya atau keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas atau ke

1 Eddy OS. Hiariej, Beberapa Catatan RUU KUHAP dan Hakim Pemeriksa Pendahuluan

Dalam Konteks Sistem Peradilan Pidana Terpadu. Dalam Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional, (Jakarta: Komisi Hukum Nasional RI, 2013), h. 78-79.

(12)

2

bawah sampai dengan derajat ketiga (pasal 1 butir 3). Masyarakat adalah perseorangan, keluarga, kelompok dan organisasi sosial dan atau organisasi kemasyarakatan. Pemerintah adalah pemerintah yang meliputi pemerintah pusat dan pemerintah daerah.2

Anak adalah permata, generasi penerus, aset bangsa dan calon pemimpin bangsa. Anak mempunyai kedudukan yang sangat strategis dalam bangsa, negara, masyarakat maupun keluarga. Anak merupakan tumpuan harapan masa depan bagi bangsa, negara, masyarakat maupun keluarga. Oleh karena kondisinya secara jasmani dan psikologis belum matang, maka anak perlu mendapatkan perlakuan khusus agar dapat tumbuh dan berkembang secara wajar baik fisik, mental dan rohani.3

Mengenai Undang Nomor 23 Tahun 2002 dan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 (Pasal 1 butir 1 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak) Anak merupakan seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak-anak yang masih dalam kandungan. Oleh karena itu, agar setiap anak kelak mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental maupun sosial, dan berakhlak mulia, perlu dilakukan upaya perlindungan serta untuk mewujudkan kesejahteraan anak dengan memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya serta adanya perlakuan tanpa diskriminasi.4

Anak sebagai pelaku atau anak yang berkonflik dengan hukum adalah anak yang disangka, didakwa, atau dinyatakan terbukti bersalah melanggar hukum, dan memerlukan perlindungan. Dapat juga dikatakan anak yang harus harus mengikuti prosedur hukum akibat kenakalan yang telah dilakukannya. Jadi dapat dikatakan disini bahwa anak yang berkonflik dengan hukum adalah anak yang melakukan kenakalan, yang kemudian akan disebut sebagai kenakalan anak, yaitu kejahatan pada umumnya dan prilaku anak

2 R. Abdussalam, Adri Desasfuryanto, Hukum Perlindungan Anak (Jakarta: PTIK, 2016),

h. 6.

3 A. Handoyo, Potret Penegakan HAM di Indonesia, (Jakarta: PT Perca, 2012). h. 30. 4 M Nasir Djamil, Anak Bukan Untuk Dihukum Catatan Pembahasan UU Sistem

(13)

yang berkonflik dengan hukum atau anak yang melakukan kejahatan pada khususnya.5 Adanya kata konflik digunakan untuk menunjukkan adanya suatu peristiwa yang tidak selaras atau terdapat pertentangan dalam suatu peristiwa, sehingga dapat dikatakan sebagai permasalahan. Oleh karena itu pengertian anak yang berkonflik dengan hukum dapat juga diartikan dengan anak yang mempunyai permasalahan karena suatu perbuatan yang bertentangan dengan hukum.

Penyelesaian Anak yang Berkonflik dengan Hukum (ABH) melalui diversi selama kurun 2016-2017 telah mencapai angka lebih dari 40 persen, dan dominan pada proses diversi kembali ke orang tua. Meski demikian, masih tedapat sekitar 30 persen penyelesaian ABH berakhir dengan putusan pidana penjara. Jumlah anak pelaku tindak pidana yang menjadi tahanan atau narapidana di seluruh Indonesia pada tahun 2017 mencapai sebanyak 3.479 anak. Dari jumlah tersebut, sebanyak 1.010 anak atau 29 persen masih berstatus sebagai tahanan dan sebanyak 2.469 anak atau 71 persen telah berstatus narapidana atau anak didik. Baik tahanan anak maupun narapidana anak pada tahun 2017 jumlahnya meningkat dibanding tahun 2016. Sebagian besar narapidana anak dan tahanan anak adalah laki-laki (97,84 persen).6

Sistem peradilan pidana untuk penyelesaian perkara pidana dapat berdampak buruk bagi anak terutama pemberian “stigma jahat” pada anak,

dan terjadi pembiasaan kebiasan-kebiasaan buruk di Lembaga

Pemasyarakatan (LAPAS) yang kemudian di praktikkan lagi oleh anak keluar LAPAS Anak, bahkan pengulangan tindak pidana yang lebih serius akibatnya. Salah satu penyebabnya adalah adanya kontak langsung dengan penegak hukum yang dapat membuat anak frustasi. Jika perkaranya sudah diputus oleh pengadilanpun, mungkin akan menjadi stigma bagi anak pelaku tindak pidana.

Undang - Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang pengadilan anak,

5

Herlina Apong, dkk, Perlindungan Terhadap Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum,

Buku Saku Untuk Polisi, (Jakarta: Unicef, 2004) h.54.

6 Tri Windiarto dkk, Profil Anak Indonesia 2018, (Jakarta: Kementrian Pemberdayaan

(14)

4

dengan maksud melindungi dan mengayomi anak yang berhadapan dengan hukum melalui pembinaan untuk menjadi manusia yang mandiri, bertanggung jawab, dan berguna bagi diri sendiri, keluarga, masyarakat, bangsa dan Negara. Namun seiring berjalannya waktu, undang-undang tersebut tidak lagi relevan dengan keadaan yang terjadi di masa sekarang maka diperbarui dan munculah Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Undang-Undang atau peraturan yang muncul tentang Sistem peradilan anak untuk menjadikan peraturan yang lebih relevan dan berguna bagi masyarakat. Undang-undang tersebut menjunjung mediasi yang dapat menimbulkan keadilan bagi para pihak. Maka mediasi dengan landasan musyawarah menuju kesepakatan damai, mendapat pengaturan tersendiri dalam sejumlah produk hukum. Mengedepankan keadilan dan kepentingan dalam rangka pemulihan keadaan masing-masing. Oleh Karena itu, pengaturan alternatif penyelesaian sengketa dalam aturan hukum sangatlah penting, sebab Indonesia adalah negara hukum.

Keadilan restoratif merupakan seperangkat cita-cita tentang keadilan yang mengasumsikan adanya kemurahan hati, empati, suportif, dan rasionalitas jiwa manusia, melalui konseling kelompok yang melibatkan korban dan pelaku, sehingga visinya selalu didasarkan pada nilai-nilai yang peduli terhadap individu. Karena itu, keadilan restoratif merupakan penggabungan konsepsi keadilan relasional dengan keadilan partisipatif atau konsensual kemudian diformulasikan dalam teknik penyelesaian tindak pidana yang didasarkan pada perancangan, pelaksanaan dan evaluasi program yang partisipatif.7

Berkaitan dengan perkara tindak pidana yang dilakukan oleh anak, maka sistem hukum di Indonesia memberikan kemudahan bagi pelaku korban dan keluaraga yaitu berupa penyelesaian perkaranya dapat dilakukan diluar proses pengadilan, yaitu dinamakan diversi. Pengaturan diversi secara tegas

7 Widodo, Perspektif Hukum Pidana dan Kebijakan pemidanaan (Yogyakarta: Aswaja

(15)

telah diatur dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak sebagai landasan hukum untuk bisa diterapkannya penyelesaian perkara tindak pidana yang dilakukan oleh anak melalui proses diluar pengadilan.

Untuk mengetahui bagaimana penegak hukum khususnya Kepolisian

Republik Indonesia dalam menggunakan kewenangannya khusus

kewenangan Diversi di tingkat penyidikan terhadap tindak pidana anak, maka peneliti mengangkat judul yakni: “PERAN PENYIDIK DALAM

MELAKSANAKAN DIVERSI TERHADAP TINDAK PIDANA ANAK DI POLRES METRO JAKARTA SELATAN”

B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah 1. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, identifikasi peneliti ini sebagai berikut: a. Tindak Pidana yang dilakukan oleh anak

b. Diversi yang dilaksanakan oleh penyidik mengacu pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak c. Peran penyidik kepolisian di Polres Metro Jakarta Selatan dalam

pelaksanaan diversi

d. Faktor penghambat pelaksanaan diversi pada tahap penyidikan di Polres Metro Jakarta Selatan

2. Pembatasan Masalah

Dari identifikasi masalah tersebut, agar penelitian lebih fokus dan tidak meluas dari pembahasan yang dimaksud, peneliti membatasinya pada peran penyidik dan penerapan diversi pada tahap penidikan di Polres MetroJakarta Selatan pada kurun waktu 2018-2019 dalam kasus tindak pidana yang dilakukan anak.

3. Perumusan Masalah

Masalah dalam penelitian ini terkait dengan peran penyidik dalam melaksanakan diversi terhadap tindak pidana anak yang mengacu pada

(16)

6

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dalam pelaksanaan diversi apakah penyidik sudah sesuai atau belum dengan isi peraturan tersebut serta faktor yang menjadi penghambat dalam pelaksanaan diversi di Polres Metro Jakarta Selatan.

Berdasarkan rumusan dari masalah utama yang telah diuraikan di atas, maka peneliti merumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut : a. Bagaimana peran penyidik dalam menjalankan diversi tindak pidana di

Polres Metro Jakarta Selatan?

b. Faktor penghambat dalam penerapan diversi di Polres Metro Jakarta Selatan?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian adalah sebagai berikut :

a. Untuk mengetahui peran penyidik kepolisian dalam menjalankan diversi tindak pidana

b. Untuk mengetahui faktor penghambat dan pendorong pada tahap penyidikan di kepolisian

2. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini secara dikotomi dapat diuraikan sebagai

berikut :

a. Manfaat Teoritis

1) Memberikan manfaat dan sumbangan pemikiran yang dapat digunakan bagi pengembangan ilmu hukum pada umumnya dan Hukum Acara Pidana pada khususnya.

2) Dapat sebagai bahan acuan bagi penelitian yang akan datang sesuai dengan bidang penelitian.

b. Manfaat Praktis

1) Dapat memberikan informasi tentang pelaksanaan penegakkan hukum pada tahap penyidikan

(17)

2) Sebagai bahan perbandingan dan masukan bagi pihak-pihak yang berkepentingan dalam penelitian ini.

D. Metode Penelitian

Dalam melakukan penelitian agar terlaksana dengan maksimal maka peneliti menggunakan metode sebagai berikut :

1. Pendekatan Penelitian

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah normatif empiris. Jenis penelitian normatif digunakan karena peneliti akan mengkaji peraturan-peraturan yang telah ada yang mempunyai keterkaitan dengan apa yang menjadi pokok permasalahan yang peneliti tulis yaitu tentang peraturan perundang-undangan yang mengatur Diversi dalam penyidikan oleh Kepolisian Republik Indonesia terhadap tindak pidana anak, sedangkan empiris dapat diartikan bersifat nyata, jadi apa yang terjadi atau kenyataan yang terjadi pada penyidikan di kepolisian mengenai pelaksanaan diversi, bisa dikatakan hal tersebut digunakan untuk melihat hukum dalam artian nyata dan meneliti bagaimana bekerjanya hukum di masyarakat dengan memperhatikan fakta-fakta yang ada didalam masyarakat, badan hukum atau badan pemerintah.

2. Jenis Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif, penelitian deskriptif merupakan penelitian yang memaparkan suatu karakteristik tertentu dari suatu fenomena. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui dan memaparkan karakteristik dari beberapa variabel dalam situasi.8 Dalam penelitian ini mendeskripsikan bagaimana pelaksanaan Diversi dalam tingkat penyidik pada kasus tindak pidana anak.

3. Jenis Data

a. Bahan Hukum Primer

Bahan Primer adalah mengenai data yang diperoleh langsung dari

8 Yayan Sopyan, Pengantar Metode Penelitian, (Ciputat: Fakultas Syariah dan Hukum

(18)

8

penyidik, Undang-Undang tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Undang-Undang tentang Kepolisian, dan data Primer lain diperoleh dari narasumber penyidik di Polre Metro Jakarta Selatan.

b. Bahan Hukum Sekunder

Meliputi referensi atau kepustakaan berupa buku literatur, artikel, jurnal, makalah-makalah ataupun karya ilmiah yang terkait dengan penelitian yang akan diteliti oleh peneliti.

4. Metode Pengolahan Data

Peneliti dalam melakukan penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara Studi Kepustakaan Teknik kepustakaan yaitu dilakukan dengan cara mencari dan mengumpulkan serta mempelajari bahan-bahan yang berupa buku-buku, makalah-makalah, peraturan perundang-undangan serta dokumen lainnya yang berkaitan dengan diversi di Polres Metro Jakarta Selatan.

5. Analisis Data

Metode analisis yang digunakan adalah analisis kualitatif. Pendekatan kualitatif digunakan peneliti agar dapat memahami fakta-fakta yang benar berlaku kemudian membahas dan menguraikan permasalahan. Dalam hal ini setelah bahan dan data diperoleh, maka selanjutnya diperiksa kembali bahan dan data yang telah diperoleh, kemudian diperiksa kembali bahan dan data yang diterima. Dari bahan dan data tersebut selanjutnya dilakukan analisis terhadap penerapan perundag-undangan yang berkaitan dengan Diversi pada Kepolisian Republik Indonesia.

6. Metode Penulisan

Metode yang digunakan dalam penulisan ini adalah studi kepustakaan yakni dengan melakukan pengkajian dan analisis terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku dan literatur serta menganalisis pendapat sarjana yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas dan penulisan ini bersifat deskriptif.

(19)

E. Sistematika Pembahasan

Secara ringkas, sistematik penelitian sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN

Latar Belakang, identifikasi pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka terdahulu, serta metode penelitian.

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG DIVERSI

Dalam bab ini peneliti membahas mengenai, kerangka konseptual, dan kerangka teoritis dan menguraikan tentang diversi, keadilan restoratif, anak berkonflik dengan hukum dan perlindungan anak.

BAB III PROFIL POLRES METRO JAKARTA SELATAN

Mengenai profil penelitian, maka peneliti menguraikan kepolisian Republik Indonesia, fungsi dan peran kepolisian, profil Polres Metro Jakarta Selatan, dan kewenangan penyidik kepolisian.

BAB IV PENERAPAN DIVERSI OLEH PENYIDIK DALAM

TINDAK PIDANA ANAK DI POLRES METRO JAKARTA SELATAN

Analisis yang dihadirkan dalam bab ini peneliti menyajikan interpretasi temuan yang meliputi pemaparan mengenai hal yang menjadi faktor penghambat penyidik dalam melakukan tindakan diversi di Polres Metro Jakarta Selatan.

BAB V PENUTUP

Dalam bab ini peneliti membuat kesimpulan hasil penelitian dan rekomendasi. Kesimpulan yang berisi jawaban terhadap inti

(20)

10

TINJAUAN UMUM TENTANG DIVERSI A. Kerangka Konseptual

1. Diversi dan Keadilan Restoratif

Seorang anak sangat berisiko tinggi dilanggar hak asasinya ketika harus dilibatkan masuk dalam sistem peradilan pidana. Sehingga, akan lebih baik jika diversi diberlakukan dalam penanganan masalah anak yang berkonflik dengan hukum. Kenyataanya bahwa peradilan pidana terhadap anak, pelaku tindak pidana melalui sistem peradilan pidana banyak menimbulkan bahaya daripada yang menguntungkan bagi anak. Hal ini dikarenakan pengadilan akan memberikan stigmatisasi terhadap anak atas tindakan yang dilakukannya, sehingga lebih baik menghindarkannya keluar sistem peradilan pidana.1

Kata diversi berasal dari bahasa Inggris yakni diversion yang bermakna penghindaran atau pengalihan.2 Secara istilah diversi adalah pemberian kewenangan kepada aparat penegak hukum untuk mengambil tindakan-tindakan kebijakan dalam menangani atau menyelesaikan masalah pelanggaran anak dengan tidak mengambil jalan formal antara lain menghentikan atau tidak meneruskan dari proses peradilan pidana atau mengembalikan kepada masyarakat. Penerapan diversi dapat dilakukan di dalam semua tingkatan pemeriksaan, dimaksudkan untuk mengurangi dampak negatif keterlibatan anak dalam proses peradilan tersebut.

Pada dasarnya, sistem pemidanaan yang selama ini dijalankan dirasa masyarakat belum efektif dan menimbulkan berbagai persoalan. Penjatuhan pidana penjara belum berfungsi secara maksimal menimbulkan efek jera. Selain itu, pidana penjara merusak hubungan

1Marlina, Pengantar Konsep Diversi dan Restorative Justice Dalam Hukum Pidana,

(Medan: USU Press, 2010) h.11.

2 DS. Dewi, Mediasi Penal: Penerapan Restorative Justice di Pengadilan Anak

(21)

terpidana kepada terpidana kepada keluarga maupun masyarakat.3 Dari beberapa persoalan tersebut, muncul gagasan tentang keadilan restoratif sebagai ganti dari keadilan restitusi dan retribusi yang selama ini dipraktikkan dalam sistem pemidanaan nasional. Muladi mengatakan keadilan restoratif memiliki tujuan utama untuk mereparasi kerugian korban, pengakuan pelaku atas kerugian akibat tindak pidana yang dilakukan, konsiliasi atau rekonsiliasi antara korban, pelaku dan masyarakat, reintegrasi pelaku, dan melalui penyelesaian konflik secara damai (peacefully resolved) dapat dikelola keamanan masyarakat.4

Helen Cowie menyatakan bahwa keadilan restoratif berpijak pada konsep komunitas yang peduli dan inklusif. Para pihak seperti pelaku, korban, keluarga, dan para stakeholders komunitas akan secara bersama-sama memperbaiki kerusakan, memulihkan kualitas hubungan, dan memfasilitasi reintegrasi para pihak yang berkonflik.5 John Braithwaite menyatakan bahwa keadilan restotatif mendorong integrasi dan menghindari stigmatisasi, memelihara rasa tanggung jawab penyesalan, dan pemaafan.6 Dengan kata lain keadilan restoratif merupakan langkah alternatif atas pencarian keadilan dari yang berpusat pada penghukuman (punishment) menuju kepada keadilan masyarakat (community justice) yang berpusat pada pemulihan.

Dalam United Nations Standar Minimum Rules for the

Administration of Juvenile Justice dinyatakan bahwa diversi merupakan

proses melimpahkan anak yang berkonflik dengan hukum dari sistem peradilan pidana kepada sistem informal seperti mengembalikan kepada lembaga sosial masyarakat, baik pemerintah maupun swasta. Tindakan ini dilakukan untuk menghadri efek negatif terhadap jiwa dan

3

DS. Dewi dan Fatahillah A. Syukur, Mediasi Penal: Penerapan Restorative Justice di

Pengadilan Anak Indonesia, … , h. 22.

4 Alfitra, Hukum Acara Peradilan Anak Dalam Teori dan Praktek di Indonesia

(Ponorogo: Wade Group, 2019), h. 138.

5

Hadi Supeno, Kriminalisasi Anak Tawaran Gagasan Radikal Peradilan Anak Tanpa

Pemidanaan (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2010), h. 196.

6

DS. Dewi dan Fatahillah A. Syukur, Mediasi Penal: Penerapan Restorative Justice di

(22)

12

perkembangan anak.7 Dalam konteks keadilan restoratif, diversi merupakan alternatif dari sistem peradilan pidana yang dilaksanakan sekarang. Meskipun masyarakat harus berdasarkan hukum, akan tetapi harus ada fleksibilitas untuk menyesuaikan diri degan kompleksitas permasalahan hukum yang dihadapi sekarang ini.8

Secara umum pengertian Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar pengadilan pidana. Sedangkan keadilan restoratif adalah tujuan yang ingin dicapai, dan diversi adalah salah satu proses mencapai keadilan tersebut. Keadilan restoratif dapat dicapai melalui diversi maupun non-diversi, yaitu memproses anak pelaku tindak pidana dalam sistem peradilan pidana. Dengan demikian, melalui sistem pidana dapat dicapai melalui sistem peradilan pidanapun dapat dicapai keadilan restoratif.

Keadilan restoratif merupakan seperangkat cita-cita tentang keadilan yang mengasumsikan adanya kemurahan hati, empati, suportif, dan rasionalitas jiwa manusia, melalui konseling kelompok yang melibatkan korban dan pelaku, sehingga visinya selalu didasarkan pada nilai-nilai yang peduli terhadap individu. Karena itu, keadilan restoratif merupakan penggabungan konsepsi keadilan relasional dengan keadilan partisipatif atau konsensual kemudian diformulasikan dalam teknik penyelesaian tindak pidana yang didasarkan pada perancangan, pelaksanaan dan evaluasi program yang partisipatif.9

Pengertian keadilan restoratif dalam sistem peradilan pidana di Indonesia merupakan penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan

7 Marliana, Peradilan Pidana Anak di Indonesia Pengembangan Konsep Diversi dan

Restoratif Justice (Bandung: Refika Aditama, 2012), h.19.

8 DS. Dewi dan Fatahillah A. Syukur, Mediasi Penal: Penerapan Restorative Justice di

Pengadilan Anak Indonesia, … , h.51.

9 Widodo, Perspektif Hukum Pidana dan Kebijakan Pemidanaan, (Yogyakarta: Aswaja

(23)

pembalasan. Berdasarkan definisi tersebut dapat dipahami bahwa ada 2 unsur dalam hakikat keadilan restoratif di Indonesia, yaitu:

1) Penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait

2) Penyelesaian perkara tindak pidana yang adil dengan menakankan pada:

a) Pemulihan kembali pada keadaan semula, dan

b) Penyelesaian tersebut bukan pembalasan kepada pelanggar. Pencapaian keadilan restoratif di Indonesia tersebut dilakukan dengan teknik Diversi, yaitu dilakukan oleh penyidik, atau jaksa, atau hakim. Diversi adalah salah satu teknik atau cara untuk mencapai keadilan restoratif, yang hakikatnya merupakan proses penyelesaian tindak pidana dengan cara melibatkan semua pihak yang terkena dampak dari tindak pidana dengan tujuan memperbaiki kerusakan yang diakibatkan oleh tindak pidana tersebut, melalui jalur non-peradilan. Pendekatan keadilan restoratif sejalan dengan model keseimbangan kepentingan,10 karena fokus utamanya pada kebutuhan korban, bukan hanya kebutuhan pelaku.

Dalam melaksanakan diversi, di mana menjadi suatu kewajiban untuk dilaksanakan di setiap tingkatan pemeriksaan, penyidik, penuntut umum, serta hakim harus mempertimbangkan tindak pidana, hasil penelitian mengenai anak dari Badan Pemasyarakatan, serta dukungan dari lingkungan keluarga dan masyarakat. Ketentuan tersebut merupakan indikator bahwa semakin rendah ancaman pidana maka semakin tinggi prioritas diversi.11

2. Prinsip dan Tujuan Diversi

Pelaksanaan diversi dilatarbelakangi keinginan untuk menghindari

10

Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, (Semarang: Badan Penerbit Universitas Dipenogoro, 1995), h.5.

11 Angger Sigit Pramukti dan Fuady Primaharsya, Sistem Peradilan Pidana Anak,

(24)

14

efek negatif, khususnya terhadap jiwa dan perkembangan anak yang berpotensi terjadi apabila penyelesaian proses pidananya dilakukan melalui sistem peradilan pidana.12 Penerapan ketentuan diversi merupakan hal yang penting, karena dengan diversi, maka hak- hak asasi anak dapat lebih terjamin, dan menghindarkan anak yang berkonflik dengan hukum dari stigma sebagai anak nakal, karena tindak pidana yang diduga melibatkan seorang anak sebagai pelaku dapat ditangani tanpa perlu melalui proses hukum.

a. Aspek dan Tujuan Diversi

Secara konseptual, tujuan pelaksanaan program diversi di

Indonesia adalah mencegah terjadinya peningkatan kejahatan anak di masa depan, yaitu dilakukan dalam bentuk pengawasan masyarakat, restitusi, ganti kerugian, denda, konseling atau kegiatan yang melibatkan keluarga (intervensi keluarga). Ketentuan Diversi dan keadilan restoratif dalam UU-SPPA sejalan dengan paradigma terbaru dalam penyelesaian perkara anak, bahwa penyelesaian tindak pidana yang dilakukan anak tidak harus melalui peradilan pidana, melainkan diupayakan adanya pengalihan penyelesaian tindak pidana melalui jalur di luar hukum pidana, atau dapat disebut diversi, namun diversi dalam UU-SPPA masih bermuatan keadilan retributif. Beradasarkan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, secara ringkas dapat dijelaskan bahwa karakteristik Diversi berbasis keadilan restoratif versi Indonesia dapat dijabarkan dalam 5 aspek, yaitu: persyaratan, tujuan proses, bentuk hasil kesepakatan, dan indikator keadilan yang ingin dicapai.

1) Aspek persyaratan perkara yang dapat di diversi, yaitu pelaku sudah berusia 12 tahun tapi belum mencapai 18 tahun yang kali

12 Rr. Putri A. Priamsari, Mencari Hukum Yang Berkeadilan Bagi Anak Melalui Diversi,

(25)

pertama melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara kurang dari 7 tahun.

2) Aspek tujuan diversi, yaitu:

a) Mencapai perdamaian antara korban dan anak; b) Menyelesaikan perkara anak di luar proses peradilan; c) Menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan; d) Mendorong masyarakat untuk berpartisipasi;

e) Menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak. 3) Aspek proses Diversi, yaitu:

a) Diversi hanya dapat dilakukan secara berurutan oleh penyidik, jaksa, dan hakim, dengan melibatkan pihak-pihak yang berkepentingan;

b) Dilakukan dengan cara pertemuan tatap muka langsung dalam suatu ruangan untuk bermusyawarah, dengan kewajiban memperhatikan: kepentingan korban, kesejahteraan dan

tanggung jawab anak, penghindaran stigma negatif,

penghindaran pembalasan, keharmonisan masyarakat, dan kepatutan, kesusilaan, serta ketertiban umum;

c) Anak pelaku tindak pidana harus ditetapkan menjadi tersangka terlebih dahulu oleh penyidik;

d) Diversi dilakukan dengan 2 tahap, yaitu proses diversi dan pelaksanaan kesepakatan diversi;

e) Jika proses diversi tidak mencapai kespakatan maka perkara akan diselesaikan melalui sistem peradilan pidana;

f) Jika kesepakatan diversi gagal akan dilaksanakan maka akan penyelesian perkara dilanjutkan melalui sistem peradilan pidana;

g) Bukti keberhasilan diversi harus berupa dokumen hukum berupa penetapan pengadilan negeri;

h) Jika kesepakatan diversi sudah dilaksanakan maka perkara akan ditutup.

(26)

16

4) Aspek bentuk hasil kesepakatan diversi, yaitu: a) Perdamaian dengan atau tanpa ganti kerugian; b) Penyerahan kembali kepada orang tua/wali;

c) Keikutsertaan dalam pendidikan atau pelatihan di lembaga pendidikan atau LPKS paling lama 3(tiga) bulan; atau

d) Pelayanan masyarakat.

5) Aspek indikator unsur keadilan restoratif yang ingin dicapai, yaitu:

a) Indikator unsur “penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, dan pihak lain yang terkait”;

b) Indikator unsur “untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pada: (1) pemulihan kembali pada keadaan semula, dan (2) bukan pembalasan”

Sebagai komponen atau subsistem dari sistem peradilan pidana anak, setiap aparatur penegak hukum, yaitu kepolisian, kejaksaan dan pengadilan dalam melaksanakan tugas diversi harus mempunyai tujuan yang sama sebagaimana dimaksud oleh pasal 6 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang sistem Peradilan Pidana anak. Dimana kelima komponen tersebut tergabung dalam satu wadah yang sering disebut sistem peradilan pidana (Criminal Justice

System), harus mampu berjalan secara bersinergi untuk membangun

sistem hukum yang memberikan rasa keadilan dan perlindungan hukum terhadap anak.13 Dengan Prinsip utama pelaksanaan konsep diversi yaitu tindakan persuasif atau pendekatan non penal dan memberikan kesempatan kepada seseorang untuk memperbaiki kesalahan.

Tujuan diversi yang telah diatur dalam UU SPPA pada dasarnya mengutamakan perlindungan serta kesejahteraan bagi anak demi

13 Fiska Ananda, Penerapan Diversi Sebagai Upaya Perlindungan Hukum Terhadap Anak

(27)

kepentingan terbaik anak. Tujuan ini bukan berarti melepaskan anak dari tanggung jawab atas kesalahan yang telah diperbuat, akan tetapi justru malah menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak karena ia telah melakukan perbuatan yang melanggar aturan hukum pidana. Penerapan ketentuan diversi merupakan hal yang penting untuk dipertimbangkan. Adanya diversi membuat anak dapat lebih terjamin karena tindak pidana yang diduga melibatkan seorang anak sebagi pelaku dapat ditangani tanpa perlu melalui proses hukum. Adapun yang menjadi tujuan upaya diversi adalah sebagai berikut.

1) Untuk menghindari anak dari penahanan.

2) Untuk menghindari cap/label anak sebagai penjahat.

3) Untuk mencegah pengulangan tindak pidana yang dilakukan oleh anak.

4) Agar anak bertanggung jawab atas perbuatannya.

5) Untuk melakukan intervensi-intervensi yang diperlukan bagi korban dan anak tanpa harus melalui proses formal.

6) Menghindari anak mengikuti proses sistem peradilan.

7) Menjauhkan anak dari pengaruh dan implikasi negatif dari proses peradilan.

b. Prinsip Diversi

Prinsip utama pelaksanaan diversi yaitu tindakan persuasif atau

pendekatan nonpenal (di luar hukum pidana) dan memberikan kesempatan kepada seseorang untuk memperbaiki kesalahan. Salah satu contoh latar belakang pentingnya kebijakan diversi dilakukan karena tingginya jumlah anak yang masuk ke peradilan pidana dan diputus dengan penjara. Diversi dilakukan dengan alasan untuk memberikan kesempatan kepada pelanggar hukum khususnya anak agar menjadi orang yang baik kembali melalui jalur nonformal

(28)

18

dengan melibatkan sumber daya masyarakat.14

Pada dasarnya proses diversi dalam penyelesaian perkara anak dilakukan melalui musyawarah antara para pihak yang terlibat dan wajib memperhatikan kepentingan korban, kesejahteraan dan rasa tanggung jawab anak, penghindaran stigma negatif, penghindaran pembalasan, keharmonisan masyarakat serta kepatutan, kesusilaan dan ketertiban. Penyebutan kata “wajib memperhatikan” dalam pasal 8 UU-SPPA berarti harus memperhatikan. Artinya kepentingan serta kesejahteraan dan tanggung jawab anak harus diperhatikan sehingga setelah adanya kesepakatan maka dapat dikatakan stigma negatif dari anak yang melakukan tindak pidana dapat dihindari serta penghindaran pembalasan merupakan penyelesaian yang berorientasi pada keadilan restoratif.15

Menurut Peter C. Kratcoski dalam Hengky Kurniawan ada tiga jenis konsep pelaksanaan penerapan program diversi, yaitu:16

1) Pelaksanaan kontrol secara sosial (social control orientation), yaitu aparat penegak hukum menyerahkan pelaku dalam tanggung jawab pengawasan atau pengamatan masyarakat, dengan ketaaan pada persetujuan atau peringatan yang diberikan. Pelaku menerima tanggung jawab atas perbuatannya dan tidak diharapkan adanya kesempatan kedua kali bagi pelaku oleh masyarakat.

2) Pelayanan sosial oleh masyarakat terhadap pelaku (social service

orientation), yaitu melaksanakan fungsi untuk mengawasi,

mencampuri, memperbaiki dan menyediakan pelayanan pada

14

Azwad Rachmat Hambali, Penerapan Diversi Terhadap Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum Dalam Sistem Peradilan Pidana, Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia Vol. 13 No. 1 Maret 2019.

15 Adi Hardiyanto Wicaksono, Pujiyono, Kebijakan Pelaksanaan Diversi Sebagai

Perlindungan Bagi Anak yang Berkonflik dengan Hukum pada Tingkat Penuntutan di Kejaksaan Negeri Kudus, (Semarang: Jurnal Law Reform, 2015), vol. 11 h.20.

16 Fetri A. R. Tarigan, Upaya Diversi Bagi Anak Dalam Proses, (Jurnal Lex

(29)

pelaku dan keluarganya. Masyarakat dapat mencampuri keluarga pelaku untuk memberikan perbaikan atau pelayanan.

3) Menuju proses restorative justice atau perundingan (blanced or

restorative justice orientation), yaitu melindungi masyarakat,

memberi kesempatan pelaku bertanggung jawab langsung pada korban dan masyarakat dengan membuat kesepakatan bersama antara korban pelaku dan masyarakat. Pelaksanaannya semua pihak yang terkait dipertemukan untuk bersama- sama mencapai kesepakatan tindakan pada pelaku.

Penyelesaian pidana melalui diversi itu bertujuan untuk menyadarkan kepada pelaku bahwa tindak pidana yang dilakukan itu tidak dapat dibenarkan dan telah merugikan pihak lain. Oleh karena itu, jika diversi berhasil disepakati para pihak-pihak yang terkait terutama pihak korban pada tingkat penyidikan di Polres, maka anak pelaku akan segera memperoleh pemulihan hak-haknya. Sebaliknya jika belum berhasil diversi akan dilanjutkan di tingkat penyelidikan Kejaksaan, dan jika tetap belum berhasil diversi akan diteruskan sampai di pengadilan. Menurut Pasal 29 Ayat (2) jo Pasal 42 Ayat (2) Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak bahwa pelaksanaan diversi di Kepolisian paling lama 30 (tiga puluh) hari, begitupun juga di Kejaksaan paling lama 30 (tiga puluh) hari, dari selanjutnya di Pengadilan paling lama 30 (tiga puluh) hari.

3. Anak Berkonflik dengan Hukum

Dalam Pasal 1 angka 3 disebutkan bahwa anak yang berkonflik dengan hukum yang selanjutnya disebut dengan anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana. Pasal tersebut memberikan perlindungan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum

(30)

20

berdasarkan batasan umurnya.17

Dalam Pasal 45 KUHP penuntutan pidana terhadap orang yang belum dewasa karena melakukan sesuatu perbuatan sebelum umur enam belas tahun, hakim dapat menentukan:

Memerintahkan supaya yang bersalah dikembalikan kepada orang tuanya, walinya atau pemeliharaannya, tanpa pidana apa pun; atau memerintahkan supaya yang bersalah diserahkan kepada pemerintah tanpa pidana apa pun, jika perbuatan merupakan kejahatan atau salah satu pelanggaran berdasarkan pasal-pasal 489, 490, 492, 496, 497, 503-505, 514, 517-519, 526, 531, 532, 536, dan 540 serta belum liwat dua tahun sejak dinyatakan bersalah karena melakukan kejahatan, atau salah satu pelanggaran tersebut di atas, dan putusannya telah menjadi tetap; atau menjatuhkan pidana kepada yang bersalah.

Kata konflik digunakan untuk menunjukkan adanya suatu peristiwa yang tidak selaras atau terdapat pertentangan dalam suatu peristiwa, sehingga dapat dikatakan sebagai permasalahan. Oleh karena itu pengertian anak yang berkonflik dengan hukum dapat juga diartikan dengan anak yang mempunyai permasalahan karena suatu perbuatan yang bertentangan dengan hukum, atau bisa juga dikatakan bahwa anak yang berkonflik dengan hukum adalah anak nakal. Anak yang melakukan tindak pidana, perbuatannya tidak terbatas kepada perbuatan-perbuatan yang melanggar peraturan KUHP saja melainkan juga melanggar peraturan-peraturan di luar KUHP misalnya ketentuan pidana dalam Undang-undang Narkotika, Undang-undang Hak Cipta, Undang-undang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan sebagainya.

Permasalahan anak yang berkonflik dengan hukum harus membutuhkan suatu penanganan yang serius, secara internasional dan nasional tidak hanya jumlahnya kejahatan yang meningkat tetapi juga kualitas kejahatannya. Hal tersebut diperlukan upaya pencegahan dan penanggulangan tindak pidana anak melalui penyelenggaraan sistem

17 Adi Hardiyanto Wicaksono, Pujiyono, Kebijakan Pelaksanaan Diversi Sebagai

Perlindungan Bagi Anak yang Berkonflik dengan Hukum Pada Tingkat Penuntutan di Kejaksaan Negeri Kudus, Jurnal Law Reform, Vol 11 No.1 2015.

(31)

peradilan pidana anak. Pembaharuan hukum pidana anak didalam kebijakan kriminal merupakan bagian intergral dari upaya perlindungan masyarakat dan pencapaian kesejahteraan masyarakat.

Kebijakan kriminal menggunakan sarana penal di Indonesia terwujud dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang wajib mengutamakan pendekatan keadilan restoratif yaitu diversi. Secara filosofis pengaturan ini memiliki kesesuaian dengan nilai-nilai pancasila. Sedangkan secara yuridis pengaturan ini merupakan respon atas keberlakuan berbagai instrumen perlindungan hak anak nasional maupun internasional. Hal ini diharapkan mampu menghindari stigma dan labeling selama proses peradilan sampai penjatuhan pemidanaan terhadap anak. Sehingga tidak muncul pelabelan yang berkelanjutan, rasa rendah diri, dan rasa bersalah pada diri anak.18

4. Perlindungan Hukum Terhadap Anak di Indonesia

Kesejahteraan anak adalah suatu tata kehidupan dan penghidupan yang dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar baik secara rohani, jasmani maupun sosial. Usaha kesejahteraan sosial yang ditunjukan untuk menjamin terwujudnya kesejahteraan anak terutama terpenuhinya kebutuhan pokok anak.

Menurut Pasal 1 butir 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2003 Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat

18 Apong Herlina, Perlindungan Terhadap Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum

(32)

22

perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia dan sejahtera. Berikut ini adalah beberapa hak anak yang tertuang dalam Konvensi Hak-hak Anak PBB.19

a. Memperoleh perlindungan dari bentuk diskriminasi dan hukuman. b. Memperoleh perlindungan dan perawatan untuk kesejahteraan,

keselamatan dan kesehatan.

c. Memperoleh perlindungan akibat kekerasan fisik, mental,

penyalahgunaan, penelantaran atau perlakuan salah (eksploitasi) serta penyalahgunaan seksual.

d. Memperoleh perlindungan hukum terhadap gangguan (kehidupan pribadi, keluarga, surat menyurat atau serangan yang tidak sah). e. Negara mengakui hak hidup anak, serta kewajiban negara menjamin

perkembangan dan kelangsungan hidup anak. f. Hak untuk tinggal bersama orangtua.

g. Kebebasan untuk berhimpun, berkumpul dan berserikat.

h. Hak anak atas taraf hidup yang layak bagi pengembangan fisik, mental dan sosial.

i. Hak anak untuk beristirahat, dan bersenang-senang untuk terlibat dalam kegiatan bermain, berekreasi dan seni budaya.

j. Hak anak atas pendidikan.

k. Melindungi anak terhadap semua bentuk eksploitasi terhadap segala aspek kesejahteraan anak.

l. Larangan penyiksaan, hukuman yang tidak manusiawi.

m. Hukum acara peradilan anak.

n. Hak memperoleh bantuan hukum baik di dalam maupun di luar pengadilan.

Dalam upaya memberikan perlindungan terhadap kepentingan dan hak-hak anak yang berhadapan dengan hukum, Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan beberapa peraturan perundang-undangan terkait, antara lain Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak dan UU Nomor 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak. Masalah perlindungan hak-hak anak yang berhadapan dengan hukum, yang terdapat dalam Pasal 66 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999,

(33)

menentukan bahwa:20

a. Setiap anak berhak untuk tidak dijadikan sasaran penganiayaan, penyiksaan atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi.

b. Hukuman mati atau hukuman seumur hidup tidak dapat dijatuhkan untuk pelaku tindak pidana yang masih anak.

c. Setiap anak berhak untuk tidak dirampas kebebasannya secara melawan hukum.

d. Penangkapan, penahanan atau pidana penjara anak hanya boleh dilakukan sesuai dengan hukum yang belaku dan hanya dapat dilaksanakan sebagai upaya terakhir.

e. Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan dengan memperhatikan kebutuhan pengembangan pribadi sesuai dengan usianya dan harus dipisahkan dari orang dewasa, kecuali demi kepentingannya.

f. Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak memperoleh

bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku.

g. Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk membela diri dan memperoleh keadilan di depan Pengadilan Anak yang objektif dan tidak memihak dalam sidang yang tertutup untuk umum.

Pada dasarnya negara dan pemerintah memiliki kewajiban untuk bertanggung jawab menghormati dan menjamin hak asasi anak tanpa membedakan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya dan bahasa, status hukum anak, urutan kelahiran anak dan kondisi fisik dan atau mental. Negara dan pemerintah menjamin perlindungan, pemeliharaan dan kesejahteraan anak dengan memperhatikan hak dan kewajiban orangtua, wali atau orang lain yang secara hukum bertanggung jawab terhadap anak. Kepentingan anak harus di kedepankan demi keberlangsungan hidup sang anak.

Berdasarkan hal tersebut, maka dari itu untuk perlindungan anak dan demi kepentingan anak maka Negara dan Pemerintah memberlakukan suatu sistem peradilan pidana anak yang diperuntukkan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum tetap memperhatikan kepentingan terbaik baik anak tanpa merampas hak asasi anak dan supaya anak tidak

20 Fiska Ananda, Penerapan Diversi Sebagai Upaya Perlindungan Hukum Terhadap Anak

(34)

24

mendapatkan stigmatisasi negatif dari adanya proses peradilan. Sebenarnya proses pengadilan dibentuk oleh negara untuk menyelesaikan konflik yang muncul dalam masyarakat dan bersifat netral. Akan tetapi pengadilan bukanlah satu-satunya institusi dalam menyelesaikan konflik, karena pihak-pihak yang berkonflik tidak selamanya menggunakan mekanisme penyelesaian pada badan peradilan21 seperti penyelesaian anak yang berhadapan dengan hukum dengan jalur diluar pengadilan.

B. Kerangka Teori

Penelitian harus disertai dengan pemikiran-pemikiran teoritis, hal ini disebabkan karena adanya hubungan timbal balik antara teori dengan kegiatan-kegiatan pengumpulan data, konstruksi data, pengolahan data, dan analisis data.

1. Teori Hukum Progresif

Hukum progresif berarti hukum yang bersifat maju. Pengertian progresif secara harfiah ialah favouring new, modern ideas, happening or

developing steadly, yang berarti menyokong ke arah yang baru, gagasan

modern, peristiwa atau perkembangan yang mantap atau berhasrat maju, selalu lebih maju, meningkat.22 Istilah hukum progresif di sini adalah istilah hukum yang diperkenalkan oleh Satjipto Raharjo yang dilandasi asumsi dasar bahwa hukum adalah untuk manusia. Adapun pengertian hukum progresif itu sendiri adalah mengubah secara cepat, melakukan suatu terobosan hukum. Pemahaman mengenai hukum progresif didasarkan dengan keinginan dan harapan bahwa lahirnya hukum progresif dalam khazanah pemikiran hukum berkaitan dengan upaya mengkritisi realitas pemahaman hukum yang sangat positivistik. Pemahaman ini menyatakan bahwa hukum adalah untuk manusia dan bukan manusia untuk hukum dan hukum tidak ada untuk dirinya sendiri,

21

Trisno Raharjo, Mediasi Pidana dalam Sistem Peradilan Pidana Suatu Kajian

Perbandingan dan Penerapannya di Indonesia, (Yogyakarta: Mata Padi Pressindo, 2011) h. 21.

22 Pius A Partanto dan M. Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: Arkola,

(35)

melainkan sesuatu yang lebih luas yaitu untuk harga diri manusia, kebahagiaan, kesejahteraan dan kemuliaan manusia.

Melihat dari pengertian di atas, secara lebih sederhana Satjipto Rahardjo mengatakan bahwa hukum progresif ialah hukum yang melakukan pembebasan, bebas secara berpikir maupun bertindak dalam hukum, sehingga di dalam penegakan hukum tidak adanya rekayasa atau keberpihakan dalam menegakan hukum. Karena menurutnya, hukum bertujuan untuk menciptakan keadilan dan kesejahteraan bagi semua rakyat.23 Hukum progresif bermakna hukum yang peduli terhadap kemanusiaan sehingga hukum bukan hanya sebatas dogmatis saja. Atau dengan kata lain hukum progresif bersifat pro terhadap kepentingan rakyat dan merupakan suatu hukum yang berkeadilan. Progresifitas hukum mengajarkan bahwa hukum bukanlah raja, tetapi alat menjabarkan dasar kemanusiaan yang berfungsi memberikan rasa keadilan di dalam masyarakat. Prof. Satjipto Rahardjo menilai bahwa pemikiran hukum perlu kembali pada filosofis dasarnya, yaitu hukum untuk manusia. Dengan filosofis tersebut, maka manusialah yang menjadi penentu dan titik orientasi daripada hukum itu sendiri.

Bagi hukum progresif, proses perubahan tidak lagi berpusat pada peraturan, tetapi pada kreativitas pelaku hukum mengaktualisasikan hukum dalam ruang dan waktu yang tepat. Para pelaku hukum progresif dapat melakukan perubahan dengan melakukan pemaknaan yang mendalam terhadap peraturan yang ada, tanpa harus menunggu perubahan peraturan. Pemikiran yang mendasari progresifitas hukum adalah yang pertama hukum ada untuk manusia dan tidak untuk dirinya sendiri, kedua ialah hukum selalu berada pada status law in the making dan tidak bersifat final dan yang ketiga ialah hukum merupakan institusi yang bermoral kemanusiaan.

23 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum Dalam Pencarian, Pembebasan dan Pencerahan

(36)

26

2. Teori Keadilan

Keadilan merefleksikan bahwa kita tidak tinggal sendiri di dunia ini dan kita dituntun untuk berpikir agar tidak mengabaikan tanggung jawab kepada yang lain. Keadilan merupakan salah satu tujuan hukum. Tujuan hukum memang tidak hanya keadilan, tetapi uga kepastian hukum dan kemanfaatan. Idealnya, hukum memang harus mengakomodasikan ketiganya. Putusan hakim, misalnya, sedapat mungkin merupakan resultante dari ketiganya. Sekalipun demikian, tetap ada yang berpendapat, diantara ketiga tujuan hukum itu, keadilan merupakan tujuan hukum satu-satunya. Contohnya ditunjukan oleh seorang hakim Indonesia. Bila untuk menegakan keadilan saya korbankan kepastian hukum, akan saya korbankan hukum itu. Hukum hanya sarana, sedangkan tujuannya adalah keadilan.24

Keadilan dalam cita hukum yang merupakan pergaulan kemanusiaan berevolusi mengikuti ritme zaman dan ruang, dari dahulu sampai sekarang tanpa henti dan akan terus berlanjut sampai manusia tidak beraktivitas lagi. Manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang terdiri atas roh dan jasad memiliki daya rasa dan daya pikir yang dua-duanya merupakan daya rohani, di mana rasa dapat berfungsi untuk mengendalikan keputusan-keputusan akal agar berjalan di atas nilai-nilai moral seperti kebaikan dan keburukan, karena yang dapat menentukan baik dan buruk adalah rasa.25

Keutamaan yang tertinggi adalah ketaatan kepada hukum negara baik yang tertulis maupun tidak tertulis/namun keutamaan itu menurut Socrates (469-399 SM) tidak buta melainkan didasarkan atas pengetahuan intuitif tentang yang baik dan benar yang ada dalam diri semua manusia yang merupakan sumber pengetahuan yang sejati. Untuk sampai pada pengetahuan seperti itu adalah melalui refleksi atas diri

24 Bismar Siregar, Rasa Keadilan, (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1996) h. 7.

25 M. Rasjidi dan H. Cawindu, Islam Untuk Disiplin Ilmu Filsafat, (Jakarta: Bulan

(37)

sendiri.26

Keadilan dalam hukum formal dan hukum materil tersebut sebenarnya merupakan suatu keadaan keseimbangan dan keselarasan yang membawa ketentraman di dalam hati seseorang, yang apabila diganggu akan mengakibatkan kegoncangan. Orang-orang tidak akan bertahan lama menghadapi sebuah tatanan yang mereka rasa sama sekali tidak sesuai dan tidak masuk akal. Pemerintah yang mempertahankan aturan semacam itu akan terjerat dalam kesulitan-kesulitan dalam pelaksanaannya. Artinya sebuah tatanan yang tidak berakar pada keadilan sama artinya dengan bersandar pada landasan yang tidak aman dan berbahaya.27

3. Teori Tujuan Hukum

Hukum mengabdi kepada tujuan negara dengan menyelenggarakan keadilan dan ketertiban menurut Subekti28. Keadilan mengandung unsur-unsur penghargaan dan penilaian atau pertimbangan. Sedangkan tujuan negara pada pokoknya adalah mendatangkan kemakmuran dan kebahagian masyarakatnya.

Menurut Gustav Radburch, hukum harus mengandung tiga nilai identitas yang melekat di dalam hukum itu sendiri, yakni adanya keadilan hukum (gerechtigheit) yang ditinjau melalui sudut filosofis hukum itu sendiri. Adanya kemanfaatan hukum (zwechmatigheid) yang dintinjau melalui sudut sosiologis. Dan yang terakhir yakni adanya kepastian hukum (rechtmatigheid) yang ditinjau melalui sudut yuridis. Radburch mengatakan bahwa ketiga nilai dasar dalam tujuan hukum tersebut tidak selalu berada dalam kesatuan yang harmonis satu sama lain. Pada faktanya keadilan bisa bertabrakan dengan kemanfaatan dan kepastian

26 Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, (Yogyakarta: Kanisius, 1986),

h. 22.

27

Abdul Ghofur Anshori, Filsafat Hukum: Sejarah, Aliran dan Pemaknaan, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2006), h. 47.

28 C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia Jilid I Pengantar

(38)

28

hukum. Selain itu, tuntutan kemanfaatan bisa juga bertabrakan dengan keadilan dan kepastian hukum dan seterusnya.

Gustav Radbruch pernah mengatakan bahwa hukum yang baik adalah ketika hukum tersebut memuat unsur keadilan, kepastian hukum dan kegunaan. Artinya, meskipun ketiga unsur tersebut merupakan nilai dasar hukum, namun pada dasarnya masing-masing nilai mempunyai tuntutan yang berbeda satu sama lain, sehingga ketiganya mempunyai potensi untuk saling bertentangan dan menyebabkan adanya ketegangan dan menyebabkan adanya ketegangan antara ketiga nilai tersebut. Karenanya, nilai keadilan juga menjadi dasar dari hukum sebagai suatu kesatuan hukum itu sendiri. Dengan demikian, keadilan memiliki sifat normatif sekaligus konstitutif bagi hukum. Dalam hal ini, keadilan menjadi landasan moral hukum dan sekaligus tolak ukur sistem hukum positif. Karenanya, kepada keadilanlah, hukum positif berpangkal. Sedangkan konstitutif, karena keadilan harus menjadi unsur mutlak bagi hukum. Artinya, ketika di dalam hukum tidak terdapat suatu keadilan, itu merupakan suatu aturan yang tidak pantas menjadi hukum.

C. Tinjauan (review) Kajian Terdahulu

Dalam penelitian ini, paling tidak peneliti memiliki beberapa pijakan literasi kajian terdahulu yang sesuai dengan fokus tema, diantaranya :

1. Muhammad Iqbal Farhan, Penerapan diversi dalam penyelesaian tindak pidana anak menurut hukum positif dan hukum islam (analisis kasus putusan perkara nomor 15/Pid.Sus-Anak/2014/PN.TNG). UIN Jakarta, Peneliti membahas mengenai pandangan hukum dari segi hukum positif dan dari segi hukum islam mengenai putusan perkara pidana anak. Hal yang membedakan skripsi tersebut dengan penelitian yang akan diangkat oleh peneliti membahas tentang penerapan diversi pada penyidikan di Polres Jakarta Selatan.

(39)

2. Khumaeroh, Penerapan diversi dalam penyelesaian tindak pidana yang

dilakukan oleh anak. UIN Jakarta, Peneliti membahas mengenai sistem peradilan anak di Indonesia dan penerapan diversi dalam menyelesaikan tindak pidana anak di Indonesia dan penerapan diversi dalam putusan. Hal yang membedakan skripsi tersebut dengan penelitian yang akan diangkat oleh peneliti membahas tentang penerapan diversi pada penyidikan di Polres Jakarta Selatan.

3. Susanto Santiago Pararuk, Pelaksanaan diversi oleh penyidik terhadap anak

sebagai pelaku tindak pidana berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012. Universitas Hasanuddin, Peneliti membahas mengenai pelaksanaan diversi oleh penyidik di wilayah hukum tana toraja berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012. Hal yang membedakan skripsi tersebut dengan penelitian yang akan diangkat oleh peneliti membahas tentang penerapan pelaksanaan diversi tingkat

(40)

30

PROFIL POLRES METRO JAKARTA SELATAN

A. Kepolisian Republik Indonesia

Dalam diktum penjelasan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, dinyatakan perkembangan kemajuan masyarakat yang cukup pesat, seiring dengan merebaknya fenomena supremasi hukum, hak asasi manusia, globalisasi, demokratisasi, desentralisasi, transparansi, dan akuntabilitas, telah melahirkan berbagai paradigma baru dalam melihat tujuan, tugas,fungsi, wewenang, dan tanggung jawab Kepolisian Negara Republik Indonesia yang selanjutnya menyebabkan pula tumbuhnya berbagai tuntutan dan harapan masyarakat terhadap pelaksanaan tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia yang makin meningkat dan lebih berorientasi kepada masyarakat yang dilayaninya.1

Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) arti kata polisi adalah suatu badan yang bertugas memelihara keamanan, ketentraman, dan ketertiban umum (menangkap orang yang melanggar hukum), merupakan anggota badan pemerintah (pegawai Negara yang bertugas menjaga keamanan dan ketertiban).2

Dalam diktum lainnya dinyatakan bahwa asas legalitas sebagai aktualisasi paradigma supremasi hukum dalam undang-undang ini secara tegas dinyatakan dalam perincian kewenangan Kepolisian Negara Republik Indonesia, yaitu melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindakan pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya. Dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian dinyatakan bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia bertujuan untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya

1

Supriadi, Etika dan Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 2006) h.133.

2 W.J.S Purwodarminto, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta; Balai Pustaka, 1986)

(41)

hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, serta terbinanya ketenteraman nasyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia.

Sebagai ujung tombak penyelenggaraan keamanan, polisi merupakan simbol adanya hukum bagi masyarakat karna polisilah yang pertama langsung berhadapan dengan masyarakat, baik sebagai korban, saksi, maupun tersangka polisi adalah benar-benar dokter dengan jenis pekerjaan yang sangat khusus, yaitu berusaha menyembuhkan “penyakit-penyakit” masyarakat.3

Menyadari kondisi objektif bangsa Indonesia dan perkembangan lingkungan strategis masyarakat dunia yang memandang masalah keamanan adalah masalah kemanusiaan, maka hakikat penyelenggaraan keamanan adalh terciptanya rasa aman setiap warga negara Indonesia menjadi tanggung jawab Polri. Oleh karena itu, Polri telah meletakkan Tribrata dan Catur Prasetya sebagai penjabaran dari falsafah Pancasila dalam mengemban tugas, peran dan tanggung jawabnya.

Tribrata (Polisi Indonesia) sebagai falsafah jati diri dan Catur Prasetya (Bhayangkara Indonesia) sebagai falsafah pedoman/komitmen

sebagai aparatur negara. Maknanya secara substansi bahwa Polri adalah aparatur negara diamanatkan untuk melindungi, mengayomi dan melayani setiap manusia sebagai bagian masyarakat dan negara, sehingga setiap warga negara diperlakukan bukan sebagai musuh negara, namun harus dilayani dan dilindungi agar bermanfaat demi kepentingan seluruh masyarakat, bangsa dan negara Indonesia.

Filosofi keamanan memberi arah tentang pemahaman keamanan itu sendiri. Pemahaman tentang keamanan mengandung adanya perasaan bebas dari gangguan fisik dan psikis (security), perasaan bebas dari kekhawatiran (surely), perasaan terlindungi dari bahaya dan gangguan (safety), dan perasaan damai lahiriah maupun batiniah (peace) dalam suasan tertib (order),

3 Muhamad Erwin, Filsafat Hukum Refleksi Kritis Terhadap Hukum dan Hukum

(42)

32

di mana segala sesuatu berjalan secara teratur, yang merangsang gairah kerja dan kesibukan dalam rangka mencapai kesejahteraan masyarakat (makmur) serta dapat hidup rukun, berdampingan antar individu, antar masyarakat dan antar negara (sentosa).4

1. Sejarah dan Tujuan Kepolisian

Kepolisian Negara Republik Indonesia disebut Bhayangkara yang diambil dari nama salah satu pasukan pengawal kerajaan majapahit. Menurut M. Karjadi dalam bukunya POLISI (Filsafat dan Perkembangan Hukumnya), mengatakan bahwa berdasarkan penelitian para ahli, hakikat polisi ialah “kontrol”, yang artinya pengawasan dan pengadilan terhadap sesuatu yang tidak beres.

Politik hukum yang menyongsong dibentuknya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri, sebagai usaha untuk mengembangkan dan menyempurnakan institusional Polri, telah dimulai dari adanya pergerakan reformasi yang sifatnya sangat fundamental dalam kehidupan berdemokrasi yang mempunyai pengaruh besar terhadap seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara, yang bertjuan menuju ke arah kehidupan yang lebih baik, karena kehidupan demokrasi merupakan pilihan yang lebih realistis dalam membangun kehidupan masyarakat yang lebih baik ke depan.5

a. Masa Kolonial Belanda

Sejarah terbentuknya Polri bisa dirunut sejak masa kerajaan Majapahit. Pada waktu itu Gajah Mada membentuk pasukan pengamanan yang disebut Bhayangkara untuk melindungi Raja dan kerajaan. Karena itulah sosok Gajah Mada menjadi simbol dari Kepolisian RI dan membangun patung Gajah Mada di depan kantor Mabes Polri untuk menghormatinya. Nama Bhayangkara kemudian dijadikan nama pasukan Kepolisian. Kemudian pada masa

4 Susanto, dkk, Polmas Falsafah Baru Pemolisian, (Jakarta: Pensil-324, 2008) h. 125. 5 Hermawan Sulistyo, Polri Dalam Arsitektur Negara, (Jakarta: Pensil-324, 2016) h.146.

Referensi

Dokumen terkait

Pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Lubuk Pakam melalui sumber dari wawancara oleh Bapak Mesnianto sebagai Pelaksana Seksi Pelayanan pada tanggal 25 Mei 2016 menyatakan bahwa

Selain itu, penulis menganggap bahwa Museum Benteng Vredeburg memiliki keunikan yakni bangunannya berupa bangunan bekas Belanda yang sudah termasuk dalam Benda

Umbi ganyong digunakan sebagai bahan utama dalam pembuatan foodbar karena umbi ganyong memiliki kandungan gizi yang baik terutama kandungan karbohidratnya, termasuk

Latar belakang penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penilaian prestasi kerja yang terdiri dari aspek-aspek yang dinilai, penilai, metode penilaian dan umpan

Nilai input tersebut kemudian diproses fuzzifi-kasi-inferensi-komposisi-defuzzifikasi se-hingga terbentuk daerah kesimpulan, Output penilaian properti berupa nilai crisp

pengumpulan beragam sumber tulisan untuk kemudian mengambil darinya ide dalam level paragraf bahkan kalimat untuk menggabungkannya menjadi satu. Sering kali hasil

Because the levels of stunting are greater (median values are lower) that the levels of underweight (as can be seen in figure 4), the median value of weight for height,

Pemilihan bahan koagulan yang ramah lingkungan merupakan faktor penting dalam pemurnian air sehingga tidak mencemari lingkungan.Tujuan penelitian ini adalah